Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

PEMBANGUNAN EKONOMI DAERAH

(TINJAUN TEORI GROWTH POLE UNTUK PENINGKATAN


EKONOMI REGIONAL KABUPATEN INDRAMAYU)

Dosen:

Prof. Dr. Samugyo Ibnu Redjo, M.A

Disusun oleh :

Ibrahim

(171520200502)

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PADJAJARAN
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya

yang telah dilimpahkan kepada Penulis, sehinggga Penulis dapat menyelesaikan

Pembangunan ekonomi daerah,tinjaun teori growth pole untuk peningkatan ekonomi

regional Kabupaten Indramayu.

Makalah ini Penulis buat dalam rangka untuk memenuhi tugas mata kuliah

Konstitusi dan Kelembagaan Pemerintahan, dengan mengambil tema yaitu tentang.

Pembangunan ekonomi daerah,tinjaun teori growth pole untuk peningkatan ekonomi

regional Kabupaten Indramayu, dengan ini diharapkan pembaca dapat lebih

mengetahui tentang Analisi strategi Kebijakan Pemerintah dalam Pembangunan

Ekonomi ditengah Covid-19dan dapat memberikan manfaat bagi para mahasiswa/i

khususnya dan para pembaca pada umumnya.

Sudah tentu kekurangan-kekurangan akan terdapat dalam makalah ini. Karena

itu, saran dan kritik yang sifatnya membangun dari setiap pembaca sangat harapkan

demi kesempurnaan makalah in

Ibrahim

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 5

1.3 Tujuan Masalah ............................................................................................ 5

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pembangunan Ekonomi Daerah dan Otonomi Daerah ………... 6

2.2 Konsep Growth Pole ………………………………………………………. 8

2.2.1 Growth Pole dalam Ekonomi Regional …………………………… 10

2.3 Teori Growth Pole untuk Peningkatan Ekonomi Regional Indramayu ……. 11

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan .................................................................................................. 14

3.2 Saran ............................................................................................................. 15

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………….. 16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pelaksanaan pembangunan ekonomi suatu negara, terutama negara-negara

berkembang atau less-developed countries (LDC) seringkali terbentur oleh

ketersediaan modal yang terbatas dan hal ini menjadi salah satu hambatan utama bagi

negara-negara tersebut untuk melaksanakan pembangunannya. Umumnya negara

berkembang memiliki tingkat pendapatan dan tabungan yang rendah. Tabungan yang

rendah tersebut tentu akan berdampak terhadap rendahnya dana yang disediakan untuk

investasi sehingga menghasilkan tingkat akumulasi kapital yang rendah, hal ini

menyebabkan tingkat pendapatan nasional di negara tersebut juga menjadi rendah.

Fenomena tersebut menurut Irawan dan Suparmoko (1999) disebut lingkaran yang tak

berujung pangkal atau vicious circle.

Era baru dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi daerah, ditandai dengan

terbitnya undang-undang nomor 22 Tahun 1999 dan diganti dengan undang-undang

nomor 32 tahun 2004 diagnti lagi dengan undang-undang nomor 23 tahun 2014, hal

inilah yang patut mendapat pengahrgaan yang besar karena hasil reformasi telah

mengeluarkan perangkat hukum yang menjamin dilaksanakanya otonomi daerah nyata

dan bertanggung jawab.

1
Otonomi daerah yang sudah berjalan sejak tahun 2001 telah mengalami

berbagai upaya perbaikan yang ditunjukkan dengan berbagai perubahan dasar hukum

yang melandasinya, mulai dengan UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 , Undang-

Undang Nomor 25 Tahun 1999 yang kemudian diperbarui dengan Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33

Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintahan Daerah dan kemudian diperbarui lagi melalui ditetapkannya Undang-

Undang Nomor 23 tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Dengan perubahan-

perubahan tersebut telah membuktikan bahwa pembenahan sistem pemerintahan

daerah terus berjalan dinamis seiring dengan tuntutan dan aspirasi masyarakat.

