“Pelaku Usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan atau/tidak
memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian
sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan
konsumen”.
Adapun Penjelasan dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) yang
merupakan bagian dari tanggung jawab Pelaku Usaha yang mana merupakan hal
yang mendasari terjadinya pengajuan Gugatan yaitu sebagai berikut:
1. Pelaku Usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang
dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan;
2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian
uang atau penggantian barang dan atau jasa yang sejenis atau setara nilainya,
atau perawatan Kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah
tanggal transaksi;
4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan
pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
Pada Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 menyebut bahwa, Gugatan
atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:
1. Pengajuan Gugatan
2. Metode Penyelesaian
Pada hari sidang pertama, ketua majelis wajib mendamaikan kedua belah
pihak yang bersengketa, dan bilamana tidak tercapai perdamaian, maka
persidangan dimulai dengan membacakan isi gugatan konsumen dan
surat jawaban pelaku usaha. Ketua majelis memberikan kesempatan
kepada konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa untuk
menjelaskan hal-hal yang dipersengketakan.
Dalam hal pelaku usaha dan konsumen tidak hadir pada hari
persidangan pertama, majelis memberikan kesempatan terakhir kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk hadir pada persidangan kedua
dengan membawa alat bukti yang diperlukan. Persidangan kedua
diselenggarakan selambat-lambatnya dalam waktu lima hari kerja
terhitung sejak hari persidangan pertama dan diberitahukan dengan
surat panggilan kepada konsumen dan pelaku usaha oleh sekretariat
BPSK. Bilamana pada persidangan kedua konsumen tidak hadir, maka
gugatannya dinyatakan gugur demi hukum, sebaliknya bila pelaku usaha
yang tidak hadir, maka gugatan konsumen dikabulkan oleh majelis tanpa
kehadiran pelaku usaha.
3. Putusan
Putusan yang ditetapkan oleh majelis BPSK terdiri dari dua jenis yaitu:
a) Perdamaian;
c) Gugatan Dikabulkan.
a) Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2); dan atau
Putusan BPSK merupakan putusan yang final dan telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap (Pasal 42 ayat 1 Kepmenperindag) Terhadap perbuatan
BPSK, dimintakan penetapan eksekusi oleh BPSK kepada pengadilan negeri di
tempat konsumen yang dirugikan.
Dalam Pasal 6 ayat (3) Perma Nomor 01 Tahun 2006, setidaknya menyebutkan
3 (tiga) hal mendasar yang menjadi alasan untuk diajukannya keberatan
kepada Pengadilan Negeri setempat, yaitu:
c) Putusan diambil dari tipu yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam
pemeriksaan sengketa.
Apabila tidak adanya pengajuan keberatan oleh pihak lawan, Konsumen dapat
mengajukan permohonan eksekusi atas putusan BPSK kepada Pengadilan
Negeri di tempat kedudukan hukum konsumen atau dalam wilayah hukum
BPSK yang mengeluarkan putusan sebagaimana dalam Pasal 7 Perma Nomor
01 Tahun 2006, yang berbunyi:
Majelis di BPSK terdiri atas 3 (tiga) anggota atau arbiter yaitu arbiter dari unsur
konsumen, arbiter dari unsur pelaku usaha dan arbiter dari unsur PNS
(Pemerintah). Pelaku usaha memilih arbiter pelaku usaha dan konsumen
memilih arbiter dari unsur konsumen. Sedangkan arbiter dari unsur
pemerintah dipilih oleh arbiter konsumen dan pelaku usaha dan dikukuhkan
oleh penetapan dari ketua dan/atau wakil ketua BPSK.
Ganti rugi yang dapat digugat oleh konsumen maupun yang dapat dikabulkan
oleh BPSK adalah ganti rugi yang nyata (riil) yang dialami konsumen. Majelis
BPSK selain mengabulkan gugatan ganti kerugian nyata tersebut juga
berwenang menambahkan ganti kerugian berdasarkan sanksi administratif
dalam poin i di atas. Berdasarkan Pasal 38 Kepmenperindag, Majelis BPSK
wajib memutuskan sengketa konsumen tersebut selambat-lambatnya dalam
waktu 21 hari kerja terhitung sejak gugatan diterima oleh BPSK.
Putusan yang tidak diajukan keberatan oleh pelaku usaha akan dimintakan
penetapan fiat eksekusi ke Pengadilan Negeri di tempat konsumen berdomisili.
Bila pelaku usaha tidak mengajukan keberatan hingga tenggang waktu yang
diberikan, maka dianggap menerima putusan tersebut dan putusan tersebut
bersifat final memiliki kekuatan hukum tetap.
Kelemahan lainnya yaitu dalam praktiknya, biasanya salah satu pihak tidak
menghendaki ADR dengan cara arbitrase, sehingga hal tersebut akan
menyulitkan Majelis BPSK dalam menyelesaikan sengketa di antara para pihak.
Selain itu, waktu penyelesaian sengketa secara arbitrase sebagaimana
ditentukan dalam UUPK yakni 21 hari setelah gugatan diterima, nyatanya tidak
sesuai (yang biasanya disebabkan oleh ketidakhadiran salah satu atau para
pihak dalam persidangan).
