Akne Cs
Akne Cs
Kosmetib Indonesia
Editor:
Sjarif M. Wasitaatmadja
Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Dilarang memperbanyak, mencetak, dan menerbitkan sebagian atau seluruh isi buku ini
dengan cara dan dalam bentuk apapun juga tanpa seizin editor dan penerbit.
Jakarta, 2018
Website: www.bpfkui.com
Tata letak:
Wasitaatmadja, Sjarif M.
Desain sampul:
ISBN : 978-979-496-910-6
Akne adalah salah satu penyakit kulit tersering dijumpai di Indonesia selain
Pioderma dan Dermatitis. Berbagai hal terkini sain mengenai akne, mulai dari
patogenesa, etiologi dan pefiatalaksanaan diutarakan dalam S imposium tersebut
untuk menambah pengetahuan peserta yang tentunya akan bermanfaat bagi para
dokter dalam melayani pasien penderita akne secara optimal. K S D KI merasa
perlu untuk mengumpulkan dan menyusun makalah S imposium tesebut untuk
menjadikannya sebagai sebuah Buku yang akan dibaca oleh lebih banyak lagi
dokter, baik dokter umum, dokter Spesialis Penyakit Kulit dan Kelamin di Indonesia
atau dokter Spesialis bidang lain maupun mereka yang berminat dalam ·topik ini.
Untuk melengkapi isi buku,kami telah meminta kontribusi tulisan dari beberapa
sejawat dengan menambah beberapa topik lain yang dianggap perlu, misalnya
dengan tulisan mengenai Hubungan Akne dengan Diet, Akne pada orang Dewasa
dan Pedoman Penanggulangan Akne di Indonesia yang dihasilkan dari Pertemuan
Indonesian Expert Meeting di Jakarta tahun 2 0 1 5 yang lalu.
Secara permanen buku ini di harapkan akan dapat mengisi koleksi Perpustakaan
Ilmiah di Fakultas Kedokteran di Indonesia.
Ketua KS DKI
Akne adaJah penyakit kulit yang sering dijumpai, baik pria maupun wanita,
baik remaja maupun dewasa, dan baik etn is M ongoloid, Caucasian, Negroid atau
Melanesian. Akne telah dilaporkan adanya sej ak zaman M esir Kuno 3000 th S M
dan tidak pemah berkurang sampai zaman modem d i abad 2 1 ini.
Oleh sebab itu usaha untuk mengobati penyakit ini telah dilakukan puluhan
abad lamanya tanpa putus dan penelitian serta penemuan setiap saat ada saj a yang
baru. Asal kata penyakit ini dari bahasa Yunani Kuno: acme yang berarti peak of
life. Awalnya akne dianggap sebagai tanda normal dari kedewasaan seseorang yang
harus dialami oleh seJuruh manusia dalam hidupnya. Namun kemudian karena
lesi dari akne rnengurangi kecantikan dan ketampanan seseorang para tabib mulai
mencari bahan-bahan alami yang dapat mengurangi atau menyembuhkannya. Dari
pengalarnan itulah kernudian dikenal obat-obatan akne alami misalnya sulfur, daun
dan buah serta lurnpur laut.
Sudah tidak dapat dihindarkan bahwa masalah ini merupakan tanggung j awab
mereka yang berkecimpung di bidang I lmu Kesehatan Kulit dan Kelarni n baik yang
berada di I nstitusi pendidikan, di Rumah Sakit maupun di komunitas organisasi
Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia ( P ERDOSKI), sehingga
sebagai think tank dari perhimpunan, Kelompok Studi Dermatologi Kosmetik
Indonesia ( K S DKJ) telah beberapa kali melakukan pembahasan tentang Akne. Pada
awal tahun 20 1 7 KSDKJ telah rnenyelenggarakan Simposium dan Workshop Akne
di Jakarta yang diikuti oleh seribu lebih peserta dokter dan dokter spesialis I lmu
Kesehatan Kul it dan Kelamin dengan pembicara dari dalam dan luar negri.
Karya ilmiah dari para penulis sangat disayangkan apabila tidak diterbitkan
untuk menjadi Buku Penuntun, mengingat bahwa pengetahuan para dokter termasuk
dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelami n sekalipun terhadap masalah ini
masih perlu ditambah. Apalagi buku ilmiah tentang masalah P i gmentasi Kulit di
dalam negri maupun di luar negri masih j arang diternukan.
Buku ini disusun dari bahan makalah-rnakalah yang diaj ukan dalam S i mposiurn
dan Workshop tersebut setelah dilakukan editing untuk meningkatkan kualitas dan
kapasitas agar dapat lebih rnudah dan j elas dibaca baik oleh dokter spesialis I lmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin, para dokter umum, mahasiswa bidang kesehatan dan
rnasyarakat urnum yang berhasrat mengetahuinya.
Apabila ada kesalahan dan kekurangan yang terjadi dalam penerbi tan dan
terutama isi dari buku ini, kami mohon maaf dan membuka kritik serta saran untuk
rnernperbaiki buku ini agar dapat menj adi buku acuan ilmiah yang lebih baik.
EDITOR
Halam an
Kata Pengantar
Ketua KSDKI .. . . . . . . . . .
... .. . . . . .. .
....
. .. .. .
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..
. . . . . . . . . . . .. u1
Pendahuluan
Editor . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
....
. . . . . . . . . ..
... . .. .
....
. .. . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. ........ v
Akne Kosmetik
Lilik Norawati Ashadi 75
I ndeks . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 205
I rma Bernadette
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
PEN D A H U LUAN
Akne vulgaris (AV ) tennasuk entitas yang dapat sembuh sendiri (self-limited
disease),'ditemukan di segala usia2, merupakan peradangan kronik dari unit folikel
pilosebasea, penyebabnya multifaktor dengan gambaran klinis berupa komedo, papul,
pustul, nodus dan kista.3 Penyebab pasti AV masih belum diketahui, namun telah
dikemukakan beberapa etiologi yang diduga turut berperan, terdiri atas faktor intrinsik
yaitu genetik, ras, honnonal dan faktor ekstrinsik: stres, iklim/suhu/kelembaban, kosmetik,
diet dan obat-obatan.4
Pada sebuah studi dengan sampel besar di C ina, dilaporkan bahwa kemungkinan akne
diturunkan pada satu generasi berikutnya sebesar 78 %. Sebuah survey di sebuah sekolah
di Jem1an yang seluruh mw·idnya laki-laki menunjukkan, 45 % dari semua anak dengan
AV memiliki salah satu orang tua dengan riwayat AV, sebal i knya hanya 8 % anak dengan
AV memiliki orangtua tanpa riwayat AV. Adanya awitan akne komedonal yang lebih
awal dan banyaknya j umlah anggota keluarga yang memiliki riwayat akne merupakan
beberapa prediktor derajat keparahan akne.5
EPlDEMIOLOGI
Akne vulgaris ( AV) merupakan penyakit kulit terbanyak remaja usia 15-18 tahun.
Insidens AV umumnya dimulai pada pubertas/prapubertas (12-15 tahun), mengenai
hampir semua remaja usia 13- l 9 tahun dengan puncak tingkat keparahan pada 17-21
tahun.6 Hampir 85 % populasi individu berusia 12-25 tahun mengalami akne dengan
berbagai variasi garnbaran klin is.29 Sekitar 15-20 % pasien AV rnengalami AV dengan
derajat sedang dan berat.5
Studi lain pada 2000 orang dewasa, di antara 3 % laki-laki yang mengikuti penelitian
dan 5 % perempuan masih rnengalami akne vulgaris ringan pada usia antara 40-49 tahun.
Faktor-faktor yang menyebabkan kekarnbuhan pada akne di antaranya siklus menstruasi,
stres emosional dan kebiasaan memanipulasi akne dengan menekan-nekan lesi akne.5
Meskipun AV bukanJah penyakit yang dapat mengancam j iwa, dan tidak berperan utarna
pada penelitian-penelitian klinis serta laboratoris, namun akne memil iki pengaruh besar
pada kualitas hidup dan kehidupan sosial ekonomi seseorang.Tidak kurang dari 15-
30 % pasien akne membutuhkan terapi medis sehubungan dengan tingkat keparahan
dan keadaan klinis yang dialaminya,2 dan sekitar 20 % remaja dengan AV dilaporkan
mengalami j aringan parut pasca akne.5
PATOGENESIS
Terdapat empat patogenesis yang paling berpengaruh pada timbulnya AV, yaitu :
peningkatan produksi seburn, h iperkornifikasi duktus pilosebasea, kolonisasi m ikroflora
kulit, terutama P.acnes dan proses inflamasi.3 Urutan yang pasti dari ke-4 patogenesis
tersebut dan bagaimana interaksi di antaranya masih belurn jelas.5
Tabel 2.1. Fungsi kelenjar sebasea yang berperan pada perkembangan lesi akne6
• Production ofsebum
dan lesi inflamasi pada AV3 Hiperproliferasi sel keratinosit folikular menyebabkan
terbentuknya lesi primer akne, rnikro komedo,1 lesi mikroskopis yang tidak terlil1at
dengan mata telanj ang. Dengan be1jalannya waktu folikel akan terisi dengan lipid, bakteri
dan fragmen-fragmen sel. Pada akhimya secara klinis terdapat lesi non-inflamasi ( open/
closed comedo) atau lesi in:flamasi, yaitu bila P.acnes berproliferasi dan menghasilkan
mediator-mediator inflamasi.1•3
Penyebab hiperproliferasi keratinosit dan meningkatnya adhesi antar sel sampai
saat ini masili belum diketahui, beberapa kemungkinan pemicunya antara lain stimulasi
androgen, menurunnya kadar asam linoleat, meningkatnya aktivitas interleukin-I alfa.9
Honnon androgen diduga berperan menstimulasi hiperproliferasi keratinosit folikular.
Dihydrotestosteron ( DHT) merupakan androgen yang paling poten berperan dalam
proses ini.3 Asam linoleat merupakan asam lemak esensial yang terdapat di kulit. Kadar
asam linoleat ditemukan menurun pada kulit pasien AV Kadar asam yang rendah
akan menginduksi hiperproliferasi keratinosit folikular dan pembentukan sitokin pro
inflamasi. 1•12 Studi imunohistokimia menunjukkan bahwa kadar rendah asam linoleat
menyebabkan peningkatan kecepatan proliferasi sel basal dan diferensiasi abnonnal
keratinosit di dinding folikel rambut.3 Studi terkini mencoba untuk melihat korelasi sitokin
dalarn menimbulkan komedo. I ngham et al. melaporkan bahwa terjadi peningkatan
I L- 1 a pada komedo, menimbulkan pemikiran adanya ekspresi lL- 1 a oleh keratinosit
fol ikular. u
keratinosit manusia, pen ingkatan ekspresi dan sekresi matrix meta l l oproteinase-9
(MM P-9) yang berperan pada inflamasi ditemukan beberapa j am pertama i nkubasi
dengan fraksi bakteri .16 P.acnes dapat berikatan dengan tol l l ike receptor ( TLR)-2
pada monosit dan sel pol imorfonuklear, akibatnya berbagai s itoki n pro-inflamasi,
mi sal nya IL-I , IL-8, IL- 1 2 , dan tumor necrosis factor (TN F)-a d i l epaskan.1•15 •17
S itoki n pro-inflamasi , melalui mekani sme autokrin dan parakrin, akan
mengaktivasi factor transkripsi activator protein-! ( A P- 1 ) dan nantinya akan
mengi nduksi gen matrix meta l lo proteinase ( M M P) yang produk akhi mya
mengakibatkan degradasi matriks derm i s .14
Penelitian membukti kan bahwa pasien dewasa muda dengan AV memi l iki
konsentrasi P. acnes lebih ti nggi dibandingkan dengan kontro l . 9 N amun dem i k i an ,
telah di buktikan bahwa tidak terdapat korelasi j umlah P . acnes pemrnkaan kulit
dengan tingkat keparahan AV. Hal yang lebih penting adalah mi cro environment
atau mi lieu pada folikel yang dapat mendukung kol oni sasi P.acnes hingga memicu
inftamasi dalam duktus pilosebasea. Sebal iknya terdapat korelasi antara perubahan
k l i n i s AV dengan berkurangnya kolonisasi P. acnes. H a l i n i dimungkinkan karena
berkurangnya med i ator-mediator pro i nftamasi . 3
Dugaan bahwa A V dapat dipicu oleh faktor stres psikososi a l rnasih terns ditel iti .
Masah i ko Toyoda ( 2003) melakukan penelit i an untuk mencari keter l ibatan faktor
neurogen ik pad a kul it ya i tu berbagai neuropeptida, enzim-enzi m yang mendegradasi
neuropeptida dan faktor-faktor neurotrop i k yang diduga berhubungan dengan
patogenesi s inftamasi pada akne. Studi i munohistokimia tersebut menunj ukkan
bahwa serabut saraf substance P ( S P)-immunoreactive terletak berdekatan dengan
kelenjar sebasea dan neutra l endo peptidase (NET) diekspresikan pada sel-sel
germ inativum kel enj ar sebasea pada kul it pasi en akne. F aktor pertumbuhan saraf
men unj ukkan imunoreaktivitas hanya pada sel-sel germi nativum. Ada dugaan S P
menginduksi ekspresi faktor pertumbuhan saraf pada kelenj ar sebasea mela l u i
sitokin-sitokin proinfl amasi . Temuan tersebut menyimpulkan bahwa S P diduga
menstimulasi proses l i pogenesis pada kelenj ar sebasea yang sel anjutnya akan
diikuti dengan pro l i ferasi P.acnes sehingga memi c u reaksi i nflamasi v i a sel mas.18
RES U M E
Patogenesis akne masih di dasari oleh 4 unsur utama yaitu pen ingkatan produksi
sebum, h i perkornifikasi duktus p i l osebaseus, kolonisasi m ikroflora dan proses
i nflamas i . Namun berbagai pen e li ti an terki n i menunj ukkan bahwa proses
pathogenesis tersebut terj ad i akibat adanya berbagai unsur dan peranan hormonal
( T, D H T), ensim-ensim (5 alfa reduktase, 3 beta dan 5 beta deh idrogenase), reseptor
( P PA R, TLRs-2 dan 4) serta sitokin tertentu ( IL- 1 , [L-8, IL- 1 2 , TNF-alfa) yang
mengakibatkan terj adinya proses pathogenesis itu terj ad i .
DAFTAR PUSTA KA
1. Zanglein A L, Graber EM, Thiboutot OM, Strauss JS. Acne Vulgaris and Acneiforrn
Eruptions. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, S. I K, Gilchhrest BA, Paller AS, Leffell DJ,
edirors.Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine.Edisi ke-7. New York: McGraw
H i ll;2008 690-703 .
2. Zouboulis CC, Eady A, Philpott M,Goldsmith LA, Orfanos C, Cunliffe WC, Rosenfie ld
R.What is the pathogenesis of acne?. Experimental Dermatology. 2005; 1 4: 1 43-52.
3. Gollnick H, Cunliffe W, Berson D, Dreno B, Finlay A, Leyden JJ, et al. Management of
acne: a report from a Global Alliance to Improve Outcomes in Acne. J Am Acad Dermatol.
2003 Jul;49( 1 Suppl):S 1 -37.
4. Ebling FJG, Cun life WJ. Diseaseas of sebaceous glands. ln: Champion, RH,Burton JL. Burns
DAS, Breathnach SM,editors.Rook/Wilkinson/Ebling Textbook of Dermatology.Edisi ke-6.
Oxford:Blackwell Science Ltd, 1 998: 1 940-80.
5. Williams HC, Dellavalle RP, Gamer S.Acne vulgaris. Lancet.20 1 2; 379: 36 1 -72
6. Cunliffe WJ, Gollnick HPM. Clinical featurea of Acne. Dalam: Acne Diagnosis and
Management.London: Martin Dunitz Ltd,200 1 :49-67.
7. Divisi Derrnatologi Kosmetik, Departemen l lmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUI/RS
Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Panduan Pelayanan Medis RSCM. 2005-20 1 2
8. Zouboulis CC. Acne and Sebaceous Gland Function.Clinics in Dermatol. 2004;22:360--6
9. Zaenglein AL, Graber EM, Thiboutot OM. Acne vulgaris and acneiforrn eruptions. Dalam:
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffe ll DJ, WolffK, editors. Fitzpatrick's
Dermatology in General Medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw H i l l, 20 1 2:897-9 1 7.
10. Cunlife f WJ, Simpson N B. Diseaseas of sebaceous glands. I n : Champion RH, Burton JL,
Burns DA, Breathnach SM, editors. Rook/Wilkinson/Ebl ing Textbook of Dermatology.
Edisi ke-6. Oxford;Blackwell Science Ltd,20 1 2: 1 927-82.
1 1. Trivedi NR, Cong Z, Nelson A M , A l bert AJ, Rosami l i a LL, Sivarajah S, et al.
Peroxisome proliferator-activated receptors i ncrease h uman sebum production . J l nvest
Dermato I. 2006; 1 26:2002-9
12. Zaidi Z. Acne vulgaris--an update on pathophysiology and treatment. J Pak Med Assoc.
2009 Sep;59(9):63 5-7 .
13. Federman DG, Kirsner R S . Acne vulgaris: pathogenesis and therapeutic approach. A m
J Manag Care. 2000 Jan;6( 1 ) :78-87; quiz 8-9.
14. Thiboutot D, Gollnick H, Bettoli V, Dreno B, Kang S, Leyden JJ, et al. New insights
into the Management of acne: an update from the Global A l l iance to I mprove Outcomes
in Acne group. J Am Acad Dermatol .2009;60 :S 1 -50.
15. K i m J . Review of the innate immune response in acne vulgari s : activation of Tol l
like receptor 2 i n acne triggers i nflammatory cytokine responses. Dennatology.
2005 ;2 l 1 (3 ): 1 93-8.
16. Jugeau S, Tenaud I , Knot AC, J arrousse Y, Quereu G, Khammari A, et al. I nduction of
tol l - like receptors by Propionibacterium acnes. Br J Dermatol. 2005; 1 53 : 1 1 05- 1 3
1 7. Szabo K, Tax G, Teodorescu-Brinzeu D, Koreck A, Kemeny L . TNFalpha
gene polymorphisms in the pathogenesis of acne vulgaris. Arch Dermatol Res.
20 1 1 ;303( 1 ): 1 9-27.
18. Jugeau S, Tenaud I , Knol AC, J arrousse Y, Quereu G, Khammari A, et al . Induction of
toll-li ke receptors by Propionibacterium acnes. Br J Dermatol. 2005 ; 1 53 : 1 1 05- 1 3
19. ToyodaM,Morohash i M . Newaspectsinacneinflammation. Dennatology.2003 ;206: 1 7-23
20. Jeremy A H , H o lland DB, Roberts SG, Thomson KF, Cun l i ffe WJ. Inflammatory events
are involved in acne lesion initiation. J I nvest Dermatol. 2003 ; 1 2 1 :20-7
21. Liu PT, Phan J, Tang D, Kanchanapoomi M, H a l l B, Krutzik SR, et al. CD209(+)
macrophages mediate host defense against Propionibacterium acnes. J lmmunol.
2008; 1 80:49 1 9-23.
PENDA H U LUAN
Alrne merupakan kelainan kulit yang sering ditemukan, terj adi akibat peradangan
kron is dari fo l i kel pilosebasea yang ditandai dengan adanya pembentukan komedo,
papul, pustul, nodus, kista dan terkadang j aringan parut1• Akne diperkirakan di derita
oleh sekitar 80% popu lasi masyarakat usia 1 2-25 tahun2• D i agnosis d i n i dan terapi
yang tepat sangatlah penting karena akne dapat rnenyebabkan stres psi kol ogis.
Di agnosis kl inis akne dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang, kh ususnya ekskoh l easi komedo. Beberapa faktor
yang berhubungan dengan timbul nya akne j uga perlu ditelusuri untuk mendukung
keberhasiIan temp i .
AN A M N E S I S
Sebagian besar pasien akne biasanya datang dengan keluhan estetik. N arn un,
keluhan tersebut kadang-kadang bisa disertai gatal dan nyeri pada lesi yang
meradang1• Pada anamnesis pasien, selain riwayat penyakit sekarang (mel iputi
onset dan perjalanan penyakit) perl u j uga ditanyakan berbagai faktor-faktor yang
dapat memicu te1jad inya akne, yaitu : .
2. Penggunaan kosmeti k
3. Pekerjaan
4. Adanya stress
5. Penggunaan obat-obatan
7. Pola hidup.
Pekerjaan
Paparan beberapa bahan industri pada tempat kerja dapat menyebabkan akne
karena paparan terus menerus akan menyebabkan reaksi h iperkeratosis dan oklusi
fol ikular.7Bahan-bahan tersebut meliputi coal tar dan derivatnya ( industri yang
menggunakan batu bara), insoluble cutting oils (bengkel, industti logam), dan chlorinated
hydrocarbons. Chloracne merupakan istilah yang digu nakan untuk menjelaskan akne
akibat pekerj aan yang disebabkan karena chlorinated hydrocarbons yang biasanya
digunakan pada fungisida, insektisida, dan pengawet kayu.1.7
Stres
Penggunaan Obat-obatan
Riwayat M en struasi
Pola hidup
Akne mekanika atau akne fis i ka dapat terj ad i sekunder karena adanya obstruksi
mekani k atau gesekan berulang dari komponen p ilosebasea dan pada akhirnya akan
memicu pembentukan komedo. Untuk itu perlu dianamnesis adanya faktor mekan ik
yang dapat menyebabkan akne seperti pemakai an helm, topi , j i lbab, chin strap,
suspenders, kerah baj u yang terla l u ketat, dan tas punggung.10 Distribusi geometris
dan l inear pada daerah yang terkena menandakan adanya akne mekan ika.7
M encuci muka terlalu sering dapat menyebabkan eksaserbasi akne. Pasien
seri ngka l i beranggapan bahwa dengan mencuci muka lebih sering minyak pada
waj ah dapat d i h ilangkan. N am un h a l i n i temyata dapat mencetuskan akne, selain
karena cuci muka bersifat traumatik, beberapa sabun j uga mengandung substansi
yang bersifat komedogenik.10
Berdasarkan observasi kl i nis, l esi akne cenderung mengalami perburukan bila
terpapar s inar matahari . S inar ultravi o l et, sel a i n mem i l ik i efek anti i nflamasi, j uga
bersifat komedoge n i k karena menyebabkan h iperkeratosis pada permukaan kulit
dan fol ikel . Oleh karena itu, perl u ditanyakan apakah pasien cenderung terpapar
sinar matahari yang lama.11
Data mengenai h ubungan akne dengan kebiasaan merokok masih kontroversial.
Pada penelitian yang d i l akukan oleh Schafer dkk tahun 200 1 di Hamburg terhadap
896 subyek pen e l itian (240 subyek menderita akne) didapatkan bahwa prevalensi
akne secara signifikan l ebih tinggi pada perokok aktif (40. 8%) dibandingkan
dengan kelompok non perokok ( 2 5 . 2%).19 Capitanio dkk. dalam studinya tahun
2 009 di l ta l i apada 1 000 wanita ( 2 7 7 perokok akt i f dan 723 tidak merokok) j uga
menemukan ha! serupa. Dalam studi tersebut d idapatkan perbedaan yang sign ifikan
antara prevalensi akne pada perokok dan tidak merokok, di mana 1 1 5 dari 277 wanita
perokok menderita akne (4 1 . 5 5 %) dan 70 dari 723 wanita ( 9 . 7%) tidak merokok
menderita akne. 20
Pola M a ka n/Diet
H ubungan antara pola makan atau diet dengan akne sampai saat ini masih
kontrovers i a l . Has i l beberapa penel itian yang telah d i lakukan h i ngga tahun 1 960
meny impu l kan bahwa tidak ada h ubungan antara diet dan akne. Dogma ini
kemud ian mas i h menetap h ingga beberapa dekade. Seba l i knya dalam kurun waktu
5- 1 0 tahu n terakhir, ditem ukan beberapa bukt i baru yang menunj ukkan adanya
h ubungan antara akne dan d iet. 21
penelitian tersebut tidak ditemukan adanya akne pada sernua subyek penelitian.22
Penelitian yang dilakukan oleh Smith dkk di Melbourne tahun 2007 pada 43 subyek
menemukan bahwa diet IG rendah menyebabkan perbaikan klinis akne. Smith dkk
dalam penelitiannya di Melbowne tahun 2008 pada 12 subyek rnenernukan bahwa diet
IG tinggi akan menyebabkan peningkatan aktivitas androgen & insulin-like growth
factor 1(IGF-1). 2223
lndeks glikemik merupakan ukuran kecepatan makanan diserap menjadi gula
darah. Semakin tinggi indeks glikemik suatu makanan, maka semakin cepat dampaknya
terhadap peningkatan gula darah dan insulin. Contoh makanan dengan indeks glikemik
rendah adalah makanan berserat seperti sayuran rnentah, buah-buahan dan biji-bijian.
Makanan dengan indeks glikemik tinggi terdiri dari karbohidrat seperti nasi putih, bubur
beras, roti gandum putih, roti gandurn utuh, sereal, kentang rebus, ubi jalar, keripik, kue,
atau makanan yang terbuat dari tepung putih dan semangka.24
Makanan dengan indeks glikernik tinggi akan menyebabkan hiperinsulinemia
akut sehingga terjadi peningkatan kadar androgen dan IGF-1 yang pada akhimya akan
meningkatkan produksi seburn.23·25
c. Makanan Berlemak
akne. Asupan lemak pada diet Barat terutama terdiri dari Omega 6, sedangkan diet non
Barat sebagian besar terdiri dari Omega-3 yang berasal dari ikan dan sayuran. Rasio
Omega-6 dan Ornega-3 diet Barat saat ini adalah 20 :1, jauh lebih tinggi dibandingkan
rasio yang dianjurkan, yaitu maksimal sebesar 2 : 1. Meski penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Cordain dkk. mengatakan bahwa populasi non-Barat memiliki prevalensi
akne yang lebih rendah disebabkan karena konsurnsi makanan dengan indeks glikemik
rendah, namun rasio Omega-3 yang lebih tinggi dibanding Omega-6 pada populasi ini
dapat menjadi faktor tarnbahan yang rnenurunkan prevalensi akne melalui efek hormonal
dan antiinflarnasi.21•22
Hingga saat ini, disirnpulk.an bahwa kandungan asam lemak tak jenuh Omega-3
yang lebih tinggi akan mensupresi produksi sitokin inflamasi sehingga memberikan
efek terapeutik pada akne. Asam lemak tidak jenuh Omega-3 akan rnengharnbat sintesis
molekul inflarnatorik leukotrien B4 dan menekan reaksi inflarnasi pada akne. Selain itu,
asarn lemak Omega-3 menyebabkan penurunan IGF-1 yang berperan dalam eksaserbasi
akne.22
Sumber Omega-6 adalah rninyak sayur (minyak jagung, minyak bunga matahari,
minyak canofa), kacang-kacangan dan biji-bijian dan produk daging. Makanan yang
banyak mengandung Omega-3 antara lain ikan (salmon, tuna, makarel, dan lainnya) dan
sayuran.2 1
d. Kacang-kacangan
e. Alkohol
Belurn banyak bukti mengenai hubungan konsumsi alkohol dengan akne. Mekanisme
terjadinya akne akibat konsumsi alk.ohol disebabkan oleh peningkatan kadar DHEAS
melalui stirnulasi terhadap kelenjar adrenal (Dorgan dkk, Philadelphia, 2001).29·30 Pada
penelitian Shen dkk tahun 2012 terhadap 68 peminwn alkohol berat dan 570 peminwn
alkohol ringan-sedang ditemukan 41,21 % dan 41,4% menderita akne.3 1
Pada akne vulgaris, lesi umumnya polimorfik dan terjadi pada tempat predileksi
dimana terdapat banyak kelenjar sebasea sepe11i di wajah, leher, dada, punggung, bahu
dan lengan atas. Pada akne venenata, lesi kulit lebih monoformis; biasanya komedonal
dan hanya terl ihat pada daerah kul it yang terkena atau kontak dengan zat tersebut. Contoh
akne venenata misalnya di wajah (akne kosmetika), lengan atas dan bawah, betis (akne
akibat kerja), dan kening (akne fiiksional). Pada akne fisika, lesi terjadi pada daerah yang
tertekan seperti wajah, lengan dan leher atau tempat lain yang terkena. Lesi kulit juga
lebih monofonnis dengan komedo atau papul.1
Secara garis besar lesi akne dapat dibedakan menjadi tiga tipe yaitu lesi non-inftamasi,
lesi inflamasi dan lesi sisa yaitu pigmentasi dan parut akne.3
1. Lesi Non- inflamasi
Komedo merupakan tanda patognomonik dari akne dan secara garis besar
dibedakan menjadi dua tipe, yaitu komedo terbuka dan tertutup. Macam-macam
komedo yaitu:
a. Mikro komedo
Merupakan lesi akne subklinis yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang
dan hanya melalui pemeriksaan histopatologik. M ikro komedo merupakan lesi
inisial yang dapat berkembang menj adi lesi non-inflamasi maupun inflamasi.
Pada pemeriksaan biopsi kulit normal pada pasien akne ditemukan 28% mikro
komedo sehingga disarankan pemberian terapi akne tidak hanya pada lesi akne
melainkan pada semua daerah disekitamya untuk mencegah progresivitas klinis
mikrokomedo. 3•32
C-.ct Corneclone
.
d. Makrokomedo
Makrokomedo merupakan komedo tertutup atau terbuka yang berukuran lebih dari
1 mm, berkisar antara 3-5 mm. Makrokomedo ini biasanya ditemukan di bagian
atas lateral pipi, daerah pre dan post aurikular. 3•32
e. Komedo "Submarine"
Komedo submarine berukuran besar, dapat mencapai 1 cm dan terletak lebih dalam.
Seperti pada komedo tertutup lainnya, peregangan kul it diperlukan untuk melihat
lesi. Komedo tipe ini sulit diterapi dan seringkali diperlukan elektrokauteri sasi
dengan anastesi l okal . 3•32
Sandpaper acne
2. Lesi Inflamasi
Papul eritematosa biasanya memiliki diameter kurang dari 0 . 5 cm. Pustul berukuran
sama dengan papul namun berisi pus berwama putih kekuningan . 3
b. Nodul
Nodul merupakan proses in:flamasi yang terletak lebih dalam dari papul . Nodul
kecil berukuran 0.5-1 cm, sedangkan nodul besar dapat melebihi 1 cm. Pada nodul,
gambaran in:flamasi yang lebih nyata disertai indurasi dan nyeri tekan.3
c. Kista
Kista pada akne berisi pus dan cairan serosanguineous. Pada pasien dengan akne
nodulokistik berat, lesi seringkali berkonfluens membentuk p l ak in:flamasi disertai
keterlibatan sinus tract.3
Parut Akne
Parut akne terj adi akibat kerusakan j aringan kulit dari lesi akne non-in:flamasi
maupun in:flamasi setelah proses penyembuhan . 3 Dengan demikian parut pasca
akne merupakan gejala sisa (sequele) dari akne sehingga dapat terlihat atau tidak
I belum terlihat pada pemeriksaan. Terdapat dua macam tipe dasar parut akne,
yaitu parut atrofi yang terdiri dari ice pick scar, rolling scar dan boxcar serta parut
hipertrofik dan keloid. 3•33
a. Parut atrofi
Parut atrofi lebih sering dij umpai dibandingkan parut hipertorfi dan keloid. Parut
ini dibedakan menj adi ice pick scar, rolling scar dan boxcar.
Rolling scar
Rolling scar merupakan parut akne yang dangkal, berukuran lebar hingga 4-5 mm dan
memiliki dasar yang membulat seperti cawan.3•33
Boxcar
Merupakan skar berbentuk segi empat dengan luas permukaan dan dasar yang sama. Skar
ini bisa dangkal dan dalam. 3•33
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Ekskohleasi Komedo
akne. Selain sebagai pemeriksaan penunjang khusus, ekskohleasi juga dapat digunakan
sebagai terapi bedah pada akne. 1
Selama prosedur ekskohleasi, dokter menggunakan sarung tangan. Lesi dibersihkan
terlebih dahulu dengan menggunakan alkohol atau cairan antisepetik lainnya. Sebum
kemudian dikeluarkan dengan bantuan komedo ekstraktor (sendok Unna, Scharnberg
atau Saalfield). lsi komedo terbuka dapat dengan mudah dikeluarkan dengan penekanan
vertikal yang lembut di sekitar lesi dan akan tampak pada lubang ekstraktor. Beberapa ahli
menganjurkan penggunaan kaca pembesar untuk mempermudah prosedur. Pada komedo
tertutup yang sulit dikeluarkan, pennukaan komedo dapat dibuka terlebih dahulu dengan
bantuan j arurn 18 G atau skalpel no 11.7 Sebum yang menyurnbat terlihat sebagai massa
padat seperti Jilin atau nasi lunak yang kadang-kadang ujungnya berwarna hitam berisi
melanin. '
1 '11
2. Pemeriksaan histopatologis
Pemeriksaan histopatologis pada lesi akne memberikan gambaran yang tidak spesifik.
Oleh karena itu pemeriksaan histopatologis hanya dilakukan dalam skala penelitian dan
bukan pemeriksaan standar diagnosis pada akne.
Pada lesi awal dijumpai mikrokomedo. Tampak dilatasi folikel pilosebasea disertai
penyempitan saluran karena adanya hiperkeratosis infundibular. Stratum granuloswn
pada stadium ini terlihat jelas. Pada komedo tertutup, distensi folikular lebih luas dan
terbentuk struktur kista padat yang berisi debris keratin eosinofilik, rambut dan bakteri.
Pemeriksaan histopatologis pada komedo terbuka menw1jukkan gambaran distensi folikel
keseluruhan dan ostium. Kelenjar sebasea biasanya atrofi atau tidak ada. Tampak in:ftitrat
sel monononuklear mengelilingi folikel tersebut.7
Seiring dengan bertambahnya distensi folikel, dapat terjadi ruptur yang menyebabkan
isi kista meluas ke dermis. Isi kista yang bersifat imunogenik akan menyebabkan
terjadinya inftamasi dan sebukan sel radang. Sel neutrofil pertama kali ditemukan dan
membentuk pustul. Bila \esi semakin matur akan terbentuk respon granulomatosa dan
diikuti timbulnya parut.7
kolesterol ester, wax esters dan trigliserida. Selama pengeluaran sebum melalui saluran
folikel, enzim bakteri menghidrolisis sebagian trigliserida sehingga komposisi lipid yang
mencapai pennukaan kulit juga mengandung asam lemak bebas dan sebagian kecil mono
dan digliserida.21
Terdapat beberapa metode pengukuran sekresi sebum. Pengambilan sebum dapat
dilakukan dengan beberapa cara yaitu dengan menggunakan metode cigarette paper,
metode bentonite, Sebutape, dan metode instrumental menggunakan frosted glass plate.
Lipid kemudian diekstraksi dan dilakukan analisis dengan menggunakan thin layer
chromatography.36
Salah satu metode yang paling banyak digunakan untuk pengukuran kadar sekresi sebum
adalah metode cigarette paper Strauss dan Pochi. Pada metode ini, dahi dibersihkan
terlebih dahulu untuk menghilangkan lipid permukaan. Cigarette paper yang diekstrak
sebelurnnya kemudian ditempatkan pada kulit dahi dan ditahan dengan plester selama 3
jam. Lipid kemudian diekstraksi dari kertas tersebut dengan menggunakan etil eter dan
dianalisis dengan thin layer chromatography.37
Metode Bentonite
Bentonite dipakai untuk menyerap sebum di dahi. Setelah dahi dicuci dan dibersihkan
dengan kasa etanol, lapisan tipis gel bentonite diaplikasikan pada dahi selama 24 jam.
Sebum yang terabsorpsi selama 1 2 jam pertama akan terus menurun. Setelah itu, laj u
sekresi menjadi konstan. Sekresi sebum selama 12 jam pertama menggambarkan reservoir
folikel, sedangkan sekresi sebum yang diukur 12 jam berikutnya menggambarkan laju
sintesis kelenjar. Lipid kemudian diekstraksi dari gel bentonite kedalam etil eter dan
dianalisis menggunakan thin layer chromatography. 36
Sebutape
Sebutape digunakan untuk menilai pola pori-pori dan sekresi sebum. P lester ini berwama
putih namun kemudian berubah menjadi transparan pada titik dimana sebum terabsorpsi.
Sebutape diangkat setelah 1-3 jam dan diletakkan pada latar belakang hitam. Pola pori
pori akan tampak sebagai titik-titik hitam dengan daerah berwama putih di sekitamya.
Total daerah sebum menggambarkan j umlah sebum yang disekresi. Lipid diekstraksi dari
sebutape dan dianalisis thin layer chromatography.36•37
Metode instrumental
Pada tahun 1970, Schaefer dan Kuhn-Bussius menunjukkan bahwa sekresi sebum dapat
diukur dengan mengumpulkan sebum tersebut diatas frosted glass plate dan menilai
transparansinya. Saat sebum terabsorpsi pada permukaan kaca yang kasar, sebum akan
menyebar dan mengisi kantong mikroskopi k pada kaca tersebut sehingga permukaan
kaca menjadi halus dan dispersi cahaya yang tirnbul lebih sedikit pada saat kaca disinari.
Beberapa alat yang menggunakan prinsip ini adalah Lipometre yang diperkenalkan oleh
L'oreal ( Perancis) dan Sebumeter oleh Courage dan Khazaka (Jerman ). Metode ini dapat
digunakan untuk menguk:ur j umlah sebum pada pennukaan kulit atau laju sekresi sebum
dalam beberapa menit.36
RESUM E
AJ<ne merupakan kelainan kulit yang sering ditemukan, terjadi akibat peradangan
kronis dari folikel pilosebasea yang ditandai dengan adanya lesi polimorfi berupa komedo
yang patognomonik, papul, pustul, nodus, kista dan terkadang jaringan parut. Diagnosis
klinis akne dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Beberapa faktor yang berhubungan dengan timbulnya akne juga perlu
ditelusuri untuk mendukung keberhasilan terapi.
Keluhan pasien akne seringkali lebih mengarah ke segi estetika. Namun, keluhan
tersebut kadang-kadang bisa disertai gatal dan nyeri pada lesi yang meradang. Pada
anamnesis pasien, selain riwayat penyakit sekarang perlu juga ditanyakan faktor-faktor
yang mempengaruhi akne, meliputi riwayat akne pada keluarga, penggunaan kosmetik,
peke1jaan, faktor stres, riwayat penggunaan obat-obatan, riwayat menstruasi, kebiasaan
serta pola makan atau diet untuk menunjang keberhasilan terapi .
Dokumentasi atau foto diperlukan pada setiap kunjungan untuk mengetahui
perkembangan lesi. Pada saat melakukan pemeriksaan fisik, perlu diperhatikan hal-hal
meliputi jenis kulit pasien, lokasi lesi, tipe lesi dan derajat akne.
Lesi akne vulgaris umumnya polimorfik dengan predi leksi pada daerah yang memiliki
banyak kelenjar sebasea seperti wajah, leher, dada, punggung, bahu dan lengan atas. Pada
akne venenata, lesi kulit lebih monofonnis; biasanya komedonal dan hanya terlihat pada
daerah kulit yang terkena atau kontak dengan zat tersebut. Pada akne fisika, lesi terjadi
pada daerah yang tertekan seperti wajah, lengan dan leher atau tempat lain yang terkena.
Lesi kulit j uga lebih monoformis dengan komedo atau papul.
Pada pemeriksaan klinis dapat ditemukan lesi non-inflamasi , lesi inflamasi dan
j aringan parut. Lesi non-inflamasi secara garis besar dibedakan menjadi komedo terbuka
dan tertutup, namun dapat ditemukan berbagai varian komedo lain seperti rnikrokomedo,
makrokomedo, komedo "submarine", komedo "sandpaper' dan chloracne. Lesi inflamasi
akne dapat bersifat superfisial atau dalam yang meliputi papul eritematosa, pustul, nodul
dan kista. Parut akne terdiri dari parnt atrofi, hipertrofi dan keloid. Parut atrofi lebih sering
dij wnpai dan dapat dibedakan menjadi ice pick scars, rolling scar, dan boxcar.
Peme1iksaan penunjang khusus berupa ekskohleasi komedo di lakukan untuk
rnembuktikan apakah papul kecil yang ada benar merupakan sebuah komedo karena
komedo merupakan gejala patognornonik akne . Pemeriksaan histopatologis memberikan
gambaran yang tidak spesifik. Pemeriksaan penunjang lain berupa mikrobiologi kulit dan
biokimiawi lemak dapat dilakukan untuk tujuan penelitian.
DAFTAR PUSTA KA
I. Zaenglein AL, Graber EM, Thiboutot OM. Acne vulgaris and acneifonn eruptions. Dalam:
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, WolffK, penyunting. F itzpatrick's
dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw-Hill Inc; 20 1 2. h. 897-9 1 7.
2. Baran R, Chivot M, Shalita A R, Lewis A, Wechsler A. Acne. Dalam: Baran R, Maibach H I ,
penyunting. Textbook of cosmetic dermatology. Edisi ke-3. London: Taylor & Francis; 2005.
h. 423-34.
3. Cunliffe WJ, Gollnick HPM. Acne diagnosis and management. London: Martin Dunitz; 200 1 .
4. Goulden V, McGeown CH, Cunliffe WJ . The familial risk of adult acne: a comparison
between first-degree relatives of affected and unaffected individuals. Br J Dermatol 1 999
Aug; 1 4 1 (2):297-300.
5. Ballanger F, Baudry P, N'Guyen JM, Khammari A, Dreno B. Heredity: a prognostic factor for
acne. Dermatol 2006;2 1 2: 1 45-9.
6. Cho EB, Ha JM, Park EJ, Kim KH, Kim KJ. Heredity of acne in Korean patients. J Dermatol
20 1 4;4 1 :9 1 5-7.
7. Zaenglein AL, Thiboutot OM. Acne vulgaris. Dalam: Bolognia JL, Jorizzo JL, Schaffer JV,
penyunting. Dermatology. Edisi ke-3. Toronto: Elsevier Ltd; 20 1 2. h. 545-59.
8. Fulton JE. Comedogenicity and irritancy of commonly used ingredients in skin care products.
J Soc Cosmet Chem 1 989;40:32 1 -33.
9. Draelos ZD, DiNardo JC. A re-evaluation of the comedogenicity concept. J Am Acad
Dermatol 2006;54:507- 1 2.
I 0. Plewig G, Kligman AM. Acne morphogenesis and treatment. New York: Springer-Verlag; 1 975.
1 1 . Magin P, Pond D, Smith W, Watson A. A systematic review of the evidence for myths
and misconceptions in acne management: diet, face-washing and sunlight. Fam Pract
2005;22( I ):62-70.
1 2. Kokandi AA. Acne flares among university female students: the role of perceived factors. J
Cosmet Dermato Sci App 20 1 3;3 :26-9.
1 3. Yosipovitch G, Tang M, Dawn AG, Chen M, Goh CL, Huak Y, Seng LF. Study of
psychological stress, sebwn production and acne vulgaris in adolescents. Acta Denn Venereol
2007;87(2): 1 35-9.
1 4. Momin SB, Peterson A, Del Rosso JQ. A status report on drug-associated acne and acneiform
eruptions. J Drugs Dermatol 20 I 0;9(6):627-36.
1 5. Junior RP, Kondo RN. Drug induced acne and rose pearl: similarities. An Bras Dennatol
20 1 3;88(6): I 039-40.
1 6. Ghodsi SZ, Orawa H , Zouboulis CC. Prevalence, severity and severity risk factors of acne in
high school pupils: a community-based study. J Invest Dermatol 2009; 1 29:2 1 36-4 1 .
