Anda di halaman 1dari 33

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Paradigma
Paradigma penelitian kualitatif dilakukan melalui proses induktif, yaitu
berangkat dari konsep khusus ke umum, konseptualisasi, kategorisasi dan
deskripsi yang dikembangkan berdasarkan masalah yang terjadi di lokasi
penelitian. Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data dapat dilakukan secara
simultan dengan analisis data selama penelitian berlangsung. Selanjutnya, Patton
mendefenisikan paradigma sebagai berikut (Patton dalam Ghony, 2012: 73):
“A paradigm is a world view, a general perspective, a way of breaking
down the complexity of the real world. As much paradigms are deeply
embedded in the socialization of adherents and practicioners telling them
what is important, what is legitimate, what is reasonable. Paradigms are
normative; they tell the practicioner what to do with out the necessity of
long existencial or epistemological consideration. But it is this aspect of a
paradigms that constitutes both its strength and its weakness-its strength
in that it make action possible, its weakness in that very reason for action
is hidden in the unquestioned assumptions of the paradigm.”

Jadi, menurut Patton yang dimaksud dengan paradigma dalam penelitian


adalah suatu perspektif umum atau cara untuk memisah-misahkan dunia nyata
yang kompleks, kemudian memberikan arti atau makna dan penafsiran-penafsiran.
Paradigma itu lebih dari sekadar orientasi metodologi.
Paradigma bukan saja memungkinkan suatu disiplin ilmu dapat
menjadikan berbagai fenomena menjadi masuk akal, melainkan juga memberikan
suatu kerangka di mana fenomena tersebut dapat ditunjukkan sebagai sesuatu
yang memang ada. Dalam arti yang paling nyata, untuk memahami paradigma,
kita harus memahami proses bagaimana paradigma itu ditemukan. Artinya,
bagaimana paradigma itu menjadi cara untuk melihat fenomena tertentu.
Paradigma kualitatif mencanangkan pendekatan humanistik untuk
memahami realitas sosial para idealis, yang memberikan suatu tekanan pada
pandangan yang terbuka tentang kehidupan sosial. Paradigma kualitatif
memandang kehidupan sosial sebagai kreativitas bersama individu-individu.
Kebersamaan inilah yang menghasilkan suatu realitas yang dipandang secara

Universitas Sumatera Utara


objektif dan dapat diketahui oleh semua peserta yang melakukan interaksi sosial.
Dasar dalam paradigma kualitatif dalam mengonseptualisasikan dunia sosial
adalah pengembangan konsep-konsep dan teori-teori grounded dalam data.
Artinya, konsep dan teori dibentuk berdasarkan data sehingga data merupakan
sumber sekaligus verifikasi teori atau konsep tersebut. Konsep-konsep itu disebut
sebagai first order concepts yang sangat penting untuk mengembangkan second
order concepts, yaitu konsep-konsep yang muncul pada saat mencoba
menerangkan fenomena sosial. Fokus pada makna-makna sosial dan penekanan
bahwa makna-makna sosial tersebut hanya dapat dipahami dalam konteks
interaksi antarindividu sehingga hal tersebut membedakan paradigma sosial ini
dengan model ilmu pengetahuan alam.
Pendekatan kualitatif mempunyai asumsi bahwa pemahaman tingkah laku
manusia itu tidak cukup diperoleh hanya dari surface behaviour, tetapi tidak kalah
pentingnya adalah inner perspective of human behaviour, sebab dari sini akan
diperoleh gambaran yang utuh tentang manusia dan dunianya. Secara singkat,
paradigma kualitatif memiliki ciri-ciri fenomenologis, induktif, inner behaviour
dan holistik.
Penelitian kualitatif yang baik menyediakan pemerhatian deskriptif yang
sistematis dan berdasarkan konteks. Pendekatan ini memberikan ruang bagi
peneliti untuk mempelajari suatu sistem serta hubungan semua aktivitas dalam
sistem tersebut yang dapat dilihat secara total dan bukan secara bagian saja.
Paradigma penelitian kualitatif adalah pendekatan sistematis dan subjektif dalam
menjelaskan pengalaman hidup berdasarkan kenyataan lapangan (empiris),
bahkan terus berkembang di dunia sains dan pendidikan. Proses penelitian ini
dijalankan melalui pemahaman tentang pengalaman manusia dalam aneka bentuk.
Penelitian kualitatif lebih berorientasi pada upaya memahami fenomena
secara menyeluruh. Pendekatan semacam ini lebih konsisten dengan filosofi
holistik di bidang sains sosial dan pendidikan. Penelitian kualitatif berangkat dari
ilmu perilaku manusia dan ilmu sosial, hakikat dari holistik bagi manusia melalu
penelahaannya terhadap orang-orang dalam interaksinya dengan latar sosial.
Menurut pendapat Maxwell (1996), kelebihan paradigma kualitatif antara
lain (Ghony, 2012: 77):

Universitas Sumatera Utara


a. Pemahaman makna, makna merujuk pada kognisi, afeksi, intensi dan apa
saja yang berada di bawah payung participant’s perspectives (perspektif
partisipan). Perspektif para informan tidak terbatas pada laporan mereka
ihwal satu kejadian/fenomena, tetapi juga pada apa yang ada di balik
perspektif itu. Peneliti bukan saja tertarik pada satu aspek fisik dari
kejadian itu, melainkan juga bagaimana mereka memaknai semua itu dan
bagaimana makna itu mempengaruhi tingkah laku informan. Fokus pada
makna seperti itu sangatlah mendasar bagi mazhab interpretatif dalam
studi ilmu sosial.
b. Pemahaman konteks tertentu, dalam penelitian kualitatif perilaku informan
dilihat dalam konteks tertentu dan pengaruh konteks terhadap tingkah
laku. Peneliti kualitatif lazimnya berkonsentrasi pada sejumlah orang atau
situasi yang relatif sedikit dan perhatiannya terkuras habis-habisan pada
analisis kekhasan kelompok atau situasi itu saja. Pengumpulan data dari
banyak informan atau situasi tidaklah menarik bagi peneliti kualitatif.
Justru dengan pisau kualitatif para peneliti mampu membedah kejadian,
situasi, perilaku dan bagaimana semua itu dipengaruhi oleh sang situasi
yang perkasa.
c. Identifikasi fenomena dan pengaruh yang tidak terduga. Bagi peneliti
kualitatif, setiap informasi, kejadian, perilaku, suasana dan pengaruh baru
adalah terhormat dan berpotensi sebagai data untuk menyokong hipotesis
kerja.
d. Kemunculan teori berbasis data (grounded theory). Teori yang sudah jadi,
pesanan atau apriori tidak mengesankan kaum naturalis karena teori ini
akan kewalahan apabila disergap oleh informasi, kejadian, perilaku,
suasana dan pengaruh baru dalam konteks baru.
e. Pemahaman proses, para peneliti naturalis berupaya untuk lebih
memahami proses daripada produk kejadian atau kegiatan yang sedang
diamati. Proses yang membantu perwujudan fenomena itulah yang paling
berkesan, bukan fenomena itu sendiri.

Universitas Sumatera Utara


2.1.1 Paradigma Konstruktivisme
Pemikiran konstruktivis bukan sesuatu yang baru. Ada yang merunutnya
sampai pada Glambatista Vico (1710), seorang epistemolog dari Italia yang
meyakini bahwa manusia adalah pencipta makna. Ia mengatakan “mengetahui
berarti mengetahui bagaimana membuat sesuatu.” Hal ini bermakna bahwa
mengetahui adalah merekonstruksi. Kant juga dianggap sebagai penggagas
konstruktivis karena meyakini pengetahuan manusia adalah hasil olah rasio
memanfaatkan bahan mentah dari indra. Manusialah yang secara aktif
membangun dan merumuskan pengetahuan. Pemikiran ini dilanjutkan oleh Piaget
dalam teori perkembangan kognitif. Ini tidak mengherankan karena Piaget adalah
penganut NeoKanianisme. Psikologi Rusia, Vygotsky menajamkan
konstruktivisme ini menjadi konstruktivisme sosial karena meyakini pemikiran
dan perilaku anak turut ditentukan oleh relasi-relasi sosial di mana ia dibesarkan
dan peran bahasa sangat penting di sini (Putra, 2013: 48))
Paradigma ini hampir merupakan antitesis terhadap paham yang
menempatkan pentingnya pengamatan dan objektivitas dalam menemukan suatu
realitas atas ilmu pengetahuan. Secara tegas paham ini menyatakan bahwa
positivisme dan post-postivisme keliru dalam mengungkapkan realitas dunia dan
harus ditinggalkan serta digantikan oleh paham yang bersifat konstruktif. Secara
ontologis, aliran ini menyatakan bahwa realitas itu ada dalam beragam bentuk
konstruksi mental yang didasarkan pada pengalaman sosial, bersifat lokal dan
spesifik, serta tergantung pada sikap yang melakukannya. Karena itu, realitas
yang diamati oleh seseorang tidak bisa digeneralisasikan kepada semua orang
sebagaimana yang biasa dilakukan di kalangan positivis atau post-positivis. Atas
dasar filosofis ini, aliran ini menyatakan bahwa hubungan epistemologis antara
pengamat dan objek merupakan satu kesatuan, subjektif dan merupakan hasil
perpaduan di antar keduanya (Salim, 2006: 71).
Secara metodologis, aliran ini menerapkan metode hermenautika dan
dialektika dalam proses mencapai kebenaran. Metode pertama dilakukan melalui
identifikasi kebenaran atau konstruksi pendapat orang per orang yang diperoleh
melalui metode pertama, untuk memperoleh suatu konsensus kebenaran yang
disepakati bersama. Dengan demikian, hasil akhir dari suatu kebenaran

Universitas Sumatera Utara


merupakan perpaduan pendapat yang bersifat relatif, subjektif dan spesifik
mengenai hal-hal tertentu.
Tabel 1.1
TIGA PARADIGMA ILMU SOSIAL
Positivisme dan Post- Konstruktivisme Teori
positivisme (Interpretif) Kritis
Menempatkan ilmu sosial Memandang ilmu sosial Mentakrifkan ilmu sosial
seperti ilmu alam, yaitu sebagai analisis sistematis sebagai proses kritis
metode terorganisir untuk atas “socially meaningfull mengungkap ‘the real
mengkombinasikan action” melalui pengamatan structure’ di balik ilusi dan
‘deductive logic’ melalui langsung terhadap aktor kebutuhan palsu yang
pengamatan empiris, agar sosial dalam setting yang ditampakkan dunia materi,
mendapatkan konfirmasi alamiah, agar dapat guna mengembangkan
tentang hukum kausalitas memahami dan menafsirkan kesadaran sosial untuk
yang dapat digunakan bagaimana aktor sosial memperbaiki kondisi
memprediksi pola umum mencipta dan memelihara kehidupan subjek penelitian.
gejala sosial tertentu. dunia sosial.
Contoh Teori Contoh Teori Contoh Teori
Ekonomi Politik Liberal Konstruktivisme Ekonomi Struktualisme Ekonomi Politik
Teori Modernisasi, teori Politik (Golding dan (Schudson).
pembangunan negara. Murdock). Instrumentalisme Ekonomi
Interaksionisme simbolik Fenomenologi, Politik (Chomsky, Gramsci,
(Iowa School). Etnometodologi. dan Adorno).
Agenda Setting, Teori Interaksi Simbolik (Chicago Teori Tindakan Komunikasi
Fungsi Media. School). (Jurgen Habermas).
Konstruksionisme (Social
construction of reality Peter
L. Berger).

(Sumber: Salim, 2006: 72)


Pada tradisi ilmu sosial interpretivisme, manusia lebih dipandang sebagai
makhluk rohaniah. Dalam pandangan ini, manusia selaku makhluk sosial, sehari-

Universitas Sumatera Utara


hari bukanlah “berperilaku” melainkan “bertindak”. Sebab istilah “perilaku”
berkonotasi mekanistik alias bersifat otomatis. Padahal, “tingkah laku sosial”
manusia senantiasa melibatkan niat tertentu, pertimbangan tertentu atau alasan-
alasan tertentu. Dengan kata lain “tingkah laku sosial” manusia melibatkan
kesadaran sosial tertentu. Itulah sebabnya (mengapa) Weber memunculkan istilah
tindakan sosial (social action), dan buka perilaku sosial (social behavior).
Manusia itu bertindak, bukan berperilaku. Istilah bertindak (action) mempunyai
konotasi tidak otomatis/mekanistik, melainkan melibatkan niat, kesadaran dan
alasan-alasan tertentu. Ia bersifat intensional. Ia melibatkan makna dan
interpretasi yang tersimpan di dalam diri sang manusia pelaku sesuatu tindakan
(Bungin, 2003: 27)

2.1.2 Studi Fenomenologi


Sebuah penelitian fenomenologi adalah penelitian yang mencoba
memahami persepsi masyarakat, perspekstif dan pemahaman dari situasi tertentu
(atau fenomena). Dengan kata lain, sebuah penelitian fenomenologi mencoba
untuk menjawab pertanyaan “Bagaimana rasanya mengalami hal ini dan itu?”.
Dengan melihat berbagai perspektif dari situasi yang sama, peneliti dapat
memulai membuat beberapa generalisasi atas sebuah pengalaman dari perspektif
insider.
Fenomenologi sebagai metode penelitian dapat dipandang sebagai studi
tentang fenomena, studi tentang sifat dan makna. Penelitian semacam ini terfokus
pada cara bagaimana kita mempersepsi realitas yang tampak melalui pengalaman
atau kesadaran. Jadi, tugas peneliti fenomenologi bertujuan menggambarkan
tekstur pengalaman sehingga pengalaman itu sendiri makin kaya. Penelitian
fenomenologi murni lebih menekankan pada penggambaran (deskripsi) daripada
penjelasan atas semua hal, tetapi tetap memperhatikan sudut pandang yang bebas
dari hipotesis atau praduga (Fouche dalam Sobur, 2013: 11).
Menurut Scheglof dan Sacks, dalam melakukan penelitian fenomenologi
tugas peneliti adalah merekam kondisi sosial, sehingga memungkinkan untuk
pendemonstrasian cara-cara yang dilakukan informan. Pada saat inilah peneliti
membuat interpretasi tentang makna perbuatan dan pikiran mereka akan struktur

Universitas Sumatera Utara


keadaan. Analisis terhadap tindakan informan ini merupakan teknik yang sering
digunakan fenomenologi untuk menggambarkan bagaimana manusia berpikir
tentang dirinya sendiri melalui pembicaraan. Selain itu juga untuk mengetahui
bagaimana manusia berpikir tentang pembicaraan mereka berdasarkan
pengetahuan yang dimiliki. Dengan demikian analisis fenomenologi mempunyai
prosedur yang sifatnya individual (Kuswarno, 2013: 48).
Berikut akan dikemukakan tahapan-tahapan penelitian fenomenologi
transedental dari Husserl:
a. Epoche
Epoche berasal dari bahasa Yunani yang berarti “menjauh dari” dan “tidak
memberikan suara”. Husserl menggunakan epoche untuk term bebas dari
prasangka. Dengan epoche, kita menyampingkan penilaian, bias dan
pertimbangan awal yang kita miliki terhadap suatu objek. Dengan kata lain,
epoche adalah pemutusan hubungan dengan pengalaman dan pengetahuan, yang
kita miliki sebelumnya.
Dalam penelitian fenomenologi, epoche ini harus mutlak ada. Terutama
ketika menempatkan fenomena dalam tanda kurung (bracketing method).
Memisahkan fenomena dari keseharian dan dari unsur-unsur fisiknya dan ketika
mengeluarkan “kemurnian” yang ada padanya. Jadi epoche adalah cara untuk
melihat dan menjadi, sebuah sikap mental yang bebas.
Oleh karena epoche memberikan cara pandang yang sama sekali baru
terhadap objek, maka dengan epoche kita dapat menciptakan ide, perasaan,
kesadaran dan pemahaman yang baru. Epoche membuat kita masuk ke dalam
dunia internal yang murni, sehingga memudahkan untuk pemahaman akan diri
dan orang lain. Dengan demikian tantangan terbesar ketika melakukan epoche ini
adalah terbuka atau jujur dengan diri sendiri. Terutama ketika membiarkan objek
yang ada di depan kesadaran memasuki area kesadaran kita dan membuka dirinya
sehingga kita dapat melihat kemurnian yang ada padanya. Tanpa dipengaruhi oleh
segala hal yang ada dalam diri kita.
Segala sesuatu yang berhubungan dengan orang lain, seperti persepsi,
pilihan, penilaian dan perasaan orang lain harus dikesampingkan juga dalam
epoche ini. Hanya persepsi dan tindakan sadar kitalah yang menjadi titik untuk

Universitas Sumatera Utara


menemukan makna, pengetahuan dan kebenaran. Sehingga pada praktiknya,
epoche memerlukan kehadiran, perhatian dan konsentrasi, demi mencapai cara
pandang yang radikal.

b. Reduksi Fenomenologi
Ketika epoche adalah langkah awal untuk “memurnikan” objek dari
pengalaman dan prasangka awal, maka tugas dari reduksi fenomenologi adalah
menjelaskan dalam susunan bahasa bagaimana objek itu terlihat. Tidak hanya
dalam term objek eksternal, namun juga kesadaran dalam tindakan internal,
pengalaman, sedangkan tantangan ada pada pemenuhan sifat-sifat alamiah dan
makna dari pengalaman.
Reduksi akan membawa kita kembali kepada bagaimana kita mengalami
sesuatu. Memunculkan kembali sifat-sifat alamiahnya. Reduksi fenomenologi
tidak hanya sebagai cara untuk melihat, namun juga cara untuk mendengar suatu
fenomena dengan kesadaran hati-hati. Singkatnya reduksi adalah cara untuk
melihat dan mendengar fenomena dalam tekstur dan makna aslinya.

c. Variasi Imajinasi
Tugas dari variasi imajinasi adalah mencari makna-makna yang mungkin
dengan memanfaatkan imajinasi, kerangka rujukan, pemisahan dan pembalikan,
serta pendekatan terhadap fenomena dari perspektif, posisi, peranan dan fungsi
yang berbeda. Tujuannya tiada lain untuk mencapai deskripsi struktural dari
sebuah pengalaman.
Target dari fase ini adalah makna dan bergantung dari intuisi sebagai jalan
untuk mengintegrasikan struktur ke dalam esensi fenomena. Dalam berpikir
imajinatif, kita dapat menemukan makna-makna potensial yang dapat membuat
sesuatu yang asalnya tidak terlihat menjadi terlihat jelas. Membongkar hakikat
fenomena dengan memfokuskannya pada kemungkinan-kemungkinan yang murni
adalah inti dari variasi imajinatif.
Pada tahap ini, dunia dihilangkan, segala sesuatu menjadi mungkin. Segala
pendukung dijauhkan dari fakta dan entitas yang dapat diukur dan diletakkan pada

Universitas Sumatera Utara


makna dan hakikatnya. Dalam kondisi seperti ini, intuisi tidak lagi empiris namun
murni imajinatif.

d. Sintetis Makna dan Esensi


Merupakan tahap akhir dalam penelitian fenomenologi. Fase ini adalah
integrasi intuitif dasar-dasar deskripsi tekstural dan struktural ke dalam suatu
pernyataan yang menggambarkan hakikat fenomena secara keseluruhan.
Husserl mendefinisikan esensi sebagai sesuatu yang umum dan berlaku
universal, kondisi atau kualitas menjadi sesuatu tersebut. Esensi tidak pernah
terungkap secara sempurna. Sintesis struktur tekstural yang fundamental akan
mewakili esensi ini dalam waktu dan tempat tertentu dan sudut pandang imajinatif
dan studi reflektif seseorang terhadap fenomena.

2.2 Uraian Teoritis


2.2.1 Fenomenologi
Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani phainomai yang berarti
“menampak”. Phainomenon merujuk pada “yang menampak”. Fenomena tiada
lain adalah fakta yang disadari, dan masuk ke dalam pemahaman manusia. Jadi
suatu objek itu ada dalam relasi dengan kesadaran. Fenomena bukanlah dirinya
seperti tampak secara kasat mata, melainkan justru ada di depan kesadaran, dan
disajikan dengan kesadaran pula. Berkaitan dengan hal ini, maka fenomenologi
merefleksikan pengalaman langsung manusia, sejauh pengalaman itu secara
intensif berhubungan dengan suatu objek (Kuswarno, 2013: 1).
Menurut The Oxford English Dictionary, yang dimaksud dengan
fenomenologi adalah (a) the science which describes and classifies as distinct for
being (ontology), dan (b) division of any science which describes and classifies its
phenomena. Jadi, fenomenologi adalah ilmu mengenai fenomena yang dibedakan
dari sesuatu yang sudah menjadi, atau disiplin ilmu yang menjelaskan dan
mengklasifikasikan fenomena atau studi tentang fenomena. Dengan kata lain,
fenomenologi mempelajari fenomena yang tampak di depan kita dan bagaimana
penampakannya.

Universitas Sumatera Utara


Dewasa ini fenomenologi dikenal sebagai aliran filsafat sekaligus metode
berpikir, yang mempelajari fenomena manusiawi (human phenomena) tanpa
mempertanyakan penyebab dari fenomena itu, relitas objektifnya dan
penampakannya. Fenomenologi tidak beranjak dari kebenaran fenomena seperti
yang tampak apa adanya, namun sangat meyakini bahwa fenomena yang tampak
itu, adalah objek yang penuh dengan makna transedental. Oleh karena itu, untuk
mendapatkan hakikat kebenaran, maka harus menerobos melampaui fenomena
yang tampak itu.
Tujuan utama fenomenologi adalah mempelajari bagaimana fenomena
dialami kesadaran, pikiran dan dalam tindakan, seperti bagaimana fenomena
tersebut bernilai atau diterima secara estetis. Fenomenologi mencoba mencari
pemahaman bagaimana manusia mengkonstruksi makna dan konsep-konsep
penting, dalam kerangka intersubjektivitas. Intersubjektivitas karena pemahaman
kita mengenai dunia dibentuk oleh hubungan kita dengan orang lain. Walaupun
makna yang kita ciptakan dapat ditelusuri dalam tindakan, karya dan aktivitas
yang kita lakukan, tetap saja ada peran orang lain di dalamnya (Kuswarno, 2013:
2).

2.2.2 Sejarah Fenomenologi


Dewasa ini, fenomenologi dikenal sebagai aliran filsafat sekaligus metode
berpikir yang mempelajari fenomena manusiawi (human phenomena) tanpa
mempertanyakan penyebab dari fenomena tersebut serta realitas objektif dan
penampakannya.
Fenomenologi sebagai salah satu cabang filsafat pertama kali
dikembangkan di universitas-universitas Jerman sebelum Perang Dunia I,
khususnya oleh Edmund Husserl, yang kemudian dilanjutkan oleh Martin
Heidegger dan yang lainnya, seperti Jean Paul Sartre. Selanjutnya Sartre
memasukkan ide-ide dasar fenomenologi dalam pandangan eksistensialisme.
Adapun yang menjadi fokus eksistensialisme adalah eksplorasi kehidupan dunia
makhluk sadar atau jalan kehidupan subjek-subjek sadar (Kuswarno, 2009: 3).
Fenomenologi tidak dikenal setidaknya sampai menjelang abad 20. Abad
ke-18 menjadi awal digunakannya istilah fenomenologi sebagai nama teori

Universitas Sumatera Utara


tentang penampakan yang menjadi dasar pengetahuan empiris atau penampakan
yang diterima secara inderawi. Istilah tersebut diperkenalkan oleh Johan Heinrich
Lambert. Sesudah itu, filosofi Immanuel Kant mulai sesekali menggunakan istilah
fenomenologi dalam tulisannya. Pada tahun 1889, Franz Brentano menggunakan
fenomenologi untuk psikologi deskriptif, di mana menjadi awalnya Edmund
Husserl mengambil istilah fenomenologi untuk pemikirannya mengenai
“kesengajaan”.
Sebelum abad ke-18, pemikiran filsafat terbagi menjadi dua aliran yang
saling bertentangan. Adalah aliran empiris yang percaya bahwa pengetahuan
muncul dari penginderaan. Dengan demikian kita mengalami dunia dan melihat
apa yang sedang terjadi. Bagi penganut empiris, sumber pengetahuan yang
memadai itu adalah pengalaman. Akal yang dimiliki manusia bertugas untuk
mengatur dan mengolah bahan-bahan yang diterima oleh panca indera. Sedangkan
di sisi lain terdapat aliran rasionalisme yang percaya bahwa pengetahuan timbul
dari kekuatan pikiran manusia atau rasio. Hanya pengetahuan yang dipeoleh
melalui akal lah yang memenuhi syarat untuk diakui sebagai pengetahuan ilmiah.
Aliran ini juga mempercayai pengalaman hanya dapat dipakai untuk
mengukuhkan kebenaran yang telah diperoleh oleh rasio. Akal tidak memerlukan
pengalaman dalam memperoleh pengetahuan yang benar sebab akal dapat
menurunkaan kebenaran tersebut dari dirinya sendiri (Kuswarno, 2009: 3-4).
Dari dua pemikiran yang berbeda tersebut, Immanuel Kant muncul untuk
menjembatani keduanya. Menurutnya, pengetahuan adalah apa yang tampak
kepada kita atau fenomena. Sedangkan fenomena sendirinya dan merupakan hasil
sintesis antara penginderaan dan bentuk konsep dari objek. Sejak pemikiran
tersebut menyebar luas, fenomena menjadi titik awal pembahasan para filsuf pada
abad ke-18 dan 19 terutama tentang bagaimana sebuah pengetahuan dibangun.
Fenomenologi bagi seorang Husserl adalah gabungan antara psikologi dan
logika. Fenomenologi membangun penjelasan dan analisis psikologi tentang tipe-
tipe aktivitas mentalsubjektif, pengalaman dan tindakan sadar. Namun, pemikiran
Husserl tersebut masih membutuhkan penjelasan yang lebih lanjut khususnya
mengenai “model kesengajaan”. Pada awalnya, Husserl mencoba untuk
mengembangkan filsafat radikal atau aliran filsafat yang menggali akar-akar

Universitas Sumatera Utara


pengetahuan dan pengalaman. Hal ini didorong oleh ketidakpercayaan
terhadap aliran positivistik yang dinilai gagal memanfaatkan peluang membuat
hidup lebih bermakna karena tidak mampu mempertimbangkan masalah nilai dan
makna. Fenomenologi berangkat dari pola pikir subjektivisme yang tidak hanya
memandang dari suatu objek yang tampaknamun berusaha menggali makna di
balik setiap gejala tersebut (Kuswarno, 2009: 6).
Pada tahun-tahun berikutnya, pembahasan fenomenologi berkembang
tidak hanya pada tataran “kesengajaan”, namun juga meluas kepada kesadaran
sementara, intersubjektivitas, kesengajaan praktis dan konteks sosial dari tindakan
manusia. Tulisan-tulisan Husserl memainkan peran yang amat besar dalam hal ini.
Saat ini fenomenologi dikenal sebagai suatu disiplin ilmu yang kompleks,
karena memiliki metode dan dasar filsafat yang komprehensif dan mandiri.
Fenomenologi juga dikenal sebagai pelopor pemisah antara ilmu sosial dari ilmu
alam, yang mempelajari struktur tipe-tipe kesadaran dalam pengalaman pada
akhirnya membuat makna dan menentukan isi dari penampakannya.

2.2.3 Perkembangan Fenomenologi saat ini


Saat ini fenomenologi lebih dikenal sebagai suatu disiplin ilmu yang
kompleks, karena memiliki metode dan dasar filsafat yang komprehensif dan
mandiri. Fenomenologi juga dikenal sebagai pelopor pemisahan ilmu sosial dan
ilmu alam. Harus diakui, fenomenologi telah menjadi tonggak awal dan sandaran
bagi perkembangan ilmu sosial hingga saat ini. Tanpanya, ilmu sosial masih
berada di bawah cengkraman positivistik yang menyesatkan tentang pemahaman
manusia dan realitas.
Sebagai disiplin ilmu, fenomenologi adalah studi yang mempelajari
fenomena, seperti penampakan segala hal yang muncul dalam pengalaman kita,
cara kita mengalami sesuatu dan makna yang kita miliki dalam pengalaman kita.
Kenyataannya, fokus perhatian fenomenologi lebih luas dari sekedar fenomena
yakni pengalaman sadar dari sudut pandang orang pertama (yang mengalaminya
secara langsung).
Pada dasarnya fenomenologi mempelajari struktur tipe-tipe kesadaran,
yang terentang dari persepsi, gagasan, memori, imajinasi, emosi, hasrat, kemauan

Universitas Sumatera Utara


sampai tindakan, baik itu tindakan sosial maupun dalam bentuk bahasa.
Struktur dalam bentuk-bentuk kesadaran inilah yang oleh Husserl dinamakan
dengan “kesengajaan” yang terhubung langsung dengan sesuatu. Struktur
kesadaran dalam pengalaman ini yang pada akhirnya membuat makna dan
menentukan isi dari pengalaman (content of experience). “Isi” ini sama sekali
berbeda dengan “penampakannya” , karena sudah ada penambahan makna
padanya. Adapun dasar struktur kesadaran yang disengaja, dapat ditemukan dalam
analisis refleksi, termasuk menemukan bentuk-bentuk yang lebih jauh dari
pengalaman (Kuswarno, 2013: 22).
Berikut adalah bentuk-bentuk laporan yang dapat dibangun melalui
pendekatan fenomenologi:
1. Kesadaran temporal
2. Ruang kesadaran (persepsi)
3. Perhatian (misalnya kegiatan memfokuskan sesuatu dari hal kecil atau
hal umum yang ada di sekelilingnya)
4. Kesadaran dari seseorang
5. Pengalaman sadar seseorang
6. “Diri” dalam peranan yang berbeda-beda (ketika berpikir atau
bertindak)
7. Kesadaran akan gerakan dan kehadiran orang lain
8. Tujuan dan kesengajaan dari tindakan
9. Kesadaran akan orang lain (dalam bentuk empati, intersubjektif dan
kolektivitas).
10. Aktivitas berbahasa (memahami makna orang lain dan komunikasi).
11. Interaksi sosial dan aktivitas sehari-hari dalam lingkungan budaya
tertentu.

