Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH PATOFIOLOGI

Disusun Oleh
Dinda Silvia
211015201112

Dosen Pembimbing

M. SAKA ABEIASA M.BIOMED

UNIVERSITAS SUMATRA BARAT ( UNISBAR )


PROGRAM STUDI S1 KEBIDANAN
TAHUN AKADEMIK
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan

rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah Dismenore ini dapat diselesaikan dengan

baik. Tidak lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah

Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.

Makalah ini kami buat untuk melengkapi tugas mata kuliah Patofisologi Kami

ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan

makalah komplikasi persalinan pada bayi yang umum terjadi ini. Dan kami juga

menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan referensi internet yang telah

membantu dalam memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada dosen yang telah memberikan

arahan serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah dapat dibuat

dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan

makalah komplikasi persalinan yang umum terjadi pada bayi ini sehingga kami

mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan

makalah ini.

Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan

kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT,

dan kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga makalah komplikasi

persalinan pada bayi yang umum terjadi ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya.
Sungai Penuh, 7 Desember 2021

BAB I

PENDAHULUAN

3
A. Latar Belakang

Masa remaja atau pubertas adalah usia antara 10-19 tahun, dan merupakan

masa peralihan dari masa kanak-kanak menjadi dewasa (Dawkins, 2006). Masa

remaja atau puber adalah suatu tahap dalam perkembangan saat kematangan alat-alat

seksual dan tercapai kemampuan reproduksi (Mighwar, 2006)

Salah satu tanda seorang perempuan memasuki masa remaja adalah terjadinya

menstruasi (Ramaiah,2006). Selama periode menstruasi , kaum wanita sering

mengalami masalah, karena proses dan siklus menstruasi dapat mengalami pasang

surut serta berubah-ubah setiap bulannya. Masalah yang sering timbul dan yang

paling banyak dialami wanita adalah gannguan nyeri menstruasi (Baziad,1992). Nyeri

pada saat menstruasi tersebut dinamakan dismenore (Smeltzer, 2002).

Dismenore merupakan kejadian yang paling banyak terjadi dalam tiga tahun

pertama setelah menarche (Dawkins,2006). Dismenore biasanya terasa di perut

bagian bawah, kadang-kadang meluas ke pinggul, punggung bagian bawah dan paha,

bahkan ada yang merasa mual, muntah,diare atau sakit yang dirasakan sebelum,

selama dan sesudah haid (Varney, 2006).

Angka kejadian dismenore di Indonesia adalah sekitar 54,89% sedangkan

sisanya 45,11% adalah penderita dengan tipe sekunder, yaitu yang disebabkan oleh

penyakit tertentu (Qittun,2008)

Dismenore dengan tingkatan nyerinya sering menimbulkan rasa cemas

(Rasmun,2001). Dan sebaliknya faktor-faktor psikologis seperti keceemasan dan

ketegangan dapat meningkatkan dismenore (Smeltzer, 2002; Karya, 1985; Surjana,

4
1989). Lanoil (1984, yang dikutip Santoso, 2008), menyatakan bahwa stress dapat

menurunkan daya tahan terhadap kelelahan, nyeri, sakit, hingga gangguan pada saat

menstruasi.

B. Rumusan Masalah

1) Apa pengertian dismenore ?

2) Bagaimana klasifikasi dismenore ?

3) Bagaimana menifestasi klinik dari dismenore ?

4) Jelaskan patofisiologis terjadinya dismenore ?

5) Bagaimana diagnosis dismenore ?

6) Jelaskan penanganan dari dismenore ?

C. Tujuan Penulisan

1) Untuk mengetahui apa pengertian dismenore serta menganalisa

bagaimana patomekanisme terjadinya dismenore

2) Melatih penulis untuk berfikir secara rasional dan sistematis dalam

memecahkan suatu masalah

3) Menambah pengalaman dalam hal membuat suatu karya tulis

4) Menambah pengetahuan karena dalam pengumpulan data, penulis

banyak membaca buku-buku atau sumber bacaan yang berhubungan

dengan masalah ini.

5
BAB II

PEMBAHASAN

6
A. Pengertian Dismenore

Dismenore adalah nyeri haid yang sedemikian hebatnya, sehingga memaksa

penderita untuk istirahat dan meninggalkan pekerjaan atau cara hidup sehari-hari

untuk beberapa jam atau beberapa hari (Junizar, 2001).

B. Klasifikasi Dismenore

Dismenore dibagi menjadi dua berdasarkan ada-tidaknya kelainan

ginekologis, yaitu:

1. Dismenore primer (esensial, intrinsik, idiopatik), yaitu dismenore yang terjadi

tanpa disertai adanya kelainan ginekologis.

2. Dismenore sekunder (ekstrinsik, aquaired), yaitu dismenore yang berkaitan

dengan kelainan ginekologis, baik kelainan anatomi maupun proses patologis

pada pelvis.

Pembagian ini tidak seberapa tajam batasannya karena dismenore yang pada mulanya

didiagnosa sebagai dismenore primer, kadang-kadang memperlihatkan kelainan

ginekologis setelah diteliti lebih lanjut sehingga menjadi dismenore sekunder.

Dismenore primer timbul sejak menarche, biasanya pada tahun pertama atau kedua

haid. Biasanya terjadi pada usia antara 15-25 tahun dan kemudian hilang pada usia

akhir 20-an atau awal 30-an. Nyeri biasanya terjadi beberapa jam sebelum atau

setelah periode menstruasi dan dapat berlanjut hingga 48-72 jam. Nyeri diuraikan

sebagai mirip-kejang, spasmodik, terlokalisasi pada perut bagian bawah (area

suprapubik) dan dapat menjalar ke paha dan pinggang bawah. Dapat disertai dengan

7
mual, muntah, diare, nyeri kepala, nyeri pinggang bawah, iritabilitas, rasa lelah dan

sebagainya.

Dismenore sekunder biasanya terjadi beberapa tahun setelah menarche, dapat

juga dimulai setelah usia 25 tahun. Nyeri dimulai sejak 1-2 minggu sebelum

menstruasi dan terus berlangsung hingga beberapa hari setelah menstruasi. Pada

dismenore sekunder dijumpai kelainan ginekologis seperti endometriosis,

adenomiosis, kista ovarium, mioma uteri, radang pelvis dan lain-lain. Dapat pula

disertai dengan dispareuni, kemandulan, dan perdarahan yang abnormal.

Ditinjau dari berat-ringannya rasa nyeri, dismenore dibagi menjadi:

1. Dismenore ringan, yaitu dismenore dengan rasa nyeri yang berlangsung

beberapa saat sehingga perlu istirahat sejenak untuk menghilangkan nyeri,

tanpa disertai pemakaian obat.

2. Dismenore sedang, yaitu dismenore yang memerlukan obat untuk

menghilangkan rasa nyeri, tanpa perlu meninggalkan aktivitas sehari-hari.

3. Dismenore berat, yaitu dismenore yang memerlukan istirahat sedemikian lama

dengan akibat meninggalkan aktivitas sehari-hari selama 1 hari atau lebih.

Nyeri dirasakan semakin hebat ketika bekuan atau potongan jaringan dari

lapisan rahim melewati serviks (leher rahim), terutama jika saluran serviksnya

sempit. Adapun Faktor risiko dismenore lain, diantaranya :

1. Dismenore primer

a. Awal usia saat menarche (<12 y)

b. Siklus menstruasi panjang

8
c. Nullipara

d. Merokok

e. Positif sejarah keluarga

f. Kegemukan

2. Dismenore sekunder

a. Leiomyomata (fibroid)

b. Penyakit Radang Panggul

c. Tubo-ovarium abses

d. Torsi Ovarium

e. Kista Ovarium

f. Emdometriosis

g. Adenomyosis

h. AKDR (alat kontrasepsi dalam rahim)

Pertambahan umur dan kehamilan akan menyebabkan menghilangnya

dismenore primer.Hal ini diduga terjadi karena adanya kemunduran saraf rahim

akibat penuaan dan hilangnya sebagian saraf pada akhir kehamilan.

Perbedaan beratnya nyeri tergantung kepada kadar prostaglandin. Wanita yang

mengalami dismenore memiliki kadar prostaglandin yang 5-13 kali lebih tinggi

dibandingkan dengan wanita yang tidak mengalami dismenore. Dismenore sangat

mirip dengan nyeri yang dirasakan oleh wanita hamil yang mendapatkan suntikan

prostaglandin untuk merangsang persalinan.

9
C. Manifestasi Klinis Dismenore

Ditandai oleh nyeri di abdomen bagian bawah. Hal tersebut biasanya dimulai

beberapa jam sebelum atau tepat setelah onset menstruasi dan dapat berlangsung

hingga 48-72 jam. Nyeri dimulai dari area suprapubic dan dapat menjalar ke area

lumbosacral di punggung dan ke anterior paha. Nyeri bersifat kolik tidak seperti nyeri

yang terjadi karena infeksi ataupun iritasi zat kimia. Nyeri biasanya membaik dengan

masasse abdomen, counter pressure, dan pergerakan tubuh. Gejala-gejala yang timbul

seperti sakit kepala, nausea, muntah, sakit pinggang, dan diare dapat dijelaskan

karena masuknya prostaglandin dan metabolit prostaglandin ke sirkulasi sistemik.

Pada pemeriksaan fisik, tanda vital normal. Daerah suprapubic mungkin

bengkak pada palpasi. Tidak ada bengkak pada abdomen bagian atas. Pada

pemeriksaan bimanual saat dismenore sering ditemukan pembengkakan uterin.

Namun tidak ditemukan nyeri yang berat karena pergerakan serviks atau palpasi

struktur adnexa.

10
Sumber: http://www.acog.org

D. Patofisiologi Dismenore

Dismenore primer biasanya dimulai dalam 6 bulan pertama setelah menarche sekali

siklus ovulasi teratur telah ditetapkan. Selama menstruasi, peluruhan sel endometrium

melepaskan prostaglandin, yang menyebabkan iskemia uterus melalui kontraksi

miometrium dan vasokonstriksi. Peningkatan kadar prostaglandin telah diukur dalam

cairan menstruasi dari wanita dengan dismenore parah. Tingkat ini sangat tinggi

selama 2 hari pertama menstruasi. Vasopressin juga mungkin memainkan peran yang

serupa.

11
Patofisiologi terjadinya dismenore hingga kini masih belum jelas. Beberapa faktor

diduga berperan dalam timbulnya dismenore primer yaitu:

1. Faktor psikis dan konstitusi

Pada wanita yang secara emosional tidak stabil, dismenore primer

mudah terjadi. Faktor konstitusi erat kaitannya dengan faktor psikis, faktor ini

dapat menurunkan ketahanan terhadap rasa nyeri. Seringkali segera setelah

perkawinan dismenore hilang, dan jarang sekali dismenore menetap setelah

melahirkan. Mungkin kedua keadaan tersebut (perkawinan dan melahirkan)

membawa perubahan fisiologis pada genitalia maupun perubahan psikis.

Disamping itu, psikoterapi terkadang mampu menghilangkan dismenore

primer.

2. Faktor obstruksi canalis cervicalis

Dismenore sering terjadi pada wanita yang memiliki uterus posisi

hiperantefleksi dengan stenosis pada canalis servicalis. Namun, hal ini tidak

dianggap sebagai faktor yang penting dalam terjadinya dismenore sebab

banyak wanita yang mengalami dismenore tanpa adanya stenosis canalis

cervicalis ataupun uterus hiperantefleksi.

3. Faktor alergi

Teori ini dikemukakan setelah memperhatikan adanya hubungan

antara dismenore dengan urtikaria, migrain atau asma bronkiale.

12
4. Faktor neurologist

Uterus dipersyarafi oleh sistem syaraf otonom yang terdiri dari syaraf

simpatis dan parasimpatis. Jeffcoate mengemukakan bahwa dismenore

ditimbulkan oleh ketidakseimbangan pengendalian sistem syaraf otonom

terhadap miometrium. Pada keadaan ini terjadi perangsangan yang berlebihan

oleh syaraf simpatis sehingga serabut-serabut sirkuler pada istmus dan ostium

uteri internum menjadi hipertonik.

5. Vasopresin

Kadar vasopresin pada wanita dengan dismenore primer sangat tinggi

dibandingkan dengan wanita tanpa dismenore. Pemberian vasopresin pada

saat menstruasi menyebabkan meningkatnya kontraksi uterus, menurunnya

aliran darah pada uterus, dan menimbulkan nyeri. Namun, hingga kini peranan

pasti vasopresin dalam mekanisme terjadinya dismenore masih belum jelas.

6. Prostaglandin

Penelitian pada beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa

prostaglandin memegang peranan penting dalam terjadinya dismenore.

Prostaglandin yang berperan di sini yaitu prostaglandin E2 (PGE2) dan F2α

(PGF2α). Pelepasan prostaglandin di induksi oleh adanya lisis endometrium

dan rusaknya membran sel akibat pelepasan lisosim.

Prostaglandin menyebabkan peningkatan aktivitas uterus dan

serabutserabut syaraf terminal rangsang nyeri. Kombinasi antara peningkatan

kadar prostaglandin dan peningkatan kepekaan miometrium menimbulkan

13
tekanan intrauterus hingga 400 mmHg dan menyebabkan kontraksi

miometrium yang hebat. Selanjutnya, kontraksi miometrium yang disebabkan

oleh prostaglandin akan mengurangi aliran darah, sehingga terjadi iskemia

sel-sel miometrium yang mengakibatkan timbulnya nyeri spasmodik. Jika

prostaglandin dilepaskan dalam jumlah berlebihan ke dalam peredaran darah,

maka selain dismenore timbul pula diare, mual, dan muntah.

7. Faktor hormonal

Umumnya kejang yang terjadi pada dismenore primer dianggap terjadi

akibat kontraksi uterus yang berlebihan. Dalam penelitian Novak dan

Reynolds terhadap uterus kelinci didapatkan kesimpulan bahwa hormon

estrogen merangsang kontraktilitas uterus, sedang hormon progesteron

menghambatnya. Tetapi teori ini tidak menerangkan mengapa dismenore tidak

terjadi pada perdarahan disfungsi anovulatoar, yang biasanya disertai

tingginya kadar estrogen tanpa adanya progesteron.

Kadar progesteron yang rendah menyebabkan terbentuknya PGF2α

dalam jumlah banyak. Kadar progesteron yang rendah akibat regresi korpus

luteum menyebabkan terganggunya stabilitas membran lisosom dan juga

meningkatkan pelepasan enzim fosfolipase-A2 yang berperan sebagai

katalisator dalam sintesis prostaglandin melalui perubahan fosfolipid menjadi

asam archidonat. Peningkatan prostaglandin pada endometrium yang

mengikuti turunnya kadar progesteron pada fase luteal akhir menyebabkan

peningkatan tonus miometrium dan kontraksi uterus.

14
8. Leukotren

Helsa (1992), mengemukakan bahwa leukotren meningkatkan

sensitivitas serabut nyeri pada uterus. Leukotren dalam jumlah besar

ditemukan dalam uterus wanita dengan dismenore primer yang tidak memberi

respon terhadap pemberian antagonis prostaglandin. Sedang Dismenore

sekunder disebabkan oleh kondisi iatrogenik dan patologis yang beraksi di

uterus, tuba falopi, ovarium, atau pelvis peritoneum.

Secara umum, nyeri datang ketika terjadi proses yang mengubah

tekanan di dalam atau di sekitar pelvis, perubahan atau terbatasnya aliran

darah, atau karena iritasi peritoneum pelvis. Proses ini berkombinasi dengan

fisiologi normal dari menstruasi sehingga menimbulkan ketidaknyamanan.

Ketika gejala ini terjadi pada saat menstruasi, proses ini menjadi sumber rasa

nyeri. Penyebab dismenore sekunder dapat diklasifikasikan dalam 2 golongan,

yaitu penyebab intrauterin dan penyebab ekstrauterin (Smith, 2003).

