Anda di halaman 1dari 26

PERKEMBANGAN KEPERAWATAN KOMPLEMETER

Disusun Oleh:

1. W. Brigita Tarlagan (1914201149)


2. Azizah (1914201104)
3. Ariska Dian Nesti (1914201103)
4. Magdalena (1914201118)
5. Lucky Anggraini (1914201002)
6. Annisa Dainanti (1914201102)
7. Sofia Junisa Putri (1914201140)

Kelas: Keperawatan 5C

Dosen Pengampu: Ns. Tomi Jepisa, M.Kep

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN STIKES ALIFAH


PADANG
TAHUN AJARAN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T Tuhan Yang Maha Kuasa atas
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul
“Perkembangan Keperawatan Komplemeter”. Makalah ini merupakan tugas mata kuliah
“Keperawatan Keluarga I”. Sholawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan
besar kita, Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita semua jalan yang
lurus berupa ajaran agama Islam yang sempurna dan menjadi anugrah terbesar bagi seluruh
alam semesta.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam penulisan
makalah ini, oleh karena itu penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun
demi kesempurnaan makalah ini dan harapan penulis semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi kita semua.

Padang, 26 September 2021

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii
BAB I: PENDAHULUAN........................................................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan.....................................................................................................2
D. Manfaat Penulisan...................................................................................................2
BAB II: PEMBAHASAN..........................................................................................................4
A. Fokus Terapi Komplementer..................................................................................4
B. Peran Perawat .........................................................................................................6
C. Tehnik Terapi Komplementer...............................................................................11
D. Penggunaan Terapi Komplementer dalam Keperawatan di Indonesia.................20
BAB III: PENUTUP................................................................................................................22
A. Kesimpulan...........................................................................................................22
B. Saran.....................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................23

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan keperawatan komplementer mendapat perhatian diberbagai negara
belakangan ini. Keperawatan komplementer menjadi terapi pelengkap dan alternatif
sebagai bagian yang penting dalam pelayanan kesehatan berbagai negara sejak tahun
1990-an termasuk Eropa dn Amerika. Hal ini dapat dilihat dari berbagai perkembangan
dan tulisan yang ada pada masa tersebut. Kondisi ini juga terjadi di Indonesia sebagai
salah satu negara di Asia yang memiliki budaya tradisional dalam pengobatan. Salah satu
yang terkenal adalah jamu. Jamu tersebut digunakan dalam pengobatan sebagai salah satu
cara mengatasi berbagai masalah kesehatan masyarakat. Saat ini jamu dikombinasi
dengan pengobatan konvesional (dikenal dengan pengobatan barat atau modern).
Seseorang yang menggunakan kombinasi ini saling melengkapi dikenal dengan istilah
terapi atau pengobatan komplementer.
Perkembangan keperawatan komplementer awalnya dimulai dari perbedaan
pandangan antara klien dengan perawat atau tenaga kesehatan lain di pelayanan kesehatan
terhadap sistem pelayanan kesehatan yang diberikan. Perbedaan ini dapat dijembatani
dengan konsep tradisional tentang cara pandang yang utuh dari Rogers dalam
memandang seseorang (Hitchcock, Schubert, Thomas, 1999). Hal ini membuat seorang
perawat dalam memberikan pelayaanan selain menggunakan pendekatan biomedis, untuk
promosi kesehatan, pemeliharaan kesehatan dan penyembuhan juga memperhatikan
kesatuan tubuh, pikiran dan jiwa yang sesuai dengan keyakinan dan nilai indidvidu
tersebut sebagai aplikasi dari prinsip holistik dalam cara pandang yang utuh tersebut.
Manajer pelayanan kesehatan meyakini pemberian terapi komplementer meningkatkan
kapasitas pelyanan kesehatan secara holistik dengan mengisi kesenjangan terapetik dalam
praktik kesehatan (Singer & Adams, 2014). Sistem pelyanan yang diberikan secara utuh
ini salah satu bentuknya memberi kesempatan klien menggunakan cara tradisional dalam
praktik keperawatan. Keyakinan dan pemberian pelayanan yang diberikan oleh perawat
ini selanjutnya sering disebut dengan keperawatan komplementer. Perawat yang
mengguanakan tindakan komplementer dalam pelayanan dikenal dengan memberikan
terapi komplementer atau alternatif. Adapun beberapa istilah selain penggunaan kata
komplementer menurut Kramlich (2014) adalah alternatif, tradisional dan internatif.
National Center Complementary and Integratif Health (NCCIH, 2016) menjelaskan istilah

1
terapi alternatif merupakan cara utama dalam pengobatan yang menggantikan obat
konvesional misalnya klien hanya memilih pengobatan herbal dalam mengatasi
penyakitnya. Istilah tradisional merupakan sistem penyembuhan secara kultural yang
telah digunakan selama ribuan tahun yang melibatkan pendekatan konvesional dan
komplementer mlalui promosi kesehatan (Kramilich, 2014; NCCIH, 2016). Dari uraian
dan data tersebut maka penting bagi kita untuk mengetahui tentang keperawatn
komplmenter. Maka dengan itu kelompok tertarik untuk membahas tentang “Fokus, peran
dan tehnik perawat dalam terapi komplementer”.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam masalah ini yaitu:
1. Apa saja yang menjadi fokus terapi komplementer dalam keperawatan?
2. Bagaimana peran perawat dalam keperawatan yang etis?
3. Bagaimana peran perawat dalam pendidikan, riset dan praktik terapi komplementer?
4. Apa saja teknik terapi komplementer yang digunakan dalam keperawatan komunitas?
5. Apa saja terapi komplmenter yang umum digunakan di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dalam makalah ini yaitu:
1. Untuk mengetahui dan memahami berbagai fokus terapi komplementer dalam
keperawatan.
2. Untuk mengetahui dan memahami peran perawat dalam keperawatan yang etis.
3. Untuk mengetahui dan memahami peran perawat dalam pendidikan, riset dan praktik
terapi komplementer.
4. Untuk mengetahui dan memahami teknik terapi komplementer yang digunakan
dalam keperawatan komunitas.
5. Untuk mengetahui dan memahami terapi komplementer yang umum digunakan di
Indonesia

D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan yaitu:
1. Mahasiswa diharapkan mampu mengetahui dan memahami berbagai fokus terapi
komplementer dalam keperawatan.

2
2. Mahasiswa diharapkan mampu mengetahui dan memahami peran perawat dalam
keperawatan yang etis.
3. Mahasiswa diharapkan mampu mengetahui dan memahami peran perawat dalam
pendidikan, riset dan praktik terapi komplementer.
4. Mahasiswa diharapkan mampu mengetahui dan memahami teknik terapi
komplementer yang digunakan dalam keperawatan komunitas.
5. Mahasiswa diharapkan mampu mengetahui dan memahami terapi komplmenter yang
umum digunakan di Indonesia

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Fokus Terapi Komplementer


Perawat penting mengenal terapi komplementer, karena masyarakat termasuk di
Indonesia masih banyak yang menggunakan terapi tradisional. Menurut pengalaman
penulis selama praktik keperawatan di masyarakat lebih banyak melakukan tindakan awal
dengan cara tradisional sebelum pergi ke pelayanan kesehatan, sehingga perlu
pengetahuan yang cukup untuk membantu masyarakat dalam memberi informasi berbagai
jenis pilih tindakan. Klien dapat memilih tindakan yang tepat sesuai dengan masalah yang
dialaminya. Perawat yang menguasai terapi komplementer juga dapat memberikan
tindakan sesuai kebutuhan klien. Hal ini sesuai dengan tujuan penyelenggaraan terapi
komplementer dan alternative yaitu memberi perlindungan kepada klien,
mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan serta memberi kepastian
hukum kepada masyarakat dan tenaga pengobatannya (Permenkes RI No. 1109, 2007).
Kondisi saat ini sudah banyak perawat yang mengenal dan kompeten melakukan terapi
komplementer di Indonesia.
Perawat yang melakukan tindakan terapi komplementer perlu diintergrasikan ke
dalam Asuhan keperawatan klien sebagai pelengkap tindakan keperawatan kepada klien.
Hal ini didasari oleh Undang-undang Keperawatan No. 38 tahun 2014 pasal 30 yang
menjelaskan tentang tugas dan wewenang perawat dalam penatalaksanaan tindakan
komplementer dan alternatif. Perawat juga harus mengaplikasikan prinsip keperawatan
selama melaksanakan terapi komplementer.
Prinsip keperawatan yang perlu diaplikasikan dalam melaksanakan terapi
komplementer dan alternatif adalah holistik, komprehensif, dan kontinum. Prinsip holistik
pada terapi komplementer sesuai dengan pendekatan perawat yang mengacu pada
kebutuhan biologis, psikologis, sosial, kultural dan spiritual (Berman, et al 2015; Potter,
Perry, Stockert &Hall, 2013). Artinya perawat dalam melaksanakan terapi komplementer
perlu berorientasi pada pemenuhan kebutuhan bio-psiko-sosial kultular dan spiritual
klien. Perawat dapat menggunakan prinsip ini karena mengakui adanya kemampuan
alami dalam pemulihan tubuh dengan menggabungkan berbagai intervensi sebagai
komplementer termasuk memberikan terapi musik, life review, relaksasi, healing touch,
dan guided imaginery (imajinasi tertuntun) karena terapi tersebut menyesuaikan kondisi
dan kemampuan klien, non invasif yang ekonomis, dan non farmakologi (Potter, Perry,

4
Stockert & Hall). Pandangan yang memenuhi semua aspek ini dapat diterapkan dalam
berbagai level pencegahan.
Level pencegahan terdiri dari primer, sekunder dan tersier (Edelman & Mandle,
2010). Terapi komplementer dapat dilaksanakan di semua level pencegahan tersebut
misalnya seseorang yang ingin lebih sehat dengan komsumsi suplemen nutrisi,
pencegahan sekunder misalnya menggunakan herbal untuk menyembuhkan penyakitnya
dan contoh tersier menggunakan masase untuk membantu anggota gerak yang lumpuh
untuk meningkatkan fungsi dan mempertahankan tubuhnya. Terapi komplementer
mengajarkan individu untuk mengubah perilaku seseorang untuk memperbaiki respon
fisik terhadap stress dan peningkatan tanda masalah fisik seperti kekakuan otot,
ketidaknyamanan pada perut, nyeri atau gangguan tidur (Potter, Perry, Stockert & Hall,
2013). Penerapan terapi komplementer dalam semua level ini sesuai dengan prinsip
komprehensif dalam keperawatan (Potter, Perry, Stockert & Hall). Terapi komplementer
untuk semua level pencegahan tersebut juga memperhatikan sistem klien.
Klien sebagai individu yang memiliki sistem yang saling terkait di dalam tubuh
dan lingkungannya. Gangguan yang ada pada diri seseorang akan mempengaruhi sistem
klien sebagai individu, keluarga ataupun anggota masyarakat (Stanhope & Lancaster,
2014). Misalnya klien dengan gangguan psikososial akan berdampak pada diri dan
keluarganya. Menurut Stozier & Carpenter (2008), terapi komplementer melakukan
pendekatan psikoterapi yang dianggap sebagai bagian dari sistem yang melengkapi untuk
proses penyembuhan selain pengobatan konvensional. Terapi komplementer juga dapat
digunakan dalam membantu kllien untuk memenuhi kebutuhan psikososial tersebut.
Sebagai contoh terapi relaksasi yang dipadukan dengan hipnotis dapat membantu kondisi
rileks pada klien, keluarga ataupun kelompok dengan masalah psikososial tersebut.
Artinya terapi komplementer dapat digunakan diberbagai level pencegahan dengan
memperhatikan sistem yang ada pada klien.
Intervensi keperawatan melalui pencegahan di berbagai level ini dapat dilakukan
dalam keadaan sehat dan sakit, diberikan disemua tingkat pelayanan kesehatan. Prinsip
kontinum dilakukan pada klien dalam keadaan sehat dan sakit hingga sehat kembali yang
dirawat di rumah ataupun di rumah sakit hingga kembali ke rumah (Potter, Perry,
Stockert & Hall, 2013). Terapi komplementer ini dapat diterapkan pada klien dalam
keadaan sahat dan sakit yang ada dirawat di rumah ataupun di pelayanan kesehatan secara
mandiri ataupun kolaborasi, artinya memenuhi prinsip kontinum. Pelayanan kesehatan

5
yang diberikan hendaknya dilakukan secara intergrasi untuk mendapatkan hasil terbaik
untuk klien.
Pelayanan kesehatan terintegrasi menekankan petingnya hubungan antara terapis
atau praktisi dengan klien, fokus pada individu secara menyeluruh, menginformasikan
berdasarkan bukti, dan menggunakan pendekatan terepeutik yang tepat, pelayanan
kesehatan professional dan lintas disiplin sehingga mencapai kesehatan yang optimal
(Kreitzer et al, 2009 dalam Potter, Perry, Stockert & Hall, 2013). Pemberian terapi yang
berkelanjutan baik di rumah ataupun di pelayanan kesehatan secara konvensional maupun
komplementer diharapkan dapat memberikan intervensi terbaik untuk kebutuhan klien
(Stanhope & Lancaster, 2014). Artinya terapi komplementer dapat diberikan diberbagai
level layanan sesuai dengan kebutuhan dan ketersediaannya, hal ini menunjukkan bahwa
terapi komplementer apabila di berikan pada seseorang telah sesuai dengan prinsip dan
konsep keperawatan.

B. Peran Perawat
1. Peran Perawat dalam Keperawatan yang Etis
Perawat berperan penting dalam memaksimalkan penggunaan terapi
komplementer yang mendukung perawatan secara holistic. Perawat memiliki peran
secara utuh dalam memberikan terapi komplementer (Lindquist, Synder, dan Tracy,
2014). Salah satu dari 17 upaya kesehatan yang komprehensif di Indonesia menurut
Undang-Undang no. 36 tahun 2009 adalah pelayanan kesehatan tradisional.
Pelayanan kesehatan ini mendapat perhatian dari pemerintah karena prestasi
penggunaannya oleh masyarakat cukup tinggi. Berdasarkan data Riskesdas tahun
2013 proporsi rumah tangga yang memanfaatkan pelayanan kesehatan ini sebesar
30,4 %. Bentuk perhatian pemerintah khususnya Kementerian kesehatan RI melalui
pembentukan Direktorat Bina Pelayanan kesehatan tradisional, alternative dan
komplementer melalui permenkes 1144 tahu 2010. Pembinaan yang dilakukan oleh
direktorat ini tentunya terhadap semua pelayanan dan tenaga kesehatan yang ada di
masyarakat yang menggunakan terapi ini.
Pelayanan kesehatan tradisional yang digunakan oleh masyarakat 77,8%
berupa ketrampilan tanpa alat, sedangkan ramuan sebesar 49% (Riskesdas, 2013).
Hasil observasi penulis sejak tahun 2005 sampai saat ini, masyarakat umumnya
menggunakan obat tradisional tersebut digabungkan dengan pengobatan modern
yang didapat dari pelayanan kesehatan ataupun membeli di toko obat. Hal ini

6
dibuktikan dari survey tahun 2014 bahwa 61,05% masyarakat mengobati sendiri
(BPS, 2016). Menggabungkan obat tadisional dan mengobati sendiri tentunya perlu
mendapat perhatian khusus dari tenaga kesehatan termasuk perawat untuk
menghindari hal yang tidak diinginkan.
Perawat berperan penting dalam mengoptimalkan pengguunaan terapi
tradisional dan komplementer yang mendkung perawatan secara holistic. Perawat
memiliki peran secara utuh dalam melakukan terapi komplementer (Lindquist,
Snyder, dan Tracy, 2014). Peran yang di lakukan perawat diharapkan dapat
membantu masyarakat memilih pengobatan tradisional dan komplementer yang
masuk akal dan menghindar dampak yang tidak diinginkan.
Menurut College of nurse of Ontario (CN), 2014), beberapa terapi
komplementer yang tidak memiliki dasar ilmiahnya dan tidak jelas prosesnya, sering
menimbulkan pertanyaan. Beberapa terapi dapat menyebabkan dilema etik untuk
perawat, terutama jika terjadi konflik antara nilaiyang dimiliki perawat dengan klien.
Perawat harus menghargai nilai etik dari pilihan klien. Perawat merupakan partner
(Mitra) dalam proses pengambilan keputusan dan bertanggung jawab dalam
mengkaji kelayakan semua komplementer. tindakan Intervensi sebelum yang
dilakukan dilakukan selama harus didasari terapi oleh akuntabilitas professional.
Akuntabilitas didemontrasikan melalui proses pengambilan keputusan,
tercermin dalam kompetensi, dan integritas. Perawat juga harus memahami tanggung
jawab dalam memutuskan terapi yang sesuai dengan status kesehatan klien dan
secara kompeten melakukan terapi. Perawat melaksanakan praktik sesuai standar
praktik yang diakui dan public dapat melihat perawat dalam memberikan perawatan
yang aman dan sesuai etik.
Peran perawat dalam terapi komplementer dai salah satu jurnal mengatakan
bahwa peran perawat yaitu memberikan asuhan keperawatan komprehensif yang
tidak hanya mengkaji fisik aatau biologic, namun juga psikologik, social, dan
spiritual, sehingga kecemasan yang mempengaruhi psikososial klien dapat
diantisipasi (Shari, Suryani dan Emaliyawati, 2014). Terapi untuk mengatasi
kecemasan dalam ranah keperawatan klinis selain farmakologi adalah nin
farmakologi menggunakan terapi komplementer. Perawat sebagai pemberi asuhan
keperawatan, memberikan terapi komplementer sebagai salah satu intervensi yang
dapat diberikan selain memberi obat konvesional sebagai peran kolaboratif.
Penggunaan terapi komplementer diranah kritis dapat diberikan namun efeknya

7
membutuhkan waktu, tetap dapat dipertimbangkan pemberiannya karena intervensi
ini menggunakan pendekatan holistic dalam melengkapi kebutuhan klien, daam hal
fisik, psikologis, social, kultural dan spiritual.
Perawat di Indonesia dalam memberikan intervensi keperawatan
komplementer dilindungi oleh undang-undang (UU). Tugas tersebut terdapat dalam
UU No. 38 tahun 2014 pasal 30 yang menjelaskan tentang tugas dan wewenang
perawat dalam memberi asuhan keperawatan di bidang upaya kesehatan masyarakat
adalah melakukan penatalaksanaan keperawatan komplementer dan alternative.
Perawat yang melakukan terapi tersebut tentunya mengintegrasikannya kedalam
asuhan keperawatan. Tindakan tersebut tidak dapat diterima apabila terpisah dari
asuhan keperawatan karena seorang perawat daam melakukan terapi sebagai bagian
dari tindakan keperawatan yang tidak boleh terpisah dari proses dalam assuhan
keperawatan.
Intervensi keperawatan memperhatikan kode etik Indonesia telah berupa
terapi komplementer perlu keperawatan. Persatuan perawat Nasional menetapkan
diantaranya bahwa perawat dalam memberikan pelayanan senantiasa memelihara
nilai budaya, adat istiadat dan lingkungannya PPNI,2000). Umumnya masyarakat
yang menggunakan komplementer banyak dipengaruhi oleh nilai budaya, adat
isitiadat dan ingkungan tempat tinggalnya, sehingga hal ini sesuai dengan kode etik
keperawatan. Intervensi ini juga harus memberikan aspek manfaat dan menghindari
dampak buruk (maleficience) pada klien. Perawat harus menerapkan informed
consent sebelum melakukan terapi komplementer dan juga mengacu pada prinsip
beneficience (kemanfaatan) yang di dasari hasil kajian dan evaluasi respons terhadap
terapi yang dilakukan sebelumnya (Norton, 2007).
2. Peran Perawat dalam Pendidikan,
Riset Praktik Komplementer Perkembangan penggunaan terapi komplementer
oleh masyarakat saat ini menimbulkan perhatian khusus, perawat dituntut memliki
peranan terutama dalam praktik keperawatan, pendidikan dan penelitian. Perawat
memiliki asumsi bahwa peran tersebut agar klien dapat memilih dan menggunakan
teraopi tersebut sesuai dengan aturanya. Kondisi ini menuntut adanya panduan
penggunaan berbagai terapi yang berdasarkan bukti untuk digunakan, maka peran
pendidikan dan riset keperawatan menjadi penting dalam memenuhi tuntutan ini.
Beberapa terapi komplementer telah diintegrasikan kedalam praktik
keperawatan dari masa ke masa, perluasan ruang lingkup dan terapi ini merupakan

8
sebuah kebutuhan bahwa perawat melakukan pengembangan panduan untuk
digunakan dalam pelayanan. Kunci untuk mendapatkan ketrampilan terapi
komplementer seorang perawat membutuhkan pendidikan lanjutan atau khusus
(synder&Lindquist 2010). Pendidikan tersebut dapat dilakukan secara mandiri di
institusi yang terakreditasi. Adapun pelatihan terapi komplementer yang diketahui
penulis telah diakui oleh badan PPSDM (Pusat Pembangunan Sumber Daya
Manusia) kesehatan RI yang telah dikembangkan adalah akupuntur dan akupresur
untuk tenaga kesehatan.
Meningkatnya ketertarikan dalam terapi komplementer, banyak institusi
termasuk sekolah kedokteran dan keperawatan menggabungkan antara terapi
komplementer dan terapi alternative dalam konten kurikulum pendidikan (synder &
Lindquist 2010). Kondisi ini di Indonesia dapat dilihat dari institusi pendidikan
kesehatan dan keperawatan yang memasukkan terapi komplementer dalam kurikulum
pendidikannya. Pengakuan lembaga pendidikan daoat diperolah melalui lembaga
pendidikan formal yang diakui pemerintah. Misalnya institusi pendidikan paska
sarjana herbal dan akupuntur telah dibuka di beberapa Universitas di Indonesia.
Perawat yang telah menyelesaikan studi lanjutannya dapat memberikan terapi
komplementer, sebelum melakukan praktik keperawatan yang bersangkutan terlebih
dahulu menguasai keterampilan dasar yang sudah diakui oleh organisasi profesi
perawat (PPNI).
Perawat yang telah mendapatkan pengakuan dari organisasi profesi atau
lembaga tersertifikasi dapat melakukan intervensi terapi komplementer untuk praktik
ataupun penelitian. Penelitian yang dilakukan perawat tetap harus menggunakan
pertimbangan etik dan standar yang sesuai dengan batasan yang berlaku. Perawat
yang terlibat aktif dalam penelitian terapi komplementer, salah satu diantara ketua
atau anggota tim interdisplin harus memiliki kemampuan atau sertifikat tersebut
(synder &Lindquist 2010). Adanya anggota peneliti yang menjadi syarat dalam
mendapatkan izin dari komite untuk melaksanakan penelitian tersebut.
Fenomena saat ini di institusi pendidikan, banyak mahasiswa keperawatan
yang mengajukan usulan penelitian terapi komplementer. Contohnya penelitian
tentang pengaruh terapi akupresur, kualitas tidur dan kecemasan lansia dengan
hipertensi, terapi komplementer, mengatasi hipertensi dan penelitian lainnya
(Efryanthi, suarana & suari, 2015); fitriani, Nursasi &Widyatuti, 2015; Hikayati,
flora, & purwanto, 2014). Banyaknya skripsi dan tesis yang dilakukan oleh

9
mahasiswa dalam menjawab kebutuhan masyarakat terhadap terapi komplementer.
Hal ini menjadi tantangan untuk praktisi dan akademi untuk melakukan keinginan
masyarakat terhadap efektivitas terapi komplementer (Ping, 2015).
Kebutuhan masyarakat menjadi tantangan perawat dalam memberikan
pelayanan kesehatan professional yang didasari bukti yang cukup untuk mendukung
penggunaan terapi dalam intervensi keperawatan (synder & Lindquist, 2010)
penggunaan terapi komplementer akan terus menerus meningkat. Aspek yag menarik
dari terapi komplementer yakni dapat digunakan dalam praktik pencegahan,
pengobatan dan pemulihan kesehatan.
Perawat dalam memberikan terapi komplementer dalam asuhan keperawatan
dilakukan sesuai langkah proses keperawatan. Hal ini sesuai undang-undang yang
berlaku di Indonesia tentag tugas dan wewenang perawat dalam penatalaksanaan
tindakan komplementer, dan alternative. Proses keperawatan penting digunakan
bertujuan untuk mengidentifikasi, mencegah, mengatasi masalah aktual atau
potensial dalam status kesehatan (Berman et al, 2013). Proses keperawatan berfokus
pada lim alangkah utama, pengakjian, diagnosis, perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi (Potter, Perry, stockert & Hall, 2013). Proses ini membantu perawat untuk
memahami klien, dengan memperlakukannya secara holistik. Saat melakukan
tindakan terapi komplementer yang perlu diindentifikais tidak hanya kesehatan
emosional dan mental serta fisik klien, tetapi juga latar belakang klien seperti, nilai-
nilai, keyakinan, etnis, agama, dan budaya; serta mengidentifikasi berbagai factor ini
penting untuk ksehatan klien.
Perawat menggunakan proses keperawatan dengan mempertimbangkan klien
menjadi mampu mengenali kesehatannya sendiri dan meghormati pengalaman
subjektifnya yang relavan dalam mmlihara kesehatan atau pendamping dalam
pemulihan. Dalam metode kesehatan holistic klien dilibatkan dalam dalam proses
pemulihan dan juga pemeliharaan kesehatan (Edelman dan Mandle, 2010). Artinya
seorang perawat melakukan intervensi komplementer harus menggunakan
pendekatan proses keperawatan, jika tidak demikian maka praktik yang dilakukan
indentik dengan pengobat tradisional (batra).
Sejalan berdasarkan dengan Nursing perkembangan Internasional
Clasification keperawatan (NIC), terapi komplementer merupakan tindakan yang
membutuhkan keahlian khusus dikelompokkan dalam level edukusi perawatan lanjut

10
(Bulechek, Butcher, Dochterman, & Cherryl, 2013), sehingga perawat yang
memberikan terapi komplementer membutuhkan pendidikan khusus atau lanjutan.
Kebutuhan praktik keperawatan lanjut dalam memberikan terapi
komplementer yang terintegrasi antara intervensi konvensional dengan tradisional
dapat memunculkan dilemma terhadap penghargaan imbalan jasaa (Gaydos, 2001).
Kondisi dapat menimbulkan keengganan perawat dalam melakukan intervensi terapi
komplementer dalam praktik seharihari, yang disebabkan kurang pengakuan terhadap
kemampuan dalam membentu kesembuhan klien. Namun sejauh ini perkembagan
terapi komplementer semakin terlihat di Indonesia karena adanya keburuhan dan
tuntutan dari masyarakat. Hal ini disambut oleh perawat dan tenaga kesehatan
lainnya dengan munculnya berbagai kajian, seminar, pelatihan, organisasi,
pembukaan sekolah atau pendidikan lanjut yang dapat diikuti oleh individu yang
tertarik untuk pembangunan diri. Dukungan pemerintah dan oraganisasi profesi
semakin kuat untuk mengembangkan berbagai jenis terapi komplementer yang sesuai
dengan nilai budaya dan didukung oleh hasil-hasil penelitian sangat diharapkan.

C. Tehnik Terapi Komplementer


Perkembangan terapi komplementer di Indonesia ramai di bahas melalui seminar,
workshop ataupun platihan sebagai salah satu cara menjawab kebutuhan pengembangan
sesuai amanah undang-undang yang meniadikan terapi komplementer sebagai salah satu
intervensi yang dapat digunakan dalam keperawatan. Adapun Florence Nightingale
sebagai perintis keperawatan juga mengakui kekuatan penyembuhan melalui terapi
komplementer diantaranya melalui terapi musik (Snyder & Lindquist, 2010). Hal ini
menunjukkan berbagai teknik terapi perlu diketahu oleh perawat.
Terapi komplementer setiap jenisnya memiliki teknik tertentu. Berikut ini
dijelaskan beberapa teknik Lima tipe berikut sesuai klasifikasi NCCAM tahun 2012 yaitu:
pikiran dan tubuh (mind body therapies); manipulasi dan sistem tubuh; dan terapi energi
(Lindquist, Snyder, & Tracy, 2014). Klasifkasi terapi pikiran dan tubuh (mind body
therapies), contohnya seni, imagery, journaling (menulis jurnal/ sebuah dari yang
berbentuk formal), biofeedback, humor, dan tai-chi. Alternatif sistem pemeliharaan
kesehatan contohnya pengobatan tradisional cina, ayuvedia (pengobatan india), dan
curanderismo (pengobatan asli Amerika). Terapi biologis yaitu natural dan praktik
biologikal dan hasil-hasilnya misalnya herbal, terapi diet, pengobatan orthomolekular
(suplemen nutrisi dan makanan). Terapi energi misalnya reiki, healing touch dan magnet.

11
Di bawah ini akan dibahas beberapa teknik sesuai klasifikasi tersebut. Perawat yang akan
melakukan tindakan dari semua teknik hendaknya menggunakan tahapan komunikasi
yang telah dipelajari mencakup Tahap pertama pra interaksi, tahap kedua orientasi, tahap
ketiga kerja dan tahap keempat terminasi. Selain itu, tahap tindakan septik dan aseptik
selalu dilakukan untuk keamanan klien dan dirinya. Adapun setiap tindakan dilakukan
melalui persiapan diri, alat, klien dan lingkungan. Persiapan yang sesuai akan
mendapatkan hasil yang optimal, demikian pula setiap tindakan hendaknya dievaluasi
sampai diyakini bahwa tidak ada keluhan dari efek terapi. Berikut ini beberapa teknik
terapi yang banyak digunakan, antara lain:
1. Meditasi
Meditasi adalah suatu teknik yang memungkinkan seseorang mampu
menggunakan kesadaran dan pengalamannya sehingga membuat seseorang lebih
sadar akan dirinya (Snyder & Lindquist). Meditasi dapat menjadikan seseorang
santai, menurun konsumsi oksigen, mengurangi frekuensi pernapasan dan denyut
jantung. Hal ini menjadikan tubuh merasa rileks, pikiran lebih tenang, meningkatkan
kesejahteraan fisik dan emosional dengan kondisi lingkungan tenang, posisi yang
nyaman dan kadangkala menggunakan sebuah alat pengukuran mental seperti mantra
(Fontaine, 2005; Mantle & Tiran, 2009).
Meditasi merupakan sarana seseorang untuk fokus terhadap suatu objek.
Terapi ini menggunakan sikap tubuh yang spesifik. Memfokuskan perhatian atau
sikap terbuka terhadap gangguan. Indikasi meditasi dilakukan pada saat stress,
Cemas, denyut jantung dan tekanan darah meningkat. Kontra indikasi melakukan
meditasi adalah klien yang kurang mampu menyimpan emosi dan kurang mampu
menganalisis sebab akibat yang kompleks. Cara melakukan meditasi ada berbagai
macam teknik, proses sederhana yang dapat dilakukan misalnya melatih napas klien.
Tahap pertama diawali dengan persiapan: ruangan yakni tempat yang tenang dan
waktu yang diaggap paling sesuai oleh klien; gunakan pakaian yang longgar dan
nyaman; serta dapat menggunakan musik (misalnva musik klasik). Tahap kedua
menyiapkan posisi yang nyaman, misalnya dengan mengambil posisi duduk atau
berbaring asalkan tulang belakang tetap terjaga dalam posisi lurus. Tahap ketiga
memulai meditasi dengan mata ditutup atau dibuka, fokus pada keluar masuknya
napas terutama gunakan pernapasan perut, rasakan sensasinya, tahap ini dilakukan
dengan hati ikhlas sehingga tercapai tujuan untuk mengatasi masalah. Langkah ini
dapat dilakukan bertahap sesuai proses yang dilalui dan kemampuan yang didasari

12
dari evaluasi setiap kali tindakan. Meditasi yang sukses biasanya membutuhkan
latihan setidaknya satu kali perhari selama 10-20 menit (Snyder & Lindquis, 2010).
Tahap keempat yakni melakukan evaluasi sesuai dengan masalah yang dirasakan
misalnya kemampuan merubah diri, fisik lebih segar dan bugar, perasaan lebih
menerima keadaan.
2. Akupresur
Jenis terapi ini termasuk dalam salah satu pengobatan tradisional cina yang
dikenal dengan traditional chinese medicine disingkat dengan TCM (Mantle &
Tiran,2009). Tindakannya melibatkan stimulasi dari titik-titik spesifik pada tubuh.
Akupresur menggunakan jari atau alat (kayu, magnet) yang ditekan pada titik-titik
spesifik pada tubuh. Akupresur menggunakan jari atau alat (kayu, magnet) yang
ditekan pada titik di permukaan kulit tersebut sedangkan pada akupunktur
menggunakan jarum yang kemudian dimanipulasi dengan tangan atau stimulasi
elektrik. Titik saraf tubuh merupakan titik berat dari pengobatan akupunktur dan
akupresur. Pada titik tertentu seperti kedua telapak tangan merupakan titik bagi
jantung, paru, mata, kelenjar tiroid, hati, pancreas dan sinus (fengge,2012). Fungsi
dari terapi akupunktur dan akupresur adalah untuk meregenerasi sel-sel tubuh yang
mengalami penurunan kualitas serta membentuk system pertahanan kualitas serta
membentuk system pertahanan dalam tubuh sehingga dapat bermanfaat pada proses
pencegahan, penyembuhan, pemulihan dari penyakit serta meningkatkan daya tahan
tubuh (fengge).
Akupresur dan akupunktur memiliki komponen dasar yang dikenal dengan Ci
Sie (energy vital), system meridian dan titik akupresur. Ci diartikan sebagai sari
makanan, sedangkan Sie diartikan sebagai darah sehingga jika merujuk pada arti
tersebut, Ci Sie sering diartikan sebagai energi vital (Snyder & lindquis,2010).
Komponen selanjutnya adalah system meridian yang menjadi saluran energy vital
yang beredar keseluruh bagian tubuh. System meridian berfungsi untuk
menghubungkan bagian tubuh satu dengan yang lainnya, hubungan yang terbentuk
adalah hubungan dua arah antar organ tersebut. Selain itu system meridien juga
berfungsi sebagai penghubung titik akupresur dengan organ dan menghubungkan
jaringan tubuh dengan panca indera. Saluran yang terhubung tersebut dapat berfungsi
sebagai penyampaian infomasi ketika terjadi gangguan fungsi organ. Pada system
meridien yang terhubung pada seluruh tubuh, terdapat titik-titik akupresur
disepanjang saluran tersebut. Titik akupresur dibagi menjadi tiga yaitu titik akupresur

13
umum yang dijumpai di sepanjang saluran meridien, titik akupresur istimewa yaitu,
titik yang tidak menenti disepanjang ataupun diluar jalur meridien yang terakhir
adalah titik nyeri yaitu titik yang berada pada daerah keluhan (fengge, 2012).
Akupresur dan akupunktur merupakan terapi yang memiliki efek samping
minimal, namun terapi ini tidak dapat dilakukan pada bagian tubuh yang mengalami
bengkak, patah atau retak tulang serta kulit terbakar (sukanta, 2008). Pemijatan pada
titik akupresur dilakukan setelah menemukan titik meridien yang tepat yang ditandai
timbulnya rasa nyeri. Durasi dan kuantitas tekanan ditentukan berdasarkan jenis
pijatan. Pijatan yang ditujukan untuk penguatkan (yang) dilakukan sebanyak 30 kali
tekanan pada masing-masing titik dan dilakukan pemutaran pijatan searah jarum jam.
Sedangkan pemijatan yang berfungsi untuk melemahkan (Yin) dapat dilakukan
sebanyak 30-50 kali tekanan dan cara pemijatan dilakukan berlawanan arah jarum
jam (sukanta,2008; Fengge, 2012). Artinya pemberian pijatan tergantung kebutuhan,
misalnya kondisi tubuh demam; maka pijatan yang diberikan adalah pelemahan (yin)
karena kondisi demam adalah situasi yang (kuat) bertujuan untuk diturunkan.
Proses terapi akupunktur atau akupresur membutuhkan pemeriksaan,
sehingga penting tersedia ruangan yang nyaman dan memenuhi privacy klien.
Pemeriksaan dilakukan melalui pengamatan pada bagian tubuh klien, misalnya
mengalami pembengkakan, luka ataupun perubahan warna kulit. Setelah pengamatan
kasat mata dilakukan terapis juga harus memperhatikan adanya bau, cek kondisi
lidah, palpasi abdomen, titik tubuh yang akan dilakukan tindakan, dan palpasi nadi di
area radial pergelangan tangan (Snyder & Lindquis, 2010). Konfirmasi perlu
dilakukan untuk memastikan hasil pengamatan, maka dari itu terapis perlu dilakukan
wawancara mengenai sebab penyakit, riwayat penyakit, keluhan, riwayat pengobatan,
pola makan, kebiasaan buang air besar dan kecil serta kebiasaan tidur. Setelah
pemeriksaan dilakukan menentukan titik-titik yang akan dipijat atau ditusuk sesuai
dengan masalah dan kebutuhan klien, selama tindakan observasi respon klien untuk
mengantisipasi tindakan yang diperlukan misalnya tanda-tanda shock (keluar
keringat dingin, pucat, lemas, mual, dan pusing), kejang otot (kram, kaku, otot), dan
bengkak apabila ada tanda-tanda tersebut maka hentikan pijitan, tenangkan dan
istirahatkan. Evaluasi hasil tindakan yang telah diberikan.
Terapi akupresur dapat dilakukan secara mandiri dengan memijat bagian
tubuh sendiri. Hal ini berguna untuk mengatasi keluahan gangguan kesehatan akibat
aktivitas kerja, seperti sakit kepala, sakit leher atau tengkuk, mata lelah, nyeri bahu,

14
nyeri peregangan tangan, nyeri pinggang, nyeri lutut dan keluhan psikis yang
ditimbulkan dari stress kerja. Bagian tubuh yang dapat digunakan untuk memijat titik
akupresur adalah jari-jari tangan. Jika menggunakan alat makan alat tersebut harus
dipilih yang memiliki ujung tumpul. Sebelum memulai pijatan pada titik tertentu
sebaiknya dilakukan relaksasi dengan cara memijat secara lembut area seperti
tengkuk, bahu, lengan, tangan, pinggang paha, dan kaki menggunakan jari-jari
telapak tangan, selanjutnya pijatan pada titik tertentu dapat dilakukan.
3. Terapi Masase
Teknik ini dengan cara menekan, mengusap, dan memanipulasi otot dan
jaringan lunak lainnya pada tubuh. Pengertian massase telah mengalami proses
penyempurnaan berdasarkan ilmu-ilmu mengenai tubuh manusia serta gerakan-
gerakan tangan yang bersifat mekanis terhadap tubuh manusia yang dilakukan
dengan berbagai teknik (Synder & Lindquist, 2010). Massase dapat berfungsi sebagai
salah satu terapi untuk meredakan berbagai keluhan fisik seperti rasa kembung,
menghilangkannyeri dan meredakan stres serta kelelahan fisik. Massase membantu
mengurangi ketegangan otot dengan menstimulasi sirkulasi darah dalam tubuh,
relaksasi, mengurangi nyeri, sedangkan pada bayi melancarkan sirkulasi sehingga
efektif meningkatkan berat badan (Synder & Lindquist; Mantle & Tiran, 2009).
Tindakan massase untuk dewasa dan anak-anak caranya berbeda-beda.
Teknik massase ada berbagai macam cara gerakan. Misalnya menggunakan
cara mengusap, friction (gerakan melingkar kecil-kecil menggunakan jari dengan
penekanan), meremas, mencincang, memukul, dan menggetar (vibrasi) merupakan
gerakan dasar (Mantle & Tiran, 2009, Kementerian Kesehatan RI, 2014). Setiap cara
gerakan memiliki ritme dan teknik sesuai dengan tujuan dan area tubuh tertentu. Hal
yang perlu diperhatikan adalah hindari tindakan pada daerah yang ada
pembengkakan, infeksi kulit, mengalami penyakit pembuluh darah (seperti
arterisklerosis, hemophilia, thrombosis), hamil muda, sambungan pada patah tulang
yang baru sembuh dan penyakit lain yang sekitarnya berdampak apabila
mendapatkan pijatan (Snyder & Lindquist, 2010). Bahan yang digunakan sebagai
pelumas dapat digunakan apabila diperlukan, penting pengkajian awal untuk
menghindari masalah baru.
4. Yoga
Yoga merupakan suatu sarana untuk mencapai suatu tingkat aktivitas untuk
pikiran dan jiwa agar berfungsi bersama secara harmonis (Shindu, 2013). Yoga

15
merupakan salah satu terapi yang memiliki dasar pengetahuan mengenai seni
pernapasan, anatomi tubuh manusia, pengetahuan tentang cara mengatur napas
disertai gerakan anggota badan, cara melatih konsentrasi dan kedamaian pikiran.
Teknik ini mengkombinasikan postur fisik, teknik napas dalam dan meditasi
atau relaksasi. Yoga bermacam-macam tergantung aliran yang ada (Synder &
Lindquist, 2010, Kinasih, 2010). Yoga mengkombinasikan postur, pernapasan dan
meditasi ataupun relaksasi, maka untuk mampu melakukan dengan benar dengan
menggunakan buku-buku panduan yang ada, mengikuti kelas yoga, ataupun video.
Latihan yoga harus memperhatikan kemampuan dan keterbatasan individu seperti
factor usia, jenis kelamin, kondisi kesehatan, kondisi fisik dan emosional. Jenis yoga
yang direkomendasikan adalah mild yoga. Mild yoga adalah jenis yoga yang
dikhususkan untuk wanita yang sedang berada pada tahap kehamilan., menstruasi,
lansia, dan manepouse yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan kondisi mental
dan fisil yang sehat (Synder & Linquist, 2010).
5. Bekam
Bekam dikenal dari masa kuno, cina dan timur tengah sebagai salah satu
teknik pengobatan tertua didunia. Pengertian bekam adalah melakukan suction pada
bagian tertentu (local) dengan menggunakan cups pada area yang telah dipilih pada
tubuh. Setelah beberapa menit, cup akan dipindahkan dan dilakukan penyayatan kecil
dengan menggunakan scalpel. Suction kedua menggunakan cup pada bagian tersebut
akan mengeluarkan darah dari dalam tubuh dengan kuantitas kecil yang berfungsi
untuk mengeluarkan racun dari tubuh (El Syaded, Mahmoud, & Nabo, 2013).
Tujuan utama dari terapi ini adalah untuk mempercepat aliran darah dan
membantu mengeluarkan darah yang sudah tidak memiliki manfaat bagi tubuh.
Bekam juga berguna untuk mengeluarkan racun dari sirkulasi kulit dan kompartemen
interstisial (Kim et al, 2012). Pada klien terapi bekam terdapat hubungan dari kulit
dengan organ internal lainnya seperti system peredaran limpa dan system imun.
Terdapat dua tipe utama dari bekam yaitu kering (dry cupping) yaitu dengan
melakukan suction pada kulit secara langsung dilakukan penyedotan oleh vakum
pada cup. Area pemasangan vakum diletakkan cup di atas area kongesti atau titik
akupuntur (Mantle & Tiran, 2009). Bekam basah (wet cupping) pada area tersebut di
insisi pada bagian superfisial kulit, lebih aman apabila menggunakan lancet, sehingga
darah dapat keluar pada bagian kulit yang dilakukan penyedotan oleh vakum. Kedua
tipe tersebut sangat dianjurkan meningkatkan intake air terlebih dahulu sebelum

16
tindakan. Bekam kering selalu digunakan sebelum bekam basah. Pengamatan penulis
yang harus diperhatikan dalam tindakan saat melakukan tarikan vakum secukupnya
saja karean beresiko terjadinya bulae akibat tarikan yang terlalu kuat. Hal lain yang
harus di perhatikan adalah tindakan septik dan antiseptic selama interval bekam
basah.
6. Terapi Benson
Terapi ini dikenal dengan respons relaksasi, yaitu kondisi fisiologis dan
psikologis yang melawan stress (Dusek & Benson, 2009). Benson dan Proctor
mendefinisikan pengembangan metode teknik relaksasi relaksasi benson pernapasan
adalah dengan upaya melibatkan keyakinan klien mengenai kondisi kesehatannya
sehingga dapat membantu menciptakan lingkungan internal dan membantu klien
mencapai kondisi kesehatan dan kesejahteraan yang lebih tinggi (Purwanto, 2006).
Respons relaksasi adalah salah satu teknik meditasi sederhana untuk mengatasi
tekanan dan meraih ketenangan hidup. Teknik relaksasi benson merupakan teknik
latihan napas yang bertujuan untuk mengurangi stress.
Teknik relaksasi Benson menggabungkan antara meditasi dengan relaksasi
napas dalam. Tujuan kombinasi tersebut adalah untuk meningkatkan vertilisasi
alveoli, memelihara pertukaran gas, mencegah atelektasi paru, meningkatkan
efisiensi batuk, mengurangi stress fisik maupun emosional serta membantu keluhan
sulit tidur. Hal yang perlu di perhatikan selama intervensi kondisi lingkungan yang
terang agar tercapai efek optimal, kemampuan fisik, memungkinkan tindakan.
Evaluasi tindakan paska latihan adalah tercapainya tujuan, klien mampu mengikuti
tindakan sesuai arahan pemandu.
7. Hipnoterapi
Teknik terapi ini digunakan untuk membantu orang lain dalam menciptakan
kemungkinan hidupnya lebih berarti melalui cara mengekspresikan diri dalam
berbagai hal (Stanley, 2014). Hypnosis secara tradisional dianggap sebagai kesadaran
yang berubah, mirip dengan keadaan yang dialami saat mendengarkan music,
menonton tv, melamun atau berkonsentrasi pada tugas (Mantle & Tiran, 2009).
Kamus besar bahasa Indonesia hypnosis adalah keadaan seperti tidur karena sugesti,
pada saraf permulaan orang tersebut berada dibawah pengaruh orang yang
mensugestinya, tetapi pada saraf berikutnya menjadi tidak sadar sama sekali.
Keadaan hipnosisi dikaitkan dengan adanya peningkatan sugesti, memfasilitasi
interaksi antara terapis dan subjek yang memungkinkan praktisi membuat sugesti

17
untuk memfasilitasi seseorang agar mengubah cara berfikir, perasaan atau raksi
terhadap peristiwa atau situasi tertentu (Mantle & Tiran, 2009). Contohnya klien
lansia yang diberi sugesti tidur sehat dapat membantu meningkatkan kualitas tidurnya
(Haryanto, 2016).
McCann (2008) menjelaskan hypnosis sebagai suatu bentuk komunikasi
dengan klien untuk terlibat dalam menyerap proses terapi dan perubahan. Kondisi
hypnosis adalah sala satu dari “penyerapan terfokus”, agar klien lebih mudah dalam
mempertibangkan dan memodifikasi pandangan subjektif dirinya. Syarat dalam
melakukan hipnosisi di antaranya membuat mata lelah dan memejamkan mata,
munculnya relaksasi, terbentuknya kepercayaan dan hubung emosional yang baik
dengan terapis di ikuti dengan sugesti yang diformat baik melalui katakata ataupun
ekologis (gerakan), dilakukan berulang dan melibatkan emosionalnya serta
membawa hati klien kepada sugesti (Elias, 2009). Proses pemberian pesan merubah
diri dalam keadaan relaksasi, namun pada klien psikosis akut tindakan ini merupakan
kontraindikasi (Mantle & Tiran). Perawat dapat membantu klien melakukan terapi ini
misalnya klien yang ingin menghentikan kebiasaan buruk seperti adiktif pada nikotin,
makanan, obat-obatan, alcohol dan kebiasaan lainnya (Elias).
Hipnosis dapat dilakukan dengan bantuan maupun secara mandiri. Setelah
teridentifikasi permasalahan dasar dan keinginan untuk mengatasi masalah melalui
pengkajian yang mendalam. Menurut elias (2009), secara ringkas teknik hypnosis
dilakukan melalui syarat: melelahkan mata dan memejamkan mata, relaksasi,
kepercayaan dan hubungan emosional yang baik, sugestu linguistic dan ekologis
yang diformat dengan baik, pengulangan dan membawa hati kepada sugesti.
Komplikasi hypnosis umumnya bersifat sementara misalnya terjadi lelah, gelisah,
bingung, pusing dan mual. Kontra indikasi hypnosis adalah gangguan psikiatri,
trauma psikologis yang mendalam, dan epilepsy. Hal yang harus di perhatikan secara
tindakan adalah kondisi lingkungan yang tenang, memperhatikan klien. Evaluasi
tindakan klien terhadap proses pra induksi, kategori klien tergantung mudah atau
tidak dilakukan sugesti, ketepatan dan ketepatan waktu memasukkan induksi akan
mempengaruhi hasil tindakan dalam mencapai tujuan.
8. Food Combining
Food Combining adalah pola makan yang diselaraskan dengan mekanisme
alamiah tubuh manusia. Artinya cara ini menggunakan pola makan yang benar sesuai
dengan siklus pencernaan sehingga mengatur waktu makan dan kombinasi makanan

18
yang serasi (Gunawan, 1999). Tujuan dilaksanakannya food combining adalah untuk
mempermudah pekerjaan system pencernaan sehingga pemakaian energy tubuh lebih
efisien dan tubuh menjadi sehat serta membentuk berat badan dan tinggi badan yang
ideal.
Prinsip food combining sebenarnya tidak berbeda dengan pola makan gizi
seimbang, hanya saja menyesuaikan dengan siklus pencernaan tubuh manusia. Siklus
tersebut terbagi dalam tiga periode yaitu siklus pencernaanm siklus penyerapan dan
siklus pembuangan (gunawan). Penjelasan gunawan lebih lanjut bahwa siklus
pencernaan berlangsung pada pukul 12.00 – 20.00 waktu ini merupakan saat yang
tepat untuk mengkonsumsi makanan padat karena periode ini tubuh mencerna
makanan secara aktif. Siklus penyerapan dimulai pada pukul 20.00 – 04.00 WIB.
Sebagian besar zat makanan yang telah dicerna dibagikan ke seluruh tubuh. Pada saat
ini sebaiknya jangan banyak melakukan aktifitas dan tidak makan lagi, karena sel-sel
tubuh yang rusak diganti pada periode ini. Siklus pembuangan merupakan siklus
terakhir yang terjadi pada pukul 04.00 – 12.00 WIB. Energy sangat banyak
dikeluarkan pada periode ini. Sebaiknya menghindari makan makanan padat pada
periode ini dan cukup dengan meminum segelas jus. Ketiga periode tersebut bukan
hanya memperhatikan jam waktu makan, tetapi juga keseimbangan asam dan basa
(nilai pH makanan) yang dimakan. Berdasarkan periode makan yang ada dan prinsip
keseimbangan asam basa, maka dalam melakukan food combining harus
dipersiapkan pengelompokan makanan yaitu makanan pembentuk asam, makanan ini
berbentuk protein hewani seperti daging, lemak, minyak, produk susu, biji-bijian,
kacang tanah dan makanan mengandung ragi serta alcohol. Berikut adalah makanan
pembentuk basa bisa dikonsumsi melalui buah-buahan, sayuran, kentang yang
direbus dengan kulitnya, susu mentah, kedelai, taoge, kacangkacangan (kecuali
kacang tanah).
Penyusunan menu dengan metode food combining adalah menyusun menu
dengan serasi, mengatur makanan yang cocok (lebang, 2014). Sebaiknya makanan
pembentuk asam basa dimakan sekaligus sehingga akan tercapai makanan yang
sifatnya netral. Semua kelompok makanan yang ada pada tahapan persiapan dapat
dimakan secara bersamaan, kecuali kelompok pati dan protein tidak boleh dimakan
secara bersamaan melakukan kombinasi unsur protein dan lemak, unsur lemak
berguna melambatkan laju pencernaan sehingga protein cukup waktu untuk
berinteraksi dengan asam lambung. Protein mengandung lemak sehingga jika

19
dikombinasi dengan lemak maka makanan akan lebih lama berada dalam lambung
asam dapat melarutkan lemak dan enzim pengurai lemak membutuhkan pH asam.
Menambahkan asam pada makanan berkadar lemak tinggi menyebabkan pH sangat
asam dan menghambat protein pencernaan. Contoh manfaat dari penggunaan metode
ini membantu menurunkan massa lemak, insulin, kolestrol total (Golay, et all, 2000;
Weickert, 2012).

D. Penggunaan Terapi Komplementer dalam Keperawatan di Indonesia


Perkembangan terapi komplementer di Indonesia mengalami kemajuan pesat. Hal
ini ditunjukkan dengan adanya institusi pendidikan tinggi yang ikut mengembangkan
berbagai jenis terapi. Misalnya telah dibukanya paska sarjana akupuntur dan herbal.
Perkembangan lain adapula yang menjadikan salah satu kompetensi profesi tertentu
sehingga dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan misalnya di kedokteran,
keperawatan, kefarmasian dan fisioterapi. Perkembanga keilmuan ini sejalan dengan
pemanfaatan berbagai jenis terapi yang ada di masyarakat. Perkembangan ilmu yang ada
juga didukung mulai munculnya organisasi yang mewadahi peminat keilmuan
komplementervyang bertujuan memberikan intervensi yang holistik.
Penggunaan terapi komplementer di Indonesia berbeda-beda tergantung dari
minat, kebutuhan, ketersediaan, dan keinginan klien ataupun keluarganya. Pengetahuan
masyarakat di Indonesia tentang tindakan tradisional bervariasi sehingga dalam
menggunakan terapi komplementer berbeda-beda. Disamping itu pemanfaatannya
tergantung dari jenis penyakit yang diderita, paling umum dan sudah membudaya adalah
pemanfaatan produk alami yang dikenal dengan jamu. Istilah ini berasal dari bahasa Jawa
dipakai di seluruh Indonesia (WHO,2010). Jenis terapi komplementer tradisional lainnya
adalah pijat, yang berkembang saat ini dipraktekkan dalam pelayanan SPA adalah pijat
Jawa dan Bali sedangkan shiatsu, tuina, lomilomi, Swedish, akupresur, refleksi termasuk
yang berasal dari negara lain (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Hal ini menunjukkan
jamu dan pijat termasuk pengobatan atau pelayanan tradisional khas Indonesia.
1. Jamu
Tahun 1988 merupakan awal dimulainya program pengembangan potensi
obat tradisonal sebagai alternatif pelayanan kesehatan (Chaudhury &Rafei, 2001).
Obat tradisional Indonesia dikenal dengan istilah jamu (WHO, 2010). Perkembangan
jamu saat ini dikelola secara tradisional dan modern, beberapa pabrik jamu di
Indonesia dimancanegara. Jamu tradisional yang dikelola bahkan sudah sampai

20
secara manual dapat ditemukan di masyarakat Indonesia dengan membuat sendiri dan
masih banyak ditemukan yang dijual keliling kampung misalnya jamu gendong
(Wulandari dan Azrianingsih, 2014). Perkembangan jamu dikelola secara modern
sudah semakin maju dengan adanya pabrik yang diproduksi secara masal da nada
yang telah menggunakan resep dokter.
2. Pijat
Tindakan pijat memiliki prinsip yang hampir sama dengan masase, penekanan
pada bagian ini adalah, banyaknya jenis pijat yang ada di Indonesia tergantung
wilayah tempat tinggal masyarakat. Istilah yang banyak beredar dimasyarakat pijat
bermacam-macam, misalnya pijat dan urut. Pijat memiliki tujuan untuk rileks,
melemaskan otot dan memperlancar peredaran darah.

21
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Terapi komplementer merupakan pelengkap dalam intervensi keperawatan. Setiap
individu akan berusaha untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai keinginan dan
kemampuan dirinya. Perawat sebagai professional kesehatan yang kompeten akan
berusaha mengembangkan kemampuan terhadapi keilmuan yang menunjang dalam
praktik keperawatan, melakukan atau menggunakan sebagai hasil penelitian yang
membahas terapi komplementer.
Jenis terapi komplementer begitu banyak, penggunaannya dipilih sesuai dan tidak
bertentangan dengan pengobatan konfensional yang telah digunakan klien. Perawat perlu
mengetahui tehnik yang ada, untuk dapat mempersiapkan klien yang akan mendapatkan
tindakan komplementer dan membantu memberikan intervensi yang sesuai kebutuhannya.
Prinsip perlindungan dan keamanan serta kenyamanan tindakan untuk perawat dan klien
harus diperhatikan, misalnya tindakan antiseptik, komunikasikan terapi, tempat yang
tenang dan nyaman sesuai kebutuhan serta mengikuti langkah yang tepat sesuai tahapan
intervensi dan dilakukan untuk melengkapi tindakan keperawatan dalam asuhan
keperawatan.

B. Saran
Perawat dalam memenuhi kebutuhan tersebut membutuhkan pengetahuan dan
ketrampilan untuk dapat memberikan intervensi pada klien. Tindakan yang dilakukan
perawat harus menjadi bagian dari asuhan keperawatan serta memperhatikan prinsip
holistik, komprehensif, dan kontinum. Apabila perawat mampu memahami dan
melaksanakan konsep tersebut, diharapkan pelayanan kesehatan terbaik untuk klien dapat
diberikan karena masyarakat Indonesia saat ini banyak yang sangat mempercayai
kombinasi terapi tradisional dan konvensional dalam pemenuhan kesehatannya.

22
DAFTAR PUSTAKA

Setiawan Agus. 2019. Keperawatan Kesehatan Komunitas dan Keluarga 1st Indonesia
edition. Singapore: Elsevier

23

Anda mungkin juga menyukai