Berkaitan dengan “kesengajaan”, diperlukan suatu kondisi atau latar


belakang, yang memungkinkan bekerjanya struktur kesadaran dalam pengalaman.
Kondisi tersebut mencakup perwujudan, keterampilan jasmani, konteks budaya,
bahasa, praktek sosial dan aspek-aspek demografis dari sebuah aktivitas yang
disengaja.

Universitas Sumatera Utara


Fenomenologi akan membawa pemahaman dari pengalaman sadar, pada
kondisi yang akan membantu memberi pengalaman “kesengajaan” tersebut.
Dengan demikian, fenomenologi tradisional telah memfokuskan pada pengalaman
subjektif, pengalaman praktis dan kondisi-kondisi sosial dari pengalaman tersebut.
Fokus fenomenologi ini berbeda dengan Philosophy of Mind, yang
menggarisbawahi kajiannya pada neural subtrate dari sebuah pengalaman. Yaitu
bagaimana cara kerja pengalaman sadar, representasi mental atau kesengajaan
dalam otak manusia. Oleh karena itu banyak juga kajian Philosophy of Mind yang
justru adalah kajian dari fenomenologi. Misalnya saja kondisi kultural yang
sepertinya lebih dekat dengan pengalaman dan merupakan konsep yang tidak
asing dalam pemahaman diri, ketimbang kerja elektro kimia otak (Kuswarno,
2013: 23).
Walau demikian banyak sedikitnya ketergantungan manusia pada
mekanika kuantum, ditentukan oleh kondisi fisik seseorang. Simpulan yang dapat
diambil, sebagai sebuah disiplin ilmu, fenomenologi mempelajari struktur
pengalaman sadar (dari sudut pandang orang pertama). Bersama dengan kondisi-
kondisi yang relevan. Sehingga fenomenologi akan memimpin kita semua pada
latar belakang dan kondisi-kondisi di balik sebuah pengalaman. Pusat dari struktur
kesadaran adalah “kesengajaan”, yakni bagaimana makna dan isi pengalaman
terhubung langsung dengan objek.
Berkenaan dengan sangat luasnya bidang kajian fenomenologi ini, maka
kemudian tipe-tipe fenomenologi didefinisikan berdasarkan bidang kajian utama,
metode dan hasilnya. Pengalaman sadar itu memiliki ciri-ciri yang istimewa,
seperti harus mengalaminya sendiri, hidup bersama mereka dan memainkannya.
Jadi tidak semua hal yang ada di dunia ini termasuk ke dalam pengalaman sadar.
Hanya hal-hal yang kita alami dan kita kerjakan saja yang menjadi pengalaman
sadar kita.
Fenomenologi tidak membuat karakteristik dari pengalaman, ketika
pengalaman itu sedang dialami. Karena ketika sebuah pengalaman sedang
dialami, maka ia akan menyita seluruh perhatian pada saat itu dan membuat bias
kondisi-kondisi yang melatarbelakanginya. Pada hakikatnya kita
mengklasifikasikan pengalaman berdasarkan aspek-aspek kesamaannya. Misalnya

Universitas Sumatera Utara


ketika mendengar suatu lagu dan melihat matahari terbenam, kita langsung ingat
dengan pengalaman-pengalaman romantis bersama dengan orang yang kita
sayangi. Dengan demikian pada prakteknya, fenomenologi mengasumsikan
“kesamaan” sebagai unsur utama dalam membuat klasifikasi pengalaman. Jadi
fenomenologi lebih mencari kesamaan-kesamaan pengalaman yang bertahan,
ketimbang pengalaman yang dengan cepat/mudah dilupakan (Kuswarno, 2013:
24).
Untuk menemukan berbagai kesamaan pengalaman itu, tentu saja
memerlukan alat pengamatan yang khusus. Tidak bisa dengan pendekatan
positivistik. Inilah awal mulanya fenomenologi berkembang, tidak hanya sebuah
pemikiran filsafat, namun juga metode berpikir dan sebagai metode penelitian.
Pada awalnya, fenomenologi klasik menggunakan tiga metode yang berbeda
antara satu dengan yang lainnya. Ketiga metode tersebut adalah:

1. Mendeskripsikan tipe-tipe pengalaman di masa lampau. Hal ini oleh


Husserl dan Merleau-Ponty dinamakan dengan deskripsi murni dari
pengalaman yang hidup (pure description of lived experience).
2. Menginterpretasikan tipe-tipe pengalaman tersebut, dengan
menghubungkannya dengan aspek-aspek istimewa dari konteks yang
melatarbelakanginya. Heidegger dan pengikutnya menyebut metode ini
sebagai hermeneutik (seni memahami konteks, terutama konteks sosial
dan bahasa).
3. Menganalisis bentuk dari setiap tipe pengalaman, untuk dielaborasi lebih
lanjut.
Pada perkembangan fenomenologi selanjutnya, ketiga metode yang sudah
disebutkan di atas pun mengalami penambahan, yakni:
4. Model logika semantik fenomenologi (logico sematinc model of
phenomenology). Yaitu metode membuat spesifikasi kondisi-kondisi benar
dari tipe-tipe berpikir (misalnya ketika mengatakan anjing mengejar
kucing, bukan sebaliknya), atau kepuasan dari tipe-tipe kesengajaan
(misalnya ketika berniat atau bermaksud untuk melompat).
5. Paradigma eksperimental syaraf kognitif (experimental paradigm of
cognitive neuroscience). Yakni pembuatan desain percobaan empiris untuk

Universitas Sumatera Utara


6. mengkonfirmasikan atau menyangkal aspek-aspek dalam pengalaman.
Misalnya dengan percobaan khusus, otak bisa menghasilkan gelombang
elektromagnetis tertentu bila disentuh pada area tertentu. Area-area dalam
otak itulah yang langsung berhubungan dengan emosi dan pengalaman.
Dengan demikian neurofenomenologi ini mengasumsikan bahwa
pengalaman sadar itu terletak dalam aktivitas syaraf yang akan
menghasilkan tindakan dalam situasi yang tepat. Jadi, neurofenomenologi
ini adalah gabungan fenomenologi murni, biologi dan ilmu fisika.

2.2.4 Pendekatan Kualitatif Penelitian Fenomenologis


Pada dasarnya fenomenologi cenderung untuk menggunakan paradigma
penelitian kualitatif sebagai landasan metodologisnya. Berikut ini perlu diuraikan
sifat-sifat dasar penelitian kualitatif yang relevan menggambarkan posisi
metodologis fenomenologi dan membedakannya dari penelitian kuantitatif
(Kuswarno, 2013: 36):
(1) Menggali nilai-nilai dalam pengalaman dan kehidupan manusia.
(2) Fokus penelitian adalah pada keseluruhannya, bukan pada perbagian
yang membentuk keseluruhan itu.
(3) Tujuan penelitian adalah menemukan makna-makna dan hakikat dari
pengalaman, bukan sekedar mencari penjelasan atau mencari ukuran-
ukuran dari realitas.
(4) Memperoleh gambaran kehidupan dari sudut pandang orang pertama,
melalui wawancara formal dan nonformal.
(5) Data yang diperoleh adalah dasar dari pengetahuan ilmiah untuk
memahami perilaku manusia.
(6) Pertanyaan yang dibuat merefleksikan kepentingan, keterlibatan dan
komitmen pribadi dari peneliti.
(7) Melihat pengalaman dan perilaku sebagai satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan, baik itu kesatuan antara subjek dan objek, maupun
antara bagian dan keseluruhannya.