Beberapa penyebab dismenore sekunder yang besifat intrauterin adalah :

a. Adenomyosis

Adenomyosis merupakan suatu kondisi yang dikarakterisasi oleh adanya

invasi benih dari endometrium ke perototan uterus, hal tersebut sering berhubungan

dengan pertumbuhan abnormal yang menyebar dari perototan. Kondisi ini dilaporkan

terjadi pada 25-40% spesimen histerektomi. Nyeri akibat adenomyosis seringkali

berhubungan dengan rektum atau sakrum. Endometriosis diketahui dapat terjadi

15
bersamaan pada 15% kasus. Diagnosis akhir adenomyosis ditegakkan berdasarkan

pemeriksaan mikroskopik.

b. Myomas

Myomas atau uterine fibroids merupakan kejadian yang paling sering terjadi

dan dilaporkan sebanyak 20% wanita berusia lebih dari 30 tahun, dan 30% wanita

usia di atas 40 tahun. Ada beberapa ukuran tumor, dari yang paling kecil hingga yang

memiliki berat lebih dari 100 pon. Walaupun tumor ini dapat terjadi pada beberapa

bagian dari uterus, serviks, atau ligamen, dan hal tersebut yang lebih sering

menyebabkan dismenore sekunder. Hal tersebut pula yang menyebabkan distorsi pada

uterus dan cavum uterus. Nyeri dirasa meningkat karena disrupsi aktivitas normal otot

uterus atau diperngaruhi oleh tekanan intrauterus.

Sumber: http://www.acog.org

16
c. Polip

Meskipun polip bukan penyebab yang sering pada dismenore, massa di dalam

rongga uterus dapat menyebabkan nyeri saat menstruasi. Ketika gejala cukup meluas,

pertumbuhan massa ini umumnya dapat dideteksi menggunakan virtue of uterine

enlargement atau hernia melalui serviks.

d. Penggunaan Intrauterine Devices (IUD)

Penyebab iatrogenik yang umum pada disemenore sekunder adalah

penggunaan IUD. Adanya benda asing dapat meningkatkan aktivitas uterus yang

dapat menimbulkan nyeri, terutama terjadi pada wanita yang belum memiliki anak.

Riwayat dan adanya string IUD pada pemeriksaan fisik memberikan petunjuk yang

cukup.

e. Infeksi

Dismenore sekunder merupakan konsekuensi dari adanya infeksi. Ketika

infeksi aktif muncul, seringnya muncul secara akut, dan akan terdiagnosa lebih awal.

Bekas luka dan adhesi dapat menyebabkan pergerakan serviks visera terbatas dan rasa

nyeri. Nyeri ini hanya timbul selama menstruasi, intercourse, gerakan makanan, dan

aktivitas fisik, serta akan menetap pada kondisi yang kronis. Riwayat infeksi pelvis,

khususnya yang berulang, dengan pemeriksaan nyeri pelvis, penebalan adnexal,

perpindahan yang terbatas, dapat menjadi dugaan.

Sedangkan beberapa penyebab yang bersifat ekstrauterin diantaranya adalah :

17
a. Endometriosis

Endometriosis merupakan kondisi adanya jaringan yang menyerupai membran

mukosa uterus yang normal yang terdapat di luar uterus. Lokasi utamanya

ditemukannya implan endometrium adalah di ovarium, ligamen uterus, rectovaginal

septum, pelvis peritoneum, tuba falopi, rektum, sigmoid, dan kandung kemih, serta

lokasi yang jauh dari uterus seperti plasenta dan vagina. Walaupun 8-10% pasien

mengalami gejala akut, sebagian besar pasien mengeluhkan dismenore yang berat

dengan gejala pada punggung dan rektum. Adanya nodul pada daerah uterosacral,

pada pasien yang memiliki gejala menyerupai inflamasi kronis pada pelvis dapat

ditentukan kemungkinan adanya endometriosis.

b. Tumor

Tumor yang jinak maupun ganas dapat menyebar pada uterus atau struktur

adnexal, dan kemungkinan dapat menyebabkan dismenore atau nyeri pelvis.

Walaupun tumor secara tunggal tidak menyebabkan nyeri, adanya massa pada

pemeriksaan fisik menjadikan dokter mendiagnosa kemungkinan adanya massa, dan

bukan hanya fibroid.

c. Inflamasi

Inflamasi kronis dapat menjadi sumber nyeri pelvis dan dismenore, hal ini

dapat terjadi karena efek aktif dari inflamasi atau adanya bekas luka dan kerusakan

yang disebabkan sebelumnya.

18
d. Adhesions

Adhesi muncul dari proses inflamasi sebelumnya atau pembedahan yang dapat

menjadi sumber nyeri pelvis kronis, namun jarang menyebabkan dismenore.

Meskipun secara umum tidak tampak pada pemeriksaan fisik, riwayat pasien dapat

membantu dalam evaluasi kemungkinan penyebabnya.

e. Psikogenik

Dismenore akibat faktor psikologis relatif umum terjadi. Karena seringnya

dismenore terjadi dan tidak adanya penjelasan untuk keluhan yang dirasakan pasien,

maka dengan mudah dapat dikatakan bahwa rasa nyeri yang ada merupakan salah satu

perasaan yang berhubungan dengan kondisi psikologis. Telah banyak laporan

mengenai berbagai tipe personal yang diyakini memiliki hubungan dengan dismenore

dan nyeri pelvis kronis. Hanya sedikit pasien yang menganggap bahwa nyeri atau

dismenore yang dialaminya merupakan nyeri karena pengaruh psikologis.

f. Pelvic congestive syndrome

Istilah dari pelvic congestive syndrome umumnya digunakan untuk pasien

dengan keluhan nyeri pelvis yang bersifat kronis atau dismenore yang kambuh dan

tidak ditemukan tanda-tanda klinik. Beberapa studi melaporkan bahwa pada pasien

dengan gejala ini ditemukan adanya pelebaran pembuluh vena pada pelvis ketika

dilakukan laparoskopi. Hal ini menjelaskan bahwa pelebaran vena ini menyebabkan

keluhan nyeri dan penebalan pelvis.

19
g. Non–gynecology

Seperti pada kasus nyeri nyeri pelvis akut, dinding abdominal, kandung

kemih, rektum, sigmoid, dan elemen skeletal dari pelvis dapat menjadi sumber

penyebab nyeri pelvis kronis. Semua faktor penyebab itu harus didiagnosa melalui

pemeriksaan fisik dan riwayat pasien dengan keluhan nyeri pelvis kronis (Smith,

2003).

E. Diagnosis

Dasar dari diagnosis dismenore primer adalah dengan mengeliminasi patologi

pelvic dan meyakinkan sifat nyeri yang siklik. Harus dilakukan pemeriksaan fisik

pada pelvic untuk menilai ukuran, bentuk, dan mobilitas uterus.

F. Penanganan

1. Penerangan dan nasihat

Perlu dijelaskan kepada penderita behwa dismenore adalah gangguan yang tidak

berbahaya untuk kesehatan. Hendaknya diadakan penjelasan dan diskusi mengenai

cara hidup, pekerjaan, kegiatan, dan lingkungan penderita. Kemungkinan salah

informasi mengenai haid atau adanya tabu/takhyul perlu dibicarakan. Nasihatnasihat

mengenai makanan sehat, istirahat yang cukup, dan olahraga yang teratur mungkin

dapat berguna. Kadang-kadang perlu juga psikoterapi.

2. Pemberian obat analgetik

Jika rasa nyerinya berat, diperlukan istirahat di tempat tidur dan kompres panas pada

perut bawah untuk mengurangi rasa nyeri tersebut. Obat analgesic yang biasa

diberikan adalah preparat kombinasi aspirin, fenasetin dan kafein. Obat-obat paten

20
yang beredar di pasaran antara lain novalgin, ponstan, achet-aminophen, dan

sebagainya.