1 7. Geller L, Rosen J, Frankel A, Goldenberg G . Peri.menstrual flare of adult acne. J Clin Aesthet
Dem1atol 20 1 4 Aug; 7(8): 30-4.
1 8. Housman E, Reynolds RV. Polycystic ovary syndrome: a review for dermatologists: Part I.
Diagnosis and manifestations. J Am Acad Dermatol 20 1 4 Nov;7 1 (5):847.
PENDAHULUAN
Akne merupakan salah satu penyakit kulit terbanyak dan paling sering dijumpai.
Meskipun mudah untuk menegakkan diagnosis, namun karena bersifat polimorfik dan
sangat bervariasi tidak mudah untuk mengevaluasi keparahannya. 1 Penggolongan akne
sampai saat ini masih kontroversial. Sangat sulit untuk menentukan derajat keparahan
dan menentukan perbedaan jenis klinis akne. 2 Sampai saat ini belum ada klasifikasi akne
yang bersifat universal dan berlaku di seluruh dunia. Klasifikasi dan gradasi akne sangat
penting untuk survei epidemiologi dan evaluasi terapi .3
PENGGOLONGAN AKN E
Penggolongan akne selalu menjadi perdebatan, karena sangat sulit untuk menentukan
pembagian tipe klinisnya. Akne dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat keparahan,
morfologi dan ada atau tidaknya in:flamasi. Ini membingungkan karena terdapat banyak
sistem klasifikasi yang berbeda untuk akne. Masing-masing penulis memiliki keragaman
tipe akne yang berbeda-beda. Klasifikasi yang tepat untuk tipe lesi sangat penting dalam
memilih terapi yang paling efektif4
Klasifikasi akne pertama dalam literatur modem dibuat oleh B loch pada tahun 1931,
yang mengelompokkan akne dengan menghitung jumlah komedo, papul dan pustul pada
wajah, dada dan punggung. 5 Domonkos pada tahun 1971 membagi klasifikasi akne menjadi
akne vulgaris, akne keloidalis, perifolikulitis, akne tropikalis, akne neonatorum, rinofima,
akne rosasea, dennatitis perioral.6 Pada tahun 1976 Kligman & Plewig menggolongkan
akne menjadi:7
1. Akne sejati.
Akne vulgaris, akne komedonal, akne papulopustul, akne konglobata, akne tropikalis, akne
fulminan, akne di wajah pada perempuan dewasa muda, akne mekanika pada punggung
laki-laki dewasa, akne yang disebabkan kelebihan androgen, foliku litis yang disebabkan
oleh bakteri Gram negatif, dan akne pra-menstruasi .
Akne kosmetika, akne pomade, klorakne, akne akibat kerja karena kontak dengan
minyak, tar dan deterjen, ak:ne yang disebabkan oleh zat fisika, komedo senilis (Favre
Racouchot disease), akne yang disebabkan oleh radiasi (kobalt, sinar-x), akne aestivalis,
dan lain-lain.
Cunliffe pada tahun 1989 mengklasifikasikan akne menjadi aknevulgaris (ak:ne
konglobata, akne fulminan, folikulitis Gram negatif, piodem1a fasialis, akne vaskulitis) dan
varian akne (akne medikamentosa, akne infantil, akne klor, akne minyak, akne fiiksi, akne
kosmetika, dll.).8
Strauss dalarn buku Fitzpatrick's General Dermatology Medicine pada tahun 1993
menggolongkan akne menjadi akne vulgaris dan tipe akne lainnya, di antaranya akne
neonatal, akne excoriee desjeunes illes, akne karena obat-obatan, akne akibat kerja, akne
f
tropikalis, akne estivalis, akne kosmetika, akne pomade, akne deterjen, akne mekanika,
akne dengan edema fasial, akne konglobata, akne fulrninan, steatoma multipleks.9
Pada tahun 2012, Zaenglein dan Thiboutot membagi akne menjadi akne detetjen,
akne akibat kerj a, klor akne, akne steroid, akne mekanika, dan lainnya.10 Sedangkan
pada buku Fitzpatrick's General Dermatology Medicine terbaru, Zaenglein, Graber dan
Thiboutot (2012) kembali membuat macarn-macam varian akne menjadi akne neonatal,
akne infantil, akne konglobata, akne fulminan, akne mekanika, akne akibat radiasi, akne
tropikalis, dan l ainnya.11
Pada tahun 2012 di Jakarta diselenggarakan Indonesian Acne Expert Meeting
yang mengklasifikasikan akne berdasakan J<lasifikasi akne Kligrnan dan Plewig yang
membedakan akne sejati dengan erupsi akneiformis;12
1. Akne vulgaris: terj adi pada dewasa muda yang disebabkan oleh berbagai faktor
dengan varian: akne tropikalis, akne mekanika.
2. Akne venenata: terjadi akibat kontaktan ekstemal kimiawi dengan varian: akne
kosmetika, akne pomade, akne deterjen.
3. Akne fisik: terjadi akibat berbagai macam zat-zat fisik; radiasi ultraviolet, sinar-x,
contohnya komedonal solaris.
GRADASI AKN E
Gradasi akne merupakan gambaran klinis yang penting bagi dokter untuk menentukan
jenis dan evaluasi hasil terapi. Meskipun terdapat banyak sistem penilaian gradasi akne,
namun sampai saat ini belum ada gold standard yang digunakan secara universal. Terdapat
banyak metode yang berbeda dalam menentukan keparahan akne, berdasarkan gradasi,
pengrutungan lesi atau fotografi, namun tidak dapat dikerjakan dengan mudah dalam
praktek sehari-hari.4.12
Termasuk menilai lesi yang dominan dan - Jwnlah dan tipe setiap lesi akne dapat dinilai
estimasi perluasan lesi. dan dapat menentukan derajat keparahan secara
keseluruhan.
Subyektif. Obyektif.
Tidak dapat membedakan perubahan kecil Dapat membedakan perubahan kecil dari
pada respon terapi. respon terapi.
Efek terapi pada lesi individual tidak dapat - Efek terapi pada lesi individual dapat diesti
diestimasi. masi.
Sumber: Adityan B, Kumari R, Thappa OM. Scoring systems in acne vulgaris. Indian J Dennatol Venereol Leprol.
2009;75:323-326.
Hayashi, dkk. dalam Acne Study Group di Jepang membuat kriteria gradasi untuk
derajat keparahan akne pada tahun 2008 dengan rnengklasifikasi akne berdasarkan jurnlah
erupsi inflamasi pada satu sisi wajah dengan foto, dinilai menjadi ringan (0-5), sedang (6-
20), berat C? l -50), sangat berat (>50).13
Mild Moderate
Mild: 0-.S
Moderate: 6-20
Severe: 21-SO
(balr racc)
Setiap metode penilaian gradasi akne memiliki keuntungan dan kerugian.4•1 2 Keuntungan
dan kerugian cara-cara penilaian akne terdapat dalam kolom di bawah ini : 14
Dari tahun ke tahun terdapat beberapa metode peni laian akne, seperti yang
tertera pada tabel berikut ini:4
Pada tahun 1 956, Pillsburry, Shelley dan Kligman mempubl ikasikan sistem
gradasi yang terbaru pada saat itu dengan membuat gradasi akne dengan membaginya
menj adi 4 derajat yaitu: 1 5
Derajat 1 : sangat berminyak, komedo, papul
•
Derajat 2 : sangat berminyak, komedo, papul dan pustul superfisial
•
Derajat 3 : sangat berminyak, komedo, banyak papul, pustul dalam
•
Derajat 4 : sangat berminyak, komedo, banyak papul, pustul, nodul, kista dan skar.
Dua tahun setelahnya, James dan Tisserand ( 1 95 8 ) membagi gradasi akne pada
terapi akne dengan membuat membuat skema altematif gradasi yang dibagi menjadi
4 deraj at: 1 6
Derajat 3 Papul infiamasi yang Jebih luas, pustul dan sedikit kista; bentuk klinis
Jebih parah melibatkan waj ah, leher dan bagian tubuh atas.
Pada tahun 1 966, Witkowski and S imon menyatakan bahwa mengukur respon
terapi tidak akan dapat dinilai dengan menggunakan derajat 1 - 4 dan sistem
klasifikasi lebih mudah digunakan. Lesi awal dihitung untuk menilai keparahan akne
vulgaris. Lesi dihitung pada satu sisi waj ah untuk mempercepat waktu pengukuran,
setelah itu dihitung jum lah lesi sisi kiri yang mendekati j umlah pada sisi kanan . 1 7
Gradasi numerik Frank( 1 97 1 ) membagi tipe lesi menjad i komedo, papul,
pustul, sikatriks dan menghitung jumlah lesi . Frank membuat gradasi numerik pada
tiap lesi di waj ah, dada dan punggung. Pen ilaian gradasi antara 0 - 4 atau 0 -
1 0 dan dimasukkan ke dalam tabel untuk menyi mpan has i i penilaian kemudian
menggunakan metode penilaian gradasi oleh James dan Tisserand. 1 8
Pada tahun yang sama dengan sistem klasifikasi yang dibuat, Kligman dan
Plewig juga membuat gradasi numerik ( 1 975) : 1 9
• Akne komedonal: derajat keparahan secara kesel uruhan dinilai 1 - 4
Derajat I : < 1 0 komedo pada satu sisi wajah
Deraj at I I : 1 0 - 25 komedo pada satu sisi wajah
Derajat I I I : 25 - 50 komedo pada satu sisi waj ah
Derajat I V: > 50 komedo pada satu sisi waj ah
Derajat Deskripsi
0 Komedo yang tersebar dan/atau papul-papul kec i l .
2 Pustul sangat sedikit atau 36 papul dan/atau komedo; lesi tidak terlihat dalam jarak
4 2 . 5 meter.
8 Komedo dan papul sangat banyak; lesi dapat terlihat dalam j arak 2 . 5 m .
Konglobata, akne tipe sinus atau kista; menutupi hampir seluruh wajah
Derajat M engenai
0 Lesi sedikit, keci l dan perlu dicari.
Sumber: Cook CH, Centner RL, M ichaels SE. An acne grading method using photographic standards. Arch
Dermatol 1 979; 1 1 5 : 5 7 1 -5 .
Pada tahun 1 982, A llen dan Smith membagi gradasi akne menj adi beberapa
derajat: 0 =beberapa komedo; 2 = /4 area waj ah dengan komedo, papul, pustul; 4
=V2 area wajah dengan komedone, papul,pustul ; 6 = % area waj ah dengan komedo,
papul, pustul ; 8 = seluruh area waj ah dengan lesi irrflamasikonglobata, s inus, kista.23
Pada tahun yang sama di Indonesia, Was itaatmadj a SM ( 1 982) membagi
gradasi akne menj adi:24
•
Ringan : <20 komedo, or < I 0 papulopustul pada I area.
•
Sedang : 20-40 komedo, atau l 0-20 papulopustul , atau < 5 nodus pada 1
atau lebih area.
•
Berat : full komedo, atau> 20 papulopustul, >5 nodus/kista pada I atau
lebih area.
B urkedkk. ( 1 984) memakai teknik Leed yang melibatkan gradasi lesi akne pada
waj ab, dada dan punggung dengan skala 0 - 1 0 dan membandingkannya dengan
basi l dari fotografi . 25 Samuelson ( 1 98 5 ) mengbitung gradasi berdasarkan 1 set
fotograf (9 foto) dan menentukan respon tempi dalam 2 cara: ( 1 ) meminta pasien
untuk rnernbandingkan tampilan rnereka saat ini dengan skala 9-derajat dan (2)
dokter perlu mencatat basil observasi yang telab dibandingkan di status pasien.
Perubaban derajat diberi label :" sempurna" apabila terdapat penurunan 3 atau l ebih
j umlab derajat dengan adanya pengurangan eritem dan nyeri; "baik" bila terdapat
penurunan 2 deraj at dengan pengurangan eritem dan nyeri; "sedang" bila terdapat
penurunan l derajat dengan pengurangan eritem dan nyeri; "tidak ada" bila tidak
ada perubaban; "lebib buruk" apabila terdapat peningkatan 1 atau lebib deraj at atau
terdapat peningkatan eritem dan nyeri pada derajat yang sama. Kemudian pada
akhir penelitian, penilai independent j uga menilai melalui foto.26
Acne Concensus Conerence f (AAD) pada tabun 1 990 menilai gradasi akne
dengan:27
Sumber: Pochi PE, Shal ita AR, Strauss JS et al. Report of the consensus conference on acne classification.
Washington, DC, USA March 24-25, 1 990. J. Am. A cad. Dermatol. 24, 495-500.
II 1 0 - 25 1 0 - 20
III 26 - 50 2 1 - 30
IV > 50 > 30
Sumber: Kligman AM, Plewig G. C lassification of acne. In : Akne and Rosacea (3rd Edition). K l igman AM,
Lucky, dkk.( 1 996) menghitung lesi kemudian mencatat pada template gambar
waj ah khusus (hidung tidak termasuk), kemudian penghitungan lesi divalidasi . 29
\Ntwmheao
BlaekAeact :
Papulos -
=
Pustules -
Nodules •
./
/E:>, Blackhead �
'
'Whilehead =
Papuiti :
Pustules =
Nodules •
Sumber: Anne W, Lucky AW, Barber BL, Girman CJ, Williams J, Ratterman J, et al.. A
multirater validation study to assess the reliability of acne lesion counting. J Am Acad
Dermatol 1 996; 35: 559-65.
Pada tahun 1 997, Doshi, dkk. membuat Global Acne Grading System (GAGS).
Sistem ini membagi waj ah, dada dan punggung dalam 6 area (dahi, masing-masing
pi pi, hidung, dagu dan dada dan punggung) dan setiap faktor pada setiap area dinilai
berdasarkan besamya.30
l .Dahi 2
2. Pipi kanan 2
3. Pipi kiri 2
4. Hidung
5. Dagu
6. Dada+ punggung atas 3
Skor global :
0 Tidak ada
1-18 R ingan
1 9-30 Sedang
3 1 -3 8 Berat
>39 Sangat berat
A cne Gradation System of Leeds pada tahun 1 998 membagi akne menj adi dua
yakni akne non-inflamasi dan akne inflamasi.31
Akne non-inflamasi
Derajat 1 - 3
Akne inftamasi
1 2 derajat untuk wajah
8 derajat untuk tubuh ( depan)
8 derajat untuk tubuh (belakang)
Sumber: O ' Brien SC, Lewis JB, Cunliffe WJ. The Leeds revised acne-grading
system. J Dermatol. Treat. 1 998; 9: 215-220.
Nodul/kista >5
Total < 30 30 - 1 25 > 1 25
Pada tahun 2003 Tutakne, dkk:. I ndia dalam Indian Acne Vufgaris Classification
mernbagi akne menjadi 4 deraj at: derajat 1 komedo, kadang terdapat papul; deraj at
=
2 papul, komedo, sedikit pustul ; derajat 3 lebih banyak pustul, nodul, abses; dan
= =
Ringan 2 Lebih dari setengah area terlibat. Banyak komedo, papul dan
pustu l .
Sangat berat 5
Sumber: Tan J KL, Tang J , Fung K, Gupta AK, Thomas DR, Sapra S, et a l . . Development and val idation of a
comprehensive acne severity scale. Journal of Cutaneous Medicine and Surgery 2007; Vol . I I ( 6 ) : 2 1 1 -6.
Pada tahun 2008 terdapat penilaian gradasi akne yaitu The Combined Acne
Severity Classification dimana penilaian ini menghitung jumlah lesi seperti yang
tertera di bawah ini :37
•
Akne ringan : < 20 komedo , atau < I 5 lesi infl amasi atau total lesi < 30;
Akne sedang : 20- 1 00 komedo, atau 1 5-50 lesi inflamasi atau total lesi
3 0- 1 25 ;
Akne berat : > 5 kista, atau komedo > 1 00, atau total lesi inflamasi > 50,
atau total lesi> I 2 5 .
Penilaian serupa dilakukan oleh /AA Consensus Grading pada tahun 2009
namun /AA juga menilai terdapatnya ska.r pada kulit waj ah :38
•
Akne ringan ( derajat I ) Komedo <30
Predominan komedo Papul < 1 0
Tidak ada skar
Akne sedang (derajat I I ) Komedo
Predominan papul Papul > I O
N odul <3
Skar ±
Akne berat (derajat H I ) Komedo
Banyak nodul Papul
N odul/kista >3
Skar
Surnber: Ramli R, Malik:AS, HaniAFM, Jamil A.Acne analysis, grading and computational
assessment methods: An overview. Skin Research and Technology 201 2; 1 8: 1 - 1 4.
Dari beberapa sistem gradasi akne yang ada, berikut perbandingan kelebihan
dan kekurangan y ,.ng dipakai di dunia:30
Menghitung lesi Ya Signifikan Sangat Punggung dan dada Tidak ada Tidak acla Tidak Ya Cukup
lambat diekslusi
Global assessment Tidak Moderat · · Cepat Terrnasuk seluruhnya Tidak ada Tidak acla Tidak Ya Cukup
Plewig dan Kligrnan Ya Signifikan Sangat Wajah kanan; ekslusi Tidak ada Tidak ada Tidak Ya Cukup
larnbat dacla punggung
Skor Cunliffe (teknik Tidak Moderat Cepat Punggung dan dada Manual Perlu Tidak Ya Buruk
Leed's) diekslusi foto biaya
Metode fotonurnerik Tidak Moderat Lambat Punggung dan dacla Manual Perlu Ya Ya Buruk
Cook diekslusi foto biaya
K.lasi fikasi AAD Ya Minimal Cepat Terrnasuk seluruhnya Tidak ada Tidak ada Tidak Tidak Baik
Sistem fotonumerik Tidak Moderat Lambat Punggung dan dada Manual Perlu Ya Ya Buruk
Allen clan Smith diekslusi foto biaya
Fotografi fluoresens Ya Moderat Sangat Punggung clan dada Sistem Perlu Ya Tidak Buruk
lambat diekslusi fotografi biaya
GAGS Ya Minimal Cepat Terrnasuk seluruhnya Tidak ada Tidak ada Tidak Ya Baik
Sistem gradasi yang disarankan untuk dipakai di Indonesia adalah The Global
Acne Grading System (GA GS) dan Lehmann s Grading System.
+ -
Sedikit memakan waktu.
KESIMPULAN
Menentukan suatu klasifikasi pada dasamya merupakan hal yang sulit dilakukan.
Pada akne, didapatkan sej umlah klasifikasi yang berbeda-beda dalam kepustakaan
menunjukkan sulitnya menentukan klasifikasi akne. Pen i laian deraj at keparahan
akne vulgaris masih menj adi tantangan bagi dermatol ogis, karena sampai saat
ini belum ada sistem gradasi yang diterima secara universal. Grading merupakan
pengukuran subyektif yang dapat berbeda antara satu dermatologis dengan
dermatologis lainnya (inter-rater reliability), dan dapat j uga terj ad i perbedaan oleh
satu dermatologis yang sama apabila menilai pasien yang sama pada waktu yang
berbeda (intra-rater reliability). Dermatologis membutuhkan guidelines yang tepat
untuk mengevaluasi kelainan kul it, menilai derajat keparahan dan memilih obat
yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA
20. Christiansen J, Holm P, Reymann F. Treatment of acne vulgaris with the retinoic acid
derivative Ro 1 1 - 1 430. A control led clinica l trial agai nst retinoic acid. Dermatologica
1 976; 1 53 : 1 72-6.
2 1 . Michaelson G, Juhl in L, Vahlqui st A. Oral zinc sulphate therapy for acne vulgaris . Acta
Denn Venereol I 977;57:372.
22. Cook C H , Centner RL, M ichaels S E . An acne grading m ethod using photographic
standards. Arch Dermatol 1 979; l 1 5 : 5 7 1 -5 .
2 3 . Al len BS, Smith JG. Various parameters fo r grading acne vulgaris. Arch Dermatol
1 982; 1 1 8 : 23-5.
24. Wasitaatmadja SM. Akne dan parut akne. Dalam: Wasitaatmadja SM, editor.
Dermatologi kosmetik, Edisi ke-2. Jakarta: F K U I , 20 1 1 ; 22 1 -7.
2 5 . Burke BM, Cunliffe WJ . The assessment of acne vulgaris: the Leeds technique. Br. J.
Dermatol 1 984; 3: 83-92.
26. Samuelson JS. An accurate photograph i c method for grading acne: I n itial use in a
double-blind clin ical comparison of mi nocycl ine and tetracycl i ne. J Am Acad Dermatol
1 985; 1 2: 46 1 -7 .
2 7 . Pochi PE, Shal ita AR, Strauss J S e t al. Reportof the consensus conference o n
acneclassification. Washington, D C , USA March 24-25, 1 990. J . Am. Acad. Dermatol
1 99 1 ;24: 495-500.
28. Kligman A M , Plewig G. C lassification of acne. I n : Akne and Rosacea (3rd Edition) .
Kl igman AM, Plewig G, eds. Berl in, Germany : Springer-Verlag, 2000; 245-247 .
29. Anne W, Lucky AW, Barber B L, G irman CJ, Wi ll iams J, Ratterman J, et al.. A multirater
validation study to assess the reliabil ity of acne lesion counting. J Am Acad Derma to I
1 996; 3 5 : 559-6 5 .
30. Dosh i A , Zaheer A, Stil ler MJ. A comparison o f current acne gradi ng systems and
proposal of a novel system. International Journal of Dermatology 1 997; 3 6 : 4 1 6-8.
31. O' Brien SC, Lewis J B, Cunliffe WJ . The Leeds revised acne-grading system. J.
Dermatol. Treat. 1 998; 9 : 2 1 5-220.
32. Lehmann H P, Robinson KA, Andrews JS, Holloway V, Goodman SN . Acne therapy: A
methodologic review. J Am Acad Dermatol 2002; 47(2 ) : 23 1 -40.
33. Tutakne MA, Chari KVR. Acne, rosacea and perioral dermatitis. I n : Val ia RG, Valia
A R, editors. ! A DVL Textbook and atlas of dermatology, 2 nd ed., Mumba i : Bhalani
publish ing House; 2003 . p. 689-7 1 0.
34. U S Department of Health and Human Services Food and Drug Administration Center
for Drug Evaluation and Research (CDER). Guidance for l ndustry; AcneVulgaris:
Developing Drugs for Treatment ( 2005 ).
35. Tan J KL, Tang J, Fung K, Gupta AK, Thomas DR, Sapra S, et al.. Development and
validation of a comprehensive acne severity scale. Journal of Cutaneous Medicine and
Surgery 2007; Vol. I I ( 6 ) : 2 1 1 -6.
36. Silva MR, Carneiro SCS. Classification of acne. Expert Rev Dermatol 2006; 1 ( 1 ): 1 57
- 1 59.
37. Tan JKL. Current measures for the evaluation of acne severity. Expert Rev Dermatol
2008; 3 ( 5 ) : 595-603
38. IAA Consensus Document. I ndian J Dermatol Venereol Leprol2009; Vol 75 (Supplement
1 ): S 1 3 -2 5 .
3 9 . Kelompok Studi Dennatologi Kosmetik Indonesia P ERDOSKJ . Akne. Wasitaadmadja
SM, editor. Indonesian Acne E xpert M eeting 20 1 2.
Reti Hindritiani
Departemen I l m u Keseh atan Kulit dan Kelamin
F a kultas Kedokteran U niversitas P aj aj aran, Bandung
PENDAHU LUAN
Lesi kulit pada akne bersifat polimorfik' ·2 berupa komedo, papula, pustula, dan
nodul, dengan lokasi utama di waj ah dan pada beberapa kasus terj adi di punggung,
dada dan bahu. Karakteristik penyakit ini adalah ditemukannya berbagai tipe lesi,
walaupun dapat ditemukan satu j enis lesi yang dominan, 1 dan yang menj adi kunci
dalam mendiagnosis akne adalah ditemukannya komedo.3 Akne tipikal terj adi pada
masa remaj a, namun varian-varian akne dapat terj adi pada seluruh kelompok umur.
Akne vulgaris yang tipikal biasanya mudah dikenali4 dan j arang terj adi kesalahan
dalam diagnosis.2 Namun demikian, varian akne, berbagai erupsi akneiformis
dan berbagai kelainan kulit lain yang menyerupai akne vulgaris harus dibedakan
dengan akne vulgaris untuk penatalaksanaannya secara tepat. 1 Kesalahan dalam
mendiagnosis akne karena adanya berbagai kelainan kul i t yang menyerupai akne
menjadi salah satu penyebab tidak responsifnya pengobatan akne.3 Pada makalah ini
dibahas mengenai diagnosis banding akne dengan menguraikan diagnosis banding
akne yang terdapat di berbagai l iteratur, diagnosi s banding akne yang barn, serta
diagnosis banding akne yang diusulkan digunakan di Indonesia.
• •
Comedonal acne (closed) I nflammatory acne
• •
M i l ia Rosacea
• Sebaceous hyperplasia Perioral dermatitis
•
Osteoma c utis Foll iculitis
•
Syringoma Pseudo-fo l l iculitis barbae
• •
Trichopith e l i oma, trichodiscoma, Acne keloida l i s nuchae
•
fibrofol l iculoma Furuncle/carbuncle
• •
Contact acne Keratosis pilaris
• •
Eruptive veil us hair cyst, steatocystorna multiplex N eurotic excoriations ( acne
• Col loid rn i l ia cxcoriee des i euncs fi l lcs )
Farias dkk. (tahun 20 1 1 )6 melaporkan satu kasus lupus eritematosus kutaneus kronik
tipe diskoid dengan gambaran plak violaseus dan sikatrik atro:fi disertai komedo pada
perrnukaan plak di dagu, hidung dan sekitar telinga. Sebelumnya pemah pula dilaporkan
6 kasus manifestasi akneiformis lupus diskoid, diantaranya dengan gambaran papula
folikular coklat kemerahan, komedo dan sikatriks atro:fi pada wajah, prestemal dan
punggung.7 Diagnosis lupus ditegakkan dengan biopsi.6•7
Akne neonatal atau akne neonatorum timbul pada usia sekitar 2 m inggu1dan sembuh
spontan dalam 3 bulan. 1 5 Lesi tipi kal berupa papula dan pustula pada pipi 1A·5•8dan nasal
bridge. 1.4 Komedo dapat pula ditemukan. Lokasi l ainnya pada dahi, dagu, leher dan badan
bagian atas.4 Ada pendapat bahwa akne neonatal merupakan varian dari neonatal cephalic
pustulosis. 1 Diagnosis banding akne neonatal adalah miliaria rubra dan neonatal cephalic
pustulosis.
Akne infantil timbul pada usia 3- 1 2 bulan dan menghilang spontan dalam 1 -2 tahun.
Lesi tipikal berupa komedo, dapat pula ditemukan papula, pustula, nodul dan sikatrik.1.4.5
Predi leksi utama pada pipi dan terutama terjadi pada laki-laki .5 Diagnosis banding akne
infantil adalah milia, h iperplasia sebasea dan miliaria rubra.
1. Miliaria rubra
Miliaria rubra (prickly heat) te1jadi akibat obstruksi kelenjar keringat di epidennis yang
menyebabkan retensi keringat.8Gambaran kl inis berupa papula eritem dan papulovesikel
dengan diameter 1 -4 mm, diskret pada dasar kulit yang eritem.8•9 Predileksi terutama pada
fteksural, yaitu di sekitar leher, l ipat paha, dan aksila. Selain itu, sering pula pada wajah,
kulit kepala berambut, dan badan bagian atas,9 atau pada bagian tubuh yang tertutup.8
Kelainan ini cenderung berulang.9
3. Milia
Milia pada neonatus te1jadi akibat retensi keratin di dalam dennis dengan gambaran
berupa papula pearly white atau kuning berukuran 1 -2 mm, terutan1a di pipi, hidung, dagu
dan dahi . Milia pada neonates ini dapat bertahan sampai bulan kedua atau ketiga,8 namun
biasanya sembuh spontan dalam minggu ke3 atau 4 kehidupan.8•11
4. H iperplasia sebasea
H iperplasia sebasea pada bayi baru lahir merupakan fenomena fisiologis akibat stimulasi
androgen maternal. Gambaran klinis berupa papula kecil multipel, berwama kuning
sampai sewarna kulit pada h idung, pipi, dan bibir atas. Kelainan ini bersifat sementara
yang akan hilang spontan dalam beberapa minggu kehidupan.8
Milia merupakan IGsta epidennoid berukuran kecil yang dapat timbul pada semua usia.
Kelainan ini dapat merupakan fenomena primer yang terutama timbul pada wajah, atau
fenomena sekunder setelah timbulnya bula atau ulserasi superfisial alGbat trawna atau
prosedur kosmetik. Milia j uga dapat tirnbul pada area kulit atrofi alGbat efek samping
steroid topikal. 1 1 Gambaran klinis berupa papula subepidermal berbentuk seperti kubah
dengan warna putih atau kekuningan berukuran 1 -2 mm . 1 1 · 1 2
2. Hiperplasia sebasea
3. Siringoma
Siringoma merupakan tumor j inak yang sering ditemukan pada wanita dewasa. Kelainan
ini terdapat di ductus ekrin intradermal atau di akrosiringium alGbat faktor lokal seperti
obstruksi duktus oleh keratin pfugyang menyebabkan proliferasi duktal . Gambaran klinis
berupa papula multipel, kecil, halus, sewama kulit atau kekuningan, terutama di kelopak
bawah mata. 1 3
4. Trikhoepitelioma
5. Steatosistoma multipleks
Kelainan ini merupakan IGsta di dennis yang be1isi sebum . Garnbaran klinis berupa nodul
rnultipel dengan perrnukaan halus sewarna kulit atau kekuningan, berukuran beberapa mm
sampai dengan 20rnm atau lebih, tersering pada badan dan proksirnal tungkai. Apabila isi
kista dikeluarkan, tarnpak keluar cairan berminyak. 1 2
6. Osteoma kutis
2. Sindroma Favre-Rocouchot
Nama lain sindroma Favre-Rocouchot adalah komedo solaris atau komedo senilis.
Kelainan ini te1jadi pada individu usia tua dengan riwayat pajanan sinar matahari
yang tinggi.2 Gambaran kJinis berupa komedo terbuka berukuran besar, multipel,
kadang-kadang ditemukan komedo tertutup, disertai tanda-tanda kulit yang mengalami
photodamaged. Predileksi pada area periorbital dan pipi,2•18biasanya simetris.2
Dilated pore of Winer merupakan kista berisi material keratinosa yang bermuara
ke permukaan epiderm is berupa keratin-.filled opening ("pore") pada bagian tengah
kista. 1 1 • 1 3 Masih menjadi perdebatan apakah kelainan ini murni kista fol ikul ar
ataukan neoplasma j inak. Gambaran kl inis berupa lesi serupa komedo terbuka
berukuran besar, soliter, pada kepala dan leher, terutama pada laki-laki usia tua. 1 3
4. Nevus komedonikus
terbuka. Ukuran sangaat bervariasi, dari diameter beberapa sentimeter sampai dengan
sangat luas mencapai setengah bagian tubuh. Bagian tubuh yang paling sering terkena
yaitu wajah, diikuti badan, leher, dan ekstremitas atas.19
1. Erupsi akneiformis
Erupsi akneifonnis adalah erupsi lesi menyerupai lesi akne yang dapat disebabkan oleh
obat, bahan kimia industri, radiasi ultraviolet dan lain-lain. Contoh erupsi akneifonnis
adalah drug-induced acne, occupational acne, chloracne, folikulitis Gram negatif, akne
radiasi, akne tropikal, akne aestivalis, pseudoacne of the nasal crease, dan sindroma
Apert. '
Berikut ini diuraikan beberapa bentuk erupsi akneifonnis:
a. Drug-induced acne
Folikulitis Gram negatif dapat timbul pada pasien akne yang diberi antibiotik oral
jangka panjang, terutama tetrasiklin. Pada awalnya, biasanya didapatkan respon yang
baik dengan tetrasiklin, namun kemudian akne semakin parah. Gambaran klinis berupa
lesi papulopustula di sekitar hidung. Lesi dapat pula berupa nodul dalam. Kultur dari
Transverse nasal crease merupakan varian anatornik berupa transverse linear groove
menyilang bagian tengah hidung. Pada pasien usia pra-remaja dapat timbul papula eritem
menyerupai akne pada area tersebut, sehingga disebut pseudoacne ofthe nasal crease. 1
3. Dermatitis perioral
Dermatitis perioral ditandai dengan papula eritema, vesikel, atau pustula dengan dasar
eritema dan/atau skuama di daerah perioral, perinasal, dan/atau periokular, dengan
distribusi biasanya simetris. Kadang-kadang disertati keluhan subjektif gatal atau rasa
padas. Kelainan ini terutama dihubungkan dengan pemakaian kortikosteroid topikal
yang tidak tepat. Pasien biasanya mempunyai riwayat kelainan kulit perioral atau
perinasal atau periokular yang responsive terhadap kortikosteroid, dan memburuk bila
kortikosteroid dihentikan. Selanjutnya terjadi ' ketergantungan' terhadap kortikosteroid
topikal karena pasien terus mengulangi pemakaian kortikosteroid.21
4. Keratosis pilaris
Karakteristik keratosis pilaris yaitu adanya keratinous plugs di dalarn orifisiurn folikular
dengan berbagai derajat eritem perifolikular, biasanya tirnbul pada masa anak-anak dan
mencapai puncak insidens pada masa remaj a. Kelainan ini lebih sering ditemukan pada
anak-anak dengan riwayat atopi. Gambaran klinis berupa kurnpulan keratin berwarna
putih keabu-abuan pada mulut folikel . Predileksi pada lengan atas (92%), paha (59%),
dan bokong (30%).22
5. Folikulitis pitirosporu rn
Folikulitis pitirosporum atau fol ikulitis Malassezia tipikal terj adi pada dewasa
muda, berupa papula folikular dan kadang-kadang pustula yang terasa gatal,
terutama pada punggung, dada, dan bahu. Pada pemeriksaan menggunakan K O H
pada i s i folikular didapatkan Malassezia. 1 6•23
7. Pseudofolikulitis barbae
Pseudofolikulitis barbae terutama terjadi pada ras kulit hitam dengan rambut keriting.
Kelainan timbul pasca mencukur rambut. Pasca dicukur, ujung rambut melekuk ke arah
kulit dan penetrasi ke dalam kulit yang menyebabkan inflamasi. Gambaran klinis berupa
papula inflamatif, pustula, serta papula hiperpigmentasi, paling sering pada area janggut
dan leher anterolateral.16
RESUME
Akne vulgaris tipikal mudah dikenali dan jarang te1jadi kesalahan diagnosis. Namun
demikian, berbagai penyakit kulit yang tergolong varian akne, erupsi akneiformis, dan
kelainan kulit lain dapat menyerupai akne dan harus dibedakan dengan akne vulgaris
untuk penatalaksanaan secara tepat. Diagnosis banding akne di berbagai literatur, pada
umumnya dikelompokkan menjadi diagnosis banding akne neonatal, diagnosis banding
akne komedonal tertutup, diagnosis banding akne komedonal terbuka, dan diagnosis
banding akne inflamasi
DAFTAR P U STA KA .
13. Srivastava D, Taylor RS.Appendagetumors and hamartomas ofthe skin. Dalam :Goldsmith
LA, Katz S l , G i lshrest BA, Paller AS, Leffel DA, Wolff K,penyunting. Fitzpatrick's
dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw- H i l l ; 20 l 2.h. 1 337-58.
14. Fairley JA. Calcifying and ossifying disorders of the skin. Dal am: Bologn ia J L, Jorrizo
J L, Schaffer JV, penyunting. Dermatology. Edisi kedua. China : Elsevier Saunders; 20 1 2.
h733-5
15. Calonje E. Soft-tissue tmours and tumour-like conditions. Dalam: Burns T, Breathnach
S, Cox N, Griffiths C, penyunting. Rook's textbook of dermatology. Edisi ke-8. West
Sussex: Wiley-Blackwell; 20 1 0. h . 56.6 1 -62.
16. M c Michael A, Curtis AR, Guzman-Sanchez D, Kelly A P. Folliculitis and other follicular
d isorders. Dalam : Bolognia J L, Jorrizo J L, Schaffer JV, penyunting. Dermatology. Edisi
kedua. China:Elsevier Saunders; 20 1 2.h.57 1 -85.
1 7 . Messenger AG, de Berker D A R, S inclair RD. Disorders of hair. Dalam : Burns T,
Breathnach S, Cox N, Griffiths C, penyunting. Rook's textbook of dem1atology. Edisi
ke-8. West S ussex: Wiley-Blackwe l l ; 20 1 0. h .66.73
18. Lim H W, Hawk LM. Photodennatologic disorders. Dalam: Bolognia JL, Jorrizo
J L, Schaffer JV, penyunting. Dermatology. Edisi kedua. China:Elsevier Saunders;
20 1 2 .h . 1 484.
19. Requena L, Requena C, Cockerel CJ. Benign epidermal tumors and proliferations.
Dalam: Bolognia J L, .Jorrizo J L, Schaffer JV, penyunting. Dermatology. Edisi kedua.
China:Elsevier Saunders; 20 I 2.h. 1 8 1 1 -2 .
20. Pelle MT. Rosacea.Dalam:Goldsmith LA, Katz S I , G i lshrest BA, Paller AS, Leffel DA,
Wolff K,penyunting. Fitzpatrick's dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New
York: McGraw- H i l l ; 20 1 2.h.9 1 8-20.
2 1 . Lawley LP, Parker SRS. Perioral dennatitis. Dalam:Goldsmith LA, Katz S I , G i lshrest
BA, Paller AS, Leffel DA, Wolff K,penyunting. F itzpatrick's dermatology in general
medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw- H i l l ; 20 1 2.h.925-8.
22. Judge MR, McLean W H I , M unro CS. D isorders of keratinization. Dalam : Bums T,
Breathnach S, Cox N, Gri ffi ths C, penyunting. Rook's textbook of dennatology. Edisi
ke-8. West Sussex: Wiley-B lackwell; 20 1 O.h. 1 9.72-73
23. Kundu RV, Garg A . Yeast i nfections:candidiasis, tinea ( pityriasis ) versicolor, and
malassezia (pityrosporum) folliculitis. Dalam:Goldsmith LA, Katz S I , Gilshrest
BA, Paller AS, Leffel DA, Wolff K,penyunting. Fitzpatrick's dermatology in general
medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw- H i l l ; 20 l 2 .h . 23 1 0- 1 .
24. Beth-Jones J. Rosacea, perioral de1matitis and similar dermatoses, fl ushing and flushing
syndromes. Dalam: Bums T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, penyunting. Rook's
textbook of dermatology. Edisi ke-8. West Sussex: Wiley-B lackwell; 20 1 O.h.43 . 1 2- 1 3 .
Sj a rif M . Wasitaatmadj a
Kelompok Studi Dermatologi Kosmetik Indonesia
Jakarta
PENDAHULUAN
Akne adalah penyakit peradangan menahun pada fol ikel pilosebasea didaerah
predisposisi dengan gejala klinis komedo, papul, pustule, nodus dan kista ' .
Patogenesis dari penyakit meskipun masih terns diteliti tetapi tetap berpangkal pada
4 cara, yaitu h iper keratinisasi abnormal, hiper aktivitas dari kelenj ar sebasea, h iper
proliferasi mikroorganisme P. acnes dan inflamasi dan reaksi imunologis pej amu2•
Akne umumnya terjadi pada remaj a namun ada kemungkinan timbul pada umur
bayi sampai usia dewasa lanjut3 . Dengan demikian akne pada orang dewasa (adult
acne) bukan hal barn terj adi dalam pembahasan tentang akne, namun barn beberapa
tahun terakhir disorot karena angka kej adiannya makin lama makin meningkat".
Dalam makalah ini akan ditinjau berbagai hal mengenai akne yang terjadi pada
orang dewasa.
DE F INISI
Akne pada orang dewasa (adult acne) seringjuga disebut sebagai post adolescent
acne. Dengan pertimbangan bahwa umur terbanyak (peak age) akne terjadi pada
umur 1 6 tahun - 1 9 tahun (pria) dan umur 1 4 tahun 1 7 tahun (wanita)5 dan
-
estimasi terjadinya akne rata-rata (mean duration) selama 5 tahun maka diharapkan
bahwa pria dengan umur 25 tahun dan wanita dengan umur 23 sudah terbebas dari
penyakit ini, sehingga pada umur 25 tahun berada diluar waktu yang diharapkan
untuk akne pada remaj a4. Betapapun tentu interpertasi ini bukan hal yang absolut
sehingga masih diperdebatkan.
Tabel I : Perbedaan antara ADOLescent acne dan ADULt acne, disarikan dari
beberapa makalah.
AKN E REMAJA AKNE DEWASA
UMUR < 2 5 tahun >25 tahun
GENDER Pria > Wanita Wanita > Pria
NON- INFLAMASI Ada Jarang
INF LAMASI Ada Ada
PREDILEKSI Muka, leher, bahu, punggung atas Dagu, perioral, garis rahang,
dada atas jarang dadal punggungatas
PREVALENSI
Prevalensi kasus akne pada orang dewasa terns rneningkat dari satu dekade ke
decade selanjutnya. Berbagai penelitian di seluruh dunia dengan cara survey, klinis, basis
komunitas, basis hospital menunjukkan hal tersebut4. Di UK penelitian berbasis komunitas
menunjukan bahwa akne pada wanita dewasa berumur 25 - 44 tahun terjadi pada 1 4%
wanita dewasa6. Goulden et al mencatat bahwa mean age akne meningkat dari 20.5 ke
26.6 tahun dalam eaktu l 0 tahun sejak tahun 1 989 sampai tahun 1 999. Hal ini mungkin
disebabkan karena peningkatan prevalensi dari grup ini atau meningkatnya awareness4.
Sementara itu berbagai survey juga menunjukkan bahwa akne dewasa lebih banyak
terjadi pada wanita dibanding pria. Survey Goulden et al tahun 1 999 di UK menunjukkan
prevalensi wanita - pria lebih dari 25 tahun: wanita - pria 54% - 40%. Collier et al di US
melaporkan prevalensi wnita - pria pada umur 20-29 tahun 50.9% - 42.5%, umur 30-39
tahun: 35.2% - 20. 1 %, pada umur 40-49 tahun: 26.3% - 1 2.0%, pada umur diatas 50
tahun: 1 5.3% - 7.3%4.
JENIS
1 . Late-onset 4·6, yaitu akne baru pertama kaLi terjadi pada urnur diatas 25 tahun. Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Dumont-Wallon G dan Dreno (dikutip daii Layton
AM4) ini terjadi pada 34% wanita dengan adult acne. Jenis ini ada 2 sub-tipe:
a. Chin acne, yaitu bentuk papul dan nodus beradang terletak dalam, lama hilangnya,
atau kista di dagu dan peri oral6. Atau hipersebore disekitar dagu disertai lesi
retensional terutama kornedo tertutup kecil dengan premenstrual flare4.
b. Sporadic acne, yaitu bentuk akne yang tirnbul tiba-tiba tanpa sebab yang jelas,
rnungkin ada hubungannya dengan penyakit sistemik.
2. Persistent acne 4•6, yaitu akne yang dimulai sejak remaja dan terus terjadi sarnpai
dewasa. Penyebabnya bermacam-macam: terapi yang tidak efektif, terapi yang salah,
atau terapi yangtidak berhasil. Hasil penelitian di U K ini terjadi pada 7 1 % adolescence1•
Lesi umurnnya deep-seated, nyeri, papul dan nodul beradang dan terdapat pada 1/3
bawah wajah, garis rahang dan bahu. Kornedodi kening dan bagianlateral wajah
jarang terlihat6.