Universitas Sumatera Utara


Sifat-sifat penelitian kualitatif tersebut, akan sejalan dengan ciri-ciri
penelitian fenomenologi berikut ini:
(1) Fokus pada suatu yang nampak, kembali kepada yang sebenarnya
(esensi), keluar dari rutinitas dan keluar dari apa yang diyakini
sebagai kebenaran dan kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari,
(2) Fenomenologi tertarik dengan keseluruhan, dengan mengamati
entitas dari berbagai sudut pandang dan perspektif, sampai didapat
pandangan esensi dari pengalaman atau fenomena yang diamati.
(3) Fenomenologi mencari makna dan hakikat dari penampakan,
dengan intuisi dan refleksi dalam tindakan sadar melalui
pengalaman. Makna ini yang pada akhirnya membawa kepada ide,
konsep, penilaian dan pemahaman yang hakiki.
(4) Fenomenologi mendeskripsikan pengalaman, bukan menjelaskan
atau menganalisisnya. Sebuah deskripsi fenomenologi akan sangat
dekat dengan kealamiahan (tekstur, kualitas dan sifat-sifat
penunjang) dari sesuatu. Sehingga deskripsi akan mempertahankan
fenomena itu seperti apa adanya dan menonjolkan sifat alamiah
dan makna di baliknya. Selain itu, deskripsi juga akan membuat
fenomena “hidup” dalam term yang akurat dan lengkap dengan
kata lain sama “hidup”-nya antara yang tampak dalam kesadaran
dengan yang terlihat oleh panca indra.
(5) Fenomenologi berakar pada pertanyaan-pertanyaan yang langsung
berhubungan dengan makna dari fenomena yang diamati. Dengan
demikian penelitian fenomenologi akan sangat dekat dengan
fenomena yang diamati. Analoginya penelitian itu menjadi salah
satu bagian puzzle dari sebuah kisah biografi.
(6) Integrasi dari subjek dan objek. Persepsi penelitian akan
sebanding/sama dengan apa yang dilihatnya/didengarnya.
Pengalaman akan suatu tindakan akan membuat objek menjadi
subjek dan subjek menjadi objek.
(7) Investigasi yang dilakukan dalam kerangka intersubjektif, realitas
adalah salah satu bagian dari proses secara keseluruhan.

Universitas Sumatera Utara


(8) Data yang diperoleh (melalui berpikir, intuisi, refleksi dan
penilaian) menjadi bukti-bukti utama dalam pengetahuan ilmiah.
(9) Pertanyaan-pertanyaan penelitian harus dirumuskan dengan sangat
hati-hati. Setiap kata harus dipilih, di mana kata yang terpilih
adalah kata yang paling utama, sehingga dapat menunjukkan
makna yang utama pula.
Dengan demikian, fenomenologi sangat relevan menggunakan
penelitian kualitatif ketimbang penelitian kuantitatif, dalam
mengungkapkan realitas.

2.2.5 Teori Interaksi Simbolik


Paham mengenai interaksi simbolik (symbolic interactionism) adalah
suatu cara berpikir mengenai pikiran (mind), diri dan masyarakat yang telah
memberikan banyak kontribusi kepada tradisi sosiokultural dalam membangun
teori komunikasi. Dengan menggunakan sosiologi sebagai fondasi, paham ini
mengajarkan bahwa ketika manusia berinteraksi satu sama lainnya, mereka saling
membagi makna untuk jangka waktu tertentu dan untuk tindakan tertentu
(Morissan, 2013: 110).
Konsep teori interaksi simbolik ini diperkenalkan oleh Herbert Blumer
sekitar tahun 1939. Dalam lingkup sosiologi, ide ini sebenarnya sudah lebih
dahulu dikemukakan George Herbert Mead, tetapi kemudian dimodifikasi oleh
Blumer guna mencapai tujuan tertentu. Teori ini memiliki ide yang baik, tetapi
tidak terlalu dalam sebagaimana yang diajukan G.H.Mead. Karakteristik dasar
teori ini adalah suatu hubungan yang terjadi secara alami antara manusia dalam
masyarakat dan hubungan masyarakat dengan individu. Interaksi yang terjadi
antar-individu berkembang melalui simbol-simbol yang mereka ciptakan
(Wirawan, 2012: 109).
Realitas sosial merupakan rangkaian sosial yang terjadi pada beberapa
individu dalam masyarakat. Interaksi yang dilakukan antar-individu itu
berlangsung secara sadar. Interaksi simbolik juga berkaitan dengan gerak tubuh,
antara lain suara atau vokal, gerakan fisik, ekspresi tubuh yang semuanya itu
mempunyai maksud dan disebut dengan “simbol”. Teori interaksi simbolik sering

Universitas Sumatera Utara


disebut juga sebagai teori sosiologi interpretatif. Selain itu teori ini ternyata sangat
dipengaruhi oleh ilmu psikologi, khususnya psikologi sosial. Teori ini juga
didasarkan pada persoalan konsep diri.
Pada awal perkembangannya, interaksi simbolik lebih menekankan
studinya tentang perilaku manusia pada hubungan interpersonal, bukan pada
keseluruhan kelompok atau masyarakat. Proporsi paling mendasar dari interaksi
simbolik adalah perilaku dan interaksi manusia itu dapat dibedakan, karena
ditampilkan lewat simbol dan maknanya. Mencari makna di balik yang sensual
menjadi penting di dalam interaksi simbolik (Wirawan, 2012: 114).
Menurut paham interaksi simbolik, individu berinteraksi dengan individu
lainnya sehingga menghasilkan suatu ide tertentu mengenai diri yang berupaya
menjawab pertanyaan siapakah Anda sebagai manusia? Manford Kuhn
menempatkan peran diri sebagai pusat kehidupan sosial. Menurutnya, rasa diri
seseorang merupakan jantung komunikasi. Diri merupakan hal yang penting
dalam interaksi. Misalnya seorang anak bersosialisasi melalui interaksi dengan
orang tua, saudara dan masyarakat sekitarnya. Orang memahami dan berhubungan
dengan berbagai hal atau objek melalui interaksi sosial (Morissan, 2013:111).
Suatu objek dapat berupa aspek tertentu dari realitas individu apakah itu
suatu benda, kualitas, peristiwa, situasi atau keadaan. Satu-satunya syarat agar
sesuatu menjadi objek adalah dengan cara memberikannya nama dan
menunjukkannya secara simbolis. Dengan demikian suatu objek memiliki nilai
sosial sehingga merupakan objek sosial (social object). Menurut pandangan ini,
realitas adalah totalitas dari objek sosial dari seorang individu. Bagi Khun,
penamaan objek adalah penting guna menyampaikan makna suatu objek.
Menurut Khun, komunikator melakukan percakapan dengan dirinya
sendiri sebagai bagian dari proses interaksi. Dengan kata lain, kita berbicara
dengan diri kita sendiri di dalam pikiran kita guna membuat perbedaan di antara
benda-benda dan orang. Ketika seseorang membuat keputusan bagaimana
bertingkah laku terhadap suatu objek sosial maka orang itu menciptakan apa yang
disebut Kuhn “suatu rencana tindakan” (a plan of action) yang dipandu dengan
sikap atau pernyataan verbal yang menunjukkan nilai-nilai terhadap mana
tindakan itu akan diarahkan. Misalnya seorang mahasiswa yang ingin melanjutkan

Universitas Sumatera Utara


kuliah harus terlebih dahulu membuat rencana tindakan yang dipandu oleh
seperangkat-seperangkat nilai-nilai (sikap) positif dan negatif terhadap kuliah.
Jika nilai positif lebih kuat maka ia akan melanjutkan kuliah, namun jika nilai-
nilai negatif yang lebih dominan maka ia tidak akan melanjutkan kuliah
(Morissan, 2013: 111-112).
Menurut pandangan interaksi simbolik, makna suatu objek sosial serta
sikap dan rencana tindakan tidak merupakan sesuatu yang terisolasi satu sama
lain. Makna muncul melalui interaksi manusia satu dengan yang lain. Orang-
orang terdekat memberikan pengaruh besar dalam kehidupan kita. Mereka adalah
orang-orang dengan siapa kita memiliki hubungan dan ikatan emosional seperti
orang tua atau saudara. Mereka memperkenalkan kita dengan kata-kata baru,
konsep-konsep tertentu atau kategori-kategori tertentu yang kesemuanya
memberikan pengaruh kepada kita dalam melihat realitas. Orang terdekat
membantu kita belajar membedakan antara diri kita dan orang lain sehingga kita
terus memiliki sense of self.
Secara umum, ada enam proporsi yang dipakai dalam konsep interaksi
simbolik, yaitu: (1) perilaku manusia mempunyai makna di balik yang
menggejala; (2) pemaknaan kemanusiaan perlu dicari sumber pada interaksi sosial
manusia; (3) masyarakat merupakan proses yang berkembang holistik, tak
terpisah, tidak linier dan tidak terduga; (4) perilaku manusia itu berlaku berdasar
penafsiran fenomenologik, yaitu berlangsung atas maksud, pemaknaan dan
tujuan, bukan didasarkan atas proses mekanik dan otomatis; (5) konsep mental
manusia berkembang; (6) perilaku manusia itu wajar dan konstruktif reaktif
(Wirawan, 2012: 114).
Menurut Blumer, pokok pikiran interaksi simbolik ada tiga: (1) bahwa
manusia bertindak (act) terhadap sesuatu (thing) atas dasar makna (meaning); (2)
makna itu berasal dari interaksi sosial seseorang dengan sesamanya; (3) makna itu
diperlakukan atau diubah melalui suatu proses penafsiran (interpretative process),
yang digunakan orang dalam menghadapi sesuatu yang dijumpainya. Intinya,
Blumer hendak mengatakan bahwa makna yang muncul dari interaksi tersebut
tidak begitu saja diterima seseorang, kecuali setelah individu itu menafsirkan
terlebih dahulu. Seseorang tidak serta merta memberikan reaksi manakala ia

Universitas Sumatera Utara


mendapat rangsangan dari luar. Seseorang itu semestinya melakukan penilaian
dan pertimbangan terlebih dahulu; rangsangan dari luar diseleksi melalui proses
yang ia sebut dengan definisi atau penafsiran situasi. Definisi situasi ada dua
macam yaitu: (1) definisi situasi yang dibuat secara spontan oleh individu; (2)
definisi situasi yang dibuat oleh masyarakat (Wirawan, 2012: 115-116).
Definisi situasi yang dibuat oleh masyarakat merupakan aturan yang
mengatur interaksi antarmanusia. Ada tiga jenis aturan yang mengatur perilaku
manusia ketika mereka berinteraksi dengan orang lain, yang disebutkan oleh
David A. Karp dan W.C. Yoels dalam bukunya Symbols, Selves, and Society:
Understanding Interaction (1979), yaitu: (1) aturan mengenai ruang; (2) aturan
mengenai waktu; (3) aturan mengeni gerak dan sikap tubuh. Hall dan Hall (1971)
mengemukakan bahwa komunikasi non verbal atau bahasa tubuh, yang
menurutnya ada sebelum bahasa lisan, merupakan bentuk komunikasi yang
pertama yang dipelajari manusia. Karp dan Yoels menyebutkan faktor-faktor yang
memengaruhi interaksi, yaitu: (1) ciri yang dibawa sejak lahir, misalnya jenis
kelamin, usia dan ras; (2) penampilan; (3) bentuk tubuh yang dipengaruhi oleh
pakaian; dan (4) apa yang diucapkan oleh aktor (pelaku) (Wirawan, 2012: 116).

2.2.6 Teori Konstruksi Sosial Diri


Teori konstruksi sosial diri realitas merupakan ide atau prinsip utama
dalam tradisi sosiokultural. Ide menyatakan bahwa dunia sosial kita tercipta
karena adanya interaksi antara manusia. Cara bagaimana kita berkomunikasi
sepanjang waktu mewujudkan pengertian kita mengenai pengalaman, termasuk
ide kita mengenai diri kita sebagai manusia dan sebagai komunikator. Dengan
demikian, setiap orang pada dasarnya memiliki teorinya masing-masing mengenal
kehidupan. Teori itu menjadi model bagi manusia untuk memahami pengalaman
hidupnya. Teori berkembang dan diperbaiki terus-menerus sepanjang waktu
kehidupan manusia melalui berbagai interaksi (Morissan, 2013: 113-114).
Di antara para ahli sosial kontemporer yang membuat banyak asumsi
mengenai konstruksi sosial adalah Rom Harre. Ia mengakui bahwa manusia
memiliki aspek individual dan sosial dan seperti pengalaman lainnya, diri manusia
dibentuk oleh teori pribadinya. Orang pada dasarnya mencoba untuk memahami

Universitas Sumatera Utara


dirinya dengan menggunakan ide atau teori mengenai manusia (personhood) dan
teori mengenai diri (selfhood).
Menurut Harre, manusia adalah makhluk yang terlihat atau diketahui
secara publik serta memiliki sejumlah atribut dan sifat yang terbentuk di dalam
kelompok budaya dan sosial. Misalnya masyarakat berkebudayaan barat (Eropa
dan Amerika) pada umumnya memandang manusia sebagai makhluk otonom
yang membuat pilihannya sendiri untuk mencapai tujuannya. Adapun diri adalah
ide atau pandangan pribadi yang bersangkutan sebagai manusia. Dengan
demikian, terdapat dua ide dalam hal ini, yaitu ide “saya sebagai manusia” yang
bersifat publik dan ide mengenai “diri” yang bersifat pribadi atau privat
(Morissan, 2013: 114).
Menurut pandangan ini, sifat manusia diatur oleh kebudayaan sedangkan
sifat diri diatur oleh teori yang dimiliki orang bersangkutan mengenai dirinya
sendiri sebagai salah satu anggota kebudayaan. Dengan demikian manusia sebagai
makhluk pribadi (personal being), memiliki dua sisi yaitu sisi sebagai makhluk
sosial dan sisi lainnya sebagai makhluk pribadi (diri).
Banyak masyarakat di dunia dengan kebudayaan tradisionalnya memiliki
konsep tersendiri mengenai manusia yang dipandang sebagai perwujudan dari
perannya dalam masyarakat seperti ibu, ayah, pendeta, petani dan dukun. Manusia
secara umum dipandang sebagai manifestasi dari peran-peran tersebut. Sedangkan
setiap orang akan memberi sifat, perasaan dan karakter tertentu terhadap dirinya,
sebagai individu, sebagai individu di dalam suatu peran: “Saya bapaknya Yusuf,
saya adalah seorang petani. Saya bapak yang baik dan petani yang baik.”
Teori mengenai diri dipelajari melalui pengalaman berinteraksi dengan
orang lain. Seluruh pemikiran, keinginan dan emosi dipelajari melalui interaksi
sosial. Namun teori mengenai diri ini berbeda-beda antara satu masyarakat dengan
masyarakat lainnya yang disebabkan kondisi sosial dan kebudayaan yang juga
berbeda. Misalnya pada budaya masyarakat barat terdapat teori mengenai diri
yang menekankan pada keseluruhan, tidak terbagi serta independen. Sebaliknya
orang Jawa melihat diri mereka menjadi dua bagian yang independen yaitu
perasaan yang berada dalam diri serta tingkah laku luar yang dapat diamati. Orang
Maroko di Afrika Utara memiliki teori berbeda mengenai diri yaitu perwujudan

Universitas Sumatera Utara


dari tempat dan situasi. Dengan demikian, identitas mereka selalu terikat kepada
situasi di mana mereka berada .
Menurut teori ini, “diri” terdiri atas seperangkat elemen yang dapat
ditinjau ke dalam tiga dimensi. Dimensi yang pertama adalah “dimensi
penunjukan” (display) yaitu, apakah aspek dari diri itu dapat ditunjukkan kepada
pihak luar (public) atau merupakan sesuatu yang bersifat privat. Misalnya, orang
dapat menganggap emosinya sebagai sesuatu yang pribadi sementara
kepribadiannya (personality) adalah berdimensi publik. Pada kebudayaan lain,
emosi dapat dinilai sebagai memiliki dimensi publik (Morissan, 2013: 115).
Dimensi kedua adalah realisasi atau sumber, yaitu tingkatan atau derajat
pada bagian atau wilayah tertentu dari “diri” yang dipercaya berasal dari dalam
individu sendiri atau berasal dari luar. Dengan demikian terdapat elemen pada diri
yang berasal dari internal ataupun eksternal. Elemen diri yang dipercaya berasal
dari internal disebut dengan istilah individually realized atau “disadari sendiri”
sedangkan elemen diri yang dipercaya berasal dari hubungan orang itu dengan
kelompoknya disebut collectivelly realized atau “disadari bersama”. Misalnya,
kata “tujuan” dapat dianggap sebagai sesuatu yang disadari sendiri karena
merupakan sesuatu yang dimiliki individu. Sebaliknya kata “kerja sama” dapat
dianggap sebagai sesuatu yang disadari bersama karena merupakan sesuatu yang
hanya dapat dilakukan sebagai anggota dari suatu kelompok.
Dimensi ketiga disebut dengan “agen” (agency) yaitu derajat atau
tingkatan kekuatan aktif yang ditimbulkan oleh diri. Elemen aktif merupakan
tindakan yang dilakukan orang seperti “berbicara” atau “mendengarkan radio”
atau “menonton televisi”. Diri seseorang bisa berbeda seperti emosi, kepribadian,
tujuan dan kerja sama yang diberi makna secara berbeda di dalam tiga skema
dimensi tadi. Misalnya, masyarakat Anglo-Saxon di Eropa Utara cenderung untuk
memperlakukan emosi mereka sebagai sesuatu yang diperlihatkan secara pribadi
(privately displayed), disadari sendiri dan menjadikan emosi sebagi elemen pasif.
Dengan kata lain, mereka percaya bahwa emosi hanya terjadi kepada mereka dan
di dalam diri mereka saja. Sebaliknya, masyarakat di Eropa Selatan memandang
emosi sebagai bersifat publik, kolektif dan aktif. Dengan kata lain, mereka

Universitas Sumatera Utara


percaya bahwa emosi adalah sesuatu yang mereka ciptakan sebagai suatu
kelompok ditunjukkan bersama-sama.
Seluruh teori mengenai diri yang sudah dibahas tersebut memiliki tiga
elemen yang sama. Pertama, semua teori itu membahas mengenai kesadaran diri
(self-consciousness), ini berarti bahwa orang memikirkan dirinya atau berbicara
mengenai dirinya maka ia menunjukkan kesadaran dirinya. Dengan demikian
terdapat dua hal dari kata “saya” yang harus diketahui yaitu “saya” sebagai diri
yang “mengetahui” dan “saya” sebagai diri yang “diketahui” (known about).
Misalnya contoh berikut ini: “Saya tahu bahwa saya takut.” Saya yang pertama
menunjukkan rasa menyadari (sense of being aware) dan saya kedua
menunjukkan rasa menjadi orang yang takut.
Hal lain yang perlu ditambahkan mengenai ide tentang kesadaran diri atau
self-consciousness ini adalah mengenai bagian diri yang terdiri atas dua bagian
yang disebut dengan “agen” dan “autobiografi”. Diri selalu dilihat memiliki
kekuatan tertentu untuk melakukan berbagai hal. Manusia memandang diri
mereka sebagai agen yang mampu memiliki keinginan dan dapat melakukan
tindakan. Auto-biografi adalah suatu rasa memiliki pengalaman sejarah dan masa
depan. Agen berperan ketika seseorang merencanakan sesuatu dan autobiografi
berperan ketika orang itu menceritakan mengenai dirinya kepada orang lain.

2.2.7 Teori Tindakan Beralasan


Teori tindakan yang beralasan adalah sebuah teori yang menyatakan
bahwa keputusan untuk melakukan tingkah laku tertentu adalah hasil dari sebuah
proses rasional di mana pilihan tingkah laku dipertimbangkan, konsekuensi dan
hasil dari setiap tingkah laku dievaluasi dan sebuah keputusan sudah dibuat,
apakah akan bertingkah laku tertentu atau tidak. Kemudian keputusan ini
direfleksikan dalam tujuan tingkah laku, yang sangat berpengaruh terhadap
tingkah laku yang tampil (Baron, 2003: 135).
Teori ini juga menegaskan peran dari niat seseorang membentuk apakah
sebuah perilaku akan terjadi dan teori ini secara tidak langsung menyatakan
bahwa perilaku pada umumnya mengikuti niat dan tidak akan pernah terjadi tanpa
niat. Niat seseorang juga dipengaruhi oleh sikap terhadap suatu perilaku, seperti

Universitas Sumatera Utara


apakah ia merasa suatu perilaku itu penting (Graeff dkk, 1996: 27). Berdasarkan
teori ini, intensi pada gilirannya ditentukan oleh dua faktor, yaitu sikap terhadap
tingkah laku (attitudes toward a behavior)- evaluasi positif atau negatif dari
tingkah laku yang ditampilkan (apakah orang seorang berpikir tindakan itu akan
menimbulkan konsekuensi positif atau negatif)- dan norma subjektif- persepsi
orang apakah orang lain akan menyetujui atau menolak tingkah laku tersebut.
Teori ini berasumsi bahwa kita berperilaku sesuai dengan niat sadar kita,
yang didasarkan pada kalkulasi rasional tentang efek potensial dari perilaku kita
dan tentang bagaimana orang lain akan memandang perilaku kita (Taylor dkk,
2009: 204). Poin utama teori ini adalah perilaku seseorang dapat diprediksikan
dari behavioral intention (niat perilaku). Niat perilaku dapat diprediksikan melalui
dua variabel utama: sikap seseorang terhadap perilaku dan norma sosial subjektif
atau dengan kata lain sikap kita terhadap segala sesuatu, yang berasal dari diri kita
sendiri dan norma (yang secara subjektif) berlaku di masyarakat/perkumpulan
dalam situasi yang sama yang mempengaruhi sikap kita akan segala sesuatu.
Teori tindakan beralasan sendiri lahir pada tahun 1980 yang
dikembangkan oleh Martin Fishbein dan Icek Ajzen, adalah model yang bertujuan
untuk memprediksi tujuan/motif/intensi dari sebuah perilaku dan tingkah laku,
termasuk dari motif awal terjadinya perilaku hingga kenapa seseorang melakukan
sebuah tingkah laku tersebut.
Motif itu merupakan suatu pengertian yang melingkupi semua penggerak,
alasan-alasan atau dorongan-dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan ia
berbuat sesuatu. Semua tingkah laku manusia pada hakikatnya mempunyai motif
juga tingkah laku yang disebut tingkah laku secara refleks dan yang berlangsung
secara otomatis, mempunyai maksud tertentu walaupun maksud itu tidak
senantiasa sadar bagi manusia. Motif-motif manusia dapat bekerja secara sadar
dan juga tidak sadar bagi diri manusia. Motif manusia merupakan dorongan,
keinginan, hasrat dan tenaga penggerak lainnya yang berasal dari dalam dirinya,
untuk melakukan sesuatu. Motif-motif itu itu memberi tujuan dan arah kepada
tingkah laku kita (Gerungan, 1986: 140-141)
Teori tindakan beralasan memiliki asumsi-asumsi dasar dalam teorinya,
yaitu (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40843/7/Cover.pdf) :

Universitas Sumatera Utara


1. Manusia adalah makhluk yang rasional dan akan melakukan
pilihan/keputusan yang dapat diprediksi dalam ketentuan/kondisi tertentu
yang spesifik.
2. “intention of Act”, atau motif dari sebuah tindakan adalah faktor paling
determinan dalam penentuan sebuah perilaku/tingkah laku/tindakan.
3. Manusia tidak selalu bertindak seperti apa yang ia harapkan/inginkan.

2.2.8 Makna
a. Makna Dalam Komunikasi
Selama bertahun-tahun para dosen komunikasi menunjukkan kepada para
mahasiswa mereka bahwa asal linguistik dari kata komunikasi adalah communis,
menurut bahasa latin yang berarti “bersama” (common). Gode bahkan
mendefinisikan komunikasi secara etimologis sebagai “proses yang membuat
menjadi sama kepada dua orang atau lebih apa yang tadinya menjadi monopoli
satu atau beberapa orang saja”. Karena itu, satu karakteristik yang jelas dari
makna yang relevan dengan komunikasi manusia adalah “ kebersamaan”: makna
yang berkaitan dengan komunikasi pada hakikatnya merupakan fenomena sosial.
Makna sebagai konsep komunikasi, mencakup lebih daripada sekedar penafsiran
atau pemahaman seorang individu saja. Makna selalu mencakup banyak
pemahaman - aspek-aspek pemahaman yang secara bersama dimiliki komunikator
(Fisher dalam Rakhmat, 1990: 346).
Akan tetapi, aspek kebersamaan itu tidaklah mesti menunjukkan bahwa
semua peserta dalam proses komunikatif memiliki pemahaman yang identik
tentang lambang atau pikiran-pikiran-pikiran (atau apapun), namun bahwa
pemahaman tertentu menjadi milik bersama mereka semua. Tanpa adanya suatu
derajat tentang apa yang disebut oleh Goyer “kebersamaan makna (commonality
of meaning)- yakni “pemilikan pengalaman secara bersama”- komunikasi tidak
akan terjadi. Shands lebih tegas lagi ketika ia menyatakan: ”Makna dari makna
merupakan konsensus, dan makna lahir dalam proses sosial yang memungkinkan
konsensus itu berkembang”. “Proses sosial” itu dalam “teori umum komunikasi”-
nya Shands adalah proses komunikasi itu sendiri (Fisher dalam Rakhmat, 1990:
347).

Universitas Sumatera Utara


Perspektif interaksional memandang diri sebagai ciptaan sosial yang hanya
dicapai melalui komunikasi dengan orang lain. Jadi, makna secara psikologis
dimiliki secara bersama melalui kesamaan pengalaman individual. Individu
dipandang sebagai “korban” yang agak pasif dari pengalaman di masa lalu. Akan
tetapi makna secara interaksional dimiliki bersama dengan proses empati melalui
pengambilan peran yang aktif. Individu memainkan peranan yang lebih aktif,
mencari makna menurut pandangan orang lain dan berbagi makna itu dengan
orang lain. Dengan cara ini, individu keluar dari diri yang terinternalisasikan itu
dengan jalan melibatkan dirinya dalam pengambilan peran yang generalized
other.
Mead menempatkan makna interaksional dalam apa yang ia namakan
suatu percakapan isyarat (conversation of gestures) di mana suatu isyarat
(gesture) berarti tindakan yang bermakna secara potensial. Jadi makna terjadi
sebagai suatu “hubungan segitiga antara isyarat seseorang, respons kepada isyarat
itu oleh orang yang kedua, dan penyelesaian tindakan sosial tertentu yang dimulai
oleh isyarat orang yang pertama tadi” (Fisher dalam Rakhmat, 1990: 354-355).
Komunikasi percakapan ditinjau dari suatu perspektif interaksional,
menurut Meerloo memberikan penekanan pada “ saling pengertian” dan “empati
timbal balik” sebagai sumber makna kebersamaan. Proses pengambilan peran dan
kebersamaan makna secara maksimal dimungkinkan melalui apa yang disebut
Meerloo “keinginan yang wajar untuk saling beridentifikasi, untuk memiliki
pengertian psikologis dan saling mendekati dengan kasih-sayang.”
Walaupun konsep abstrak yang dicakup dalam hampiran Meerloo itu
lemah untuk dioperasionalisasikan, konsep itu menekankan hal bahwa
pengambilan peran interaksional melintas diri individu dan memungkinkan setiap
individu yang berkomunikasi untuk mencari secara aktif sudut pandang itu –
dengan cara itu, terjadilah makna kebersamaan. Kata-kata kuncinya adalah saling
(tiap peserta melibatkan diri dalam pengambilan peran) dan identifikasi
(mengambil kerangka rujukan orang lain).
Konsep identifikasi interaksional masih tetap merupakan suatu konsep
abstrak, yakni mengandung diri individual dan pada saat yang bersamaan diri itu
memerankan diri orang lain. Identifikasi atau empati dari sudut interaksional

Universitas Sumatera Utara


adalah sama dengan konsep Kenneth Burke tentang consubstantiality- pada saat
yang bersamaan mengandung unsur diri sendiri maupun orang lain sebagai produk
identifikasi. Ruesch menyatakan hal yang sama pada waktu ia membedakan antara
pengertian dan sebagai kesepakatan sebagai proses komunikatif.
Menurut Ruesch, pengertian terjadi bilamana para komunikator
menciptakan kaitan informasi. Tetapi kesepakatan menunjukkan pengucilan salah
satu aspek atau topik komunikasi dan “pengambilan keputusan dan keterlibatan
diri” yang berhubungan dengan aspek tersebut. Jadi, para komunikator dapat
mengerti satu sama lainnya selama komunikasi, akan tetapi dapat saja tidak
bersepakat (Fisher dalam Rakhmat, 1990: 356-357).
Perspektif interaksional secara langsung membahas kebersamaan atau
berbagi makna melalui partisipatif aktif (melalui pengambilan peran dalam proses
komunikatif). Interaksionisme menempatkan makna di luar diri individu dalam
perilaku atau isyarat komunikator. Akan tetapi, rasa ketergantungannya yang
besar pada konsep-konsep internal seperti “empati”, “identifikasi” dan
“pengertian”, menyatakan bahwa banyak proses komunikatif yang menyangkut
konsep makna masih tetap berada dalam diri individu yang bersangkutan. Tetapi
pada saat itu pun individu itu merupakan produk maupun peserta dalam situasi
sosial - dialog proses komunikatif (Fisher dalam Rakhmat, 1990: 357-358).