3. Perawatan Lain

Pengobatan lain dapat membantu mengurangi rasa sakit, walaupun

tidak dapat mencegah terjadinya dismenore, adapun alternative lain untuk

mengatasi nyeri haid :

a. Konsumsi vitamin B 1 atau suplemen magnesium, vitamin E, B6, atau

minyak ikan. Di berbagai negara Eropa, telah dilakukan penelitian jika

suplemen tersebut dapat mengurangi rasa sakit ketika menstruasi.

b. Melakukan pemijatan

c. Melakukan Akupunktur atau akupresur

d. Kompres dengan botol air hangat pada bagian yang terasa kram. Bisa

di perut atau pinggang bagian belakang.

e. Mandi air hangat. Bisa juga ditambah aromaterapi untuk menenangkan

diri.

f. Minum minuman hangat.

g. Ambil posisi menungging sehingga rahim tergantung ke bawah. Posisi

ini dapat membantu relaksasi.

h. Tarik nafas dalam perlahan-lahan untuk relaksasi.

i. Minum obat penghilang rasa sakit. Yang harus diingat adalah obat ini

sebaiknya digunakan berdasarkan pengawasan dokter.

21
Untuk mengatasi mual dan muntah bisa diberikan obat anti mual,

tetapi mual dan muntah biasanya menghilang jika kramnya telah teratasi.

Gejala juga bisa dikurangi dengan istirahat yang cukup serta olah raga secara

teratur.

Jika nyeri terus dirasakan dan mengganggu kegiatan sehari-hari, maka

diberikan pil KB dosis rendah yang mengandung estrogen dan progesteron

atau diberikan medroxiprogesteron. Pemberian kedua obat tersebut

dimaksudkan untuk mencegah ovulasi (pelepasan sel telur) dan mengurangi

pembentukan prostaglandin, yang selanjutnya akanmengurangi beratnya

dismenore. Jika obat ini juga tidak efektif, maka dilakukan pemeriksaan

tambahan (misalnya laparoskopi).Jika dismenore sangat berat bisa dilakukan

ablasio endometrium, yaitu suatu prosedur dimana lapisan rahim dibakar atau

diuapkan dengan alat pemanas. Sedang Pengobatan untuk dismenore sekunder

tergantung kepada penyebabnya.

4. Terapi hormonal

Tujuan terapi hormonal adalah menekan ovulasi. Tindakan ini bersifat sementara

dengan maksud untuk membuktikan bahwa gangguan ini benar-benar dismenore

primer, atau untuk memungkinkan penderita melaksanakan pekerjaan penting pada

waktu haid tanpa gangguan. Tujuan ini dapat dicapai denganp pemberian salah satu

jenis pil kombinasi kontrasepsi.

Terapi dengan obat nonsteroid antiprostaglandin memegang peranan yang makin

penting terhadap dismenore primer. Termasuk disini indometasin, ibuprofen, dan

22
naproksen; dalam kurang lebih 70% penderita dapat disembuhkan atau mengalami

banyak perbaikan. Hendaknya perbaikan diberikan sebelum haid mulai; 1 sampai 3

hari sebelum haid, dan pada hari pertama haid.

Dilatasi kanalis servikalis dapat member keringanan karena memudahkan

pengeluaran darah haid dan prostaglandin di dalamnya. Neurektomi prasakral

(pemotongan urat saraf sensorik antara uterus dan SSP) ditambah dengan neurektomi

ovarial (pemotongan urat saraf sensorik yang ada di ligamentum infundibulum)

merupakan tindakan terakhir, apabila usaha-usaha lain gagal.

23
REFERENSI

Hanifa,W.2007.Ilmu kandungan.Ed.2.Cetakan 5.Jakarta: Yayasan Bina Pustaka

Sarwono Prawirahardjo http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/104/jtptunimus-gdl-

jannahrahm-5192-2bab1.pdf http://emedicine.medscape.com/article/795677-overview

http://morningcamp.com/?p=219

http://ivadillaazzahra.blogspot.com/2009/04/dismenore.html

www.fkunsri.wordpress.com http://sehatnews.com/mobile/penyakit-a-z/d/3206.html

http://www.acog.org/publications/patient_education/bp046.cfm

http://www.exomedindonesia.com/referensi-kedokteran/artikel-

ilmiahkedokteran/kandungan-dan-kebidanan-obstetri-

ginekologi/2010/10/30/dismenore/

24

Anda mungkin juga menyukai