3. Relaps dari adolescent acne4, yaitu jenis akne pada orang dewasa yang timbul
kernbali setelah pada usia remaja telah berhasil disembuhkan. Namun memang sukar
untuk meyakini bahwa akne sudah benar sembuh atau tidak, kecuali bila pemah
menggunakan isotretinoin dan berhasil sembuh. Menurut penelitian Collier et al tahun
2008 (dikutip dari Layton AM4), terjadi pada 4% pria dan 1 3% wanita.
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
56 for internal-private use, not for commercial purpose
Akne pada Orang Dewasa
GEJALA KLINIS
Seperti pada akne lain, keluhan penderita subjektif hanya ada sedikit gatal atau
nyeri, tetapi umumnya keluhan estetis lebih nyata. Gej ala subjektif agak berbeda
dari jenis adult acne satu dengan lainnya. Pada j enis late-onset subtype chin acne
( dagu) terlihat premenstrualflare up, seborhe, komedo tertutup, nodus dan kista di
dagu dan perioral 4•8• Pada subtype persistent gej al anya tidak berbeda dengan akne
pada remaja hanya j arang terlihat komedo10• Pada j enis relaps tidak ada keterangan
khusus dalam literature kecuali bahwa premenstrual flare up terj adi pada setiap
jenis adult acne 10•
·
LATE O N S ET PERSISTEN RELAPSE ·F i:'#·
, ,' :--� �
··
PREVALANCE
34 %(DUMMONT) 71 %{CUNLIFFE) 4-13%{COLLIER)
KONSIDERASI HORMONAL
Disamping gej ala akne, wanita dengan adult acne sering disertai gejala
hiperandrogenism yaitu hirsutisme, premenstrual flare dan alopesia. Mungkin
bukan disebabkan oleh kenaikan kadar androgen tetapi akibat hipersensitifitas end
organ di kelenj ar sebasea.
Siklus menstrual
Aspek hormonal terbukti kuat terkait dengan adult acne pada wanita dengan adanya
premenstrualflare. Namun prevalennya bervariasi . Satu survey di U K menemukan
bahwa 44% dari 400 peserta survey dengan premenstrualflare dan mereka dengan
usia diatas 33 tahun lebih banyak dibandingkan dengan yang dibawah 33 tahun.
Survey lain menemukan angka 83%4.
Dihydroepiandrosteronesulfate
Androgen
Androgen j aringan disangka punya peran patogenik dalam akne dewasa. Androgen
jaringan dibuat di kelenj ar sebasea dan keratinosit via metaboli sme D H EAS.
M eskipun serum androgen dalam kadar normal dapat meningkatkan kadar androgen
jaringan akibat aktivitas ensim dan lebih banyak reseptor sensitive dalam kelenjar
sebasea dan/ atau keratinosit4.
Terdapat 52-82% adult acne disertai dengan polycystic ovaries meskipun profil
hormonalnya tidak sesuai dengan polycystic ovarian syndrome ( PCOS)4•
Genetik
Hubungan keluarga dengan akne termasuk adult acne telah banyak dilaporkan.
Pada mereka dengan kembar identik terj adi 97.9% kasus dengan akne. Berbagai
penel itian diseluruh dunia menunjukkan hubungan keluarga terdapat pada 38 -
50%. Faktor genetik berperan dalam pertumbuhan, persistensi dan respon terhadap
pengobatan4.
Sebuah studi lain mendapatkan 50% penderita akne dewasa mempunyai anggota
keluarga dengan akne6.
FAKTOR E KSTERNAL
P. acnes mempunyai peran penting dalam patogenesis adolescent acne dan adult
acne 4•6• Insiden resisten P. acnes terhadap antibakteri meningkat pada beberapa
dekade terakhir ini.Terj adinya resistensi P. acnes menyebabkan terj adinya penurunan
respon terhadap antibiotik terutama terhadap eritromisin dan tetrasiklin sehingga
menyebabkan peningkatan kasus adult acne. Meskipun demi kian bukti tentang
hal ini belum disepakati6. Kemungkinan terj adinya resistensi m ikroba terhadap
antibiotik akibat penggunaan berkepanj angan antibiotik sistemik maupun topikal
tanpa memakai ajuvan lain untuk mencegah terj adinya resistensi . Tak ditemukan
perbedaan mikroba pada akne adolesen dan akne dewasa4•
Drug-induced Acne
Berbagai obat sistemik disangka sebagai penyebab akne termasuk akne dewasa,
misalnya prednisolon, l ithium, anaboli c steroid.
Kortikosteroid
Ciclosporin Transplantasi
Ekspose sinar UV
Radiasi sinar UV dapat menyebabkan inflamasi dan pembentukan peroksida skualen
yang sangat komedogenik. Hal ini dapat berperan dalam terjadinya persisten akne di
negara-negara tropis dengan tambahan kelembaban udara dan perspirasi yang tinggi4•
Iklim
Ada perbedaan pendapat hubungan antara akne dan iklim, di UK menyatakan summer
memperbaiki akne sedangkan winter memperburuk akne. Di India justru sebaliknya,
musim panas dengan sinar matahari melimpah memperburuk akne 4. Di Indonesia
dengan hanya 2 musim, musim panas memperburuk akne.
Merokok
Merokok sejak lama disangka berperan dalam terjadinya akne, termasuk akne dewasa.
Satu varian post adolescent acne dengan komedo besar mirip kista di seluruh muka
dengan sedikit lesi in:flamasi dan minimal di sepertiga bagian bawah wajah disangka
berhubungan dengan merokok.4.
Kosmetik
Peran kosmetik pada akne persisten selalujadi perdebatan. Kligman dan M ills menamakan
akne kosmetik yang menerangkan akne persisten dengan gradasi rendah pada orang
dewasa. Ada bukti yang jelas bahwa berbagai ingredient kosrnetik dapat menimbulkan
komedo baik di dalam percobaan binatang maupun manusia. Erupsi akneiformis akibat
tindakan perawatan kecantikan dengan massage sudah sering dilaporkan, dengan lesi
inflamasi dan bekas hiperpigmentasi. Meskipun demikian Cunliffe menyatakan bahwa
tidak ada korelasi antara hubungan antara durasi penggunaan kosmetik dan severity akne,
dan mengatakan pula bahwa menghentikan penggunaan kosmetik tidak memperbaiki
penyakitnya6. Sementara itu adanya elemen oil dan produk berminyak dalam kosmetik
memang menyebabkan bahwa peran ini patut dipikirkan kembali4. Baca selanjutnya Bab
Akne Kosmetik.
Stres
Stres sering dilaporkan menjadi trigger terjadinya akne pada wanita. Faktor emosi
mungkin menjadi penyebab akne akibat dari meningkatnya aksis adrenal-pituitary. Stres
mungkin berhubungan dengan meningkatnya produksi adrenal androgen dan produksi
sebum dan komedogenesis6. Stres menyebabkan peningkatan sekresi androgen sehingga
dianggap jadi penyebab adult acne. Ada penelitian yang mengungkapkan adanya
hubungan stress dengan akne pada 7 1 % kasus. Penebtian lain menyatakan bahwa ada
hubungan antara stress dan peningkatan kadar kortisol. Respon terhadap isotretinoin atau
antibiotic pada penderita ini dilaporkan tidak baik4•
Kehamilan
Kehamilan mempunyai respon bervariasi pada acne, ada yang memperbaiki ada
yang memperburuk dengan terj adinya flare. Goulden et al melaporkan penelitiannya
bahwa terjadi perbaikan pada 43% kehami lan, flare pada 1 8% kehami lan dan tidak
ada efek pada 39% kehamilan9 .
SEQUELE
Psychosocial Impact
· Akne pada usia berapapun mempunyai impak psikososial ; terhadap penurunan
self-esteem, pendapatan sosioekonomi rendah dan impak negative pada fungsi sosial
m isalnya hubungan sosial dan kuntinyuitas dengan sekitamya. Akne yang terjadi
pada orang dewasa menyebabkan 40% psychiatric co-morbidity sebuah angka yang
tinggi sehingga perlu penanganan empati dan suportif khusus4•
Scar
S kar pos akne lebih banyak terj adi pada akne dewasa daripada akne remaja. Hal
ini memerlukan tindakan aktiv dan agresif pada managemen adult acne4•
Diskromia merupakan hal yang sering terj adi akibat proses inflamasi pada akne.
MANAGEMEN TERAPI
Managemen umum pada akne akan dibicarakan dalam makalah lain. Meskipun
banyak persamaan tata laksana akne pada remaj a dan akne pada orang dewasa
namun ada perbedaan khusus yang harus diperhatikan untuk mencapai approach
holistic, tailored untuk memadankan kebutuhan individual dan lifestyle pasien4.
Kulit orang dewasa lebih iritabel dan lebih sensitive akibat proses menua. Penderita
dengan sej arah pengobatan bermacam-macam memerlukan pengobatan baru yang
responnya mungkin Jambat sehingga memerlukan edukasi dan konsel ing khusus.
M elupakan perlunya hubungan baik antara pasien dan dokter dapat mengurangi
hasil outcome upaya pengobatan4.
Pemakaian kosmetik
Penggunaan kosmetik pada penderita wanita dewasa adalah hal penting yang
harus dilakukan dan dij elaskan. Sudah diketahui bahwa penggunaan pembersih,
pelembab dan UVprotector dapat membantu managemen terapi4• Pembersih berguna
untuk menghi langkan kotoran yang menempel di kulit. Gunakan pembersih dengan
bahan dasar air, air dan alkohol atau air dan sedikit minyak. Gunakan pelembab
cair dengan ingredient non komedogenik dan non alergik. Sunscreen U V lebih baik
memakai ingredient fisik (Ti02, ZnO) dan j angan dengan ingredient kimia (PABA,
non PABA). Kosmetik dekoratif yang digunakan harus m in imal, non l ipid dan tipis.
Jangan melupakan bahwa berbagai kosmeseutikal dapat dipakai sebagai aj uvan dan
maintenance untuk menghindari terjadinya resistensi terhadap pengobatan 1 1 •
PENUTU P
Adult acne bukan penyakit baru tetapi j enis terbarukan dari akne yang mencuat
dalam beberapa decade terakhir. Jenis ini makin bertambah dengan adanya
berbagai faktor predisposisi yang terjadi akibat kemaj uan social ekonomi dunia
serta perkembangan persaingan serta produk konsumtif, estetis dan teknologi
di abad ke 20 dan 2 1 ini. M anagemen adult acne umumnya sama dengan akne
pada remaja dengan beberapa catatan perbedaan baik untuk terapi topikal, terapi
sistemik, tindakan non invasive maupun invasive serta penggunaan kosmetik serta
kosmeseutikal dalam nya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunliffe WJ . C linical Features of Acne. In Acne. M artin Dunitz, London, 1 989: 1 1 -76.
2. Plewig G, K ligman AM. A Precise of Pathogenesi s . I n Acne, Morphogenesi s and
Treatment. Springer-Verlag, Berlin, 1 97 5 : 1 -2 .
3. Shal ita A R . Forewords. I n Dermatology C linics. Vol l No 3 S i mpos i um on Acne> WB
Saunders Co, Philadelphia, 1 98 3 : 329-30.
4. Layton AM, Mawson RL. Adult Acne. In World C l in i cs Dermatology, Acne. Khana N ,
Kuba R. Jaypee Brothers Medical Pub l isher LTD, New Delh i , 20 1 3 : 1 28-43.
5 . B urton JL, Cunl iffe WJ, Shuster S. The prevalence of acne i n adolescence. Br J
Dermatol 1 97 1 ; 8 5 : 1 1 9-26.
6. Wil liams C, Layton AM. Persistent acne in women. I mplications for the patient and for
therapy. A m J C l i n Dermatol 2006;7: 2 8 1 -290.
7. Lolis MS et al. Acne and Systemic D isease. I n Acne. Schwartz RA, M ical i G eds. Mc
M i l lan Med Com, I n d ia 20 1 3 : 79-87.
8. Wil liams C, Layton AM. Persistent Acne in Women. Am J Cl in Dermatol 2006;7(5 ) :
2 8 1 -290.xxxxxx
9. Goulden V, Clarck SM, Cunliffe WJ. Post-adolescent acne: a review of clinical features.
British Journal of Dermatology 1 997; 1 36 : 66-70.
10. Knaggs, Wood EJ, M i l ls OH. Post-adolescent acne. International Journal of Cosmetic
Science, 2004, 26, 1 29- 1 3 8 .
1 1 . Wasitaatmadj a SM. Logical approach i n Cosmeceutical Acne Treatment. A P EODS &
P I T XII I P E RDOSKI , Jogjakarta, 20 1 3 .
Sj a rif M. Wasitaatmadj a
Kelompok Studi Dermatologi Kosmetik I ndonesia
Jaka rta
PENDA H U LUAN
Akne adalah penyakit peradangan kronis kul it yang urnumnya terj adi pada
rnasa pubertas. meskipun kadangkala terj adi pula pada masa sebelum pubertas
(prepubertal ) atau sesudah pubertas (postpubertal ) 1 • Jurnlah kej adian akne pada
masa sebelum pubertas memang tidak banyak, sekitar 3- 7% pada studi tahun 1 97 1 di
Inggris 2, meskipun jum lah kasus pada masa sesudah pubertas, yang disebut sebagai
akne dewasa makin meningkat setiap dekade 3• Kasus akne prepubertal adalah akne
yang terjadi pada neonatal,infantile dan anak keci l dewasa ini bukan ditenggarai
sebagai j arang lagi dan kadang kala disertai virilisasi dan dapat berpotensi menj adi
akne berat pada masa remaj anya4• Pada umurnnya telaah mengenai managemen
akne adalah telaah kej adian akne pada masa pubertas; yaitu masa hidup manusia
diantara umur 14 tahun sarnpai 1 8 tahun, narnun saat ini temyata urnur insidensi
penderita berubah, awitan akne terj adi pada umur lebih muda yaitu sekitar umur 1 0
tahun. WHO menetapkan bahwa masa remaj a adalah masa diantara umur 1 0 tahun
sampai umur 20 tahun, dengan kriteria remaj a awal (early) saat umur 1 0 - 1 4 tahun,
remaj a pertengahan (middle) saat umur 1 5- 1 6 tahun dan remaj a akhir (late) saat
umur 1 7 - 20 tahun 5. Makalah ini hanya akan rnernbahas managernen akne pada
masa prepubertal yaitu dibawah usia 1 0 tahun, rnengingat pernbahasan mengenai
managemen akne umurnnya mengenai akne pubertal sudah banyak dilakukan
termasuk oleh para expert di I ndonesia tahun 20 1 5 yang lalu, dan pembahasan
managemen akne pascapubertas (akne dewasa) j uga sudah sering diutarakan di
berbagai pertemuan i lmiah di Indonesia akhir-akhir ini. Akne prepubertal mungkin
tidak sebanyak akne pubertal tetapi penting untuk diternukan karena prosedur
diagnostik dan terapeutiknya agak berbeda 6•
TERM INOLOGI U S I A
masa puber akan dicapai masa dewasa; yang dipisah menj adi dewasa muda dan
dewasa. Sedangkan pediatric lebih umum digunakan pada segmen umur sebelum
dewasa, j adi termasuk masa puber dan masa prepubertal 5. Dalam masa anak terbagi
j adi beberapa segmen, yaitu bila umumya dibawah 1 bulan atau 6 minggu, sering
disebut sebagai masa bayi baru lahir (neonatal), bila umurnya 1 bulan sampai 1
tahun disebut sebagai bayi ( infant) . . Dan bila umurnya antara 1 tahun sampai 1 0
tahun disebut sebagai masa kanak-kanak. Ini untuk membedakan antara masa anak
(childhood) dan dan masa sebelumnya atau sesudahnya. Dalam terminologi akne
batasan infantile terj adi pada masa sesudah neonatal sampai umur 5-6 tahun Namun
diakui terminologi ini masih belum baku dan mungkin akan diperdebatkan antara
ahli bahasa dan ahli biologi sebab penulis tidak menemukan tul isan yang dapat
dij adikan acuan .
M anagemen akne terkini disetiap negara di dunia tidak persis sama. Ini yang
menyebabkan kesulitan dalam menemukan persamaan pendapat dari berbagai ahli
dalam epidemiologi, diagnosis dan terapi . Pada tahun 2003 sejumlah pakar penyakit
kulit dari berbagai pusat studi di dunia mengadakan pertemuan untuk menyusun
Global A lliance to Improve Outcomes in Acne (GA) yang me-rekomendasikan
berbagai hasil telaah evidence-base hasil input dari berbagai negara 7• Beberapa
tahun kemudian, yaitu tahun 2009, para pakar yang sama melakukan revisi untuk
beberapa item termasuk peran antibiotik, laser dan light base, tujuan terapi dan
maintenance terapi serta terapi untuk skar pasca akne 8•9. Secara umum dapat
disimpulkan bahwa terapi untuk akne diterapkan berdasarkan gradasi berat ringan
penyakit (severity), jenis lesi yang dominan (klinis) dengan memetakan pilihan
awal dan pilihan lain dari obat topikal dan obat sistemik.
Para pakar dari berbagai pusat pendidikan dan studi di I ndonesiapun merasakan
kondisi tersebut. Pada tahun 20 1 2 atas inisiatif dari KSDKI Perdoski diadakan
meeting di J akarta untuk membahas hal yang sama. Mengapa ini dilakukan padahal
GA tersebut direkomendasikan untuk seluruh dunia?. Ada berbagai alasan yang
kami simpulkan dari pembahasan tersebut yaitu intinya situasi dan kondisi di
Indonesia tidak sama dengan di negara barat atau negara lainnya. Tahun 20 1 5 I AEM
merevisi rekomendasi tersebut. Dengan demikian kita punya pedoman tata laksana
akne untuk para dokter di Indonesia yang berisi definisi, cara diagnosis, diagnosis
banding, penentuan gradasi keparahan, pemilihan awal dan lanj utan obat topikal
maupun obat sistemik, dan pemberian terapi aj uvan dan terapi maintenance serta
tata laksana untuk hiperpigmentasi pasca akne dan parut pasca akne. Rekomendasi
ini agak berbeda dengan rekomendasi Global Alliance 1 0
RETINOIDS
Retinoid merupakan pilihan lini pertarna terapi akne secara urnumnya. Dalam grup
obat ini terdapat generasi pertama obat retinal, retinal dan retinoic acid. Retinal dan
retinal tersedia di pasar bebas atau over the counter. M ekanisme kerja dari retinoid
adalah keratol itik, merangsang kolegenesis barn dan anti inflarnasi 7• 1 5 • Efektifitas
retinal dan retinal umumnya lebih rendah dari asarn retinoat. Generasi kedua dan
ketiga retinoid mempunyai efek yang lebih besar dengan efek samping yang lebih
rendah 1 6• Di I ndonesia hanya beberapa jenis yang tersedia di pasar. Dernikian pula
perubahan konsentrasi bahan aktif dan vehikel akan berpengaruh pada efektifitas
dan efek simpang obat topical 1 7·
BENSOI L PEROKS I DA
Bensoil peroksida ( BPO) merupakan pilihan lain dari terapi topical anti akne.
Mekanisme kerj a B PO adalah antibacterial terhadap P. acnes sehingga menurunkan
populasi di struktur pilosebasea dan secara tidak langsung mengurangi kadar asam
lemak bebas serta menghambat inflamasi. BPO tidak menyebabkan terjadinya
resistensi dari mikroba di kulit sehingga lebih aman dipakai dalam jangka panjang
dalam terapi akne atau terapi kombinasi 5•8•9 • 1 8 •
ANTIBIOTI K TOP I KA L
Antibiotik topical yang digunakan sebagai terapi topikal pada akne saat ini adalah
eritromisin dan klindamisin. Di kepustakaan lama tempo doeloe pernah digunakan,
tetrasiklin, kloramfenikol, neomisin, penisilin G, rifampisin, hidroquinolin dan
lainnya namun ditinggalkan karena kurang efektif 2 .
Penggunaan obat sistemik bagi penderita anak prepubertal jelas harus dibatasi
lebih dari pada penderita pubertas ataupun pada dewasa. Konsensus global maupun
konsensus di Indonesia memutuskan bahwa pemberian obat si stemik hanya
dilakukan pada akne dengan gradasi sedang dan akne gradasi berat 5· 7·9· 1 0• 1 8 • Akne
prepubertal j arang mencapai keadaan berat dan j arang mencapai gradasi sedang,
kecuali bila penanganan sejak awal kurang baik, keadaan umum penderita tidak
baik atau tidak berhasil dengan obat topikal. Bila itu terj adi harus diwaspadai
terhadap terjadinya parut pasca akne.
Beberapa obat sistemi k yang dapat dipilih untuk akne prepubertal adalah antibiotik
dan retinoid sistemik isotretinoin 5 ·9• 1 8 • Terapi hormon tidak dianj urkan kecuali ada
predisposisi faktor hormon sebagai penyebabnya dan itu harus dilakukan bersama
dengan profesi terkait. Obat sistemi k lain misalnya kortikosteroid sistemik, anti
in:flamasi serta dapson juga tidak dianjurkan mengingat efek simpangnya pada
anak-anak 2· 1 3 ·
ANT I B I OT I K ORAL
Beberapa antibiotik sistemik yang dapat digunakan pada akne prepubertal adalah
tetrasiklin, dan doksisiklin, eritromisin dan derivatnya dan klindamisin. Masing
masing dengan kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Doksisiklin lebih poten dari tetrasiklin sebagai antimikroba, menekan in:flamasi
dan efek samping yang lebih rendah dalam gangguan traktus digestivus, reaksi
fotosensitivitas, fungsi hati serta sindrom S L E 5.
E ritromisisn dapat menjadi pi I ihan, namun penggunaannya harus singkat mengingat
kemungkinan terj adinya resistensi mikroba. Derivatnya azitromisin dapat menj adi
pilihan meskipun laporan terhadap penggunaannya masih sedikit.
Klidamisin pada prepubertal akne juga harus hati-hati terhadap adanya osefagitis
dan colitis pseudomembranosa 5 .
I SOTRET I N O I N ORAL
Pemberian isotretinoin oral pada akne prepubertal hanya dipilih pada akne berat
dan sedang setelah terapi yang lain gagal dilakukan. M eskipun secara global ha!
ini telah dipakai sebagai pedoman terapi baik pada akne remaj a maupun pediatric
namun tetap harus ditekankan perlunya kehati-hatian dalam pemakaian akne baik
pada remaja apalagi pada prepubertal 5 • 1 0·
Mekanisme kerj a isotretinoin sistemik adalah menekan aktifitas kelenj ar, menekan
hiperkeratinisasi fol ikular, dan anti in:flamasi . A kibatnya akan terj adi efek samping
kekeringan kulit, kekeringan mukosa, gangguan saluran cema/GI T, gangguan mata.
Efek samping lain yang berat menyebabkan B POM di Indonesia secara resmi masih
melakukan pembatasan dari penyediaan dan penggunaan obat ini sampai kini 1 0 .
GRA D E M I LD M O D ER A T E SEVERE
B PO+RA ( RA + A B )+ B PO
B PO+R A + A B
B PO+RA I NC R EA S E % ?
R ES P ON S E ) CHANGE COM B !
ORA L NO ORAL l sT L IN E : N O O R A L I ST L I N E : O R A L A B
3RD
LINE: FEM : HORM FEM: HORMONAL
ISOTR ET
dengan BPO konsentrasi sampai 5% dan bila tidak berhasil dapat memakai kombinasi
antara RA BPO atau BPO RA dan AB seperti yang dilakukan pada pediatrik. Pengobatan
oral pada derajat berat dengan eritromisin dengan dosis disesuaikan dengan berat badan
penderita dalam waktu singkat :2-4 minggu.
Kornunikasi Inforrnasi dan Edukasi ( KIE) merupakan faktor penting dalam keberhasilan
suatu terapi, terrnasuk bagi anak dan orang tua anak (parenting).
Unsur komunikasi yang baik dengan penderita dan terutarna dengan ibunya dalam skin
care atau pengobatan serta hasil yang d iharapkan dalam pengobatan akan membuat orang
tua rnengerti untuk rnembantu rnempercepat, mengefektifkan dan mencegah terulangnya
penyakit.
Jnfonnasi dari penyakit harus dijelaskan oleh dokter sebab seringkali orang tua pasen tidak
percaya bahwa bayi atau anaknya terkena penyakit jerawat dan memberikan pengobatan
lain yang rnalah mernperparah penyakitnya. Hal itu juga berlaku pada dokter urnum
yang pertama menangani atau bahkan dokter spesialis kulit yang mengobati kemudian.
Diagnosis banding dengan penyakit lain harus diperhatikan.
Tata cara melakukan skin care, dalam kaitannya dengan kesehatan kulit harus disusun
secara jelas dan terperinci oleh dokter untuk pasiennya.
Tindakan minimal invasive rnaupun invasive bagi akne atau sekuel pasca akne sebaiknya
tidak dianjurkan dulu dan menunggu lebih dewasa. Oleh karena itu usaha pencegahan
lebih penting dengan segera memberikan pengobatan yang sesuai.
RESUM E
Telah diuraikan managemen umum terhadap akne prepubertal (childhood) yang terdiri
dari pilihan berbagai obat topikal dan sistemik maupun usaha ajuvant dan maintenance
bagi anak prepubertal yang menderita akne. M anagemen terhadap akne prepubertal agak
berbeda dengan managemen terhadap akne pubertal dan akne pasca pubertal.
K E P USTA KAAN
1. CunJiffe WJ. Natural History ofAcne. In Acne. Martin Dunitz, London UK, 1 989: l - 1 0.
2. CunliffeWJ. Clinical Features ofAcne. In Acne. Martin Dunitz, London UK, 1 989; 1 1 -75.
3. Layton AM, Mawson RL. Adult Acne. In World Clinics Dennatology, Acne. Khanna N, Kubba
R eds. Jaypee Bro Med Pub, New Delhi, 20 1 4: 1 28- 1 43.
4. Serna-Tamayo, Janniger CK, Micali G, Schwartz RA. Neonatal and infantile acne vulgaris; an
update. Cutis 20 1 4, Jul; 94( 1 ): 1 3-6.
5. Legiawati L. Tatalaksana Akne pada Remaja. Dalam Perawatan Kulit dan Kelamin, Sejak Bayi
Hingga Remaja. Sugito TL et al eds. BP FKUI, Jakarta 20 1 3 : 60-70.
6. Schnopp C, Mempel M. Acne vulgaris in children and adolescents. Minerva Pediatr 20 1 1 Aug;
63(4): 293-304.
7. Gollnick H, Cunliffe W, Berson D et al. Management of acne: a report from Global Alliance to
Improve Outcomes in Acne. J Am Acad Dermatol 2003;49:S 1 -S37.
8. Micali G, Cataflo P, et al. Therapeutic Algorithms. In Acne. Schwartz RA, Micali G eds.
Macmillan Med Com Gurgaon India, 201 3 : 1 53-9.
9. Thilboutot D, Gollnick H, Bettoli V, et al. New insight into management ofacne: an update from
Global Alliance to Improve Outcomes in Acne Group. J Am Acad Dermatol 2009;60:S l -S50.
10. Wasitaatmadja SM et al. Dalam Pedoman Tatalaksana Akne di Indonesia. Centra Comm
KSDKJ Perdoski, Jakarta 20 1 5.
11. Barbarechi M et al. Classification and Grading. In Acne. Schwartz RA, Micali G eds. Macmillan
Med Com Gurgaon India, 201 3 : 65-76.
12. Boediardja SA. Masalah KuJit pada Bayi dan Anak. Dalam Perawatan Kulit dan Kelamin, Sejak
Bayi Hingga Remaja. Sugito TL et al eds. B P FKUI, Jakarta 20 1 3: 7-27.
13. Plewig G, Kligman AM. Acne Neonatarum. ln Acne.Morphogenesis and Treatment. Springer
Verlag. Berlin 1 975: 2 1 3-6.
-
14. Cunliffe WJ, Baran SE, CouJson Ill. A clinical and theurapeutic study of 29 patients with
infantile acne. Br J Dennatol, 200 I Sep : 1 45(3): 463-6.
15. Marks R.Akce and related disorder. In Retinoid. A Clinical Guide. Lowe N, Marks R eds. Martin
Dunitz 1 995, UK London: 69-84
16. Zouboulis CC. Retinoids: Is there a New Approach?. In IFSCC Magazine, vol 3 no 3 :2000:9- 1 9.
17. Wasitaatrnadja SM, Dwikarya M. Pengobatan Akne Vulgaris. Konas 5 Ujung Pandang, 1 986.
18. Einchen:field LF et al. Evidence-Base Recommendation for Diagnosis and Treatment ofPediatric
Acne. Pediatrics 20 1 3; 1 3 1 : S 1 63.
AKNE KO SMETIK
P E N DA H U LUAN
Saat ini sebagian kosmetik yang d ij ual d i pasaran mengandung bahan sangat
berpotensi memicu timbulnya akne, bahkan pada wanita yang secara genetis tidak
mudah terkena akne. D iperkirakan satu dari tiga wanita dapat terkena akne yang
disebabkan oleh penggunaan kosmetik. Penyakit ini tidak dapat lagi dianggap
sebagai masalah keci l . M eskipun j elas tidak seorang pun dari kalangan i ndustri
kecantikan yang secara sengaj a ingin "merusak" kulit wanita, namun demikianlah
yang terj adi saat ini. Apa yang semula dianggap sebagai "kecelakaan" yang timbul
akibat ketidak-tahuan, kini masalah tersebut terns berlanj ut demi keuntungan
komersial . '
I stilah akne kosmetik diperkenalkan pertama kali tahun 1 972 oleh Kligman dan
Mills, yang menghubungkan akne dengan penggunaan kosmetik yang mengandung
bahan tertentu yang dapat menyebabkan komedo. Pene litian terhadap kosmetik
telah dilakukan pada model hewan percobaan untuk memprediksi adanya aktivitas
komedogenik pada bahan tersebut.2
D EF I N I S I
Akne kosmetik adalah akne yang terj adi akibat apl i kasi topikal bahan kimia yang
terdapat dalam kosmetik. Akne kosmetik umurnnya akne ringan namun cenderung
persisten. Petunj uk diagnostik didasarkan atas riwayat perjalanan penyakitnya.
Pola umum akne kosmetik biasanya berupa kekambuhan kembali akne ringan
setelah reda beberapa tahun, pada usia dewasa. Orang yang mempunyai riwayat
akne akan lebih rentan mengalami akne kosmetik.3
PENDERITA
Setiap orang baik pria terutama wanita yang secara genetis rentan mengalami
akne atau yang pemah mengidap akne ketika remaj a (meskipun ringan) hampir
dipastikan dapat terpengaruh o leh bahan komedogenik yang terkandung dalam
kosmetik. B ahkan, banyak wanita yang sebel urnnya tidak mempunyai riwayat
menderita akne dapat pula terkena penyakit ini akibat mengoleskan make-up dan
produk perawatan kulit yang bersifat komedogenik. Wanita muda yang berada
dalam usia remaja atau wanita usia 20an adalah kelompok yang pal ing rentan dan
pal i ng besar kemungkinannya bereaksi hebat terhadap bahan-bahan komedogenik. 1
Wanita dengan akne kosmetik sering terperangkap dalam ' lingkaran setan ' .
Mereka keci l kemungkinannya mengaitkan rias-wajahnya dengan akne, karena
diperlukan waktu hingga enam bulan untuk suatu produk tertentu menyebabkan
akne kosmetik. Semakin sering j erawatnya kambuh, semakin banyak rias-wajah
untuk menutupinya. Hal ini akan memicu kekambuhan akne dan meningkatkan
ketebalan pemakaian kosmetik. Masalahnya menjadi semakin parah. Karena
sudah terbiasa menggunakan rias waj ah, pasien kemungkinan besar akan mencoba
beragam kosmetik yang hanya akan memperburuk masalah . Banyak wanita secara
tragis mengidap akne kosmetik (yang sebenarnya mudah diatasi) hingga belasan
tahun tanpa mengetahui penyebabnya. 1 •2
Seandainya manifestasi akne segera muncul setelah memakai suatu produk
kosmetik (contohnya seperti alergi kulit), tentu sej ak dahulu dokter ku lit atau
konsumen akan menyadari bahwa terdapat hubungan antara akne dengan kosmetik.
Namun karena diperlukan waktu hingga enam bulan sebelum gejala akne timbul,
maka keberadaan penyakit ini tertutupi , sampai akh irnya diperoleh studi-studi akne
terkini yang mengungkapkan adanya hubungan tersebut. 1
Dahulu, para ahl i kimia pembuat kosmetik berupaya membuat bahan yang
mirip dengan sebum, yaitu minyak alam i yang terdapat pada permukaan kulit,
yang dianggap memiliki banyak manfaat. Pernyataan bahwa seburn merupakan ha!
esensial untuk melembabkan kulit adalah anggapan yang menyesatkan, mengingat
anak yang belum menghasilkan sebum pun memi liki kul it yang lembut. Selain itu
sebum tidak dapat mencegah keriput mengingat kerut atau keriput penuaan adalah
cerminan dari akumulasi kerusakan akibat sinar matahari dan "pemrograman"
yang bersifat herediter. Tidak ada satupun pelembab di dunia ini yang dapat
mengembalikan proses ini. Walaupun telah di ketahui bahwa berbagai komponen
kimiawi sebum, seperti wax ester dan asam lemak,dapat menyebabkan akne,
namun masihbanyak dij umpai kosmetik mengandung asam lemak yang bersifat
iritatif tersebut m isalnya asam laurat atau asam miristat. Bahkan ada kosmetik
yang mengandung turunan asam lemak tersebut seperti isopropi l miristat atau butil
isostearat yang berpotensi lebih kuat lagi dalam menimbulkan akne. 1
Bahan yang bersifat aknegenik di sebabkan oleh iritasi fo l i kular dan akan
menyebabkan pembentukan papul dan pustul , di lain pihak bahan yang bers ifat
komedogenik di sebabkan oleh penyumbatan muara fo likel dan akan menyebabkan
pembentukan komedo, terutama komedo tertutup. Oleh karena itu bahan yang
bersifat komedogenik tidak selalu aknegenik, demikian pula sebal iknya.
Pembentukan akne karena produk kosmetik yang bersifat aknegen i k berlangsung
cepat, umumnya terjadi 48- 72 jam setel ah pengolesan produk; sedangakan
produk kosmetik yang bers ifat komedogenik dapat menginduksi komedo setelah
penggunaan produk tersebut selama beberapa minggu sampai beberapa bulan.2.4,s
Draelos telah mel akukan penelitian terhadap s i fat aknegeni s itas kosmetik,
menemukan bahwa pembentukan akne terj ad i akibat dermatitis kontak iritan pada
muara folikel, bukan proses yang menyebabkan ruptur fo likel atau proses yang
melibatkan glandula sebasea .2•4
Permasalahan aknegenisitas suatu produk kosmetik awalnya dianggap
mudah dengan dibuatnya suatu daftar bahan kosmeti k yang menyebabkan iritasi
pada muara fo likel untuk mem i l ih produk kosmetik. Namun daftar tersebut
menjadi kurang bermanfaat karena adanya interaksi antar bahan kosmetik dan
dipengaruhi pula oleh konsentrasi bahan. D engan demikian yang l ebih penting
adalah respons individual terhadap kosmet i k dalam pembentukan akne. Kosmeti k
yang bers ifat aknegenik pada individu tertentu belum tentu memberikan efek
yang sama pada individu yang lain.4 Dan perlu d i ingat, selain j en i s bahan
yang bersifat komedogen i k, konsentrasi bahan tersebut dalam suatu produk
j uga mempengaruhi s i fat i n i . M i salnya apabila suatu bahan kosmeti k bers i fat
komedogenik ketika diap l i kasikan ke kulit dalam konsentrasi 1 00%, mungkin
tidak bersifat komedogeni k j ika diap l i kasikan dalam konsentrasi I %.4
Daftar bahan kosmetik yang bers ifat komedogeni k dan iri tan (aknegenik)
tercantum pada lampiran. Daftar ini mencantumkan bahan spesifik berdasarkan
skala komedogenis itas dan i ritasi dari 0 sampai 5, berdasarkan uj i kulit yang
dilakukan Fulton. Deraj at 0 menunj ukkan t idak adanya h iperkeratosis fo likular
(suatu isti lah yang menj elaskan awal pembentukan akne). Deraj at 1 sampai 2
menunj ukkan terj adinya peningkatan h iperkeratosis yang dapat d i lihat. Derajat 3
sampai 4 menunj ukkan terj adinya pembentukan komedo . D eraj at 5 menunj u kkan
terjadinya pembentukan komedo yang parah . Kesimpulan dari daftar tersebut
adalah jangan membe l i produk yang mengandung bahan dengan deraj at
komedogenisitas dan iritasi 3 , 4, atau 5 . Produk dengan deraj at 0- 1 relatif aman
digunakan sedangkan dan deraj at 2 berada dalam batas peralihan . 1
I N G R E D I E N P E N Y E BAB 1
I sopropil m iristat yang merupakan derivat asam lemak merupakan bahan yang
paling berpotensi menimbulkan akne. B ahan ini digunakan sebagai pengemulsi atau
surfaktan yang membantu kosmetik agar terasa lebih halus ketika diaplikasikan.
Sayangnya, m inyak penetrati f ini bersifat sangat agresif sehingga j i ka diletakkan
dalam ta bung kaca di laboratorium semalaman maka bahan tersebut akan bennigrasi
menyusuri bagian samping wadah untuk sampai di mej a keesokan paginya.
Derivat lain m isalnya i sopropi l palmitat, isopropi l isostearat, butil stearat,
i sostearil neopentanoat, miristil miristat, desi l o leat, oktil stearat, oktil palmitat, dan
i soset i l stearat, bersifat sangat komedogenik sehingga termasuk dalam kelompok
bahan yang harus disingkirkan dari semua kosmetik.
Pi gm e n
Salah satu temuan yang pali ng menarik adalah potensi komedogenik dalam zat
warna merah D&C yang terdapat dalam blushers (pemerah pipi). Blusher dapat
men imbulkan masalah besar karena wanita sering menggunakannya, bahkan bagi
mereka yang relatifj arang menggunakan kosmetik. Salah satu bahan pengganti yang
dapat digunakan adalah carmine; suatu zat pewarna merah yang berasal dari sayap
serangga dan digunakan o leh masyarakat Aztec kuno. Carmine merupakan salah
satu sumber untuk menghasi l kan zat warna merah non-komedogenik. Sayangnya
bahan ini cukup mahal; dibutuhkan 70.000 sayap serangga untuk menghasilkan 1
pon bahan i n i .
M inyak m ineral
M i nyak mineral cukup aman digunakan untuk kulit yang cenderung berjerawat.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fulton, min yak mineral yang digunakan
dalam kosmetik mempunyai skala potensi komedogeni k 0 sampai 1 , sehingga aman
digunakan.
Minyak lain
PRODUK KOSMETIK
Alas bedak
Alas bedak adalah bahan yang paling menimbulkan masalah bagi penderita akne;
karena bahan ini sering dioleskan ke seluruh permukaan kulit waj ah, setiap hari, dan
dalam jumlah banyak. Berdasarkan penelitian didapatkan empat alasan mengapa
alas bedak menjadi masalah bagi penderita akne.( 1 ) Pengidap akne cenderung
menggunakan produk alas bedak berbentuk krim, karena bahan ini terasa halus saat
diapl ikasikan dan memberi efek penutup yang baik. Sayangnya, efek 'halus' ini
diperoleh dari isopropil miristat atau analognya yang bersifat sangat komedogenik.
Sebaiknya pasien memilih alas bedak yang berbentuk cair. (2) Semakin mahal
produk, semakin besar kemungkinannya ia bersifat komedogenik. Hal ini mungkin
disebabkan oleh karena produsen lebih mampu menggunakan minyak-minyak
kompleks yang "mahal" (dan komedogenik) dalam produk mereka. ( 3 ) Produk
yang lebih murah lebih sering lolos dari saringan penguj ian karena mengandung
lebih banyak air. ( 4) Klaim "bebas-minyak" yang terdapat dalam kemasan seringkal i
tidak benar. Produk tersebut mungkin memang tidak mengandung minyak hewani,
nabati, atau mineral, akan tetapi mengandung minyak sintetik yang bersifat
komedogen i k.
Rias mata
Penderita akne tidak perlu terlalu khawatir menggunakan rias mata. Pewama
merah D&C tidak pernah digunakan dalam rias mata. Selai n itu, kelopak mata tidak
mengandung kelenjar sebasea. Satu-satunya efek si mpang yang dapat ditimbulkan
oleh rias mata pada kulit berkaitan dengan produk pembersih yang digunakan
untuk rias mata. Apabila digunakan produk pembersih berbentuk minyak yang
mungkin mengandung bahan komedogenik untuk membersihkan maskara, maka
produk tersebut dapat mengenai kulit sekitar mata yang rentan akne, mi salnya pipi
bagian atas atau di atas alis.
Lipstik
Sebagian besar l ipstik mengandung m i nyak aknegeni k seperti isopropi l rniristat,
narnun karena pada bibi r tidak mengandung kelenjar sebasea, maka produk ini
dianggap cukup aman digunakan. Tetapi kenyataannya pada beberapa wanita l ipstik
dapat menimbulkan banyak komedo kec i l di sekitar mulut. H al ini disebabkan
minyak pada l ipstik tersebut dengan mudah dapat bermigrasi ke kulit di sekitar
bibir. Sebaiknya pilih formula l ipstik yang kandungan minyaknya adalah castor
oil, minyak mineral, atau vaselin.
Blushers
H ampir semua blusher yg dij ual d i pasaran mengandung pewarna merah D&C yang
bersifat komedogenik. Fulton telah membuat formulas i blusher yang mengandung
carmine yang tidak bersifat komedogen i k, namun bahan in i cukup mahal. Selayaknya
industri kosrnetik perlu mengadakan penelitian lanj ut dan mengembangkan sumber
zat wana merah barn yang aman bagi kulit sensitif dan cenderung be1j erawat.
Pelembab
Pembersih
Pembersih krim
Saat in i banyak dij ual krim pembersih yang dibiarkan menempel di ku lit karena
hanya dihapus dengan tissue tanpa dibilas dengan air. Hal ini berarti bahan
pembersih tersebut akan melekat ke kulit dan selanj utnya dapat mengiritasi kul it.
Sebagian produk pembersih mengandung asam lemak komedogenik yang disebut
deterjen. Sebagai contoh adalah Laureth-4, yaitu deterjen yang sangat komedogenik,
sehingga bahan ini tidak boleh di gunakan oleh orang yang rentan mengalami akne.
Sebaiknya p i l ih jenis pembersih yang hams dibilas dengan air.
Sa b u n
mencapai folikel pil osebasea tempat akne terj adi, sehingga pemyataan bahwa bahan
tersebut dapat masuk ke dalam pori untuk mengeluarkan kotoran dan minyak yang
menyumbat, jelas tidak benar.
Produk ra mbut
Mi nyak rambut (pomade) yang kental atau gel rambut sering menyebabkan akne di
dahi dan pe lipis. Setelah mengoleskan minyak rambut ke kulit kepala dan rambut
mereka, banyak pria rnasa now mern i l i ki kebiasaan rnenyebarkan sisa minyak ke
wajah yang kernudian dapat rnenyebabkan akne.
Kosmetik "pro-akne".
GAM BARAN K L I N I S
A kne berat dengan banyak lesi meradang tidak pemah di sebabkan oleh kosmetik.
Akne kosmetik adalah suatu penyakit ringan namun persisten, kadang dapat sampai
berpuluh tahun, dengan sesekali disertai munculnya pustul miliar. Akne kosmetik
umumnya tidak mengakibatkan j aringan parut.3
DIAGNOSIS B AN DING
Akne kosmetik sering diagnosis sebagai akne vulgaris. Berbeda dari akne
vulgaris, pada akne kosmetik pembentukan lesi inflamasi papul dan pustul
berlangsung cepat, sekitar 48- 72 j am karena pengaruh aknegenisitas bahan
kosmetik. Sedangkan gambaran klinis akne vulgaris umumnya didahului oleh lesi
non-infiamasi karena sumbatan keratin, kemudian menj adi lesi infiamasi akibat
peningkatan jumlah P. acnes. Namun seringkali orang tidak menyadari hubungan
antara akne dan kosmetik, bahkan semakin memperberat kondisi aknenya dengan
menggunakan kosmetik tebal untuk menyembunyikan akne. 7 ·8
TES DIAGNOSTIK
P E N GOBATAN
P E M I L I HAN KOS M ET I K
Gunakan rias waj ah seminimal dan sesingkat mungkin dan pilih lah produk
dengan hati-hat i. Periksa kandungan bahan kosmetik yang tertera pada label terlebih
dahulu, sebelum membel i produk kosmetik. Gunakan daftar bahan kosmetik yang
bersifat komedogenik yang tertera pada lampiran sebagai acuan. Jangan mudah
percaya terhadap klaim pemasaran atau iklan produk apapun. U ntuk rias waj ah yang
pal ing aman bagi kul it berj erawat, sebaiknya pilih yang berbasi s air atau gliserin. 1
DAFTAR P USTAKA
1. Fulton J E. What acne really is and how to e l i m i nate its devastating effects. In: Acne
Rx. www.AcneBook.com, 200 1 .
2. Drelos Z D , N icardo JC. A re-evaluation o f t h e comedogenicity concept. JAAD 2006;
54( 3 ) : 507- 1 2 .
3. Kligman A M . Acne - Morphogenesis and Treatment. N ew York, Springer-Verlag, 1 975.
4. Draelos ZD. Cosmetics in acne and rosacea. Seminars in C utaneus Medicine and
Surgery 200 I ;20( 3 ):209- 1 4.
5. M i l ls OH, B erger RS. Defining the susceptib i lity of acne-prone and sensitive skin
populations to extrinsic factors. Dermatologic C linics 1 99 1 ;9:93-8.
6. PalmerA. Acnecosmetica. A lvailable from: http://acne. about. com /od/acnebasics/ p/
acne cosmetica. htm 20 I 0.
7. Cunliffe WJ, Goll inick H PM . Acne: Diagnosis and Management. London, M arti n
Dunitz Ltd. 200 I .
8. White G M . Recent findings i n the epidemi o logic evidence, classification, and subtypes
of acne vulgaris. J Am Acad Dermatol l 998;39:S34-7 .
9. Frank S B . ls t h e rabbit ear model, i n present state, prophetic o f acnegenicity ? J A m
Acad Dermatol 1 982;6:373
10. M i l ls OH, Kl igman AM. A human model for assessing comedogenic substances. Arch
Dermatol 1 982; 1 1 8 :903-5.
1 1 . Simpson NB, C un l iffe WJ. Disorder of the sebaceous glands. I n : B urns T, Breathnach
S, Cox N, Griffith C. Rook's Textbook of Dermatology 7e<l. London : B lackwell
Scientific Pub l ication;2004:43-6 l .
erivativ•� le..rl1,urym+-thyk:.,.llu�1Ml 1
D 1·nt1lhicww.
A CNE/FORM DR UG ER UPTION
PENDAHU LUAN
f
Acneiorm drug eruption ( erupsi obat menyerupai akne) merupakan salah satu efek
samping obat yang sering dijumpa i . 1 Beberapa obat telah menunj ukkan hubungan sebab
akibat, dengan persentasi pasien yang terkena melebihi 80%, sementara beberapa obat
lain hanya dilaporkan pada sej LUnlah keci l kasus. Hampir semua obat dapat dicwigai
sebagai penyebab, dan dengan berbagai pengobatan baru yang sedang dikembangkan
dan diimplementasikan, sangat penting untuk mengenali erupsi akneifonnis dan
membedakannya dari erupsi lain yang kemungkinan tidak berkaitan.2 Penghentian obat
yang dicurigai adalah hal yang harus dilakukan, sehingga perlu kerjasama yang baik
antara dennatologis dan stafmedis yang menangani pasien sangat penting untuk mencapai
penanganan optimal dari penyakit awal pasien. 1 Penggunaan istilah erupsi akneifonnis
pertama kali diperkenalkan oleh AJ lworthy di tahun 1 9 1 7 pada para remaja putri yang
bekerja sebagai pembersih mesin yang terpapar dengan kotoran, keringat, dan minyak
lubrikan mesin. Diperkirakan bahwa sumbatan folikel menimbulkan reaksi infl.amasi dan
menyebabkan munculnya erupsi ini.3
DEFINIS
Erupsi obat akneifonnis adalah erupsi mirip akne akibat penggLU1aan obat-obatan. 1
Pada beberapa kasus, erupsi ini secara klinis maupun histologis serupa dengan akne
vulgaris, namun pada kasus lainnya meskipun secara klinis gambaran sama, gambaran
histologisnya tidak sesuai dengan akne vulgaris.2 Pada pemeriksaan histologis, didapatkan
spongiosis disertai ruptur epitelilllll folikular dan keluamya isi kelenjar ke dalam dennis
yang mengakibatkan infl.amasi neutrofilik.3
Kondisi seperti ini terjadi pada efek samping dari berbagai aplikasi, baik topikal
maupun sistemik.4.s Pada aplikasi topikal, penggunaan kosmetik (akne kosmetik)
merupakan penyebab utama erupsi akneifonnis pada wanita, kebanyakan lesi pada dah i .
Selai n itu, penggunaan steroid topikal j angka panj ang menyebabkan terjadinya akne steroid
dan memperparah akne yang sudah ada sebelLUnnya.3·6 Penggunaan obat sistemik lebih
mengemuka terjadinya erupsi akneifonnis, ha! ini bergantung pada dosis, dw-asi waktu
penggunaan dan kerentanan pasien.4 Obat-obatan penyebab antara lain kortikosteroid,
lithium, vitamin B 1 2, hormon tiroid, obat yang mengandung komponen halogen (iodin,
bromida, :fluorin dan klorin), antibiotik (tetrasiklin dan streptomisin), obat anti tuberkulosis
(INH), lithium karbonat, obat antiepilepsi (fenobarbital dan derivat hidantoin), siklosporin
A, obat anti jamur, garam emas, isotretinoin, klofazimin, inhibitor faktor pertumbuhan
epidermis/EGFR-I ( cetuximab, gefitnib dan erlotinib ), dan interferon-beta. 5•7
PATOGENESIS
Interval waktu antara onset meminum obat dan munculnya lesi bervariasi dari 1
hari hingga 1 1 bulan. Ini menandakan mekanisme proses patogenesis yang bervariasi,
yang dicerminkan pula dari gambaran histopatologi. Meskipun histopatologi lesi yang
diinduksi oleh isoniazid dan steroid menunjukkan beberapa kesamaan seperti sumbatan
folikel, kista retensi, dan inflamasi perifolikular; kerusakan pada sel luminal dan supurasi
dinding folikel yang nampak pada lesi steroid tidak terjadi pada lesi akibat isoniazid.
Granuloma perifolikular nampak pada lesi akibat klorokuin dan klorpromazin, hal ini
menunjukkan mekanisme hipersensitivitas lambat. Analisis microprobe menunjukkan
bahwa kedua jenis obat ini menetap di kulit dalam waktu yang lama sebagai benda asing
dan menimbulkan reaksi granulomatosa. Beberapa obat seperti lithium juga menginduksi
kemotaksis leukosit polimorfomuklear (PMN) dan menimbulkan lesi inflamasi dalam
bentuk papul, pustul dan nodul inflamatorik.8
Steroid androgenik anabolik menyebabkan hipertrofi kelenjar sebasea disertai
peningkatan eksresi sebum, peningkatan produksi lipid permukaan kulit, dan peningkatan
populasi Propionibacterium acnes sehingga menimbulkan erupsi akneiformis. Patogenesis
erupsi akneiformis akibat amineptin masih belum jelas, namun diduga merupakan efek
samping umum dari peningkatan dopamin pusat, akibat efek penghambatan dopamin
terhadap prolaktin, sehingga menimbulkan peningkatan sekresi testosteron atau melalui
simulasi langsung produksi androgen. 3
Epidermal growth factor receptor inhibitor (EGFR-1) terdiri dari 2 kelas obat:
gefitinib dan erlotinib, yakni EGFR-I bermolekul kecil yang secara selektif menghambat
aktivitas tirosin kinase bagian intraseluler; serta antibodi monoklonal yakni cetuximab dan
trastuzumab yang berikatan dengan bagian ekstraseluler dari EGFR. Selain terekspresi
banyak pada tumor maligna solid, EGFR juga terekspresi pada sel yang tinggal di
epidermis, kelenjar sebasea, unit ekrin dan folikel rambut. Erupsi akneiformis merupakan
efek samping yang diduga akibat ketidakseimbangan pada p27 yang terkait diferensiasi
dan maturasi sel epidermis, menyebabkan hiperkeratosis, deskuamasi abnormal,
sumbatan folikel dengan pertumbuhan bakteri yang berlebihan serta terbentuknya lesi
akneiformis. Selain itu, antibodi monoklonal dapat menginduksi reaksi inflamasi dengan
aktivasi neutrofil dan komplemen melalui ikatannya dengan domain Fe. Secara histologis,
terdapat dilatasi folikel dengan erosi fokal epitel infundibulum, agregasi neutrofil, dan
infiltrat limfoneutrofilik perifolikular, termasuk sel raksasa akibat benda asing.2
GEJALA KLINIS
Tidak ada kriteria spesifik unruk menggambarkan erupsi obat akneiformis. Namun
terdapat beberapa karakteristik yang dapat membantu mendukung adanya hubungan
potensial antara obat dan akne: 1 •3
3. Tidak adanya komedo dan kista atau b i l a ada muncul kemudian, setelah lesi
infiamasi . Aspek klinis yang penting pada d i agnosis banding akne adalah bahwa
lesi kul it tidak d i dahului oleh komedo.5
4. Melibatkan area dengan kelenj ar sebasea yang padat, dan meluas ke daerah
yang tidak klasik untuk akne m isalnya lengan.
5. Berkaitan dengan pemakaian obat oral atau topika l .
Selain itu, akne yang diinduksi oleh obat sebagian bersifat relatif resisten
terhadap terapi akne konvensional, membaik setelah penghentian obat, dan rekuren
setelah pemberian obat kembali. 1
D IAGNOSIS BANDING
Selain obat, erupsi akneiformis dan akne dapat disebabkan oleh berbagai macam
penyakit, seperti infeksi dan kelainan pertumbuhan. Oleh karena itu, anamnesis
dan pemeriksaan fisik sangat penting untuk membantu mempersempit diagnosis
banding. Kadang-kadang perlu dilakukan biopsi kulit untuk menegakkan diagnosis
yang tepat.9 Diagnosis banding erupsi obat akneiformis antara lain:
a. Akne vulgaris
Akne vulgaris adalah penyakit inflamasi kronik pada unit pilosebaseus, yang
mengenai hampir semua remaj a dengan berbagai derajat keparahan, dimana sebanyak
1 5 -20% bersifat sedang sampai berat. 1° Faktor hormonal, Propionibacterium acnes,
h iperkeratinisasi folikuler dan sekresi sebum merupakan semua faktor yang berperan
dalam patogenesis akne. Gambaran klinis klasik untuk akne bersifat pleomorfik:
papulopustul, komedo (terbuka dan tertutup), skar, kadang-kadang nodul dan kista
pada kasus yang berat (akne konglobata).9 Pada akne vulgaris, lesi primemya
adalah komedo yang disebabkan oleh hiperkomifikasi duktus, yang selanjutnya
mengalami inflamasi membentuk papul dan pustul. 1 0
b. Rosacea
Rosacea merupakan dermatosis kulit waj ah yang bersifat kronik dengan
penyebab yang tidak diketahui dan memiliki spektrum gambaran klinis. Pada
seorang pasien, gambaran klinisnya terdiri atas berbagai kombinasi dari kemerahan
waj ah yang persisten, flushing, teleangiektasis, papul inflamasi/pustul, hipertrofi
dan manisfetasi okuler. 1 1 Rosacea terutama terjadi pada bagian tengah wajah, dan
tidak terdapat komedo.9
c. Dermatitis perioral
Dermatitis perioral merupakan erupsi menyerupai akne pada waj ah yang umum
ditemukan baik pada orang dewasa maupun pada anak-anak. Terdapat dua varian,
yaitu dermatitis periorifisial dan periorifisial granulomatosa. Penyebabnya tidak
di ketahui, akan tetapi, pemakaian kortikosteroid top i kal pada waj ah umumnya
mendahului man ifestasi erupsi i n i . Dermatitis perioral ditandai dengan erupsi
pada wajah berupa papul eritem, papulovesikel dan/atau papu lopustul di sekitar
daerah perioral tanpa mengenai sekitar vermilion border dari bibir. Papul eritem
dan papulopustul dapat muncul disekitar dagu, perinasal, dan daerah perioral,
dan bi sanya di sertai eritem difus dan skuama. Sensasi terbakar d ilaporkan lebih
sering dibadingkan pruri tus. Varian dermatitis perioral sering ditemukan di daerah
perioral, perinasa l dan periorbital pada anak-anak prepubertas, sedangkan papul
granulomatosa d i luar waj ah dan papul periorifisal yang khas dilaporkan kadang
kadang ditemukan di sekitar leher, badan, ekstremitas, dan genita l . 12
Folikulitis infeksiosa merupakan infeksi pada fol i ke l rambut bagian atas, yang
ditandai oleh papu l foliku ler, pustu l , erosi atau krusta. Penyebab paling urnum
adalah Staphylococcus aureus, yang umumnya menginfeksi daerah j anggut, badan
dan bokong. lnfeksi j amur j uga dapat menyebabkan fo l i kulitis, seperti pada tinea
barbae dan fo likulitis kandida. Fol ikul itis pityrosporum disebabkan o leh reaksi host
terhadap P ovale, yang tampak sebagai papulopustul fol i kuler pruritik terutama
pada badan dan ekstremitas atas. F o l ikulitis hot tub disebabkan oleh Pseudomonas
aeruginosa, dan te1j adi setelah paparan air pada bak mandi panas atau kolam
fisioterapi, yang muncu l berupa pustul fol ikuler m ultipel pada badan.9
Penyebab penyakit ini tidak d i ketahu i , yang b iasanya berman ifestasi sebagai
papu l fo li kuler pruritik rekuren dan pustul pada wajah, l eher, badan dan ekstrernitas
proksimal. Diagnosis dapat ditegakkan dengan biopsi kulit. Penyakit ini pernah
di laporkan terjadi pada pasien im unokomprornis dengan H I V dan pada orang yang
sehat. Pasien j uga rnemperli hatkan leukositosis dan eosinofi lia.9
Kondisi-kondisi lain yangj arang yang dapat memberikan gambaran akne iformis
antara lain lupus miliaris disseminatus fasciei ( varian gran ulomatosa dari rosacea),
sarkoidosis papu ler, adenoma sebasea pada tuberous sklerosis, tumor adneksa yang
j i nak sepe1ti siringoma dan trikoepite l ioma multipe l . Kesimpulannya, diagnosis
PENATALAKSANAAN
Tabel 1. Grading US National Cancer Institute untuk erupsi akneifonnis (CTCAE, 20 1 0)16
Grade I Papu l a tau pustul, atau keduanya, kurang dari I 0% luas pennukaan tubuh, dengan
atau tidak disertai pruritus atau nyeri
Grade 2 Papu l atau pustul, atau keduanya, I 0%-30% l uas permukaan tubuh, dengan atau
tidak disertai pruritus atau nyeri
Disertai gangguan psikososial
Mem!Ernn11:rrn aktivitas sehari-hari
Grade 3 Papul atau pustul, atau keduanya, kurang dari I 0% luas permukaan tubuh, dengan
atau tidak disertai pruritus atau nyeri
M engganggu aktivitas pokok sehari-hari
Disertai suoerinfeksi lokal. dengan indikasi antibiotik oral
Grade 4 Papul atau pustul, atau keduanya, kurang dari I 0% l uas permukaan tubuh, dengan
atau tidak disertai pruritus atau nyeri, disertai superinfeksi l uas, dengan indikasi
antibiotik intravena
Mengancam nvawa
Grade 5 Meninggal
Beberapa algoritma telah diaj ukan untuk penatalaksanaan erupsi kulit yang
diinduksi inhibitor EGFR; algoritma di bawah ini dibuat sebagai gabungan dari
semua kerangka yang ada (Gambar 4). 1 6
R A S H S E V E R ITY I NT E R V ENTION
Mild Continue EGrR i nh i bi tor at ourrent dose� and m onito r for change in sever-tty
Generally locahzed
OR
( 1 % o r 2 . 5% cream)
Moderate Continue EGFR l nhtbi to r at curren t dose� and monitor for change in seve ri ty
of su pennfectt0n
Severe Reduce E-GFR inhibit« dose per l:abet� and monttor f'or change in severity
Pada kasus erupsi akneiformis yang disebabkan oleh EGFR-1, sebagian besar
pengobatan antiakne topikal yang konvensional seperti retinoid topikal dan benzoil
peroksida tidak di indikasikan, oleh karena bersifat rnengeringkan dan dapat
meningkatkan sensasi terbakar dan iritasi, dan tidak ada laporan yang menyatakan
efektivitasnya dalam memperbaiki ruam atau gejala. Pengobatan topikal yang
mungkin bermanfaat dalam kasus ini adalah steroid dan antibiotik (klindamisin,
eritromisin). Akan tetapi, penggunaan steroid dan antibiotik topikal ini didasarkan
pada preferensi ahl i dan pengalaman klinis daripada data dari uj i klinis. 1 7 Vitamin
K topikal, memperlihatkan basil klinis yang baik dalam pengobatan akne yang
diinduksi oleh EGFR . Diduga vitamin K bekerja dengan mencegah terganggunya
keseimbangan antara proliferasi dan diferensiasi, penipisan epidermis,reaksi imun
dan inflamasi yang menyebabkan fol ikulitis. Pada studi profi laksis, apl ikasi vitamin
K ( 0, I % ,2 kali sehari ) pada waj ah dan dada sangat efekti f dalam menurunkan
keparahan toksisitas kulit akibat kemoterapi dan cetuxi mab. Aplikasi krim vitamin
K memperlambat perkembangan ruam akneiformis, dan mengurangi kebutuhan
penggunaan antibiotik topi kal dan sistemik. 1 8
Terapi sistemik merupakan pil ihan pada kondisi tertentu, antara lain pada lesi
yang berat, disertai infeksi, tidak berespon terhadap terapi topikal, dan rekuren
meskipun dosi s obat telah dimodifikasi.< 1 7l Beberapa agen sistemik yang dilaporkan
pernah digunakan untuk penanganan erupsi obataknei formisantara lain antibiotik
oral ( tetrasiklin, doksisikl in, minosiklin), dan retinoid oral ( i sotretinoin). 1 1-20
Efek antiinflamasi tetrasiklin diduga berperan dalam penyembuhan ruam
kulit. Berdasarkan lima uj i kl inis acak yang dilakukan terhadap tetrasiklin dan
kelas tetrasiklin lain (minosiklin dan doksisiklin), terbukti bahwa antibiotik ini
dapat mengurangi keparahan ruam kulit pada penderita erupsi aknei form i s akibat
EGFR dan bahkan has i l studi tersebut mendukung penggunaan antibiotik sebagai
profi laksis dalam penanganan toksisitas kulit akibat EG FR. 1 8
Retinoi d oral memil iki efek antiinflamasi dan mernperbaiki diferensiasi sel. Pada
pasien dengan ruam kulit akibat erlotinib, asitretin oral dosis rendah ( I 0 mg/hari )
memberikan hasil yang baik setelah 4 minggu . 1 7 Pada kasus erupsi akneiformis akibat
levonorgestrel, penghentian obat t idak cukup untuk menyembuhkan erupsi, sehingga
dianjurkan penggunaan isotretinoin untuk mencapai remisi kulit.20 I sotretinoin
oral dengan dosis 0,5 - 1 mg/kg/hari j uga digunakan pada terapi erupsi akneiformis
akibat amineptin (antidepresan trisiklik). Pengobatan ini dikombinasikan dengan
penghentian amineptin, dan eksisi bedah untuk makrokista. 1 Pada laporan kasus
lainnya, isotretinoin oral terbukti menyembuhkan erupsi kulit setelah pemakaian
selama 4 m inggu pada pasien yang diterapi dengan EGFR inhibitor, dan dianj urkan
sebagai pilihan terapi untuk erupsi akneiformis yang berat akibat agen ini .1 9
Akan tetapi, efek kekeringan mukokutan (khususnya kekeringan bibir) menjadi
masalah pada pasien-pasien yang diberikan retinoid oral dosi s tinggi , dan dapat
memperberat xerosis yang diakibatkan oleh EGFR- I . Efek samping lain yang dapat
timbu l adalah deskuamasi , paron ikia, dan fotosensitivitas yang dapat rnernperberat
ruam ku lit pada pasien yang sedang mendapat terapi radiasi bersamaan dengan
pemakaian retinoid oral. Sehi ngga dianj urkan, retinoid oral sebaiknya digunakan
dengan dos is terendah . 1 7 Pada kasus erupsi akibat dantrolen ( obat relaksasi otot,
derivat h idantoin), isotretinoin tidak direkomendasikan oleh karena efek akumulasi
hepatotoksisitas dengan obat ini . 1
PENU T U P
Telah diuraikan salah satu kelainan kul i t akibat pemakaian obat terutama obat
sistemik yang gejala klinisnya m irip akne. Definisi,gejalaklinis, diagnosis dan
diagnosis banding serta penatalaksanaan secara rinci j uga telah diuraikan agar dapat
dipakai sebagai acuan penanggulangan penyakit ini.
DA FTA R PUSTAKA
1 2. Tempark T, Shwayder TA. Perioral dermatitis: a review ofthe condition with special attention
to treatment options. Am J Clin Dermatol. 20 1 4; 1 5 : 1 0 1 - 1 3.
1 3 . Ehmann LM, Ruzicka T, Wollenberg A. Cutaneous side-effect of EGF R inhibitors and their
management. Skin Therapy Letter. 20 1 1 : 1 -3 .
1 4 . H abif TP. Acne, rosacea, and related disorders. Clinical Dermatology: A Color Guide To
Diagnosis and Therapy. 4�1 ed. Philladelphia USA: Mosby, Inc; 2004. p. 1 9 l .
1 5. James WD, Berger T, E lston D. Andrew's Diseases of The Skin: Clinical Dermatology.
USA: Elsevier; 20 1 1 .
1 6. V H . Managing treatment-related adverse events associated with EGFR tyrosine kinase
inhibitors in advanced non-small-cell lung cancer. Curr Oncol 201 1 ; 1 8(3): 1 26-38.
1 7. B urtness B, Anadkat M, Basti S, Hughes M , Lacouture ME, McClure JS, et al. NCCN task
force report: management of dermatological and other toxicities associated with EGFR
inhibition i n patients with cancer. JNCCN. 2009;7( l ):s 1 - 1 7.
1 8. Ocvirk J, Heeger S, McCloud P, Hofheinz R-D. A review of the treatment options for skin
rash induced by EGRF-targeted therapies: evidence for randomized clinical trials and meta
analysis Radio! Oneal. 20 1 3 ;47(2) : 1 66-75.
1 9. Gutzmer R, Werfel T, Mao R, Kapp A, Elsner J. Successfull treatment with oral isotretinoin
of acneiform skin lesions associated with cetuximab therapy. BJD. 2005; 1 53 :842-68.
20. Kelekci KH, Kelekci S. Acneifonn eruption caused by levonorgestrel intrauterine system: a
case report. JPAD. 201 2 ;22:76-8.
Akne merupakan kelainan kulit yang paling um urn ditemukan. Pada kebanyakan
kasus, akne bukan merupakan kelainan akut, melainkan kondisi yang terus berubah
dalam sebaran dan keparahan. Dermatologist dan klinisi terkait perlu mengedukasi
pasien bahwa akne merupakan penyakit kronis dan terdapat bukti bahwa akne dapat
menetap sampai dewasa pada h ampir 50% pasien. B erbagai penyakit s istemik
dalam tubuh dapat menimbulkan akne atau memperberat kondisi akne. 1 '2
Patogenesis akne secara garis besar tercantum dalam 4 ha! yang berhubungan
sangat penting dengan aktivitas normal berbagai hormon dalam tubuh, terutama
aktivitas kelenjar sebasea dalam produksi sebum. Berbagai hormon diketahui
terkait dengan akne dan mengatur sekresi sebasea, yaitu : androgen, estrogen,
growth hormone, insul in, insulin growth factor I ( IGF- 1 ), corticotrophin-releasing
hormone (CRFH, adrenocorticotropic hormone (ACTH), melanokortin dan
glukokortikoid. 1 '3
A. Androgen
Bukti klinis mendukung ada hubungan androgen dengan akne. Produksi sebum
meningkat nyata selama periode pra-pubertas, ketika dihydroepi-androsterone sulfate
( DHEAS), suatu prekursor testostero, juga meningkat. Individu yang tidak sensitif
terhadap androgen tidak menghasilkan sebum dan tidak mengalami akne.
B. Estrogen
Estrogen aktif utama, estradiol, disintesi s dari testosteron oleh enzim aromatik, yang
aktif dalam j aringan lemak dan dalam kulit. Dosi s ethinil estradiol yang terkandung
dalam pi! kontrasepsi tidak cukup menurunkan sekresi sebum. Karena beberapa
pasien akne memiliki respon baik terhadap pi! kontrasepsi dosis rendah, berbagai
mekani sme yang mungkin menj elaskan ha! tersebut:
• menghambat produksi testosteron gonad melalui umpan balik negatif supresi
gonadotropin
• meningkatkan produksi sex hormone binding globulin ( S H B G ) di hati sehingga
menurunkan testosteron bebas dalam serum
• Oposisi langsung terhadap androgen dalam kelenj ar sebasea
• Regulasi gen pertumbuhan kelenjar sebasea dan produksi lipid 1 •4
C. Growth hormone
Dalam pola serupa androgen, perjalanan alamiah akne mulai awitan pada pubertas
dan puncaknya pada pertengahan remaj a, kemudi an menurun berhubungan dengan
kadar G H . Pada kondisi G H berlebih, seperti akromegali, berkaitan j uga dengan
perkembangan akne dan overproduksi sebum. Peranan GH dalam perkembangan
akne mungkin dimedias i melalui efek pada kelenjar sebasea. Reseptor G H
d itemukan d i folikel rambut dan sel-sel asini kelenjar sebasea. 1 .4
E. I nsulin
Insulin secara struktur terkait dengan I G F - 1 dan dapat berikatan dengan reseptor
IGF- 1 . Meskipun kemungkinan besar insulin berperan sebagai campuran agonis/
antagonis I G F- 1 , efek langsung pada sebosit berbeda dengan I G F- 1 . Pada dosis
sangat tinggi, insulin meningkatkan regulasi ekspresi reseptor G H di sebosit, sehingga
mempotensiasi diferensiasi yang di induksi G H . Selain itu, insulin j uga mungkin
berperan sebagai regulator utarna enzim biosintesis l ipid, dengan menstimulasi
produksi androgen dan ovarium serta menghambat produksi S H BG hepatik. Insulin
menurunkan protein pengikat IGF sehingga memaksimalkan konsentrasi IGF- 1
bebas yang beke1ja pada jaringan target, meningkatkan b ioavai labi litas testosteron
dan konsentrasi D H EAS. Peranan diet dalam akne rnasih kontroversi . Diduga
makanan beban glikemik tinggi meningkatkan konsentrasi insulin plasma (yang
mengatur kadar androgen, protein pengikat I G F dan IGF- 1 , meningkatkan s intesi s
androgen). Uj i k l i n i s acak terkontrol membandingkan diet beban glikemik rendah
dengan beban glikemi k tinggi membuktikan perbaikan akne dan sensitivitas insulin
lebih besar pada pasien diet beban glikernik rendah . Penelitian lain menunj ukkan
diet beban glikemik rendah dapat menurunkan j umlah lesi total, aliran sebum
fol ikular dan mengubah komposisi trigliserida di permukaan kul it. 1 .4·6
F. Corticotropin-releasing hormone :
Di kulit, CRH dilepaskan nervus-nervus dermal dan sebosit sebagai respon terhadap
sitokin pro infiamatori dan menstimulasi reseptor-reseptordalam pola parakrin dan
autokrin. Target utama CRH di kutaneus adalah di kelenj ar sebasea. Fungsi CRH
adalah :
• menghambat proliferasi sebasea
• meningkatkan diferensiasi sebasea
• menginduksi lipogenesi s kelenjar sebasea dengan meningkatkan bioavailabil itas
androgen
C R H j uga berinteraksi dengan testosteron dan GH melalui sistem regulasi kompleks
dan menstimulasi konversi DHEA menj adi testosteron. Studi klinis dan eksperimen
membuktikan keterlibatan CRH dalam perkembangan akne.7·8
G. Melanocortin
POMC dihasilkan d i h ipofisis anterior sebagai respon terhadap CRH, yang kemudian
didegradasi menjadi melanocortin, ACTH, dan M S H . Sebosit mengekspresi
reseptor melanocortin M C- I R dan MC-S R, melalui reseptor tersebut ACTH dan
M S H meregulasi berbagai efek pada kelenj ar sebasea. M C- I R mungkin terlibat
dalam i munoregul as i . Penel itian membuktikan M S H menekan sekresi interleukin 8,
medi ator proinfiamatori utama pada akne vulgaris. Ekspresi MC- I R j uga meningkat
dalam kelenj ar sebasea di lesi kul i t pasien akne. MC-S R d iduga terlibat dalam
diferensiasi sebosit dan l ipogenesis. Tikus yang kekurangan MC-SR menunjukkan
produksi sebum menurun.3•4
H. Glukokortikoid
Kelainan endokrin
Kelainan nonendokrin
Akne Akibat obat/ Medikamentosa
KELAINAN ENDOKRIN
2) Sindrom Cushing
S i ndrorn Cushing d isebabkan sekresi glukokortikoid berlebih. Penyebab
s indrom Cushing dapat tergantung ACTH atau tidak tergantung ACTH dan termasuk
hipersekresi ACTH h ipofisis, sekresi ektopik ACTH oleh tumor nonhipofisis,
tumor mensekresi CRH, hiperplasia adrenal bilateral serta adenoma atau karsinoma
adrenokorti kal yang secara otonom rnensekresi korti so I . 1 •2
Berbagai perubahan kul i t terj ad i pada sindrom Cushing, termasuk akne.
Karakteristik lesi akne sindrom Cushing antara lain monomorf, papul perifolikular
akibat hiperkeratosi s fol ikular d i waj ah , dada dan punggung. Dapat j uga ditemukan
pustul ringan, tetapi j arang diternukan lesi kistik dalam serta kornedo. Patofisiologi
akne pada s indrorn Cushing mungkin berhubungan dengan kadar C RH, ACTH
dan kortisol. Hormon tersebut menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan
sebasea, meningkatkan lipogenesis dan produksi sebum, serta meningkatkan kadar
testosteron.2• 13• 1 4
tanda viri l i sasi lain. Pada bentuk nonklasik, defek enzim yang terj adi parsial,
sehingga gejala hiperandrogenisme tidak muncul saat l ahir dan genitalia ambigu
pada perempuan tidak tampak.
Akne mungkin merupakan satu-satunya gej ala yang tampak pada bentuk
nonklasik. Pada pria pasien akne berat, diagnosis h iperp l asia adrenal kongenital
mungkin tidak dipikirkan karena gejala l ain biasanya tidak tampak.
Anak atau remaj a dengan akne awitan dini dan berat, rambut pubis, pertumbuhan
cepat, amenore atau tanda-tanda androgen berlebih l ai nnya, sebaiknya dievaluasi
terhadap kemungkinan h iperplasia adrenal kongenital. Kadar D H EAS serum dapat
digunakan untuk skrining androgen adrenal berlebih, dengan kadar bervariasi mulai
4000 - 8000 ng/mL . Konsentrasi tinggi 1 7-hydroxyprogesteron (> 242 nmol/L, > 3 ng/
mL) diagnosti k h iperplasia adrenal kongeni tal . Pada h iperplasia adrenal kongenital
nonklasik, tes stimulasi cosintropin dengan pengukuran 1 7-hydroxyprogesterone
pada menit ke-60 merupakan pemeriksaan baku emas. Terapi hiperplasia adrenal
kongenital ditujukan untuk mengkoreksi penyebab defisiensi enzim. Terapi
glukokortikoid mengkoreksi defisiensi dan gejala h iperandrogenik dengan
mensupresi aksis h ipotalamus-hipofisis-adrenal. B iasanya digunakan prednison
dosi s rendah (2,5-5 mg sebelum tidur, atau dexametason 0,25-0,5 mg perhari) .
Dalam hal terapi akne, pasien perempuan dengan h iperplasia adrenal kongenital
dan akne mungkin memperoleh m an faat dari terapi antiandrogen seperti p i l
kontrasepsi, spironolakton atau flutamide. Penel itian pada 20 pasien perempuan
dengan hiperplasia adrenal kongenital nonklasik menunj ukkan perbaikan akne
setelah terapi dexamethasone 0,25 mg per h ari sel ama 3 bulan .
Tumor penghasi l androgen dapat berasal dari adrenal, ovarium, atau testikular
dan merupakan kelainan yang sangat langka, hanya 0,2% dari penyebab androgen
berlebih. Awitan mendadak akne v ulgaris d isertai komedo, perlu dicurigai
merupakan suatu tumor pengh as i l androgen.
Karsinoma adrenokortikal umumnya tampak sebagai campuran gambaran
sindrom Cushing dengan viri l isas i . Tumor penghasi l androgen pada ovarium tampil
serupa, dengan gejala hiperandrogenisme pada perempuan, termasuk hirsutisme,
viri l i sasi dan abnormalitas menstruas i . Perbedaan antara dua tipe tumor penghasi l
androgen tersebut berdasarkan pemeriksaan l aboratorium dan radiologi.
Kadar DHEAS serum, testosteron total, testosteron bebas, LH dan F S H
sebaiknya diperiksa untuk menskrining semua penyebab hiperandrogeni sme.
DHEAS digunakan untuk menskrin ing sumber androgen berlebih dari adrenal ,
sedangkan pen ingkatan testosteron total serum perlu dicurigai berasal dari ovarium
atau testikular. Kadar D HEAS serum > 8000 ng/mL merupakan indikati f tumor
adrenal dan memerlukan evaluasi lebih l anjut. Tumor ovanum atau testikular
berhubungan dengan kadar testosteron > 200 ng/dL .
5 ) Akromegali2·3
Akromegal i merupakan suatu kondisi G H berlebih, berhubungan dengan
perkembangan akne. Karena progresivitas penyakit lambat, tanda-tanda klinis
penting untuk diagnosi s dini. Kasus akne vulgaris sebagai satu-satunya gejala
akromegal i pemah dilaporkan. Efek ini mungkin d isebabkan kadar G H dan IGF- 1
berlebih, yang menstimulas i pertumbuhan dan diferensiasi kelenjar sebasea, serta
l ipogenesi s kelenjar sebasea yang d iinduksi androgen.
Hubungan antara sebore dan akne dengan hirsutisme dan/atau alopesia androgenetik
didefinisi kan sebagai sindrom SAH A tahun 1 982. S indrom ini meliputi manifestasi
dermatologik androgen berlebih pada perempuan, baik atas dasar kadar androgen
tinggi dalam sirkulasi (hiperandrogenemia) maupun karena peningkatan
sensitivitas aparatus pilosebasea terhadap kadar androgen normal dalam sirkulasi
(hiperandrogenisme). S indrom ini dapat dikelompokkan beberapa tipe sebagai
berikut:
• Idiopatik
• Ovarium
• Adrenal
• H iperprolaktinemia
S indrom SAPHO perlu dicurigai pada pasien kelainan kulit inflarnatori disertai gejala
muskuloskeletal atau tulang dan yang mernenuhi salah satu kriteria klinis diagnostik
berikut:20
• Manifestasi osteoaitikular pada akne konglobata, akne fulminan atau hidradenitis
supurativa
• Manifestasi osteoartikular pada pustulosis palmoplantar
• Hiperostosis aksial atau apendikular dengan atau tanpa dennatosis
• Osteomielitis multifokal kronik rekuren pada skeleton aksial atau apendikular dengan
atau tanpa de1matosis.
Untuk talaksanagejalamusculoskeletal, terapi utama adalah steroid dan obat antiin:flamatori
nonsteroid. Untuk akne dan pustulosis palmoplantar, sering digunakan retinoid. Untuk
akne berat, isotretinoin efektif In:fliximab juga menunjukkan keberhasilan.19•2 1
Akne rnedikamentosa adalah akne disebabkan atau diperburuk oleh obat. Definisi
sangat rancu sebab dapat d ikategorikan sebagai akneiformis eruption yang lebih dikenal
sekarang ini. Karena akne merupakan in:flamasi unit pilosebasea yang diregulasi secara
hormonal; pemberian obat hormonal m isalnya danazol dan testosteron dapat memicu
terjadinya akne. Obat sistemik lain yang dapat menyebabkan akne atau erupsi akneiformis
tennasuk litium, isoniazid, fenitoin, vitamin 8 , B , B , dan inhibitor EFGR. Tidak seperti
2 6 12
akne vulgaris, gambaran khas akne yang diinduksi obat antara lain erupsi monomorf
papul dan pustule, lebih banyak pada daerah trunkus dibandingkan wajah. Tidak ada
komedo terbuka dan tertutup. Awitan mendadak akne vulgaris atau erupsi akneiformis
yang berkaitan dengan obat perlu dicurigai merupakan suatu akne medikamentosa. 1 •2
PENUTUP
Akne merupakan penyakit kulit yang umum, terjadi pada 85% remaja; 42,5% pria dan
50,9% wanita usia 20-30 tahun. Peranan hormon, terutama memicu produksi sebum serta
pertumbuhan dan diferensiasi kelenjar sebasea, telah diketahui dengan baik. Produksi
honnon yang berlebih, khususnya androgen, GH,IGF- 1 , insulin, CRH dan glukokortikoid,
berkaitan dengan peningkatan perkembangan akne.
Akne dapat merupakan gambaran dari berbagai kelainan endokrin, termasuk SOP,
sindrom Cushing, hiperplasia adrenal kongenital, tumor sekresi androgen, akromegali
dan lain-lain. Penyakit nonendokrin yang berkaitan dengan akne termasuk sindromApert,
sindrom SAPHO, sindrom Behcet dan sindrom PAPA.
Akne medikamentosa merupakan suatu akne atau erupsi akneiformis akibat penggunaan
obat-obat tertentu, tennasuk litium, isoniazid, fenitoin, Vitamin B 2 , B dan B , inhibitor
6 12
EGRF. Tatalaksana akne medikamentosa tennasuk terapi standar akne. Penghentian obat
penyebab mungkin diperlukan pada kasus-kasus rekalsitran.
DAFTAR PUSTAKA
I. Lolis MS, Bowe WP,Shalita AR. Acne and systemic disease. Med Clin N Am 2009; 93:
1 1 6 1 -8 1 .
2. Christos C. Zouboulis MP. Acne as a chronic systemic disease. Clin in Dermatol 20 1 4; 32:
3 89-96.
3. Bergler-Czop. The aetiopathogenesis o f acne vulgaris-what's new?. Int J Cosmetic Sci
20 1 4; 36, 1 87- 1 94
4. Balachandrudu B, Niveditadevi V, Rani T. Hormonal pathogenesis of acne - simplified. Int
J Sci Study 20 1 5 ; 3( 1 ) : 1 83-5
5. Lai JJ, Chang P, Lai P, Chen L, Chang C. The role of androgen and androgen receptor in
skin-related disorders. Arch Dermatol Res 20 1 2; 304;7 :499-5 1 0
6. Melnik B, Schmitz G. Role of insulin, insulin-like growth factor- } , hyperglycaemic food
and milk consumption in the pathogenesis of acne vulgaris. Exp Dermatol 2009; 1 8 :833-4 1
7. Kurokawa I , Danby FW, Ju Q, Wang X, Zouboul is CC, dkk. New developments in our
understanding of acne pathogenesis and treatment. Exp Dermatol 2009; 1 8 : 82 1 -32
8. Zouboulis CC, Ganceviciene, Bohm M, Fimmel S. The role of neuropeptides in the
multifactorial pathogenesis of acne vulgaris. Dermato-Endocrinology 2009; l :3, 1 70-6.
9. Housman E, Reynolds VR. Polycystic ovary syndrome: A review for dermatologists. J Am
Acad Dermato/ 20 1 4; 7 1 : 847 .e l - I O.
I 0. Lee AT, Zane LT. Dennatologic manifestations of polycystic ovary syndrome. Am J Clin
Dermato/ 2007; 8(4): 20 1 - 1 9.
1 1 . Chuan SS, Chang RJ. Polycystic ovary syndrome and acne. Skin Ther Letter
20 1 0; 1 5( 1 0) : 1 -4.
1 2. Goncalves de Moura H H, Bagatin E, Azulay MM, Marinho Costa DL, Sodre CT. Polycystic
ovary syndrome: a dermatologic approach. An Bras Dermatol 20 1 1 ; 86( I ): 1 1 1 -9.
1 3 . Chen W, Obermayer-Pietsch B, Hong J B, Melnik BC, Yamasaki 0, Dessinioti C, et al.
Acne-associated syndromes: models for better understanding of acne pathogenesis. J Eur
A cad Dermatovenereo/ogy 20 l l ; 25: 63 7-46.
1 4. Mancini T, Porcilli T, Giustina A. Treatment of Cushing disease: overview and recent
findings. Therapeutics and Clinical Risk Management 20 L 0:6 505-5 1 6
1 5 . Orfanos CE, Adler YD, Zouboulis CC. The SAHA syndrome. Honn Res 2000; 54:25 1 -8 .
1 6. Dalamaga M, Papadavid E, Basios G, Rigopoulous D, Vaggopoulos V, Kassanos D, et al.
Ovarian SAHA syndrome is associated with a more insulin-resistant profile and represent
an independent risk factor for glucose abnormalities in women with polycystic ovary
syndrome: A prospective controlled study. J Am Acad Dermato/ 20 1 3 ; 69(6): 922-30.
1 7. Freiman A, Tessler 0, Barankin B. A pert syndrome. Int J Dermatol 2006; 45: 1 34 1 -3 .
1 8. Nguyen MT, Borchers A, Selmi C , Naguwa S M , Cheema G, Gershwin ME. The SAPHO
syndrome. Semin Arthritis Rheum 20 1 2; 42: 254-65.
1 9. M agrey M, Khan MA. New insights into synovitis, acne, pustulosis, hyperostosis, and
osteitis (SAPHO) syndrome. Cur Rhematol Reports 2009; 1 1 : 329-33 .
20. Schilling F. SAPHO syndrome. Ophanet Encyclopedia 2004: 1 -9.
2 1 . I qbal M, Kolodney MS. Acne fulminans with synovitis-acne-pustulosis-hyperostosis
osteitis (SAPHO) syndrome treated with in:flixirnab. J Am Acad Dermato/ 2005; 52( 5):
S 1 1 8-20.
22. Falco MB, Kovnerystyy 0, Lohse P, Ruzicka T. Pyodennagangrenosum, acne, and
suppurativehidradenitis ( PASH)- a new autoinftamrnatory syndrome distinct from PAPA
syndrome. J Am A cad Dermatol 20 1 2; 66( 3 ) : 409- 1 5 .
I G A A Praharsini
Depa rte men Ilmu Kesehatan K u lit dan Kelamin
Fakultas Kedokte ran Universitas Udayana, Denpasar
PENDAH U L UAN
TATA LAKSANA
Standar terapi akne ringan adalah hanya terapi topikal. Terapi topikal bekerja
pada tempat yang dioleskan, tetapi agar dapat berfungsi mengurangi munculnya
lesi barn disarankan untuk diaplikasikan di seluruh waj ah . Karena awalnya terapi
topikal sering menimbulkan iritasi maka dianj urkan dimulai dari konsentrasi
rendah yang kemudian ditingkatkan frekuensi dan konsentrasinya secara perlahan
lahan. Efektifitas suatu terapi topikal agak lambat sehingga d ianj urkan untuk terapi
selama 6-8 minggu sebelum berpindah ke terapi yang lain 1 •2
Terapi terhadap komedo (blackhead dan whitehead) atau lesi inflamasi ringan
bertuj uan mengurangi atau menghambat terbentuknya mikrokomedo dan pilihan
preparat yang paling efektif adalah retinoid topi kal (0,025, 0,05, 0,0 1 ). Preparat
yang tersedia di I ndonesia adalah adapalen 0, 1 %. Preparat altematif antikomedonal
lainnya meliputi asam azelaik 1 5-20% dan asam salisilat 0,5 - 2 % yang dapat
digunakan pada pasien sensitif atau tidak menggunakan retinoid topikal.4
U ntuk terapi akne papul-pustul (komedo dan beberapa papul dan pustul) rnaka
retinoid topikal dikombinasi benzoil peroxide (BPO) atau antibiotik topikal. Terapi
kornbinasi dengan BPO dan klindamisin merupakan tempi kombinasi topikal yang
efektif dan dapat digunakan pada pagi hari dan retinoid topikal pada rnalam hari .5
Krawchuk (2005) membuat p i lihan terapi pada akne ringan sebagai berikut
B PO atau retinoid topikal untuk lesi komedo dan untuk lesi inflamasi d igunakan
preparat kombinasi topikal yaitu B PO+klindarnisin atau eritrornisin dan pada lesi
campuran (komedo dan lesi i nflamasi) digunakan B PO (atau preparat kombinasi
topi kal ) sebagai monoterapi atau ditambah dengan retinoid dan ( dapat diganti
dengan asam azelaik). Secara ringkas dapat dilihat pada Tabet 1 .6
Pada tahun 2003 , Global A lliance ( merupakan kelompok dokter dan peneliti
dibidang akne) merekomendasi tatalaksana akne. Tujuannya adalah membuat
rekomendasi tatalaksana akne berdasarkan kedokteran berbasis bukti yang
diperoleh dari berbagai negara. Berikut ini kutipan algoritme terapi akne ringan.7
Keterangan :
I. Pertimbangkan physical of removal of comedones
4. For pregnancy options are limited
Akne dapat mengenai semua ras dan semua etnik. Penatalaksanaan akne pada kulit
bewama ditujukan untuk meminimalkan abnonnalitas pigmen dan skar atau keloid.
Pemilihan preparat anti akne untuk kulit berwama adalah agen yang non iritatif dan
melakukan terapi sedini mungkin untuk mengurangi hiperpigmentasi. Untuk algoritme
terapi akne ringan pada kulit berwama dapat dilihat pada Gambar 1 .8
M i ld AV with m i l d I
local ized P I H
.i
I
Topical retinoid ± t o p i c a l
I
.i
A b x / B PO
6-8 week
I m proved ?
I Yes I
i
C o n t i n u e topical Change t op i c a l
regimen f o r regin1cn ( cg , i ncr-case
m a i ntenace ± ret i n o i d su-cngth or
Adjunc1 i v e frequency to n i ght )
Ln::at n11..:1 1L f'o r Pl H OR add Abx/BPO
L .!.::
wee
l ' mP >
I I
Consider oral Abx
Y es No ( see 1nod eratc/
savcre a l g o r i t h 11 1 )
Terapi topi kal merupakan terapi l ini pertama untuk tatalaksana akne ringan,
akne sedang dan j uga merupakan bagian dari terapi kombinasi pada akne berat.
Terapi topikal ini digunakan sebagai terapi monoterapi, terapi kombinasi dan terapi
pemeliharaan. Obat- obat topi kal yang digunakan mel iputi retinoid, antibiotik,
antimikroba, asam azelaik dan asam salisilat.5•9
Tempi topikal kombinasi yang tersedia meliputi BPO 5% +klindamisin 1 %,
B PO 5% + eritromisin 3% dan tretinoin0,025%+ fosfat kl indamisin 1 ,2% dan
adapalen 0, 1 %+ B PO 2,5% Tera pi kombinasi mempunyai keuntungan selain
mengurangi terj adinya resistensi j uga meningkatkan ketaatan pada pasien serta
biaya yang lebih murah.5
1. Benzoil peroxide
Benzoil peroksida ( B PO) merupakan preparat akne yang aman dan efektif,
mempunyai efek sebagai antimikroba, komedolitik, mengumngi terbentuknya asam
lemak bebas, meningkatkan deskuamasi fol i kuler dan mengurangi terbentuknya
follicular pluging. Benzoil peroksida diindikasikan untuk pasien akne komedonal
dan infiamasi, tersedia dalam konsentrasi 2,5 % - 1 0%. 2·3
Menurut rekomendasi Global! A lliance, B PO digunakan untuk akne ringan
dan sedang, digunakan 1 -2 kali perhari di seluruh area. Untuk konsentrasi rendah
digunakan pada pasien akne dengan kulit sensitif dan konsentrasi tinggi digunakan
sebagai bahan tambahan pada sabun. 1 0
Efek samping dari BPO adalah kering, iritasi, eritema dan dermatitis kontak
alergi. Oleh karena mempunyai efek tidak menyebabkan resistensi, maka
penggunaanya sering dikombinasikan dengan agen topikal akne yang lainnya. 1 1
2. Asam azelaik
Asam azelaik (AA) merupakan asam dikarbosil ik, tersedia dalam konsentrasi
1 5-20% dan bersamaan dengan B PO, antibiotik dan retinoid akan meningkatkan
efikasi tempi. 1 2 Mekanisme ke1j a AA mengembalikan abnormalisasi keratinisasi
dan menghambat pertumbuhan P acnes, menghambat enzim tirosinase sehingga
dapat sebagai terapi hiperpigmentasi pasca infiamasi.5· 1 2
Efek samping A A adalah pruritus, panas atau eritema ringan, pemakaian jangka
panj ang menimbulkan hipopigmentasi.5
3. Retinoid topikal
mengurangi risiko ruptur dan lesi i nflamasi . Mekanisme efek anti inflamasi retinoid,
melalui sejumlah j alur seperti menurunkan ekspresi toll like receptor, sitokin dan
nitric oxide. 13 Retinoid topikal j uga mempunyai fungsi membantu penetrasi zat
aktif lainnya seperti antibiotik dan B PO dan j uga sebagai tempi pemeliharaan pada
akne. 5
Adapalen merupakan retinoid topikal, tersedia dalam konsentrasi 0, I % gel
yang sama efektifnya dengan tretinoin 0,025 % dan kurang iritatif serta bersifat
photostabile . 1 1
Efek samping dari retinoid topikal meliputi iritasi, kemerahan dan kering, untuk
mengurangi efek samping tersebut maka digunakan mulai dengan konsentrasi
rendah kemudian dinai kkan secara bertahap. 5 • 1 1
4. Asam salisilat
Asam sal isi lat tersedia sebagai obat jerawat dalam konstrasi 0,5% -2 %. Agen ini
mempunyai efek komedol itik, eksfol i asi ringan dari stratum komeum dan menurunkan
kohesi dari keratinosit serta diindikasikan untuk akne komedo ringan. 5• 1 1
5. Antibiotik topikal
Eritrom isin dan kl indamisin topikal sering digunakan untuk terapi akne yang
bertujuan mengurangi konsentrasi P acnes dan mediator inflamasi diindikasikan
untuk terapi akne ringan dan akne inflamasi sedang. Antibiotik topikal dapat
ditoleransi dengan baik, tetapi sebaiknya tidak digunakan secara monoterapi yang
sering menyebabkan resistensi . Antibiotik topikal dapat dikombinasi dengan B PO
dan digunakan secara simultan pada pagi hari dan dikombinasi dengan retinoid
yang digunakan pada malam hari. 1 1
T I N DA KAN AJ UVAN
1. Ekstraksi komedo
Ekstraksi komedo dilakukan pada akne komedonal yang bertuj uan mencegah
sumbatan, kolonisasi bakteri, inflamasi dan memperbaiki penampilan kulit wajah
pasien akne. Prosedur ekstraksi komedo harus dalam kondisi aseptik, bisa dilakukan
penguapan yang ringan bertuj uan mempermudah ekstraksi dan h indari penekanan
yang keras pada saat ekpresi komedo. Gunakan eksfoliasi mekanik dengan
ekstraktor komedo untuk mengurangi hiperkeratosis sebelum dilakukan tempi
topikal. Aplikasikan anti mikroba dan anti in:flamasi setelah dilakukan ekstraksi
komedo. 1 4
2. Peeling kimiawi
Agen peeling superfisial yang ban yak digunakan pada peel ing akne yaitu glycolic
acid dan /J-hydroxy acid (asam salisilat). Pada penelitian in vitro menunj ukkan
gycolic acid menunj ukkan efek menghambat pertumbuhan bakteri P acnes. Peel ing
asam sal isilat yang digunakan dalam konsentasi 20-30 % menyebabkan keratol isis.
Solusio Jessner j uga digunakan pada peeling akne yang menyebabkan keratolisis
melalui penurunan kohesi korneosit. Peeling dilakukan mulai dari konsentrasi
rendah kemudian dinaikkan secara bertahap dengan interval 2-4 minggu. 12•1 5 3
K ES I M P U LAN
Pilihan utarna untuk tata laksana akne ringan lesi komedonal adalah retinoid
topikal. Preparat altematif antikomedonal mel iputi asam azelaik 1 5-20% dan
asam salisilat 0,5 - 2 % dan untuk terapi akne papul-pustul (komedo dan beberapa
papul dan pustu l ) maka retinoid topikal dikombinasi benzoil peroxide ( B PO) atau
antibiotik top i kal . Terapi pemeliharaan pada akne ringan dapat menggunakan
retinoid topikal sedangkan untuk terapi fisik meliputi ekstraksi komedo dan peel ing
kimiawi superfisial rnenggunakan asam salisi lat, solusio Jessner dan glycolic acid
Saran algoritme tatalaksana akne ringan dapat dil ihat pada lampiran 1 .
DAFfAR PUSTAKA
1. Liao DC. Management of acne. The Journal ofFamily Practice. 2003 ; 52 ( 1 ) : 43-5 1 .
2. Kraft J, Freiman A. Management of acne. CMAJ. 20 1 1 ; 1 9; 1 83(7) : E S430-35.
3. William HC, Dellavale RP, Gamer S. Acne vulgaris. Lancet . 20 1 2 ; 379 : 36 1 -72
4. Seaton E. Acne : Guide to features and recommended management. Prescriber. 2009 :
August :22-33.
5 . Basak SA, Zaenglein A L . Acne and its management. Pediatric in Review. 20 1 3; 34( 1 1 ) :
479-93
6. Krowchuck DP. Managing adolescent acne: A Guide for Pediatricians. Pediatric in Review.
2005; 26 (7) : 249-26 1 .
7. Thiboutot D, Gollnick H, et al. New insights into the management of acne: An upgrade from
the global alliance to improve outcomes in acne group. J Am Acad Dermatol. 2009; 60: S 1 -50.
8. Shah SK, Alexis AF. Acne in skin of color: practical approaches to treatment. Journal of
Dermatological Treatment. 20 l O; 2 1 : 206- I I .
9. Rathi SK. Acne vulgaris treatment : the current scenario. Indian J Dennatol. 20 1 1 ; 56 ( 1 ) :
7- 1 3.
1 0. Sinclair W, Jordaan F. Acne guideline 2005 update. S.Afr Med J. 2005 ; 95: 883-92.
1 1 . Zaenglein AL, Graber EM, Thiboutot DM. Acne vulgaris and acneifonn eruptions. Dalam:
Goldsmith LA, Katz Sl, Gilchrest BA, Paller AS. Leffell DJ, Wolf K, edit. Fitsptrick's
Dermatology in General Medicine. Edisi ke-8. New York : McGraw Hill Companies ; 20 1 2.
p :897-9 1 6.
1 2. Davis EC, Callender VD. A review ofacne in ethnic skin, pathogenesis, clinical manifestations,
and management strategies. J Clin aesthetic Dermatol. 20 1 0;3(4): 28-38.
1 3 . Simonart C. Newer approaches to the treatment of acne vulgaris. Am J Clin Dermatol.
20 1 2: 1 3(6): 357-66.
1 4. Steventon K. Expe1t opinion and review article: The timing of comedone extraction in the
treatment of premenstrual acne - a proposed therapeutic approach. International Journal of
Cosmetic Science. 20 1 1 : 3 3 : 99- 1 04.
1 5 . Keri J, Shiman M. An update on the management of acne vulgaris. Clinical, Cosmetic and
lnvestigational Dermatology. 2009:2: I 05- 1 0.
Lampiran 1
I Akne Ringan l
�e j
-=-
l la
� :: "
Ko do pul-pustul
-----i
[ Topical retin , I
Topical retinoid
+ BPO/ AB
Topikal I
�Az 1 -----r 6-8 minggu
[ l
I I I
A elaik Asam Azel ai k
U n i Kedua Atau Atau
Asam S ali silat Asam S al i silat
T_ I
i
l =t·
F
I J
Ya l Tidak
i.
j
_l l l
Lanjut tera p i I
J
I I
Ganti terapi topikal l ai n
.
terap1 (mer konsentra s i , frekuensi) 4-6 m i nggu
pemeriharaan Atau +AB/BPO
l
Membaik -=r
r , Tidak membaik I
l AB Oral I l i hat a l goritme
akne sedang/berat
� I
I Terapji
� emelih� [_ Topikal Tretinoin
I rltl
Adj uva
Ekstrasi komedo , peeling , K I E
l Therapy _J
Ta ntari SHW
Departemen I lm u Keseh atan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran U niversitas B rawij aya, M alang
PENDAHULUAN
Memahami etiologi, patogenesis dan derajat keparahan akne adalah kunci untuk
keberhasilan tatalaksana akne. Penggunaan obat yang tepat dan sesuai baik topikal
maupun sistemik atau kombinasi dari keduanya penting untuk tatalaksana akne, sehingga
dapat mengurangi keparahan dan mencegah jaringan parut. Pengobatan pada akne,
diawali dengan menenetukan derajat keparahan akne yaitu ringan, sedang atau berat.1
Tujuan terapi akne adalah untuk mengurangi keluhan, menghilangkan lesi yang
ada, mencegah perkembangan skar dan meningkatkan kualitas hidup. 1•2 Berdasarkan
algoritma I guideline manajemen akne, terapi lini pertama untuk akne derajat sedang :
terapi topikal (benzoil peroksida, retinoid topikal). 3•4 dan atau antibiotik oral bila papula
dan pustula lebih dominan. Untuk lini kedua : topikal dapson atau asam azelaik atau
asam salisilat,3 kombinasi 2 agen topikal ditambah antibiotik oral atau terapi hormon
(hanya pada perempuan). Dan untuk lini ketiga : isotretinoin oral dan terapi fisik ( ekstraksi
komedo, pengelupasan kimiawi dan fototerapi/fotodinamik) 4 •
TERAPI TOPIKAL
L I N I PERTAM A
Retinoid merupakan derivat dari vitamin A, menjadi andalan terapi akne baik
tunggal atau dikombinasi dengan agen lainnya. Tiga retinoid topikal yang paling
umum digunakan adalah tretinoin, adapalen dan tazaroten. Tretinoin tersedia dalam
bentuk krirn (0,025%, 0,05%, 0, 1 % ) dan gel (0,0 1 % dan 0,025% ). Adapalene dalarn
bentuk krim, gel atau larutan (0, 1 % atau 0,3%), dan tazarotene dalam bentuk gel
atau krim (0,05% atau 0, 1 %). 3 • 5
SOR; A, level of evidence: I . 6
Kea ma nan
Efek samping retinoid topikal berupa iritasi lokal ( eritema, kekeringan, rasa terbakar,
mengelupas dan gatal. 5 Adapalen dan tazaroten belum dikaitkan dengan toksisitas
sistemik tetapi menurut Food and Drug A dministration (FDA), tretinoin dan adapalen
termasuk kategori C pada keharnilan dan tidak dianjurkan selama laktasi. Sedangkan,
tazaroten termasuk kategori X untuk kehamilan dan laktasi.4•5·7
Efikasi
Penerapan klinis
Retinoid topikal digunakan untuk semua derajat akne baik tunggal maupun
kombinasi. Lini pertama untuk akne derajat ringan dan sedang.3 .4.9 Akne derajat ringan
dengan inflamasi, retinoid topikal sebaiknya dikombinasikan dengan antimikrobial
topikal sedangkan untuk akne derajat sedang atau berat, harus dikombinasikan dengan
antibiotik oral atau mungkin agen hormonal pada wanita.9• 1 1 Saat ini, retinoid topikal
tunggal atau kombinasi dengan bensoil peroksida direkomendasikan untuk terapi
pemeliharaan berikut program pengobatan sistemik. 3
Efikasi
B PO efektif untuk lesi inflamasi dan superior dalam lesi noninflamasi. Ban yak
penelitian randomized-control trial ( RCT) menj elaskan bahwa B PO efektif untuk
penguranganj um I ah lesi baik inflarnasi dan noninflarnasi 3 8,50 Penelitian randomized
double-bfind pad a 1 53 pasien menggunakan BPO gel konsentrasi 2,5%, 5% dan
1 0% didapatkan sama efektifnya mengurangi lesi inflamasi( papula dan pustula).4·9
Penelitian lain yang rnembandingkan B PO dengan adapalene mendapatkan bahwa
BPO lebih banyak menurunkan lesi inflamasi dan lesi noninflamasi pada awal terapi
(minggu 2 dan 5 ). Nam un, dua monoterapi menyebabkan pengurangan serupa pada
semua lesi di minggu ke 1 1 . 1 0· 1 2 Penggunaan BP O 5% gel dan Eritromisin 3%
gel sebagai monoterapi efisien pada pasien akne papulopustular. 1 3 Pada review
sistematik dari 22 penelitian dengan 22 1 2 subyek, 1 2 penel itian dengan BPO
sebagai monoterapi dan 1 0 B PO dengan kombinasi, belum ada evidence tentang
BPO memperbaiki lesi akne di wajah. 14
Penerapan klinis
Bensoil perosida mem iliki onset cepat, efikasi dan tolerans i yang baik. Selain
itu, tidak ada resistensi bakteri terhadap B PO. Oleh karena itu, B PO dapat digunakan
secara efektif sebagai terapi tunggal untuk akne deraj at ringan dan sedang. Secara
klinis, BPO umumnya digunakan sebagai lini pertama, dalam komb inasi dengan
antibiotik topikal atau retinoid.3 Selain itu, BPO dapat digunakan bersamaan dengan
antibiotik topikal atau oral untuk mengurangi kemungkinan resistans i bakteri.
Digunakan sekali atau dua kali sehari (pagi dan sore) dan seharusnya tidak hanya
diaplikasikan pada lesi, tetapi ke seluruh daerah yang terkena.3 .4 · 1 0
Kea manan
Antibiotik topikal umurnnya sangat ditoleransi dengan efek samping Iingan. Eritema
lokal, gatal, kekeiingan dan mengelupas. Klindamisin topikal jarang menyebabkan diare
tetapi pemah dilaporkan kolitis pseudomembran. Klindamisin terrnasuk kategori B untuk
kehami lan, sedangkan pada masa laktasi tidak ada laporan efek samping. Eritromisin,
tidak ada efek samping sistemik pada penggunaan secara topikal, kehamjlan termasuk
kategori B, tetapi tidak dianjurkan bila sedang menyusui karena tidak diketahui apakah
diekskresikan selama menyusui.3.4 Terapi dengan makrolida topikal menyebabkan
peningkatan resistensi terhadap antibiotik. Hal ini terjadi baik melalui pemill1an strain
resisten atau pengembangan daii yang sudah ada dari fenotipe resisten barn selama
pengobatan, dan durasi terapi yang lebih lama meningkatkan kemungkinan resistensi
Penelitian yang membandingkan kombinasi klindarnisin I BPO dengan klindanusin
monoterapi, jwnlah P acnes yang resisten meningkat, 1 600% setelah 1 6 minggu
pengobatan dibandingkan dengan dengan kelompok kombinasi. 1 0
Efikasi
klindamisin dan eritromisin efektif pada terapi akne, dengan efek yang lebih besar untuk
lesi inflamasi daripada noninflamasi. Bila dibandingkan dengan terapi antibiotik oral,
antibiotik topikal kurang efektif dan lebih lambat kerjanya. 1 0·1 5
Baru-baru ini ada peningkatan kekhawatiran bahwa bakteri resistensi terhadap
makrolida telah menyebabkan efikasi penurunan terapi antibiotik topikal di akne. Review
sistematik oleh Simonait dan Dramaix mendapatkan bahwa efek dari eritromisin
topikal menurunkan jumlah lesi inflamasi dan non-infl.amasi secara signifikan dari
waktu ke waktu, yang kemungkinan terkait dengan pengembangan resistensi di P acnes
dan tidak menemukan penunman efektifitas klindamisim topikal, namun ketahanan P
acnes terhadap klindamisin telah dibuktikan. 3•15
Penerapan klinis
Berbagai kombinasi agen topikal dos i s tetap yang tersedia : adapalene-BPO (0, 1 %
/ 2,5%), klindamisin-BPO (gel 1 % / 5%) , eritromisin-BPO (gel 3% / 5%), eritromisin
tretinoin (solusio 4% I 0,025%) dan klindamisin-tretinoin (gel 1 ,2% I 0,025% ). 1 0
SOR:A ( Kombinasi klindamisin-BPO dan adapalen-B PO). 4
Keamanan
Banyak uj i klinis menetapkan bahwa berbagai produk kombinasi topikal saat
ini tersedia memiliki profil keamanan yang sangat baik. Penelitian terhadap 492
pasien dengan akne deraj at sedang sampai berat yang diterapi dengan kombinasi
klindamisin-BPO dibandingkan dengan agen tunggal menunj ukkan tolerabilitas
yang sama, dengan efek samping yang paling sering adalah kulit kering. Sedangkan,
adapalene-BPO dibandingkan dengan setiap produk sebagai monoterapi didapatkan
bahwa tolerabilitas dan efek sampingnya sama. 1 4
Menggabungkan antibiotik topikal atau oral dengan BPO dapat membantu
mencegah munculnya resistansi P acnes. Satu penelitian menemukan bahwa
kombinasi topikal eritromisin-BPO tidak hanya efektif untuk perbaikan akne,
tetapi j uga menyebabkan penurunan j umlah bakteri resisten . Penelitian yang
membandingkan gel klindamisin-BP O dengan klindamisin monoterapi, resitensi
P acnes terns meningkat selama 1 6 minggu, sementara tetap atau di bawah dasar
dengan terapi kombinasi .9• 1 6
E fi kasi
Mengkombinasikan retinoid topikal dengan antimikroba topikal secara signifikan
meningkatkan efektifitas obat dan onset kerj a lebih cepat. Penelitian double
blind randomized control-trials mendapatkan bahwa kombinasi gel klindamisin
tretinoin lebih efektif daripada agen tunggal atau vehikulum. Kombinasi tersebut
mengakibatkan j umlah lesi in:flamasi dan total lesi yang lebih rendah, efektifitas
serupa untuk kombinasi eritromisin dan tretinoin.s, i o, 1 6
Demikian pula, beberapa penelitian telah menunj ukkan efektifitas kombinasi
topikal termasuk BPO. Beberapa uj i coba terkontrol secara acak membandingkan
kombinasi klindamisin-BPO dan klindamisin atau B PO monoterapi menemukan
bahwa terapi kombinasi mengakibatkan pengurangan jumlah total lesi, serta j umlah
lesi infiamasi dan komedonal. Penelitian double blind terkontrol menggunakan
kombinasi eritromisin-BPO menunj ukkan efikasi lebih baik dibandingkan dengan
agen tunggal atau vehikulum. Sebuah studi yang membandingkan klindamisin
BPO terhadap eritromi sin-BPO tidak menemukan perbedaan yang signifikan dalam
efektifitas. Gel adapalene-BPO digunakan l x sehari menghasilkan pengurangan
lesi in:flamasi dan komedonal, dengan onset kerj a lebih cepat dibandingkan
dengan monoterapi lainnya. Penelitian penggunaan eritromisin 3%- B PO 5% dan
eritromisin 4% -tretinoin 0,025%, masing-masing diaplikasikan 2x sehari pada
akne deraj at sedang, menunj ukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan
antara kedua kelompok dalam pengurangan j umlah komedo, papula dan pustula.
1 0 Pada open-labelled single center study parallel group randomized comparative
Penerapan klinis
LINI KEDUA
1 . ASAM AZE L A I K
Asam azleaik adalah asam karboksilat yang terj adi secara alami yang memiliki
sifat komedolitik, antimikroba dan anti-inflamasi A sam azelaik tersedia dalam
bentuk krim 20% atau gel 1 5%.2.3
SOR: A. level of evidence: I .6
Keamanan
Efikasi
Satu penelitian terhadap 92 pasien akne inflamasi, diberikan krim asam azelaik
20% selama 3 bulan, menunj ukkan bahwa asam azelaik secara signifikan mengurangi
jumlah lesi akne. Penelitian single-blind pada 289 pasien akne komedonal dan
membandingkan efek dari krim asam azelaik 20% dengan krim tretinoin 0,05%
selama 6 bulan mendapatkan basil bahwa kedua sediaan sama-sama efektif, tetapi
asam azelaik ditoleransi lebih baik. Asam azelaik topikal sama efektifnya dengan
B PO topikal dan adapalene dalam mengurangi lesi inflamasi dan non-inflamasi.4
Efektifitas asam azelaik dibandingkan BPO dibuktikan dengan penel itian terhadap
30 pasien akne papulopustular selama 6 bulan, didapatkan kesimpulan basil terapi
sangat baik 75% pada kelompok BPO dan 7 1 % pada kelompok asam azelaik.
Penelitian lain, membandingkan pemberian asam azelaik dengan eritromisin selama
5 bulan, didapatkan basi l efektifitas sebesar 72% pada kelompok yang mendapat
asam azelaik dan 67% pada kelornpok yang mendapat eritrom isin.8
Penerapan klinis
Dalarn sebuah penelitian selama 1 2 minggu pada 1 50 subyek yang menerima
baik asam azelaik topikal 5%, klindamisin topikal 2%, atau kombinasi keduanya,
didapatkan bahwa kombinasi asam azelaik dan klindam isin secara signifikan
lebih efektif dalam mengurangi keparahan akne. Sebuah studi serupa yang
membandingkan efektifitas asam azelaik dan monoterapi eritromisin dan kombinasi
keduanya, menunj ukkan bahwa kombinasi asam azelaik dan eritrom isin lebih dapat
ditolerir dibandingkan monoterapi . Banyak penelitian lain j uga menunjukkan
bahwa asam azelaik bekerja lebih baik bila dikombinasi, baik untuk akne derajat
ringan sampai sedang. 1 0
2. ASAM S A L I S T LAT
Asam salisilat telah digunakan selama be11ahun-tahun untuk pengobatan akne.
Asam salisilat bersifat komedol itik, dianggap kurang kuat dibandingkan retinoid
topikal . Hal ini sering digunakan ketika pasien tidak dapat mentoleransi retinoid
topikal efek iritasi kulit. Asam salisilat larut dalam lemak, fJ- hydroxy acid ini
memiliki sifat komedolitik, meskipun agak lemah dibandingkan dengan retinoid.
Asam salisilat j uga menyebabkan pengelupasan kul it stratum korneurn, penurunan
kohesi keratinosit. Efek samping berupa iritasi, pruritus, rasa terbakar, tingl ing,
deskuamasi dan eritema ringan dan sementara. H i s
SOR; A . 4
TERA P J S I ST E M T K
Upaya untuk mengurangi skar akne dan dampak psikososial pada akne derajat
sedang sarnpai berat, atau ringan sarnpai sedang atau kegagalan respon terapi
topikal dibutuhkan terapi sisternik. Hal ini harus dikombinasikan dengan terapi
topikal terutama diarahkan terhadap mikrokomedo, yang rnerupakan bagian integral
perkembangan kedua lesi inflamasi dan non-inflamasi (laura n layton). Lini pertama
: antibiotik sistem ik, lini kedua : agen hormonal dan lini ketiga : isotretinoin . 4
1. ANT I B I OT I K
Beberapa keadaan klinis pada akne dapat diberi kan antibiotik oral seperti
akne derajat sedang dan berat, dimana pengobatan topi kal tidak berhasi l, atau lesi
yang luas seh ingga apl ikasi topikal. sul it dij angkau. Dua kelas utama antibiotik
yang umum digunakan adalah tetrasiklin, dan makrol ida. Selain itu, beberapa
obat lain, termasuk trimethoprim- sul fametoksazol, cehalexin, klindamisin dan
dapson.3 · 1 0
Terapi akne dengan antibiotok oral, sebagai lini pertama adalah tetrasi kl in,
sedang lini kedua pil ihannya adalah doksi siklin atau minosiklin, dan lini ketiga
yaitu: trimetropin sufametoxazole ( SOR; A, Level o_fevidence 1 )6
Secara umum, antibiotik mengobati akne baik melalui suatu efek anti-intlamasi
atau antibakteri . Cara kerja antibioti k tergantung pada kelas antibiotik, misalnya,
makrol ida terutama menggunakan efek antibakteri . Antibiotik ini bekerja dengan
ireversibel mengikat SOS subunit ribosom bakteri dan mengakibatkan sintesis
protein melambat. Sebaliknya, tetrasiklin menggunakan efek antibakteri dan anti
inflamasi . Tetrasiklin menggunakan efek antibakteri dengan mengikat subunit 30S
dari ribosom bakteri . Kelas antibiotik menggunakan efek antiinflamasi melalui
berbagai mekanisme : menghambat neutrofil dan monosit kemotaksis, pembentukan
granuloma, matriks metaloprotease dan aktivitas kolagenase serta pembentukan
reactive-oxygen specific ( ROS). Trimetropin-sulfometoksasol menghambat
dihydrofolate reduktase I sintetase dihidropteroat, yang akhimya mengurangi purin
bakteri dan sintesi s pirimidin. Eritromisin adalah antibiotik macrolide, sebagai
anti inflarnasi langsung dengan rnengurangi faktor kernotaksis neutrofil dan ROS.4
Keamanan
Tetrasikl in, doksisiklin, minosiklin atau kotrimoksasol kontraindikasi pada
kehami lan sedang eritrom isin aman pada wanita hamil dan menyusui. Untuk
menghindari gangguan gastrointestinal eritrorni sin harus diminurn setelah makan,
sedang klindamisin dilaporkan menyebabkan diare pada 30% pasien. Selain itu,
penggunaan kl indarnisin selanj utnya dibatasi potensinya untuk meningkatkan
pertumbuhan Clostridium d?fficile.3-4 Tetrasiklin biasanya menyebabkan ketidak
nyamanan gastrointestinal dan fotosesnitivitas, j arang menyebabkan esofagitis,
pankreatitis dan pseudoporphyria. U ntuk anak berusia kurang dari 9 tahun tidak
boleh diberikan karena dapat menyebabkan perubahan warna gigi. Doksisiklin lebih
mungkin untuk mengi nduksi reaksi fototoksik daripada tetrasiklin M inosikline
dapat melewati sawar darah-otak dan menyebabkan gangguan vestibular, pada
penggunaan j angka panj ang minosiklin dapat menyebabkan h iperpigmentasi.
Walaupun j arang, minosiklin dapat menginduksi serum-sickness-like reaction,
lupus-like reaction , vasku l itis atau kerusakan .hati. Trimetropin-sulfametoksasol
memiliki efek sampi ng trombositopenia, agranulositosis dan anemia, selain itu
j uga berpotensi menyebabkan reaksi hipersensitivitas. 3 •1 5
E fi kasi
Berdasarkan efikasi, keamanan dan tingkat populasi resistensi bakteri, siklin
direkomendasikan sebagai lini pertama pilihan antibiotik.
Oksisiklin ( l g/hari) sering dikaitkan dengan kepatuhan, hams diminum 30 menit
sebelum makan dan tidak dengan susu untuk memastikan absorpsi yang adekuat. Siklin
generasi kedua cenderung dipengaruhi oleh makanan dan dapat diberikan sekali sehari,
yang dapat membantu kepatuhan.2 Doksisiklin 50 - 1 00 mg sehari efektif dalam
mengurangi lesi in:flamasi dan non-in:flamasi. Tingkat pengurangan lesi dicapai dalam
tiga bulan terapi doksisiklin adalah antara 1 4% dan 50% untuk lesi non-inftamasi (p
<0,05), dan antara 30% dan 75% untuk lesi in:flamasi (p <0,05). Penelitian randomized,
double-blind trial, terhadap 1 00 pasien akne deraj at sedang diterapi dengan azitromisin
atau doksisiklin oral selama 3 bulan berturut-turut, menunj ukkan bahwa kedua obat itu
efektif untuk akne deraj at sedang. Doksisklin lebih efektif pada pasien berusia di atas
1 8 tahun. Eritromisin efektif dalam mengurangi lesi baik in:flamasi dan noninftamasi.
Pada penelitian Greenwood R et al, (20 1 0) eritromisin 250 mg dua kali sehari selama 4
bulan menunj ukkan perbaikan 2 1 - 45% (p <0,05). Akne di wajah respon terapi lebih
baik daripada di badan, memberikan pengurangan keparahan akne masing-masing
66,5% dan 5 1 ,5% (p <0,05). Kotrimoksazol adalah kombinasi dari trirnetoprim dan
sulfametoksazol, harus dihindari pada pasien dengan hipersensitifitas terhadap obat
golongan sulfonamid. Trirnethoprim juga telah digunakan secara tunggal. Trimethoprim
1 00 mg tiga kali sehari, didapatkan pengurangan lesi in:flamasi sebesar 60% (p <0,0 1 )
dan 1 8% untuk makula (p <0,0 1 ) pada delapan minggu. Temuan ini sebanding untuk
oksitetrasi klin yang diberikan 250 mg tiga kali sehari. 4
Penerapan klinis
Antibiotik oral hams diberikan untuk akne derajat sedang sarnpai berat . Secara
umum, kelas tetrasiklin merupakan antibiotik lini pertama. Selain itu, antibiotik
oral seharusnya dicoba bila sudah t idak ada pilihan terapi topikal atau terapi
topikal tidak praktis., bahkan ketika diputuskan untuk memulai antibiotik oral,
B PO atau asam azelaik topi kal harus dilanjutkan, resistensi antibiotik hams selalu
2. HORMONAL
Keamanan
Efek samping yang sering timbul dari pi! kontrasepsi meliputi rnual, perubahan mood,
nyeri payudara dan perdarahan. Di samping itu, terutama pada pasien yang rnerokok,
hipertensi, diabetes atau migrain, penggunaan pil kontrasepasi meningkatkan resiko
strok, tromboemboli vena dan miokard infark. Apakah dapat berakibat kanker payudara
masih rnenjadi perdebatan. Kontraindikasi untuk kehamilan dan wanita menyusui
kurang dari 6 minggu postpartum. Efek samping yang mungkin untuk spironolakton :
menstruasi tidak teratur, lesu, letih, dan sakit kepala.2· 10
Efikasi
pil kontrasepsi dibandingkan placebo menunj ukkan bahwa secara signifikan pi!
kontrasepsi kombinasi mengurangi j umlah lesi infiamasi dan non-inflamasi.4
Penel itian multicenter, randomized, placebo-controlled pada 257 perempuan
dengan akne derajat sedang menggunakan pil kontasepsi kombinasi ( norgestimate
dan etinil estradiol) atau plasebo selama 6 bulan Penurunan rata-rata pada jumlah
Jesi infiamasi dari awal adalah 62% pada kelompok pil kontrasepsi dibandingkan
dengan 3 8,6% pada kelompok plasebo. Demikian pula, penurunan rata-rata pada
lesi seluruhnya masing-masing adalah 5 3 , 1 % dibandingkan 26,8%. Pen ilaian global
menunjukkan perbaikan 93,7% untuk pil kontrasepsi kombinasi dibandingkan
65 ,4% untuk plasebo. Dengan demikian, pi! kombinasi dianggap terapi yang
efektif untuk akne derajat sedang. Penel itian randomized, doouble-blind, para/le/
group pil kontrasepsi kombinasi ( 3 mg drospirenone I 20 mcg eti nil estradiol ) atau
placebo pada 334 perempuan dengan akne derajat sedang selama enam siklus 28
hari, didapatkan penurunan lesi inflamasi , non-infiamasi dan total lesi. Penel itian
retrospektif terhadap 85 perempuan yang diterapi dengan spironolakton 50- 1 00
mg I hari sebagai monoterapi atau sebagai tambahan untuk jangka waktu yang
berlangsung selama 2 tahun . Hasil yang didapatkan, 33% pada dosis rendah
mengalami resolusi . Perbaikan total sebanyak 3 3% dan 2 7,4% menunj ukkan
perbaikan sebagian, sedangkan 7% tidak ada perubahan . Dengan demikian
spironolakton dapat dipertimbangkan sebagai pil ihan terapi. 10 •
Penerapan klinis
Terapi hormonal untuk akne adalah pilihan yang tepat bagi perempuan :
yang mencari kontrasepsi, dengan onset akne yang terlambat, ketidak teraturan
menstruasi, dan bersamaan masalah endokrin . Terapi hormonal untuk akne
sebaiknya tidak digunakan sebagai terapi tunggal, harus dikombinasikan denganl
terapi akne lainnyan (misalnya, antibiotik topikal atau BPO). Hal ini penting untuk
meneruskan terapi akne karena pil kontrasepsi umumnya memerlukan waktu
minimal 3 bulan untuk menunj ukkan efek pada terapi akne. 10
3. RETI N O I D ORAL
Keamanan
Efek samping utarna dari isotretinoin oral, teratogenik pada kehamilan.3• 10 Efek
sarnping tergantung dosis, sebagian besar terbatas pada kulit dan mukosa, ditoleransi
dengan baik dan reversibel. Efek sarnping yang sering termasuk kheilitis, dermatitis,
konjungtivitis, xerosis dan kekeringan mukosa hidung dengan epistaksis, kekeringan
mata, rambut rontok. Efek samping yang jarang meliputi arthralgia, nafsu makan
berkurang dan kelelahan, mialgia, Kelainan laboratorium: peningkatan aspaitat serum,
alanin transaminase dan hipertrigliseridemia yang semua kembali nonnal setelah
penghentian terapi. Tidak ada konsensus pada depresi dan bunuh diri pada penggunaan
isotretinoin oral. Namun, disarankan hati-hati pada pasien dengan riwayat depresi dan
perubahan suasana hati.4
Efikasi
Penelitian terhadap 1 98 subyek dengan akne berat diberikan dengan isotretinoin
oral, hasilnya menunjukkan sebanyak 32,8% sembuh, 1 9, 1 % membaik 1 1 , 1 % cukup
membaik dan 24,2% dari pasien disarankan untuk perawatan lebih lanj ut. Khususnya,
perubahan dalarn lipid serum ditemukan sementara, terutall1a pada pasien muda dengan
fungsi hati yang normal.
Efikasi isotretinoin ditentuk:an bahwa dosis 0,5 mg I kg I hari untuk akne ringan
sampai sedang adalah efektif dibandingkan dengan dosis 1 mg I kg I hari untuk akne
berat, 1 •2.4 Dosis 0,5 mg I kg I hari selama satu minggu setiap bulan selama enam bulan
secara signifikan mengurangi total lesi akne dan lesi inflamasi dengan resolusi 88% (p
<0,000 l ). Dua belas bulan setelah menyelesaikan pengobatan, 6 1 % secara signifikan (p
<0,000 1 ). 4
Penelitian RCT membandingkan efek:tifitas isotretinoin dosis konvensional (0,5-0,7
mg I kg sehari), dosis rendah (0,25-0,4 mg I kg sehari) dan dosis intermiten (0,5-0,7 mg I
kg sehari selama l minggu dari setiap 4 minggu) pada akne sedang. Rejimen konvensional
dan dosis rendah yang unggul dari rejimen dosis intermiten dalam perbaikan Global
Acne Grading System (GAGS) skor dengan masing-masing p <0,00 1 dan p 0,044. =
Tidak ada perbedaan yang signifikan antara rejimen dos is konvensional dan rendah. Satu
tahun setelah akhir pengobatan, tingkat kekambuhan 1 3% pada kelompok konvensional,
1 8% pada kelompok dosis rendah dan 56% pada kelompok intermiten. Dalam sebuah
penelitian retrospektif membandingkan efektifitas isotretinoin oral Wltuk pengobatan
konvensional (89% pada kombinasi dari satu antibiotik oral dan satu atau lebih topikal
dan yang lainnya 1 1 % pada salah satu antibiotik oral atau satu topikal) untuk akne sedang.
Diukur complete clearing dan durasi pengobatan yang diperlukan untuk mencapainya.
Dalam kelompok yang menerima isotretinoin oral, 82% mengalami complete clearing
rata-rata 5,2 bulan. Pada kelompok pengobatan konvensional hanya 9% dari pasien
mengalami complete clearing, rata-rata 1 5,8 bulan. Penelitian ini semakin memperkuat
pemikiran bahwa isotretinoin oral unggul dalam efektifitas untuk terapi akne . 1 0
Penerapan klinis
Penggabungan antibiotik dengan isotretinoin untuk bulan pertama terapi dapat
mencegah akne flare. I sotretinoin diresepkan 1 mg/kg/hari. Jika pasien menderita
akne derajat berat dan dengan risiko untuk flare awal, dos is isotretinoin 0,5 mg/kg/
hari selama 6 minggu pertama dapat diterirna. Tidak peduli pendekatan yang diambil,
dosis kumulatif 1 20 mg/kg/hari adalah tujuan untuk program tlll1ggal terapi isotretinoin.
Meskipun pengobatan yang efektif untuk akne, mengingat efek samping potensial,
isotretinoin harus diberikan untuk kasus akne yang berat atau akne yang tidak berespon
dengan pengobatan akne pada lini pertama dan atau lini kedua. Penting diingat bahwa
kekambuhan dapat terjadi pada setiap saat setelah terapi, dapat mencapai 2 l % pas1en,
dan dengan demikian program tambahan mungkin diperlukan.1 0
TERAPI AJUVAN
Terapi ajuvan yang bersifat fisik dapat digunakan sebagai terapi tambahan atau
altematif pada akne dan termasuk dalam lini ketiga terapi akne derajat sedang. 2.4
2. PENGELUPASAN KIMIAWI
Pengelupasan kimiawi digunakan sebagai terapi adjuvan dalam terapi akne di wajah.
Sediaan kimiawi yang umun1 digunakan untuk pengelupasan secara superfisial adalah
asam glikolat dan asam salisilat.
SOR; B4
SOR; C, level ofevidence I l l 6
Asam glikolat (GA) asam a-hidroksi, adalah senyawa hidrofilik yang sering
digunakan dalam pengelupasan kimiawi karena sifat deskuamasinya. Deskuamasi
mengurangi kohesi p korneosit dan penyumbatan keratinosit. Hal ini memungkinkan
mencegah pembentukan komedo.