Adapun juga, bahwa menurut ketentuan Pasal 90 Keppres 2001, bahwa biaya
pelaksanaan tugas BPSK dibebankan pada APBN dan APBD. Sebagai upaya
untuk memudahkan konsumen menjangkau BPSK, maka dalam keputusan
Presiden tersebut, tidak dicantumkan pembatasan wilayah yurisdiksi BPSK,
sehingga konsumen dapat mengadukan masalahnya pada BPSK mana saja
yang dikehendakinya.
Yang menjadi permasalahan BPSK adalah Putusan BPSK yang bersifat final dan
mengikat masih dapat dilakukan upaya keberatan ke Pengadilan Negeri dan
putusan tersebut tidak dapat langsung dieksekusi. Lalu permohonan eksekusi
dapat dilakukan baik terhadap putusan BPSK maupun putusan keberatan,
namun UUPK tidak menyediakan peraturan yang lebih rinci berkaitan dengan
hal tersebut. Ketentuan mengenai prosedur permohonan eksekusi juga tidak
diatur secara rinci dan jelas dalam UUPK (Undang-Undang Perlindungan
Konsumen No. 8 Tahun 1999).
Adapun melalui Gugatan Litigasi Pengadilan Negeri yang mana artinya adalah
bahwa penyelesaian sengketa dilakukan melalui jalur persidangan/Pengadilan
dan masalah sengketa ini diselesaikan di bawah naungan kehakiman. Dalam
UUD 1945 Pasal 22 menyebutkan bahwa “Sistem Kehakiman dibawah
kekuasaan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan dibawahnya.” Badan-badan
peradilan tersebut antara lain meliputi umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata
Usaha Negara, Peradilan Militer dan Mahkamah Konstitusi. Litigasi adalah
sarana akhir dari penyelesaian sengketa yang mana mempunyai kekuatan
hukum yang tetap dan mengikat terhadap pihak-pihak yang terkait dalam
sengketa. Dan putusan ada di tangan hakim.
LPKSM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) PP Nomor 89 Tahun 2019,
dapat melakukan kegiatan perlindungan konsumen di seluruh wilayah Indonesia,
asalkan terdaftar pada Pemerintah Daerah Provinsi dan bergerak di bidang
perlindungan konsumen sebagaimana tercantum dalam anggaran dasarnya.
Adapun Tugas dari LPKSM itu sendiri yang termuat di dalam Pasal 44 ayat (3) UUPK
yaitu sebagai berikut:
LPKSM juga Lembaga yang memiliki hak gugat (legal standing), dalam konteks litigasi
kepentingan konsumen di Indonesia. Hak gugat tersebut dapat dilakukan oleh
LPKSM yang telah memenuhi syarat yaitu bahwa LPKSM yang dimaksud telah
berbentuk badan hukum atau Yayasan yang dalam anggaran dasarnya disebutkan
dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk
kepentingan perlindungan konsumen dan LPKSM tersebut telah melaksanakan
kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 46
ayat (1) huruf c UUPK yang menyatakan:
Oleh sebab itu, untuk dapat menggugat, LPKSM harus dapat membuktikan bahwa
dalam anggaran Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) dapat
berprofesi memberi jasa hukum. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh
suatu badan/perkumpulan/badan usaha agar dapat dikatakan sebagai Badan
hukum (rechtpersoon). Menurut doktrin ilmu hukum syarat-syarat tersebut adalah
sebagai berikut:
Business Judgment Rule dalam Hukum Indonesia dijustifikasi dalam Pasal 97 ayat (5)
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang
menyatakan bahwa:
Pada dasarnya Komisaris memiliki fungsi sebagai pengawas atas kebijakan, jalannya
pengurusan, dan pihak yang dapat memberi nasihat kepada Direksi. Dalam
prakteknya, Komisaris memiliki batasan-batasan dalam langkahnya yang mana
ruang lingkupnya dibatasi oleh kepentingan dan maksud dan tujuan perseroan
(Pasal 108 ayat (2) UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”)).
Terkait dengan Business Judgment Rule, Anggota Komisaris dapat terlepas dari
pertanggungjawaban masalah tertentu secara pribadinya dengan 3 (tiga) alasan
mendasar sebagaimana dalam Pasal 114 ayat (5) UU PT, antara lain:
1. Telah melakukan pengawasan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk
kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
“Setiap anggota Dewan Komisaris ikut bertanggung jawab secara pribadi atas
kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan
tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2)”
Sedangkan dalam hal perkara Pailit, Anggota Dewan Komisaris merupakan salah
satu pihak yang bertanggungjawab secara tanggung renteng secara pribadi untuk
membayar seluruh kewajiban Perseroan akibat dari Pailit tersebut. Namun, dalam
Pasal 115 ayat (3) disebutkan bahwa terdapat 4 (empat) alasan yang dapat
melepaskan Anggota Dewan Komisaris dari tanggungjawabnya atas kepailitan yang
terjadi, antara lain:
“(2) Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian Emiten atau
Perusahaan Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila dapat membuktikan:
b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, penuh tanggung jawab, dan
kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Emiten
atau Perusahaan Publik;