Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA PASIEN DENGAN RISIKO PERILAKU KEKERASAN (RPK)

OLEH :

NI LUH PUTU NOVIYANTI


2114901102

FAKULTAS KESEHATAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS
INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI
2022
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI

LAPORAN PENDAHULUAN

I. Kasus (Masalah Utama)


Risiko perilaku kekerasan (RPK)
II. Proses Terjadinya Masalah
A. Definisi
Resiko perilaku kekerasan adalah Tindakan kekerasan yang
ditunjukan pada diri sendiri/orang lain secara verbal maupun non verbal
dan pada lingkungan. Hal ini terjadi karena adanya suatu perasaan tertentu
yang biasanya disebut dengan perasaan marah (Siti, 2019).
Resiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri merupakan perilaku
seorang individu bisa menunjukan atau mendemonstrasikan tindakan yang
membahayakan dirinya sendiri, baik secara fisik, emosional, maupun
seksual selain itu yang sama juga berlaku untuk risiko perilaku kekerasan
terhadap orang lain, hanya saja ditujukan kepada orang lain. Perilaku
kekerasan pada diri sendiri dapat berupa bunuh diri atau melukai diri atau
menelantarkan diri dan berupa tindakan agresif yang ditujukan untuk
melukai dan membunuh orang lain (Putri, 2018)
Resiko perilaku kekerasan pada lingkungan merupakan perilaku
merusak lingkungan seperti memecah kaca genting, membanting,
melempar semua hal yang ada di lingkungan. Sehingga bahwa perilaku
kekerasan merupakan respon emosi yang timbul sebagai reaksi terhadap
kecemasan yang meningkat dan dirasakan sebagai ancaman dan ungkapan
perasaan terhadap keadaan yang tidak menyenangkan (kecewa, keinginan
tidak tercapai, tidak puas) (Siti, 2019).
B. Faktor risiko perilaku kekerasan
Faktor-faktor risiko dari risiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri
dan risiko perilaku kekerasan terhadap orang lain (Putri, 2018):
1. Risiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri (risk for self-directed
violence)
a. Usia 45> tahun
b. Usia 15-19 tahun
c. Isyarat tingkah laku (menulis catatan cinta yang sedih, menyatakan
pesan bernada kemarahan kepada orang tertentu yang telah menolak
individu tersebut, dll).
d. Konflik mengenai orientasi sosial
e. Konflik dalam hubungan interpersonal
f. Pengangguran atau kehilangan pekerjaan (masalah pekerjaan)
g. Sumber daya personal yang tidak memadai
h. Status perkawinan (sendiri, menjanda, bercerai)
i. Pekerjaan (profesional, eksekutif, administrator atau pemilik bisnis)
j. Pola kesulitan dalam keluarga (riwayat bunuh diri, sesuatu yang
bersifat kekerasan atau konfliktual)
k. Isu kesehatan fisik
l. Gangguan psikologis
2. Risiko perilaku kekerasan terhadap orang lain (risk for other-directed
violence)
a. Akses atau ketersediaan senjata
b. Alterasi (gangguan) fungsi kognitif
c. Perlakuan kejam terhadap binatang
d. Riwayat kekerasan masa kecil, baik secara fisik, psikologis,
maupun seksual
e. Riwayat penyalahgunaan zat
f. Riwayat menyaksikan kekerasan dalam keluarga
g. Pelanggaran atau kejahatan kendaraan bermotor (seperti,
pelanggaran lalu lintas, penggunaan kendaraan bermotor untuk
melampiaskan amarah)
h. Bahasa tubuh negatif (seperti, kekakuan, mengepalkan
tinju/pukulan, hipersktivitas)
i. Gangguan neurologis trauma kepala, gangguan serangan, kejang,
dll)
j. Riwayat melakukan kekerasan tidak langsung (kencing dilantai,
menyobek objek dinding, melempar barang, memecahkan kaca,
membanting pintu)
k. Pola perilaku kekerasan terhadap orang lain ( menendang,
memukul, menggigit, mencakar, upaya perkosaan, memperkosa,
pelecehan seksual)
l. Pola ancaman kekerasan (ancaman secara verbal terhadap objek
atau orang lain, menyumpah serapah, gestur, atau catatan
mengancam, ancaman seksual)
m. Pola perilaku kekerasan antisosial (mencuri, meminjam, dengan
memaksa)
C. Etiologi
Menurut Verdianan (2019) Terjadinya perilaku kekerasan dapat
dijelaskan dengan menggunakan konsep stres adaptasi Struart yang
meliputi faktor predisposisi (faktor yang melatar belakangi) dan faktor
presipitasi (faktor yang memicu adanya masalah).
1. Faktor Predisposisi
Hal-hal yang dapat mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan,
meliputi :
a. Faktor Biologis
Hal yang dikaji pada faktor biologis meliputi adanya faktor
herediter yaitu adanya anggota keluarga yang sering
memperlihatkan atau melakukan perilaku kekerasan, adanya
anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, adanya riwayat
penyakit atau trauma kepala, dan riwayat penggunaan NAPZA
(narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya). Sedangkan
menurut Sutejo (2017) dari faktor-faktor tersebut masih ada teoroi-
teori yang menjelaskan tiap faktor.
1) Teori dorongan naluri (Instinctual drive theory)
Teori ini menyatakan bahwa perilaku kekerasan disebabkan
oleh suatu dorongan kebutuhan dasar yang kuat. Penelitian
neurobiologi mendapatkan bahwa adanya pemberian stimulus
elektris ringan pada hipotalamus (yang berada di tengah sistem
limbik) binatang ternyata menimbulkan perilaku agresif.
2) Teori psikomatik (Psycomatic theory)
Pengalaman marah dapat diakibatkan oleh respon psikologi
terhadap stimulus eskternal maupun internal. Sehingga sistem
limbik memiliki peran sebagai pusat untuk mengekspresikan
mauun menghambat rasa marah.
b. Faktor Psikologi
1) Frustation aggresion theory
Menerjemahkan bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai
suatu tujuan mengalami hambatan maka akan timbul dorongan
agresif yang pada gilirannya akan memotivasi perilaku yang
dirancang untuk melukai orang atau objek. Hal ini dapat terjadi
apabila keinginan individu untuk mencapai sesuatu gagal atau
terhambat. keadaan frustasi dapat mendorong individu untuk
berperilaku agresif karena perasaan frustasi akan berkurang
melalui perilaku kekerasan.
2) Teori Perilaku (Behaviororal theory)
Kemarahan merupakan bagian dari proses belajar. Hal ini dapat
dicapai apabila tersedia fasilitas atau situasi yang mendukung.
Reinforcement yang diterima saat melakukan kesalahan sering
menimbulkan kekerasan di dalam maupun di luar rumah.
3) Teori Eksistensi (Existential theory)
Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah bertindak sesuai
perilaku. Apabila kebutuhan tersebut tidak dipenuhi melalui
perilaku konstruktif, maka individu akan memenuhi
kebutuhannya melalui perilaku destruktif.
c. Faktor Sosial Budaya
Teori lingkungan sosial (social environment theory)
menyatakan bahwa lingkungan sosial sangat mempengaruhi sikap
individu dalam mengekspresikan marah. Norma budaya dapat
mendukung individu untuk berespon asertif atau agresif. Perilaku
kekerasan dapat dipelajari secara langsung melalui proses
sosialisasi (Social learning theory). Social learning theory
menerjemahkan bahwa agresi tidak berbeda dengan respon-respon
yang lain. Agresi dapat dipelajari melalui observasi atau imitasi,
dan semakin sering mendapatkan penguatan maka semakin besar
kemungkinan untuk terjadi. Sehingga seseorang akan berespon
terhadap keterbangkitan emosionalnya secara agresif sesuai dengan
respon yang dipelajarinya. Pembelajaran tersebut bisa internal
maupun eksternal. Contoh internal : orang yang mengalami
keterbangkitan seksual karena menonton film erotis menjadi lebih
agresif dibandingkan mereka yang tidak menonton film tersebut;
seorang anak yang marah karena tidak boleh beli es krim kemudian
ibunya memberinya es agar si anak berhenti marah, anak tersebut
akan belajar bahwa bila ia marah maka ia akan mendapatkan apa
yang ia inginkan. Contoh eksternal : seorang anak menunjukan
perilaku agresif setelah melihat seorang dewasa mengekspresikan
berbagai bentuk perilaku agresif terhadap sebuah boneka. Kultural
dapat pula mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya norma dapat
membantu mendefinisikan ekspresi agresif mana yang dapat
diterima atau tidak dapat diterima. Sehingga dapat membantu
individu untuk mengekspresikan marah dengan cara yang aserif.
2. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi perilaku kekerasan pada setiap individu bersifat
unik, berbeda satu orang dengan yang lain. Faktor ini berhubungan
dengan pengaruh stresor yang mencetuskan perilaku kekerasan bagi
setiap individu. Stresor tersebut dapat merupakan penyebab yang
berasal dari dalam maupun dari luar individu. Stresor dari dalam berupa
kehilangan relasi atau hubungan dengan orang yang dicintai atau berarti
seperti kehilangan keluarga, sahabat yag dicintai, kehilangan rasa cinta,
kekhawatiran terhadap penyakit, fisik dan lain-lain. Sedangkan stresor
dari luar berupa serangan fisik, kehilangan, kematian, lingkungan yang
terlalu ribut, kritikan yang mengarah pada penghinaan, tindakan
kekerasan.
Faktor presipitasi faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku
kekerasan sering kali berkaitan dengan :
a. Ekspresi diri, ingin menunjukan eksistensi diri atau simbol solidaritas
seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah,
perkelahian masal dan sebagainya.
b. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial
ekonomi.
c. Kesulitan dalam mengomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta
tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah, cenderung
melakukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
d. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuan menempatkan dirinya sebagai seorang yang dewasa.
e. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat
menghadapi rasa frustasi.
f. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan
keluarga.
D. Patofisiologi
Klien dengan gangguan perilaku kekerasan memiliki beberapa perilaku
yang perlu diperhatikan. Perilaku klien dengan gangguan perilaku
kekerasan dapat membahayakan bagi dirinya sendiri, orang lain, maupun
lingkungan sekitar. Adapun perilaku yang harus dikenali dari klien
gangguan risiko perilaku kekerasan, antara lain:
1. Menyerang atau menghindar
Pada keadaan ini respon fisiologis timbul karena kegiatan sistem syaraf
otonom bereaksi terhadap sekresi ephineprin yang menyebabkan
tekanan darah meningkat, takikardi, wajah merah, pupil melebar, mual,
sekresi HCL meningkat, peristaltik gaster menurun, pengeluaran urine
dan saliva meningkat, konstipasi, kewaspadaan meningkat, disertai
ketegnagan otot seperti ; rahang terkatup, tangan mengepal, tubuh
menjadi kaku dan disertai reflek yangcepat.
2. Menyatakan secara asertif
Perilaku yang sering ditampilkan individu dalam mengekspresikan
kemarahannya yaitu perilaku pasif, agresif, dan asertif. Perilaku asertif
merupakan cara terbaik individu untuk mengekspresikan rasa marahnya
tanpa menyakiti orang lain secara fisik maupun psikologis. Dengan
perilaku tersebut juga dapat mengembangkan diri.
3. Memberontak
Perilaku yang muncul biasanya disertai kekerasan akibat konflik
perilaku untuk menarik perhatian orang lain.
4. Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada diri sendiri,
orang lain, maupun lingkungan.
E. Rentang respon
Perilaku kekerasan merupakan respon kemarahan. Respon kemarahan dapat
berfluktuasi dalam rentang adaptif sampai mal adaptif. Rentang respon
marah, agresif dan amuk (perilaku kekerasan) berada pada rentang respon
mal adaptif. Berikut adalah rentang gambar respon perilaku kekerasan:

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Amuk

Keterangan:
1. Asertif
Perilaku asertif adalah menyampaika sesuatu perasaan diri dengan pasti
dan merupakan komunikasi untuk menghormati orang lain. Individu
yang asertif berbicara dengan jujur dan jelas. Mereka dapat melihan
normal dari individu yang lainnya dengan tepat sesuai situasi. Pada saat
berbicara kontak mata langsung tapi tidak mengganggu, intonasi suara
dalam berbicara tidak mengancam.
2. Pasif
Individu yang pasif sering mengenyampingkan haknya dari persepsinya
terhadap hak orang lain. Ketika seseorang yang pasif marah dia akan
berusaha menutupi kemarahannya sehingga meningkatkan tekanan pada
dirinya.
3. Frustasi
Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan yang
kurang realistis atau hambatan dalam mencapai tujuan.
4. Agresif
Individu yang agresif tidak menghargai hak orang lain. Individu merasa
harus bersaing untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Seseorang
yang agresif di dalam hidupnya selalu mengarah pada kekerasan fisik
dan verbal.
5. Amuk
Amuk atau perilaku adalah perasaan marah dan bermusuhan yang kuat
yang disertai kehilangan kontrol diri sehingga individu dapat merusak
diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.
F. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala risiko perilaku kekerasan dapat ditemukan dengan
wawancara melalui pertanyaan sebagai berikut:
1. Coba ceritakan ada kejadian apa/apa yang menyebabkan anda marah?
2. Coba anda ceritakan apa yang anda rasakan ketika marah?
3. Perasaan apa yang anda rasakan ketika marah?
4. Sikap atau perilaku atau tindakan apa yang dilakukan saat anda marah?
5. Apa akibat dari cara marah yang anda lakukan?
6. Apakah dengan cara yang digunakan penyebab marah anda hilang?
7. Menurut anda apakah ada cara lain untuk mengungkapkan kemarahan
anda?
Setelah dilakukan wawancara dan observasi, muncul data subyektif dan
data subyektif dari hasil wawancara dan observasi:
1. Data Subyektif
a. Ungkapan berupa ancaman
b. Ungkapan kata-kata kasar
c. Ungkapan ingin memukul/ melukai
2. Data Objektif
1) Wajah memerah dan tegang
2) Pandangan tajam
3) Mengatupkan rahang dengan kuat
4) Mengepalkan tangan
5) Bicara kasar
6) Suara tinggi, menjerit atau berteriak
7) Mondar-mandir
8) Melempar atau memukul benda/orang lain
Tanda dan gejala perilaku kekerasan sebagai berikut:
1. Fisik
Mata melotot, pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup,
wjah merah dan tegang, serta postur tubuh kaku.
2. Verbal
Mengancam, mengumpat dengan kata-kata kasar, bicara dengan nada
keras, kasar, dan ketus.
3. Perilaku
Menyerang orang lain, melukai diri sendiri/ orang lain, merusak
lingkungan amuk/ agresif.
4. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam,
jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi,
menyalahkan, dan menuntut.
5. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, dan jarang
mengeluarkan kata- kata bernada sarkasme.
6. Spiritual
Merasa dirinya berkuasa, merasa dirinya benar, keragu-raguan, tidak
bermoral, dan kreativitas terhambat.
7. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, ejekan, dan sindiran.
8. Perhatian
Bolos, melarikan diri dan melakukan penyimpangan seksual.
G. Mekanisme Koping
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang disarankan pada
penatalaksanaan stres, termasuk upaya penyelesian masalah langsung dan
mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri. Kemarahan
merupakan ekspresi dari rasa cemas yangtimbul karena adanya ancaman.
Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien marah untuk
melindungi diri antara lain :
1. Sublimasi
Menerima suatu sasaran pengganti artinya saatmengalami suatu
dorongan, penyalurannya ke arah lain. Misalnya, seseorang yang
sedang marah melampiaskan kemarahannya pada objek lain seperti
meremas adonan kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuannnya
adalah untuk mengurangi ketegangan akibat rasa marah
2. Proyeksi
Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau keinginan yang
tidak baik. Misalnya, seseorang wanita muda yang menyangkal bahwa
ia mempunyai perasaan seksual terhadap rekan kerjanya, berbalik
menuduh bahwa temanya tersebut mencoba merayu dan mencumbunya.
3. Represi
Mencegah pikiran menyakitkan atau membahayakan masuk ke alam
sadar. Misalnya, seorang anak yang sangat benci pada orang tuanya
yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang
diterima sejak kecil, membeci orang tua merupakan hal yang tidak baik
dan dikutuk oleh Tuhan sehingga perasaan benci itu ditekannya dan
akhirnya ia dapat melupakannya.
4. Reaksi formasi
Mencegah keinginan yang berbahayabila diekpresikan dengan melebih-
lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakannya
sebagai rintangan. Misalnya, sesorang tertaik dengn teman suaminya,
akan memperlakukan orang tersebut dengan kasar
5. Displacement
Melepaskan perasaan yang tertekan, melampiaskan pada objek yang
tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang
membangkitkan emoosi itu. Misalnya, Timi berusia 4 tahun yang marah
karena ia baru saja mendapat hukuman dari ibunya karena menggambar
di dinding kamarnya, mulaimain perang-perangan dengan temannya.
H. Penatalaksanaan
1. Farmakologi
Psikofarmaka adalah terapi menggunakan obat dengan tujuan untuk
mengurangi atau menghilangkan gejala gangguan jiwa. Jenis obat
psikofarmaka adalah :
a. Clorpromazine (CPZ, Largactile)
Indikasi untuk mensupresi gejala-gejala psikosa: agitasi, ansietas,
ketegangan, kebingungan, insomnia, halusinasi, waham, dan gejala-
gejala lain yang biasanya terdapat pada penderita skizofrenia, mania
depresif, gangguan personalitas, psikosa involution, psikosa masa
kecil.
b. Haloperidol (Haldol, Serenace)
Indikasinya yaitu manifestasi dari gangguan psikotik, sindroma
gilles de la toureette pada anak-anak dan dewasa maupun pada
gangguan perilaku berat pada anak-anak. Dosis oral untuk dewasa
1-6 mg sehari yang terbagi 6-15 mg untuk keadaan berat.
Kontraindikasinya depresi sistem saraf pusat atau keadaan koma,
penyakit parkinson, hipersensitif terhadap haloperidol. Efek
sampingnya sering mengantuk, kaku, tremor lesu, letih, gelisah.
c. Trihexiphenidyl (TXP, Artane, Tremin)
Indikasi untuk penatalaksanan manifestasi psikosa khususnya gejala
skizofrenia.
d. ECT (Electro Convulsive Therapy)
ECT adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang granmall secara
artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui elektrode yang
dipasang satu atau dua temples.Terapi kejang listrik diberikan pada
skizofrenia yang tidak mempan dengan terapi neuroleptika oral atau
injeksi, dosis terapi kejang listrik 4-5 joule/detik.
2. Tindakan Keperawatan
Penatalaksanaan pada pasien dengan perilaku kekerasan meliputi :
a. Terapi Modalitas
1) Terapi lingkungan
Begitu pentingnya bagi perawat untuk mempertimbangkan
lingkungan bagi semua pasien ketika mencoba mengurangi atau
menghilangkan agresif. Aktivitas atau kelompok yang
direncanakan seperti permainan kartu, menonton dan
mendiskusikan sebuah film, atau diskusi informal memberikan
pasien kesempatan untuk membicarakan peristiwa atau isu
ketika pasien tenang. Aktivitas juga melibatkan pasien dalam
proses terapeutik dan meminimalkan kebosanan. Penjadwalan
interaksi satu-satu dengan pasien menunjukkan perhatian
perawat yang tulus terhadap pasien dan kesiapan untuk
mendengarkan masalah pikiran serta perasaan pasien.
Mengetahui apa yang diharapkan dapat meningkatkan rasa
aman pasien.
2) Terapi Kelompok
Pada terapi kelompok, pasien berpartisipasi dalam sesi bersama
dalam kelompok individu. Para anggota kelompok bertujuan
sama dan diharapkan memberi kontribusi kepada kelompok
untuk membantu yang lain dan juga mendapat bantuan dari
yang lain. Peraturan kelompok ditetapkan dan harus dipatuhi
oleh semua anggota kelompok. Dengan menjadi anggota
kelompok, pasien dapat mempelajari cara baru memandang
masalah atau cara koping atau menyelesaikan masalah dan juga
membantunya mempelajari keterampilan interpersonal yang
penting
3) Terapi Keluarga
Terapi keluarga adalah bentuk terapi kelompok yang
mengikutsertakan pasien dan anggota keluarganya. Tujuannya
ialah memahami bagaimana dinamika keluarga memengaruhi
psikopatologi pasien, memobilisasi kekuatan dan sumber
fungsional keluarga, merestrukturisasi gaya perilaku keluarga
yang maladaptif, dan menguatkan perilaku penyelesaian
masalah keluarga
4) Terapi Individual
Psikoterapi individu adalah metode yang menimbulkan
perubahan pada individu dengan cara mengkaji perasaan, sikap,
cara pikir, dan perilakunya. Terapi ini memiliki hubungan
personal antara ahli terapi dan pasien. Tujuan dari terapi
individu yaitu memahami diri dan perilaku mereka sendiri,
membuat hubungan personal, memperbaiki hubungan
interpersonal, atau berusaha lepas dari sakit hati atau
ketidakbahagiaan. Hubungan antara pasien dan ahli terapi
terbina melalui tahap yang sama dengan tahap hubungan
perawat-pasien yaitu introduksi, kerja, dan terminasi. Upaya
pengendalian biaya yang ditetapkan oleh organisasi
pemeliharaan kesehatan dan lembaga asuransi lain mendorong
upaya mempercepat pasien ke fase kerja sehingga memperoleh
manfaat maksimal yang mungkin dari terapi