Pada akne derajat sedang, pengelupasan dengan GA (35% atau 50%) untuk empat sesi
dengan interval 3 minggu bersarna-sama sebelum dan sesudah tindakan pengelupasan
kimiawi menggunakan asam glikolat 1 5% di rumah, mengakibatkan resolusi yang
signifikan dari komedo, papula dan pustula. Efek samping yang paling sering berupa
eritema. Efek samping lain yang pernah dilaporkan meliputi hiperpigmentasi paska
infiamasi, infeksi herpes simpleks lokal dan iritasi kulit ringan.3.4
Dalam beberapa tahun terakhir, terapi berbasis cahaya untuk akne telah
mendapatkan popularitas, dan memanfaatkan sinar/cahaya dengan sifat yang
berbeda (yaitu, panjang gelombang, intensitas dan cahaya koheren I inkoheren). 2
Fototerapi dan fotodinamik adalah alternatif terapi pilihan untuk yang gagal atau
tidak dapat mentoleransi terapi standar. Porfirin yang mungkin dihasilkan oleh P
acnes dapat menyerap cahaya pada puncak 4 1 5 nm untuk membentuk ROS yang
membunuh bakteri.4 Laser adalah sumber cahaya yang paling umum digunakan
dalam terapi akne, yang menghasilkan energi tinggi dari berbagai panjang
gelombang yang tepat.2
Berbagai terapi cahaya sedang diteliti, termasuk spektrum panjang gelombang
terus menerus, surnber cahaya tampak ( lampu biru dan lampu biru-merah ), khusus
sinar narrow-band, intensepulsed light ( I PL), pulsed dye lasers ( P OL), laser kal ium
titanyl fosfat, laser infra merah dioda dan photodynamic therapy ( PDT) dengan
atau tanpa fotosensitiser (asam aminolevulinic atau metil asam aminolevulinic). 1 0
Mekanisme kerja untuk terapi sinar berhubungan dengan biologi porfirin
sebagai photosensitisers untuk menginduksi penghancuran P acnes. Terapi sinar
samping PDL berupa nyeri, eritem, purpura dan hiperpigmentasi paska inflamasi 4
Belum banyak bukti tentang efikasi fototerapi pada akne, fototerapi merupakan
terapi tambahan dan data keamanan jangka panjang belum diketahui.2
PENUTUP
Untuk memberikan terapi pada akne, secara umum, langkah pertama adalah
menenetukan deraj at keparahan akne yaitu ringan, sedang atau berat.
Retinoid topikal dianjurkan sebagai pengobatan lini pertama untuk akne derajat
ringan sampai sedang, terutama dengan lesi komedonal, dan harus digunakan dalam
kombinasi dengan BPO. B PO adalah agen bakterisida kuat dengan aktivitas terhadap
kedua strain Pacnes resisten dan non resistan dan efektif pada konsentrasi rendah.
Eritromisin dan klindamisin topikal efektif untuk akne, akan tetapi penggunan
tunggal dapat dikaitkan dengan resistensi bakteri .
Antibiotik sitemik diberikan pada akne derajat sedang sampai berat, tetapi .
hams penggunaanya hams dibatasi untuk menghindari resistensi dan penggunaan
harus dihentikan setelah terj adi perbaikan.
Terapi honnonal adalah cara yang efektif untuk mengurangi seborea dan hams
dipertimbangkan untuk wanita dengan akne persisten atau pada onset dewasa.
Retinoid sistern ik efektif untuk akne berat yang tidak resposif dengan tempi
kombinasi , dan pada wanita dengan akne persisten atau onset terlambat. Namun,
perlu hati-hati efek teratogenik pada wanita usia subur atau pada kehami lan.
Terapi aj uvan termasuk lini ketiga, meliputi ekstraksi komedo, pengelupasan
kimiawi dan fototerapi untuk akne nodulakistika dan skar akne banyak tersedia,
namun masih diperlukan penel litian lebiih l anjut untuk menentukan evidence
DA FTA R PU STA KA
Rahmadewi
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran U n iversitas Airlangga, Surabaya
PENDA H U LUAN
MODALITAS TERAPI
1. I SOTRETINOIN
Isotretinoin ( I 3-cis-asam retinoat) adalah salah satu jenis retinoid oral yang memiliki
waktu paruh 20 j am. I sotretinoin melewati metabolisme lintas pertama di hepar dan siklus
daur ulang enterohepatik berikutnya. Dalam plasma, lebih dari 99% isotretinoin terikat
pada protein plasma, terutama albumin, lalu disimpan dalam hepar atau jaringan adiposa.
Metabolit utama adalah 4-oxoisotretinoin, dengan bioaktivitas yang telah berkurang,
lalu diekskresikan dalam urin dan feses. Pada akl1ir pengobatan, konsentrasi endogen
isotretinoin dan metabolit utama dicapai dalam waktu 2 minggu. Oleh karena itu, batas
keamanan adekuat adalah pada periode 1 bulan setelah terapi kontrasepsi.5
Indikasi utama isotretinoin saat ini adalah untuk pengobatan akne vulgaris derajat
berat. 6 I sotretinoin efektif dalam pengobatan akne karena memiliki kemampuan untuk
mempengaruhi, secara primer dan sekunder, seluruh faktor etiologi yang terlibat dalam
patogenesis akne: produksi sebum, komedogenesis, dan kolonisasi Propionibacterium
acnes (Pacnes).5•7•8 Isotretinoin menyebabkan pengurangan ukuran kelenjar sebasea
dan penurunan sekresi sebwn yang nyata. Penurunan produksi sebum menyebabkan
hambatan bakteri yang tergantung sebum (sebum dependent) yaitu Pacnes. Bakteri
tersebut merupakan promoter terjadinya inflamasi pada akne vulgaris. I sotretinoin oral
juga menghambat komedogenesis dengan cara mendorong diferensiasi keratinosit dan
nonnalisasi deskuamasi.9
The Food and Drug Administration (FDA) menyetujui penggunaan isotretinoin
oral hanya untuk terapi akne nodular berat yang rekalsitran. Akne nodular berat yang
rekalsitran didefinisikan sebagai akne yang memiliki nodula infamasi yang bemkuran
lebih dari 5 milimeter (mm) yang tidak berespon terhadap terapi konvensional tennasuk
antibiotik sistemik.9
I sotretinoin juga mungkin diresepkan pada beberapa kondisi pada pasien tertentu
tanpa akne nodular berat yang rekalsitran, yaitu pada kondisi akne yang resisten terhadap
terapi, akne dengan j aringan parut, akne yang menyebabkan tekanan psikis, akne fulminan,
pasien akne vulgaris dengan folikulitis gram negatif yang diinduksi antibiotik. 1 1 • 1 2
Terapi I sotretinoin dimulai pada dosis 0.5 mg/kg/hari selama bulan pertama terapi,
dan secara bertahap dinaikkan sampai dengan dosis 1 mg/kg/hari. Pemberian dalam
dosis tunggal atau dosis terbagi . Dosis terapi total adalah 1 20mg/kg sampai dengan
l 50mg/kg yang dicapai dalam 4 sampai 6 bulan ( durasi terapi yang um um adalah 20
minggu) 1 3• 1 4 Obat bisa dihentikan tanpa tappering. 15 Absorpsi isotretinoin meningkat
ketika diminum bersama makanan, khususnya makanan yang mengandung lemak tinggi.
Formulasi isotretinoin yang terbaru ( isotretinoin dengan teknologi l idose) menunjukkan
bioavailabilitas yang tinggi pada keadaan puasa. Fonnula ini diminum dua kali perhari
dan bisa diberikan tanpa bersamaan dengan makanan.
Pada awal terapi i sotretinoin, gej ala klinis akne bisa memburuk, resiko tersebut
bisa diturunkan pada dosis terapi awal 0 . 5 mg/kg/hari selama bulan pertama.
Gejala akne yang memburuk pada awal terapi biasanya membaik bila terapi
isotretinoin dilanj utkan.2 Pada beberapa kasus, nodula yang mengalami inflamasi
bisa mengalami ulserasi dan membentuk j aringan granulasi. Bila hal ini terjadi,
isotretinoin bisa dihentikan sementara.9 Glukokortikoid sistemik dengan dosis 0.5- 1
mg/kg/hari bisa diberikan sebelum terapi i sotretinoin atau bersamaan selama dua
sampai empat m inggu pertama dengan tuj uan untuk rnencegah flare yang berat.9
Mayoritas pasien mengalami perbaikan gej ala klinis akne setelah satu siklus
terapi . 1 6 Perbaikan gejala klinis akan berlanj ut sampai dengan beberapa bulan
setelah terapi dihentikan. Jangka waktu penghentian terapi sebelurn rnernulai siklus
terapi yang baru minimal 5 bulan.9
Terapi isotretinoin dosis rendah adalah terapi isotretinoin dengan dosis lebih
rendah daripada 0,5mg/kg. Dosis tersebut bisa efektif untuk beberapa pasien . 1 5•1 7
Dosis isotretinoin yang lebih rendah dan lebih tinggi memil iki efektivitas yang sarna
dan memiliki angka kekambuhan yang sama setelah satu tahun, namun memiliki
efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dosis isotretinoin yang lebih tinggi.9
Pada beberapa studi, terdapat bukti bahwa isotretinoin dosis tinggi bisa
menurunkan resiko relaps dan bisa ditoleransi dengan baik oleh pasieen akne
derajat berat. Efek samping yang bisa terj adi adalah dermatiti s retinoid yang terjadi
pada dosis isotretinoin lebih dari 220mg/kg 1 8• 1 9
Efikasi isotretinoin berkurang ketika dikonsumsi bersama dengan alkohol.2 0
Isotretinoin dim etabolisme oleh enzim sitokrom P450, di induksi oleh etanol, dan
dihambat oleh beberapa obat misalnya ketokonazol. Oleh karena itu, peningkatan
jumlah obat isotretinoin dapat terj adi j ika dikombinasikan dengan fungistatik
imidazole. Asam salisi lat dan indornetasin merupakan obat asam dengan afinitas
tinggi untuk albumin. B i la terdapat dalam darah dengan konsentrasi terapeutik
yang tinggi, mereka dapat menggantikan i sotretinoin dari tempat i katan protein
sehingga mengakibatkan pen ingkatan konsentrasi obat yang tidak terikat.2 1 Jurnlah
karbamazepin dalam plasma menurun ketika isotretinoin dikonsumsi bersamaan,
sehingga pemantauan secara hati-hati harus dilakukan pada pasien epilepsi yang
mengkonsumsi karbamazepin j i ka membutuhkan isotretinoin.22 I sotretinoin dan
tetrasiklin oral harus dihindari karena keduanya dapat menyebabkan h ipertensi
intrakranial j i nak. Hal ini kemungkinan merupakan reaksi idiosinkratik jarang
yang disebabkan masing-masing obat, tetapi terdapat laporan pada literatur
yang menunjukkan secara teoritis dapat terj adi efek aditif (tambahan) dengan
menggabungkan keduanya. Suplemen vitamin yang rnengandung vitamin A harus
dihindari saat pemberian isotretinoin karena efek toksik aditif dapat terj adi .23
l sotretinoin oral merupakan kontraindikasi untuk pasien hipervitaminosis A,
hiperl ipidemia yang tidak terkontrol, selama kehamilan dan laktasi serta pasien
dengan insufisiensi hepar. Pada pasien dengan kelainan ginjal dan diabetes,
hypertension. Semua efek samping tersebut pada umurnnya ringan dan reversible,
kadang-kadang reaksi yang berat bisa terjadi .24 Resiko penggunaan isotretinoin
yang mendapat perhatian khusus adalah efek samping teratogenik bila isotretinoin
oral digunakan oleh wanita hamil dan pembahan suasana hati yang berakibat pada
beberapa kejadian psiki atri .25
Bayi yang dilahirkan dari ibu yang menerima pengobatan isotretinoin saat
kehamilan telah banyak dikemukakan. Resiko teratogenik yang terjadi adalah
malformasi kongenital (malformasi waj ah dan tulang tengkorak), abnormalitas
sistem saraf pusat atau kardiovaskular. Oleh sebab itu program pencegahan
kehamilan hams dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Semua wanita pada usia
subur yang dipertimbangkan untuk diberi terapi isotretinoin hams diberi penjelasan
dan dipastikan pasien memahami resiko teratogenik tersebut. Hal-hal yang harus
didiskusikan antara dokter yang memberi resep isotretinoin dengan pasien meliputi :
perilaku seksual yang terbaru, riwayat menstmasi, dan edukasi untuk penggunaan
kontrasepsi. Semua pasien wanita harus menandatangani formulir yang menyatakan
bahwa mereka memahami resiko apabila mereka hamil pada saat terapi dengan
tretinoin dan semua pasien wanita pada usia subur hams menj alani pemeriksaan
kehamilan yang diawasi oleh dokter. I sotretinoin oral hanya boleh diresepkan oleh
dokter yang memil i ki keahlian dan pengalaman dalam penggunaan isotretinoin
oral. Kunjungan untukfollo w up terapi i sotretinoin dilaksanakan dalam interval 28
-
hari dan pada tiap kunj ungan dilaksanakan pemeriksaan tentang adanya kehamilan .
Setelah terapi selesai , tes kehamilan yang terakhir dilaksanakan 5 minggu setelah
terapi terakhir untuk menyingkirkan adanya kehamilan.24 Ketentuan penggunaan
kontrasepsi adalah kontrasepsi tetap digunakan sampai dengan I bulan (2 bulan
pada beberapa negara).5
2. ANT J BI OT I K
Indikasi antibiotik sistemik terutama untuk pasien dengan akne inflamasi derajat
sedang hingga berat. Antibiotik oral mungkin dapat digunakan pada pasien akne
pada punggung derajat ringan yang mengalami kesul itan mengoleskan antibiotik
topikal . Antibiotik oral dapat memperbaiki akne infl amasi dengan menghambat
pertumbuhan Pacnes pada unit piloseasea. Tetrasiklin memi l iki efe k anti infl amasi
langsung. Antibioti k sistem ik memberikan perbaikan klinis yang lebih cepat
dibanding topi kal namun dapat menimbulkan e fe k samping seperti kandidiasis
vaginalis atau gangguan sal uran cema. Antibiotik oral harus diresepkan secara
terbatas untuk mencegah resistensi . Penggunaan antibiotik yang optimal yaitu
penggunaan setiap hari selama kurang dari 6 bulan dengan penghentian segera
setelah akne membaik. Rekomendasi pada tahun 2003 membatasi penggunaan
antibiotik hingga 1 2- 1 Sminggu. Belum ada konsensus yang j elas mengenai
antibiotik oral harus tappering atau boleh berhenti mendadak. Antibiotik oral yang
digunakan untuk akne meliputi tetrasiklin, doksisikl in, minoksiklin, eritrornycin,
trimethroprim-sul fa methoxasol, cl indamycin, dan azithromycin.4
M A K RO L I D
Eritromisin dapat diberikan pada akne dengan dosis 500mg dua kali sehari .
Namun, mem iliki aktivitas anti-inflamasi lebih inferior dibanding tetrasiklin. Pacnes
sering menimbulkan resistensi terhadap antibiotik ini dan menyebabkan kegagalan
terapi . Banyak pasien juga mengalami efek samping saluran pencernaan. Penggunaan
eritromisin saat ini dl rekomendasikan untuk pasien yang kontra indikasi terhadap
pemberian derivat tetrasikl in.4
Penggunaan azitromisin pada terapi akne dilaporkan belakangan ini. Dosis yang
digunakan 250-500 mg oral 3 kal i seminggu. Azitromisin mempengaruhi metabolism
hepar, gastrointestinal dan diare merupakan efek samping yang sering dijumpai. 1
TETRASI KLIN
Tetrasiklin sering digunakan dahulu karena murah dan merniliki efikasi tinggi.
Namun, derivat tetrasiklin yang baru saat ini lebih banyak digunakan.4 Meskipun oral
tetrasikl in tidak mengubah produksi sebum, tetapi tetrasiklin mengurangi konsentrasi
asam lernak bebas. Penurunan pembentukan asam lemak bebas juga dilaporkan pada ·
TRIMETOPRIM-SULFA METOKSASOL
KLINDAM I S I N
DAPSON
Dapson memiliki efek yang menguntungkan pada kasus akne berat dan kasus
akne yang resisten melalui fungsi anti- inflamasi dan antimikrobial.4 Dosis 50
sampai l 00 mg setiap hari selama 3 bulan. D iperlukan pemeriksaan glukosa 6 fosfat
dehydrogenase sebelum memulai pengobatan termasuk pemantauan fungsi hati dan
hemolysis. Meskipun efektifitas dapson tidak sebanding dengan isotretinoin, tetapi
dapson tergolong murah dan dapat dipertimbangkan pada kasus akne yang berat
apabila isotretinoin tidak dapat digunakan. 1
3. HORMON
ANTI A NDROGEN
Dua kontrasepsi oral yang disetuj ui oleh FDA adalah Ortho Tri Cyclen dan
Entrostep. OrthoTri Cyclen adalah kontrasepsi oral trifasik yang terdiri dari kombinasi
norgestamate-etinil estradiol ( 35 µg). Untuk rnengurangi efek sarnping kontrasepsi
oral terhadap terapi akne, se dang dilakukan studi untuk preparat dengan dosis
estrogen yang lebih rendah (20 µg) . Entrostep mengandung etinil estradiol (20 - 30
µg) dikornbinasi dengan noretindron asetat.34 Kontrasepsi oral yang mengandung
kombinasi estrogen (20 µg) dan levonorgestrol efektif pada akne. Kontrasepsi oral
jarang diperlukan sebelum usia 1 6 tahun. Efek samping kontrasepsi oral adalah
mual, rnuntah, gangguan rnenstruasi, pertarnbahan berat badan dan nyeri payudara.
Kompl ikasi yang serius narnun jarang terj adi trombophlebitis, emboli pulmo, dan
hi pe1tensi. 3 1 ·3 2
G L U KOKOT I KO I D
Glukokortikoid dosis rendah dapat menekan produksi androgen oleh kelenj ar
adrenal . Indikasi pada pasien akne berat yang tidak berespon terhadap tempi
konvensional dan overproduksi adrenal. Dosis rendah prednison 2 . 5-7.5mg atau
deksamethason 0,25-0, 75mg ma lam hari dapat menekan produksi androgen adrenal .
Pada akne akut dapat diberikan 20mg Prednisone/hari selama 1 minggu.33
T E RA P I AJUVAN
1. D I ET
Riwayat keluarga, indeks massa tubuh, dan diet dapat mempengaruhi resiko akne
derajat sedang hingga berat. Indeks masa tubuh yang lebih rendah terutama pada
laki-laki mungkin memil iki efek protektif. Studi di Amerika Serikat menyatakan
diet tinggi produk susu mempengaruhi resiko akne demjat sedang dan berat tidak
berhubungan dengan riwayat keluarga dan indeks massa tubuh . Faktor diet terutama
hiperglikemi k, susu, dan es krim berhubungan dengan perkembangan akne setelah
indeks masa tubuh dan jenis kelamin. Mekanisme yang mendasari pengaruh efek
diet terhadap akne mungkin adanya pemn insulin-like growth factor- I ( IGF- 1 )
dalam memfasilitasi proliferasi set pada patogenesis akne. H iperinsulinernia akut
akibat konsumsi diet hiperglikemi akan meningkatkan rasio IGF- 1 /ins ulin-hke
growth factor binding protein-3 ( IG F B P-3) sehingga akan meningkatkan efek I GF-
1 . H iperi nsul inemia karena diet hiperglikemik j uga akan men ingkatkan androgen
sirkulasi dan penurunan sex hormone binding protein sehingga menyebabkan
peningkatan sintesis seburn yang krusial terhadap perkembangan akne. 3 5 Pengaturan
diet (rendah susu, produk susu, dan makanan hiperglikemik) serta menj aga
indeks masa tubuh dalam batas normal perlu di lakukan untuk menghindari atau
memperburuk akne.
2. LAI N NYA
KES I M PU LAN
Terapi akne deraj at berat terdiri dari terapi topikal, sistemi k dan kombinasi.
Pemil ihan terapi didasarkan atas kesesuaian obat dengan gejala klinis dan riwayat
pengobatan pasien sebel umnya. l sotretinoin merupakan tempi lini pertama untuk
akne derajat berat, namun penggunaannya memerlukan pengawasan ketat terkait
dengan efek samping teratogenik yang postensial terjadi bila d iberikan pada wanita
hamil. Efek samping lain yang memerlukan perhatian khusus adalah efek perubahan
suasana hati yang bisa berakibat pada depresi dan bunuh diri .
K EP USTA KAAN
l. Zaenglein A L , Graber E M , Thi boutot D M . Acne Vulgaris and Acnei form Eruptions.
I n : F i tzpatric k 's Dermatology i n General M edicine. 8th edition. Editors : Goldsmith
A L et a l l . U S A : The M cGraw-H i 1 1 Company. 20 1 2 . 1 3 : p897-9 l 7 .
2. Lehmann H P, Robinson K A , Andrews J S , H o l loway V, Goodman SN . Acne therapy :
a metbodologic review. J A rn A c ad Derrnatol . 2002 ;47 ; p23 l -40.
3. N ast A, Dreno B, B ettol i V, Degitz K , E rdmann R, F i n l ay AY,et al. E uropean
E v i dence Based ( S 3 ) G uidel ines for the Treatment of Acne. J E A D V.20 1 2 ; ( supt
I ) 1 -2 9 .
4. Graber E . Treatment of acne vulgaris. UpTo Date 20 1 4 [cited from url : http://www.
uptodate.corn/contents/treatment-of-acne-vu l garis?source=see_I ink]
5. Vahl q ui st A , S aurat J H . Retin o ids, l n : G o l dsm ith LA, Katz S I , G i lchrest BA, Pal ler
AS, Leffe l l DJ, Wolff K. F itzpatrick's Dermatology i n General Med i c i ne. 81hed.
N ew York: M cGraw H i l l Compan ies Inc 20 1 2 : p27 5 9-66.
6. Strauss JS, Krawc h uk D P, Leyden JJ, L ucky AW, S h a l i ta AR, S iegfried EC,
T h i bo utot DM, Van Voorhees A S , B eutner KA, S i ec k C K, B hushan R. "Guidel ines
of care for acne v u l garis m a n agement". J. A m. A cad. Dermatol 200 7. 56 ( 4 ) :
6 5 1 -6 3 .
7. Ward A, B rogden R N . l sotreti n o i n A Revi ew o f i t s Pharmacological Properties and
Therapeutic E fficacy in Acne and Other Skin D i sorders. D rugs 1 984; 2 8 : 6
8. Belsford M , B eute T C . Preventing a n d managing the side effects o f isotretinoin.
Semin. C utan Med S urg 2008 : 2 7 : 9 7 .
9. Owen C . Oral i sotret i n o i n terapi for acne v ulgar i s . UpTo Date 20 1 4 [cited from
u r l : h tt p : //www. u p t o d a te . c o m / c o n t e n t s / o r a l - i so t r e t i n o i n - t h e r a p y - fo r - a c n e
vulgaris?source=see l ink]
I 0. C un l i fe W J, Kerkhof PC, Caputo R. R oaccutane treatment guide l i nes: result of an
i n ternational survey. Dermatology 1 99 7 ; 1 94 :3 5 1 .
1 1 . Cooper A J , A utra l i an roaccutane advisory board. Treatment of acne with
isotretinoin : recommendation based on austral i an experience. A ustralas J dermatol
2003 : 44-97.
1 2 . Boni R , H ehrhoff B. Treatment of gram negative fo li c u l i t i s in patients. J am acad
dermatol 1 993 ; 2 8 : 5 7 2 .
1 3 . Strauss J S , Krawchuk DP, Leyden J J . G uidel ines of care for acne vulgaris
m an agement. J am acad dermatol 2007 ; 5 6 : 6 5 1 .
1 4. G o l l n i ck H , C u n l i fe w, Berson D . Management of acne: a report from a global
a l liance to i mprove outcomes i n acne. J am acad dermatol 2003 : 49 : S I .
1 5 . A m ichai B , Shem er A , G ru nwal d M H . Low-dose i sotretinoin in the treatment of
acne v u l garis. J am acad dermatol 2006; 54:644.
Lili Legiawati
Departemen l l m u Kesehatan Kulit dan Kelamin
Faku ltas Kedokteran U niversitas Indonesia, Ja karta
PENDA H U LUAN
Definisi terapi rumatan adalah terapi atau tindakan lain yang diberikan setelah
terapi dihentikan ( sesudah sembuh ) dengan tuj uan untuk rnencegah kekambuhan.4
Sarnpai sekarang Global A lliance belurn mencapai kesepakatan tentang definisi
terapi rurnatan . Apakah efektif terapi yang diberikan b i la akne sudah benar-benar
sembuh sempuma atau adakah suatu kondisi tertentu yang adekuat dimana terapi
rumatan dapat dimulai. Pada algoritme terapi akne yang dikernukakan Global
A lliance pil ihan terapi rumatan adalah retinoid topikal dan benzoil peroksida.
Beberapa kosensus Global A lliance tentang terapi rumatan pada akne yaitu 3 :
Retinoid topical disarankan dipergunakan untuk j angka panjang, namun tidak
rnerekomendasikan penggunaan antibiotik j angka panj ang.
- Masih diperlukan penel itian lebih lanj ut terapi rumatan untuk akne deraj at sedang
dan berat.
Alternatives for
Femalesl1.4I
Maintenance
Topical Retmo1d Topical Ret1no1d +/ BPO
Therapy
I. Consider physical remoYal of cnmodones.2. With small nodules (<O.Scm). 3. Second COUl5e in case of relapse.
4. fo< pregnanq;options are limited. 5. fo< full discussion seeGollnick H. et al. MAO 2003;49 (Soppl):l-37.
•Note:Azelaic acid is not approved for ihe treatmenl of acne in Canada.
Originally published In Thibootot 0, Gollnick H, Bettoli V. et al. New insights into the management of acne: an update from the Global Alliance
to Improve Outcomes in Acne group. J Am Acad Dermatol 2009;60(5 Suppl):S1-550. Copyti!/lt Elsevier 2009. Reprinted with pe«nis�on.
Perdoski bekerjasama dengan Kelompok Studi Dermatologi Kosmetik pada Indonesian Acne
Ex.pet Meeting tahun 20 1 2 sudah menyusun bagan rekomendasi terapi akne. (Tabel I ).�
Adapun yang merupakan terapi rnmatanadalah 4:
1. Komunikasi, Infonnasi dan Edukasi (KIE)
2. Skin care (perawatan kulit)
3 . Topikal retinoid konsentrasi rendah 0,0 1 -0,025%. Dinilai setiap 6 bu Ian untuk menilai
respons terapi, kepatuhan pasien dan efek samping.
4. Bahan yang mengandung Niasinamid, Anti-bacterial adhesive (ABA) dan Zinc
Pyrolidon carboxylic acid (Zinc PCA ) ( Papulex®).4
Tabel 1 . Bagan rekomendasi terapi akne pada Indonesian Acne Expert Meeting ( IAEM )
tahun 20 1 22*
ST LI E ORAL DOX, E, A B
2No LINE TOPICA L AA AA. AS AA, T I L, AS
KHUSUS A F U L M GCS, C S S
Sampai saat ini penelitian terapi rumatan padaakne berupa uji klinikyang mempublikasikan
manfaat monoterapi retinoid topikal sebagai terapi rumatan. Hal ini merupakan awal
yang baik, dan Global Alliance menyatakan diperlukan studi lebih banyak lagi untuk
menentukan regimen terapi rumatan yang optimal. 3
Edukasi pasien merupakan hal yang sangat penting, karena akan meningkatkan
kepatuhan pasien terhadap terapi rumatan.
Penjelasan kepada pasien tentang efek positif dan keuntungan psikososial dari terapi
rurnatan yang berhasi l karena akan mempertahankan kulit pasien dari kekambuhan
akne.3
TERAPI AJUVAN
Perawatan kul i t(skin care) memainkan peran yang penting pada terapi akne. Perawatan
kulit pada akne meliputi tindakan membersihkan wajah secara lembut (gentle cleansing). 2
Penggunaan deterjen sintetik memungkinkan proses pembersihan tanpa merubah pH
normal kulit. 1 M ernbersihkan wajah secara kasar atau menggunakan scrub dapat rnernicu
fase in:flamasi akne. Abrasi menyebabkan kerusakan fisik folikel rambut dan berkaitan
dengan penambahan jurnlah lesi.2 Sebagai tambahan, membersihkan wajah berlebihan
atau menggunakan sabun alkali akan meningkatkan pH kulit, sehingga merusak sawar
lemak kulit dan rneningkatkan efek iritasi obat topikal akne yang digunakan. 1
Penggunaan pelembab (moisturizer) dapat bennanfaat pada tipe kulit kering atau kulit
yang mengalami iritasi akibat terapi topikal. Prociuk perawatan wajah dan kosmetik yang
digunakan pada akne sebaiknya bersifat nonkomedogenik. Skin careakanmeminimalkan
efek samping yang disebabkan oleh terapi akne yaitu retinoid sistemik atau topikal,
antibiotik topikal, dan benzoi l peroksida dengan mernperbaiki sawar kulit. Kosmetik
yang tepat akan memiliki efek sinergis dengan pengobatan akne.2•5
Ekstraksi komedo penting dilakukan pada akne komedonal. Ekstraksi komedo adalah
tindakan mengeluarkan isi sumbatan folikel pilosebaseus dengan tekanan mekanik yang
ringan menggunakan komedo ekstraksi . Apabila dilakukan dengan benar memberikan
keuntungan segera yang dapat dirasakan pasien. Kekurangan tindakan ini adalah ekstraksi
tidak komplit, risiko kerusakan jaringan kulit dan terbentuknya kembali sumbatan yang
baru (refilling).2
b. Kortikosteroid
Kortikosteroid oral rnenjadi pilihan terapi akne dengan in:flamasi berat yaitu akne
konglobata dan akne fulminant. Pemberian jangka pendek dengan cepat mengurangi
jumlah lesi in:flamasi . Kortikosteroid topical dibatasi pemakaiannya untuk mencegah
potensi efek samping akibat penggunaan jangka panjang. Namun pemakaian j angka
pendek (7- 1 0 hari) bennanfaat sebagai terapi awal akne dengan inflamasi yang hebat,
yaitu akne konglobata dan akne fulminan. Injeksi kortikosteroid intra lesi sangat
bermanfaat untuk mengobati lesi inflamasi yang besar. Namun ada risiko timbulnya
jaringan parut bila disuntikkan pada lesi inflamasi yang berukuran keci l dan disuntikkan
pada bagian tengah lesi sampai lesi kemerahan berwama kepucatan.2
c. Bedah kimia
Bedah kimia adalah proses apl ikasi bahan kimia ke kulit dengan tuj uan melakukan
perlukaan yang terkontrol ke kulit. B edah kimia yang superfisial bermanfaat untuk
pasien akne untuk mengobati hiperpigmentasi pasca inflamasi karena akne dan
jaringan parut yang superfisial. Tindakan bedah kimia sebaiknya dilakukan sesudah
kondisi akne terkontrol . Berbagai bahan yang sering digunakan untuk tindakan
bedah kirnia adalah asam glikolat, asam salisi lat dan asam sal isilat.2
d. Antioksidan
Stres oksidatif di dalam unit fol i kel p i losebaseus akan merubah li ngkungan dari
keadaan yang tidak sesuai untuk pertumbuhan bakteria anaerob menjadi sangat
cocok dan sesuai untuk kol onisasi spesies tersebut. Studi intervensi rnengindi kasikan
manfaat antioksidan oral dan topikal , namun masih dibutuhkan lebih banyak
penel itian sebel um merekomendasikan preparat tersebut pada pasien akne.7
e. Laser/cahaya
Terdapat berbagai laser dan cahaya yang digunakan yaitu sinar tampak, specific
narrowband light, intense pulsed light ( I PL ) , KTP laser, dan pulsed dye laser ( PD L ) .
Masih dibutuhkan lebih banyak penelitian dengan desain penel itian yang lebi h baik
(acak, buta ganda) dengan j umlah sampel yang lebih banyak tentang penggunaan
terapi aj uvan laser dan cahaya untuk pengobatan akne.3
Zinc adal ah elemen mineral yang penting untuk berbagai proses fisiologik, dan
modulator pada proses penyembuhan Iuka . Pada pengobatan akne zinc berperan
sebagai anti inflamasi dan anti oksidan .8 Zinc dapat menurunkan produksi seburn
melalui sistem enzim dalarn sintesis androgen. Zinc j uga menurunkan mediator
in:flamasi dan mempunyai efek antiP acnes. 9 Zinc berperan sebagai regulator yang
mengontrol aktivitas bakterisidal dan fagositosis, se1ia meningkatkan kecepatan
kemotaksis netrofi l . Zinc terbukti bennanfaat pada akne inflamasi dan menekan
IGF- 1 yang menstimulasi pro l i ferasi keratinosit. Terdapat bukti i l m iah terapi
kombinasi dengan zinc meningkatkan efek antibakteri dan mengurangi risiko
resistensi . 1 0
Telaah sistematik terhadap efek kl inik dan peran zinc terhadap patofi siologik akne,
baik zinc top i kal atau oral yaitu strength of recommendation of B (tidak konsisten
atau bukti i lmiah terbatas dalam kual itas penel itian dan j u m lah pasien ) . 1 1
P acnes memi l iki peran penting pada proses in:ftamasi . D ari berbagai penelitian terbaru
diketahui proses in:ftamasi terj adi mendahului hiperkeratinisasi infrainfundibulum.
Akhir-akhir ini Bacterial anti-adhesion(ABA) menj adi fokus penelitian untuk
mencegah dan mengontrol akne. ABA menekankan pada pencegahan P acnes
melekat pada komeosit, tidak memfokuskan untuk membunuh bakteri tersebut.
Rougier dkk. (2003) meneliti efikasi gelABA 3 % dalam menghambat perlekatan P
acnes pada komeosit pasien akne. ABA dapat menghambat perlekatan 50% P
acnes pada 3 orang pasien dan 82 to 97% pada 4 pasien . 1 4
PENUTUP
Tempi rumatan penting untuk memini malkan kekambuhan akne sesudah tempi
inisial yang sukses. Regimen terapi rumatan harus meminimalkan pembentukan
lesi barn, ditoleransi baik dan berisiko rendah terhadap potensi resistensi bakteri .
Retinoid topikal merupakan p i l i han l i n i pertama. Pada akne in:ftamasi membutuhkan
kombinasi antara retinoid topikal dan agen antimikroba.
M asih diperlukan penel itian lebih lanj ut untuk mendefinisikan terapi rumatan yang
ideal, regimen dan durasi terapi yang optimal, serta seleksi pasien .
DA FTAR P USTA KA
1. Zaenglein A L, Graber EM, Thiboutot DM, Strauss J S . Acne Vulgaris and Acneiform
Eruptions. l n : Wolff K, Goldsmith LA, S. I K, G i lchrest BA, Pal ler AS, Leffel! DJ ,
editors. F itzpatrick's Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: McGraw
H i l l ; 2008. p. 690-703 .
2. Gol lnick, Cunliffe W, B erson D , Dreno B, F i nlay A, Leyden JJ, e t al. Management
of acne: a report from a G lobal A l l iance to Improve Outcomes in Acne. J Am Acad
Dermatol. 2003;49( 1 S upp l ) : S 1 -3 7 . Epub 2003/07/02.
3. Thiboutot D, Gollnick H , Betto l i V, Dreno B, Kang S, Leyden JJ , et al. New insights
into the management of acne : an update from the G loba l A l l iance to I mprove Outcomes
in Acne group. J Am Acad Dermatol. 2009;60(5 Suppl) : S 1 -50. Epub 2009/04/25 .
4. Rekomendasi terapi akne pada Indonesian A cne Expert Meeting (IA E M ) tahun 20 1 2.
Kelompok Studi Dermatologi Kosmetik lndonesia. Perh impunan Dokter Spesialis
Kulit dan Kelamin I ndonesia.
5. Matsuoka Y et a l . Effects o fskin care and make-up under instruction from dermatologists
on the quality of l i fe of female patients with acne vulgaris. J Dermatol 2006; 3 3 :745.
6. A l-Shobai l i HA. Oxidants and anti-oxidants status i n acne vulgaris patients with
varying severity.Annals of C l i n ical & Laboratory Science. 20 1 4; 44 ( 2 ) : 202-7.
7. Bowe WP,Logan AC. C l inical implications o f l ipid peroxidation in acne vulgaris: old
wine in new bottles. Lipids in Hea lth and Disease. 20 I O; 9: 1 4 1 .
8. Bagherani N. Zinc and its i mportance in dermatology: An Overview . OA Dermatology
20 1 3 . I ( I ) : 1 -40.
9 . Kaymak Y, et al. Zinc Levels i n Patients with Acne Vulgaris. J Turk Acad Dermatol
2007; 1 (3) : 1 -4.
10. l sard 0, Knol AC, Aries M F, Nguyen J M , Khammari A, Rizzi NC, Dreno B. Pacnes
activates the I G F- 1 /IGF- I R system in the epiderm i s and induces keratinocyte
proliferation . J I nvest Dermatol, 20 1 1 : 1 3 1 : 59-66.
1 1 . Brandt S The clinical effects of zinc as a topical or oral agent on the clin ical response
and pathophysiologic mechanisms of acne: a systematic review of the l i terature.
J Drugs in Dermatol, 20 1 3 ; 1 2 ( 5 ) : 542-5 .
1 2 . Namazi M R. N icotinamide in dermatology: a capsule summary. I nt J Dermatol
2007 ;46 : 1 229-3 1 .
1 3 . Draelos ZD, et al. The effect of 2% niacinamide on facial sebum production. J Cosmet
Laser Ther 2006;8:96- l 0 1 .
14. Rougier N , Verdy C, Chesne C.The inhibitory capabi lity of an anti-bacteria l adhesion
gel on the adhesion of Propionibacterium acnes on corneocytes of subjects with acne.
Nouv Dermatol 2003 ; 2 2 : 7- 1 1 .
PENDAH U LUAN
Akne merupakan penyakit yang dij umpai 90% pada kelompok dewasa
muda. 1 •2 Akne dapat mengenai seluruh bagian tubuh dengan konsentrasi kelenj ar
pilosebasea yang tinggi, terutama waj ah, dada, dan punggung. Penyakit ini dapat
sembuh sendiri , tetapi dapat menyebabkan sekue le, yaitu skar. Lesi akne inflamasi
dapat menyebabkan skar yang permanen dan kemungkinan berkaitan dengan
keterlambatan penanganan dan keparahan dari akne dan faktor genetik.2
D E F I N I S I SKAR
Skar adalah j aringan fibrotik yang menggantikan j aringan normal yang rusak, baik
karena Iuka maupun penyakit.3 S kar pada akne vulgaris merupakan hasil akhir dari
penyembuhan Iuka yang abnormal akibat kerusakan unit pilosebasea dan j aringan
sekitamya.4
KLAS I F I KAS I S KA R A K N E
Secara k l inis, skar terlihat berupa peningkatan j aringan (hipertrofi dan keloid)
atau kehi l angan j aringan (atrofi) . 1 •2•5•6 Skar atrofi terdiri atas icepick, rolling, dan
boxcar. 1•6•7•8
_ t ; ·,,is
Shallow/Atrophic
: -;. · 11is
( Dikutip dari : Obagi S, Casey AS. Facial scar revision. I n : Baumann L. Cosmetic dermatology:
priciples and practice. Second edition. New York: McGraw H i l l , 2009: 227-233 )
V-s h a p e d
U-shaped
Atrophic scars
M-shapad
Superficial
alastolyis
Hypertrophic
inflammatory
scar
Keio ids
Skar atrofi atau h ipertrofi ringan yang tidak tampak j elas pada j arak
sosial sekitar 50 cm atau lebih, di mana dapat ditutupi dengan make
2 Ringan
up, bayangan janggut yang dicukur pada laki-laki, ataupun rambut
yang normal didapati pada tubuh, j ika skar ekstrafasial
Skar atrofi atau h ipertrofi sedang yang tampak jelas pada j arak so-
sial sekitar 50 cm atau lebih, di mana sulit ditutupi dengan make
3 Sedang up, bayangan j a nggut yang dicukur pada l aki-laki, ataupun rambut
yang normal didapati pada tubuh, j ika skar ekstrafasi a l ; tetapi dapat
d i ratakan dengan oeregangan kulit manual (i ika atrofi )
Skar atrofi atau h ipertrofi sedang yang tampak sangat jelas pada j arak
sosial sekitar 50 cm atau lebih, di mana sulit ditutupi dengan make
4 Berat up, bayangan j anggut yang dicukur pada laki-laki, ataupun rarnbut
yang nonnal didapati pada tubuh, j ika skar ekstrafasi a l ; tidak dapat
d i ratakan dengan peregangan kulit manual
. .
( D1kut1p dan: Fabbrocm1 G , Annunziata M C , D ' Aero V, et al. Acne scars: pathogenesis, class1ficat1on
and treatment. Dermatol Res Pract. 20 1 0. doi : 1 0. l l 5 5/20 1 0/893080)
(D1kut1p dan : Fabbrocm1 G, De Vita V, Cozzolino A , et al. The management of atrophic scars:
overview and new tools. J Clin Exp Dermatol Res. 20 1 2 . doi : 1 0.4 l 72/2 1 5 5-95 5 4 . S 5 -00 l )
2 . Fase proliferasi/granulasi
Jaringan yang rnsak diperbaiki dan pembuluh darah barn dibentuk. Neutrofil
diganti oleh monosit dan bernbah menjadi makrofag, lalu melepaskan beberapa
growthfactor,_fibroblast growth.factor, serta transforming growthfactora dan �
yang menstimulasi migrasi dan pro liferasi fibroblas. Pembentukan kolagen oleh
fibroblas dimulai 3-5 hari setelah Iuka. Keabnormalan proses yang kompleks ini
menyebabkan hipertrofi skar dan keloid. Awalnya, kulit barn didominasi oleh
kolagen tipe I I I (20%) dari kolagen tipe I . Skar h ipertrofi berisi lebih banyak
kolagen tipe l I I , sedangkan keloid lebih didominasi oleh kolagen tipe l . Pada
keloid, sintesis kolagen tipe l I I terj adi 20 kali lebih tinggi dari kulit normal, serta
3 kali lebih tinggi dari skar h ipertrofi. Bentuk abnormal dari skar dipengarnhi
oleh hormon .
Asam retinoat berperan dalam pencegahan dan pengobatan skar atrofi . Asam retinoat
topikal dapat diaplikasikan sebelum atau setelah tindakan skin needling, chemical
peeling dengan TCA 1 5%, serta subsisi . 1 Iontoforesis dengan tretinoin 0,025% gel
selama 20 menit setiap minggu dalam 3 bulan dapat memperbaiki skar atrofi, tetapi
dapat menyebabkan efek samping berupa eritema dan rasa terbakar. Radiofrekuensi
dengan apli kasi tretinoin 0,025% selama 6 bulan dapat dianjurkan . 1•9
Silikon 2· 1 0· 1 1
Silikon gel adalah terapi gold standard yang bersifat non invasif. S il ikon gel
merupakan terapi profilaksis lini pertama pada skar hipertrofi dan keloid. Lembar
silikon telah dinyatakan lebih efektif daripada silikon gel secara signifikan.
Vitamin A 1 • 1 0
Aplikasi asam retinoat topikal setiap hari juga menunjukkan penurunan ukuran dan
pruritus pada skar hipertrofi maupun skar keloid. Sebuah studi acak, double-blind
skala besar menunj ukkan bahwa asam retinoat 0,05% menurunkan ukuran skar
secara signifikan.
Vitamin E 1 0
Stud i klinis ska la besar gagal menunjukkan perbaikan gambaran skar. B agaimanapun,
beberapa studi skala kecil terbaru menunjukkan hasil positif penggunaan v itamin E
dalam pencegahan dan penatalaksanaan skar post operasi .
I miquimod 1 0• 1 1
Studi acak, double-blind menunj ukkan efikasi krim imiquimod 5 % dalam
pencegahan skar hipertrofi. l m iquimod memperbaiki gambaran skar, terutama
wama dan elevasi, secara signifikan. l mi qu imod menstimulasi interferon dan
menyebabkan degradasi kolagen. Imiquimod 5% t idak efektif dalam mencegah
kekambuhan keloid.
E kstrak bawang1 0
Mango cream 1 0
Sebuah studi krim yang mengandung mango butter, olein, dan vitamin E pada
sebuah model tikus menunj ukkan penutupan Iuka yang l ebih baik dan menurunkan
skar secara signi:fikan.
M adu 1 0
Trial klinis rnadu pada pasien yang mengalarni Iuka bakar superfisial menunjukkan
efek anti-infl amasi . Studi j uga menunj ukkan kemampuan madu dalam
rnempertahankan kelembaban Iuka.
A loe 1 0
Kortikosteroid 1 1
l njeksi triamsinolon asetonid 1 0-40 mg/ml setiap 2-4 minggu dapat mengurangi
skar h ipertrofi dan keloid. Efek samping injeksi triamsinolon asetonid berupa atrofi
kul it, hipopigmentasi, dan telangiektasi .
Bleomisin 1 1
lnjeksi bleornisin berperan mengurangi skar h ipertrofi dan keloid pada 80% pasien.
5-Fluoro-Urasil (5FU) 1 1
Verapami1 1 1
KESIMPULAN
Anjuran untuk terapi skar akne tipe atrofi adalah tretinoin topikal (0,025 % dan
0,05%) dengan ataupun tanpa terapi kombinasi. Anj uran untuk terapi skar akne tipe
h ipertrofi dan keloid adalah Tretinoin 0,05% topikal, I m iquimod 5%, dan i nj eksi
kortikosteroid.
DAFTAR PUSTAKA
Prasetyadi M awardi
Departemen Ilmu Keseh atan Ku lit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran U niversita Sebelas M a ret S ura karta
PENDAHULUAN
Jaringan parut dapat terjadi sebagai akibat dari kerusakan kulit selama penyembuhan
akne. Terdapat dua tipe parut akne yaitu parut atro:fik dan parut hipertro:fik. Pada parut
atro:fik terjadi pengurangan jaringan kolagen sedangkan pada parut hipertro:fik terdapat
penambahan jaringan kolagen. Delapan puluh hingga sembilan puluh persen dari parut
merupakan parut atrofik sedangkan parut hipertro:fik dan keloid hanya merniliki presentasi
yang lebih kecil. 1
Parut akne dapat mempengaruhi kondisi psikis seseorang. Parut akne yang berat
dapat menyebabkan tekanan psikis terutama pada remaja. Pada pasien tertentu dapat
mengakibatkan penurunan rasa percaya diri bahkan sampai depresi.2
Prevalensi dan derajat beratnya parut akne pada populasi belum diketahui dengan
baik. Goulden dkk melaporkan insidensi parut akne berkisar 1 1 % pada pria dan 1 4 %
pada wanita, sedangkan Poli dkk melaporkan prevalensi parut akne> 49 %. Penulis lain,
Layton dkkmelaporkan prevalensi parut akne sebesar 90 % pada wanita dan pria. 1
Parut akne yang berat biasanya akan menimbulkan stress psikologik, terutama pada
remaja dengan kepercayaan diri yang buruk:, depresi, dan kecemasan. Selain itu, stress
psikologik juga dapat dialarni pasien remaja dengan parut akne yang disertai dengan
gangguan body dismor:fik, rasa maluyang tinggi, pemarah, kecerdasan akademik yang
rendah dan tuna karya.3
KLASIFIKASI
Jaringan parut/skar pasca akne (spa) dibagi dalam 2 (dua) kelompok besar yaitu : 1
1. Parut akne atropik
2. Parut akne hipertro:fik
Menurut Jacob, parut atro:fik dapat dibedakan menjadi tiga tipe yaitu: ( 1 ) icepick atau
parut berbentuk V ( V-shaped scars); (2) boxcar atau parut berbentuk U dengan tepian
yang vertikal ( U-shapedscars); dan (3) rolling atau parut berbentuk M (M-shaped scars). 1
Sedangkan parut akne hipertro:fik dibagi menj adi 2 yaitu: parutakne hipertropik yaitu parut
yang terbatas pada area lesi in:flamasi dan dapat hilang atau berkurang secara spontan,
dan parut akne keloid yaitu parut yang meluas melebihi area lesi inflamasi dan biasanya
berkembang selama lebih dari 2 tahun. 1
Terkadang tiga tipe berbeda dari skar atrofik dapat diobservasi pada pasien yang sama
dan sulit untuk membedakan setiap tipe parut tersebut. Untuk alasan ini dibuat beberapa
klasifikasi dan skala pengukuran antara lain skala menyusun skala kualitatif dan kualitatif
dari parut akne menurut Goodman dan Baron.4
a. Parut hipertrofik dan keloidal. Parut tipe ini disebabkan oleh deposisi kolagen yang
berlebihan dan penurunan aktivitas kolagenase. Parut hipertrofik biasanya berwama
pink, meninggi, dan kuat, dengan ikatan kolagen hialin yang tebal dan tidak melebihi
batas sisi Iuka asal. Histologi dari parut akne hipertrofik mirip dengan parut dermal
lainnya.
b. Keloid. Parut ini berbentuk papul ungu kemerahan dan nodul yang berproliferasi
melebihi tepi Iuka asal.Secara h istologi akan didapatkan ikatan tebal dari kolagen
hialin yang tersusun dalam lingkaran. Parut hipertrofik dan keloidal banyak terdapat
pada individu dengan kulit gelap.3
Pada setiap kasus, sebelum menawarkan suatu terapi untuk parut akne, perlu dijelaskan
pada pasien bahwa perbaikan total tidaklah mungkin terjadi, sehingga tujuan yang ingin
dicapai adalah untuk memperbaiki parut akne.3
• Glicolic acid. M erupakan alpha hidroxy acid yang larut alkohol. Peeling ini bekerja
dengan cara menipiskan stratum komeum, memicu epidermolisis, dan melarutkan
melanin pada lapisan basal epidermis. Untuk hasil terbaik pada parut akne memerlukan
peeling dengan GA 70% setiap 2 minggu selama 5 kali.
• Larutan Jessner 's. Larutan ini terdiri kombinasi dari asam salisilat, resorsinol, dan
asam laktat dalam alkohol 95%. Merupakan salah satu agen peeling superfisial yang
bagus.
• Asam piruvat. Konsentrasi 40-70% untuk pengobatan parut akne yang moderat.
Asam piruvat dapat menimbulkan efek rasa menyengat dan iritasi mukosa saluran
nafas atas, sehingga diperlukan ventilasi yang adekuat selama perawatan.
• Asam salisilat. Asam salisilat merupakan salah satu agen peeling yang paling bagus
untuk pengobatan parut akne. Untuk pengobatan parut akne dapat digunakan asam
salisi lat 30% setiap 3-4 minggu selama 3 sampai 5 kali.
• Asam tricloroasetat (TCA). Aplikasi TCA akan mengakibatkan denaturasi protein
yang dapat dilihat sebagai wama putih frosting. Peeling ini tidak diindikasikan untuk
orang kulit gelap karena kemungkinan efek hiperpigmentasi. Cross TCAmerupakan
salah satu teknik peeling TCA dengan mengunakan aplikator kayu pada parut akne.
Teknik ini dapat digunakan pada parut icepick. 1
2. M IKRO DERMABRASI
• M ik:rodermabrasi. Teknik ini dilakukan dengan cara menempelkan kristal aluminium
oksida dengan tekanan yang kemudian dilepaskan dengan tenaga yang menghisap
permukaan kulit. Teknik ini biasanya memberikan perbaikan yang bagus untuk kerut
halus dan hiperpigmentasi paska inflamasi sedangkan untuk parut akne diperlukan
mikrodermabrasi yang lebih agresif.
• Dermabrasi dengan alat dermabrator yang berputar.Diindikasikan untuk parut yang
dangkal seperti rolling dan boxar sedangkan icepick biasanya kurang efektif. Proses
penyembuhan Iuka akan dikuti dengan pembentukan kolagen serta penampakan yang
lebih halus dari j aringan parut. Efek samping berupa eritema mungkin dapat terjadi
dan menetap selama beberapa minggu sampai bulan.3•6
3. F I LLER/AUGMENTASI
Fller yang ideal bersifat fisiologis, sirnpel, permanet dan bebas dari efek samping. Filler
superfisial yang dapat digunakan antara laia kolagen, asam hyaluronat. Sedangkan filler
pada jaringan yang lebih dalam antara lain: lemak, silikon dan implant. Teknik ini dapat
digunakan untuk depressed scar.
Autologous fat merupakan salah satu metode altematif untuk memperbaiki parut akne.
Pada teknik ini sel dari tubuh pasien sendiri disuntikan subkuti atau dermis. 3
DAFTAR P USTAKA
I. Fabbrocini G, M . C. Annunziata MC, Arco VD, Vita, VD , Lodi C, Mauriello MC, Pastore
F, et al. Acne Scars: Pathogenesis, Classification and Treatment. Dermatology Research and
Practice. 20 l 0: 1 - 1 3
2. Fabborocicni G, Vita VD, Cozzolino A, Mazze la C, Monfrecola M. The management of
atropic acne scars: overview and new tools. J Clin Exp dermatol. 20 1 2: 1 -5
3 . Rivera AE. Acne scarring: a review and current treatment modalities. J Arn Acad Dermatol.
2008; 59: 659-76.
4. G. J. Goodman GJ Baron JA. 2006. Post acne scarring : A Qualitative Global Sacrring
Grading System. Dermatol Surg ; 32 : 1 2 : 1 458-66.
5. Frith M, Harmon CB. Acne scarring: current treatment option. Dermatology Nursing. 2006;
1 8(2): 1 39-42
6. Levy LL, Zeichner JA. Management of acne scarring, part IL Am J clin Dermatol. 20 1 2;
1 3(5): 33 1 -40.
7. Tanzi EL, Alster TS. Laser Treatment of scars. Skin therapy Letter. 2004; 9( I ): 4-8
8. Goodman GJ. M anagement of post acne scarring. Am J cl in Dermatol. 2000; 1 ( 1 ): 3- 1 7
9. Sobanko JF, Alster TS. Management ofacne scarring, part I. Am J Cl in Dematol. 20 1 2; 1 3(5):
3 1 9-30.
l 0. Juzbasic AB. Current therapeutic approach to acne scars. Acta dermatovenerol Croat. 20 I O;
1 8(3): 1 7 1 -75.
"Only scanned for Departemen Kulit dan Kelamin FKUI-RSCM"
1 64 for internal-private use, not for commercial purpose
Terapi Invasif Skar Pasca A kne
Abraham Arimu ko
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Rumah S akit Pusat AD Gatot Subroto, Jaka rta
PENDAH U LU A N
Akne adalah kelainan kulit yang paling sering menyebabkan j aringan parut.
Parut pasca acne yang terj adi tersebut dapat berbentuk atrofi maupun h ipertrofi.
Kebanyakan parut pasca akne berupa atrofi, yang d isebabkan oleh kerusakan atau
kehi l angan sej umlah j aringan penunj ang kulit, dan secara klasik dibagi menj adi
bentuk : ice pick, boxcar, dan rolling. 1 •2
Parut akne dapat timbul disebabkan oleh pengobatan yang kurang adekuat,
deraj at keparahan akne, dan kepedul i an pasien terhadap penyakitnya. Namun
timbulnya parut setelah fase akne aktif selesai tidak mudah diprediksikan, dan
kemungkinan berhubungan dengan genetik. P arut pasca akne yang timbul dapat
menyebabkan masalah estetika, dan berefek psikologis. B erbagai macam modalitas
terapi parut pasca akne, baik yang bersifat non invasif, minimal invasi f maupun
invasif. Masing-masing modalitas terapi tersebut memiliki deraj at efektifitas,
kesulitan dan keamanan yang bervariasi, dan pada makalah i n i akan dibahas
prosedur invasif terapi parut pasca akne. 1 •2
TERA P I I NVA S I F
Pada kasus parut pasca akne yang berat, seperti ice-pick yang dalam, boxcar
yang lebar dan dalam, maupun parut hipertrofi diperlukan tindakan invasi f atau
pembedahan . Prosedur bedah hasilnya sangat tergantung kepada ketrampilan
dokter. Prosedur ini harus dipertimbangkan baik - baik karena bila terj adi kegagalan
penyembuhan basil operasi justru akan memperburuk lesi yang sudah ada bahkan
menimbul kan parut yang barn. Tindakan bedah untuk terapi parut akne yang akan
dibahas dalam terapi invasi f adalah bedah p isau, punch, dermabrasi, dan bedah
laser ablatif2•3
1. E K S I S I ' .4
Pada parut atrofi, eksisi merupakan prosedur terapi yang efektif terutama untuk
lesi yang gagal diobati dengan tindakan non invasif atau minimal invasif. Lesi
tersebut misalnya atrofi yang dalam, terdapatnya j aringan sklerotik, parut dengan
permukaan atau dasar skar atrofik dengan tekstur tidak rata dan dengan kelainan
wama. Tindakan eksisi dilakukan dengan mengangkat seluruh jaringan parut
mulai dinding hingga dasar lesi, kemudian diikuti penutupan Luka dengan jarum
atraumatik ukuran cukup keci l yaitu 5-0 atau 6-0, agar trauma akibat benang juga
dibatasi seminimal mungkin. 1 •4
Pemotongan parut atrofi tersebut dapat d ilakukan dengan alat punch biopsi
dengan ukuran yang d isesuaikan dengan diameter lesi maupun dengan pi sau secara
elips dan selanj utnya Iuka dij ahit dengan baik. Sebelum dilakukan pemotongan
j aringan kulit perlu dibuat design yang baik agar penutupan Iuka tidak terjadi
tension dan disesuaikan dengan arah Relax Skin Tension Line ( RSTL). Penutupan
Iuka secara s imple i nterrupted dengan relatif eversi, agar has il akhir permukaan
rata. 3 •4
Operator harus betul betul berhati-hati dalam melakukan tindakan pembedahan
karena Iuka pasca tindakan revisi parut dapat saj a terj adi penyembuhan kurang
baik sehingga timbul j aringan parut yang baru bahkan lebih buruk secara estetika
dibandingkan parut sebelurnnya. Kegagalan operasi tersebut dapat disebabkan oleh
faktor operator, proses perawatan Iuka pasca operasi maupun kondisi kulit. 2•4
Pada terapi parut hipertrofik dengan eksisi, perlu dipertimbangkan kombinasi
dengan modalitas terapi yang lain untuk mencegah timbulnya kekambuhan. Terapi
kombinasi yang dapat diberikan antara lain : inj eksi triamsinolon asetonid intra lesi,
kortikosteroid topikal imiquimod topikal, s i l i kon gel sheet. 3 •4
2. S U B S I S I 1 •2
Subdermal insisi atau subsisi merupakan modalitas dengan indikasi terbaik
untuk parut akne atrofi jenis rol l ing, dimana dasar lesi yang lebar dengan dinding
lesi parut yang tidak jelas. D i samping terdapat pengurangan j aring penunj ang,
timbulnya skar rol l ing juga dikarenakan adanya tarikan permukaan kulit oleh
j aringan ikat dibawah les i . 1 •2
Tindakan subsisi d i lakukan untuk memotong j aringan ikat fibrotik tersebut,
sehingga dasar lesi akan terangkat setelah terbebas dari tarikan j aringan dibawahnya.
Luka yang terj adi diharapkan juga akan merangsang timbulnya j aringan penunj ang
baru melalui proses tahapan wound healing, yang akan menaikkan dasar lesi parut.
A lat yang dipakai adalah j arum khusus "nokor", atau dapat pula dipergunakan
j arum yang cukup besar yaitu no 1 8. Anestesi dilakukan dengan infiltrasi lokal
lidokain atau tumesen, lesi diberi tanda terlebih dahulu sebelum menj adi h ilang
akibat tindakan inj eksi . Jarum subsisi d iinserisikan ke dalam kulit dari j arak sekitar
1 cm dari tepi lesi, kearah dasar lesi, kemudian dilakukan gerakan jarum ke depan
belakang dan ke samping membentuk area segitiga dengan pusat adalah dasar les i .
Tindakan subsisi sering dikombinas i kan dengan tindakan lain seperti skin needling
atau laser. Efek samping yang dapat terj adi adalah infeksi, bengkak, hematoma,
skar hipertrofik.
1 •2
3. PUNCH E LEVASI
Indikasi tindakan punch elevasi adalah lesi boxcar dengan dasar yang cukup rata.
Setelah dil akukan anestesi Jokal, seluruh lesi parut diambil dengan mempergunakan
alat biopsi punch dengan ukuran sesuai . Has i l punch biosi tersebut tidak dibuang
melainkan dimasukkan kembali pada lubang dimana berasal (autograft), dengan
posisi fioating.
Dasar jaringan parut yang sebelumnya berada lebih bawah posisinya akan
terangkat dan sej aj ar dengan permukaan kulit. Ruangan kosong antara dasar lubang
baru dan bagian bawah j aringan biopsi akan diisi oleh darah dan produk produk
inflamasi, dan berikutnya akan timbul j aringan penunj ang barn yang mengikat dan
mengangkat graft. Jaringan biopsi tidak perlu di j ahit dengan j aringan sekitamya,
cukup ditahan dengan tape selama beberapa hari.
Efek samping yang dapat terjad i antara lain : infeks i, graft tidak take, permukaan
menjadi lebih tinggi atau masih lebih rendah, parut h ipertrofi . B i l a masih didapatkan
permukaan yang tidak rata maka dapat dilakukan tindakan berikutnya, seperti
misalnya dermabrasi atau laser resurfacing. Dibandingkan dengan tindakan punch
graft, prosedur ini tidak menimbu l kan masalah perbedaan wama kulit pasca operasi .
1 •2
4 . P U N C H G RAFT
Pada tindakan Punch Graft di lakukan pengangkatan parut pasca akne dengan
mempergunakan alat punch bioipsi dan selanj utnya pengambilan donor dari lokasi
yang berbeda dengan puch biosi dengan ukuran sama atau lebih kec i l dari lubang
resipien. Lokasi yang dipi lih biasanya adalah kulit telinga bagian belakang karena
cukup tersembunyi untuk menyembunyikan parut yang timbul karena donor.
Tehnik ini cukup merepotkan karena hams membuat perlukaan pada dua area,
dengan konsekwensi tindakan lebih lama dan perawatan pasca operasi yang lebih
banyak. Hasil hari tindakan Punch Graft beresiko timbul wama yang tidak sesuai
karena berasal dari lukasi yang berbeda. Komplikasi yang lain sama halnya dengan
tindakan punch elevasi maupun eks i s i .
5. D ERMABRA S I 2•6
rata. Alat yang dipakai adalah hand piece motor rotate dennabrasi dengan mata
dermabrader berupa wire brush atau diamond/raise.
Anestesi d ilakukan dengan lokal infiltrasi lidokain, tumescent, bahkan
dengan general anestesia, dilanj utkan tindakan dermabrasi secara hati hati dengan
pengaturan kedalaman yang telah diperhitungkan . Diperlukan perawatan Iuka yang
baik karena luka yang cukup dalam dan luas. Tindakan dermabrasi cukup efektif
untuk pengobatan skar atrofi , namun untuk skar hipertrofi atau keloid dikhawatirkan
dapat timbul j aringan hipertrofi baru.
Sebelum dilakukan dermabrasi pasien hams bebas selama 6 bulan mengkonsumsi
obat yang menghambat reepitelisasi seperti misalnya isotretinoin. Penggunaan
isotretinoin oral dapat menyebabkan perlambatan reepitelisasi dan kecenderungan
timbul parut hipertrofi . Komplikasi yang dapat terj adi adalah : hiperpigmentasi,
hipopigmentasi dan warna kulit yang tidak tidak rata, terutama pada pasien kulit
berwama.
6. LASE R ABLAT I F
I. Meratakan permukaan kulit pada parut eutrofi, atrofi maupun bipertrofi, dengan
modalitas cutting, dri ll ing, vaporating. Sehingga dapat rnengecilkan volume
parut h ipertrofik, dan mengurangi sudut dinding parut atrofik agar bayangan
lebih tidak tampak dan parut atrofi lebih sama, dan "merapikan" pennukaan
parut eutrofik yang tidak rata.
2. Efek terrnal yang di ikuti proses penyembuhan Iuka, akan rnenginduksi
pertumbuhan j aringan myofibroblas, matrix protein, asam byaluron ic. Hasil
yang diharapkan adalah dasar parut atrofi lebih naik dan perrnukaan kulit lebih
rata, halus dan sehat.
Hand piece laser C02 yang dipakai untuk terapi parut akne adalah :
konvensional, scanner resurfacing, dan scanner fractional . Handpiece konvensional
dipergunakan untuk melukai perrnukaan parut secara manual, untuk mematong,
atau untuk mengeci l kan massa jaringan parut. Scanner resurfacing dipakai untuk
mengelupaskan permukaan kulit secara luas. Sedangkan handpiece fractional dapat
dipakai untuk menginduksi kolagen secara relatif lebih aman, karena diantara kulit
yang terablasi masih terdapat permukaan kulit yang normal sehingga mempercepat
reepitilasasi kulit. Tindakan resurfacing konvensional masih dianggal gold standar
untuk pengobatan parut pasca akne yang atrofi , narnun kelemahannya adalah
prosedur operasi dan perawatan Iuka yang lebih rurnit, sernentara komplikasi
infeksi dan perubahan wama kulit yang tidak diharapkan dapat terj ad i terutarna
pada pasien kulit berwama. 7•8
Pada garnbaran histologis pasca tindakan laser C02 menyebabkan deep dermal
heating, dan diikuti proses wound remodel ling, dij umpai heat shock protein,
pro kolagen, dermal elastin yang terakumulasi terutarna sekitar kolorn lesi m i kro
fraksional. Pada gambaran klinis kulit tampak lebih halus, parut pasca acne lebih
1 •2
datar, disamping kerut halus berkurang.
7. TERAPI KOM BI N AS I . 9• 1 0
Dalam praktek sehari hari terapi kombinasi akan memperoleh hasi l yang optimal
dalam menghilangkan parut. P i l ihan kombinasi disesuaikan dengan kond isi j aringan
parut, j enis kulit, hasil pengobatan, fasilitas dan dengan tidak mengesampingkan
pendapat pasien. Tindakan j enis invasif dapat dikombinasi kan dengan prosedur non
invasif maupun mini mal invasif.
Pemakaian asam retinoat topikal merupakan pil ihan yang baik untuk proses skin
health restoration, sehingga dapat menyamarkan parut pasca operasi revisi parut.
Pemakaian asarn retinoat topikal dapat diberikan sebelum dan sesudah tindakan
pembedahan.
Inj eksi intra lesi triamsinolon asetonid perlu diberikan untuk mencegah timbulnya
jaringan parut hipertrofi baru yang muncul kembal i pasca eksisi. Pemberian inj eksi
dapat di lakukan durante operasi maupun dimulai pada hari angkat j ah i tan.
Laser C02 di samping sebagai modalitas utama menghilangkan parut, dapat
pula dikombinasi kan untuk terapi invasif yang lain. Pasca tindakan eksisi, punch
graft atau punch elevasi, dengan basil permukaan kulit yang masih belum rata dapat
dikombinasikan dengan laser ablatif C02 atau Erbium: Yag guna "merapikan"
permukaan kulit.
Secara teknologi j uga tersedia alat Energy Base Device, dengan kornbinasi multi
platform, mi salnya dalam satu mesin terdapat modalitas laser ablatif C02 yang
dikombinasikan dengan energi radiofrekwensi . Dimana kedua modalitas tersebut
dapat bersinergi dengan masing masing rnekanisme terapinya, dan akan didapat
hasil terapi yang lebih efektif.
P E N UTUP
Pilihan modalitas dari bermacam tindakan invasif pada parut pasca akne
bergantung pada : j enis dan keparahan parut, ketrampilan dan kompetensi dokter,
fasi litas yang tersedia dan komunikasi dengan pasien. Prosedur ini biila di laksanakan
secara baik dan benar secara umum akan memperoleh hasil yang baik.
Keberhasi lan tindakan invasiftersebut sangat tergantung kepada dokter operator,
dan untuk melaksanakan prosedur tersebut diperlukan ketrampi lan dan kompetensi
yang diperoleh dokter melalui pendidikan dan pelatihan secara berj enj ang. Perlu
dilakukan komuni kasi edukasi yang baik dengan pasien saat pemilihan modalitas
terapi intervensi, agar pasien memi l i k i ekspektasi yang realistis akan hasil terapi ,
disamping dapat membantu perawatan pasca operasi dengan baik untuk mengurangi
kompl ikasi akibat kesalahan perawatan .
DAFTAR PUSTAKA
I. Fabbrocini G, Clementoni MT. Acne scars and their management. Dalam: Schwartz RA,
Micali G. Acne. India: MacMillan. 20 1 3 : 1 63- 1 74
2. Fabbrocini G, Annunziata MC, Arco VD, De Vita V, et al. Acne scars: Pathogenesis,
Classification and Treatment. Dermatology research and practice 20 l O; 1 - 1 3
3. Hypertrophic scars, keloids, and scars. Color atlas o f cosmetic dermatology. New York:
McGraw Hill. 2007: 256-9
4. Douglas Fife, Christopher B. Zachary. Combining Techniques for Treating Acne Scars,
Current Dermatology Reports, 20 1 2, 82-88.
5. Goodman GJ. Post Acne Scarring : a Review of its pathophysiology and treatment.
Dermatologic Surgery. 2000; 26: 857-7 1 .
6. Young J H , Yu NL, Yang WL, Yong BC, et al. Teratment of acne scars and wrinkles in Asian
patients using Carbon-Dioxide Fractional Laser Resurfacing: I ts effects on skin biophysical
profiles. Ann Dermatol 20 1 3; 25 (4): 445- 53
7. Rui Yin, Lin Lin, Yan Xiao, Fei Hao, H amblin MR. Combination A LA-PDT and Ablative
Fractional Er:YAG Laser (2,940 nm) on the treatment of severe acne. Lasers Surg Med.
20 1 4; 46(3): 1 65-72.
8. Elman M, Harth Y. Novel multi-source phase- controlled radiofrequency technology for non
ablative and micro-ablative treatment of wrinkles, lax skin and acne scars. Laser Therapy
20 1 1 ; 20.2: 1 39-4 1
9. Asilian A, Darougheh A, Shariati F. New combination of triamcinolone, 5-Fluorouracil,
and pulsed-dye laser for treatment of keloid and hypertrophic scars. Dermatol Surg. Jul
2006;32(7):907- 1 5. [Medline]
1 0. Akita S, Akino K, Yakabe A, I maizumi T, Tanaka K, Anraku K. Combined surgical excision
and radiation therapy for keloid treatment. J Craniofac Surg. Sep 2007; 1 8(5): 1 1 64-9
TERAPI MEDIKAMENTOSA
HIPERPIGMENTASI PASCA AKNE
PENDAHU LUAN
ETIOPATOGENESIS
HPI merupakan sekuele akne yang sangat sering dijumpai terutama pada orang
dengan kulit gelap. Etiologi diantaranya akibat reaksi iritasi atau alergi bahan topikal, atau
prosedur kosmetik.
HPI epidermal terjadi akibat peningkatan produksi melanin dan atau transfer
melanosom ke keratinosit, dimana melanin dapat hilang bertahap karena turnover
epidermis setiap bulan. HPI dermal terjadi akibat melanin melintasi membran basal yang
rusak, sehingga difagosit makrofag pada dermis sehingga bisa menetap. 1'2
Patogenesis HPI belum diketahui secara pasti. Patogenesis HPI pada akne menurut
Davis dan Callender (20 1 0) adalah aktivitas melanosit yang meningkat akibat stimulasi
prostanoid, sitokin, kemokin, dan mediator inflamasi yang lain seperti ROS yang
dihasilkan selama proses inftamasi. Hal itu didukung dengan berbagai penelitian yang
menunjukkan bahwa melanosit dapat distimulasi oleh LT-C4, LT-D4, prostaglandin E2
dan D2, tromboksan-2, IL- 1 , IL-6, tumor necrosis factor-a (TNF-a), epidennal growth
factor (EGF), dan ROS, seperti nitrit oxid.4
Pada HPI akibat akne dapat terjadi melalui tiga mekanisme, yaitu 1 ) faktor stell, 2)
mediator in:flamasi, dan 3) nitrit oxid.5
1. Faktor stell, merupakan derivat keratinosit yang terbentuk akibat induksi sinar UV
dan bersifat mernicu aktivitas tirosinase. Faktor stell akan semakin aktif dalam
mernicu melanogenesis dan survival melanosit meningkat bila terdapat IL-3, IL-6.
IL-7, IL-9, dan granulocyt colony stimulatingfactors (GCSF).5 In:flamasi pada akne
menghasilkan IL-6 dan GMCSF, sehingga dapat mernicu melanogenesis.
2. Mediator in:flamasi dapat memicu pigmentasi kulit. Melanosit manusia merniliki
reseptor yang dapat dipicu oleh mediator in:flamasi sehingga mengaktivasi tirosinase,
seperti LT-B4 dan C4 meningkatkan produksi melanin, proliferasi dan motilitas
melanosit. 5 Terbentuknya mediator inflamasi pada akne, seperti IL- 1 , IL-8, TNF-a,
dan LT-B4 dapat meningkatkan produksi melanin, sehingga dapat mernicu H PI pada
akne.
3 . Nitrit oxid merupakan ROS yang dapat berdifusi ke dalam sel dan jaringan. Nitrit
oxid meningkatkan aktivitas tirosinase dan melanogenesis. Pada akne keratinosit dan
neutrofil dapat memproduksi ROS seperti nitrit oxid dan superoksid anion, sehingga
dapat mernicu HPI pada akne. 5
Gradasi H P I
Table I. Sco ring t he postacne hyperp+ gmentation
index
2 <3 mm
4 3-6 m m
6 7- 1 0 mm
8 :> 10 m m
No. of lieiton
1 1-15
2 1 &3 0
3 3 1 -4 5
4 46-60
5 :>60
OBAT TOPIKAL
1. ASAM RETINOAT
2. HYDROQUINONE
Hydroquinone atau 1, 4-dihydroxybenzene merupakan krim pemutih yang
sudah menj ad i standar emas terapi hiperpigmentasi pasca inflamasi (HPI) dan
kelainan hiperpigmentasi lainnya, seperti melasma dan lentigo solaris . HQ
merupakan senyawa fenol i k yang menghalangi konversi dihydroxyphenylalanine
(DOPA) ke melanin dengan menghambat tirosinase. Mekanisme kerj anya dengan
penghambatan sintesis asam deoksiribonukleat (DNA) dan asam ribonukleat
(RNA ) , selektif sitotoksisitas terhadap melanosit, dan degradasi melanosom. HQ
bersifat l ab i l sehingga mudah berubah wama terutama apabila terpapar UV. 9
H Q tidak terlalu efektif terhadap hiperpigmentasi dermal karena tidak bisa
menembus j embatan dermal-epidermal. Umurnnya digunakan pada konsentrasi dari
2 sampai 4% tetapi dapat ditingkatkan dalam kekuatan hingga 1 0%. Hydroquinone
monoterapi cukup efektif dalam mengobati H P I , namun bisa dikombinasikan
dengan agen lainnya, seperti retinoid, antioksidan, asam gl ikolat, tabir surya, dan
kortikosteroid, untuk meningkatkan efektivitas.4
Cook-Bolden et al menyatakan kombinasi H Q 4% dan retinal 0, 1 5% dengan
antioksidan selama 1 2 minggu pada 2 1 pasien menunjukkan adanya penurunan
yang signifikan dalam ukuran lesi, pigmentasi, dan tingkat keparahan penyakit pada
minggu ke-4. Anal isis dengan spektofotometer reflektansi stati sik menunj ukkan
basil yang sama. Terjadi penurunan yang signifikan kadar melanin pada m i nggu
ke-4. Sebuah penelitian yang sama dilakukan pada mayoritas pasien berkulit gelap
yang diberi terapi 4% HQ, retinol 0, 1 5% dan tabir surya. Hasilnya adalah agen ini
aman dan efektif untuk H P I dan melasma. 4• 1 0
Efek samping : bisa terj adi iritasi kulit, akibat pemakaian jangka panjang dan
dalam konsentrasi tinggi terutama pada pasien berkulit gelap dapat terj adi okronosis
eksogen yang berdampak kurang baik dalam prognosis terapi kelainan pigmentasi .
Untuk mengurangi efek yang tidak diinginkan H Q dianj urkan pemakaiannya tidak
lebih dari 1 2 minggu, kernudian diganti dengan bahan pemutih lainnya, begitu
seterusnya secara periodik. 1 1
4. ASAM TRANEXAMAT
5. ASAM AZE L A I K
Asam azelaik (AA) mem i l i ki aktivitas anti tirosinase. Senyawa ini berperan
sebagai penghambat kompetitif tirosinase reversible dengan mengikat gugus amino
dan karboksi l , menghambats sintesis DNA dan menghambat aktivitas mitokondria
pada melanosit abnonnal dan h iperaktif. 1 5
Indikasinya kasus HPT deraj at sedang hi ngga berat. Penelitian Kircik
membuktikan bahwa pemberian gel AA 1 5% yang diapl ikasikan dua kali sehari
dapat mengurangi akne dan H P T pasca akne .3 Tersedia pada konsentrasi 1 5 - 20%.
Asam azeleat secara umum d itoleransi dengan baik sehingga dapat di gunakan
dalam j angka panj ang, dioleskan sehari 2 kali selama 3 - 1 2 bulan .
Efek samping dirasakan sedikit rasa menyengat beberapa saat setelah dioleskan,
eritema, rasa gatal, panas dan skuamasi yang ringan dan cepat hi lang. 1 5• 1 6
6. M EQ U I NO L
Asam Koj ik adalah fungal metabolic dari beberapa spesies tertentu dari
acetobacter, aspergillus, dan penicillium. Kemampuan depigmentasi obat ini berasal
dari inhibisi yang potensial terhadap tirosinase dengan ikatan tembaga pada sisi
aktif dari enzim tersebut. Asam Koj i k tersedia dalam konsentrasi 1 -4 %, dio leskan
2 kali sehari . Dapat diformulasikan dengan agen-agen pencerah lainnya termasuk
asam glikolik dan hydroquinone tmtuk meningkatkan efisiensi dalam pengobatan
H P L Efek pencerahan kulit akan tampak setelah pemakaian selama 1 -2 bulan. E fek
samping yang sering dij umpai adalah berupa iritasi kulit. 1 2• 1 3 • 1 4
2. ARBUT I N
Arbutin merupakan beta D gl ucopyranoside dari h i drokuinon, yang diekstraksi
dari daun bearberry, pear, cranberry, atau blueberry yang dikeringkan dan
merupakan turunan dari hydroquinone. Arbutin tidak memil iki efek melanotoksik.
Arbutin dapat menyebabkan depigmentasi tidak hanya dengan cara menghambat
enzi m tirosinase dan D H JCA (5,6 hydrokyindo\e 2 carboxyl i c ac id) pol imeras,
tetapi j uga maturasi melanosom sehingga efektif terhadap pengobatan H PI . 1 3 • 1 4
3. KEDELAI (SOY)4,6-8
Dikenal dua fraksi protein yang berefek mengurangi pigmentasi yaitu soybean
trypsin inhibitor dan Bowman-Birk inhibitor. Kedua protein ini terbukti secara in vitro
dan in vivo mengurangi pigmentasi dan mampu mencegah pigmentasi yang disebabkan
oleh paparan UV. Mekanismenya melalui penghambatan pecahnya protease-activated
receptor 2 ( PAR-2 ) yang diekspresikan di keratinosit, sehingga diperkirakan berefek
menghambat transfer melanosom darirnelanosit ke keratinosit. Mekanisme yang sama
juga terdapat pada niasinamid yang merupakan turunan vitamin B3. Pemakaian susu
soya segar dan tidak di pasteurisasi, dua kali sehari selama 1 2 minggu memperbaiki lesi
hiperpigmentasi dengan efek samping minimal. 1 3 • 1 4
4. N I AC I N AM I D E
N iacinamide adalah derivat fisiologis aktif dari vitam in 83 ( n i acin). Pene litian
in vitro menunjukkan bahwa niacinamide dapat menurunkan transfer mel anosom
secara signifikan ke keratinosit tanpa menghambat aktivitas enzim tirosinase
atau proli ferasi sel dan niaci namide j uga dapat menghambat j a l ur signal sel
antara keratinosit dan melanosit untuk mengurangi mel anogenesis. salah satu
keuntungan ni acinamide adalah stabil itasnya yang tidak terpengaruh oleh cahaya,
kelembaban, asam, basa, pengoksi dasi . Penggunaan niacinamide topikal dengan
kadar 2-5% telah menunj ukkan keefi siensian ketika digunakan baik secara tunggal
5. ASAM ASKORBAT
N-asetil glukosamin (NAG ) adalah gula amino yang merupakan prekursor asam
hyaluronic dan ditemukan di seluruh alam dan j aringan manusia. Kemampuan
depigmentasi ini berasal dari penghambatan tirosinase glikosilasi, langkah yang
diperlukan dalam produksi melanin. NAG biasanya digunakan dalam konsentrasi 2%
sebagai monoterapi atau kombinasi dengan niacinamide, yang dapat menyebabkan efek
klinis lebih besar mengingat bahwa ada dua mekanisme yang berbeda dari depigmentasi.
Beberapa double-blind, uj i klinis terkontrol telah menunjukkan keamanan dan
kemanjuran dari NAG sendiri atau terapi kombinasi NAG I niacinamide untuk secara
signifikan meringankan hiperpigrnentasi sekunder terhadap radiasi surya pada pasien2
Kaukasia dan Jepang. NAG umumnya ditoleransi dengan iritasi kulit ringan sampai
sedang pada sejurnlah kecil pasien. Namun, masih diperlukan penelitian klinis besar untuk
menentukan peran NAG dalam pengelolaan PIH di semua jenis kulit. 4
2. Semua agen terapi topikal untuk H P I memi l iki potensi untuk menyebabkan
dermatitis kontak iritan atau a lergi, oleh karena itu, beberapa rekomendasi dasar
mel iputi :
• Gunakan tes ap l ikasi terbuka berulang ( ROAT) di daerah kecil selama
beberapa hari untuk menguj i potensi iritasi .
• Oleskan agen pemutih di daerah hiperpigmentas i, menggunakan teknik yang
tepat untuk meminimalkan h ipopigmentasi halo kulit normal di sekitarnya.
3. Biasanya perlu waktu 2-3 bulan pengobatan topikal untuk melihat perbaikan
parsial h iperpigmentasi, dan perbaikan lebih banyak ( mendekati resolusi H P ! )
mungkin diperlukan waktu beberapa bulan sampai satu tahun. Perlu edukasi
pasien bahwa pengobatan H P I membutuhkan waktu dan kesabaran.
5. M enghindari paj anan sinar matahari dengan memakai pakaian pel indung sinar
matahari, dengan memakai topi bertepi l ebar, menggunakan tabir surya setiap
hari, merupakan bagian penting dari Terapi H P I .
KEPUSTAKAAN
1. Chang MW. Disorders ofhyperpigmentation. ln: Bolognia JL, Jorizzo J L, Rapini RP, eds.
Dermatology. 2nd ed. Elsevier Mosby; 2009:333-389.
2. Harvey VM. A review of postinflammatory hyperpigmentation. Cosmetic Dennatology
2009; 22: 584-586
3. Chandra M, Levvit J, Pensabene CA. Hidroquinone therapy for post-inflammatory
hyperpigmentation secondary to acne: Not just prescribable by dennatologists. Acta
Dermato-Venereologica 20 1 2; 92: 232-235
4. Davis EC, Callender VD. Postinflammatory hyperpigmentation a review of the
epidemiology, clinical features, and treatment options in skin of color. Journal Clinical
Aesthetic Dermatology 20 1 0; 3. 7: 20-3 1
5. Park H-Y, Yaar M. Biology of melanocytes. ln: Goldsmith LA, Katz SI, Paller AS,Gilchrest
BBA,Leffell DJ, Wolff K. Fitzpatrick 's Dermatology in General Medicine. 8"1 edition. New
York: Mc- Graw-Hill; 20 1 2 : 765-78 1
6. Watabe H , Soma Y, Ito M, Kawa Y, Mizoguchi M.All-trans retinoic acid induces differentiation
and apoptosis of murine melanocytes precursors with induction of the micropthalmia
associated transcription factor. J Invest Dennatol. 2002; 1 1 8( 1 ): 35-42.
7. Woolery-Lloyd HC, Keri J, Doig S. Retinoids and azelaic acid to treat acne and
hyperpigmentation in skin of color. J Drugs Dennatol. 20 1 3 ; 1 2(4): 434-7.
8. Callender VD, Young CM, Kindred C, Taylor SC. Efficacy and safety of clindamycin
phosphate 1 .2% and tretinoin 0.025% gel for the treatment of acne and acne-induced post
in:flanunatory hyperpigmentation in patients with skin of color. C li n and Aesth Dennatol.
20 1 2; 6(7): 25-32.
9. Chandra M, Levitt J, Pensabene CA. Hydroquinone therapy for post-inflammatory
hyperpigmentation secondary to acne: Not just prescribable by dennatologist. Acta Denn
Venereol. 20 1 2; 92: 232-5.
10. Levitt, J. The safety ofhydroquinone: a dermatologist's response to the 2006 Federal Register.
J Am Acad Dermatol 2007;57:854-872.
11. Merola JF, Meehan S, Walters RF, Brown L. Exogenous ochronosis. Dermatol Online J 2008;
1 5 :6.
12. Matta 1, Rendon, Jorge I, Gaviria. Skin L ightening Agents. ln: Draelos ZD (ed)
Cosmeceuticals 2nd , China, Elsevier Saunders, 2009; 1 03-9.
13. Marta I, Rendon, Jorge 1, Gaviria. Review of Skin-Lightening Agents. Dermatol Surg
2005 :3 1 :886-9.
14. Baumann L and Allemann 1 B. Depigmenting Agents. In Baumann L, Saghari S, Weisberg
E (eds) Cosmetic De1matology, Principles and Practice. 2nd ed. New York. Mc Graw Hill
Medical.; 2009;279-9 1
1 5 . Kircik LH. Efficacy and safety of azelaic acid (AzA) gel 1 5% in the treatment of post
inflammatory hyperpigmentation and acne: A 1 6-weeks, baseline-controlled study. J Drugs
Denna to I. 20 1 1 ; 1 0( 6): 586-90.
16. Lemic-Stojcevic L, N ias A H W, Breathacb AS. Effect of azelaic acid on melanoma cells in
culture. Exp Dermatol. 1 995; 4(2): 79-8 1
17. Woolery-Lloyd H, Kammer JN. Treatment of hyperpigmentation. Semin Cutan Med Surg.
20 1 1 ; 30(3): 1 7 1 -5.
18. Telang PS. Vitamin C in dermatology. Indian Dermatol Online J. 20 1 3; 4(2): 1 43-6.
19. Taylor MB, Yanaki JS, Draper DO, Shurtz JC, Coglianese M. Successful short-term and long
tem1 treatment of melisma and post infl ammatory hyperpigmentation using vitamin C with a
full-face iontophoresis mask and a mandelic/malic acid skin care regimen. J Drugs Dermatol.
20 1 3 ; 1 2( 1 ): 45-50.
20. Kin1 JK, Chang SE, Won CH, et al. Dramatic Improvement ofLong Lasting Post-Inflammatory
Hyperpigmentation by Oral and Topical Tranexamic Acid. J CDSA, 20 1 2, 2, 62-63
2 1 . K. Maeda and Y. Tomita, "Mechanism of the inhibitory Effect of Tranexamic Acid on
Melanogenesis in Cultured Human Melanocytes in the Presence ofKeratinocyte- Conditioned
Medium," Journal ofHealth Science, Vol. 53, No. 4, 2007, pp. 389-396.
22. Kayama T, Fujii H, Tanioka M, M iyachi Y,. Camouflage Therapy for Post-Inflammatory
Hyperpigmentation on the Face Caused by F ixed Drug Eruption. JCDSA, 20 1 3, 3, 8- 1 0
Dhiana Ernawati
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran U niversitas Dipenogoro, Semarang
PENDAH ULUAN
L CHEMICAL PEELING
Chemical peeling (CP) meliputi aplikasi suatu zat kimia untuk menginduksi
dipercepatnya eksfoliasi, juga digunakan untuk mengobati lesi acne yang aktif disamping
hiperpigmentasi pasca inflamasi (HPI) karena acne 3 • CP dan obat topikal bekerja secara
sinergistik karena membantu penetrasi lebih baik obat topikal 1 • Umumnya CP superfisial
ditoleransi dengan baik oleh tipe kulit Fitzpatrick IV-VI. Pada CP pasien harus diedukasi
akan pentingnya fotoproteksi untuk mencegah atau menghindari memburuknya HPI 4•
Ada 2 macam CP superfisial yaitu yang sangat superfisial dan superfisial 5•
Chemical peeling sangat superfisial menggunakan TCA 1 0- 1 5%, asam alfa
hidroksi (AHA), asam salisilat, tretinoin topikal dan 1 -2 lapis solusio Jessner's dapat
mencapai startwn komeum dan lapisan atas stratum spinosum merupakan tindakan yang
paling aman dan dapat dilakukan pada semua tipe kulit. Aplikasi singe! menginduksi
eksfoliasi epidermal, dan manfaatnya minimal. Umumnya PIH tidak terjadi sebab reaksi
infl.amasinya minimal. Insiden HPI pada penggunaan asam salisilat pada tipe kulit IV
VI Fitzpatrick sangat rendah. Chemical peeling superfisial mencapai seluruh epidermis
terjadi pada penggunaan TCA 20-35%, glicolic acid 70% dan solusio Jessner's 5 .
a. Glycolic acid
Pada tahun 1 997 Bruns dkk melakukan clinical trial tentang keamanan dan keampuhan
peeling glycolic acid pada individu berkulit gelap yang mengalami PIH. Semua pasien
baik kontrol dan yang di peeling diberi hidroquinon 2% dan glycolic acid 1 0% gel dua
kali sehari dan tretinoin 0,05% malam hari. Pasien dilakukan peeling superfisial dengan
glycolic acid 6-7 kali secara serial konsentrasi maksimum 68%. Hasil menunjukkan
kecenderungan lebih cepat dan perubahan lebih besar atas hiperpigmentasinya dan juga
bertambah cerah pada kulit yang normal dengan efek samping yang minimal. Chemical
peeling juga membantu penetrasi obat-obat topikal lebih baik. Mekanisme kerja dengan
eksfoliasi, menghambat sintesa melanin 1 •4•6•
Peeling glycolic dapat penetrasi lebih namun tidak merata pada pasien menggunakan
retinoids topikal atau benzoyl peroxida. Kedalaman peeling tidak berkaitan jumlah
lapisan 3•6• Peeling glicolic hams dinetralisasi dengan solusio alkaline, umurnnya sodium
bicarbonat 8-1 5% apabila tampak eritema. Netralisasi untuk mencegah penetrasi sampai
ke lapisan kulit lebih dalam 3 •6• Sebaiknya digunakan retinoic acid cream 0,05% sebagai
priming sejak 1 5 hari sebelum prosedur 6.
b. Asam salisilat
Asam salisilat cair untuk peeling dengan konsentrasi 20-30% dalam etanol absolut atau
polyethylen glycol (PEG). Mekanisme dengan eksfoliasi dan anti infl.amasi. Terutama
dilakukan pada pasien acne dengan tipe kulit Asia, dilakukan dua minggu sekali selama
3 bulan, dapat sampai 6 bulan (24 kali tindakan) 1.3 ·6• Keamanan dan manfaat dari peeling
asam salisilat untuk hiperpigmentasi telah dibuktikan walaupun pada fototipe kulit V dan
VI 4 • Indikasi utama peeling asam salisilat adalah komedo, acne dengan infl.amasi yang
ringan, acne scar dan terutama dengan adanya komponen hiperkromik. Asam salisilat
mempunyai struktur lipofilik yang memungkinkan penetrasinya sampai kelenjar sebasea
dan sel-sel kornifikasi yang menyebabkan destruksi dan eksfoliasi lapisan atas epidermis
3 ·6. Kejadian overpeel ataupun efek samping sangat jarang. Sebelum dilakukan peeling
kulit dibersihkan. Setelah diaplikasikan dengan lidi kapas ataupun kuas, dalam beberapa
menit sampai komponen alkohol menguap tampak lapisan serbuk keputihan. Pada point
ini peeling dapat dihapus tanpa netralisasi. Dapat dilakukan tiap 4 rninggu sampai 6 kali.
Hasil diamati setelah 3 kali peeling. Untuk pasien-pasien dengan riwayat alergi salisilat
sebaiknya tidak dilakukan peeling ini 6. Garg et al membandingkan GA 35% vs salisilat
20% asam mandelic 1 0% untuk acne aktif, scar acne dan hiperpigmentasi pada pasien
India dan mendapatkan kedua bahan efektiftetapi kombinasi asam salisilat+asam madelic
memberikan hasil lebih baik untuk lesi acne aktif dan hiperpigrnentasi 2 •
c. Solusio Jessner's
Solusio Jessner's merupakan kombinasi dari substansi asam salisilat ( 1 4 g), resorcinol
( 1 4 g), lactic acid (85%, 1 4 g) dan etanol (95%, sampai 1 00 ml) yang dapat digunakan
untuk peeling superfisial maupun dikombinasi dengan bahan lain untuk memfasilitasi
prosedur peeling medium. Efekti:fitasnya pada pengobatan akne komedonal dan in:flamasi
dan diskromia tergantung dari sifat keratolitik dan anti in:flarnasinya. Solusio Jessner's
menyebabkan diskohesi keratinosit, udem baik intra dan ekstraseluler. Diaplikasikan
dalam 2-3 lapis dengan kassa, spon atau kuas. Aplikasi ditandai dengan eritema ringan,
rasa terbakar, diikuti frost dimana kulit memutih dengan disertai gambaran seperti debu.
Netralisasi tidak diperlukan. Pengelupasan terlihat dalam beberapa hari dan menetap
sampai 8- 1 0 hati ( 6).
d. Trichloroacetic acid (TCA)
Penggunaan secara klinik TCA atau solusio Jessner' S untuk HPI pada kulit berwarna
masih kurang 4 . TCA tersedia dalam konsentrasi berkisar antara 1 0-20% sampai 35-
50%. Paling sering digunakan untuk peeling kedalarnan medium sampai dalam. TCA
berespon dengan hasil bervariasi untuk perubahan ketebalan epidermis, epidermal dan
dermal denaturasi, nekrosis koagulatif, menyebabkan revitalisasi epidennis, peningkatan
baik fibroblast dan kolagen tipe I dan Ill, dan reduksi komponen elastik. TCA harganya
tidak mahal, stabil dalanrn temperatur ruangan, tidak sensitif terhadap cahaya, dan tidak
perlu di netralisasi. Prosedur membutuhkan waktu 1 0- 1 5 menit, dan biasanya terasa
nyeri. Meskipun pada banyak kasus dapat ditoleransi, kadang-kadang diperlukan anestesi
topikal atau sistetnik. Priming pada kulit diperlukan 1 5 hari sebelurn dilakukan agar dapat
lebih unifonn, cepat dan penetrasi lebih dalarn dan meningkatnya manfaat yang qidapat.
Sebelum aplikasi dilakukan cleansing dan degreasing. Dapat diaplikasikan menggunakan
lidi kapas, atau kassa , dimulai pada dahi. Kedalaman peeling dapat diawasi dengan melihat
eritem dan frosting. Adanya eritem ininirnal menunjukkan peeling sangat superfisial
(TCA 1 0% ), kebanyakan melibatkan stratum korneum. Bila eritem ringan dengan bercak
bercak frosting ringan berhubungan dengan pengelupasan superfis ial yang berakhir
dalam 2-4 hari. sedangkan frosting putih dengan latar belakang eritem menunjukkan
peeling kedalaman medium; frosting putih yang solid mengindikasikan peeling dalam,
meluas sarnpai dennis papilaris. Bila ingin mengaplikasikan beberapa lapisan dianjurkan
menggunakan konsentrasi lebih rendah. Setelah selesai dikompres basah dingin.
Setelahnya dioleskan hidrokortison 1 % krim atau ointment untuk menyamankan kulit.
Pasien dianjurkan menghindari exercise berlebihan, berkeringat maupun memegang
wajah pada periode setelah peeling. Pasien harus diberi tahu bila kulit akan tampak lebih
gelap dan kemungkinan bengkak. Eksfoliasi biasanya terjadi pada hari ke 3-4 dimulai
daerah sekitar perioral dan periorbital dan terakhir di dahi. Dilarang mengopek-ngopek
kulit dalam periode ini agar tidak terjadi hiperpigmentasi pasca in:flamasi. Bila eritema
menetap sampai 2-3 minggu setelah eksfoliasi dianjurkan pemakaian kortikosteroid
ringan atau pasta zinc oxide 6 .
e. Spot peel
Pada yang berkulit gelap, diaplikasi spot dengan TCA 25%, Solusio Jessner's, asam
salisilat. Dapat dilakukan berkali-kali 1
Laser
Mekanisme kerja laser berdasarkan atas fototermolisis selektif langsung pada defek
melanin dengan target melanosome 1.7. Untuk mempunyai ke1ja selektif, panjang impuls
laser paling sedikit 1 0 kali lebih pendek dari pada waktu relaksasi dari target (tapi juga
tergantung shape dan difusitas dari target) 7• Lee et al merekomendasi kombinasi laser
Q Switched alexandrite dan TCA 1 5%-25% pada pengobatan hiperpigmentasi pasca
in:flamasi pada orang Korea. Pasien diterapi laser Q Switched alexandrite (755 run) dengan
fluence 7.0-8.0 J/crn2, pulse width 1 00 ns, spot size 3 mm. Pada sesi yang sama dilakukan
peeling TCA 1 5-25% dengan maupun tanpa solusio Jessner's. TCA diaplikasikan pada
daerah tidak dilaser atau tempat bercak hitam dengan kurang pengobatan dan solusio
Juessner's pada seluruh wajah untuk memadukan area yang diobati dan tidak diobati.
Pasien diinstruksikan rnenghindari paparan sinar matahaii dan menggW1akan tabir surya
bila akan terpapar. Setelah satu sesi pengobatan didapat basil bersih, excellent atau baik.
Akan tetapi efek samping didapatkan pada 3 pasien yang menetap sampai lebih 3 bulan
1• Waiau terapi topikal dengan pernutih tetap merupakan pilihan W1tuk HPI, laser dan
light merupakan terapi tambahan yang efektif W1tuk mengobati bila terjadi kegagalan 4•8.
Laser Green (5 1 0 run, 532 run), red (694 run), atau mendekati infrared (755 nm, 1 064 run)
rnerupakan spesifik pigmen dan menghasilkan light yang digunakan pada target secara
spesifik di melanosorn intraseluler. Berhubungan dengan spektrum absorbsi melanin
yang lebar (250 run- 1 200 run) energi laser untuk target yang lebih dalam dapat diabsorbsi
sainpai epidennis pigmen, yang dapat rnenirnbulkan komplikasi seperti diskromia, bula
dan skar. Secara khusus, energi dari laser gelornbang pendek lebih efisien diabsorbsi oleh
melanin epidermal sementara gelombang lebih panjang penetrasi lebih dalam dengan
absorbsi lebih selektif oleh target dermal membuatnya lebih aman digunakan pada pasien
berkulit gelap. Dilaporkan pengobatan yang sukses dari HPl dengan terapi photodynarnic
blue light, laser Nd: YAG dan photothermolysis fraksional pada tipe berkulit gelap. Masih
dibutuhkan penelitian klinis yang lebih besar untuk mengevaluasi laser ini sama seperti
alat-alat lain seperti Intense pulse light 4·8. Laser vaskuler seperti laser long pulsed dye
( LPDL) dapat dipakai dalam rej imen H P J yang diinduksi acne. Cara kerjanya dengan
mengobat komponen vaskuler dari in:flamasi , sehingga memendekkan dan mengurangi
proses in:flamasi dan hasilnya mengurangi resiko HPI 2 .
Laser spesifik pigrnen seperti laser Q Switched Nd:YAG dapat digunakan untuk
pengobatan HPI bi la di setting low ftuence. Targetnya rnelanosome dan terbanyak pigmen
eksogenus (7). Lokasi pigmen didalarn dermis atau di epidermis membantu pilihan
panjang gelombang. Denna! pigmen lebih baik diterapi dengan laser Nd:YAG 1 064 nm
dengan panjang gelombang dapat penetrasi lebih dalam pada jaringan kulit. Laser ini lebih
baik untuk orang berkulit gelap karena sedikit berinteraksi dengan melanin lapisan-lapisan
superfisial dari kulit. Tipe pigmen juga dipertirnbangkan. Pheomelanin merupakan target
yang baik dari laser Nd:YAG 532 nm bi la merupakan chromophore kurang sesuai untuk
laser 694, 755, dan 1 064 run. Kim dan Cho menunj ukkan pengobatan yang efektif dengan
low ftuence laser Q S Nd: YAG pada pasien HPI acne tipe kulit I V-VI. Sebagai antisipasi,
HPJ dapat terjadi sebagai efek samping dari tehnik ini. Fotoproteksi dibutuhkan setelah
sesi laser untuk mengurangi resiko ini 2•7·8 .
Penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa terapi photodynamic bluelight dan
photothennolysis fraksional juga efektif untuk pengobatan HPI 8 .
i l l. DERMABRASl
Dermabrasi suatu metode dengan menggunakan coarse grit diamond fraise dengan
diameter 1 6 mm.
Pengobatan tarnbahan untuk hiperpigrnentasi pada wajah dapat dengan dermabrasi,
dapat dikombinasi modalitas lain atau berdiri sendiri. Terutama dilakukan bila yang
menonjol komponen dermal 9.
IV. MICRODERMABRASI
RESUME
maupun light. Bagi laser dapat dengan laser green, red atau mendekati infra red ;selain itu
laser Nd:YAG dan phototermolysis fraksional, photodynamic blue light dan Intense Pulse
Light. Fotoproteksi dibutuhkan setelah sesi laser untuk mengurangi timbulnya resiko HPI.
Dermabrasi hanya dilakukan bila ada komponen dennal, sedang mikrodermabrasi data
masih minimal untuk kegunaannya HPI pasca acne, tetapi secara umum dapat diterima.
ANJURAN
Berhubung di Indonesia kebanyakan pasien mempunyai tipe kulit J II-V dianjurkan
untuk dilakukan prosedural yang tidak mernperberat resiko HPI nya. Oleh karena HPI
pasca acne terutama terbatas sampai di epidermis, dianjurkan mernilih modalitas yang
cukup sampai di epidennis. Prosedur yang dapat diJakukan yang utama adalah chemical
peeling superfisial dan laser. Untuk pilihan bahan adalah glycolic acid sampai konsentrasi
70%, asam salisilat 20-30% ( mempunyai keuntungan lain karena dapat penetrasi sampai
kelenjar sebasea sehingga juga dapat mengatasi acne nya), TCA 1 0-25% (keuntungan
lain harganya murah). Untuk prosedur dengan laser dapat dicoba bila terjadi kegagalan,
dianjurkan menggunakan laser spesifik pigrnen seperti laser Q Switched Nd:YAG.
DAFTAR PUSTAKA
N e lva K . J u s u f
Departem en I S M F I lm u Kesehatan K u l i t d a n Kelam i n
Faku ltas Kedokteran U n i ve rs itas S umatera U tara, Medan
P E N DAH U LUAN
Akne vu lgaris adalah peradangan menahun fol ikel p i losebasea yang dapat
sembuh sendiri, dengan gambaran k l i n i s adanya komedo, pap u l , pustul, nod u l ,
h ingga ki sta . A kne vu lgaris dapat mengenai area w aj ah , dada bag i an atas, l engan
atas, dan punggung yang merupakan area k u l i t dengan pop u lasi kelenj ar sebasea
yang pa l i ng padat. 1
Akne vu lgaris dapat ditemukan pada semua usia, baik anak-anak maupun dewasa,
dengan prevalensi 47-90% diternukan selama masa remaj a.2 Studi restropekti f di
Rumah Sakit U mum Pusat ( RS U P ) H. Adam M a l i k Medan, pas ien akne v u l gari s
selama periode Januari 20 1 0 sarnpai dengan Desember 20 1 2 , berj um l ah 1 82 orang
dengan proporsi kej adian sebesar l , 1 0% . Mayoritas ada lah perempuan, berusia 1 6-
20 tah un.3
Patofisio logi akne vulgari s bersi fat multifaktori a l , tetapi empat tahap dasar tel ah
d i i dentifik asi yaitu h i perpro l i fera s i fol ikel epidennal , pen ingkatan produksi seburn,
peningkatan j urn lah dan aktivitas fl ora fol ikel (Propionibacterium acnes) dan
inflamasi. Terdapat j uga beberapa faktor yang berhubungan dengan patogenesis,
seperti faktor pred i spos isi geneti k, hormonal, kosrneti k yang bers i fat aknegen i k I
komedogenik, stres p s i ko l ogis, stres oks i datif dan diet.4·5
suatu tinjauan ulang mengenai hubungan antara diet dengan akne vulgaris karena adanya
pemahaman yang lebih besar mengenai bagaimana makanan dapat mempengaruhi faktor
faktor endokrin yang terlibat dalam akne vulgaris.6•9
1. Fase awal
2. Fase kontroversi I mitos
3. Fase terkini
1. Fase awal
Buku-buku teks dermatologi periode akhir tahun 1 800 dan awal 1 900 seringkali
merekomendasikan restriksi (pembatasan) diet sebagai pengobatan tambahan pada terapi
dennatologi.6 Pada tahun 1 930-an akne vulgaris dianggap sebagai suatu penyakit akibat
gangguan metabolisme karbohidrat karena ditemukan gangguan toleransi glukosa pada
pasien-pasien tersebut, sehingga pasien sering dilarang mengkonsumsi gula-gula, coklat
maupun makanan berlemak.9 Walaupun hubungan diet dan akne terbukti melalui sejurnlah
penelitian sebelum tahun 1 960-an tetapi banyak peneliti yang memperdebatkan karena
kurangnya bukti-bukti yang meyakinkan. Pada saat itu belum dipahami sepenuhnya
mekanisme yang mendasari patogenesis akne, oleh karena itu hipotesis hubungan diet dan
akne, yang diikuti rekomendasi diet sebagian besar berdasarkan observasi dan spekulasi.6
Dalam usaha untuk mengisi kesenjangan pada periode sebelumnya, peneliti mulai
membuat penelitian-penelitian intervensi. Jurnlah penelitian pada tahun 1 960- 1 970
sedikit, tetapi tercatat sebagai titik batik sejarah hubungan diet dan akne.6 Dua penelitian
yang paling banyak dibahas adalah penelitian Fulton et al ( 1 969) dan Anderson et al
( 1 97 1 ) . 1 0• 1 1 Fulton et a l meneliti hubungan coklat dan akne dalam suatu studi single-blind
crossover. Penelitian tersebut menepis hubungan diet dan akne. Demikian pula Anderson
et al ( 1 97 1 ) menemukan bukti yang menolak hipotesis hubungan diet dan akne melalui
penelitian terhadap coklat, susu dan kacang. Namun kedua penelitian ini memiliki
sejurnlah keterbatasan metodologik seperti jurnlah sampel yang kecil, follow-up yang
singkat, tidak menggunakan kontrol dan sebagainya. 1o,1 1
Pada periode ini konsensus umum yang dikemukakan adalah diet tidak berhubungan
dengan akne, tetapi hasil-hasil ini menimbulkan perdebatan. Penelitian-penelitian tersebut
dirancang sebelum dikenal IG dan BG, dan sebelum pemahaman sepenuhnya tentang
mekanisme endokrin dalam patogenesis ataupun lamanya waktu pengobatan dengan diet
yang dibutuhkan untuk mempengaruhi perkembangan akne. Hingga hampir 40 tahun
3. Fase terkini
Pada periode ini terjadi peninjauan dan penemuan kembali hubungan diet dan
akne disebabkan oleh berbagai faktor termasuk pemahaman yang Iebih lanjut tentang
patogenesis akne, bukti-bukti epiderniologik baru yang mendukung diet dan akne, serta
melalui analisis kritis terhadap studi-studi sebelumnya.6
Sampai sekarang cukup banyak dijumpai penelitian tentang diet dan akne.
Pwwaningdyah dan Jusuf (2009) pada penelitian menggunakan kuesioner terhadap
pelajar pada salah satu SMA swasta di kota Medan menemukan 95% subyek melaporkan
makanan terutama kacang, makanan gorengan dan coklat mernicu timbulnya akne
vulgaris.12 Demikian juga Fachry dan Putra (20 1 4) terhadap mahasiswi FK-USU yang
mengalarni akne vulgaris ditemukan 48,8% melaporkan makanan mempengaruhi
penyakitnya. 13 Pada masa kini penelitian-penelitian tentang hubungan diet dan akne
terutama menyangkut makanan dengan IG dan BG tinggi, susu dan olahannya maupun
faktor-faktor diet lainnya.
konsisten dengan usulan mengenai hubungan antara hiperinsulinernia dan akne vulgaris.
Dapat disirnpulkan bahwa intervensi diet berperan dalam patogenesis perkernbangan
dan penatalaksanaan akne vulgaris. Meskipun demikian, pengamatan ini perlu diperkuat
dengan mekanisme yang mendasarinya dan ditentukan rnelalui suatu penelitian dengan
skala yang lebih besar.22
Penelitian di RS
H . Adam Malik Medan oleh Panjaitan et al (20 1 0) terhadap pasien
akne vulgaris dengan rnetode dietary food recall tidak rnenemukan hubungan antara
IG dan BG dengan kadar IGF- 1 .20 Penelitian Yutrishia et al (20 1 6) di RS H . Adam
Mal ik Medan menunjukkan kadar insul in puasa yang lebih tinggi pada kelompok akne
vulgaris dibanding kelompok kontrol namun perbedaan tidak bermakna secara statistik.
Resistensi insulin lebih banyak dijumpai pada kelompok akne vulgaris sedangkan non
resistensi insulin sebagian besar dijumpai pada kelompok kontrol, namun secara statistik
tidak dijumpai hubungan yang bermakna antara resistensi insulin dan akne vulgaris.23
Studi intervensi yang lebih baru oleh Reynolds et al (20 1 0) menemukan diet JG rendah
tidak secara signifikan memperbaiki akne. Namun ada kecenderungan diet JG rendah
memperbaiki akne lebih besar dibandingkan diet IG tinggi.24 I smail et al (20 1 2) di Malaysia
menernukan hal yang berbeda bahwa faktor diet terutarna diet BG sebagaimana juga
konsumsi susu dan es krirn berhubungan positif dengan perkembangan akne vulgaris.25
Suatu studi cross-sectional berupa survey berbasi s internet dengan lebih 2500 subyek
yang menjalani South Beach diet yang dikenal sebagai diet rendah BG menernukan 87,6%
rnelaporkan perbaikan pada akne, walaupun masih terdapat sej umlah keterbatasan pada
studi ini .26
Mekanisme yang diusulkan mendasari pengaruh BG dan susu terhadap perkernbangan
akne dapat digarnbarkan pada bagan di bawah ini .
Garnbar l . Current research suggests diet influences acne development. Glycemic load
( GL) and Dairy ingestion lead to changes in circulating honnones, binding proteins, and
receptors, leading to increase cellular growth and sebwn production and influencing acne
development. IGFBP-3=insulin growth factor binding protein 3 . I GF- 1 =insulin growth
factor l . Dikutip sesuai kepustakaan no. 6
2. susu
3. LEMAK
Sampai saat ini hanya sedikit studi yang dij umpai meneliti hubungan antara lemak
dan akne. Pada suatu kasus yang terdiri 5 subyek akne berusia 1 8 sampai 23 tahun diteliti
pengaruh suplemen asam lemak omega-3 yang mengandung asam eikosapentanoid
KESIMPULAN
DA FTAR P USTAKA
1. Wasitaatmadja SM. Dermatologi kosmetik. Penuntun l lmu Kosmetik Medik. Edisi ke-2.
Jakarta:Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Jndonesia;20 I I .h.22 1 -25
2. Greydanus DE. Acne Vulgaris, Acne Rosacea, and Acne Excorie. J A/tern Med Res.
20 1 4;6(3 ):2 1 5-36
3. Anggraini 0, Simanungkalit R, Jusuf NK. Studi Retrospektif Pasien Akne Vulgaris di
RSUP H. Adam Malik Medan Periode Tahun 20 1 0-20 1 2. Kongres Nasional X I V Perdoski.
Bandung 20 1 4
4. Zaenglein AL, Graber EM, Thiboutot OM, Strauss JS. Acne Vulgaris and Acneifonn
Eruptions. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SJ, Glichrest BA, Pa l ier AS, Leffel! DJ,
editor. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw
Hill;20 I 2.h. 1 2 l -27.
5. Baumann L, Keri J. Acne (type I sensitive skin). Dalam : Baumann L, Saghari S, Weissberg
E, editor. Cosmetic Dermatology Principles and Practice, Edisi ke-2 New york : McGraw
Hill;2009.h. 1 2 l -27.
6. Burris J, Rietkerk W. Acne: The role of medical Nutrition therapy. J Acad Nutr Diet.
20 1 3; 1 1 3 :4 1 6-30
7. Kucharska A, Szmurlo A, Sinska B. Significance of diet in treated and untreated acne
vulgaris. Postepy Dennatol Alergol. 20 1 6;33(2): 8 1 -6.
8. Cordain L, Linderberg S, H urtado M, H ill K, Eaton B, Brand-M iller B. Acne vulgaris-a
disease of Western civil ization. Arch Dermatol 2002; 1 38: 1 584-90.
9. Bowe WP, Joshi SS, Shalita AR. Diet and acne. J Am Acad Dermatol. 20 I 0;63( I ): 1 24-4 1 .
10. Fulton J , Plewig G, K ligman A . Effect of Chocolate on Acne Vulgaris. JAMA
1 969;2 I 0:207-4.
11. Anderson PC. Foods as the cause of acne. Am Fam Physician. 1 97 1 ;3 : I 02-3 .
12. Purwaningdyah RAK, Jusuf NK. Profit Penderita Akne Vulgaris pada Siswa-Siswi di SMA
Shafiyyatul Arnaliyyah Medan. E-Joumal Fakultas Kedokteran USU. Vol . I No. I . 20 1 3
13 . Fachry MN, Putra I B. Kualitas H idup Pasien Akne Yulgaris pada Mahasiswi Angkatan
20 1 1 . Karya Tulis Ilmiah, Fakultas Kedokteran Sumatera Utara. 20 1 4
14. Corda in L . Implications for the Role of Diet in Acne, Semin Cutan Med Surg 2005;24:84-9 1 .
15. Cordain L, Eades M, Fades M . Hyperinsulinemic diseases of civil ization: more than just
Syndrome X. Comp Biochem Physiol 2003; 1 36:95- 1 1 2.
16. Wu XK, Sal linen K, Zhou SY, Su Y H , Pollanen P, Erkkola R. Androgen excess contributes
to altered growth hormone/insulin-like growth factor- I axis in non obese women with
polycystic ovary syndrome. Fertil Steril 2000;73 :730-4
17. Edmondson SR, M urashita M M, Russo VC, Wraight CJ, Werther GA. Expression ofinsulin
like growth factor binding protein-3 ( IGFBP-3 ) in Human Keratinocytes is Requlated by
EGF and TGF-� 1 . Cell Physiol 1 999; 1 79:20 1 -7.
18. Cappel M, Mauger D, Thiboutot D. Correlation between serum levels of insulin-like growth
factor- I , dehydroepiandrosterone sulphate, and dehydrotestosterone and acne lesion counts
in adult women, Arch Dermatol 2005; 1 4 1 :333-8.
19. Kaymak Y, Adisen E, l iter N, Bideci A, Gurler D, Celik B. Dietary glycemic index and
glucose, insulin, insulin-like growth factor- l , insulin-like growth factor binding protein 3,
and leptin levels ini patients with acne. J Am Acad Dermatol 2007;57:8 1 9-23.
20. Panjaitan RR, Tata ZZ, Jusuf NK. Hubungan antara indeks glikemik dan beban glikemik
dengan insulin-like growth.factor- I pada pasien akne vulgaris. M DV I . Vol 38 No. Suplemen
Tahun 20 1 1 ; 7 s - 1 3 s
21. Panjaitan JS, Kadri DI, Jusuf NK. H ubungan antara Kadar Insulin-like Growth Factor-I
( IGF- 1 ) Dalam Serum dan Derajat Keparahan Akne Yulgaris. Tesis. l lmu Kesehatan Kulit
dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara 20 1 1
22. Smith RN, Mann NJ, Braue A, Makelainen H , Varigos GA. A low-glycemic- load diet
improves symptoms in acne vulgaris patients: A randomized controlled trial. Am J Clin Nutr.
2007;86( 1 ): 1 07- 1 1 5.
23. Yutrishia L, Jusuf N K, Simanungkalit R. H ubungan Resistensi Insulin dan Akne Yulgaris.
Tesis. I lmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
20 1 6
24. Reynolds RC, Lee S , Choi J Y, et al. Effect of the glycemic index of carbohydrates on acne
vulgaris. Nutrients. 20 I 0;2( I 0): I 060- 1 072.
25. Ismail N H , Manaf ZA, Azizan NZ. H igh glycemic load diet, milk and ice cream
consumption are related to acne vulgaris in Malaysian young adults: a case control study.
BMC Demiatology20 1 2- 1 2: 1 3 . DOI : 1 0. 1 1 86/ 1 47 1 -5945- 1 2- 1 3
26. Rouhani P. Acne improves with a popular, low glycemic diet from South Beach. J A m Acad
Dermatol. 2009;60(3 suppl I ):P706.
27. Adebamowo CA, Spiegelman D, Danby FW, Frazier AL, Willett WC, Holmes M D. H igh
school dietary dairy intake and teenage acne. J Am Acad Dermatol. 2005;52(2):207- 1 4.
28. Adebamowo CA, Spiegelman D, Berkey CS, et al. M i lk consumption and acne in adolescent
girls. Dermatol Online J. 2006; 1 2( 4): l .
29. Adebamowo CA, Spiegelman D, Berkey CS, et al. M ilk consumption and acne in teenaged
boys. J Am Acad Dermatol. 2008;58(5):787-93.
30. Di Landro A, Cazzaniga S, Parazzini F, et al. Family history, body mass index, selected
dietary factors, menstrual history, and risk of moderate to severe acne in adolescents and
young adults. J Am Acad Dermatol. 20 l 2;67(6): l 1 29-35 .
31. K i m J, K o Y, Park Y, K i m N, Ha W, Cho Y. Dietary effect o f lactoferrin enriched
fermented milk on skin surface l ipid and clinical improvement of acne vulgaris. Nutrition.
20 I 0;26(9):902-909.
32. Melnik B. M ilk consumption: Aggravating factor of acne and promoter of chronic diseases
of Western societies. J Ger Soc Dermatol. 2009;7(4):364-70.
33. Rubin M, Kim K, Logan A. Acne vulgaris, mental health and omega-3 fatty acids: A report
of cases. Lipids Health D is . 2008;36(7): 1 -5 .
34. W u TQ, Mei SQ, Zhang JX , e t al. Prevalence and risk factors o f facial acne vulgaris among
Chinese adolescents. Int J Adolesc Med Health. 2007; l 9(4):407- 1 2.
35. Wei B, Pang Y, Zhu H et al. The epidemiology of adolescent acne in North East China. J Eur
Acad Dermatol Venereal. 201 0;24(8):953-57.
36. Burris J, Rietkerk W. Relationship of Self-Reported Dietary Factors and Perceived Acne
Severity in a Cohort of New York Young Adult. J Acad Nutr Diet. 20 1 4; 9; 1 1 4(3 ):384-92
Sj arif M. Wasitaatmadja
Kelompok Studi DermatologiKosmetik Indonesia
Jakarta
PENDAH ULUAN
Akne adalah penyakit kulit yang sering terjadi di I ndonesia. Penyakit ini umumnya
terjadi pada para remaja baik pria maupun wanita namun tidak menutup kemungkinan
terjadi pada anak usia prepubertas maupun orang dewasa postpubertas. Penderita akne
biasanya mulai dengan mengobati penyakitnya dengan cara-cara sendiri dengan obat-obat
konvensional yang terdapat disekitar tempat tinggalnya, dari nasihat orang tuanya atau
para sahabat dekatnya. Bahkan di zaman NOW mereka dapat info dari media social dan
membeli obatnya secara daring. Sehingga bila sudah dalarnkondisi parahlah baru datang
ke dokter umum di Puskemas terdekat atau di tempat praktek pribadi.Dengan demikian
penderita yang dalam kondisi beratlah yang akan menemui dokter Spesialis Kesehatan
Kulit danKelamin di Rumah Sak.it atau di tempat praktek pribadi.
Jadi sangat jelas bahwa penderita akne yang dihadapi adalah penderita yang sudah
banyak berkunjung ke berbagai tempat dari mulai salon kecantikan, bekas usaha
pengobatan sendiri atau usaha dari dokter sebelurnnya yang sudah menggunakan berbagai
obat yang bisa dibeli tanpa resep (OTC), atau obat yang harusnya dibeli dengan resep
dokter atau yang sudah dilakukan berbagai tindakan terapi dari yang ringan maupun yang
invasive.
2. Penduduk Indonesia yang sudah mencapai 250juta dan tersebar di 1 7 .OOOan kepulauan
harus mendapat perlakuan terapi yang memadai dan dapat dipertanggungjawabkan .
3. Sampai saat ini masih terdapat berbagai perbedaan di Indonesia maupun di intemasional
mengenai Definisi, Diagnosis, Klasifikasi, Tingkat Severity, Terapi maupun Evaluasi
keberhasilan atau kegagalan dari penyakit ini.
4. Sehingga dengan demikian basil dari tindakan dan cara terapi tidak dapat dibandingkan
satu dengan lainnya untuk menilai dan memilih cara terbaik dan terefisien.
5. Langkah pertama ini masih mungkin bukan yang terbaik, jadi akan terus dievaluasi
setelah berlangsung beberapa waktu. Dan ini telah dilakukan pada tahun 20 1 5 di
Jakarta dengan diadakannya IAEM 20 1 5 .
Dalarn buku ini terdapat beberapa rekomendasi untuk digunakan para praktisi med is,
yaitu:
DEFlNlSJ
Akne adalah penyakit peradangan kroni s dari folikel pilosebasea yang ditandai
dengan adanya lesi komedo,papul,pustule, nodus dan kista se1ta sisa sequel berupa
hiperpigrnentasi dan parut. Tempat predileksi adalah di muka, leher, bahu,lengan atas,
dada atas dan punggung atas.
KLASIFI KASI
Kami memilih klasifikasi dari Kligman dan Plewig ( 1 976) dengan pemikiran mudah
dan dapat dilakukan secara cepat,yaitu:
1. Akne vulgaris
2. Akne venenata
3. Akne akibat peran fisik baiksinar maupun lainnya.
GRADING
DEFERENTIAL D IAGNOSIS
Karena begitu banyaknya Diagnosis Banding maka untuk memudahkan hanya
dicantumkan DD untuk penderita pubertal dan postpubertal, yaitu:
1. Erupsi akneiformis
2. Rosasea
3. Gram negative folikulitis
4. Keratosis pilaris
5. Papular sarcoidosis
6. Dermatitis perioral
7. Pseudofol ikulitis barbae
8. Tinea facei
9. Siringoma
10. Trikhoepitelioma
11. Silindroma.
TOPIKAL:
I S T L INE: RA, RA+BPO F D/PR : BPO
2ND LINE: AA B PO
3 RD L I N E: RA+BPO, AB BPO
SISTEM I K :
NONE.
MANAGEM EN UNTU K MODERATE ACNE
TOPI KAL:
1 s 1 LINE: RA, AB FD/PR: B PO
2ND LINE: AA, SA, CSIL BPO
3 RD LINE: AA, SA, CSfL BPO
SISTEM I K :
J S ' L I N E : DOX ., FD/PR: E
TOPIKAL:
1 sT LINE: AB FD/PR: BPO
2Nn LINE: AA, SA, CSIL BPO
3 RD LINE: AA, SA, CSIL BPO
SISTEMIK:
1 ST LINE: OAB (QUI,AZI) + cs F D/PR: E
2N° LINE: M -ISOTRET, F-ANDR FD/PR: E
3 RD LINE: F-ISOTRET AF:GCS/CSS FD/PR: E
KETERANGAN:
RA: Retinoic acid, BPO: Bensoil peroksida, AA: Azeleic Acid, AB: Anti Biotik, SA:
Salisilic Acid,
CSIL: Corticosteroid intra lesi. DOX: Doxycyclin, OAB: Other Anti Biotik, QUI:
quinolon, AZI: Azitromisin, E: Eritromisin, ISOTRET: Isotretinoin, M:Male, F: Female,
FD: feeding/PR: Pregnant women, ANDR: Anti Androgen,GCS: Glukocorticoid, CSS:
Corticosteroid Systemic.
TERAPI AJUVAN
Terapi ajuvan adalah terapi tambahan I perawatan yang diberikan bersamaan dengan
terapi yang diberikan untuk mempercepat kesembuhan atau memperbaiki kondisi kulit
waktu pengobatan berlangsung. Terapi ajuvan meliputi:
1. KIE: Komunikasi, Informasi dan Edukasi bagi penderita atau keluarga penderita.
2. Skin care: perawatan kulit baik Cleansing, Moisturizing, Thinning atau Protecting.
3 . Tindakan Minimal Invasive: Chemical peeling, Light Laser Therapy.
4. Cosmeceutical application : Niasinarnide, ABA, Zinc PCA.
MAINTENANCE THERAPY
1. KIE
2. Skin care
3 . Retinoic acid topical low concentration selama 6 bulan.
4. Cosmeceutical application: Niacinamide, ABA, Zinc PCA.
RESUME
Buku Pedoman Tatalaksana Akne di Indonesia disusun untuk membantu para praktisi
medis di Indonesia untuk mengobati Akne dengan cara yang lebih terstruktur agar dapat
hasil yang lebih baik dan lebih aman. Buku tersebut diharapkan dapat meminimalisasi
terjadinya misuse dan abuse dalam terapi akne oleh para dokter di Indonesia. Dan tentunya
bila itu dilakukan diharapkan dapat meningkatkan kondisi kesehatan warga Negara ini ke
tahap yang lebih baik.
Semoga.
DAFTAR PUSTAKA:
Resume Hasil
Indonesian Acne Expert Meeting 2015
Editor
SJARIF M. WASITAATMADJA
ABRAHAM ARIMUKO
LIUK N�WATI
IRMA
LILI
I NDEKS
D F
H Kamuflase kosmetik, I 79
Kanak-kanak, 68
Halogenated compounds, 1 1
Karbamazepin, 1 35
H idrogenase 3 beta, 7 beta, 3
Katalase, 1 49
High strength recommendation, 1 33
Kedelai, I 77
Hiperinsulinemia, 1 3
Kehamilan, 63
H ipertensi intracranial, 1 36
Keloid, 20, 1 62
Hipervitaminosis A, 1 35
Keratosis pilaris, 5 1
Hydroquinone, 1 74
Keratosis plug, 5 1
Hyperinsulinemia, 1 4 1
Ketokonazo, 1 351
Hyperplasia adrenal congenital, 1 1 , I 00
Kista, 1 9
Hyperplasia sebasea, 47
Klasifikasi B loch, 27
Hypertrophic scar, 1 6 l
Klasifikasi Cunliffe, 28
Klasifikasi Domonkos, 27
I
Klasifikasi Kligrnan Plewig, 27
Jce pick scar, 1 9, 1 53, 1 6 1 , 1 62 Klasifikasi Strauss, 28
IGF binding protein-3, 1 4 1 Klasifikasi Zaenglein Graber Thiboutot,28
lklim, 62 Klasifikasi Zaenglein Thiboutot, 28
Jmidazol, 1 35 Klindamisin topical, 1 8
Jmiquimod, 1 57 Klindamisin, 1 39
lndeks glikemik, 1 2, 1 89, 1 9 1 Komedo ekstraktor, 2 1
0 Punch elevasi, 1 67
Punch graft, 1 67
Obesitas, 62
Pustule, 1 8
Occupational acne, 50
OksisikJin, 1 24
Oligomenorrhoe, 1 1 Q
Omega 3, 1 4
R
Omega 6, 1 4
Open-labelled single center, 1 20 Randomized-control trial 1 L 7,
OrtoTri Cyclen, 1 40 Reactive oxygen specific, 1 23
Osteoma cutis, 49 Reduktase 5 alfa, 3
Over the counter, 70 Relaps adolescent acne, 56
Retinoid topical, 1 1 0
p Rias mata, 79
Rolling scar, 1 9, 1 53, 1 6 1 , 1 62
P. acnes, 2,4,22,86, 1 1 0, 1 34, 1 89
Rosasea, 88
Papul, 1 8
Rosaseatipe papulopustular, 5 1
Parut akne, 1 9
Pediatric, 68
s
Peeling kimiawi, 1 1 2, 1 63
Pelembab, 80 Sabun, 80
Pembersih, 80 Sapienic acid, 5
Peroxisome proliferator activated receptor Sarcoidosis popular, 89
(PPAR), 3,96 Sebutape, 23
Persistent acne, 56 Sel dendrite CD 1 b, 6
Peudoacne of nasal crease, 50,5 1 Sel makrofag CD209, 6
Peudomonas aeruginosa, 89 Sel sebosit SZ95, 6
Photo dynamic therapy (PDT), 1 29 Self- limited disease, 1
Photostabi le, 1 1 1 Sendok Unna, 2 1
Phychosocial Impact, 64 Sequele, 64
Pigmen DC, 78 Serum-sickness like reaction, 1 24
Poly Cystic Ovarian Syndrome, 60 Sex hormone binding globulin (SH BG),
Porfirin, 1 29 60,96
Post adolescent acne, 55 SikJus menstrual, 59
Premenstrual fare, 1 1 Silikon, 1 57
Premenstrual flare up, 5 7 Sindrom A pert, l 03
Produk rambut, 8 1 Sindrom Cushing, I 00
Progestin, 1 24 Sindrom ovarium polikistik (PCOS), 1 1 ,99
Prostaglandin D2, 1 72 Sindrom PAPA, I 04
Prostaglandin E2, 1 7 1 Sindrom SAHA, I 02
Pseudoacne of nasal crease, 5 1 Sindrom SAPHO, 1 03
Pseudofolikulitis barbae, 52 Sindrom Apert, 50
Pulse dyelaser (PDL), 1 29 Sindrom Favre-Rocouchot, 49