Anda di halaman 1dari 15

RESUME

PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

I. BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (“BPSK”)

Menurut Pasal 1 Angka 11 UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,


bahwa yang dimaksud dengan BPSK adalah Badan yang bertugas menangani dan
menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.

Secara khusus, fungsi BPSK adalah sebagai alternatif penyelesaian sengketa


konsumen di luar pengadilan, dan Lembaga ini dibentuk di Kabupaten/Kota.
Sebagaimana yang termaksud pada Pasal 49 ayat (1) Pemerintah membentuk badan
penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa
konsumen di luar pengadilan.

Penyelesaian sengketa dalam mempertahankan hak-hak konsumen diatur pada


Pasal 45 ayat (2) UUPK yang menyebutkan bahwa

“Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui Pengadilan atau


diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa”.

Menurut (Abdul Halim Barkatullah) Penyelesaian sengketa diluar pengadilan dapat


ditempuh melalui BPSK yang tugas dan wewenangnya antara lain meliputi
pelaksanaan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara melalui
Mediasi, Arbitrase dan Konsiliasi, yang selain sebagai media penyelesaian sengketa
juga dapat menjatuhkan sanksi administratif bagi pelaku usaha yang melanggar
larangan-larangan tertentu yang dikenakan bagi pelaku usaha.

Menurut (Kurniawan dan Abdul Wahab) Prosedur penyelesaian sengketa konsumen


melalui BPSK ini terdiri dari tiga tahapan. Pertama, tahap permohonan yang meliputi
persyaratan pengaduan penyelesaian-penyelesaian sengketa tanpa pengacara;
Kedua, Tahap persidangan yang dapat dilaksanakan dengan cara Konsiliasi, Mediasi
dan Arbitrase; dan Ketiga, Tahap putusan yang harus diselesaikan selambat-
lambatnya 21 hari kerja terhitung sejak gugatan diterima yang dilanjutkan dengan
ekseksi putusan.

Di dalam Pasal 23 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan


Konsumen “UU Perlindungan Konsumen” mengatur bahwa, Konsumen dapat
mengajukan Gugatan pada Pelaku Usaha melalui Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen atau ke Badan Peradilan. Sebagaimana penjelasan pada Pasal berikut :

Pasal 23 UU Perlindungan Konsumen,

“Pelaku Usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan atau/tidak
memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian
sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan
konsumen”.

Adapun Penjelasan dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) yang
merupakan bagian dari tanggung jawab Pelaku Usaha yang mana merupakan hal
yang mendasari terjadinya pengajuan Gugatan yaitu sebagai berikut:
1. Pelaku Usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang
dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan;

2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian
uang atau penggantian barang dan atau jasa yang sejenis atau setara nilainya,
atau perawatan Kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah
tanggal transaksi;

4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan
pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

Pada Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 menyebut bahwa, Gugatan
atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:

1. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;

2. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;

3. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat,


yaitu berbentuk badan hukum atau Yayasan, yang dalam anggaran dasarnya
menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut
adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan
kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;

4. Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang


dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar
dan/atau korban yang tidak sedikit.

Menurut Pasal 52 Undang-Undang Perlindungan Konsumen “UUPK” yang dimana


memuat mengenai Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen,
salah satunya adalah Pasal 52 huruf e yang berbunyi “ Menerima Pengaduan baik
tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran
terhadap perlindungan konsumen;” jadi dapat disimpulkan, bahwa Penyelesaian
Sengketa Konsumen melalui BPSK tidak perlu melalui persetujuan kedua belah
pihak untuk memilih BPSK sebagai forum penyelesaian sengketa.

A. Alur Penyelesaian Sengketa

Alur penyelesaian sengketa Konsumen melalui BPSK adalah sebagai berikut:

1. Pengajuan Gugatan

Pengajuan gugatan dapat dilakukan oleh konsumen atau sekelompok


konsumen. Permohonan tersebut diajukan ke BPSK terdekat dari tempat
tinggal penggugat. Lokasi BPSK biasanya di ibu kota kabupaten atau
kotamadya.

Jika konsumen tidak bisa mengajukan permohonan sendiri, ia


diperkenankan mengirim kuasanya. Begitu pula ketika penggugat
meninggal dunia, sakit, atau lanjut usia, pengaduan dapat dilakukan oleh
ahli waris yang bersangkutan. Cara mengajukan permohonan gugatan
tersebut boleh secara lisan maupun tertulis. Asalkan semua itu
memenuhi syarat undang-undang.

Setelah menentukan perwakilan, selanjutnya permohonan tertulis


dikirimkan atau diserahkan ke sekretariat BPSK. Sebagai bukti telah
menerima, biasanya BPSK memberikan tanda terima tertulis. Sementara
itu, khusus permohonan lisan atau tidak tertulis, sekretariat akan
mencatat pengajuan penggugat di sebuah formulir dalam suatu format
yang disediakan dan dibubuhi tanda tangan atau cap stempel oleh
konsumen atau ahli warisnya atau kuasanya (Konsumen yang merasa
hak hukumnya dirugikan dalam hal tidak bisa datang sendiri ke BPSK
dapat diwakili oleh ahli waris, atau kuasanya dalam keadaan konsumen
meninggal dunia, sakit atau telah berusia lanjut sehingga tidak dapat
mengajukan pengaduan sendiri baik secara tertulis maupun lisan,
sebagaimana dibuktikan dengan surat keterangan dokter dan bukti Kartu
Tanda Penduduk (KTP), belum dewasa sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; atau orang asing (WNA) sebagaimana
ketentuan dalam Pasal 15 ayat (3) Kepmenperindag RI. No.
350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang
BPSK. Berkas Permohonan tersebut baik tertulis atau pun tidak tertulis
dicatat oleh sekretariat BPSK dan dibubuhi tanggal dan nomor registrasi.

Dalam Pasal 16 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan


Republik Indonesia Nomor: 350/MPP/Kep/12/2001, permohonan
penyelesaian sengketa konsumen secara tertulis harus memuat secara
benar dan lengkap mengenai:

a) Nama dan alamat lengkap konsumen, ahli waris atau kuasanya


disertai bukti diri;

b) Nama dan alamat lengkap pelaku usaha;

c) Barang atau jasa yang diadukan;

d) Bukti perolehan (bon, faktur, kwitansi dan dokumen bukti lain);

e) Keterangan tempat, waktu dan tanggal diperoleh barang atau jasa


tersebut;

f) Saksi yang mengetahui barang atau jasa tersebut diperoleh;

g) Foto-foto bareng dan kegiatan pelaksanaan jasa, bila ada.

Jika berkas permohonan tidak lengkap atau keluar dari aturan


Kepmenperindag (Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan)
Nomor 350/MPP/Kep/12/2001. Dalam kasus ini, BPSK berhak menolak
pengajuan permohonan sebagaimana yang termuat di dalam Pasal 17
Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 huruf a dan b yaitu ketika
permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 dan Permohonan gugatan bukan merupakan kewenangan BPSK.
Kalau permohonan memenuhi kriteria, BPSK wajib memanggil tergugat
(pelaku usaha). Pemanggilan tersebut berupa surat tertulis yang dilampiri
gugatan dari konsumen. Proses pemanggilan ini berlangsung selambat-
lambatnya 3 hari kerja sejak berkas permohonan masuk dan disetujui
BPSK. Dalam surat panggilan dicantumkan secara secara jelas mengenai
hari, jam dan tempat persidangan serta kewajiban pelaku usaha untuk
memberikan surat jawaban terhadap penyelesaian sengketa konsumen
dan disampaikan pada hari persidangan pertama, yang dilaksanakan
selambat-lambatnya pada hari kerja ke-7 terhitung sejak diterimanya
permohonan penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK.

2. Metode Penyelesaian

Tahap berikutnya setelah tergugat memenuhi panggilan, kedua belah


pihak menentukan metode penyelesaian perkara. Metode tersebut harus
disepakati oleh keduanya. Berikut ini adalah metode yang bisa dipilih
sebagaimana yang termuat juga di dalam UUPK Pasal 52 huruf a yang
berbunyi “Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa
konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi”.

a) Mediasi (Pasal 1 angka 10 Kepmenperindag Nomor


350/MPP/Kep/12/2001)

Pada proses ini digunakan untuk menyelesaikan sengketa


konsumen di pengadilan melalui BPSK. Fungsi BPSK hanya sebagai
penasihat. Sementara penyelesaian masalah diserahkan kepada
pihak yang bersengketa

b) Konsiliasi (Pasal 1 angka 9)

Metode konsiliasi digunakan dalam penuntasan masalah konsumen


di luar pengadilan. Majelis bertugas untuk mendamaikan pihak
yang bersengketa. Namun, majelis hanya sebagai konsiliator (pasif).
Sementara itu, hasil putusan diserahkan kepada pihak penggugat
dan tergugat

c) Arbitrase (Pasal 1 angka 11)

Proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan yang


dalam hal ini para pihak yang bersengketa menyerahkan
sepenuhnya penyelesaian sengketa kepada BPSK. Pada metode
arbitrase, para majelis berlaku aktif dalam menyelesaikan perkara
pihak yang bersengketa.

Pada hari sidang pertama, ketua majelis wajib mendamaikan kedua belah
pihak yang bersengketa, dan bilamana tidak tercapai perdamaian, maka
persidangan dimulai dengan membacakan isi gugatan konsumen dan
surat jawaban pelaku usaha. Ketua majelis memberikan kesempatan
kepada konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa untuk
menjelaskan hal-hal yang dipersengketakan.

Pada hari persidangan pertama, sebelum pelaku usaha memberikan


jawabannya, konsumen dapat mencabut gugatannya dengan membuat
surat pernyataan. Dalam hal gugatan dicabut oleh konsumen, maka
dalam persidangan, pertama majelis wajib mengumumkan bahwa
gugatan dicabut. Tetapi apabila dalam penyelesaian sengketa konsumen
terjadi perdamaian antara konsumen dan pelaku usaha yang
bersengketa, majelis membuat putusan dalam bentuk penetapan
perdamaian.

Dalam hal pelaku usaha dan konsumen tidak hadir pada hari
persidangan pertama, majelis memberikan kesempatan terakhir kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk hadir pada persidangan kedua
dengan membawa alat bukti yang diperlukan. Persidangan kedua
diselenggarakan selambat-lambatnya dalam waktu lima hari kerja
terhitung sejak hari persidangan pertama dan diberitahukan dengan
surat panggilan kepada konsumen dan pelaku usaha oleh sekretariat
BPSK. Bilamana pada persidangan kedua konsumen tidak hadir, maka
gugatannya dinyatakan gugur demi hukum, sebaliknya bila pelaku usaha
yang tidak hadir, maka gugatan konsumen dikabulkan oleh majelis tanpa
kehadiran pelaku usaha.

3. Putusan

Putusan yang ditetapkan oleh majelis BPSK terdiri dari dua jenis yaitu:

a) Putusan BPSK untuk metode penyelesaian dengan konsiliasi dan


mediasi. Putusan ini berisi perjanjian damai tanpa disertai sanksi
administratif. Perjanjian ini disepakati dan ditandatangani oleh
pihak yang bersengketa.

b) Putusan BPSK untuk metode arbitrase, berbeda dengan konsiliasi


dan mediasi, arbitrase memuat putusan perkara perdata. Setiap
putusan memuat duduk perkara disertai pertimbangan hukum.

Dalam Pasal 40 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan


Republik Indonesia Nomor : 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang
Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK, putusan BPSK dapat berupa :

a) Perdamaian;

b) Gugatan Ditolak; atau

c) Gugatan Dikabulkan.

Dalam hal gugatan dikabulkan, maka amar putusan ditetapkan


kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha. Kewajiban tersebut
berupa pemenuhan:

a) Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2); dan atau

b) Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp.


200.000.000,-(Dua ratus juta rupiah).
Kemudian pada Pasal 41 angka 1-6 Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 350/MPP/Kep/12/2001
menjelaskan bahwa: 

a) Ketua BPSK memberitahukan putusan Majelis secara tertulis


kepada alamat konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa,
selambat-lambatnya dalam 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan
dibacakan; 

b) Dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak putusan


BPSK diberitahukan, konsumen dan pelaku usaha yang
bersengketa wajib menyatakan menerima atau menolak putusan
BPSK; 

c) Konsumen dan pelaku usaha yang menolak putusan BPSK dapat


mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri selambat-
lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak
putusan BPSK diberitahukan; 

d) Pelaku usaha yang menyatakan menerima putusan BPSK, wajib


melaksanakan putusan tersebut selambat-lambatnya dalam waktu
7 (tujuh) dari kerja terhitung sejak menyatakan menerima putusan
BPSK.

e) Pelaku usaha yang menolak putusan BPSK, tetapi tidak


mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) setelah
batas waktu dalam ayat (4) dilampaui, maka dianggap menerima
putusan dan wajib melaksanakan putusan tersebut selambat-
lambatnya 5 (lima) hari kerja setelah batas waktu mengajukan
keberatan dilampaui.

f) Apabila pelaku usaha tidak menjalankan kewajibannya


sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) maka BPSK menyurahkan
keputusan tersebut kepada penyidik untuk melakukan penyidikan
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 

B. Kekuatan Hukum Putusan BPSK

Putusan BPSK merupakan putusan yang final dan telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap (Pasal 42 ayat 1 Kepmenperindag) Terhadap perbuatan
BPSK, dimintakan penetapan eksekusi oleh BPSK kepada pengadilan negeri di
tempat konsumen yang dirugikan.

Menurut (R. Subekti) Eksekusi atau pelaksanaan sudah mengandung arti


bahwa pihak yang dikalahkan tidak mau menaati putusan itu secara sukarela,
sehingga putusan harus dipaksakan kepadanya dengan bantuan kekuatan
hukum. Penetapan eksekusi diatur juga dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2006
tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK. Dalam Pasal
7 PERMA Nomor 1 Tahun 2006 dinyatakan bahwa konsumen mengajukan
permohonan eksekusi atas putusan BPSK yang tidak diajukan keberatan
kepada pengadilan negeri ditempat kedudukan hukum konsumen yang
bersangkutan atau dalam wilayah hukum BPSK yang mengeluarkan putusan.
Permohonan eksekusi atas putusan BPSK yang telah diperiksa melalui
prosedur keberatan, ditetapkan oleh pengadilan negeri yang memutus perkara
keberatan bersangkutan. Pengadilan Negeri wajib mengeluarkan putusan atas
keberatan dalam waktu paling lambat 21 (dua puluh satu) hari sejak
diterimanya keberatan. Terhadap putusan pengadilan negeri tersebut, para
pihak dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari dapat mengajukan
kasasi ke Mahkamah Agung. Dan Mahkamah Agung wajib mengeluarkan
putusan dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima
permohonan kasasi.

Pada prinsipnya pengajuan keberatan yang ditujukan kepada Pengadilan Negeri


melalui Kepaniteraan (Pasal 5 ayat (2)), hanya mengikat terhadap putusan
BPSK melalui jalur non-litigasi yaitu arbitrase, yang sejalan dengan Pasal 2
Perma Nomor 01 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan
Terhadap Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yang berbunyi:

“Keberatan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang


dikeluarkan oleh BPSK”

Keberatan yang diajukan sebagaimana penjelasan di atas dapat diajukan oleh


Pelaku Usaha atau Konsumen kepada Pengadilan Negeri yang berada di tempat
kedudukan hukum konsumen, dan dengan syarat bahwa keberatan yang
diajukan tidak memasukkan BPSK sebagai pihak (Pasal 3 ayat (1) dan (2)
Perma Nomor 1 Tahun 2006).

Dalam Pasal 6 ayat (3) Perma Nomor 01 Tahun 2006, setidaknya menyebutkan
3 (tiga) hal mendasar yang menjadi alasan untuk diajukannya keberatan
kepada Pengadilan Negeri setempat, yaitu:

a) Surat atau dokumen yang diakui atau dinyatakan palsu;

b) Setelah putusan arbitrase BPSK ditemukan dokumen yang bersifat


menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau

c) Putusan diambil dari tipu yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam
pemeriksaan sengketa.

Apabila tidak adanya pengajuan keberatan oleh pihak lawan, Konsumen dapat
mengajukan permohonan eksekusi atas putusan BPSK kepada Pengadilan
Negeri di tempat kedudukan hukum konsumen atau dalam wilayah hukum
BPSK yang mengeluarkan putusan sebagaimana dalam Pasal 7 Perma Nomor
01 Tahun 2006, yang berbunyi:

“Konsumen mengajukan permohonan eksekusi atas putusan BPSK yang tidak


diajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri di tempat kedudukan hukum
konsumen yang bersangkutan atau dalam wilayah hukum BPSK yang
mengeluarkan putusan”.

C. Arbitrase Melalui BPSK

Ketentuan mengenai penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan yang


dalam hal ini merupakan proses arbitrase diatur dalam Pasal 1 ayat (11)
Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001, yang mana para pihak yang
bersengketa bila memutuskan untuk menyelesaikan sengketa tersebut melalui
BPSK maka akan menyerahkan sepenuhnya penyelesaian sengketa tersebut
kepada Majelis BPSK sebagai Arbiter untuk memutuskan dan menyelesaikan
sengketa konsumen arbitrase.

Majelis di BPSK terdiri atas 3 (tiga) anggota atau arbiter yaitu arbiter dari unsur
konsumen, arbiter dari unsur pelaku usaha dan arbiter dari unsur PNS
(Pemerintah). Pelaku usaha memilih arbiter pelaku usaha dan konsumen
memilih arbiter dari unsur konsumen. Sedangkan arbiter dari unsur
pemerintah dipilih oleh arbiter konsumen dan pelaku usaha dan dikukuhkan
oleh penetapan dari ketua dan/atau wakil ketua BPSK.

Kelebihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini yaitu putusannya


langsung final dan mempunyai kekuatan hukum tetap yang mengikat para
pihak. Putusan Arbitrase memiliki kekuatan eksekutorial, sehingga apabila
pihak yang dikalahkan tidak memenuhi putusan secara sukarela, maka pihak
yang menang dapat memohonkan eksekusi ke pengadilan.

Dalam hal ini, berdasarkan Pasal 52 UUPK jo. Kepmenperindag No.


350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK
dalam hal ADR ini diantaranya:

a) Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen


tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

b) Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan


konsumen;

c) Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran


terhadap perlindungan konsumen;

d) Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang


yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap UUPK (berarti bisa
panggil QNB?);

e) Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha dan saksi-


saksi bila tidak bersedia memenuhi panggilan BPSK;

f) Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti


lain untuk proses penyelidikan dan/atau pemeriksaan;

g) Memutuskan atau menetapkan ada atau tidaknya kerugian di pihak


konsumen;

h) Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan


pelanggaran terhadap perlinkos;

i) Menjatuhi sanksi administratif (paling banyak Rp 200.000.000,-


berdasarkan Pasal 40 Kepmenperindag No. 350) kepada pelaku usaha
yang melanggar ketentuan UUPK.

Ganti rugi yang dapat digugat oleh konsumen maupun yang dapat dikabulkan
oleh BPSK adalah ganti rugi yang nyata (riil) yang dialami konsumen. Majelis
BPSK selain mengabulkan gugatan ganti kerugian nyata tersebut juga
berwenang menambahkan ganti kerugian berdasarkan sanksi administratif
dalam poin i di atas. Berdasarkan Pasal 38 Kepmenperindag, Majelis BPSK
wajib memutuskan sengketa konsumen tersebut selambat-lambatnya dalam
waktu 21 hari kerja terhitung sejak gugatan diterima oleh BPSK.

Apabila konsumen dan/atau pelaku usaha menolak putusan tersebut, maka


dapat mengajukan keberatan/banding kepada Pengadilan Negeri selambat-
lambatnya 14 hari sejak putusan tersebut diberitahukan. Namun, bila
konsumen dan pelaku usaha menerima putusan tersebut, maka pelaku usaha
wajib melaksanakan putusan tersebut selambat-lambatnya 7 hari sejak
menyatakan menerima putusan tersebut.

Putusan yang tidak diajukan keberatan oleh pelaku usaha akan dimintakan
penetapan fiat eksekusi ke Pengadilan Negeri di tempat konsumen berdomisili.
Bila pelaku usaha tidak mengajukan keberatan hingga tenggang waktu yang
diberikan, maka dianggap menerima putusan tersebut dan putusan tersebut
bersifat final memiliki kekuatan hukum tetap.

Maka, dapat disimpulkan bahwa karakteristik BPSK yaitu:

a) BPSK berwenang untuk mendengar, menentukan dan/atau memastikan


fakta-fakta mengenai sengketa yang diajukan;

b) BPSK berwenang untuk menguji kesaksian para saksi dan untuk


memaksa para saksi tersebut untuk hadir, serta berwenang untuk
mendengar keterangan para pihak lain bila diperlukan dalam
persidangan;

c) BPSK berwenang untuk menjatuhkan putusan dan/atau sanksi


hukuman kepada pihak yang kalah.

Kelemahannya yakni BPSK sendiri tidak memiliki kemampuan untuk dapat


berperan lebih aktif dalam penyelesaian persoalan sengketa konsumen. Hal ini
dikarenakan baik substansi pengaturan, prosedur, dan mekanisme
penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK tidak dapat terselesaikan
dengan baik karena ketidakharmonisan instrumen-instrumen tersebut yang
mana juga saling bertentangan. Dalam hal ini, BPSK tidak dapat berperan
dengan efektif dalam penyelesaian sengketa konsumen, khususnya mengenai
keputusan konsiliasi atau media, dan belum adanya pengaturan untuk
penetapan eksekusi.

Kelemahan lainnya yaitu dalam praktiknya, biasanya salah satu pihak tidak
menghendaki ADR dengan cara arbitrase, sehingga hal tersebut akan
menyulitkan Majelis BPSK dalam menyelesaikan sengketa di antara para pihak.
Selain itu, waktu penyelesaian sengketa secara arbitrase sebagaimana
ditentukan dalam UUPK yakni 21 hari setelah gugatan diterima, nyatanya tidak
sesuai (yang biasanya disebabkan oleh ketidakhadiran salah satu atau para
pihak dalam persidangan).

D. Perbandingan Penyelesaian Sengketa Melalui BPSK dengan Pengadilan Negeri


(Gugatan)
Sebelum menyimpulkan, perlu diketahui terlebih dahulu kelebihan dan
kekurangan penyelesaian sengketa konsumen baik melalui BPSK maupun
litigasi pengadilan negeri yaitu:

BPSK adalah Badan yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa mengenai


konsumen diluar pengadilan dengan cara melalui mediasi, arbitrase, dan
konsiliasi. Dengan demikian jika terjadi sengketa konsumen, konsumen tidak
harus berperkara melalui pengadilan saja, tetapi bisa lewat BPSK yang telah
ada dan hal ini tergantung para pihak yang bersengketa yang memutuskan
ingin melalui jalur apa. Dengan adanya jalur non litigasi atau BPSK, jadi
memudahkan bagi para konsumen untuk mengajukan perkara selain melalui
persidangan.

Adapun juga, bahwa menurut ketentuan Pasal 90 Keppres 2001, bahwa biaya
pelaksanaan tugas BPSK dibebankan pada APBN dan APBD. Sebagai upaya
untuk memudahkan konsumen menjangkau BPSK, maka dalam keputusan
Presiden tersebut, tidak dicantumkan pembatasan wilayah yurisdiksi BPSK,
sehingga konsumen dapat mengadukan masalahnya pada BPSK mana saja
yang dikehendakinya.

Yang menjadi permasalahan BPSK adalah Putusan BPSK yang bersifat final dan
mengikat masih dapat dilakukan upaya keberatan ke Pengadilan Negeri dan
putusan tersebut tidak dapat langsung dieksekusi. Lalu permohonan eksekusi
dapat dilakukan baik terhadap putusan BPSK maupun putusan keberatan,
namun UUPK tidak menyediakan peraturan yang lebih rinci berkaitan dengan
hal tersebut. Ketentuan mengenai prosedur permohonan eksekusi juga tidak
diatur secara rinci dan jelas dalam UUPK (Undang-Undang Perlindungan
Konsumen No. 8 Tahun 1999).

Pada putusan arbitrase BPSK, terdapat kendala dalam pelaksanaan


permohonan eksekusi yang disebabkan tidak adanya pencantuman irah-irah
pada putusan arbitrase BPSK tersebut. hal ini berbeda dengan putusan
arbitrase menurut Pasal 54 ayat (1) butir a UU No. 30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) yang menyatakan suatu
putusan Arbitrase harus memuat kepala putusan atau irah-irah yang berupa
“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Ketentuan Pasal 57 UUPK bertentangan dengan Pasal 4 ayat (1) Undang-


Undang No. 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 4
Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa suatu putusan harus
memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pencantuman irah-irah ini memberikan kekuatan eksekutorial pada putusan
tersebut sehingga penghapusan irah-irah mengakibatkan putusan menjadi
batal demi hukum.

Adapun melalui Gugatan Litigasi Pengadilan Negeri yang mana artinya adalah
bahwa penyelesaian sengketa dilakukan melalui jalur persidangan/Pengadilan
dan masalah sengketa ini diselesaikan di bawah naungan kehakiman. Dalam
UUD 1945 Pasal 22 menyebutkan bahwa “Sistem Kehakiman dibawah
kekuasaan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan dibawahnya.” Badan-badan
peradilan tersebut antara lain meliputi umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata
Usaha Negara, Peradilan Militer dan Mahkamah Konstitusi. Litigasi adalah
sarana akhir dari penyelesaian sengketa yang mana mempunyai kekuatan
hukum yang tetap dan mengikat terhadap pihak-pihak yang terkait dalam
sengketa. Dan putusan ada di tangan hakim.

II. LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN SWADAYA MASYARAKAT (“LPKSM”)

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 89 Tahun 2019 yang mana merupakan


perubahan terhadap PP Nomor 59 Tahun 2001 Tentang Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat “LPKSM” yang termuat di dalam Pasal 1 angka 3,
bahwa LPKSM adalah Lembaga non Pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh
Pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen.

LPKSM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) PP Nomor 89 Tahun 2019,
dapat melakukan kegiatan perlindungan konsumen di seluruh wilayah Indonesia,
asalkan terdaftar pada Pemerintah Daerah Provinsi dan bergerak di bidang
perlindungan konsumen sebagaimana tercantum dalam anggaran dasarnya.

Adapun Tugas dari LPKSM itu sendiri yang termuat di dalam Pasal 44 ayat (3) UUPK
yaitu sebagai berikut:

1. Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan


kewajiban serta kehati-hatian konsumen, dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa;

2. Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;

3. Bekerjasama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan


konsumen;

4. Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima


keluhan atau pengaduan konsumen;

5. Melakukan pengawasan Bersama Pemerintah dan masyarakat terhadap


perlindungan konsumen.

LPKSM juga Lembaga yang memiliki hak gugat (legal standing), dalam konteks litigasi
kepentingan konsumen di Indonesia. Hak gugat tersebut dapat dilakukan oleh
LPKSM yang telah memenuhi syarat yaitu bahwa LPKSM yang dimaksud telah
berbentuk badan hukum atau Yayasan yang dalam anggaran dasarnya disebutkan
dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk
kepentingan perlindungan konsumen dan LPKSM tersebut telah melaksanakan
kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 46
ayat (1) huruf c UUPK yang menyatakan:

“Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh: C. Lembaga


perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu
berbentuk badan hukum atau Yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan
dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk
kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan
anggaran dasarnya”

Oleh sebab itu, untuk dapat menggugat, LPKSM harus dapat membuktikan bahwa
dalam anggaran Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) dapat
berprofesi memberi jasa hukum. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh
suatu badan/perkumpulan/badan usaha agar dapat dikatakan sebagai Badan
hukum (rechtpersoon). Menurut doktrin ilmu hukum syarat-syarat tersebut adalah
sebagai berikut:

1. Adanya harta kekayaan yang terpisah;


2. Mempunyai tujuan tertentu
3. Mempunyai kepentingan sendiri;
4. Adanya kepengurusan/organisasi yang teratur;

Terkait dengan ketentuan mengenai kuasa untuk beracara di pengadilan dalam


Hukum Acara Perdata sebagaimana diatur dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas
dan Administrasi Pengadilan dalam Empat Lingkungan Peradilan, disampaikan
bahwa yang dapat bertindak sebagai kuasa/ wakil dari Penggugat/ Tergugat atau
Pemohon di Pengadilan adalah:

1. Advokat, sesuai dengan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003


tentang Advokat, Penasihat Hukum, Pengacara praktik dan konsultan hukum
yang telah diangkat pada saat Undang-Undang Advokat mulai berlaku
dinyatakan sebagai Advokat;
2. Jaksa dengan kuasa khusus sebagai kuasa/ wakil negara/ Pemerintah sesuai
dengan Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang No. 16 tahun 2004 Tentang
Kejaksaan RI;
3. Biro Hukum Pemerintah/ TNI/ Kejaksaan R.I;
4. Direksi/ Pengurus atau karyawan yang ditunjuk dari suatu badan hukum;
5. Mereka yang mendapat kuasa insidentil yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan
(misalnya: LBH, Hubungan Keluarga, Biro Hukum TNI/ Polri untuk perkara-
perkara yang menyangkut anggota/ keluarga TNI/ Polri;
6. Kuasa Insidentil dengan alasan hubungan keluarga sedarah/ semenda dapat
diterima sampai dengan derajat ketiga yang dibuktkan surat keterangan kepala
desa/ kelurahan.

Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa LPKSM


tidak bisa memberikan jasa bantuan hukum dan beracara di pengadilan. Karena
LPKSM bukan merupakan pihak yang memiliki kewenangan untuk bertindak sebagai
kuasa/ wakil dari penggugat/ tergugat atau pemohon untuk beracara di pengadilan
dan juga LPKSM tidak mempunyai kewenangan untuk beracara sebagaimana diatur
dalam “UUPK”. Hak yang diberikan kepada LPKSM hanyalah sebatas hak untuk
menggugat. Hak untuk menggugat dari LPKSM itu pun harus dibuktikan dengan
status Lembaga yang bersangkutan, yakni harus memenuhi persyaratan dalam Pasal
46 ayat (1) huruf c UUPK.

Ganef Judawati, Direktur Pemberdayaan Konsumen, Direktorat Jenderal


Standarisasi dan Perlindungan Konsumen Kementerian Perdagangan menegaskan
bahwa, pada Prinsipnya LPKSM mempunyai hak mengajukan gugatan berdasarkan
Pasal 46 ayat (1) huruf c UUPK, hak yang diberikan UUPK tersebut berarti bahwa
dalam perkara sengketa konsumen di Pengadilan, LPKSM hanya bisa memposisikan
diri sebagai Penggugat bukan sebagai kuasa hukum/ Advokat dari konsumen.

III. BUSINESS JUDGMENT RULE (“BJR”) TERHADAP KOMISARIS DAN DIREKSI


Menurut (Mahrus Ali) Pertanggungjawaban Pidana adalah pertanggungjawaban orang
terhadap tindak pidana yang dilakukannya, tegasnya yang dipertanggungjawabkan
itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Singkatnya, (S.R. Sianturi) menjelaskan
bahwa pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah
seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan atasnya pidana atau tidak
terhadap Tindakan yang dilakukannya itu.

Pada hakekatnya, Business Judgment Rule merupakan sebuah doktrin yang


menyatakan bahwa kebijakan direksi perseroan tidak dapat diganggu gugat dan
dapat dibenarkan meskipun menyebabkan kerugian perseroan, selama kebijakan
tersebut dilakukan demi kepentingan perseroan. Menurut Black’s Law Dictionary,
Business Judgment Rule adalah suatu peraturan yang melindungi Direksi dan
pengurus perseroan dari pertanggungjawaban atas kerugian perseroan akibat
transaksi yang dilakukan oleh Direksi dan pengurus perseroan, jika transaksi
tersebut telah dilakukan dengan itikad baik, kehati-hatian dan sesuai batas
kewenangan direksi dan pengurus perseroan.

Business Judgment Rule dalam Hukum Indonesia dijustifikasi dalam Pasal 97 ayat (5)
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang
menyatakan bahwa:

“Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana


dimaksud pada ayat (3) apabila membuktikan:

a. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;

b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk


kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;

c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung


atas Tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan

d. Telah mengambil Tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian


tersebut”

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 97 ayat (5) Undang-Undang Nomor 40 tahun


2007 tentang Perseroan Terbatas, Parameter doktrin Business Judgment Rule untuk
dapat digunakan sebagai payung hukum atas keputusan bisnis yang diambil telah
berdasarkan prinsip itikad baik (good faith) dan tanggung jawab yaitu prinsip yang
mewajibkan anggota direksi untuk dapat dipercaya dalam melaksanakan pengurusan
perseroan (fiduciary duty), melaksanakan pengurusan perseroan untuk tujuan
perseroan, loyal terhadap perseroan dan menghindari benturan kepentingan pribadi.

Pada dasarnya Komisaris memiliki fungsi sebagai pengawas atas kebijakan, jalannya
pengurusan, dan pihak yang dapat memberi nasihat kepada Direksi. Dalam
prakteknya, Komisaris memiliki batasan-batasan dalam langkahnya yang mana
ruang lingkupnya dibatasi oleh kepentingan dan maksud dan tujuan perseroan
(Pasal 108 ayat (2) UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”)).

Terkait dengan Business Judgment Rule, Anggota Komisaris dapat terlepas dari
pertanggungjawaban masalah tertentu secara pribadinya dengan 3 (tiga) alasan
mendasar sebagaimana dalam Pasal 114 ayat (5) UU PT, antara lain:
1. Telah melakukan pengawasan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk
kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;

2. Tidak mempunyai kepentingan pribadi baik langsung maupun tidak langsung


atas tindakan pengurusan Direksi yang mengakibatkan kerugian; dan

3. Telah memberikan nasihat kepada Direksi untuk mencegah timbul atau


berlanjutnya kerugian tersebut.

Hal yang menjadi dasar atas pertanggungjawaban Anggota Dewan Komisaris


sebagaimana dalam Pasal 114 ayat (3) UU PT, yang berbunyi:

“Setiap anggota Dewan Komisaris ikut bertanggung jawab secara pribadi atas
kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan
tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2)”

Sedangkan dalam hal perkara Pailit, Anggota Dewan Komisaris merupakan salah
satu pihak yang bertanggungjawab secara tanggung renteng secara pribadi untuk
membayar seluruh kewajiban Perseroan akibat dari Pailit tersebut. Namun, dalam
Pasal 115 ayat (3) disebutkan bahwa terdapat 4 (empat) alasan yang dapat
melepaskan Anggota Dewan Komisaris dari tanggungjawabnya atas kepailitan yang
terjadi, antara lain:

1. Kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;

2. Telah melakukan tugas pengawasan dengan itikad baik dan kehati-hatian


untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan
Perseroan;

3. Tidak mempunyai kepentingan pribadi, baik langsung maupun tidak langsung


atas tindakan pengurusan oleh Direksi yang mengakibatkan kepailitan; dan

4. Telah memberikan nasihat kepada Direksi untuk mencegah terjadinya


kepailitan.

Mengingat PT Cowell Development Tbk merupakan suatu Perusahaan Terbuka,


terhadap Komisaris memiliki 4 dasar yang dapat melepaskan tanggung jawabnya
atas kerugian Emiten atau Perusahaan Publik, sebagaimana dalam Pasal 13 ayat (2)
Peraturan OJK Nomor 33/POJK.04/2014 tentang Direksi dan Dewan Komisaris
Emiten atau Perusahaan Publik (“POJK Direksi dan Dewan Komisaris”), yang
berbunyi:

“(2) Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian Emiten atau
Perusahaan Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila dapat membuktikan:

a. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;

b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, penuh tanggung jawab, dan
kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Emiten
atau Perusahaan Publik;

c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung


atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian
tersebut”

Pertanggungjawaban dalam Pasal 13 ayat (2) tersebut memang ditujukan kepada


Direksi, namun dalam Pasal 29 POJK Direksi dan Dewan Komisaris menjelaskan
bahwa ketentuan tersebut juga bersifat mutatis mutandis yang dapat berlaku
terhadap Dewan Komisaris, yang mana bunyinya adalah sebagai berikut:

“Ketentuan mengenai pertanggungjawaban Direksi sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 13 mutatis mutandis berlaku bagi Dewan Komisaris”

Anda mungkin juga menyukai