Diberlakukannya kedua perundang-undangan di atas telah menempatkan Pemerintah

Daerah sebagai pelaku utama dalam implementasi kebijakan dan pembangunan

ekonomi. Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah tersebut akan dapat terlaksana

secara optimal bila dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti dengan

pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada daerah, dengan mengacu

pada Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah yang mana besarnya disesuaikan dan diselaraskan dengan

pembagian kewenangan antara pemerintah dan daerah

Semua sumber keuangan yang melekat pada urusan pemerintah yang

diserahkan kepada daerah menjadi sumber keuangan daerah. Daerah diberikan hak

2
untuk mendapatkan sumber keuangan yang antara lain berupa: kepastian tersedianya

pendanaan dari pemerintah sesuai dengan urusan pemerintah yang diserahkan;

kewenangan memungut dan mendayagunakan pajak dan retribusi daerah dan hak untuk

mendapatkan bagi hasil dari sumber-sumber daya nasional yang berada di daerah dan

dana perimbangan lainnya; hak untuk mengelola kekayaan daerah dan mendapatkan

sumber-sumber pendapatan lain yang sah serta sumber- sumber pembiayaan. Dengan

pengaturan tersebut pada dasarnya pemerintah menerapkan prinsip money follow

function/uang mengikuti fungsi

Proses pemerataan kualitas SDM dengan pemerataan infrastruktur memiliki

keterkaitan erat dalam menunjang pemerataan pertumbuhan di berbagai daerah. Tak

heran jika kualitas SDM di Indonesia masih belum merata, mengingat pembangunan

sejumlah infrastruktur di beberapa daerah juga masih belum merata. Banyak daerah di

Indonesia yang masih memiliki keterbatasan fasilitas transportasi maupun fasilitas

jaringan. Pemerintah perlu terus berjuang untuk memungkinkan akses transportasi,

jaringan listrik, maupun jaringan internet bisa dijangkau oleh seluruh masyarakat di

Indonesia. Masyarakat Indonesia berhak mendapat akses yang sama di mana pun

mereka berada. Dukungan pemerintah untuk menciptakan spread effect dari konsep

growth pole dapat dicapai melalui pemberian insentif oleh pemerintah bagi wilayah-

wilayah yang menjadi pusat pertumbuhan. Memasukkan peran daerah sebagai pusat

pertumbuhan dalam formula dana transfer, terutama karena menanggung daerah lain,

bisa dijadikan insentif daerah. Selain itu, menjadi keharusan bagi pemerintah untuk

3
menyediakan infrastruktur dasar yang memadai dengan dasar Standar Pelayanan

Minimum (SPM) di bidang pendidikan dan kesehatan di seluruh wilayah Indonesia.

Melalui ketersediaan infrastruktur yang memadai serta pemerataan kualitas SDM di

setiap daerah, maka diyakini ketimpangan ekonomi akan bisa ditekan.

Francois Perroux, menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi di tiap daerah

tidak terjadi di sembarang tempat, melainkan di lokasi tertentu. Karena itu, untuk

mencapai tingkat pendapatan tinggi, maka harus dibangun beberapa tempat pusat

kegiatan ekonomi yang disebut dengan kutub pertumbuhan. Teori growth

pole merupakan teori yang menjadi dasar dalam strategi dan kebijaksanaan

pembangunan industri daerah yang banyak dijalankan di berbagai negara berkembang

maupun negara maju. Pada awalnya konsep ini dianggap penting karena memberikan

kerangka rekonsiliasi antara pembangunan ekonomi regional di wilayah pusat (kota)

dan hinterland-nya. Akan tetapi, faktanya tidak seperti yang diharapkan karena

dampak backwash effect lebih besar daripada spread effect sehingga pengurasan

sumber daya hinterland oleh pusat menjadi sangat menonjol dan mendorong

ketimpangan yang makin lebar. Idealnya, pembangunan ekonomi yang dilakukan

selain menciptakan pertumbuhan setinggi-tingginya, harus pula ikut menghapus dan

mengurangi tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan tingkat pengangguran,

sekaligus menciptakan tambahan pendapatan masyarakat bagi rumah tangga.

Dari permasalahan tersebut, perlu dikaji dan dicari suatu teori yang bisa

memberikan solusi atas permasalahan ketimpangan dan ketertinggalan perkembangan

4
ekonomi tersebut. Suatu teori yang bisa dianalisis untuk mengatasi persoalan tersebut

adalah teori growth poles atau kutubkutub pertumbuhan. Teori merupakan konsep yang

berusaha mengembangkan pusat - pusat perekonomian pada wilayah - wilayah/regions

yang masih tertinggal. Maka, dari sifat teori tersebut berupa penyebaran pusat

pertumbuhan, konektivitas dan keadilan, maka perlu dikaji lebih dalam bagaimana

teori ini berusaha mengembangkan kemakmuran yang merata.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, maka penulis

mengajukan rumusan masalah, yaitu

1.2.1 Bagaimana Pengertian Pembangunan Ekonomi Daerah dan Otonomi Daerah ?

1.2.2 Bagaimana Konsep Growth Pole ?

1.2.3 Bagaimana Growth Pole dalam Ekonomi Regional ?

1.2.4 Bagaimana Teori Growth Pole untuk Peningkatan Ekonomi Regional Indramayu

1.3 Tujuan Pembahasan

1.3.1 Mengetahui Pengertian Pembangunan Ekonomi Daerah dan Otonomi Daerah

1.3.2 Mengetahui konsep Growth Pole

1.3.3 Mengetahui relevansi Konsep Growth Pole dalam Ekonomi Regional

1.3.4 Mengetahui Teori Growth Pole untuk Peningkatan Ekonomi Regional Indramayu

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pembangunan Ekonomi Daerah dan Otonomi Daerah


Pembangunan ekonomi tidak lepas dari pertumbuhan ekonomi (economic

growth), pembangunan ekonomi mendorong pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya,

pertumbuhan ekonomi memperlancar proses pembangunan ekonomi. Pembangunan

ekonomi daerah adalah strategi pemerintah nasional dalam menjalankan campur tangan

pemerintah untuk mempengaruhi jalannnya proses pembangunan di daerah-daerah

sebagai bagian dari daerah nasional supaya terjadi perkembangan kearah yang

dikehendaki. Dalam pembangunan ekonomi daerah yang menjadi pokok

permasalahannya adalah terletak pada kebijakan-kebijakan pembangunan yang

didasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan (endogenous) dengan

menggunakan potensi sumber daya manusia, kelembagaan, dan sumber daya fisik

secara lokal (daerah).

Sedangkan istilah otonomi daerah berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti

sendiri dan namos yang berarti Undang-undang atau aturan. Dengan demikian otonomi

daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan

mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai

dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dikatakan bahwa yang dimaksud

dengan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan

6
kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta

tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi

yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung jawaban sebagai

konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan

kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi

berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, serta

pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam

rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Salah satu pilar utama yang harus ditegakkan dalam rangka mengembangkan

otonomi daerah yang benar-benar lebih nyata dan bertanggung jawab adalah aspek

pembiayaan. Beberapa aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan

pelaksanaan Otonomi Daerah:

Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara

Pemerintah Pusat dan Daerah

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah

7
Perpu No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang

No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Adapun dasar-dasar hukum pelaksanaan otonomi daerah adalah sebagai berikut:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 18 Ayat 1 - 7,

Pasal 18A ayat 1 dan 2 , Pasal 18B ayat 1 dan 2

Ketetapan MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah,

Pengaturan, pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yg Berkeadilan, serta

perimbangan keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka NKRI

Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam

Penyelenggaraan Otonomi Daerah

UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah.

UU No. 23 Tahun 2014 tentang pemerintah daerah (Revisi UU No.32 Tahun 2004)

2.2 Konsep Growth Pole

Konsep Growth Pole Sejak awal, para ekonom menaruh kepercayaan bahwa

ruang (space) memiliki dampak yang penting bagi kegiatan ekonomi. Pendiri teori

8
kegiatan lokalisasi dan berkonsep pada wilayah adalah Johan Henrich von Thünen

yang, melalui karyanya, diterbitkan pada tahun 1826, mempelajari lokasi berdasarkan

biaya produksi tanaman dan jarak ke pasar (Dobrescu& Dobre,2014:263). Pada saat

itu, kajian tentang ruang dan regional menjadi penting dalam teori ekonomi. Teori yang

lebih jauh mengembangkan konsep ruang, jarak dan biaya adalah teori tentang growth

poles atau kutub-kutub perkembangan. Teori inilah yang pertama yang meninggalkan

gagasan atas ruang (region/space) yang seragam-abstrak untuk memahami ruang yang

beraneka ragam. Teori 'kutub pertumbuhan' pertama kali dirumuskan pada tahun 1955

oleh ekonom Perancis François Perroux (Capello,2015:179). Teori ini mampu melihat

bagaimana suatu wilayah bisa berkembang dengan adanya interaksi industri utama dan

industri pendukung, serta interaksi ekonomi antar wilayah yang mereduksi

kesenjangan kemakmuran. Oleh karena itu, regional growth (and development) theory

focuses on spatial aspects of economic growth and the territorial distribution of income.

(Capello,2015:2) François Perroux menunjuk dengan istilah kelompok industri yang

dinamis dan terintegrasi, yang diorganisasikan di sekitar industri pendorong yang

mampu tumbuh pesat dan menghasilkan pertumbuhan melalui efek berganda dan

diseminasi di seluruh perekonomian. (Mustățea, 2013:52). Kunci dari perkembangan

ekonomi pada suatu kutub adalah adanya suatu industri yang merangsang industri lain,

sehingga terjadi koneksi ekonomi yang dinamis yang bisa memicu berbagai aktivitas

ekonomi yang mampu membuka lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan

masyarakat. Secara definisi, Perroux mendefinisikan Kutub pertumbuhan sebagai "kota

dengan hubungan social- ekonomi yang kuat dengan daerah sekitarnya, yang bertindak

9
sebagai pusat pertumbuhan, memiliki kemampuan untuk menyebar pembangunan di

seluruh wilayah" (Mustățea,2013:52). Peran kunci dari kutub ini adalah melakukan

penyebaran.

2.2.1 Growth Pole dalam Ekonomi Regional

Ekonomi regional bukanlah studi ekonomi pada tingkat wilayah administratif,

seperti yang sering diyakini secara dangkal dan keliru. Ekonomi regional adalah

cabang ekonomi yang menggabungkan dimensi 'ruang' ke dalam analisis kerja pasar

(Capello,2015:1). Oleh karena itu, kajian ekonomi regional bukan melihat aktivitas

ekonomi dalam skala regional. Kajian ini lebih pada melihat wilayah (space) sebagai

faktor atau variabel yang mempengaruhi variabel-variabel lain dalam ilmu ekonomi.

Selain itu, tujuan pragmatis dari kajian ekonomi regional adalah mencari solusi atas

ketimpangan ekonomi berbagai wilayah tang masih tertinggal. Salah satu teori yang

dominan dalam usaha menerangkan bagaimana suatu wilayah membentuk perilaku

ekonomi sekaligus bagaimana membentuk pemerataan ekonomi antar wilayah adalah

teori growth pole atau teori kutub pertumbuhan. Teori kutub pertumbuhan, lebih

detailnya adalah berupa analisis peran perusahaan multinasional dalam pengembangan

lokal, dan studi tentang difusi inovasi dalam upaya suatu wilayah/regional untuk

mengidentifikasi penyebab (eksogen) polaritas teritorial di mana suatu pembangunan

bergantung (Capello,2015:102). Sehingga teori ini merupakan gambaran bagaimana

melakukan pengembangan ekonomi dengan melakukan penyebaran titiktitik

pertumbuhan pada wilayah-wilayah yang masih terbelakang. Dasar teori Perroux

10
tentang kutub pertumbuhan bisa diringkas dalam pernyataannya yang terkenal - yang

meskipun kesederhanaannya penting dalam konsekuensinya: „Pembangunan tidak

muncul di manamana pada saat yang sama: ia menjadi nyata di titik atau kutub

pembangunan, dengan intensitas variabel; itu menyebar melalui saluran yang berbeda,

dengan berbagai efek akhir pada seluruh perekonomian."(Capello,2015:179).

Mendapat ini menegaskan pentingnya kutub pertumbuhan dalam pengembangan

ekonomi regional. Suatu wilayah atau regional tidak lagi dipandang sebagai penyangga

atau wilayah belakang/pemasok (hinterland), namun juga harus menjadi pusat-pusat

pertumbuhan ekonomi.

Maka, usaha atau perusahaan dominan tersebut bisa memberikan efek berantai

degan cara memangkas biaya perjalanan, menjalankan usaha yang berpengaruh besar,

memberdayakan populasi lokal serta memberikan suplai kebutuhan secara luas.

Dengan peran perusahaan atau usaha dominan ini, akan memberikan pemicu

munculnya usaha-usaha pendukung di sekitarnya yang mampu menggeliatkan roda

ekonomi.

2.3 Teori Growth Pole untuk Peningkatan Ekonomi Regional Indramayu

Jaringan kutub pengembangan kota dengan kutub pertumbuhan jaringan

membentuk sistem polisentris yang dapat menangkal ruang negatif konsentrasi dan

perkembangan ekonomi yang berlebihan, maka multipolaritas adalah ciri khas yang

baru tatanan dunia. (Dobrescu& Dobre,2014: 266). Dari hal tersebut bisa disimpulkan

bahwa pemerataan ekonomi bisa dilakukan dengan membentuk kutub pertumbuhan di

11
suatu wilayah yang bisa memberikan pola penyebaran pertumbuhan yang menyebar

dan tidak terpusat pada satu wilayah saja. Oleh karena itu, teori growth poles akan

sangat cocok untuk digunakan dalam perencaan pengembangan wilayah Kabupaten

Indramayu

Untuk mengembangkan Kabupaten Indramayu dan relasinya dengan wilayah

lain. Bentuk perekonomian regional Kabuapaten Indramayu tidak bisa mengabaikan

karakteristik wilayah dan relasinya dengan wilayah lain. Apalagi pertumbuhan

ekonomi masyarakat pedagang pantura mengalami penurunana, karena dampak dari

pembangunan jalan tol cikampek-palimanan. Masih belum ada sikap tegas dari

pemerintah daerah dalam perencanaan Kabupaten Indramayu. Sehingga bentuk

perekonomian regional Kabuapaten Indramayu akan sulit berkembang dan berdaya

saing dengan wilayah lain. Melihat potensi Kabupaten Indramayu sebagai pusat

perekonomian sangat besar baik dari sektor pertanian, kelautan dan perkebunan ,

industri dan sektor wisata Peran pemerintah daerah dalam perencanaan pembangunan

ekonomi masih belum serius dan belum terencana dengan baik melihat potensi daerah

Kabupaten Indramayu. Wilayah lain yang berdekatan dengan Kabupaten Indramayu

yang masih menjadi pusat pereokonomian yaitu Kabupataen/Kota Cirebon. Dengan

Kota Cirebon sebagai pusat, maka apa yang terjadi adalah pemusatan kemakmuran dan

akumulasi kapital hanya pada Cirebon saja.

Paradigma tersebut harus diubah dengan menggunakan konsep growth poles

dimana Kota Kabupaten Indramayu hendaknya menjadi magnet perekonomian. Perlu

12
adanya suatu industri utama dan dominan di Tangerang Selatan yang mampu menjadi

pendorong gerak laju perekonomian. Dengan seperti itu, maka akan terjadi kutub-kutub

baru di wilayah yang dianggap wilayah pinggir tersebut. Dari hal tersebut, maka perlu

dilihat apa saja sektor unggulan di Kabupaten Indramayu yang bisa menjadi perusahaan

dominan penggerak perekonomian. Pada sektor jasa, jika memang betul dominan dan

berintegrasi, maka di Kabupaten Indramayu akan muncul bukan hanya usaha jasa,

namun usaha terkait yang mendukung seperti pertaian dan peternakan untuk

mendukung makanan. Selain itu, perusahaan konstruksi juga tidak hanya bisa

menyerap tenaga kerja, namun memberikan sumber penghidupan bagi usaha-usaha lain

baik akomodasi, pendidikan, transportasi dan layananlayanan jasa baik murni maupun

campuran. Dengan adanya kutub pertumbuhan di Kabupaten Indramayu , maka akan

mengurangi dominasi kutub utama dan bisa menyamaratakan kemakmuran.

Pengembangan kutub pertumbuhan bertujuan untuk mengurangi daya tarik pusat-pusat

besar dan menyeimbangkan lokasi kegiatan yang menghasilkan fungsi di seluruh

wilayah (Mustățea, 2013:51). Oleh karena itu, berbagai dampak buruk pemusatan

ekonomi seperti kemacetan, kelangkaan barang dan urbanisasi bisa diatasi.

13
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

Didalam melakukan pembangunan, setiap Pemerintaah Daerah memerlukan

perencanaan yang akurat serta diharapkan dapat melakukan evaluasi terhadap

pembangunan yang dilakukannya. Lebih jauh lagi berarti perencanaan yang tepat

sesuai dengan kondisi di suatu wilayah menjadi syarat mutlak dilakukannya usaha

pembangunan. Perencanaan pembangunan memiliki ciri khusus yang bersifat usaha

pencapaian tujuan pembangunan tertentu

Teori Growth Poles dari Francois Perroux adalah strategi dalam meningkatkan

pertumbuhan ekonomi pada suatu wilayah. Teori ini memberikan penekanan pada

pemerataan wilayah, dimana melihat pertumbuhan bukan hanya di satu titik atau pusat

saja. Teori ini menyarankan terbentuknya kutub-kutup pertumbuhan yang berada pada

wilayah atau ruang yang di luar pusat. Teori ini menekankan peran perusahaan

dominan yang memiliki dampak luas dan konektivitas jaringan untuk bisa

menumbuhkan usaha-usaha ekonomi yang terpaut di sekitarnya. Karena setiap usaha

ekonomi berskala besar dan influential akan menumbuhkan bentuk usaha-usaha

ekonomi lain yang mendukungnya Teori ini cocok dugunakan untuk mengembangkan

perekonomian regional Indramayu. Dengan menumbuhkan sektor jasa dan konstruksi

di Indramayu diharapkan usaha dominan tersebut bisa menghidupkan roda

14
perekonomian di Indramayu. Dalam implementasi teori ini perlu diperhatikan juga

koordinasi kebijakan ekonomi nasional, sehingga terjadi sinkronisasi antara kebijakan

daerah dan pusat. Selain itu, penyempurnaan teori ini dengan kritik dari ekonomi

kerakyatan dibutuhkan agar bisa memunculkan konsep yang lebih baik dan cocok

untuk Indonesia.

15
DAFTAR PUSTAKA

Amin Suprahatini.2008. Otonomi Daerah Dari masa ke massa. Klaten.Cempaka Putih

Macana Baru Karanganom.

Dobrescu, E. M., & Dobre, E. M. 2014. Theories regarding the role of the growth poles

in the economic integration. Procedia Economics and Finance, 8, 262-267

Higgins, B., & Savoie, D. J. (Eds.). 2017. Regional economic development: essays in

honour of François Perroux. Routledge: New York

Jamalia, J. S. 2011. Studi pengembangan wilayah kota tengerang Selatan melalui

pendekatan sektor-sektor unggulan.(Skripsi S1. Fakultas Sains dan Teknologi.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Mulya Firdaussy. Rasbin.2018. Masalah Kontoporer Perekonomian Nasional dan

Daearh.Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Republik Indonesia,2004. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang

Pemerintahan Daerah

Republik Indonesia.2004. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang

perimbangan Keuangan daerah Pusat dan Daerah

Yudi Suparyanto,2019. Otonomi Daerah dalam Kerangkan NKRI.Klaten.Penerbit :

Cempaka Putih, macana Baru Karnganom.

16
Wijaya.Haw.2005. Penyelenggaran otonomi di Indonesia. PT Raja Grafindo

Persada.Jakarta

https://feb.ub.ac.id/id/growth-pole-dalam-pembangunan-ekonomi-indonesia.html

17

Anda mungkin juga menyukai