Anda di halaman 1dari 28

CASE REPORT

ULKUS KORNEA

Penulis

Ilham Masdar Apriansyah


011713143026

Pembimbing Diskusi :
dr., Ismi Zuhria Sp.M(K)

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN


MATA RSUD DR SOETOMO SURABAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
AIRLANGGA SURABAYA
2019
DAFTAR ISI

HALAMAN COVER i
DAFTAR ISI ii
DAFTAR GAMBAR iii
DAFTAR TABEL iv
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 LATAR BELAKANG 1
1.2 TUJUAN 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2
2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI KORNEA 2
2.1.1 ANATOMI KORNEA 2
2.1.2 FISIOLOGI KORNEA 3
2.2 KERATITIS 3
2.2.1 Definisi 3
2.2.2 Epidemologi 4
2.2.3 Patofiologi 4
2.2.4 Faktor risiko 6
2.2.5 Jenis Keratitis 6
2.2.6 Gejala Klinis 11
2.2.7 Pemeriksaan fisik dan diagnostik 12
2.2.8 Penatalaksanaan 12
2.2.9 Komplikasi 15
2.2.10 Prognosis 15
BAB III LAPORAN KASUS 16
3.1 IDENTITAS PASIEN 16
3.2 ANAMNESIS 16
3.3 PEMERIKSAAN FISIK 17
3.4 FOTO KLINIS 18
3.5 PROBLEM LIST 18
3.6 ASSESMENT 19
3.7 PLANNING 19
BAB IV PEMBAHASAN 20
BAB V PENUTUP 22
DAFTAR PUSTAKA 23
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Anatomi kornea 3


Gambar 3.1 Okuli sinistra pasien pada pemeriksaan slit Lamp
1
8
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Terapi keratitis 28


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Kornea merupakan berfungsi sebagai pelindung dan merupakan jendela
untuk cahaya dapat masuk hingga retina. Salah satu penyakit yang sering terjadi
pada kornea adalah kertatitis. Keratitis merupakan salah satu masalah pada mata
yang disebabkan oleh banyak hal dan menjadi masalah di dunia maupun di
Indonesia. Di amerika, keratitis terjadi pada 5% kejadian penyakit mata. Insidens
keratitis di negara-negara berkembang mencapai 5-20 kejadian per 100.000
penduduk tiap tahunnya dan terus emakin meningkat.
Keratitis disebabkan oleh mikroorganisme maupun banyak faktor
lainnya. Penyebab keratitis mulai dari bakteri, virus, jamur, parasite hingga
faktor-faktor eksternal lainya seperti lagoftalmus ataupun trauma. Penyebab lain
yang sering terjadi adalah infeksi akibat penggunaan lensa kontak. Kejadian
menggunaan lensa kontak mencapai 2-4 infeksi per 100.000 penduduk.
Penanganan keratitis dapat dilakukan dengan baik melalui pengobatan
yang berkembang dengan baik di jaman sekarang. Namun menghindari penyebab
adalah hal utama yang perlu diperhatikan agar dapat mengurangi infeksi pada
kornea.

1.2 TUJUAN
Tujuan penulisan laporan ini adalah untuk melakukan diagnosis dan
penatalaksanaan kasus erosi kornea dengan benar.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI KORNEA


2.1.1 Anatomi Kornea
Kornea merupakan bagian terluar dari bola mata. Kornea berupa lapisan
membrane yang transparan berbentuk bulat dan melekat pada sklera. Kekuatan kornea
43 dioptri. Ukuran tebal kornea kira-kira 0.54 mm dibagian sentral dan 0,65 mm di
perifer. Diameter kornea kira-kira 11,5 mm pada orang dewasa.
Secara histologis kornea terdiri dari 5 lapisan:

Gambar 2.1 Anatomi kornea

1. Epitelium
Sel epitel merupakan bagian terluar yang terdiri dari sel kubus dibagian tengah
dan semakin ke tepi semakin pipih, terdiri dari5-6 lapis sel yang akan
beregenerasi dalam waktu 5-7 hari.
2. Membran bowman
Membrane aseluler, jernih dan dianggap sebagai modifikasi stroma dan mulai
muncul saat usia 4 bulan.
3. Stroma
Terdiri dari selaput kolagen yang tersusun rapi, diameter serabut kornea 1 mikro
meter terletak antara proteoglikan dan sel keratosit. Stroma menyusun 90% dari
kornea.
4. Membran desement
Membrane jernih, elastis dan merupakan membrane yang berasal
dari endothelium. Membrane ini sangat dulit untuk ditembus oleh
mikroorganisme.
5. Endothelium
Lapisan sel yang tidak mempunyai kemampuan regenerasi sehingga akan rusak
jika terkena trauma.

2.1.2 FISIOLOGI KORNEA


Kornea secara umum berfungsi sebagai barier pelindung dan jendela untuk
masuknya cahaya menuju retina. Kornea yang transparan didapatkan melalui
strukturnya yang seragam, tanpa vascular dan relatif dehidrasi. Dehidrasi dari kornea
di pertahankan oleh endothelium, melalui mekanisme, barrier oleh epiteliun dan
endothelium, penguapan oleh epitelium dan pumpa bikarbonat oleh endothelium.
Endothelium rusak kornea akan mengalami kekeruhan dan edema, hal tersebut
diperparah karena fungsi regenerasi endothelial sangat buruk. Kerusakan pada
epitelium dapat juga menyebabkan edema lokal pada stroma, namun dapat tertangano
karena kemampuan regenerasinya yang baik. adanya hipertonisitas dari lapisan air
mata membuat cairan tertarik keluar dan menjaga ke dehidrasian dari kornea.
Penggunaan obat pada kornea juga membutuhkan teknik tertentu. Epitel kornea
bersifat fat-soulable dan stroma bersifat water-soulable. Oleh sebab itu jika ingin
menembus kornea obat harus memiliki kemampuan larut air maupun lemak.

2.2 KERATITIS
2.2.1 Definisi
Keratitis adalah keadaan dimana kondisi kornea yang seharusnya jernih,
berbentuk seperti kubah menjadi bengkak dan terjadi inflamasi sehingga mata
menjadi merah, nyeri maupun adanya pengurangan visus. Keratitis juga sering disebut
dengan ulkus kornea (Schwab IR 1994).
2.2.2 Epidemiologi Keratitis
Keratitis tidak menjadi 5 penyakit target WHO yang menyebabkan
kebutaan. Sehingga sebagian besar data-data yang didapatkan berasal dari penelitian
publikasi individu. Meskipun begitu bacterial keratits termasuk salah satu penyakit
yang dapat menyebabkan kekeruhan pada kornea. Kejadian keratitis bakterial
tergantung pada letak lokasi geografis dan cuaca lokal. Sebagai contoh di amerika
didapatkan 11 dari 100.000 penduduk yang menderita keratitis. Sedangkan di Nepal
didapatkan 799 dari 100.000 penduduk yang menderita keratitis. Peningkatan
penyebab keratitis yang paling banyak terdapat pada penggunaan lensa kontak.
Peningkatan terjadi dari 0% di tahun 1960 menjadi 52% di tahun 1990an (Al-Mujaini
et al, 2009).

2.2.3 Patofisiologi
Bila pertahanan normal pada mata seperti epitel kornea mengalami gangguan,
resiko terjadinya infeksi sangat tinggi. Penyebab yang mungkin seperti trauma
langsung pada kornea, penyakit alis mata yang kronis, abnormalitas tear film yang
mengganggu keseimbangan permukaan bola mata dan trauma hipoksia akibat
pemakaian lensa kontak.
Koloni bakteri patologi pada lapisan kornea bersifat antigen dan akan melepaskan
enzim dan toksin. Hal ini akan mengaktifkan reaksi antigen antibodi yang mengawali
proses inflamasi. Sel-sel PMN pada kornea akan membentuk infiltrat. PMN berfungsi
memfagosit bakteri. Lapisan kolagen stroma dihancurkan oleh bakteri dan enzim
leukosit dan proses degradasi berlanjut meliputi nekrosis dan penipisan. Karena
penipisan lapisan ini, dapat terjadi perforasi menyebabkan endoftalmitis. Bila kornea
telah sembuh, dapat timbul jaringan sikatrik yang menyebabkan penurunan tajam
penglihatan. Bakteri gram positif lebih banyak menjadi penyebab infeksi bakterialis
di dunia bagian selatan. Psaeudomonas aeruginosa paling banyak ditemukan pada
ulkus kornea dan keratitis karena lensa kontak.
Terbentuknya ulkus pada kornea mungkin banyak ditentukan oleh adanya
kolagenase yang dibentuk oleh sel epitel baru dan sel radang. Dikenal ada 2 bentuk
tukak pada kornea, yaitu sentral dan marginal/perifer.
Tukak kornea sentral disebabkan oleh infeksi bakteri, jamur, dan
virus. Sedangkan perifer umumnya disebabkan oleh reaksi toksik, alergi, autoimun,
dan infeksi. Infeksi pada kornea perifer biasanya disebabkan oleh kuman Stafilokok
aureus, H. influenza, dan M. lacunata. (Sissons, C 2017)
Patologi ulkus kornea tanpa perforasi dibagi dalam 4 Fase :
1. Fase Infiltrasi Progresif
Karakteristik dari tingkat ini aialah infiltrasi sel – sel PMN dan atau
limfosit ke dalam epitel dari sirkulasi perifer. Selanjutnya dapat terjadi
nekrosis dari jaringan yang terlibat bergantung virulensi agen dan pertahanan
tubuh host.
2. Fase Ulserasi Aktif
Ulserasi aktif merupakan hasil dari nekrois dan pengelupasan epitel,
membran Bowman, dan stroma yang terlibat. Selama fase ulserasi aktif
terjadi hiperemia yang mengakibatkan akumulasi eksudat purulen di kornea.
Jika organisme penyebab virulensinya tinggi atau pertahanan tubuh host
lemah akan terjadi penetrasi yang lebih dalam selama fase ulserasi aktif.
3. Fase Regresi
Regresi ditimbulkan oleh sistem pertahanan natural (antibodi humoral
dan pertahanan seluler) dan terapi yang memperbesar respon host normal.
Garis batas yang merupakan kumpulan leukosit mulai timbul di sekitar ulkus,
lekosit ini menetralisir bahkan memfagosit organisme debris seluler. Proses
ini disertai vaskularisasi superfisial yang yang meningkatkan respon imun
humoral dan seluler. Ulkus mulai menyembuh dan epitel mulai tumbuh dari
tepi ulkus.
4. Fase Sikatrisasi
Pada fase ini penyembuhan berlanjut dengn epitelisasi progresif yang
membentuk sebuah penutup permanen. Di bawah epitel baru terbentuk
jaringan fibrosa yang sebagain berasal dari fibroblas kornea dan sebagian lagi
berasal dari sel endotel pembuluh darah baru. Stroma menebal dan
mendorong permukaan epitel ke anterior. Derajat sikatrik bervariasi, jika
ulkus sangat superfisial dan hanya melibatkan epitel maka akan menyembuh
sempurna tanpa bekas. Jika ulkus melibatkan memran Bowman dan sedikit
lamela stroma superficial maka akan terbentuk sikatrik yang disebut
“nebula”. Apabila ulkus melibatkan hingga lebih dari sepertiga stroma akan
membentuk “makula”dan “leukoma”.

2.2.4 Faktor Risiko


Faktor resiko
kuat
Faktor resiko pertama yang sering adalah lensa kontak. Penggunaan lensa
kontak berhubungan dengan 19%-42% kejadian infeksi kornea. Penggunaan
lensa kontak semalaman dan kebersihan yang kurang meningkatkan resiko
infeksi (Kozak A et al, 2017). Selanjutnya ada beberapa resiko lain seperti
trauma, erosi, recurrent erosi, immunokopromise dan penyakit autoimun.
Faktor resiko lemah
Selain itu ada juga beberapa faktor resiko lain yang mungkin saja perlu
dipikirkan seperti trikiasis, blefaritis, mata kering, fungsi papebra yang buruk,
penyakit herpes sebelumnya, keratitis karena ekspos, kontaminasi air kotor,
topical korticostroid, topical anastesi, operasi sebelumnya dan kontaminasi bahan
asing. (Epocrates 2017)

2.2.5 Tipe Keratitis


Jenis dibagi 2 berdasarkan sumbernya:
1. non infeksius: lebih disebabkan oleh faktor-faktor eksternal yang
bukan berupa mikroorganisme:
a. Penggunaan lensa kontak yang lama
b. Mata kering karena tidak menghasilkan airmata
c. Alergi pada kosmetik dan polutan
d. Adanya benda asing
e. Ekspos yang intensif pada sinar UV
f. Vit A defisiensi
2. Infeksius
a. Bakterial, paling banyak disebabkan karena lensa kontak yang tidak bersih
b. Fungi, kebanyakan disebabkan oleh karena terkena pohon
ataupun tanaman lain
c. Virus, karena infeksi virus herpes simpleks ataupun herpes zoster
d. Parasit, terkena infeksi karena berenang di sungai atau di danau
(Sissons, C 2017).
Berdasarkan letak ulkus kornea dibagi menjadi 2:
1. Ulkus Kornea Sentral
Ulkus kornea sentral dapat disebabkan oleh pseudomonas, streptococcus,
pneumonia, virus, jamur, dan alergi. Pengobatan ulkus kornea secara umum
adalah dengan pemberian antibiotika yang sesuai dan sikloplegik.
Pembentukan parut akibat ulserasi kornea adalah penyebab utama kebutaan
dan gangguan penglihatan di seluruh dunia. Kebanyakan gangguan
penglihatan ini dapat dicegah, namun hanya bila diagnosis penyebabnya
ditetapkan secara dini dan diobati secara memadai. Ulserasi supuratif sentral
dahulu hanya disebabkan oleh S pneumonia. Tetapi akhir-akhir ini sebagai
akibat luasnya penggunaan obat-obat sistemik dan lokal (sekurang-kurangnya
di negara-negara maju), bakteri, fungi, dan virus opurtunistik cenderung lebih
banyak menjadi penyebab ulkus kornea daripada S pneumonia.
- Ulkus kornea sentral dengan hipopion
Ulkus sentral biasanya merupakan ulkus infeksi akibat kerusakan pada
epitel. Lesi terletek di sentral, jauh dari limbus vaskuler. Hipopion biasanya
(tidak selalu) menyertai ulkus. Hipopion adalah pengumpulan sel-sel
radang yang tampak sebagai lapis pucat di bagian bawah kamera anterior
dan khas untuk ulkus sentral kornea bakteri dan fungi. Meskipun hipopion
itu steril pada ulkus kornea bakteri, kecuali terjadi robekan pada membran
descemet, pada ulkus fungi lesi ini mungkin mengandung unsur fungi.
- Ulkus Kornea Bakterialis
Ulkus kornea yang khas biasanya terjadi pada orang dewasa yang
bekerja di bidang konstruksi, industri, atau pertanian yang memungkinkan
terjadinya cedera mata. Terjadinya ulkus biasanya karena benda asing yang
masuk ke mata, atau karena erosi epitel kornea. Dengan adanya defek
epitel, dapat terjadi ulkus kornea yang disebabkan oleh mikroorganisme
patogen yang terdapat pada konjungtiva atau di dalam kantong lakrimal.
Banyak jenis ulkus kornea bakteri mirip satu sama lain dan hanya bervariasi
dalam beratnya penyakit. Ini terutama berlaku untuk ulkus yang disebabkan
bakteri oportunitik (misalnya Streptococcus alfa-hemolyticus,
Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Nocardia, dan M
fortuitum-chelonei), yang menimbulkan ulkus indolen yang cenderung
menyebar perlahan dan superficial.
Ulkus sentral yang disebabkan Streptococcus beta-hemolyticus tidak
memiliki ciri khas. Stroma kornea disekitarnya sering menunjukkan
infiltrat dan sembab, dan biasanya terdapat hipopion yang berukuran
sedang. Kerokan memperlihatkan kokus gram (+) dalam bentuk rantai.
Obat-obat yang disarankan untuk pengobatan adalah Cefazolin, Penisillin
G, Vancomysin dan Ceftazidime.
Ulkus kornea sentral yang disebabkan Staphylococcus aureus,
Staphylococcus epidermidis, dan Streptococcus alfa-hemolyticus kini lebih
sering dijumpai daripada sebelumnya, banyak diantaranya pada kornea
yang telah terbiasa terkena kortikosteroid topikal. Ulkusnya sering indolen
namun dapat disertai hipopion dan sedikit infiltrat pada kornea sekitar.
Ulkus ini sering superficial, dan dasar ulkus teraba padat saat dilakukan
kerokan. Kerokan mengandung kokus gram (+) satu-satu, berpasangan,
atau dalam bentuk rantai. Keratopati kristalina infeksiosa telah ditemukan
pada pasien yang menggunakan kortikosteroid topikal jangka panjang,
penyebab umumnya adalah Streptococcus alfa-hemolyticus.
- Ulkus Kornea Fungi
Ulkus kornea fungi, yang pernah banyak dijumpai pada pekerja
pertanian, kini makin banyak diantara penduduk perkotaan, dengan
dipakainya obat kortikosteroid dalam pengobatan mata. Sebelum era
kortikosteroid, ulkus kornea fungi hanya timbul bila stroma kornea
kemasukan sangat banyak mikroorganisme. Mata yang belum terpengaruhi
kortikosteroid masih dapat mengatasi masukkan mikroorganisme sedikit-
sedikit.
- Ulkus kornea akibat jamur (fungi)
Ulkus fungi itu indolen, dengan infiltrate kelabu, sering dengan
hipopion, peradangan nyata pada bola mata, ulserasi superficial, dan lesi-
lesi satelit (umumnya infiltrat, di tempat-tempat yang jauh dari daerah
utama laserasi). Lesi utama merupakan plak endotel dengan tepian tidak
teratur dibawah lesi kornea utama, disertai dengan reaksi kamera anterior
yang hebat dan abses kornea.
Kebanyakan ulkus fungi disebabkan organisme oportunistik seperti
Candida, Fusarium, Aspergillus, Penicillium, Cephalosporium, dan lain-
lain. Tidak ada ciri khas yang membedakan macam-macam ulkus fungi ini.
Kerokan dari ulkus kornea fungi, kecuali yang disebabkan Candida
umumnya mengandung unsur-unsur hifa; kerokan dari ulkus Candida
umumnya mengandung pseudohifa atau bentuk ragi, yang menampakkan
kuncup-kuncup khas.
- Ulkus Kornea Virus
A. Keratitis Herpes Simpleks
Keratitis herpes simpleks ada dua bentuk yaitu primer dan
rekurens. Keratitis ini adalah penyebab ulkus kornea paling umum dan
penyebab kebutaan kornea paling umum di Amerika. Bentuk
epitelialnya adalah padanan dari herpes labialis yang memiliki ciri-ciri
imunologik dan patologik sama juga perjalanan penyakitnya. Perbedaan
satu-satunya adalah bahwa perjalanan klinik keratitis dapat berlangsung
lama karena stroma kurang vaskuler sehingga menghambat migrasi
limfosit dan makrofag ke tempat lesi. Penyakit stroma dan endotel
tadinya diduga hanyalah respons imunologik terhadap partikel virus atau
perubahan seluler akibat virus, namun sekarang makin banyak bukti
yang
menunjukkan bahwa infeksi virus aktif dapat timbul di dalam stroma dan
mungkin juga sel-sel endotel selain di jaringan lain dalam segmen
anterior seperti iris dan endotel trabekel. Kortikosteroid topikal dapat
mengendalikan respons peradangan yang merusak namun memberi
peluang terjadinya replikasi virus.
B. Keratitis Virus Varicella-Zoster
Infeksi virus varicella-zoster (VZV) terjadi dalam dua bentuk
yaitu primer (varicella) dan rekurens (zoster). Manifestasi pada mata
jarang terjadi pada varicella namun sering pada zoster oftalmik. Berbeda
dari keratitis HVS rekurens yang umumnya hanya mengenai epitel,
keratitis VZV mengenai stroma dan uvea anterior pada awalnya. Lesi
epitelnya keruh dan amorf kecuali kadang-kadang ada
pseudodendritlinier yang sedikit mirip dendrit pada keratitis HSV.
Kekeruhan stroma disebabkan oleh edema dan sedikit infiltrat sel yang
awalnya hanya subepitel. Kehilangan sensasi kornea selalu merupakan
ciri mencolok dan sering berlangsung berbulan-bulan setelah lesi kornea
tampak sembuh. Acyclovir intravena dan oral telah dipakai dengan hasil
baik untuk mengobati herpes zoster oftalmik. Kortikosteroidtopikal
mungkin diperlukan untuk mengobati untuk mengobati keratitis berat,
uveitis dan glaukoma sekunder.
2. Ulkus Kornea Perifer
- Ulkus Dan Infiltrat Marginal
Kebanyakan ulkus kornea marginal bersifat jinak namun sangat sakit.
Ulkus ini timbul akibat konjungtivitis bakteri akut atau menahun khususnya
blefarokonjungtivitis stafilokokus. Ulkus timbul akibat sensitisasi terhadap
produk bakteri, antibodi dari pembuluh limbus bereaksi dengan antigen yang
telah berdifusi melalui epitel kornea. Infiltrat dan ulkus marginal mulai
berupa infiltrat linier atau lonjong terpisah dari limbus oleh interval bening
dan hanya pada akhirnya menjadi ulkus dan mengalami vaskularisasi. Proses
ini sembuh sendiri umumnya setelah 7 sampai 10 hari. Terapi terhadap
blefaritis umumnya dapat mengatasi masalah ini, untuk beberapa kasus
diperlukan kortikosteroid topikal untuk mempersingkat perjalanan penyakit
dan mengurangi gejala. Sebelum mamekai kortikosteroid perlu dibedakan
keadaan ini yang dulunya dikenal sebagai ulserasi kornea catarrhal dari
keratitis marginal.
- Ulkus Mooren

Penyebab ulkus mooren belum diketahui namun diduga autoimun.


Ulkus ini termasuk ulkus marginal. Pada 60-80 kasus unilateral dan
ditandai ekstravasi limbus dan kornea perifer yang sakit dan progresif dan
sering berakibat kerusakan mata. Ulkus mooren paling sering terdapat pada
usia tua namun agaknya tidak berhubungan dengan penyakit sistemik yang
sering diderita orang tua. Ulkus ini tidak responsif terhadap antibiotik
maupun kortikosteroid. Belakangan ini telah dilakukan eksisi konjungtiva
limbus melalui bedah dalam usaha untuk menghilangkan substansi
perangsang. Keratoplasi tektonik lamelar telah dipakai dengan hasil baik
pada kasus tertentu. Terapi imunosupresif sistemik ada manfaatnya untuk
penyakit yang telah lanjut.

2.2.6 Gejala Klinis


Gejala klinis pada pasien dengan ulkus kornea sangat bervariasi,
tergantung dari penyebab dari ulkus itu sendiri. Gejala dari ulkus kornea yaitu
nyeri yang ekstrirn oleh karena paparan terhadap nervus, oleh karena kornea
memiliki banyak serabut nyeri, kebanyakan lesi kornea menimbulkan rasa sakit
dan fotopobia. Rasa sakit ini diperhebat oleh gesekan palpebra (terutama
palpebra superior) pada kornea dan menetap sampai sembuh. Karena kornea
berfungsi sebagai jendela bagi mata dan membiaskan berkas cahaya, lesi kornea
umumnya agak mengaburkan penglihatan terutama jika letaknya di pusat.
Fotopobia pada penyakit kornea adalah akibat kontraksi iris beradang yang
sakit. Dilatasi pembuluh darah Ms adalah fenomena refleks yang disebabkan
iritasi pada ujung saraf kornea. Fotopobia yang berat pada kebanyakan penyakit
kornea, minimal pada keratitis herpes karena hipestesi terjadi pada penyakit ini,
yang juga merupakan tanda diagnostik berharga. Meskipun berairmata dan
fotopobia umunnya menyertai penyakit kornea.
Tanda penting ulkus kornea yaitu penipisan kornea dengan defek pada
epitel yang nampak pada pewarnaan fluoresen. Biasanya juga terdapat tanda-
tanda uveitis anterior seperti miosis, aqueus flare (protein pada humor aqueus)
dan kemerahan pada mata. Refleks axon berperan terhadap pembentukan
uveitis, stimulasi reseptor nyeri pada kornea menyebabkan pelepasan mediator
inflamasi seperti prostaglandin, histamine dan asetilkolin. Pemeriksaan
terhadap bola mata biasanya eritema, dan tanda-tanda inflamasi pada kelopak
mata dan konjungtiva, injeksi siliaris biasanya juga ada. Eksudat purulen dapat
terlihat pada sakus konjungtiva dan pada permukaan ulkus, dan infiltrasi stroma
dapat menunjukkan opasitas kornea berwarna krem. Ulkus biasanya berbentuk
bulat atau oval, dengan batas yang tegas. Pemeriksaan dengan slit lamp dapat
ditemukan tanda- tanda iritis dan hipopion.

2.2.7 Pemeriksaan fisik dan Diagnosis


Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan mata.
Pemeriksaan diagnosis yang biasa dilakukan adalah:
- Anamnesis
Dari riwayat anamnesis, didapatkan adanya gejala subjektif yang
dikeluhkan oleh pasien, dapat berupa mata nyeri, kemerahan, penglihatan
kabur, silau jika melihat cahaya, kelopak terasa berat. Yang juga harus
digali ialah adanya riwayat trauma, kemasukan benda asing, pemakaian
lensa kontak, adanya penyakit vaskulitis atau autoimun, dan penggunaan
kortikosteroid jangka panjang.
- Pemeriksaan Fisik
- Ketajaman penglihatan
- Tes refraksi
- Pemeriksaan slit-lamp
- Keratometri (pengukuran kornea)
- Respon refleks pupil
- Goresan ulkus untuk analisis atau kultur
- Pewarnaan kornea dengan zat fluoresensi

2.2.8 Penatalaksanaan

Tabel 2.1 Terapi keratitis

Penatalaksanaan keratitis / ulkus kornea bergantung pada tipe dan


keparahan penyakit. Terapi dapat menggunakan obat-obatan mulai antibiotic
untuk bacterial hingga anti fungal untuk fungi. Pengobatan pada ulkus kornea
bertujuan menghalangi hidupnya bakteri dengan antibiotika, dan mengurangi
reaksi radang dengan steroid. Sampai saat ini pengobatan dengan steroid masih
kontroversi. Secara umum ulkus diobati sebagai berikut :
- Bila terdapat ulkus yang disertai dengan pembentukan secret yang banyak,
jangan dibalut karena dapat menghalangi pengaliran secret infeksi dan
memberikan media yang baik untuk perkembangbiakan kuman penyebabnya.
- Sekret yang terbentuk dibersihkan 4 kali sehari
- Antisipasi kemungkinan terjadinya glaucoma sekunder
- Diberi antibiotika yang sesuai dengan kausa. Biasanya cukup diberi lokal
kecuali pada kasus yang berat.
Terkadang steroid juga dapat digunakan untuk mengurangi inflamasi
pada keratitis..Terapi kortikosteroid pada peradangan kornea masih kontroversi.
Telah diketahui bahwa pada keratitis telah terjadi kerusakan jaringan baik oleh
karena efek langsung enzim litik dan toksin yang dihasilkan oleh organisme
pathogen serta kerusakan yang disebabkan oleh reaksi inflamasi oleh karena
mikroorganisme. Reaksi inflamasi supuratif terutama banyak sel
polimorfonuklear leukosit. Neutrofil mampu menyebabkan destruksi jaringan
oleh metabolit radikal bebasnya maupun enzim proteolitiknya. Alasan yang
masuk akal penggunaan kortikosteroid yaitu untuk mencegah destruksi jaringan
yang disebabkan oleh neutrofil tersebut. Berikut adalah kriteria pemberian
kortikosteroid yang direkomendasikan :
- Kortikosteroid tidak boleh diberikan pada fase awal pengobatan hingga
organisme penyebab diketahui dan organisme tersebut secara in vitro sensitif
terhadap antibiotik yang telah digunakan.
- Pasien harus sanggup datang kembali untuk kontrol untuk melihat respon
pengobatan.
- Tidak ada kesulitan untuk eradikasi kuman dan tidak berkaitan dengan
virulensi lain.
Di samping itu, adanya respon yang memuaskan terhadap pemberian
antibiotik sangat dianjurkan sebelum memulai pemberian kortikosteroid.
Kortikosteroid tetes dapat dimulai dengan dosis sedang (prednisolon asetat atau
fosfat 1% setiap 4-6 jam), dan pasien harus dimonitor selama 24-48 jam setelah
terapi awal. Jika pasien tidak menunjukkan efek samping, frekuensi pemberian
dapat ditingkatkan dengan periode waktu yang pendek kemudian dapat di
tapering sesuai dengan gejala klinik.
Pengobatan dihentikan bila sudah terjadi epitelisasi dan mata terlihat
tenang, kecuali bila penyebabnya pseudomonas yang memerlukan pengobatan
tambahan 1-2 minggu. Pada tukak kornea dilakukan pembedahan atau
keratoplasti apabila dengan pengobatan tidak sembuh atau terjadinya jaringan
parut yang mengganggu penglihatan. Pada kornea yang telah parah dapat
dilakukan keratoplasti (Kozak A et al, 2017). Perlu diingat bahwa keratitis
penanganannya perlu segera dilakukan walaupun tidak emergensi, untuk
mengurangi resiko semakin parah dan komplikasi yang ditimbulkan

2.2.9 Komplikasi
Ulkus kornea dapat berkomplikasi dengan terjadinya perforasi kornea walaupun
jarang. Hal ini dikarenakan lapisan kornea semakin tipis dibanding dengan normal
sehingga dapat mencetuskan terjadinya peningkatan tekanan intraokuler. Jaringan
parut kornea dapat berkembang yang pada akhirnya menyebabkan penurunan parsial
maupun kompleks juga dapat terjadi, glaukoma dan katarak. Terjadinya
neovaskularisasi dan endoftalmitis, penipisan kornea yang akan menjadi
perforasi, uveitis, sinekia anterior, sinekia posterior, glaucoma dan katarak juga bisa
menjadi salah satu komplikasi dari penyakit ini.

2.2.10 Prognosis
Prognosis dari ulkus kornea tergantung dari cepat lambannya pasien mendapat
pengobatan, jenis mikroorganisme penyebab, dan adanya penyulit maupun
komplikasi. Ulkus kornea biasanya mengalami perbaikan tiap hari dan sembuh
dengan terapi yang sesuai. Jika penyembuhan tidak terjadi atau ulkus bertambah
berat, disgnosis dan terapi alternatif harus dipertimbangkan.
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. H
Usia : 70 tahun
Alamat : Surabaya
Pekerjaan : Tidak bekerja
Tanggal Pemeriksaan : 7 Agustus 2019

3.1.1 Riwayat Penyakit Sekarang :

3.2 ANAMNESIS (HETEROANAMSESIS)


3.2.1 Keluhan utama : Mata kiri timbul putih

Pasien rujukan dari RS muhammadiyah lamongan dengan OS


ulkus kornea. Pasien mengelukan mata kiri muncul putih sejak 2 minggu
yang lalu muncul pertama kecil dan perlahan-lahan semakin meluas dan
semakin menggangu pandangan. Sebelumnya pasien merasakan
kelilipan benda asing saat naik motor dibonceng anaknya namun pasien
tidak mengetahui benda apa yang masuk ke dalam matanya, setelah itu
langsung dibilas dengan air. Keesokan harinya pasien merasakan gatal
pada mata pasien. 2 hari kemudian merasakan nyeri pada matanya. Nyeri
semakin hari semakin bertambah dan kemudian keluar cairan dari mata pasien
yang kental. Nyeri bertambah ketika pasien melihat sinar atau dalam keadaan
yang sangat terang.
3.2.2 Riwayat penyakit dahulu :
DM (-) , HT (-), Trauma (-).
Riwayat menderita herpes zoster diobati di mantri
Riwayat operasi (-) riwayat operasi mata (-) riwayat penyakit mata (-)

3.2.3 Riwayat Alergi : Tidak didapatkan


3.2.4 Riwayat penyakit keluarga :Tidak didapatkan
3.2.5 Riwayat Psikososial : Pasien mengaku merokok 1 pax/hari. Alkohol (-)
3.2.6 Riwayat kacamata : tidak menggunakan

3.3 PEMERIKSAAN FISIK


3.3.1 Status Generalis
GCS : 456
Tensi : 120/82

Nadi : 96x/menit

RR : 20x/menit

Suhu : 36.9o

3.3.2 Status Lokalis

Ocular Dextra Pemeriksaan Ocular Sinistra

5/60 Visus LP(-)

Palpasi N TIO Palpasi N


Segmen Anterior

Edema (-), spasme (-)


Edema (-), spasme (-) Palpebra Lagoftalmus (+)

Hiperemis (-) Konjungtiva Hiperemis (-)

Jernih (-) fl (+) test 6mm


Kornea x 4mm, inferior perifer
Jernih (+) hingga ke sentral
sedalam stroma

Dalam Bilik Mata Depan Dalam, hipopion 3mm

Radier Iris Radier

Bulat, 3mm, RC (+) Pupil Bulat, 3mm, RC (+)

Jernih mininal Lensa Jernih minimal


3.4 FOTO KLINIS PASIEN

Gambar 3.1 Okuli sinistra pasien pada pemeriksaan slit Lamp

3.5 PROBLEM LIST


1. Mata kiri timbul putih muncul sejak 2 minggu semakin meluas
2. Nyeri, cekot-cekot, epifora, tidak bisa membuka
3. Visus mata kiri lp (-)
4. Terdapat hipopion
5. Pemeriksaan slit lamp terdapat ulkus kornea

3.6 ASSESMENT
OS ulkus kornea cum hipopion
3.7 PLANNING
3.7.1 Diagnostik
Scraping, Pemeriksaan KOH, Kultur
3.7.1 Terapi
MRS
Inj. Ceftriaxone 2x1 gram IV
Moxifloxacin ed oh dd gtt 1 OD
Natamycin ed oh dd gtt 1 OD
Atropin ed 2 dd gtt 1 OD
Asam Mefenamat 3x1
3.7.2 Monitoring
Nyeri
Hipopion
Visus
Kemampuan membuka mata
Segmen Anterior
BAB IV

PEMBAHASAN

Keratitis merupakan penyakit terjadinya inflamasi pada kornea yang diakibatkan


oleh banyak hal. Pada kasus ini, pasien berjenis kelamin laki - laki dan berusia 70 tahun.
Pasien menyatakan keluhannya muncul putih pada matanya. Dari keluhan utama saja
belum dapat diketahui apa penyebabnya dan perlu anamnesis lebih lanjut untuk
mengetahuinya. Anamnesis pasien pada kasus ini didapatkan keluhan mata putih yang
awalnya kecil namun semakin lama semakin melebar dan mengganggu pandangannya.
Apabila menghadapi keluhan penurunan visus perlahan seperti pada pasien ini, perlu
dipikirkan beberapa diagnosis banding. Keluhan penurunan visus secara perlahan tanpa
ada keluhan mata merah menyingkirkan semua diagnosis penyakit mata dengan
penurunan visus akut, seperti keratitis dan uveitis. Keluhan penurunan visus juga tidak
diikuti keluhan melihat kilatan cahaya, pandangan seperti tertutup tirai, dan titik-titik
hitam atau benang-benang berterbangan yang menyingkirkan ablasio retina. Dari
anamnesis lebih lanjut ditemukan bahwa pasien sebelumnya menderita herpes zoster 1
bulan yang lalu. Dan didapatkan mata tidak dapat menutup 1 bulan terakhir. Pasien juga
tidak pernah berkunjung ke dokter atas keluhannya yang tidak bisa menutup mata. Pasien
selama terkena herpes zoster tidak mendapat pengobatan yang adekuat dan hanya datang
ke mantri saja. Sebelumnya pasien merasa padangannya baik-baik saja dan tidka
mengalami gangguan. Hal ini dapat menyingkirkan kemungkinan adanya katarak
terutama banyak ditemui pada orang tua. Kemungkinan terjadinya juga hanya dalam
waktu 2 minggu yang tidak memungkinankan terjadi pada katarak, sehingga lebih
memungkinkan untuk keratitis.
Pemeriksaan fisik pada pasien ini didapatkan penurunan visus okuli sinistra yaitu
menjadi lp (-). Tekanan intra ocular pada palpasi ditemukan normal sehingga
menyingkirkan glaukoma sudut terbuka kronis. Adapun pemeriksaan lapang pandang
dan gerak bola mata dalam batas normal. Pemeriksaan segmen anterior didapatkan
abnormalitas pada kornea dengan kornea didapatkan tidak jernih, serta pada bilik mata
depan didapatkan hipopion. Kemudian dilakukan tes flourensen yang ternyata
didapatkan ulkus pada kornea, hal ini mendukung kemungkinan adanya infeksi yang
menyerang kornea yang menyebabkan ulkus sehingga terdapat hipopion dan kekeruhan
pada kornea. Dengan pasien yang tidak mendapat pengobatan dalam waktu 2 minggu
serta peningkatan hipopion menunjukan bahwa kemungkinan pasien ini terkena keratits
yang disebabkan oleh karena mata pasien tidak dapat menutup sempurna.
Penatalaksaan pasien adalah segera mendapatkan penanganan awal untuk
mengatasi gangguan pandangannya. Hipopion yang menutupi pandangan lama kelamaan
dapat mengendap di bilik mata depan dan sulit untuk dihilangkan. Penaganan
menggunaakan obat-obatan amtibiotika dapat membantu mengurangi infeksi yang
terjadi pada pasien sehingga produksi hipopion dapat dikurangi sehingga pasien tidak
tertutup terus pandangannya. Jika infeksi telah dapat dikurangi namun hipopion tidak
hilang dapat dilakukan tindakan pembedahan untuk mengambil hipopion yang lengket
di mata.
Penanganan selanjutnya pada pasien ini adalah dilakukannya scraping untuk
menentukan jenis pengobatan yang tepat untuk pasien ini, sekaligus melihat kuman apa
yang terdapat pada pasien sehingga antibiotic yang dipilih lebih efektif. Untuk sementara
pasien diharapkan istirahat, menjaga kebersihan matanya agar tidak terkontaminasi
kuman lain yang akan memperparah keadaannya serta menggunakan obat secara teratur
agar penyebab utamanya yaitu mata yang tidak dapat menutup dapat segera terobati serta
keratitis pada matanya juga dapat segera terobat.
BAB V
PENUTUP

Laporan kasus ini membahas pasien laki – laki berusia 70 tahun dengan keluhan
utama mata kiri muncul putih-putih. Pasien rujukan dari RS muhammadiyah lamongan
dengan OS ulkus kornea, pro usg dan penanganan lanjut. Pasien mengelukan mata kiri
muncul putih sejak 2 minggu yang lalu muncul pertama kecil dan perlahan-lahan
semakin meluas dalam waktu 2 minggu dan semakin menggangu pandangan. Kelopak
mata semakin tertarik ke atas sehingga semakin tidak dapat menutup sempurna. pasien
tidak mengobati sendiri. Pada pemeriksaan fisik ditemukan oculi sinistra dengan visus lp
(-), kekeruhan menyeluruh pada bilik mata depan dan kornea, dan fundus reflex tidak
dapat di periksa. Dilakukan pemeriksaan flourensen dan didapatkan ulkus kornea.
Pemeriksaan lain-lain dalam batas normal. Berdasarkan data anamnesis dan pemeriksaan
fisik, maka diagnosis banding terdapat putih-putih pada mata dapat disingkirkan satu per
satu dan ditemukan data yang mendukung tegaknya diagnosis ulkus kornea. Rencana
diagnosis untuk pasien ini adalah untuk mengevaluasi keadaan fisik dan dilakukan
pengobatan pada keratitisnya untuk mengurangi terjadinya peningkatan hipopion.
Pengobatan juga dilakukan pada herpes zoster pasien karena pengobatan sebelumnya
dirasa kurang adekuat sehingga diberikan terapi kembali. Pasine juga mendapat
pengobatan untuk tetes mata dan mata pasien ditutup untuk mencegah terjadinya infeksi
sekunder yang memperparah keadaan pasien sekarang.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Mujaini, A, Al-Kharusi, N, Thakral, A, & Waliet, UK 2009. „Bacterial


Keratitis: Perspective on Epidemiology, Clinico-Pathogenesis, Diagnosis
and Treatment‟, vol 9, no 2, pp 184-195. Sultan Qaboos University
Medical Journal. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3074777/# [Accessed
December 24, 2017].
Epocrates 2017, Keratitis, Epocrates. available from:
https://online.epocrates.com/diseases/56132/Keratitis/Risk-
Factors [Accessed Desember 24, 2017]
Kozak, A ,Bartolomei, A, Feldman, BH, Bernfeld, E, & Woodward, MA 2017,
„Bacterial Keratitis‟, American Academy of Opthalmology. Available
from: http://eyewiki.aao.org/Bacterial_Keratitis#Risk_Factors [Accessed
Desember 24, 2017]

Schwab IR 1994, „External Disease and Cornea: A Multimedia Collection‟,


American Academy of Ophthalmology, San Francisco
Sissons, C 2017, What is keratitis?, available from:
https://www.medicalnewstoday.com/articles/320347.php [Accessed
Desember 24, 2017]
Vaughan, D & Asbury, T 2004. Vaughan & Asbury's general ophthalmology.
New York, Lange Medical Books/McGraw-Hill.

Anda mungkin juga menyukai