2.2.9 Tato
Secara kebahasaan, tato mempunyai istilah yang nyaris sama digunakan di
berbagai belahan dunia. Beberapa di antaranya adalah tatoage, tatouage, tatowier,
tatuaggio, tatuar,tatoos,tattueringar, tatuagens, tatoveringer, tattos dan tatu. Tato
yang merupakan bagian dari body painting adalah suatu produk dari kegiatan
menggambar pada kulit tubuh dengan menggunakan alat sejenis jarum atau benda
yang dipertajam yang terbuat dari flora. Gambar tersebut dihias dengan pigmen
berwarna-warni (Olong, 2006: 83).
Dalam bahasa Indonesia, kata tato merupakan pengindonesiaan dari kata
tattoo yang berarti goresan, gambar atau lambang yang membentuk sebuah desain
pada kulit tubuh. Di dalam Ensiklopedia Indonesia dijelaskan bahwa tato
merupakan lukisan berwarna permanen pada kulit tubuh. Sedangkan dalam

Universitas Sumatera Utara


Ensiklopedia Americana disebutkan bahwa tatto, tattoing is the production of
pattern on the face and body by serting dye under the skin some anthropologist
think the practice developed for the painting indication of status, or as mean of
obtaining magical protection.
Konon kata “tato” berasal dari bahasa Tahiti, yakni “tattau” yang berarti
menandai, dalam arti bahwa tubuh ditandai dengan menggunakan alat berburu
yang runcing untuk memasukkan zat pewarna di bawah permukaan kulit. Anne
Nicholas dalam “The Art of the New Zealand” menjelaskan bahwa kata tato yang
berasal dari kata tattau tersebut dibawa oleh Joseph Banks yang pertama kali
bersandar di Tahiti pada 1769 dan di sana ia mencatat berbagai fenomena manusia
Tahiti yang tubuhnya dipenuhi tato (Olong, 2006: 84).
Amy Krakov mengungkapkan secara teknis bahwa tato adalah pewarnaan
permanen pada tubuh dengan cara diresapkan dengan benda tajam ke dalam kulit
(dermis). Secara literer bahasa ekspresi Belanda, tato berarti doe het tap toe yang
berarti the signal for closing public houses, given by continuous drum beating or
rapping; this rapping or tapping was to the sound made by early tattoers as they
tapped a needle with a small hammer in the process of puncturing the skin. Proses
penusukan jarum dengan tangan (manual) hingga kini masih terdapat di beberapa
kebudayaan dunia seperti Samoa, Maori, Mentawai, Burma dan Thailand. Dalam
bahasa Jawa, tato mempunyai makna yang nyaris sama meskipun berbeda, yakni
kata “tatu” yang juga memiliki kesejajaran makna “luka” atau “bekas luka” yang
menjadi sebuah tanda tertentu dengan kulit lainnya baik di tubuh sendiri maupun
perbedaan tanda dengan tubuh milik orang lain.
Menurut Kent-Kent, seni tato dapat diklasifikasikan menjadi lima bagian
(Olong, 2006: 85).
1. Natural, berbagai macam gambar tato berupa pemandangan alam atau
bentuk muka.
2. Treeball, merupakan serangkaian gambar yang dibuat menggunakan
blok warna. Tato ini banyak dipakai oleh suku Maori.
3. Out school, tato yang dibuat berupa gambar-gambar zaman dulu,
seperti perahu, jangkar atau simbol love yang tertusuk pisau.

Universitas Sumatera Utara


4. New school, gambarnya cenderung mengarah ke bentuk grafiti dan
anime.
5. Biomekanik, berupa gambar aneh yang merupakan imajinasi dari
teknologi, seperti gambar robot dan mesin.
Dengan berbagai macam bentuk dan desain, ini menunjukkan sebuah
perkembangan tato ke tahap inovasi, sehingga pada kelanjutannya mampu
menggeser image tabu dan jahat menuju ke ekspresi diri yang kreatif dan inovatif.

2.2.10 Komunitas
Manusia dalam masyarakat selalu hidup secara berkelompok-kelompok
atau bergolong-golongan dan jarang sekali hidup sendiri-sendiri. Hal ini
disebabkan karena manusia sebagai anggota masyarakat, dia ingin mencukupi
kebutuhan-kebutuhan hidupnya untuk mempertahankan kehidupannya. Untuk
mencukupi kebutuhan-kebutuhan itu sebagian besar tidak dapat dicukupi sendiri
melainkan harus bersama-sama orang lain karena itu manusia mudah untuk
berinteraksi dan menyesuaikan diri dengan kelompoknya.

Disamping itu pembentukan kelompok ditentukan oleh faktor-faktor lain,


misalnya (Wiyarti, 2008: 35):
1. Faktor waktu dan jaman
2. Sebab dan tujuan pembentukan tersebut
3. Sifat-sifat dari para anggota-anggotanya
4. Cara pembentukan kelompok tersebut

Adapun pengertian kelompok menurut beberapa ahli, salah satunya


Andersen dan Parker yang berpendapat bahwa (Wiyarti, 2008: 36):

“kelompok adalah kesatuan dari atau lebih individu yang mengalami


interaksi psikologis satu sama lain. Bahwa kebutuhan akan kelompok ini tidak
ditentukan oleh situasi geografis saja, tetapi pada jaman dengan kemajuan
teknologi yang tinggi dimungkinkan komunikasi satu sama lain dan inilah sebagai
faktor pembentuk kelompok. Lebih lanjut, bahwa kelompok akan berakhir sebagai
kelompok, apabila interaksi mental di antara para anggotanya berakhir. Pokok
dari pembentukan kelompok adalah ikatan psikologis di antara para anggota-
anggotanya.”

Universitas Sumatera Utara


Ikatan tersebut dapat berbentuk norma-norma yang mengikat. Walaupun dalam
kelompok itu tidak perlu adanya pendapat yang seragam (group thinking), boleh
saja satu sama lain ada ketidakcocokan atau ketidakseragaman pendapat, tetapi
antara ketidakseragaman pendapat dengan persamaan pendapat harus seimbang.
Sebab kalau tidak seimbang, misalnya perbedaan pendapat terlalu besar, maka
kelangsungan kelompok akan terancam.

Menurut Ronald Freedman c.s. dalam bukunya “Principles of Sociolog”


mengemukakan, bahwa pada dasarnya terdapat 5 tipe yang terpenting dari
kelompok-kelompok sosial yaitu (Wiyarti, 2008: 41):
a. Primaty group
b. Community
c. Association
d. Societies
e. Ephemeral group

Yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah komunitas (community).


Ada kalanya community di-Indonesiakan dengan paguyuban. Community
menunjukkan arti masyarakat yang terbatas. Hanya pada umumnya suatu
masyarakat-community ini, selain karena sentimen yang sama juga menunjukkan
suatu lokalitas, suatu pembatasan letak kediamannya, karena itu dinamakan juga
masyarakat setempat, masyarakat sini (Shadily, 1993: 60).

Komunitas merupakan suatu unit atau kesatuan sosial yang


terorganisasikan dalam kelompok-kelompok dengan kepentingan bersama
(communities of common interest), baik yang bersifat fungsional maupun yang
mempunyai teritorial. Istilah komunitas dalam batas-batas tertentu dapat
menunjuk pada warga sebuah dusun (dukuh atau kampung), desa, kota atau suku
bangsa. Dalam perspektif sosiologi, komunitas dapat dibedakan dari masyarakat
lebih luas (society) melalui kedalaman perhatian bersama (a community of
interest), atau oleh tingkat interaksi yang tinggi (an attachment community. Para
anggota komunitas mempunyai kebutuhan bersama (common needs)

Universitas Sumatera Utara


Berikut perbedaan komunitas dan masyarakat menurut beberapa ahli:

Ilmuwan Komunitas Masyarakat

F. Tonnies Gemeinschaft Gesselschaft

E. Durkhaim Mechanic Solidarity Organic Solidarity

Tjondronegoro Gejala Organisasi Organisasi


(Sodality)

Berdasarkan pendekatan para ahli tersebut, maka komunitas dan masyarakat dapat
dibedakan sebagai berikut:

Komunitas Masyarakat

Kecil Besar

Homogen Heterogen

Kultural Struktural

Parsitipatif-Efektif Produktivitas-Efesiensi

Relatif Otonom Dependent

Sumber: http://skpm.ipb.ac.id/

Di samping adanya tempat tinggal yang tertentu, ada perasaan saling


memerlukan di antara para anggota-anggotanya, serta adanya tempat tinggal yang
berdekatan bagi kehidupan mereka. Perasaan bersama ini disebut community
sentiment.
Adapun unsur-unsur dari community sentiment adalah (Wiyarti, 2008: 44):

1. Seperasaan
Unsur seperasaan adalah akibat bahwa seseorang berusaha
mengidentifikasikan dirinya dengan sebanyak mungkin orang dalam
kelompok tersebut, sehingga semua menyebutkan “kelompok kita”,
“perasaan kita”. Perasaan demikian timbul apabila orang-orang tersebut

Universitas Sumatera Utara


mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama di dalam memenuhi
kebutuhannya.
2. Sepenanggungan
Setiap individu sadar akan peranannya di dalam kelompoknya dan
keadaan masyarakat sendiri memungkinkan bahwa peranannya tadi
dijalankan, sehingga ia mempunyai kedudukan yang pasti dalam struktur
sosial masyarakatnya.
3. Saling memerlukan
Individu yang tergantung dalam komunitas, merasakan dirinya tergantung
pada komunitasnya yang meliputi kebutuhan fisik maupun kebutuhan-
kebutuhan psikologisnya. Kelompok yang tergabung dalam komunitas tadi
memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisik misalnya perumahan, makanan atau
kebutuhan psikologis. Misalnya individu akan mencari (berlindung) pada
kelompoknya apabila dia berada dalam ketakutan. Perwujudan individu-
individu dalam komunitasnya, merupakan kebiasaan yang khas yang
merupakan ciri-ciri dari komunitas itu.

2.3 Model Teoritik


Untuk mengetahui keseluruhan teori dalam penelitian ini, maka di bawah
ini dapat dilihat bagaimana model teoritik dalam penelitian ini.
Gambar 2.1

Anggota komunitas Teori Interaksi Simbolik


Black Cat Tattoo Teori Konstruksi Sosial Diri
Teori Tindakan beralasan

Makna Tato

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai