Anda di halaman 1dari 40

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori
1. Permukiman Kumuh
Dalam membicarakan mengenai kebutuhan pokok manusia, setiap
orang akan menyebut tiga macam, yaitu: kebutuhan akan sandang (pakaian/
clothing), kebutuhan akan pangan (makan-minum/ food and drink), dan
kebutuhan akan papan untuk menyelenggarakan kehidupannya (tempat
tinggal/ place for living). Pentingnya pembicaraan mengenai ketiga
kebutuhan pokok manusia tersebut sama dengan pentingnya pembicaraan
eksistansi manusia di muka bumi. Pemenuhan ketiganya sama dengan upaya
pelestarian makhluk hidup. Dan perlu diketahui bahwa kadar ancaman dari
kelangkaan ketiganya sangat bervariasi antara wilayah satu dengan lainnya.
Ketidakseimbangan antara jumlah penduduk yang membutuhkan
tempat tinggal dengan ketersediaan tempat tinggal, khususnya di daerah
perkotaan merupakan suatu hal yang sangat mendesak untuk dipikirkan upaya
penyelesaiannya. Proses kemunduran kualitas permukiman (settlement
deterioration), kemunduran kualitas lingkungan (envirionmental
deterioration), munculnya squatter settlement, terciptanya kantong-kantong
kumuh serta permasalahan-permasalahan sosial lainnya sangat erat
hubungannya dengan krisis permukiman. Kondisi permukiman pada inner
cities terjadi suatu infilling process yang berjalan terus menerus pada
lingkungan permukiman yang sudah termasuk jenuh. Hal tersebut jelas akan
mengakibatkan terjadinya proses semakin buruknya kualitas lingkungan
permukiman. Oleh karena hantaman arus pendatang kebanyakan terjadi di
kota-kota besar, maka deteriorisasi lingkungan menyolok terjadi di kota-kota
besar (Yunus, 1987: 8).
Tata ruang yang semrawut seperti housing space yang sangat sempit
akan menimbulkan banyak masalah, seperti menyulitkan mobil atau petugas
pemadam kebakaran, kurangcommit to user hydrant, jarak antar bangunan
berfungsinya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

yang memudahkan perembetan api, dan menyulitkan pembuatan jaringan


listrik, menyulitkan pembuangan limbah atau kotoran dan memudahkan
penyebaran penyakit serta permasalahan lain yang akan muncul terus
menerus. Bagi masyarakat berpenghasilan rendah permasalahan-
permasalahan permukiman akan terasa lebih mendesak untuk segera
dipecahkan dibandingkan dengan permasalahan permukiman yang timbul
untuk golongan menengah sampai tinggi. Hampir semua orang dapat
merasakan bahwa kualitas permukiman memiliki pengaruh yang berarti
terhadap kualitas hidup penghuninya.
Mengacu pada gambaran diatas, dapat dikemukakan bahwa
permasalahan permukiman perkotaan menyangkut permasalahan fisik dan
permasalahan non fisik. Permasalahan fisik berkaitan dengan upaya
penyediaan air bersih, sistem pembuangan sampah, sistem pembuangan
kotoran, air limbah, tata bangunan, saluran air hujan, penanggulangan bahaya
kebakaran, bahaya banjir dan pencemaran. Permasalahan non fisik banyak
berkaitan dengan working opportunities yang sesuai dengan kemampuan
pemukim, rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan, oleh karenanya
akan banyak pendatang yang tidak tertampung dalam kegiatan formal
perkotaan. Untuk menghindari kerancuan dalam penelitian ini, berikut ini
disajikan landasan teori yang menyangkut beberapa hal terkait penelitian.

a. Hakikat Permukiman
Dalam ungkapan sehari-hari, baik dalam media massa maupun
dalam forum pertemuan, penggunaan istilah permukiman dan istilah
pemukiman selalu dicampur-adukkan. Secara etimologis, baik kata
permukiman maupun pemukiman berasal dari kata yang sama yaitu kata
mukim (Purwadarminto dalam Yunus, 2007). Oleh karena ilmu geografi
adalah suatu ilmu yang bersifat human oriented, maka pengertian
permukiman selalu dikaitkan dengan eksistensi manusia sebagai subjek.
Yunus (1987: 2), mendefinisikan permukiman sebagai bentukan
commit
natural maupun artificial to user segala kelengkapannya yang
dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dimanfaatkan oleh manusia untuk bertempat tinggal, baik secara menetap


maupun sementara. Permukiman artifisial erat kaitannya dengan campur
tangan manusia dalam pembentukannya, sedangkan permukiman natural
berkaitan erat dengan proses alami dalam pembentukannya, misal: gua
yang dijadikan sebagai tempat tinggal. Berdasarkan definisi tersebut maka
pada zaman modern ini, jenis permukiman natural dapat dikatakan sudah
tidak ada. Yunus (2007: 6) juga mendefinisikan istilah permukiman secara
luas adalah perihal tempat tinggal atau segala sesuatu yang berkaitan
dengan tempat tinggal atau bangunan tempat tinggal.
Dalam Encyclopaedia of Geography (Remcay, 2004: 428)
pengertian permukiman (settlement) adalah sebuah kumpulan atau
kelompok dari tempat tinggal atau kediaman mulai dari sebuah dusun kecil
dengan dua atau tiga keluarga sampai dengan kota besar.
Menurut Bourne dalam Rindarjono (2003), permukiman memiliki
fungsi sebagai berikut:
1) Sebagai Fasilitas Fisik
Sebagai fasilitas fisik, permukiman berfungsi untuk melindungi secara
fisik penghuninya dari ancaman fisikal yang datang dari lingkungan
sekitarnya, seperti cuaca, binatang buas, dan sebagainya.
2) Sebagai Komoditi
Permukiman sebagai komoditi mempunyai makna yang terkait dengan
rumah sebagai barang dagangan yang dapat diperjualbelikan asas
penawaran pasar.
3) Sebagai Barang Sosial
Permukiman sebagai fungsi sosial yaitu permukiman sebagai tempat
bersosialisasi individu dan keluarga dengan masyarakat sekitarnya
atau rumah sebagai lambung status sosial penghuninya.
4) Sebagai Pelayanan Jasa
Permukiman berfungsi sebagai pelayanan jasa yakni dapat
memberikan jasa untuk para pendatang sebagai tempat inap
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

sementara, yaitu berperan sebagai tempat kontrakan atau sewaan,


terutama pada wilayah yang berdekatan dengan pusat kegiatan.
5) Sebagai Komponen Ekonomi
Permukiman sebagai komponen ekonomi dimaksudkan sebagai aset
dalam komponen ekonomi yang dapat digunakan sebagai modal atau
bahkan sebagai komoditas itu sendiri.
Permukiman ditinjau berdasarkan nilai kebutuhan manusia, dapat
digolongkan menjadi lima tingkatan, yaitu sebagai tempat bernaung
(shelter), sebagai tempat yang aman (security), sebagai pemenuhan
kebutuhan badaniah (physiological needs), sebagai pemenuhan kebutuhan
sosialnya (social needs) dan sebagai kebutuhan estetisnya (esthethic
needs) (Rindarjono, 2003:31).
Papan merupakan salah satu dari tiga kebutuhan pokok manusia,
bentuk papan disini adalah kebutuhan esensial manusia berupa tempat
tinggal atau rumah. Sebagaimana diamanatkan dalam Undang Undang
Dasar (UUD) 1945 dan pasal 28 H Amandemen UUD 1945, bahwa rumah
adalah salah satu hak dasar rakyat dan oleh karena itu setiap warga negara
berhak untuk bertempat tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang baik
dan sehat. Selain itu, rumah juga merupakan kebutuhan dasar manusia
dalam meningkatkan harkat, martabat, mutu kehidupan dan penghidupan,
serta sebagai pencerminan diri pribadi dalam upaya peningkatan taraf
hidup, serta pembentukan watak, karakter dan kepribadian bangsa.
Kebutuhan akan tempat tinggal pada awalnya merupakan
kebutuhan individu, akan tetapi akan menjadi kebutuhan bersama setelah
manusia atau individu tersebut berkeluarga. Selain sebagai makhluk
individu, manusia juga sebagai makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk
sosial memiliki arti bahwa manusia membutuhkan orang lain untuk
berinteraksi dalam pemenuhan kebutuhan. Beberapa atau banyak keluarga
akan membangun tempat tinggal atau hunian dalam suatu kelompok atau
tersebar di suatu daerah yang selanjutnya disebut permukiman
(settlements). Berdasarkancommit to user
pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

permukiman merupakan konsentrasi perumahan beserta fasilitas-fasilitas


lingkungannya yang digunakan untuk tempat tinggal penduduk sehari-hari.
Permukiman sebagai satu kebutuhan pokok manusia memerlukan
perhatian khusus dalam pembangunannya, karena masalah permukiman
berkaitan dengan banyak faktor yang berpengaruh, baik fisik, sosial, dan
budaya. Permukiman tumbuh sebanding dengan bertambahnya penduduk.
Dengan makin bertambahnya jumlah penduduk, maka makin bertambah
pula kebutuhan rumah sebagai tempat bermukimnya. Pada awalnya,
penduduk memilih lokasi yang sesuai atau mendukung kebutuhan
hidupnya. Namun dengan makin bertambahnya penduduk yang menuntut
bertambahnya areal permukiman menyebabkan mereka terpaksa
membangun permukiman pada tempat-tempat yang sebenarnya tidak
sesuai untuk peruntukannya. Hal ini mengakibatkan munculnya
permukiman yang tidak teratur dan tidak layak.
Walaupun kecenderungan pertumbuhan penduduk nasional
mengalami penurunan dari 1,98 % pertahun (1980-1990) menjadi 1,4 %
per tahun (1990-2000), tetapi pertumbuhan penduduk perkotaan masih
cukup tinggi sebesar 3,5 % per tahun (1990-2000) (KEMENPERA,
http://www.kemenpera.go.id). Selain pertumbuhan penduduk, harga tanah
yang meningkat pesat diperkotaan, sebagai akibat dari akumulasi tingginya
urbanisasi dan belum berpihaknya pemanfaatan tanah dan pengaturan tata
ruang untuk masyarakat miskin, menyebabkan tumbuh suburnya
permukiman kumuh (slums) dan bertambahnya permukiman ilegal
(squatters).

b. Persebaran Permukiman
Tempat tinggal manusia di permukaan bumi ini membentuk pola-
pola persebaran yang berbeda-beda. pada lingkungan yang berbeda
membentuk ciri khas pola yang berbeda pula. Untuk mempermudah dalam
pembahasan, digunakan skala relatif mengenai besar kecil wujud
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

permukiman, yaitu skala permukiman mikro, meso dan makro (Yunus,


2007: 21), berikut penjelasan dari ketiganya:
1) Permukiman Skala Makro
Permukiman dalam skala makro (dalam studi urban settlement)
adalah lingkup studi yang meliputi sistem kota atau sistem kota-kota
dalam wilayah yang relatif luas. Dalam skala makro, pembahasan
dapat dilakukan dalam teritori yang luas (dalam wilayah negara atau
gabungan beberapa negara) sampai dengan kota-kota secara
individual. Dalam skala makro ini, ekspresi keruangan dari pada
permukimannya berwujud sebagai kenampakan kota-kota secara
individual ataupun gabungan beberapa permukiman kota yang telah
membentuk suatu built up areas yang sangat besar.
2) Permukiman Skala Meso
Dalam skala meso, kita meneliti bagian tertentu dari kota-kota
secara individual ini yang benar-benar digunakan sebagai tempat
tinggal penduduk. Dalam bahasa sehari-hari kita menyebutnya dengan
istilah kampong, blok, komplek perumahan, quarters. Permukiman
skala meso sebagai suatu ruang yang dipergunakan oleh manusia
untuk bertempat tinggal, terbentuk dari unsur-unsur yang mendukung
terciptanya suatu keadaan yang memungkinkan manusia untuk
menyelenggarakan kehidupannya.
Terdapat lima unsur pendukung permukiman skala meso ini
(Yunus, 2007: 24), yaitu pertama adalah tempat atau kesempatan kerja
dengan segala sarana dan prasarananya (working opportunities), kedua
jalur transportasi dengan segala sarana dan prasarananya (circulation),
ketiga adalah perumahan dengan segala kelengkapan dan fasilitasnya
(housing), keempat adalah hiburan atau sejenisnya dengan segala
sarana dan prasarananya (recreation), dan kelima adalah hal-hal yang
tidak termasuk ke dalam empat unsur terdahulu tetapi mutlak
diperlukan dalam kehidupan masyarakat modern (perfecting
commit
elements). Keseluruhan to dapat
elemen user dipahami dengan mudah, tetapi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

untuk elemen yang kelima perlu diberikan contoh. Fasilitas-fasilitas


pendidikan, keagamaan, kesehatan jaringan utilitas umum, pekuburan,
adalah contoh-contoh elemen kelima dalam pendukung permukiman
skala meso.
3) Permukiman Skala Mikro
Kemudian dalam skala permukiman yang lebih kecil peneliti
memusatkan perhatian pada bangunan-bangunan yang digunakan
penduduk untuk tempat tinggal sehari-hari atau rumah-rumah
penduduk yang disebut dengan permukiman skala mikro. Penelitian
permukiman skala mikro dapat dikerjakan pada wilayah berskala
makro, meso ataupun mikro itu sendiri.
Dalam skala mikro ini, peneliti perlu memahami istilah
neighbourhood unit atau satuan lingkungan tempat kediaman. Rumah-
rumah dan sekitarnya merupakan ajang pergaulan penduduk dari
anak-anak sampai dengan dewasa dan dengan sendirinya
membutuhkan fasilitas-fasilitas kehidupan yang dapat memahami
variasi individual maupun sosial yang ada. Dalam lingkungan tempat
kediaman ini terdapat lima komponen satuan lingkungan tempat
tinggal dimana masing-masing elemen saling pengaruh mempengaruhi
dalam satu sistem. Kelima komponen tersebut adalah satu merupakan
bangunan-bangunan rumah yang digunakan untuk berlindung dari
ancaman dari lingkungan (house building). Kedua adalah fasilitas-
fasilitas yang dipergunakan oleh keberadaan rumah untuk dapat
dipergunakan oleh penghuninya dalam menyelenggarakan
kehidupannya (housing facilities). Ketiga adalah sarana-sarana yang
mengarah untuk mencapai kebersihan lingkungan (sanitation).
Keempat adalah kondisi lingkungan terutama lingkungan sosio
cultural, namun demikian lingkungan fisik alami dalam beberapa hal
perlu mendapatkan perhatian (environmental condition). Kelima,
aspek keindahan dan arsitektural dari pada bangunan-bangunan yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ada baik secara sendiri-sendiri maupun kelompok (aesteticand


architectural aspect).

c. Lingkungan Permukiman
Soerjani (1987: 189) mengemukakan bahwa lingkungan diartikan
sebagai hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan sekitarnya.
Kualitas lingkungan dipengaruhi oleh peran makhluk hidup di atasnya,
baik biotik maupun abiotik. Makhluk hidup mempengaruhi lingkungannya
dan sebaliknya makhluk hidup dipengaruhi oleh lingkungannya, sehingga
hubungan timbal balik itu membentuk suatu sistem yang disebut
ekosistem. Di dalam ekosistem tempat hidup manusia merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari unsur-unsur lainnya, karena ekosistem
terbentuk oleh hubungan timbal balik antara manusia dengan
lingkungannya.
Apabila antara makhluk hidup dengan lingkungannya terjadi
ketidakseimbangan, maka akan mengakibatkan masalah lingkungan.
Masalah lingkungan hidup itu sendiri merupakan kondisi ketidakserasian
dalam hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya, sehingga
terganggulah kesejahteraan manusia (Soerjani, 1987:191). Meskipun
pembangunan telah berjalan sejak ratusan tahun lalu, namun baru pada
awal tahun tujuh puluhan, timbul kesadaran dan kecemasan akan
permasalahan lingkungan dan ditanggapi dengan serius. Pemeliharaan
kelestarian lingkungan ini menjadi mendesak seiring pertambahan
penduduk yang meningkat. Sebaliknya, pertumbuhan penduduk yang terus
meningkat justru menimbulkan “lapar-tanah” sehingga terjadi pengrusakan
lingkungan yang lebih parah seperti penggundulan hutan dan pengurasan
sumber daya alam.
Dari pengertian lingkungan yang telah dijabarkan secara umum di
atas, maka dalam kaitannya dengan penelitian ini lebih menekankan pada
kondisi lingkungan permukiman yang ada di perkotaan. Doxiadis dalam
commit to user
Rindarjono (2003) mengemukakan bahwa ada dua unsur utama dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

lingkungan permukiman di perkotaan, yaitu isinya (the content) dan


wadahnya (the container). The content yang dimaksud adalah penghuni
atau pemukim, baik secara individu maupun keluarga atau kelompok, the
container adalah wadah sebagai tempat dari pemukim tersebut, yaitu
lingkungan fisikalnya. Rindarjono (2010: 23) berpendapat di dalam
permukiman ada tiga komponen penting, yaitu: pertama komponen fisik
tempat bermukim atau disebut shelter, kedua infrastuktur yaitu prasarana
bagi gerak manusia, perhubungan dan komunikasi. Ketiga adalah sarana
pelayanan umum meliputi sarana peribadatan, pendidikan, kesehatan,
rekreasi, olah raga dan kebudayaan.

d. Tipe Permukiman Kota


Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa setiap peneliti
harus menentukan besar kecilnya wujud permukiman yaitu dengan skala
permukiman. Seawal mungkin perlu dipahami bahwa skala permukiman
berbeda dengan skala wilayah, walaupun dalam membagi skala wilayah
kadang peneliti juga menggunakan peristilahan makro (global/inter-
regional) kemudian meso (regional) dan yang terkecil adalam mikro
(lokal). Urban settlement memiliki ekspresi keruangan yang bervariasi.
Mulai dari bangunan atau bentukan individual sampai bentukan yang
sangat besar seperti megapolis. Dengan kenyataan ini, upaya pengenalan
permukiman kota harus dikerjakan secara hati-hati. Dengan mendasarkan
pada tiga macam skala permukiman, setiap peneliti dapat memahami
ekspresi keruangan permukiman kota dengan lebih mudah (Yunus, 2007:
27).
1) Tipe Permukiman Skala Makro
Sampai dengan abad 20 dan bahkan sampai abad 21
mendatang, kenampakan permukiman kota terbesar (dalam artian
morfologis) adalah apa yang disebut sebagai megalopolis. Kata ini
berasal dari bahasa Yunani yang berarti besar (mega) dan kota (polis),
commit
jadi megapolis berarti kota to usersangat besar. Secara individual,
yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

sampai sekarang belum ada kota yang pernah disebut megalopolis.


Dalam studi kota, istilah ini beberapa kali digunakan oleh Cottman
(1961) untuk menggambarkan sebuah kota atau pola perkotaan yang
berkembang di pantai timur laut Amerika Serikat. Di daerah itu
terdapat proses konurbasi (penggabungan kota-kota menjadi satu built
up areas yang sangat besar) memanjang dari bagian utara sampai
selatan sejauh 960 km (hampir sepanjang pulau Jawa) dari kota
Boston di bagian utara sampai ke kota Washington di bagian selatan.
Countinuous built up areas ini terkenal dengan nama Bos- Wash
megalopolis (Clark, 1982). Perkembangan fisik pertama kali terjadi di
sepanjang rute-rute penghubung utama, kemudian diikuti oleh gejala
pembangunan sporadik dan yang terakhir oleh pengisian ruang-ruang
antaranya.
Unit analisis permukiman skala makro adalah satuan
morfologis dari pada built up areasnya. Berbagai macam tipe dari
permukiman kota skala makro banyak dikemukakan oleh pakar-pakar
di bidang ini walaupun tinjauan khusus tentang tipe tidak banyak
ditemui. Secara garis besar, klasifikasi permukiman suatu kota dapat
digolongkan menjadi 5 (Yunus, 2010: 29) yaitu:
a) Karakteristik Fungsi
Karakteristik fungsi pemukiman kota dapat ditinjau dari berbagai
hal. Namun pada prinsipnya, upaya mengenali fungsi permukiman
kota ditekankan pada bagaimana peranan kota yang bersangkutan
di dalam konstelasi kota-kota yang ada secara nasional.
b) Karakteristik Fisik
Karakteristik fisik mendasarkan tinjauannya pada realisasi
morfologi permukiman kotanya. Built up areas yang telah
melewati batas administrasi kotanya akan dimasukan ke dalam satu
kesatuan dengan permukiman kota yang bersangkutan dan
sementara itu di daerah-daerah rural yang berada di batas-batas
commit
administratif kota akan to user dari identifikasi.
dikeluarkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

c) Karakteristik Pertumbuhan
Karakteristik pertumbuhan dapat diamati dari fisik maupun non
fisik.
d) Karakteristik Hirarki
Karakteristik hirarki permukiman kota dapat diamati dari segi
posisi rankingnya dalam sistem kota-kota yang ada dalam satu
wilayah.
e) Karakteristik Lain
Karakteristik permukiman kota ditinjau dari berbagai indikator
selain keempat diatas. Seperti yang dikemukakan oleh Refdfield
(1964) membedakan permukiman kota menjadi orthogenetic
(religious and moral norm) dan heterogenic (market oriented
urban settlement).
2) Tipe Permukiman Skala Meso
Sangat sering peneliti permukiman mengalami kesulitan
mengenali batas-batas dari permukiman skala meso ini. Hal ini
dikarenakan batas-batas kampung atau blok satu dengan yang lain
kadang kabur dan sulit dilacak secara terrestrial. Atas fakta inilah
Yunus (2007: 32) menyatakan untuk tujuan analisis permukiman skala
meso dapat dilakukan baik melalui pendekatan fisikal (physical
approach) dan dapat pula menggunakan pendekatan administratif
(administrative approach).
Menurut Yunus (2007: 32), upaya untuk mengenali tipe
permukiman kota skala meso dapat dikerjakan atas dasar:
a) Etnis
Melihat dominasi penghuni. Atas dasar inilah kemudian muncul
istilah-istilah perkampungan negro, perkampungan Turki,
perkampungan Jawa dan lainnya.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

b) Religi
Melihat dominasi agama yang dianut penghuni. Kemudian dikenal
istilah perkampungan Islam (Kauman), perkampungan Kristen dan
lainnya.
c) Tingkatan Penghasilan
Mendasarkan pada besar kecilnya pendapatan yang diperoleh KK,
tetapi dapat pula pada besar kecilnya pendapatan keluarga.
Kemudian akan dikenali adanya perkampungan berpenghasilan
rendah, sedang maupun tinggi.
d) Kepadatan Bangunan
Untuk daerah perkampungan di Indonesia sangat sulit diukur,
karena adanya variasi besar kecilnya bangunan yang sangat besar.
Hal ini hanya dapat dikerjakan pada daerah komplek perumahan
dengan besar rumah yang seragam. Untuk daerah perkampungan
dengan besar kecil rumah yang bervariasi dapat dikerjakan dengan
bantuan foto udara. Kepadatan bangunan dicerminkan dalam
persentasi liputan bangunan (building coverage).
e) Legalitas/ Status Tanah Dimana Bangunan Berada
Dari tinjauan ini dikenal istilah squatter settlements dan legal
settlements.
f) Standar Pembangunan Rumah yang Dibakukan
Prosedur pembangunan rumah tinggal telah diatur oleh pemerintah.
Dari klasifikasi ini terdapat istilah conventional building
(perumahan yang pembangunannya sesuai dengan standar yang
dibakukan) dan non conventional housing (Drakakhis Smith, 1980
dalam Yunus, 2007: 34).
g) Kualitas Fisik Perumahan Dalam Kelompok Perkampungan
Dalam hal ini kemudian dikenal istilah slums (daerah
perkampungan kumuh), daerah perumahan gedongan yang
biasanya mempunyai kualitas yang jauh lebih baik.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

h) Keteraturan Bangunan-bangunannya
Melalui foto udara berskala besar gambaran ini dapat diketahui
dengan mudah. Pada daerah-daerah baru biasanya mempunyai tata
letak bangunan yang teratur dibandingkan dengan daerah-daerah
yang sudah lama berkembang.
i) Pendidikan Penghuni
Dapat dilihat mengenai persentase penduduk yang mencapai
pendidikan rendah, menengah sampai perguruan tinggi.
j) Struktur Permukimannya
Bila diamati secara seksama, struktur permukiman pada bagian
pinggiran kota akan berbeda dengan permukiman pada bagian
dalam dari suatu kota. Makin ke luar dari pusat kota makin tersedia
lahan yang makin luas dan ini membawa akibat terjadinya
perbedaan struktur permukiman dibandingkan dengan bagian
dalam dimana lahan sudah sedemikian sempit. Struktur rumah
dengan halaman dan kebun pada daerah pinggiran berturut-turut
berubah menjadi struktur rumah dengan halaman saja dan
kemudian struktur rumah tanpa halaman pada bagian dalam dari
pada kota.
3) Tipe Permukiman Skala Mikro
Dalam upaya mencermati permukiman dalam skala mikro ini
peneliti memusatkan perhatian pada bangunan-bangunan yang
digunakan oleh manusia untuk tempat tinggal. Perlu ditekankan
bahwa bangunan-bangunan yang digunakan untuk tempat tinggal
tidak selalu berwujud bangunan rumah, tetapi dapat pula berwujud
bangunan lain atau peralatan angkutan tertentu. Sebagai contoh adalah
kolong jembatan yang digunakan sebagai tempat tinggal. Suatu
kenyataan bahwa tempat tidak layak tersebut berubah fungsi menjadi
salah satu bentuk permukiman.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Beberapa contoh upaya klasifikasi permukiman skala mikro


dapat dikemukakan sebagai berikut (Yunus, 2010: 36):
a) Material Pembentuk Rumah
Mulai dari lantai, dinding dan atap dinilai dengan teknik tertentu.
Teknik skor paling sering digunakan untuk mengetahui klasifikasi
ini.
b) Tingkat Permanennya
Penilaian ini paling umum dilakukan walaupun kecermatan
penilaian sangat rendah, namun dari segi praktis operasional
kadang memiliki arti besar. Sebagai contoh mengenai upaya
pemilihan prioritas pemberian dana bantuan.
c) Segi Arsitektur
Dari segi arsitektur, orang mengenal arsitektur modern dan
arsitektur tradisional.
d) Segi Perijinan
Berkaitan dengan prosedur pembuatan rumah, apakah memenuhi
syarat ketentuan atau tidak.
e) Segi Orientasi Penggunaan
Sebagai contoh, rumah tinggal yang juga digunakan untuk kegiatan
sosial atau kegiatan ekonomi dan lain jenisnya.

e. Hakikat Permukiman Kumuh


Spekulasi tanah dan harga tanah yang terus meningkat merupakan
hambatan yang cukup berarti dalam upaya pembangunan permukiman, dan
pembangunan fasilitas-fasilitas penunjang terciptanya lingkungan
permukiman yang sehat. Tumbuhnya squatter settlement di daerah
pinggiran kota, sepanjang sungai, sepanjang rel kereta api serta terciptanya
slums pada bagian dalam kota terpampang nyata di kota-kota besar di
negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Jika pada
bagian inner cities kita mengenal infilling process dalam manifestasi
commit to user
filtering down yang mengakibatkan terjadinya deteriorisasi lingkungan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

maka di daerah urban fringe dalam perkembangannya kita akan mengenal


infilling process pada daerah permukimannya tetapi dengan manifestasi
yang berbeda yaitu filtering up. Filtering up memperlihatkan fenomena
penggantian pemukim-pemukim lama dengan kondisi ekonomi rendah
dengan golongan pemukim dengan kondisi ekonomi lebih tinggi. Hal ini
mulai terlihat pada daerah penelitian, dapat dilihat beberapa rumah dengan
kondisi baik bermunculan di tengah permukiman kumuh.
Pendesakan atau invasi oleh pemukim-pemukim baru dengan
kondisi ekonomi lebih tinggi pada daerah pinggiran kota sekilas
memberikan dampak positif terhadap kondisi lingkungan fisiknya atau
akan terlihat menjadi lebih rapi. Hal ini terlihat dengan adanya perbaikan-
perbaikan fasilitas dan lingkungan fisikalnya secara umum. Akan tetapi,
suatu gejala lain yang sangat sering luput dari pengamatan adalah proses
invasi dan suksesi tata guna lahan non agraris yang tidak produktif pada
lahan-lahan produktif atau disebut agglomeration of diseconomics, serta
tidak teraturnya tata letak bangunan akan mempersulit pemasangan
instalasi fasilitas kehidupan.
Permukiman kumuh didefinisikan sebagai permukiman yang
berstatus tidak layak untuk tempat tinggal manusia (Watson dalam
Rindarjono, 2010: 34). Permukiman kumuh juga diartikan sebagai
permukiman dengan unit-unit rumah berukuran kecil-kecil dan kondisi
lingkungannya yang buruk (Drakakis-Smith dalam Rindarjono, 2010: 34).
Judohusodo dalam Rindarjono (2010: 34) juga menyatakan bahwa
permukiman kumuh adalah bentuk hunian tidak teratur, tidak tersedia
fasilitas umum (prasarana dan sarana permukiman yang baik), dan bentuk
fisik bangunan yang tidak layak huni.
Herlianto dalam Fauzan (2005: 15) mendefinisikan permukiman
kumuh sebagai sebutan untuk permukiman di atas lahan yang sah yang
sudah sangat merosot (kumuh) baik perumahan maupun permukimannya,
dengan daerah perkampungan yang keadaannya tidak teratur, padat dan
commit
dengan kondisi lingkungan yang to userbaik. Ishardi 2000 dalam Fauzan
tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(2005: 15) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan slums adalah


lingkungan hunian yang legal tapi kondisinya tidak layak huni atau tidak
memenuhi persyaratan sebagai tempat tinggal.
Permukiman kumuh dapat diidentifikasi berdasarkan ciri-ciri fisik
bangunan dan lingkungan permukiman maupun ciri-ciri sosial ekonomi
dan budayanya. Ciri-ciri fisik bangunan dan lingkungan permukiman
kumuh antara lain adalah tingginya tingkat kepadatan penduduk lebih dari
1.250 jiwa per hektar, kepadatan bangunan juga cukup tinggi hingga
mencapai 250 atau lebih rumah per hektarnya, ukuran bangunan yang
kecil-kecil antara 25 m2 bahkan kurang, tata letak yang tidak teratur,
sanitasi jelek serta kualitas bangunan yang jelek, ciri lain dari permukiman
kumuh juga sering berasosiasi dengan kawasan industri, sekitar badan air,
sepanjang rel kereta api, serta sekitar daerah pusat kegiatan (Socki dalam
Rindarjono, 2010: 34).
Ciri-ciri non fisik permukiman kumuh ditandai dengan jenis
pekerjaan penghuninya yang sebagian besar bekerja di sektor informal
dengan tingkat penghasilan yang rendah, jumlah anggota keluarga yang
relatif banyak, permukiman kumuh juga disinyalir terkait dengan lamanya
tinggal di permukiman serta pendidikan penghuninya yang rendah (Yeh
dalam Rindarjono, 2010: 35). Judohusodo dalam Rindarjono (2010: 35)
mencirikan daerah permukiman kumuh sebagai daerah dengan penduduk
yang relatif heterogen dalam pekerjaan, pendidikan dan penghasilan,
meskipun penghuninya tergolong dalam keluarga berpenghasilan rendah
dan umumnya adalah para migran.
Dari beberapa definisi diatas maka disimpulkan bahwa
permukiman kumuh merupakan suatu lokasi memiliki status tanah yang
legal yang diatasnya dibangun suatu hunian masyarakat ekonomi
menengah kebawah dengan kualitas lingkungan kurang memenuhi syarat
kesehatan. Secara umum permukiman kumuh memiliki karakteristik
sebagai berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

1) Kondisi lingkungan tidak memenuhi syarat kesehatan.


2) Kondisi bangunan yang sangat buruk serta bahan-bahan bangunan yang
digunakan adalah bangunan yang bersifat semi permanen.
3) Kepadatan bangunan dengan kondisi bangunan yang lebih besar dan
yang diijinkan dengan kepadatan penduduk yang sangat tinggi (lebih
dari 500 jiwa/ha)
4) Fungsi kota yang bercampur dan tidak beraturan (Ishardi, 2000 dalam
Fauzan,2005: 15)
Menurut UN_Habitat, Global Observatory (2003) dalam Astuti
(2009: 6) ada 5 indikator slums adalah sebagai berikut:
1) Inadequate Access to Save Water
Ditandai dengan ketidakcukupan kebutuhan air bersih untuk keluarga,
dengan harga tidak terjangkau dan ketersediaannya harus dicapai
dengan usaha yang sangat berat (berjalan > 1 jam untuk 20 liter air
bersih).
2) Inadequate Access to Sanitation and Other Infrastructure
Ditandai dengan ketidakcukupan/ ketidaklayakan sanitasi lingkungan
sehingga menyebabkan munculnya penyakit infeksi, diare, kolera,
berpengaruh pada kesehatan lingkungan dan pembangunan ekonomi.
3) Insecure Residential Status
Menyangkut status tanah dan rumah bagi individu ataupun kelompok
sehingga mereka terlindungi dari resiko tergusur (eviction).
Ketidakjelasan status tanah dan bangunan merupakan elemen utama
strategi dalam pembangunan perumahan.
4) Poor Structural Quality of Housing (Ketahanan Rumah)
Menyangkut kondisi dimana rumah dibangun pada kondisi tanah yang
berbahaya (banjir, longsor, gempa, transmisi energi, airport, dll) serta
dibangun dengan struktur yang tidak tahan terhadap kondisi ekstrem
(cuaca,dll).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

5) Sufficient Living Area


Menyangkut kondisi dimana rumah dihuni oleh lebih dari 2 keluarga
dalam satu rumah. Ukuran di Kota Surakarta adalah 4 m 2 per kapita.

f. Penyebab Perkembangan Permukiman Kumuh


Menurut Rindarjono (2012: 31), ada tiga faktor pemicu
perkembangan permukiman kumuh yakni:
1) Faktor Ekonomi
Bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan sangat rendah,
faktor jarak antara lokasi rumah dengan tempat kerja menempati
prioritas utama. Faktor kejelasan status kepemilikan tanah atau rumah
menjadi prioritas kedua, sedangkan bentuk dan kualitas bangunan
tetap menempati prioritas terakhir. Seiring dengan meningkatnya
pendapatan, prioritas kebutuhan perumahannya akan berubah. Status
kepemilikan rumah dan lahan menjadi prioritas utama, karena
kelompok ini ingin mendapatkan kejelasan tentang status
kepemilikannya agar mereka dapat bekerja dengan tenang untuk
menaikkan pendapatan.
2) Faktor Geografi
Faktor geografi dalam hal ini meliputi letak dan ketersediaan
lahan. Lahan di perkotaan khususnya untuk perumahan semakin sulit
didapatkan dan terus semakin mahal. Sulitnya akses untuk
memperoleh lahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah antara lain
disebabkan oleh spekulasi lahan, kepemilikan lahan yang berlebihan
oleh pihak-pihak tertentu, aspek hukum kepemilikan, dan
ketidakjelasan kebijaksanaan pemerintah dalam masalah lahan
(Abrams dalam Rindarjono, 2012: 33).
Menurut Colby dalam Rindarjono (2012: 34), mengacu pada
teori kekuatan dinamis (dinamyc forces theory) yang
dikemukakannya, pada suatu kota dikenal ada dua macam gerakan
yang sangat berperancommit
dalamto mempengaruhi
user kondisi pemanfaatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

lahan khususnya untuk lahan permukiman, gerakan tersebut yaitu


gerakan sentripetal dan gerakan sentrifugal. Gerakan tersebut terjadi
karena adanya kekuatan-kekuatan yang merupakan kekuatan penarik
dan pendorong.
Selanjutnya Yunus dalam Rindarjono (2012: 35)
mengemukakan kelemahan–kelemahan teori kekuatan dinamis Colby.
Kelemahan pertama adalah berkaitan dengan kekuatan penarik dan
pendorong, teori kekuatan dinamis ini kurang dapat mengantisipasi
perkembangan daerah perkotaan dan hanya memiliki orientasi sempit.
Dalam kaitannya dengan gerakan sentripetal, daerah pinggiran kota
hanya dianggap sebagai daerah asal gerakan yang sekaligus hanya
menampilkan kekuatan-kekuatan pendorong saja. Kelemahan kedua
berkaitan dengan anggapan bahwa daerah pinggiran kota adalah
daerah yang mempunyai karakteristik keruangan yang seragam.
Padahal daerah pinggiran adalah pencampuran karakteristik antara
sifat pedesaan dan perkotaan.
3) Faktor Psikologis
Dasar dari manusia adalah makhluk sosial, maka manusia
secara bersama membentuk kelompok rumah yang kemudian disebut
permukiman. Di dalam permukiman inilah, manusia sebagai makhluk
sosial dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup
manusia tidak hanya sebatas kebutuhan fisik saja, tetapi juga
kebutuhan psikis seperti kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan untuk
aktualisasi diri juga kebutuhan akan kasih sayang dari sesama.
Kebutuhan psikis mendasar adalah kebutuhan perlindungan atau rasa
aman, apabila kebutuhan dasar ini dirasa tidak dapat terpenuhi maka
akan menimbulkan rasa tidak betah.
Di permukiman kumuh, penduduknya terbiasa untuk mencuci
atau mandi secara bersama-sama, saling menitipkan anaknya, saling
membantu apabila ada yang sedang mengalami kesulitan. Kondisi
commit
inilah yang menyebabkan to user
mereka tetap betah tinggal di permukiman
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

kumuh meskipun keadaan rumah tidak permanen serta lingkungannya


yang jauh dari kata sehat. Kondisi rumah yang kecil-kecil dan sempit
memunculkan sifat outdoor personality dimana penduduk di
permukiman kumuh lebih menyukai aktifitas dilakukan diluar rumah.

g. Proses Perkembangan Permukiman Kumuh


Di Indonesia, proses permukiman kumuh pada umumnya
berlangsung secara infiltration, yang selanjutnya menurut Rindarjono
(2012: 42) dibedakan menjadi tiga tipe sebagai berikut:
1) Proses Penuaan (Ageing Process)
Pada umumnya di Indonesia proses permukiman kumuh
berlangsung secara infiltration dalam kurun waktu yang cukup lama
yang kemudian disebut sebagai proses penuaan (ageing process).
Proses penuaan terjadi seiring dengan perjalanan waktu usia bangunan
yang berakibat pada kerusakan bangunan. Tingkat kerusakan pada
bangunan dapat dilihat dari tingkat kerusakan struktur pengisi
bangunan yakni lantai, dinding, pintu, jendela dan atap. Proses
penuaan yang terjadi pada permukiman sangat berkaitan erat dengan
perjalanan waktu, oleh karena itu proses yang terjadi harus dilihat
dalam kurun waktu yang berbeda.
2) Proses Densifikasi (Densification Process)
Proses urbanisasi yang terjadi di Indonesia pada umumnya
terjadi karena tidak tersedianya lapangan kerja di pedesaan. Para
pencari kerja secara otomatis akan menuju kota untuk mencari
pekerjaan, baik itu formal maupun informal. Padahal kota yang dituju
oleh para pencari kerja ini belum tentu mampu menyediakan lapangan
kerja bagi mereka. Akibatnya, hanya sebagian kecil para pencari kerja
yang tertampung dan lebih banyak yang akhirnya tidak memiliki
pekerjaan. Pada akhirnya para pendatang yang tidak memiliki
pekerjaan formal tersebut terpaksa memilih pekerjaan informal dengan
commit to user
penghasilan rendah. Penyediaan rumah layak huni dan terjangkau bagi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

sekmen masyarakat berpenghasilan rendah tidak dapat terwujud. Hal


ini karena harga rumah yang semakin tinggi akibat harga bahan-bahan
material bangunan juga semakin meningkat.
Ditambahkan oleh Suharyadi (2010: 9) bahwa proses
densifikasi bangunan harus dikaji secara spasial agar dapat dipahami
karakteristik prosesnya. Karakteristik densifikasi bangunan
selanjutnya diharapkan dapat digunakan untuk mengetahui pola dan
kecepatan densifikasi bangunan. Pola densifikasi bangunan dapat
diketahui berdasarkan asumsi bahwa, densifikasi bangunan terjadi
pada daerah yang bangunannya belum padat, aksesbilitasnya baik, dan
merupakan daerah yang berkembang secara alami. Daerah yang belum
padat berarti masih mampu menampung adanya densifikasi bangunan,
dan pada umumnya densifikasi bangunan terjadi pada daerah yang
dibangun tanpa ada perencanaan (un plan) atau daerah yang tumbuh
secara alami. Untuk kecepatan densifikasi bangunan secara teoritis
dipengaruhi oleh kondisi ekonomi suatu negara. Kondisi ekonomi
Indonesia mengalami pasang surut, salah satu gejolak ekonomi yang
cukup nyata adalah krisis ekonomi pada tahun 1999-2000. Densifikasi
bangunan dapat dikaji dengan menggunakan serangkaian data spasial
kepadatan bangunan.
3) Proses Inundasi (Innundation Process)
Proses penggenangan atau inundasi merupakan gejala yang
kasuistis dan belum pernah ada pihak yang mengungkapkannya
sebagai suatu teori penyebab perkembangan permukiman kumuh.
Kondisi ini telah memunculkan bentuk permukiman kumuh baru di
Indonesia, bahkan dunia (Yunus dalam Rindarjono, 2012: 49).
Inundasi dapat terjadi karena faktor alami dan non alami. Faktor alami
inundasi seperti intrusi air laut yang terjadi pada kota yang terletak di
pesisir pantai, abrasi, rob/ inundasi, penurunan tanah, sedimentasi,
pendangkalan pantai serta banjir kiriman dari wilayah hulu. Faktor
commit
non alami dari inundasi juga toberpengaruh
user terhadap semakin luasnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

genangan dan semakin tingginya genangan. Faktor non alami tersebut


seperti perubahan tata guna lahan serta tidak berfungsinya saluran
drainase dengan baik, maka semakin bertambahnya jumlah penduduk
menjadi faktor non alami yang utama dari proses inundasi. Wilayah-
wilayah yang semestinya menjadi wilayah resapan air, saat ini banyak
berubah fungsi menjadi permukiman, perkantoran serta fasilitas-
fasilitas lainnya. Disamping itu, proyek-proyek pelebaran dan
pengaspalan jalan menjadikan saluran-saluran drainase menjadi
tertutup dan menyempit, sehingga pada musim penghujan tidak
mampu menampung dan mengalirkan air sesuai dengan
peruntukannya.
Inundasi juga diperparah dengan kurangnya kesadaran
masyarakat dalam membuang sampah dan mengolah sampah.
Seringkali terlihat di setiap sudut kota, banyak sampah menumpuk di
saluran-saluran drainase. Sampah-sampah ini yang nantinya pada
musim penghujan menyebabkan sungai dan saluran air tidak mampu
menampung besarnya volume air, sehingga banyak wilayah tergenang
apalagi pada wilayah bantaran sungai atau wilayah yang dialiri sungai.
Hal lain yang tidak kalah penting penyebab inundasi suatu kota
yang sedang berkembang seperti Kota Surakarta adalah adanya
reklamasi. Reklamasi dalam arti umum adalah suatu pekerjaan
penimbunan atau pengurugan pada suatu kawasan atau lahan yang
relatif tidak berguna atau masih kosong dan berair menjadi lahan
berguna. Menurut Wirawan dalam Rindarjono (2012: 52) reklamasi
adalah tindakan atau proses penggarapan (reclaim) rawa (swampy,
marshy), lahan rusak, gurun, dan lahan yang belum tergarap, agar
lahan layak untuk ditanami atau ditinggali, juga konversi gisikan
(foreshore) dengan penyediaan sistem drainase untuk berbagai tujuan,
baik dengan penanggulan atau lainnya, atau dengan pengurugan.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

h. Tipologi Permukiman Kumuh


Tipologi permukiman kumuh dibagi menjadi dua yaitu
permukiman kumuh dan permukiman liar. Menurut Soekanto dalam
Yudhiono (2007: 21), permukiman kumuh (slum) yaitu daerah dengan
pendudukan yang berstatus sosial ekonomi rendah dengan gedung-gedung
yang tidak memenuhi syarat kesehatan, sedangkan permukiman liar
(squatter) adalah seseorang yang bertempat tinggal secara tidak sah di
suatu tempat (pembukaan tanah tidak sah). Kedua tipologi tersebut secara
jelas dijabarkan sebagai berikut:
1) Slum Area
a) Daerah permukiman dengan lingkungan yang tidak sehat.
b) Daerah permukiman yang dihuni oleh warga kota yang gagal
dalam bidang ekonomi.
c) Daerah permukiman yang masyarakatnya mempunyai kebiasaan
negatif.
d) Daerah permukiman yang masyarakatnya mempunyai emosi tidak
stabil.
2) Squatter Area
a) Kondisi Fisik
i. Permukiman tidak layak menurut peruntukan ruang.
ii. Permukiman yang padat penduduknya.
iii. Permukiman dengan prasarana sanitasi tidak berfungsi
dengan baik.
iv. Permukiman yang belum disentuh oleh program peremajaan
kota atau program perbaikan kampong.
v. Permukiman dengan tata letak tidak teratur.
vi. Permukiman dengan kondisi fisik bangunan buruk.
b) Kondisi Geografis
i. Permukiman kumuh yang berada di kawasan bantaran
sungai.
ii. Permukimancommit
kumuhtoberada
user di kawasan pinggiran rel.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

iii. Permukiman kumuh berada di kawasan pelabuhan.


c) Status permukiman kumuh ini biasanya menempati daerah yang
dilarang atau illegal, sehingga tidak ada status kepemilikan
rumah. (Purwadi dalam Yudhiono, 2007: 21)

2. Pendidikan
a. Arti Pendidikan
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20
Tahun 2003, Bab I Pasal (1), pengertian pendidikan adalah:
Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan
negara.

Syah (1995: 10) menyatakan bahwa “Pendidikan dapat diartikan


sebagai sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang
memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku yang
sesuai kebutuhan”. Dalam pengertian yang luas dan representatif
(mewakili/ mencerminkan segala segi), pendidikan adalah ... the total
process off developing human abilities and behaviours, drawing on almost
all life’s expriences (Tardif 1987 dalam Syah 1995: 10). Menurut pendapat
Purwanto (1988: 11) “Pendidikan adalah pimpinan yang diberikan secara
sengaja oleh orang dewasa kepada anak-anak, dalam pertumbuhannya
(jasmani dan rohani) agar berguna bagi diri sendiri dan bagi masyarakat”.
Pendidikan meliputi pendidikan informal (keluarga, tempat kerja, agama),
pendidikan formal (sekolah dan perguruan tinggi), pendidikan luar sekolah
yang dilembagakan, media massa, dan segala kebijakan politik yang
menyangkut medan pendidikan. Dari beberapa definisi di atas dapat
disimpulkan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan
commit
oleh seseorang dengan tujuan to user
menyempurnakan perkembangan individu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

untuk menguasai pengetahuan, kebiasaan, sikap, sehingga individu


tersebut menjadi manusia yang lebih berguna bagi diri sendiri dan
masyarakat.
Selain itu, pendidikan itu sendiri termasuk di dalam konsepsi Hak
Asasi Manusia, yaitu Hak Atas Pendidikan yang termasuk di dalam
wilayah Hak Atas Ekonomi, Sosial, Budaya. Di dalam Kutipan
Terjemahan Pasal 26 Universal Declaration on Human Rights 1948
dinyatakan :
Setiap orang berhak mendapat pendidikan. Pendidikan harus
gratis, setidak-tidaknya untuk tingkat sekolah rendah dan
pendidikan dasar. Pendidikan rendah harus diwajibkan. Pendidikan
teknik dan jurusan secara umum harus terbuka bagi semua orang,
dan pengajaran tinggi harus secara adil dapat diakses oleh semua
orang, berdasarkan kepantasan. Pendidikan harus ditujukan ke
arah perkembangan pribadi yang seluas- luasnya serta
memperkokoh rasa penghargaan terhadap hak-hak manusia dan
kebebasan asasi. Pendidikan harus menggalakkan saling
pengertian, toleransi dan persahabatan di antara semua bangsa,
kelompok ras maupun agama, serta harus memajukan kegiatan
Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam memelihara perdamaian.
Orang-tua mempunyai hak utama untuk memilih jenis pendidikan
yang akan diberikan kepada anak-anak mereka.

Sebagai penjabaran hak atas pendidikan yang harus dipenuhi oleh


negara yang telah meratifikasi konvensi hak- hak ekosob, Komite hak-hak
ekosob PBB (CESCR) pada tahun 1999 telah membuat general comments
E/C.12/1999/10 yang berisi empat instrumen yang wajib di penuhi oleh
setiap negara yang telah meratifikasi hak-hak ekosob ini, dalam rangka
keberhasilan pemenuhan hak atas pendidikan. Keempat instrumen tersebut
yakni:
1) Ketersediaan
Menuntut berbagai lembaga dan program pendidikan harus
menyediakan sarana dan prasarana dalam kuantitas yang memadai
seperti, bangunan sebagai perlindungan fisik, fasilitas sanitasi untuk
laki-laki dan perempuan, air minum yang sehat, guru-guru yang terlatih
commit to user
dengan gaji yang kompetitif, materi – materi pengajaran, serta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

tersedianya fasilitas perpustakaan, laboratorium komputer dan teknologi


informasi.
2) Aksesibilitas
Mengharuskan lembaga dan program pendidikan harus bisa diakses
oleh setiap orang, tanpa diskriminasi, di dalam yurisdiksi pihak negara.
Aksesibilitas mempunyai tiga dimensi umum yaitu :
a) Non Diskriminasi
Pendidikan harus bisa diakses oleh semua orang, terutama golongan
paling rentan, dalam hukum dan faktual, serta tanpa diskriminasi
terhadap bidang-bidang tertentu.
b) Aksesibilitas Fisik
Pendidikan harus berada dalam jangkauan fisik yang aman, mudah
dijangkau secara geografis (misalnya, sekolah disekitar lingkungan
tempat tinggal) maupun teknologi informasi modern (misalnya,
akses terhadap program belajar jarak jauh).
c) Aksesabilitas Ekonomi
Pendidikan harus bisa dijangkau oleh semua orang. Dimensi
aksesibilitas ekonomi ini meliputi : pendidikan dasar, pendidikan
menengah maupun pendidikan tinggi. Mengingat pendidikan harus
tersedia gratis untuk semua kalangan, pihak-pihak negara perlu
secara progresif mengusahakan pendidikan menengah maupun
pendidikan tinggi yang gratis.
3) Akseptabilitas
Menginginkan bentuk dan substansi pendidikan, termasuk kurikulum,
dan metode pengajaran harus mudah diterima (misalnya, relevan, tepat
secara budaya, dan berkualitas baik) untuk peserta didik dalam hal
tertentu juga orang tua.
4) Kemampuan Beradaptasi
Pendidikan harus fleksibel, supaya bisa mengadaptasi dengan
kebutuhan masyarakat dan komunitas yang selalu berubah serta selalu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

bisa merespon kebutuhan peserta didik tanpa membedakan status sosial


dan budayanya.

b. Tujuan Pendidikan
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20
Tahun 2003, Bab II Pasal (3) “Pendidikan Nasional bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman,
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan
bertanggung jawab”.
Menurut Langeveld dalam Purwanto (1988: 24-28) ada beberapa
tujuan dari pendidikan yaitu “tujuan umum, tujuan tak sempurna, tujuan
sementara, tujuan perantara, dan tujuan insidental”.
1) Tujuan Umum
Tujuan umum disebut juga tujuan sempurna, tujuan terakhir, atau
tujuan bulat. Tujuan umum adalah tujuan di dalam pendidikan yang
seharusnya menjadi tujuan orang tua atau lain-lain pendidik yang telah
ditetapkan oleh pendidik dan selalu di hubungkan dengan kenyataan-
kenyataan yang terdapat pada anak didik itu sendiri dan dihubungkan
dengan syarat-syarat dan alat-alat untuk mencapai tujuan umum itu.
2) Tujuan Tak Sempurna
Tujuan tak sempurna atau tak lengkap ini adalah tujuan-tujuan yang
mengenai segi-segi kepribadian manusia yang tertentu yang hendak
dicapai dengan pendidikan itu, yaitu segi-segi yang berhubungan
dengan nilai-nilai hidup yang tertentu seperti keindahan, kesusilaan,
keagamaan, kemasyarakatan, dan lain-lain yang masing-masing
dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang terkandung di dalam
masing-masing seginya. Tujuan tak sempurna ini tergantung pada
tujuan umum dan tidak dapat lepas dari tujuan umum tersebut.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

3) Tujuan Sementara
Tujuan sementara ini merupakan tempat-tempat perhentian sementara
pada jalan yang menuju ke tujuan umum seperti: anak-anak dilatih
untuk belajar kebersihan, belajar berbicara, belajar berbelanja, belajar
bermain bersama teman-temannya, dan lain-lain. Tujuan sementara ini
merupakan tingkatan-tingkatan untuk menuju ke tujuan umum. Untuk
mencapai tujuan-tujuan sementara itu di dalam praktek harus
mengingat dan memperhatikan jalannya perkembangan anak. Untuk
itu maka perlulah psikologi perkembangan.
4) Tujuan Perantara
Tujuan perantara ditentukan tergantung pada tujuan-tujuan sementara.
Misalnya: tujuan sementara ialah anak harus belajar membaca dan
menulis. Setelah ditentukan untuk apa anak belajar membaca dan
menulis itu, dapatlah sekarang berbagai macam kemungkinan untuk
mencapainya itu dipandang sebagai tujuan perantara seperti metode
mengajar dan metode membaca.
5) Tujuan Insidental
Tujuan insidental hanya sebagai kejadian-kejadian yang merupakan
saat-saat terlepas pada jalan yang menuju kepada tujuan umum.
Menurut Sindhunata (2001: 15) “Pendidikan itu harus mencakup
masyarakat seluas-luasnya. Kemiskinan, keterbelakangan, dan pandangan
tradisional masyarakat yang menyepelekan peran wanita seharusnya makin
menjadi alasan agar kita makin berusaha untuk memeratakan pendidikan,
sebab hak atas pendidikan adalah hak pribadi yang berada dalam
kebutuhan-kebutuhan pokok manusia”. Oleh karenanya, tujuan pendidikan
haruslah membawa janji kesetaraan dengan mewujudkan anak-anak dari
berbagai latar belakang yang berbeda memiliki kesempatan yang sama
untuk memperoleh keuntungan dari pendidikan yang berkualitas.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

c. Bentuk Pendidikan
Menurut Ahmadi dan Nur Uhbiyati (1991: 97) pendidikan menurut
sifatnya dibedakan menjadi tiga yaitu “Pendidikan formal, pendidikan non
formal dan pendidikan informal”
1) Pendidikan Formal
Pendidikan yang berlangsung secara teratur, bertingkat dan mengikuti
syarat-syarat tertentu secara ketat. Pendidikan ini berlangsung di
sekolah.
2) Pendidikan Non Formal
Pendidikan yang dilaksanakan secara tertentu dan sadar tetapi tidak
terlalu mengikuti peraturan yang ketat.
3) Pendidikan Informal
Pendidikan yang diperoleh seseorang dari pengalaman sehari-hari
dengan sadar sepanjang hayat. Pendidikan ini dapat berlangsung
dalam keluarga, dalam pergaulan sehari-hari maupun dalam pekerjaan,
masyarakat, keluarga, dan organisasi.

d. Jenjang Pendidikan
Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, tentang Sistem
Pendidikan Nasional “Tingkat pendidikan adalah suatu tahapan dalam
pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta
didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan”.
Selanjutnya Pasal (14), dijelaskan bahwa “Jenjang pendidikan formal
terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan
tinggi”.
Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1) Pendidikan Dasar
Pasal 17 ayat (1), (2) dan (3), UU No. 20 Tahun 2003, menjelaskan
bahwa:
a) Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi
jenjang pendidikancommit to user
menengah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

b) Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah


Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah
Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau
bentuk lain yang sederajat.
c) Ketentuaan mengenai pendidikan dasar sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
2) Pendidikan Menengah
UU RI No. 20 Tahun 2003, juga menjelaskan mengenai pendidikan
menengah. Hal ini terdapat dalam Pasal 18 ayat (1), (2), (3), dan (4)
yang menyebutkan bahwa:
a) Pendidikan menengah merupakan kelanjutan pendidikan dasar.
b) Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan
pendidikan menengah kejuruan.
c) Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA),
Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan
Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang
sederajat. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
d) Ketentuan mengenai pendidikan menengah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
3) Pendidikan Tinggi
Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2), UU RI No. 20 Tahun 2003,
menyebutkan bahwa:
a) Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah
pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan
diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang
diselenggarakan oleh perguruan tinggi.
b) Pendidikan tinggi diselenggarakan dengan sistem terbuka.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

e. Akses Pendidikan
Janji kesetaraan yang dibawa oleh pendidikan dapat diwujudkan
hanya bila anak-anak dari berbagai latar belakang yang berbeda memiliki
kesempatan yang setara untuk memperoleh keuntungan dari pendidikan
yang berkualitas (The World Bank, 2006 : 215).
Akses pendidikan adalah :
1) Kemampuan masyarakat, pada kesempatan ini, masyarakat yang
dimaksud adalah masyarakat yang bertempat tinggal di permukiman
kumuh.
2) Untuk mencari dan mendapatkan pertolongan, dalam konteks ini,
pertolongan yang menjadi pokok pembahasan adalah pertolongan dari
segi pendidikan dengan memaparkan bagaimana anak-anak usia
sekolah di perkampungan kumuh mendapatkan pertolongan dalam
kaitannya dengan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dasar,
apa saja kendala-kendala yang dihadapi dalam usaha untuk
mendapatkan pertolongan tersebut, dan jika sudah didapat, bagaimana
implementasi dari pemenuhan akses pendidikan tersebut.
3) Melalui institusi, baik formal maupun informal. Dalam pembahasan ini
peneliti mencoba untuk mengkaji bagaimana institusi formal, yaitu
pemerintah daerah Surakarta dan juga institusi informal, yaitu
Lembaga-Lembaga Swadaya Masyarakat dapat memberikan
pemenuhan akses pada pendidikan tersebut.
4) Yang sesuai dengan standar hak asasi manusia. Standardisasi hak asasi
manusia yang dimaksud pada pembahasan ini adalah pendidikan yang
merupakan hak asasi manusia, khususnya anak (United Nations
Development Programme dalam Sudjono dan Putri, K.A, 2009: 2).

3. Anak Usia Sekolah


a. Pengertian Anak
Pengertian anak memiliki aspek yang sangat luas. Berbagai makna
commit
terhadap anak dapat dikaji to user sudut pandang, sesuai dengan
dari berbagai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

kepentingan dan kebutuhan dalam pengkajiannya. Pengertian anak dari


berbagai cabang ilmu akan berbeda-beda secara substansial, fungsi, makna
dan tujuan. Anak adalah bagian dari generasi muda, sebagai salah satu
sumberdaya manusia yang segala aspek kehidupannya harus dilindungi
agar kualitas hidup mereka menjadi baik dan berguna. Singgih (1990: 11)
mengelompokkan tingkatan usia dengan kondisi kejiwaan seseorang
sebagai berikut :
1) Anak adalah seorang yang berumur di bawah 12 tahun;
2) Remaja dini adalah seseorang yang berumur 12-15 tahun;
3) Remaja penuh adalah seseorang yang berumur antara 15-17 tahun;
4) Dewasa muda adalah seseorang yang berumur 17-21 tahun,
5) Dewasa penuh adalah seseorang yang berumur di atas 21 tahun.
Menurut Undang-Undang No. 23 Bab I Pasal (1) Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, pengertian anak adalah “Seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan”. Lebih lanjut ditegaskan mengenai hak anak dalam
pendidikan yaitu dalam Undang-Undang No. 23 Pasal (9) ayat (1) dan ayat
(2):
(1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam
rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai
dengan minat dan bakatnya. (2) selain hak anak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang cacat
juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak
yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan
khusus.

Dari pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa


kesejahteraan anak adalah suatu hak asasi yang harus diusahakan bersama.
Pelaksanaan pengadaan kesejahteraan anak bergantung pada partisipasi
yang baik antara obyek dan subyek dalam usaha pengadaan kesejahteraan
anak tersebut yaitu setiap anggota masyarakat dan pemerintah.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

b. Karakteristik Anak Usia Sekolah


Usia sekolah yang berada antara rentang umur 7-14 tahun (Ahmadi
dan Nur Uhbiyati 1991: 42) merupakan tahap perkembangan anak yang
melibatkan aspek sekolah dalam kehidupannya. Para orang tua
berkeyakinan bahwa tugas orang tua adalah bekerja dan mengasuh,
sementara tugas anak pada rentang usia tersebut difokuskan untuk belajar.
Beberapa karakteristik anak usia sekolah dilihat dari perkembangannya
sebagai berikut (Sofa 2008, http://massofa.wordpress.com):
1) Perkembangan fisik atau jasmani anak sangat berbeda satu sama lain,
sekalipun anak-anak tersebut usianya relatif sama, bahkan dalam
kondisi ekonomi yang relatif sama pula. Pertumbuhan anak-anak
berbeda ras juga menunjukkan perbedaan yang menyolok. Hal ini
antara lain disebabkan perbedaan gizi, lingkungan, perlakuan orang
tua terhadap anak, kebiasaan hidup dan lain-lain.
2) Perkembangan intelektual anak sangat tergantung pada berbagai faktor
utama, antara lain kesehatan gizi, kebugaran jasmani, pergaulan dan
pembinaan orang tua. Akibat terganggunya perkembangan intelektual
tersebut anak kurang dapat berpikir operasional, tidak memiliki
kemampuan mental dan kurang aktif dalam pergaulan maupun dalam
berkomunikasi dengan teman-temannya.
3) Perkembangan emosional berbeda satu sama lain karena adanya
perbedaan jenis kelamin, usia, lingkungan, pergaulan dan pembinaan
orang tua maupun guru di sekolah. Perbedaan perkembangan
emosional tersebut juga dapat dilihat berdasarkan ras, budaya, etnik
dan bangsa. Perlakuan saudara serumah (kakak-adik), orang lain yang
sering kali bertemu dan bergaul juga memegang peranan penting pada
perkembangan emosional anak.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

B. Penelitian yang Relevan


Penelitian yang relevan adalah penelitian terdahulu yang berhubungan
dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Banyak peneliti-peneliti lain
yang mengambil tema permukiman kumuh, akan tetapi masing-masing
peneliti memiliki penekanan yang berbeda.
Winny, Astuti. 2009. Surakarta: Laporan Penelitian mengenai
Konsep Model Pemberdayaan Masyarakat Permukiman Kumuh Sebagai
Upaya Pengentasan Kemiskinan Perkotaan Yang Berkelanjutan (PMPKB).
Dalam laporan penelitian ini terumuskan suatu konsep dan model
pemberdayaan masyarakat permukiman kumuh sebagai upaya pengentasan
kemiskinan perkotaan yang berkelanjutan sebagai tools untuk pemberdayaan
masyarakat dan pengentasan kemiskinan berbasis perumahan dan
permukiman. Tujuan penelitian ini adalah untuk : (1) mencari konsep
pemberdayaan masyarakat permukiman kumuh sebagai upaya pengentasan
kemiskinan perkotaan yang berkelanjutan, (2) menerapkan konsep
pemberdayaan masyarakat permukiman kumuh sebagai upaya pengentasan
kemiskinan perkotaan yang berkelanjutan, (3) mencari model pemberdayaan
masyarakat permukiman kumuh sebagai upaya pengentasan kemiskinan.
Hasil dari penelitian ini adalah terumuskannya konsep dan model
Pemberdayaan Masyarakat Permukiman Kumuh Sebagai Upaya Pengentasan
Kemiskinan Perkotaan Yang Berkelanjutan yang akan menjadi masukan
kebijakan bagi pemerintah (departemen maupun SKPD terkait) sebagai tools
untuk pemberdayaan masyarakat dan pengentasan kemiskinan berbasis
perumahan dan permukiman. Disamping itu dengan penerapan konsep model
pemberdayaan secara nyata akan bisa direplikasi ke daerah lain yang
membutuhkan.
Arleni, Ita. 2009. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret. Judul: Kajian Persebaran Permukiman Kumuh
Liar (Squatter) di Sepanjang Bantaran Bengawan Solo Kota Surakarta.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Tujuan
commit
penelitian ini adalah: (1) untuk to user persebaran permukiman kumuh
mengetahui
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

liar (squatter) di sepanjang bantaran Bengawan Solo Kota Surakarta. (2)


untuk mengetahui penyebab munculnya permukiman kumuh liar (squatter) di
sepanjang bantaran Bengawan Solo Kota Surakarta. (3) untuk mengetahui
proses yang terjadi pada permukiman kumuh liar (squatter) di sepanjang
bantaran Bengawan Solo Kota Surakarta. Hasil penelitian ini adalah: (1)
persebaran permukiman kumuh liar (squatter) di sepanjang bantaran
Bengawan Solo Kota Surakarta adalah tidak merata di sepanjang aliran
Bengawan Solo dengan tingkat kualitas permukiman baik, agak kumuh dan
kumuh dengan persebaran jumlah permukiman dan jumlah penduduk yang
semakin padat kearah pusat kota. (2) penyebab munculnya permukiman
kumuh liar (squatter) di sepanjang bantaran Bengawan Solo Kota Surakarta
secara dominan dipengaruhi faktor urbanisasi, faktor ekonomi dan faktor
bencana. (3) proses yang terjadi pada permukiman kumuh liar (squatter) di
sepanjang bantaran Bengawan Solo Kota Surakarta adalah proses
perkembangan spasial secara ekspansif dan seperti lompat katak, kemudian
terjadi proses infilling. Proses kehidupan yang ditilik dari segi fisik bahan
bangunan dan proses secara keseluruhan maka pada permukiman kumuh liar
(squatter) di sepanjang bantaran Bengawan Solo Kota Surakarta termasuk
proses pemadatan.
Hananto, Bambang. 2007. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Sebelas Maret. Judul: Studi tentang Pendidikan Anak
Dalam Lingkungan Keluarga Migran di Desa Jendi Kecamatan Selogiri
Kabupaten Wonogiri. Penelitian ini menggunakan metode deskripitif
kualitatif. Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) mengetahui penyebab
perbedaan prestasi belajar anak keluarga migran. (2) mengetahui bagaimana
peran orang tua dalam pendidikan anak. (3) mengetahui bagaimana proses
belajar anak keluarga migran di rumah. Hasil penelitian ini sebagai berikut:
(1) penyebab perbedaan prestasi belajar anak migran adalah tingkat perhatian
anak terhadap pelajaran, tingkat minat belajar anak di rumah, tingkat
motivasi belajar, tingkat kelengkapan fasilitas belajar, dan tingkat dukungan
keluarga. (2) peranan orangcommit to user
tua dalam pendidikan anak kurang terlaksana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

secara maksimal, karena mereka masih sibuk bekerja sehingga mereka


melupakan tugas mereka sebagai pengarah dan pembimbing bagi anak-
anaknya. (3) proses belajar anak keluarga migran di rumah dapat dilihat dari:
waktu lamanya belajar, anak yang prestasi belajarnya tinggi memiliki waktu
belajar yang terjadwal. Wujud belajar, anak yang prestasinya tinggi memiliki
wujud belajar yang banyak. Fasilitas belajar, anak yang prestasi belajarnya
tinggi memiliki fasilitas belajar yang lengkap. Tempat belajar, anak yang
prestasi belajarnya tinggi lebih memanfaatkan ruang belajar untuk belajar.
Pendamping belajar, anak yang prestasi belajarnya tinggi memiliki teman
belajar. Gaya belajar, anak yang prestasi belajarnya tinggi adalah mereka
yang memilki gaya belajar dengan memanfaatkan media lain. Kesadaran
belajar, pada anak yang prestasi belajarnya tinggi kesadaran akan belajar
sangat tinggi.
Tsujita, Yuko. 2009. Background Paper prepared for the Education
for All Global Monitoring Report 2010: United Nations Educational,
Scientific and Cultural Organization. Judul: Deprivation of Education: A
Study of Slum Children in Dehli, India (Perampasan Pendidikan: Sebuah
Studi Anak Kumuh di Delhi, India). Penelitian ini menggunakan analisis
kuantitatif. Penelitian ini berusaha untuk menyajikan dan menggambarkan
perampasan pendidikan pada anak di permukiman kumuh usia 5 sampai 14
tahun di Dehli serta menyoroti perbedaan antara anak-anak di permukiman
kumuh dan anak-anak lainnya. Hasil dari penelitian ini sebagai berikut: (1)
ketersediaan sekolah yang kurang, menjelaskan mengapa anak-anak di
permukiman kumuh kurang pendidikan. (2) sekolah swasta bebas biaya perlu
ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang kurang mampu di
permukiman kumuh. (3) beberapa perubahan kebijakan dan praktik perlu
diajukan untuk peningkatan dan kemajuan wajib belajar.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Tabel 1. Penelitian yang Relevan


Judul
Peneliti Tahun Lokasi Metode Hasil Penelitian
Penelitian
Winny 2009 Kota Mencari Model Penelitian  Terumuskannya konsep dan
Astuti Surakarta Pemberdayaan Tindak model Pemberdayaan
Masyarakat Partisipatif Masyarakat Permukiman
Permukiman (Participatory Kumuh Sebagai Upaya
Kumuh Sebagai Action Pengentasan Kemiskinan
Upaya Research) Perkotaan Yang
Pengentasan Berkelanjutan yang akan
Kemiskinan menjadi masukan kebijakan
Perkotaan Yang bagi pemerintah (departemen
Berkelanjutan maupun SKPD terkait)
(PMPKB). sebagai tools untuk
pemberdayaan masyarakat
dan pengentasan kemiskinan
berbasis perumahan dan
permukiman.
 Secara riil bisa direplikasi
daerah lain yang
membutuhkan.
Arleni Ita 2009 Kota Kajian Deskriptif  Persebaran permukiman
Surakarta Persebaran Spasial kumuh liar (squatter) di
Permukiman sepanjang bantaran
Kumuh Liar Bengawan Solo Kota
(Squatter) di Surakarta adalah tidak
Sepanjang merata.
Bantaran  Penyebab munculnya
Bengawan Solo permukiman kumuh liar
Kota Surakarta. (squatter) di sepanjang
bantaran Bengawan Solo
Kota Surakarta secara
domonan dipengaruhi faktor
urbanisasi, faktor ekonomi
dan faktor bencana.
 Proses yang terjadi pada
permukiman kumuh liar
(squatter) di sepanjang
bantaran Bengawan Solo
Kota Surakarta adalah proses
perkembangan spasial secara
ekspansif dan seperti lompat
katak, kemudian terjadi
proses infilling.
Hananto 2007 Kab. Studi tentang Deskriptif  Penyebab perbedaan prestasi
Bambang Wonogiri Pendidikan Kualitatif belajar anak migran adalah
Anak Dalam tingkat perhatian anak
Lingkungan terhadap pelajaran, tingkat
Keluarga minat belajar anak di rumah,
Migran di Desa tingkat motivasi belajar,
Jendi tingkat kelengkapan fasilitas
Kecamatan belajar, dan tingkat dukungan
Selogiri keluarga.
Kabupaten  Peranan orang tua dalam
Wonogiri. pendidikan anak kurang
terlaksana secara maksimal.
 Proses belajar anak keluarga
commit to user migran di rumah dapat dilihat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Judul
Peneliti Tahun Lokasi Metode Hasil Penelitian
Penelitian
dari: Waktu dan lamanya belajar,
wujud belajar, fasilitas belajar,
tempat belajar, pendamping belajar,
gaya belajar, dan kesadaran belajar.

Nuryani 2010 Kota “Upaya Deskriptif


Septy Surakarta Penduduk kualitatif
Permukiman dan
Kumuh Dalam pengolahan
Mengakses dengan SIG
Pendidikan bagi
Anak Usia
Sekolah (Studi
Kasus di
Kelurahan
Sangkrah Kota
Surakarta
Tahun 2010)

C. Kerangka Berpikir
Meningkatnya pertumbahan penduduk suatu kota, baik penduduk asli
maupun pendatang menyebabkan kota semakin padat. Hal tersebut
mengakibatkan munculnya masalah umum yang akan dihadapi kota tersebut
salah satunya adalah tumbuhnya permukiman kumuh. Masyarakat yang
umumnya pendatang yang rata-rata memiliki tingkat ekonomi rendah
berusaha mencari lahan yang berharga murah atau terjangkau dengan tingkat
ekonomi mereka. Namun kenyataannya harga tanah semakin membumbung
tinggi, sehingga muncul keinginan dari masyarakat untuk mencari lahan-
lahan kosong milik negara seperti di sepanjang rel kereta api, di bantaran
sungai dan sebagainya untuk didiami tanpa izin. Akibatnya timbul
permukiman dengan kondisi lingkungan yang kurang memenuhi standar
kesehatan dan cenderung tidak tertata.
Pemadatan fungsi lahan yang selalu diikuti dengan penurunan kualitas
permukiman berdampak besar bagi banyak hal seperti keamanan dan
kesehatan. Oleh karenanya, perlu dikaji secara rinci permasalahan-
permasalahan permukiman suatu kota agar penanganan yang akan diterapkan
dapat sesuai dengan kebutuhan dan tepat sasaran. Unit analisis daerah
penelitian menggunakan permukiman skala meso berupa blok-blok
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

permukiman yang terbagi menjadi 13 RW di Kelurahan Sangkrah. Studi


kualitas permukiman skala meso mencakup 5 elemen yaitu working
opportunities, circulation, housing, recreation, perfecting element. Untuk
mempermudah analisis dan pemetaan maka indikator kualitas permukiman
yang digunakan adalah inadequate access to save water, inadequate access to
sanitation and other infrastructure, insecure residential status, poor
structural quality of housing, sufficient living area.
Tingkat ekonomi yang rendah memaksa masyarakat yang tinggal di
permukiman kumuh relatif mempunyai pendidikan yang rendah sehingga
kurang mempunyai kemampuan untuk keluar dari garis kemiskinan. Kualitas
pendidikan penduduk suatu kota dapat dilihat dari Angka Partisipasi Sekolah.
Disamping itu organisasi masyarakat dan kelembagaan yang terbentuk di
lingkungan kumuh biasanya kurang bisa memberikan akses bagi social
inclusion; empowerment (pemberdayaan) maupun security. Untuk lebih
jelasnya, kerangka pemikiran diskemakan sebagai berikut:

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Pertumbuhan Penduduk

Migrasi Pertumbuhan Alami

Pertambahan Penduduk

Pemadatan Fungsi Lahan

Kualitas Permukiman
Skala Meso

5 Unsur Pendukung Permukiman Skala Meso: Perfecting Element


1. Kesempatan Kerja (Working Opportunities) 1. Tingkat Partisipasi Sekolah di
2. Transportasi (Circulation) Permukiman Kumuh
3. Kelengkapan Rumah (Housing) 2. Permasalahan Dalam Mengakses
4. Hiburan (Recreation) Pendidikan Bagi Anak-anak di
5. Pelengkap (Perfecting Element) Permukiman Kumuh

Indikator Permukiman Kumuh menurut Pemenuhan Akses Pendidikan di


UN_Habitat, Global Observatory (2003): Permukiman Kumuh
1. Air Bersih untuk Keluarga (Inadequate
access to save water)
2. Sanitasi Lingkungan (Inadequate access
to sanitation and other infrastructure)
3. Status Tanah (Insecure residential
status)
4. Kemiskinan (Poor structural quality of
housing)
5. Kondisi Rumah (Sufficient living area)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

commit to user

Anda mungkin juga menyukai