III. A. Pohon masalah

Risiko mencederai diri sendiri, orang lain


Effect
dan lingkungan

Risiko perilaku Core Problem


kekerasan

Cause
Gangguan konsep diri: Harga Diri Rendah

B. Data yang perlu dikaji


a. Data yang peru dikaji pada masalh keperawatn dengan risiko perilaku
kekerasan:
1) Identitas klien dan penanggung jawab
Identitas mencakup inisial, umur, jenis kelamin, pendididkan,
pekerjaan, suku bangsa, agama, alamat dan hubungan dengan
penanggung jawab
2) Alasan dirawat
Alasan dirawat meliputi: keluhan utama dan riwayat penyakit,
keluhan ujtama berisi tentang sebab klien atau keluarga datang
kerumah sakit ddan keluhan klien saat pengkajian. Pada
riwayat penyakit terdapat fdaktor predisposisis dan factor
presipitasi. Pada factor predisposisi dikaji tentang factor- factor
pendukung klien untuk melakukan prilaku kekerasan, factor
presipitasi dikaji tentang factor penccetus yang membuat klien
melakukan priklaku kekerasan
Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
a. Data Subjektif :
1) Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.
2) Klien suka membentak dan menyerang orang yang
mengusiknya jika sedang kesal atau marah.
3) Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.
b. Data Objektif :
1) Mata merah, wajah agak merah.
2) Nada suara tinggi dan keras, bicara menguasai: berteriak,
menjerit, memukul diri sendiri/orang lain.
3) Ekspresi marah saat membicarakan orang, pandangan tajam.
4) Merusak dan melempar barang-barang.
Resiko Perilaku kekerasan 
c. Data Subyektif
1) Ungkapan berupa ancaman
2) Ungkapan kata-kata kasar
3) Ungkapan ingin memukul/ melukai
4) Klien mengatakan benci atau kesal pada seseorang.
5) Klien mengatakan dendam dan jengkel
d. Data Objektif
1) Wajah memerah dan tegang
2) Pandangan tajam
3) Mengatupkan rahang dengan kuat
4) Mengepalkan tangan
5) Bicara kasar
6) Suara tinggi, menjerit atau berteriak
7) Mondar-mandir
8) Melempar atau memukul benda/orang lain
Harga diri rendah kronis
e. Data subjektif
1) Menilai diri negatif (tidak berguna)
2) Merasa malu atau bersalah
3) Merasa tak mampu melakukan apapun
4) Meremehkan kemampuan mengatasi masalah
5) Merasa tidak memiliki kelebihan atau kemampuan postif
6) Melebih-lebihkan penilaian negatif tentang diri sendiri
7) Menolak penilaian positif tentang diri sendiri
8) Merasa sulit tidur
9) Mengingkapkan keputusasaan
f. Data objektif
1) Enggan mencoba hal baru
2) Berjalan menunduk
3) Postur tubuh menunduk
4) Kontak mata kurang
5) Lesu dan tidak bertenaga
6) Berbicara pelan dan lirih
7) Pasif
8) Perilaku tidak asertif
9) Mencari penguatan secara berlebihan
10) Bergantung pada pendapat orang lain
11) Sulit membuat keputusan
3) Pemeriksaan fisik
Pengkajian/pemeriksaan fisik difokuskan pada sistem dan fungsi
organ tubuh dan kondisi fisik (dengan cara observasi, auskultasi,
palpasi, perkusi dan hasil pengukuran) dalam pengukuran
dilakukan tanda-tanda vital
IV. Diagnosa Keperawatan
1. Risiko perilaku kekerasan
2. Gangguan konsep diri: Harga diri rendah
3. Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan
V. Recana Tindakan Keperawatan
Rencana tindakan keperawatan :
Diagnosa I : Risiko perilaku kekerasan
TUM (Tujuan Umum) : Klien tidak mencederai diri sendiri, orang lain, dan
lingkungan
TUK (Tujuan Khusus) :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
Tindakan:
a. Salam terapeutik, empati, sebut nama perawat dan jelaskan tujuan
interaksi
b. Panggil klien dengan nama panggilan yang disukai
c. Bicara dengan sikap tenang, rileks dan tidak menantang
d. Jelaskan tentang kontrak yang akan dibuat
e. Beri rasa aman dan sikap empati
f. Lakukan kontak singkat tapi sering
2. Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
Tindakan:
a. Beri kesempatan mengungkapkan perasaan
b. Bantu klien mengungkapkan perasaan jengkel/kesal
c. Dengarkan ungkapan rasa marah dan perasaan bermusuhan klien
dengan sikap seseorang
3. Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan
Tindakan:
a. Anjurkan klien mengungkapkan yang dialami dan dirasakan saat
jengkel/kesal
b. Observasi tanda perilaku kekerasan
c. Simpulkan bersama klien tanda dan gejala jengkel/kesal yang dialami
klien
4. Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa dilakukan
Tindakan:
a. Anjurkan mengungkapkan PK yang biasa dilakukan
b. Bantu bernain peran sesuai dengan PK yang biasa dilakukan
c. Tanyakan: apakah dengan cara yang dilakukan masalah selesai?
5. Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan
Tindakan:
a. Bicarakan akibat/kerugian dari cara yang dilakukan
b. Bersama klien menyimpulkan akibat dari cara yang digunakan
c. Tanyakan apakah ingin mempelajari cara baru yang sehat
6. Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam berespon terhadap
kemarahan
Tindakan:
a. Tanyakan kepada klien apakah ia ingin mempelajari cara baru yang
sehat
b. Beri pujian jika mengetahui cara lain yang sehat
c. Diskusikan dengan klien cara lain yang sehat:
1) Secara fisik: tarik nafas dalam jika sedang kesal, berolahraga,
memukul bantal/kasur, atau pekerjaan yang memerlukan tenaga
2) Secara verbal: katkan bahwa anda sedang marah atau
kesal/tersinggung
3) Seccara sosial: lakukan dalam kelompok cara marah yang sehat,
latihan sertif, latihan manajemen PK
4) Secara spiritual: berdoa, sembahyang, memohon kepada tuhan untuk
diberi kesabaran
7. Klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan
Tindakan:
a. Bantu memilih cara yang paling tepat
b. Bantu mengidentifikasi manfaat cara yang telah dipilih
c. Bantu mensimulasikan cara yang telah dipilih
d. Beri reiforcement positif atas keberhasian yang dicapai dalam simulasi
e. Anjurkan menggunakan cara yang telah dipilih saat jengkel/marah
f. Susun jadwal melakukan cara yang telah dipilih
8. Klien dapat menggunakan obat dengan benar (sesuai program)
Tindakan:
a. Jelaskan jenis-jenis obat yang diminum klien pada klien dan keluarga
b. Diskusikan manfaat minum obat dan kerugian berhenti minum obat
tanpa seizin dokter
c. Jelaskan prinsip 5 benar minum obat (nama klien, obat, dosis, cara dan
waktu)
d. Anjurkan untuk membcarakan efek samping obat yang perlu
diperhatikan
e. Anjurkan klien melaporkan pada perawat/dokter jika merasakan efek
yang tidak menyenangkan
f. Beri pujian jika klien minum obat dengan benar
9. Klien dapat mendapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol perilaku
kekerasan
Tindakan:
a. Identifikasi kemampuan keluarga merawat klien
b. Jelaskan peran serta keluarga dalam merawat klien
c. Jelaskan cara-cara merawat klien:
1) Cara mengontrol perilaku marah secara konstruktif
2) Sikap tenang, bicara tenang dan jelas
3) Membantu klien mengenal penyebab ia marah
d. Bantu keluarga mendemonstrasikan cara merawat klien
e. Bantu keluarga mengungkapkan perasaannya setelah melakukan
demostrasi
10. Klien mendapat perlindungan dari lingkungan untuk mengontrol perilaku
kekerasan
Tindakan:
a. Bicara tenang, gerakan tidak terburu-buru, nada suara rendah, tunjukan
kepedulian
b. Lindungi agar klien tidak mencederai orang lain dan lingkungan
c. Jika tidak dapat diatasi, lakukan pembatasan gerak atau pengekangan.
Klien Keluarga
Bina Hubungan Saling Percaya (BHSP):
1. Salam terapeutik, empati, sebut nama
perawat dan jelaskan tujuan interaksi
2. Panggil klien dengan nama panggilan yang
disukai
3. Bicara dengan sikap tenang, rileks dan tidak
menantang
4. Jelaskan tentang kontrak yang akan dibuat
5. Beri rasa aman dan sikap empati
6. Lakukan kontak singkat tapi sering
SP 1 P SP 1 K
1. Mengidentifikasi penyebab perilaku 1. Mendiskusikan masalah yang
kekerasan dirasakan keluarga dalam merawat
2. Mengidentifikasi tanda dan gejala prilaku klien
kekerasan 2. Menjelaskan pengertian perilaku
3. Mengidentifikasi perilaku kekerasan yang kekerasan, tanda dan gejala serta
dilakukan proses terjadinya perilaku
4. Mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan kekerasan
5. Menyebutkan cara mengendalikan atau 3. Menjelaskan cara merawat pasien
mengontrol perilaku kekerasan PK
6. Membantu klien mepraktekan latihan cara
mengendalikan perilaku kekerasan secara
fisik I (latihan nafas dalam)
7. Menganjurkan klien memasukan dalamn
kegiatan harian
SP 2 P SP 2 K
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Melatih keluarga mempraktikkan
2. Melatih klien mengontrol perilaku cara merawat klien dengan perilaku
kekerasan dengan cara fisik II (pukul kasur kekerasan
dan bantal) 2. Melatih keluarga melakukan cara
3. Menganjurkan klien memasukan kedalam merawat langsung kepada klien
kegiatan harian perilaku kekerasan
SP 3 P SP 3 K
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien 1. Membantu keluarga membuat
2. Melatih klien mengontrol perilaku jadwal aktivitas di rumah termasuk
kekerasan dengan cara verbal minum obat (discharge planning)
3. Menganjurkan klien memasukan kegiatan 2. Menjelaskan tindak lanjut klien
harian setelah pulang
SP 4 P
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
2. Melatih klien mengontrol perilaku
kekerasan dengan cara spiritual
3. Menganjurkan klien memasukan kegiatan
harian
SP 5 P
1. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien
2. Menjelaskan cara mengendalikan perilaku
kekerasan dengan cara minum obat
3. Menganjurkan klien memasukan kegiatan
harian

VI. Diagnosa Medis


A. Pengertian
Skizofrenia adalah satu gangguan jiwa, yang termaksud gangguan
skizofrenia yaitu gangguan skizofektif, gangguan waham, gangguan psikotik
singkat, dan gangguan psikotik induktif zat, dan suatu penyakit yang
mempengaruhi otak sehingga menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi,
emosi, gerakan dan prilaku yang aneh dan terganggu (American Psychiatric
Association, 2013).
Skizofrenia     merupakan     penyakit     otak     yang     timbul     akibat
ketidak seimbangan sehingga penyakit otak neurologis yang berat dan terus
menerus. Respon dapat berupa yaitu sangat mengganggu kehidupan baik
individu, keluarga dan masyarakat. Pada penyakit ini gejalanya yang
dikeluarkan berupa sulit memulai pembicaraan, afek tumpul atau datar,
berkurangnya motivasi, atensi, pasif, apatis, defisit perhatian, dan penarikan
diri (Stuart, 2013).

B. Etiologi
Penyebab skizofrenia ini terdiri atas Genetik, neurokimia, hipotesis
perkembangan saraf, Psikososial.
1. Genetik
Dapat dipastikan bahwa ada faktor ada faktor genetik yang turut
menentukan timbulnya skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan
penelitian tentang keluarga-keluarga penderita skizofrenia. Tetapi
pengaruh genetik tidak sesederhana hukum mendel. Diperkirakan bahwa
yang diturunkan adalah potensi untuk mendapatkan skizofrenia melalui
gen yang resesif. Potensi ini mungkin kuat, mungkin juga lemah, tetapi
selanjutnya tergantung pada lingkungan individu itu apakah akan terjadi
manifestasi skizofrenia atau tidak.
2. Neurokimia: Hipotesis dopamin
Menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan oleh overaktivitas pada jaras
dopamin mesolimbik. Hal ini didukung oleh temuan bahwa amfetamin,
yang kerjanya meningkatkan pelepasan dopamin, dapat menginduksi
psikosis yang mirip skizofrenia; obat antipsikotik (terutama antipsikotik
generasi pertama atau antipsikotik tipikal/klasik) bekerja dengan
mengeblok reseptor dopamin.
3. Hipotesis perkembangan saraf
Studi autopsi dan studi pencitraan otak memperlihatkan abnormalitas
struktur dan morfologi otak penderita skizofrenia, antara lain berupa
berat otak yang rata-rata lebih kecil daripada otak normal, pembesaran
ventrikel otak yang nonspesifik, gangguan metabolisme didaerah frontal
dan temporal, dan kelainan susunan seluler pada struktur saraf
dibeberapa daerah kortex dan subkortex tanpa adanya gliosis yang
menandakan kelainan tersebut terjadi pada saat perkembangan.
4. Faktor psikososial
Menurut teori psikoanalisis, kerusakan yang menentukan penyakit
mental adalah gangguan dalam organisasi ‘ego’. Gangguan ini terjadi
sebagai akibat distorsi dalam hubungan timbal balik antara bayi dan
ibunya, dimana si anak tidak dapat berkembang melampui fase oral dari
perkembangan jiwanya
C. Jenis-Jenis Skizofrenia
Skizofrenia terdapat beberapa jenis penderita digolongkan kedalam
salah satu jenis menurut gejala utama yang terdapat padanya. Akan tetapi
batas-batas golongangolongan ini tidak jelas, gejala-gejala dapat berganti-
ganti atau mungkin seorang penderita tidak dapat digolongkan kedalam
salah satu jenis. Pembagian adalah sebagai berikut:
1. Skizofrenia Paranoid
Skizofrenia paranoid agak berlainan dari jenis-jenis yang lain dalam
jalannya penyakit. Skizofrenia hebefrenik dan katatonik sering lama
kelamaan menunjukkan gejala-gejala skizofrenia simplex, atau gejala-
gejala hebefrenik dan katatonik bercampuran. Tidak demikian halnya
dengan skizofrenia paranoid yang jalannya agak konstan. Gejala-gejala
yang mencolok adalah waham primer, disertai dengan waham-waham
sekunder dan halusinasi. Baru dengan pemeriksaan yang teliti ternyata
ada juga gangguan proses berpikir, gangguan afek, emosi dan kemauan.
Jenis skizofrenia ini sering mulai sesudah umur 30 tahun. Permulaannya
mungkin sub akut, tetapi mungkin juga akut. Kepribadian penderita
sebelum sakit sering dapat digolongkan skizoid. Mereka mudah
tersinggung, suka menyendiri, agak congkak, dan kurang percaya pada
orang lain.

2. Skizofrenia Hebefrenik
Permulaannya perlahan-lahan atau sub akut dan sering timbul pada masa
remaja atau antara 15-25 tahun. Gejala yang mencolok adalah gangguan
proses berpikir, gangguan kemauan, gangguan psikomotor seperti
perilaku kekanak-kanakan sering terdapat pada skizofrenia hebefrenik.
Waham dan halusinasi banyak sekali.
3. Skizofrenia Katatonik
Timbulnya pertama kali antara umur 15-30 tahun, dan biasanya akut
serta sering didahului oleh stres emosional. Mungkin terjadi gaduh
gelisah katatonik atau stupor katatonik.
a) Muka tanpa mimik.
b) Stupor, penderita tidak bergerak sama sekali untuk waktu yang lama,
beberapa hari, bahkan kadang sampai beberapa bulan.
c) Bila diganti posisinya penderita menderita
d) Makanan ditolak, air ludah tidak ditelan sehingga terkumpul didalam
mulut dan meleleh keluar, air seni dan feses ditahan.
4. Skizorenia Simplex
Sering timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala utama pada jenis
simplex adalah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan.
Gangguan proses berpikir biasanya sukar ditemukan. Waham dan
halusinasi jarang sekali terdapat. Jenis ini timbulnya perlahan-lahan
sekali. Pada permulaan mungkin penderita mulai kurang memperhatikan
keluarganya atau mulai menarik diri dari pergaulan. Makin lama ia
makin mundur dalam pekerjaan atau pelajaran dan akhirnya menjadi
penganggur. Bila tidak ada orang yang menolongnya ia mungkin akan
menjadi pengemis atau penjahat.
5. Skizofrenia Residual
Jenis ini adalah keadaan kronis dari skizofrenia dengan riwayat
sedikitnya satu episode psikotik yang jelas dan gejala-gejala
berkembang kearah gejala negatif yang lebih menonjol. Gejala negatif
terdiri dari keterlambatan psikomotor, penurunan aktifitas, pasif dan
tidak ada inisiatif, kemiskinan pembicaraan, ekspersi non verbal
menurun, serta buruknya perawatan diri dan fungsi sosial.
D. Tanda dan Gejala
Tanda gejala serangan skizofrenia dibagi menjadi dua yaitu:
1. Tanda gejala positif
Halusinasi selalu terjadi saat rangsangan terlalu kuat dan otak tidak
mampu menginterprestasikan dan merespons pesan atau rangsangan
yang datang. Pasien skizofrenia kemungkinan mendengar suara-suara
atau melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada atau mengalami suatu
sensasi yang tidak biasa pada tubuhnya. Auditory hallucination gejala
yang biasanya timbul yaitu pasien merasakan ada suara dari dalam
dirinya.
Penyesatan pikiran (delusi) adalah kepercayaan yang kuat dalam
menginterprestasikan suatu yang kadang berlawanan dengan kenyataan.
Beberapa penderita skizofrenia berubah menjadi seorang paranoid.
Mereka merasa selalu sedang diamati, diintai atau hendak diserang.
Kegagalan berfikir mengarah kepada masalah dimana pasien
skizofrenia tidak mampu memperoses dan mengatur pikirannya. Pasien
skizofrenia tidak mampu mengatuk pikirannya sehingga membuat
mereka berbicara sendiri dan tidak bisa ditamgkap secara logika.
Ketidakmampuan dalam berpikir mengakibatkan ketidakmampuan
mengendalikan emosi dan perasaan.
Semua itu membuat penderita skizofrenia tidak bisa memahami
siapa dirinya, tidak berpakaian, dan tidak bisa mengerti apa itu manusia
dia juga tidak bisa mengerti kenaapa dia lahir, dimanan dia berada, dan
sebagainya.
2. Tanda gejala negatif
Pasien skizofrenia kehilangan motivasi dan apatis berarti
kehilangan energi dan minat dalam hidup yang membuat pasien menjadi
orang yang malas. Perasan yang tumpul membuat emosi pasien
skizofrenia menjadi datar. Pasien skizofrenia tidak memiliki ekspresi
baik dari raut muka maupun gerakan tangannya. Tapi ini tidak berarti
bahwa pasien skizofrenia tidak bisa merasakan perasaan apapun. Mereka
mungkin bisa menerima pemberian dan perhatian orang lai, tetapi tidak
bisa mengekspresikan perasaan mereka.
Perasaan depresi adalah suatu yang sangat menyakitkan mereka,
tidak merasa memiliki prilaku yang menyimpang, tidak bisa membina
hubungan relasi dengan orang lain, dan tidak mengenal cinta. Di
samping itu, perubahan otak secara biologis juga memberi andil dalam
depresi. Depresi yang berkelanjutan akan menyebabkan pasien menarik
diri dari lingkungannya. Mereka selalu merasa aman bila sendirian.
E. Penatalaksanaan
1. Farmakologi
Tindakan terapi medis utama untuk skizofrenia ialah
psikofarmakologi. Antipsikotik yang juga dikenal sebagai neuroleptik,
diprogramkan terutama karena keefektifannya dalam mengurangi gejala
psikotik. Obat-obatan ini tidak menyembuhkan skizofrenia, tetapi
digunakan untuk mengatasi gejala penyakit tersebut. Antipsikotik tipikal
mengatsi tanda-tannda positif skizofrenia, seperti waham, halusinasi,
gangguan pikir, gejala psikotik lainnya, tetapi tidak memiliki efek yang
tampak pada tanda-tanda negatif. Antipsikotik tipikaal tidak hanya
mengurangi tanda-tanda negatif tetapi untuk banyak pasien, obat-obatan
ini juga mengurangi tanda-tanda negatif seperti tidak memiliki kemauan
dan motivasi, menarik diri dari masyarakat
Antipsikotik juga tersedia dalam bentuk injeksi dengan pot untuk
terapi rumatan, flufenazim dalam sedian dekanoat dan enantat dan
haloperidol (haldol) dekanoat Efek obat-obatan ini berlangsung dua
sampai empat minggu sehingga antipsikotik tidak perlu diberikan tiap
hari. Terapi oral dengan obat-obatan ini untuk mencapai kadar dosis
yang stabil memerlukan waktu beberapa minggu sebelum menggantinya
dengan injeksi. Dengan demikian, sedian ini tidak cocok untuk
mengatasi episode akut psikosis, akan tetapi sedian ini akan bermanfaat
untuk pasien yang perlu di awasi kepatuhan minum obat dalam jangka
panjang
2. Non-farmakologi
Terapi farmakologi ada juga terapi non-farmakologis banyak
metotede terapi yang dapat bermanfaat bagi penderita skizofrenia yaitu
terapi kelompok dan individu, terapi lingkungan dan terapi keluarga
dapat dilaksanakan pada pasien di lingkungan rawat inap maupun
lingkungan masyarakat. Berikut penjelasannya.
a. Sesi terapi kelompok dengan individu sering kali bersifat suportif,
dengan memberi kesempatan kepada pasien untuk kontak sosial dan
mmenjalin hubungan yang berbakna dengan orang lain. Kelompok
yang berfokus pada topik masalah seperti penatalaksanaan
pengobatan, penggunaan dukungan masyarakat, dan masalah
keluarga juga bermanfaat bagi pasien penderita skizofrenia.
b. Lingkungan yang terstruktur tersebut dapat menyediakan kelompok
aktivitas, sumber-sumber untuk menyelesaikan konflik, dan
kesempatan untuk mempelajari keterampilan baru. Perawat juga
dapat menggunakan musik dan menggambar untuk mengurangi
prilaku pasien menarik diri dari masyarakat, mengurangi ansietas,
dan meningkatkan motivasi dan lebih percaya diri
c. Penyuluhan dan terapi keluarga diketahui mengurangi efek negatif
skizofrenia sehingga mengurangi angaka relaps. Selain itu, anggota
keluarga dapat memperoleh manfaat dari lingkungan suportif yang
membantu mereka melakukan koping terhadap banyak kesulitan
yang terjadi ketika seseorang yang dicintai menderita skizofrenia
DAFTAR PUSTAKA

Putri. K . K. (2018). Penerapan indakan Asertif Pada Pasien Dengan Resiko


Perilaku Kekerasan Di Bangsal Maintenance RSJ Grahasia
Yogyakarta. Yogyakarta 2018.
Siti. M. (2019). Asuhan Keperaatan Jiwa Pada Klien Resiko Perilaku
Kekerasan Terintergrasi Dengan Keluarga Di Wilayah Kerja
Puskesmas Sempaja Samarinda. Samarinda 2019.
Stuart, G. W. (2013). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan
Indonesia. (Edisi 1. ed. PPNI). Jakarta: Tim Pokja SDKI DPP PPNI.

Anda mungkin juga menyukai