Upaya Kriminalisasi Terhadap Direktur LBH Bali dan Aliansi Mahasiswa Papua
Pada Senin, 2 Agustus 2021, organisasi Patriot Garuda Nusantara (PGN) melaporkan Direktur
LBH Bali Ni Kadek Vany Primaliraing ke Polda Bali dengan nomor laporan
Dumas/539/VIII/2021/SPKT/Polda Bali, dan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) di Bali juga
dilaporkan dengan nomor laporan: Dumas/538/VII/2021/SPKT/Polda Bali.
Ini bermula pada Senin 31 Mei 2021, ketika sejumlah mahasiswa Papua, yang tinggal di Bali dan
tergabung di dalam AMP mendatangi kantor LBH Bali. Saat itu LBH Bali memberikan bantuan
serta pendampingan bagi AMP dalam menyampaikan aspirasinya terkait kondisi Papua saat ini.
Vany Primaliraing dilaporkan atas tuduhan dugaan makar dikarenakan membela AMP dan AMP
dilaporkan atas tuduhan dugaan adanya tindakan makar.
Makar sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia melalui Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia adalah:
1. akal busuk; tipu muslihat;
2. perbuatan (usaha) dengan maksud hendak menyerang atau membunuh orang dan
sebagainya;
3. perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah.
Makar merujuk kepada pasal 106 KUHP menguraikan bahwa: Makar (aanslag) yang dilakukan
dengan niat hendak menaklukkan daerah negara sama sekali atau sebagiannya ke bawah
pemerintahan asing atau dengan maksud hendak memisahkan sebagian dari daerah itu,
dihukum penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.
Aksi yang dilakukan Aliansi Mahasiswa Papua tersebut bukanlah makar melainkan hanya
merupakan bagian dari upaya penyampaian pendapat di muka umum yang sudah diatur dalam
UUD 1945 pasal 28 dan UU No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat
di muka umum. Hukum mengatakan bahwa aparatur negara wajib dan bertanggung jawab
atas penyampaian pendapat yang dilakukan termasuk melalui tulisan.
Tuntutan kepada Ni Kadek Vany Primaliraing dengan Pasal 110 KUHP soal pemufakatan jahat
dalam melakukan tindak kejahatan makar. Ini tidak bisa menjadi dasar pengaduan dikarenakan
pengacara memiliki peraturan terkait perlindungan terhadap pendampingan klien, telah tertera
jelas bahwa jaminan perlindungan bagi Pemberi Bantuan Hukum berdasarkan Pasal 11 UU
Bantuan Hukum yang berbunyi, “Pemberi Bantuan Hukum tidak dapat dituntut secara perdata
maupun pidana dalam memberikan Bantuan Hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang
dilakukan dengan iktikad baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan sesuai Standar
Bantuan Hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau Kode Etik Advokat.”
Menimbang kronologi dan analisis peristiwa yang terjadi terhadap Direktur LBH Bali yang
berujung dengan surat laporan tuduhan makar yang justru menunjukkan absennya negara dalam
menjamin kebebasan berpendapat yang dilakukan AMP, seperti yang telah diatur dalam UUD
1945 pasal 28 dan UU No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka
umum, dimana dalam UU tersebut pada pasal 7 mengatur terkait dengan aparatur negara yang
wajib dan bertanggung jawab atas penyampaian pendapat yang dilakukan termasuk melalui
tulisan dan juga Pasal 11 UU Bantuan Hukum yang berbunyi, “Pemberi Bantuan Hukum tidak
dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam memberikan Bantuan Hukum yang menjadi
tanggung jawabnya yang dilakukan dengan iktikad baik di dalam maupun di luar sidang
pengadilan sesuai Standar Bantuan Hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau
Kode Etik Advokat.” Maka dari itu, kami lembaga yang tergabung di bawah ini secara tegas
menyatakan sikap bahwa:
1. Mengecam tindakan upaya kriminalisasi terhadap direktur LBH Bali dan mahasiswa-
mahasiswa AMP Bali
2. Menuntut pihak terkait untuk mencabut laporannya karena tindakannya merupakan bentuk
pembungkaman terhadap pembela HAM dan demokrasi
3. Mendesak pemerintah agar melindungi kebebasan berpendapat di muka umum sesuai dengan
konstitusi
Demikian pernyataan kami sampaikan terhadap peristiwa upaya kriminalisasi terhadap direktur
LBH Bali.
Yang bergabung dalam solidaritas terhadap LBH Bali dan Aliansi Mahasiswa Papua: