Anda di halaman 1dari 80

PEMROSESAN SINYAL DIGITAL (PSD)

BAB I

PENDAHULUAN
Sinyal adalah fenomena atau informasi yang berasal dari alam raya ini dari benda hidup
ataupun benda mati atau dari Sang Pencipta alam dalam bentuk apa saja yang dapat memberikan
pengertian atau tidak bagi yang menerima atau memerlukan atau pengguna (user) dengan
variable bebas (waktu , ruang, frekuensi dsb). Sinyal dalam domain frekuensi, amplitude sinyal
mengalami perubahan setiap saat. Sedang sinyal dalam domin frekueni ysng di ketahui adalah
spectrum atau perubahan frekuensi dengan perubahan magnitude (kekerasan suaranya) tanpa
merubah frekuensinya.
Sinyal domain frekuensi dapat dikembalikan ke sinyal domain waktu, menggunakan Transformasi
Fourier (TF).

Gambar 1.0. Gelombang sinus sinyal domain waktu (kiri), dalam domain
frekuensi (kanan)

Dalam perkembangan teknologi akhir-akhir ini, pemrosesan sinyal sudah megarah ke


sistem digital baik yang digunakan di industri termasuk industri pertambangan, elektronika,
radar, pengiriman data satelit, kepolisian forensic digital, kedokteran, nuklir, seismik, pemetaan
dengan sistem digital (yang berbasis komputer atau mikrokontroler) dsb. Pengembangan
instrumen termasuk alat pengukur sudah memasuki era digital, karena mudah dioperasikan dan
mudah dibaca.
Ada dua kejadian yang memicu perkembangan PSD. Pertama adalah ditemukannya suatu
algoritma efisien yang berkaitan dengan DFT (Discrete Fourier Transform) oleh Cooley dan
Tukcey pada tahun 1965. Yang kedua adalah saat diperkenalkannya PSD untuk pertama kali,
dengan dimunculkannya prosesor PSD di akhir tahun 1970-an. Prosesor ini mampu melakukan
perhitungan (fixed-point) “multiply-and-accumulate” hanya dalam satu siklus pulsa, yang juga
merupakan hasil kemajuan (pengembangan) dari sistem berbasis mikrokomputer “Von Neuman”
pada saat itu. Prosesor PSD saat ini sudah mengandung fungsi-fungsi yang lebih canggih, seperti,
pengali bilangan floating-point, barrelshifter, bank memori atau zero-overhead interfaces to A/D
and D/A converters.

1.1.Pengertian Sinyal Digital

Sebelum membahas masalah sinyal digital, sebaiknya perlu dimengerti, apa itu sinyal ?

Sinyal adalah informasi dalam bentuk apa saja (fisis ataupu lainya) yang dapat
memberikan pengertian bagi yang memerlukan atau pengguna (user) dengan variable
bebas (ruang atau waktu ataupun lainnya). Secara matematis, sinyal dijelaskan sebagai suatu
fungsi dari satu atau lebih variabel bebas. Sinyal dapat berbentuk isyarat, kode, tulisan suara,
lambang, gambar, kode cahaya, kode bendera dsb.

Contoh sinyal:
 Sinyal elektrik: tegangan dan arus pada rangkaian
 Sinyal akustik: audio atau sinyal percakapan (analog atau digital)
 Sinyal video: variasi intensitas pada sebuah citra
 Sinyal biologikal : urutan pada gen
 kode gambar, lambang bendera pramuka
 Kode cahaya dengan lampu senter
 Sinyal suara: Tangis bayi yang baru lahir

Pengertian variable bebas; adalah penentu karakter sinyal yang merupakan penentu ciri
dan dapat berubah-ubah. Dalam kasus pembahasan sinyal ini adalah:
 Kontinyu
 Lintasan pesawat luar angkasa
 Tegangan/voltase listrik
 Diskrit (terputus-putus dapat dalam bentuk digital)
 DNA
 Piksel pada citra digital
 Dapat berupa 1-D, 2-D, . . . N-D disebut Sinyal Multikanal dan Sinyal
multidimensi

• Sinyal Multikanal
Sk(t) dimana k=1,2,3, merupakan sinyal dari sensor/sumber ke-k
yang merupakan fungsi waktu, maka: sinyal ini merupakan vektor multikanal
• Sinyal Multidimensi
Sinyal tergantung dari lebih dari 1 variabel bebas, maka sinyal tsb
disebut dengan sinyal multidimensi.
 Fokus pada 1-D, variabel “waktu”, variable frekuensi, fariabel fasa dsb. (lazimya
disertakan amplitude)
 Sinyal waktu kontinu, x(t), t, kontinyu

Sinyal dalam satu dimensi dalam bentuk variable tunggal, yaitu sinyal dalam satu gerak
ordinat dalam hal ini peubah bebasnya disebut ‘waktu’ dilambangkan dengan t, sehingga
amplitude sinyal ditulis sebagai x(t), y(t), h(t), …….
Kebanyakan sinyal satu dimensi dalam dunia nyata adalah fungsi dari waktu berubah,
seperti tegangan, arus listrik, suhu, kecepatan, tekanan, radiasi matahari dll.

Dari klasifikasi di atas, maka sinyal waktu kontinyu dapat dijelaskan sebagai berikut:

 CT (Continous Time) - x(t), t : nilai kontinu


 Sebagian besar sinyal merupakan sinyal waktu kontinu.
Contoh: tegangan dan arus, tekanan, suhu, kecepatan, dll.

Gambar 1.1. Sinyal kontinyu

 Sinyal waktu diskrit, x[n], n, integer (diskrit yang berubanya sama atau hasil sampling).
Gambar 1.2.Pengiriman data dari sumber digital, melalui telekomuikasi digital (diskrit)

Input analog Inpu/output out put data analog


interface digital

Kontroler Iput digital output digital

Runutan Data Multiplier


program RAM Accumulatr
pengontrol (MAC)
Koefisien
ROM (RAM)

Gambar 1.3. Umum pemrosesan digital dari sinyal analog

1.2. Bentuk Sinyal.


Sinyal dalam dua dimensi adalah sinyal yang mempunyai bentuk dua ordinat missal
ruang dan waktu, pergerakan awan, sinyal dalam koordinat x dan y.
1. Sinyal Multikanal dan Sinyal multidimensi
• Sinyal Multikanal
Sk(t) dimana k=1,2,3, merupakan sinyal dari sensor/sumber ke- k yang merupakan
fungsi waktu, maka:
� merupakan vektor multikanal
• Sinyal Multidimensi
Apabila sinyal tergantung dari lebih dari 1 variabel bebas, maka sinyal tsb disebut dengan
sinyal multidimensi
2. Sinyal Waktu Kontinyu dan Sinyal Waktu Diskrit
 Sinyal Waktu kontinyu merupakan argument real fungsi real x(t) dimana t dapat bernilai
real sembarang. x(t) mungkin bernilai 0 untuk range nilai t tertentu yang diberikan.
 Sinyal waktu diskrit merupakan fungsi dari argument yang hanya bernilai pada bagian
diskrit (hasil sampling) dari waktu, x[n] dimana n = {...-3,-2,-1,0,1,2,3...}., hampir sama dengan
hasil sampling pada periode diskrit (terputus-putus). Contoh diskrit periodic sinyal sinus atau
cosines yang dilalukan ke diode, makakeluarannya akan diskrit periodic.
 Nilai x bisa real ataupun komplek, contoh riil: {-1,-2, 0, 1,2,3, dst},kompleks { 1 + j2,
2 + j3, 3 + j6’ dst}
3. Sinyal Periodik dan tidak Periodik
Sinyal x(t) periodik dengan perioda t (t>0) jika dan hanya jika x(t+T) = x(t) untuk setiap t
(dampt, undampt, normal), jadi ada pergeseran waktu yang konstan (periodic) sebesar T.
Jika tidak ada nilai T yang memenuhi persamaan di atas sinyal dikatakan tidak periodik.
Berdasarkan deret Fourier sinyal dapat digantikan dengan bentuk DC dan sinus serta cosinus,
Dalam bentuk sinyal sinus diskrit, disampling sehingga bentuk sinus diskrit sampling.

Contoh: Suatu sinyal analog sinus kontinyu x(t) = A sin (ωt + ϑ ) atau x(t) = A sin (2πft + ϑ)
Dalam bentuk sampling x(n) = Asin ωnt
dimana, frekuensi sudut ω = 2πf, f = k/N, f rekuensi gelombang, k bilangan integer
sampling 1, 2, 3, …… N banyaknya sampling.
Jika dibentuk sinyal diskrit sinyal informasi 2 Hz, sampling 20 Hz

Gambar 1.4. Fungsi sinus kontinyu analog dan fungsi kontinyu diskrit (sampling)

Dari contoh diatas,


Frekuensi 2 Hz, maka frekuensi sudut ω=2πf, ω= 4π rad/sec, amplitude 5.
Periode = ½ detik.
Jika system diskrit, siklus sampling f = f/fs, f frekuensi sinyal, fs frekuensi sampling.
Periode sampling adalah Ts = 1/ fs.
Contoh: sinyal sinusoidal dengan frekuensi 10 KHz disampling dengan waktu 0,05 ms. Berapa
frekuensinya.
f = 10 KHz, sampling 0,05 ms = 5 x 10-5 s

maka siklus sampling adalah f = f/fs f = 10.000/20.000 = 0,5 siklus/sampling.

Jadi apa sebenarnya yang disebut sinyal digital ?

Sistem Digital yaitu sistem yang bekerja berdasarkan prinsip bilangan biner. Bilangan
biner adalah bilangan dengan bilangan pokok dua dalam kode hanya “0” dan “1’, atau lazimnya
0 adalah (0 s/d 0,7) Volt DC untuk logika ‘0′ setara dengan 0 dan (3,5 s/d 5) Volt untuk logika
‘1′. setara dengan 5 Volt DC. Contoh pemakaian alat-alat meter, TV, HP pegiriman sinyal dsb
yang sudah semuanya mengarah ke digital bukan analog (sinyal yang fluktuatif dalam bentuk
bukan angka). Jadi sinyal digital adalah sinyal dalam bentuk digit (angka-angka biner) atau
sinyal yang merupakan konversi hasil sampling dengan bilangan pokok 2 (biner).
Sinyal digital cotoh untuk 8 digit yaitu dengan nilai maksimum 1111 1111 yang setara
dengan dinilai decimal 256. Pengubahan ini dilakukan dengan komponen ADC (analog to
digital converter) yaitu peubah dengan bilangan pokok 2 atau dalam skala tegangan adalah 1
setara dengan 5 volt dan 0 dalam tegangan 0 volt untuk unipolar. Jika menggunakan bipolar
maka pulsa 1 adalah + 5 volt dan pulsa 0 adalah – 5 volt. Namun dalam kenyataannya lebih
banyak dipakai unipolar dengan 5 dan 0 volt. Ambang batas pulsa 0 dari 0 - 2,2 V, kalau dalam
pemrosesan/pengiriman sinyal kode 1 (5V) diterima di bawah 2,2 V maka akan dibentuk 0.
Untuk memperoleh ketelitian konversi analog ke digital dapat digunakan ADC yang
derajatnya lebih tinggi yaitu dari: 8, 10,12, 16, 32,64, 128, 256, 512, 1024 dst.

Pengolahan sinyal analog


Pengolahan sinyal adalah suatu operasi matematik yang dilakukan terhadap suatu sinyal
sehingga diperoleh informasi yang berguna. Dalam hal ini terjadi suatu transformasi.
Pengolahan sinyal digital adalah pengolahan sinyal menggunakan istrumen digital atau
program digital (register, counter, dekoder, mikrokontroler, ADC, dan lainya) atau metoda
digital (transformasi digital dsb).
Aspek keutungan menggunakan sinyal digital.
Kesederhanaan cara, dimana digit biner 0 dan 1 berhubungan dengan implementasi fisis.
Dalam bentuk tegangan missal 5 volt angka 1 (tinggi/high) dan 0 volt angka 0 digital rendah (
low). Hemat biaya dalam penggunaan kontrol digital, perangkat keras digital lebih murah,
atau mungkin karena implementasi digital memiliki fleksibilitas untuk dimodifikasi dan
aplikasi. Contoh satu komputer mampu mengendalikan banyak lapangan kontrol secara
sekaligus
 Lentur menanggapi perubahan desain:
Setiap perubahan/modifikasi dapat dilakukan sebagai perubahan perangkat-lunak
(pemrograman), dan mudah memproses dengan sotware dan secara teori bersifat
fleksibilitas dalam merancang-ulang dengan melakukan perubahan pada program yang
bersangkutan,
 Metode-metode pemrosesan sinyal digital juga membolehkan implementasi algoritma-
algoritma pemrosesan sinyal yang lebih canggih. Umumnya sinyal dalam bentuk analog
sulit untuk diproses secara matematik dengan akurasi yang tinggi.

 Sistem digital memiliki ketahanan derau yg lebih baik dari pada sistem analog, karena derau
mengikuti pola sinyal. Sedang pada digital dikenal satu dan nol dan mempunyai batas
penafsiran digit 1 diatas (0,7 atau 2, 2,4 volt), tahan terhadap suhu dan derau (noise).
Sistem keakurasian yang tinggi, sejalan dengan derau dan tergantung ADC, pengolah sinyal
digital, dalam bentuk panjang word (word length), floating-pointversus fixed-
point arithmetic dan faktor-faktor lain.

 Sinyal digital dapat dipulihkan dengan memasang komponen digital contoh: buffer, inverter
atau double inverter.
 Mudah memprosesnya, secara teori tidak ada batasanya, seperti dimodulasi sehingga banyak
digunakan untuk sistem frekuensi modulasi dengan FSK FM, dan mudah diproses.
 Mudah dikembalikan ke sisitem analog dengan menggunakan IC DAC.
 Mudah menyimpannya dibandingkan sinyal analog. Untuk media penyimpan digital dapat
digunakan elemen memori: flash memory, CD/DVD, hard disk, media magnetik (berupa
tape atau disk) tanpa mengalami pelemahan atau distorsi data, dan dapat pindahkan
serta diproses secara offline di laboratorium.
Kendala:
 Apabila diubah dari analog ke digital (sistem digitasi), maka pada digit terakhir LSB (least
significant bit) akan terjadi flicky (berubah-ubah, muncul atau tidak muncul).
 Adanya batasan antara nol dan satu, sehingga dapat menafsirkan yang salah jika sinyal
berada di bawah atau ambang pemrosesan pulsa (< 2,2 V ditafsirkan biner 0), kemugkinan
kehilangan informasi penting akibat sampling.
 Pemrosesan yang agak lama, namun dapat diatasi dengan ADC cepat dan pemroses cepat.
Dalam perkembangan teknologi software, sinyal tidak hanya dibuat melalui hardware
seperti osilator dsb. Namun, sinyal baik analog dan digital tertentu dapat dibangkitkan dengan
software.
Secara umum pengolahan sinyal ada dua Pengolahan Sinyal Analog (PSA) dan Pengolahan
Sinyal Digital (PSD) dan gabungannnya (Hybrid Proceccing Signal-PSH). Yang akan
diketengahkan PSD yang digabung dengan PSH.

Pemroses
Sinyal analog masuk Sinyal Analog Keluaan sinyal analog
(PSA)

Gambar 1.5. Di atas pemroses analog, bawah pemroses digital dengan masukan dan
kaeluaran analog
Sinyal Analog (hardware)
((9((hardware)
ADC

Sinyal Digital

Sinyal digital Sistem Sinyal Digital (hardware)


(software) penguat (Pemilihan)

ANALISIS FILTER DIGITAL


(hardware)
PENGUKURAN DIGITAL SINYAL

OPERASI DOMAIN OPERASI


FREKUENSI DOMAIN WAKTU

PENGGUNAAN PENGGUNAAN
Analisis Spektrum Interferensi
Deteksi Target Noise
Speech Recognition Pemisahan Band Frekuensi
Speaker Verivication

Gambar 1.6. Pembagian operasional sinyal digital yang dibangkitkan dari


software dan hardware

1.3.Pemakaian Pemrosesan Sinyal Digital (DSP)


Dengan berkembagnya sistem digital, maka pemakaian DSP semakin luas diantaranya:
 Kontrol dan instrument digital : pengukuran jarak jauh dengan tampilan atmosfer,
satelit, balon, UAV, kompresi data, analisis spektrum (wavelet dsb), tracking
position; noise reduction pada pengolahan suara dan kanal.
 Pemrosesan citra: pola sidik jari dan wajah, sistem robot penglihat, faksimili,
CCTV, animasi, dsb.
 Telemetri dan Telekomunikasi: Radar, Sonar, Lidar, Video, Komunikasi Data,
pemrosesan citra transmisi, sinyal luar angkasa dsb
 Digital Forensik, pelacakan digital criminal.
 Siesmologi dan geofisika, ekspjorasi minyak, deteksi ledakan nuklir.
 Digital Biomedic: Scanner, EEG, Brain Mapper, USG, X-RD storage, ECG dsb.

Pemrosesan Sinyal
Digital (DSP)

Sinyal Waktu diskrit dan


Waktu Kontinyu
Sistem Diskrit
Sistem Diskrit

Deret Fourier (Digital) Konvolusi


Filter
(pemroses konvolusi)

Disain Filter
Digital Time Forier Transform FIR IIR
(DTFT)
FIR IIR

Diskrit Fourier Transform (DFT)


Fast Fourier Transform (FFT)

Gambar 1.7. Penggunaan DSP dalam pemrosesan sinyal

Untuk menganalisis perubahan sinyal analog menjadi digital adalah Transformasi Z dan
Trannsormasi Diskrit Fourier. Sedangkan untuk sinyal analog digunakan Transformasi Laplac.
BAB II

SISTEM DIGITAL
Operasi atau pemrosesan sinyal digital atau diskrit (DSP) selalu menggunakan bentuk
sinyal diskrit atau biner dari hasil sampling, juga adalah sinyal digital atau sistem angka-angka
biner yang dikeluarkan oleh penghasil sinyal digit seperti komputer atau mikrokontroler. Atau
sinyal digital yang dibentuk melalui peubahan sinyal analog ke digital dengan operasional
menggunakan sistem komponen digital, AND, OR, EXCLUSIVE, NAND, NOR, BUFFER,
INVERTER, ADC dsb. Demikian juga hasil keluaran (output) sebagai hasil proses dari
rangkaian digital juga dalam bentuk biner.

Gambar 2.1. Pengubahan analog ke digital dan penggunaan kontrol analog

Gambar 2.2. Pemroses digital sistem dalam tampilan warna (RGB)


Oleh karena kebutuhan sistem pengendali digital dapat digunakan transduser analog pada sisi
input dan penggerak analog pada sisi output, seperti digambarkan pada gambar 2.1.
Pada gambar 2.1. masukan atau input merupakan besaran analog yang didapat dari hasil proses
dalam trasduser, kemudian oleh perangkat pengubah analog ke digital (ADC) diubah menjadi
besaran digital. Besaran digital tersebut merupakan masukan atau input dari sebuah sistem digital
untuk diproses secara aritmatik atau logik sehingga dihasilkan suatu besaran digital. Oleh karena
output atau keluaran dari sistem digital berupa besaran digital sedangkan yang dibutuhkan untuk
menggerakan rangkaian berikutnya adalah besaran analog, maka diperlukan perangkat pengubah
digital ke analog yang berfungsi untuk mengubah besaran digital dari hasil proses menjadi
besaran analog sebagai contoh untuk mengendalikan sebuah kecepatan motor dc dibutuhan
besaran anlog.

Sistem angka yang biasa kita kenal adalah sistem desimal yaitu sistem bilangan berbasis
10, tetapi sistem yang dipakai dalam komputer dan operasi digital dipakai adalah biner. Sistem
biner adalah sistem bilangan yang hanya menggunakan dua simbol (0,1). Bilangan ini biasanya
dikatakan mempunyai radiks 2 dan biasa disebut bilangan berbasis 2, setiap biner digit disebut
bit.

Pembatasan semua dari sistem digital ( biner) ini mengakibatkan bahwa angka-angka
yang diberikan dalam bentuk lain (seperti sinyal analog, atau operasi selain biner) harus di
konversi kan ke bentuk biner dahulu sebelum diolah oleh suatu sistem digital pada akhir proses
hasilnya ( dalam bentuk biner ) dapat dikonversikan kembali ke bentuk sistem angka aslinya.
Contoh bilangan biner dengan 8 digit, digital maksimum (1111 1111) digit = 256 angka decimal.

Jadi biner 8 digit: 1x27 + 1x26 + 1x25 + 1x24 + 1x23 + 1x22 + 1x21 + 1x20 = decimal 256
128 64 32 16 8 4 2 1 = 256

Jika 160 langkah, maka pulsa yang diperoleh kode digitanya adalah 1 0 1 0 0 0 0 0
5 V DC 1 0 1 0 0 0 0 0 pulsa digital 10100000
0 V DC

Dalam penulisan, penambahan bilangan nol di depan bilangan biner sering dilakukan
untuk mempermudah operasi-operasi bilangan atau untuk menunjukkan berapa ‘bit’ struktur
bilangan biner tersebut. Misalnya ‘0′ dapat ditulis ‘0000′ atau ‘00000000′. Penulisan ‘0000′ lebih
memudahkan bila ‘0′ dioperasikan dengan bilangan biner yang berstruktur ‘XXXX’. Demikian
pula ‘00000000′. Sekaligus hal ini menunjukkan berapa bit struktur bilangan biner tersebut.
‘0000′ berarti nilai ‘0′ dari 4 bit atau 4 digit. ‘00000000′ berarti nilai ‘0′ dari 8 bit atau 8
digit. (http://lecturer.eepis-its.edu).

2.1. Konversi Sistem Bilangan :


1. Binary ke Decimal
Bobot decimal:menyatakan perbandingan yang dimiliki oleh setiap digit bilangan decimal.
Contoh:
257310 = 2.103+5.102+7.101+3.100
= 2000+500+70+3
= 257310
11102 = 1.23+1.22+1.21+0.20
= 8+4+2+1

= 14

2. Decimal ke binary
Bobot binary: menyatakan perbandingan yang dimilki oleh setiap digit bilangan
binary. Cara membaca hasil seperti di bawah adalah dari bawah ke atas, yang terakhir dibagi 2
sisa 1, jadi kode biner dibaca dari bawah 1101. Cotoh:

Sistem Bilangan Biner adalah suatu sistem atau cara menghitung bilangan dengan hanya
menggunakan dua angka, yaitu ‘0′ dan ‘1′. Konversinya dalam bentuk tegangan di teknik digital
level TTL (Transistor-transistor Logic) adalah (0 s/d 0,7) Volt untuk logika ‘0′ dan (3,5 s/d 5)
Volt untuk logika ‘1′. Sedangkan untuk level IC CMOS tergantung dari besar dan range catu
tegangan yang dipasang pada IC tersebut. Meskipun IC CMOS dapat dicatu sampai dengan 18
Volt, tetapi umumnya tetap dipasang dengan tegangan +5V, karena biasanya ia dirangkai
bersamaan dengan IC TTL atau IC peripheral yang mempunyai level TTL (0 s/d 5) Volt.

2.2. Komponen Digital dan Operasinya


Dalam membentuk sisitem digital dapat diperoleh dari sisitem komputer (kuluaran digital
system operasi digital), komponen digital, maupun peubahan dari analog ke digital. Yang biasa
dilakukan dengan konstruksi dan operasi digital adalah menggunakan sampling dari sinyal
analog ke digital menggunakan ADC (analog to digital coverter) yang selajutnya diserahkan ke
komponen digital dalam operasinya atau mikrokontroler. Komponen digital diantaranya Buffer
(penyangga), NOT atau inverter (pembalik), AND dan NAND (pengali dan lawannya), OR dan
NOR (penjumlah dan lawannya), dan EXCLUSIVE (kasusu khusus) yang akan dijelaskan di
bawah.
1. Gerbang Logika
Rangkaian logika adalah rangkaian yang menerapkan dasar-dasar logika dalam
pemakaiannya. Dasar-dasar logika adalah operasi yang menerapkan Pada umumnya rangkaian
logika menggunakan gerbang-gerbang logika yang terintegrasi dalam satu IC. Rangkaian
digital sangat erat kaitannya dengan rangkaian elektronika. Rangkaian digital merupakan
rangkaian elektronik yang mengolah sinyal listrik diskrit. Rangkaian ini merupakan kesatuan
komponen-komponen elektronik pasif dan aktif yang membentuk suatu fungsi pemrosesan sinyal
digital.

Gerbang logika atau sering juga disebut Gerbang Logika Boolean, merupakan sebuah
sistem pemrosesan dasar yang dapat memproses input-input yang berupa bilangan biner menjadi
sebuah output yang berkondisi dan dapat digunakan dalam proses selanjutnya.

Gerbang NOR sering juga disebut dengan istilah INVERTER OR. Logika dari gerbang
ini adalah membalik apa yang ada di input, sehingga keluarannya terbalik, biasanya hanya terdiri
dari satu kaki saja. Ketika input bernilai 1 maka output bernilai 0 dan begitu pula sebaliknya.

Gerbang AND memiliki karakteristik logika dimana input masuk bernilai 0 maka
outpunya akan bernilai 0. Jika kedua input bernilai 1 maka output juga akan bernilai 1.
Gerbang AND akan menghasilkan output 1 (nilai Y = 1) jika kedua input (A dan B) bernilai 1
(lihat pada table kebenaran gerbang AND).

Gerbang OR dapat dikatakan memiliki karkteristik memihak 1, diman karakteristiknya


mempunyai logika selalu ber output 1 apabila ada 1 saja input bernilai 1.

Lambang Gerbang :
Gerbang BUFFER (penyangga)
Gerbang Buffer adalah gerbang yang menghasilkn antara input dan output sama dan berfungsi
untuk merevitalisasi sinyal yang rusak. Lambang penyangga jika masukan 0 keluaran 0 dan
sebaliknya masukan 1 keluaran 1, ini contoh pada pemakaian saklar hidup dan keluaran mati
dan sebaliknya.

Gerbang Not ( Inverter )

Disebut juga pembalik, hanya mempunyai satu masukan dan satu keluaran, diman output selalu
merupakan kebalikan inputnya.

Gerbang AND

Gerbang AND merupakan bentuk perkalian jika semuanya 1 akan menghasilkan satu jika
salah satu nol akan menghasilkan nol.
Contoh saklar

Gerbang OR :

Gerbang OR akan menghasilkan output 0 (nilai Y = 0) juka kedua input (A dan B)


benilai 0 (lihat pada table kebenaran OR).

Contoh saklar OR
PERCOBAAN :Skema pengkabelan pada komponen digital (AND DAN OR):

AND IC tipe SN 7408 inverter SN 7404

Dari percobaan – percobaan diatas dapat diperoleh table hasil percobaan sebagai berikut :
Tabel Hasil Percobaan Gerbang AND :

Penjelasan :
LED akan menyala jika kedua kaki (kaki A dan kaki B) diberi suatu inputan.

Tabel Hasil Percobaan Gerbang OR :

Contoh rangkaian digital sederhana

Gerbang NAND

Gerbang NOR

Gerbang XOR ( OR – Ekslusif ) dan XNOR


Kombinasi Gerbang

2.3. Aljabar Bolean

Aljabar Boole adalah aljabar yang diberlakukan pada variabel diskrit sehingga sesuai
saat diberlakukan pada rangkaian digitial.
Aljabar Boole terdiri dari dua yaitu :
- Teorema variabel tunggal
- Teorema variabel jamak Alajabar Boolen adalah alajabar yang terdiri atas suatu himpunan B
dengan 2 operator biner yang didefinisikan pada himpunan tersebut yaitu penjumlahan dan
perkalian prinsip dualitas.
Dualitas adalah padanan 2 ekspresi boolen yang diperoleh dengan cara:
1. Mempertukarkan + dengan 0 dan
2. Mempertukarkan 1 dengan 0

Terdapat 2 jenis teorema dalam alajabar boole yakni teorema variable tunggal dan jamak,
adapun teorema variable jamak terdiri dari teorema komutatif, distributive, asosiatif, absorsi dan
morgan. Sedangkan teorema variable tunggal diperoleh dari hasil penurunan operasi logika dasar
OR, AND, dan NOT yang mana teorema itu meliputi teorema 0 dan 1, identitas idempotent,
komplemen dan involusi.

2.4. Analog To Digital Converter (ADC)

Sinyal digital diperoleh dalam dua bentuk yaitu: 1). yang berasal dari analog yang diubah ke
digital menggunakan ADC (analog to digital converter, dan 2) sinyal hasil keluaran dari komputer
atau sejenisnya yang menghasilkan sinyal digital atau dibentuk digital oleh program, atau
menggunakan komponen digital
Untuk menghasilkan pulsa digital dapat dilakukan dengan komputer, prosesor yang
dilengkapi dengan komponen peubah sinyal analog ke digital yaitu ADC. ADC mengkonversi sinyal
analog yang diterima ke digital selanjutnya dioperasikan secara digital seperti yang telah dilakukan
di atas. Biasanya digunakan tipe ADC 8080 yang berada dalam mikrokontroler ATMEGA 8051.
Keluran mikrokontroler ini digital, sehingga dapat digunakan untuk mendrive motor step atau
operasi digital lainnya.

Peraga seven segmen terdiri dari dua jenis yaitu common anode dan common cathode.
Peraga seven segmen jenis common anode membutuhkan sinyal rendah sedangkan jenis
common cathode membutuhkan sinyal yang tinggi untuk menyalakan segmen-segmennya.
Secara umum peraga seven segmen memiliki 7 buah inputan yakni: a, b, c, d, e, f, dan g yang
mana inputan inilah yang digunakan untuk menyalakan segmen-segmennya.
Diperlihatkan Gambar 2.10 di bawah ini , yaitu proses kontrol digital.

Gambar 2.10. Kontrol yang menggunakan sinyal digital


Konversi sinyal analog ke digital dapat diguakan ADC dapat dilakukan dengan mudah
mengguakan komponen ADC dan menghasilkan sinyal seketika menggunakan IC (misal 0808)
• Contoh D/A 3-bit:

Sinyal waktu diskrit Sinyal quantisasi

Analog Sampler quantizer coder digital

Gambar 2.11. Sistem ADC

2.4.1. Ketentuan ADC


Mungkin ketentuan yang paling penting dari sebuah ADC adalah resolusi. Resolusi
disini adalah jumlah bits bilangan biner bits output sebagai converter. Sebab ADC mengubah
sinyal analog dengan variable amplitude yang terus menerus selanjutnya diubah ke satu atau
lebih pulsa step/square diskrit (terputus-putus), sehingga perlu diketahui berapa pulsa step
seluruhnya. Sebagai contoh ADC dengan 10 bit keluaran dapat mewakili sampai 1024 (210)
kondisi unik sinyal yang diukur. Daerah pengukuran dari 0% - 100%, ini akan menjadi 1024
bilangan biner output dengan pengubahan dari 0000000000 sampai 1111111111.
Dalam pengkonversian misalnya 8 digit, maka ada 2n -1 yaitu 255 level konversi. Jika
sinyal maksimum adalah 5 volt, maka setiap level adalah 5000 mV/256 = 19,53 mV. Untuk
kondisi level 0 (paling rendah atau LSB – least significant bit) adalah sama dengan 0000 0000
atau 0 mV, sedang level berikutnya decimal 1 adalah 0000 0001digital setara dengan sinyal
tinggi 19,53 mV, decimal 2 dikonversi ke digital 0000 0010 setara dengan sinyal 2 x 19,53 mV
dst, sampai digital tertinggi 1111 1111 (MSB – most significant bit) setara dengan decimal 256
sama dengan sinyal 5.000 mV. Dengan cara yang sama dapat dilakukan dengan digital yang
lebih tinggi. Tabel di bawah menunjukkan konvesi decimal ke digit dengan banyaknya digit.
Dicoba: sampling sinyal sinusoidal di bawah ini menggunakan Matlab:
1. x(t) = 10 sin (60 πt), dengan Ts = 12 ms
2. x(t) = 15 sin (70 πt – 0, 45π), dengan Fs = 2,5 KHz.

Jumlah Biner Jumlah Harga


Bit Amplitudo
(decimal)
4 0000 - 1111 16
5 0 0000 – 1 1111 32
6 00 0000 – 11 1111 64
7 000 0000 – 111 1111 128
8 0000 0000 – 1111 1111 256
9 0 0000 0000 – 1 1111 1111 512
10 00 0000 0000 – 11 1111 1111 1024
11 000 0000 0000 – 111 1111 1111 2048
12 0000 0000 0000 – 1111 1111 1111 4096
13 0 0000 0000 0000 – 1 1111 1111 1111 8192
14 00 0000 0000 0000 – 11 1111 1111 1111 16384
15 000 0000 0000 0000 – 111 1111 1111 1111 32768
16 0000 0000 0000 0000 – 1111 1111 1111 1111 65536

Resolusi ADC

Resulosi ADC menentukan “ketelitian nilai hasil konversi ADC”. Sebagai contoh: ADC 8 bit
akan memiliki output 8 bit data digital, ini berarti sinyal input dapat dinyatakan dalam 255 (2 n –
1) nilai diskrit. ADC 12 bit memiliki 12 bit output data digital, ini berarti sinyal input dapat
dinyatakan dalam 4096 nilai diskrit. Dari contoh diatas ADC 12 bit akan memberikan ketelitian
nilai hasil konversi yang jauh lebih baik daripada ADC 8 bit.

Prosedur menghitung step adalah 2n -1, dengan n banyaknya bit atau digit, missal 16 bit atau
digit berarti = 65535 step, paling tidak resolusi instrument disebut 16 bit/digit.

Yang jadi permasalahan laju/frekuensi berapa kecepat mengkonversi, sehingga diperoleh


output dari bentuk bilangan biner. Manakala perubahan yang dikonversi rendah misalnya
ketinggian air, maka cukup dengan frekuensi sampling rendah dalam bentuk frekuensi audio
dalam beberapa ratus cps, namun converter perlu kecepatan tinggi agar tidak tertinggal. Tipe
ADC successive- approximation sangat umum untuk regular sistem sampling ADC.

Disini sinyal yang lambat perubahannya cukup digunakan secara umum dengan sederhana
dengan waktu yang sama. Namun bagi sinyal yang mengalami perubahan cepat, diperlukan
sampling cepat, sehingga perlu digunakan ADC yang cepat dan teliti yaitu dengan digit yang
semakin tinggi.

Gambar 2.12. Sampling sinyal analog ke digital


Gambar 2.13. Rekonstruksi hasil output digital

Aliasing

Tatkala sampling terlalu panjang atau lama, maka dikhawatirkan akan hilangnya sinyal
penting yang mengandung informasi, sehingga bila dikembalikan ke sistem analog lagi sinyal
semula akan tidak utuh. Sebaliknya jika sampling terlalu cepat akan menyebabkan terjadinya
perubahan pada pengembalian sinyal analog, dan menghabiskan memori dengan caepat.Untuk
kebutuhan agar sampling tepat sesuai dengan bentuk sinyalnya diperlukan teori sampling dengan
frekueni Nyquist sama dengan 0.5 dari frekuensi sampling ADC. Jika sebuah ADC mempunyai
frekuensi sampling 5000 Hz. Maka sampling frekuensi Nyquist sinyal yang baik maksimum
adalah 2500 Hz.

Jika ADC dibandingkan dengan sinyal analog mempunyai frekuensi sampling melebihi
frequensi Nyquist, dan output digitasi sinyal ADC jatuh ke frekuensi rendah, fenomena in
disebut Aliasing (lihat Gambar 2.14. di bawah).
Bila periode gelombangn output lebih besar (lambat) dari input sampling (output )
gelombang dan bentuk gelombang berbentuk tidak sama, perlu dimengerti frekuensi Nyquist
absolute maksimum untuk ADC lebih terbatas dan tidak mewakili sebagian besar dari frekuensi

Gambar 2.14. Pendekatan hasil sampling ADC.

yang dapat diukur. Seyogyanya dimengerti frekuensi Nyquist absolute dari suatu ADC adalah
agar aman lebih besar dari 1/5 atau 1/10 dari sampel frequensi. Oleh karena itu sebaiknya
sebelum masuk ke ADC dipasang LPF untuk menghindari sinyal frekuensi lebih besar dari
batas sinyal samplingnya, sehingga ADC tetap akan bekerja tanpa terjadinya alising.
Dengan demikian tentunya ada step recovery dari output ADC yang menggunakan sistem
tracking converter dengan kondisi khusus.
Agar tidak terjadi frekuensi alising, besarnya frekuensi sampling (Fs) minimal 2 x
frekuensi sinyal informasi (F inf). Hal ini berdasarkan criteria Nyquist

Fs > 2 F inf ……………………………………………. (2.1).

ADC (Analog to Digital Converter) memiliki 2 karakter prinsip, yaitu kecepatan sampling dan
resolusi. Kecepatan sampling suatu ADC adalah seberapa rapat sinyal analog dicuplik/diambil
ke bentuk sinyal digital pada selang waktu tertentu. Kecepatan sampling biasanya dinyatakan
dalam sample per second (SPS). Agar medekati sinyal aslinya digunaka sampling yang tinggi,
namun efek alising yang dibahas diatas, harus diperhatikan dengan syarat sampling Nyquist Fs >
2 F inf, sehingga mengurangi cacad sampling tatkala dikembalikan.

Pengaruh Kecepatan sampling ADC menentukan ketelitian nilai hasil konversi ADC.
Sebagai contoh: ADC 8 bit akan memiliki output 8 bit data digital, ini berarti sinyal input dapat
dinyatakan dalam 255 (2n – 1) nilai diskrit. ADC 12 bit memiliki 12 bit output data digital, ini
berarti sinyal input dapat dinyatakan dalam 4096 nilai diskrit. Dari contoh diatas ADC 12 bit
akan memberikan ketelitian nilai hasil konversi yang jauh lebih tinggi daripada ADC 8 bit.
Prinsip kerja

Kuantisasi
Beberapa ADC dan prinsip kerjanya.
1. ADC Simultan

Salah satu rangkaian ADC adalah ADC Simultan atau flash converter atau parallel converter.
Input analog Vi yang akan diubah ke bentuk digital diberikan secara simultan pada sisi + pada
komparator tersebut, dan input pada sisi – tergantung pada ukuran bit converter. Ketika Vi
melebihi tegangan input – dari suatu komparator, maka output komparator adalah high,
sebaliknya akan memberikan output low.
Rangkaian Dasar ADC Simultan , bila Vref diset pada nilai 5 Volt, maka dari gambar rangkaian
ADC Simultan diatas didapatkan : V(-) untuk C7 = Vref * (13/14) = 4,64 V(-) untuk C6 = Vref *
(11/14) = 3,93 V(-) untuk C5 = Vref * (9/14) = 3,21 V(-) untuk C4 = Vref * (7/14) = 2,5 V(-)
untuk C3 = Vref * (5/14) = 1,78 V(-) untuk C2 = Vref * (3/14) = 1,07 V(-) untuk C1 = Vref *
(1/14) = 0,36 Sebagai contoh Vin diberi sinyal analog 3 Volt, maka output dari C7=0, C6=0,
C5=0, C4=1, C3=1, C2=1, C1=1, sehingga didapatkan output ADC yaitu 100 biner, sehingga
diperoleh tabel berikut : Tabel Output ADC Simultan.
2. Counter Ramp ADC

Blok Diagram Counter Ramp ADC

Pada gambar diatas, ditunjukkan blok diagram Counter Ramp ADC didalamnya tedapat DAC yang diberi
masukan dari counter, masukan counter dari sumber Clock dimana sumber Clock dikontrol dengan cara
meng AND kan dengan keluaran Comparator. Comparator membandingkan antara tegangan masukan
analog dengan tegangan keluaran DAC, apabila tegangan masukan yang dikonversi belum sama
dengan tegangan keluaran dari DAC maka keluaran comparator = 1 sehingga Clock dapat memberi
masukan counter dan hitungan counter naik.

Misal dikonversi tegangan analog 2 volt, dengan mengasumsikan counter reset, sehingga keluaran pada
DAC juga 0 volt. Apabila konversi dimulai maka counter akan naik dari 0000 ke 0001 karena
mendapatkan pulsa masuk dari Clock oscillator dimana saat itu keluaran Comparator = 1, karena
mendapatkan kombinasi biner dari counter 0001 maka tegangan keluaran DAC naik dan dibandingkan
lagi dengan tegangan masukan demikian seterusnya nilai counter naik dan keluaran tegangan DAC juga
naik hingga suatu saat tegangan masukan dan tegangan keluaran DAC sama yang mengakibatkan
keluaran komparator = 0 dan Clock tidak dapat masuk. Nilai counter saat itulah yang merupakan hasil
konversi dari analog yang dimasukkan.

Kelemahan dari counter tersebut adalah lama, karena harus melakukan trace mulai dari 0000 hingga
mencapai tegangan yang sama sehingga butuh waktu.
SAR (Successive Aproximation Register) ADC

Blok Diagram SAR ADC


Pada gambar diatas ditunjukkan diagram ADC jenis SAR, Yaitu dengan memakai konvigurasi yang
hampir sama dengan counter ramp tetapi dalam melakukan trace dengan cara tracking dengan
mengeluarkan kombinasi bit MSB = 1 ====> 1000 0000. Apabila belum sama (kurang dari tegangan
analog input maka bit MSB berikutnya = 1 ===>1100 0000) dan apabila tegangan analog input ternyata
lebih kecil dari tegangan yang dihasilkan DAC maka langkah berikutnya menurunkan kombinasi bit
====> 10100000.

Untuk mempermudah pengertian dari metode ini diberikan contoh seperti pada timing diagram gambar 6
Misal diberi tegangan analog input sebesar 6,84 volt dan tegangan referensi ADC 10 volt sehingga
apabila keluaran tegangan sbb :

Jika D7 = 1 Vout=5 volt


Jika D6 = 1 Vout=2,5 volt
Jika D5 = 1 Vout=1,25 volt
Jika D4 = 1 Vout=0,625 volt
Jika D3 = 1 Vout=0,3125 volt
Jika D2 = 1 Vout=0,1625 volt
Jika D1 = 1 Vout=0,078125 volt
Jika D0 = 1 Vout=0,0390625 volt

Timing diagram urutan Trace SAR ADC

Setelah diberikan sinyal start maka konversi dimulai dengan memberikan kombinasi 1000 0000 ternyata
menghasilakan tegangan 5 volt dimana masih kurang dari tegangan input 6,84 volt, kombinasi berubah
menjadi 1100 0000 sehingga Vout = 7,5 volt dan ternyata lebih besar dari 6,84 sehingga kombinasi
menjadi 1010 0000 tegangan Vout = 6,25 volt kombinasi naik lagi 1011 0000 demikian seterusnya hingga
mencapai tegangan 6,8359 volt dan membutuhkan hanya 8 clock.
2. Konversi digital ke analog (DAC)

Untuk mengembalikan ke sistem analog yaitu menggunakan DAC (digital to Analog Convertion)
dapat dibangun menggunakan penguat penjumlah inverting dari sebuah operasional amplifier
(Op-Amp) yang diberikan sinyal input berupa data logika digital (0 dan 1). Rangkaian dasar
DAC (Digital to Analog Convertion) terdapat 2 tipe yaitu Binary-weighted DAC dan R/2R
Ladder DAC.

Kedua tipe DAC tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Binary-weighted DAC Sebuah
rangkaian Binary-weighted DAC dapat disusun dari beberapa Resistor dan Operational
Amplifier yang diset sebagai penguat penjumlah non-inverting seperti gambar di atas. Pada
rangkaian Dasar Binary-weighted DAC yaitu resistor 20K Ohm digunakan untuk
menjumlahkan arus yang dihasilkan dari penutupan switch-switch D0 sampai D3. Resistor-
resistor ini diberi skala nilai sedemikian rupa sehingga memenuhi bobot biner (binary-weighted)
dari arus yang selanjutnya akan dijumlahkan oleh penguat penjumlah inverting IC 741. Apabila
sumber tegangan pada penguat penumlah IC 741 tersebut adalah simetris ± 15Vdc. Maka dengan
menutup D0 menyebabkan tegangan +5Vdc akan diberikan ke penguat penjumlah dengan
penguatan – 0,2 kali (20K/100K) sehingga diperoleh tegangan output penguat penjumlah -1Vdc.
Penutupan masing-masing switch menyebabkan penggandaan nilai arus yang dihasilkan dari
switch sebelumnya. Nilai konversi dari kombinasi penutupan switch ditunjukkan pada tabel
berikut.
Konversi Digital ke Analog Rangkaian yang lain yaitu Binary-weighted R/2R Ladder, ini
banyak digunakan dalam IC-IC DAC. Pada rangkaian R/2R Ladder, hanya dua nilai resistor
yang diperlukan, yang dapat diaplikasikan untuk IC DAC dengan resolusi 8, 10 atau 12 bit.
Rangkaian R/2R Ladder dapat dilihat pada gambar dibawah. Prinsip kerja dari rangkaian R/2R
Ladder adalah sebagai berikut : informasi digital 4 bit masuk ke switch D0 sampai D3. Switch
ini mempunyai kondisi “1” (sekitar 5 V) atau “0” (sekitar 0 V).

Dengan pengaturan switch akan menyebabkan perubahan tegangan yag diberikan ke penguat
penjumlah inverting sesuai dengan nilai ekivalen biner-nya. Sebagai contoh, jika D0 = 0, D1 = 0,
D2 = 0 dan D3 = 1, maka R1 akan paralel dengan R5 menghasilkan 10 k . Selanjutnya 10 k ini
seri dengan R6 = 10 k menghasilkan 20 k . 20 k ini paralel dengan R2 menghasilkan 10 k , dan
seterusnya sampai R7, R3 dan R8. Sehingga diperoleh rangkaian ekivalennya seperti gambar
berikut dan teganagan output (Vout) analog dari rangkaian R/2R Ladder DAC diatas dapat
dihitung dengan menggunakan persamaan: Vout=(-Vref(\frac{R9}{R}))\cdot
((\frac{D_{0}}{16})+(\frac{D_{1}}{8})+(\frac{D_{2}}{4})+(\frac{D_{3}}{2})) Vout yang
dihasilkan dari kombinasi switch ini adalah -5V. Nilai kombinasi dan hasil konversi rangkaian
R/2R Ladder DAC ditunjukkan pada gambar berikut.

Vout=(-Vref(\frac{R9}{R}))\cdot ((\frac{D_{0}}{16})+(\frac{D_{1}}{8})+(\frac{D_{2}}{4})+(\frac{D_{3}}{2}))

Keakuratan konversi DACtergantung pada dua faktor yaitu:


 Tingkat kepresisian dari resistor terpasang input dan feedback
 Tingkat kepresisian dari tegangan input.
 Aliasing
Makin banyak jumlah bit yang digunakan untuk konversi maka akan semakin banyak jumlah
harga amplitudo yang didapat, dan dengan semakin banyaknya jumlah tersebut akan
menyebabkan tingkat kehalusan konversi semakin tinggi. Sebagai contoh untuk konversi
tegangan analog 10 volt dengan menggunakan jumlah bit 10, maka akan didapatkan jumlah
harga amplitudo 1024 dengan demikian akan diperoleh perbedaan setiap tingkat konversi jika
sinyal masukan digital 5 volt, maka adalah 5 volt dibagi (1024-1) yaitu sama dengan 4,88
milivolt.
Contoh: Tentukan hasil konversi digital ke analog 8 bit bila input 1111 1111, dimana untuk nilai
input 0000 0001 tegangan output 19,53 mvolt!
Jawab: Jumlah harga amplitudo untuk DAC 8 bit adalah 256, sedang harga konversi setiap
tingkat 19,53 mvolt maka tegangan untuk konversi 1111 1111 adalah nilai tertinggi
yaitu sama dengan (256-1) x 19,53 volt = 5000 mvolt = 5 V.
2.3 Resolusi dan Keakuratan DAC
Resolusi dari sebuah DAC ditentukan perubahan terkecil yang terjadi pada output sebagai hasil
dari perubahan pada input analog, dari contoh konversi diatas resolusinya adalah 19,53 mvolt
dan selalu diukur berdasar konversi bit terkecil (LSB). Pada DAC 8 bit penghitung (counter)
akan memberikan input sebanyak 256 kondisi dan merupakan siklus yang terus menerus yaitu
mulai dari 0000 0000 sampai 1111 1111, ketika counter menghitung 0000 0000 maka tegangan
output analog adalah 0 volt dan berdasar contoh diatas setiap step adalah 19,53 mvolt sehingga
tegangan ouput maksimum 5 volt.
Resolusi dinyatakan dalam volt (tegangan) namun demikian dapat juga dinyatakan dalam prosen
dari skala penuh output (dalam contoh 5 V saat input digital 1111 1111),

Step
%resolusi = x100%
SkalaPenuh

= (19,53/5000) x 100% = 3,9%

Secara umum dapat ditulis melalui jumlah harga amplitudo atau jumlah step dari DAC misal N
bit, maka kita tuliskan sebagai berikut:
1
%resolusi = x100% = 0,1%
210 1
Dari kondisi ini dapat kita lihat bahwa jumlah bit merupakan penentu prosentase resolusi,
bertambahnya jumlah bit akan menambah jumlah step untuk mencapai skala penuh dan setiap
step akan menjadi semakin kecil, resolusi DAC maupun ADC tergantung jumlah bit.
Akurasi relatif adalah deviasi maksimum dari output DAC dari harga ideal, sebagai contoh
DAC memiliki akurasi relatif + 0,01 % FS, selama pengubah memiliki output skala penuh 5 V
maka konversi prosentase adalah:
+ 0,01 % x 5 V = 0,0005 V = 0,1 mV.
Hal ini berarti bahwa output DAC setiap saat dapat kurang dari harga sebenarnya sampai 0,1
mV. Umumnya DAC memiliki akurasi antara 0,01- 0,1%. Hal ini penting untuk dipahami
bahwa akurasi dan resolusi dari DAC harus kompatibel.
Kecepatan Operasi biasanya adalah waktu settling yang merupakan interval waktu maksimum
yang dibutuhkan output untuk menghasilkan tegangan dari 0V sampai mencapai skala penuh
seiring dengan perubahan kode input selama waktu 0 detik sampai 1detik. Umumnya waktu
settling pada batas 0-20 µdetik dan secara umum DAC dengan output arus relatif lebih singkat
dibanding DAC dengan output tegangan.
2.6 Operasi multiplexing peubah digital ke analog.
Pada banyak aplikasi terdapat lebih dari satu kelompok dari input digital yang akan diubah
menjadi satu besaran analog, sebagai contoh suatu proses kontrol komputer melayani beberapa
sinyal kode digital untuk mengendalikan peralatan penggerak yang beragam seperti motor atau
katup selenoid. Secara prinsip untuk melakukan itu dapat dilakukan melalui dua cara yaitu:
Cara pertama dimana setiap input sinyal digital dikonversikan melalui satu DAC, keuntungannya
adalah setiap sinyal digital dikonversikan terus menerus dan tidak diperlukan adanya penyimpan.
Akan tetapi sistem atau cara ini sangat mahal karena diperlukan komponen yang presisi berisi
anatara lain resistor presisi, sumber referensi, amplifier dsb. Pada Gambar 2.6 diperlihatkan tiga
buah DAC dimana masing-masing memberikan tiga output Vout1, Vout2 dan Vout3 dan 3 kelompok
saluran input digital. Hal ini, menunjukkan saluran input terlalu banyak dan pemberian data input
digital sebaiknya dari satu sumber dan output disalurkan pada tiga output.

Gambar 2.6. DAC dengan output analog terpisah


Cara kedua adalah menggunakan DAC multiplekser (lihat Gambar 2.7). Data input masuk ke
register dari register disalurkan ke sebuah DAC dan selanjutnya disalurkan melalui sebuah saklar
pada multiplekser yang disalurkan ke tiga buah saluran output analog. Dengan demikian data
input digital disalurkan melalui saluran yang sama dan outputnya dipilih melalui saklar
multiplekser, data konversi disimpan di kapasitor C1 sampai CN .

Gambar 2.7. DAC menggunakan saklar multiplekser


Begitu DAC bekerja, maka diperoleh tegangan VA yang merupakan hasil konversi yang
bersamaan dengan tertutupnya salah satu saklar misal S2 maka kapasitor C2 akan diisi muatan
listrik. Hasil tegangan konversi disimpan di kapasitor dan diumpankan ke op-amp
(berimpendansi input tinggi) dan menghasilkan VOUT.
Apabila terdapat 3 buah sinyal yang dikonversi, masing-masing sinyal dilalukan ke S1, S2 dan S3.
Setiap kali selesai konversi, multiplekser bekerja, data hasil konversi disimpan pada kapasitor
selanjutnya dikirim ke output masing-masing, yang dikuatkan oleh op-amp.
Rate multipleksing adalah dari konversi perdetik saat terhubung dengan variasi input digital
secara sekuensial ke DAC. Satu siklus penuh operasi konversi, diawali dengan transfer nilai
digital yang baru pada register input, sehingga dihasilkan VOUT dengan tertutupnya salah satu
saklar, pengisian tegangan pada kapasitor dan perolehan hasil pada output op-amp. Biasanya
tanggapan waktu DAC merupakan faktor pembatas utama dari rate multipleksing (konversi
perdetik).
Saklar/relay yang digunakan bekerja secara elektromekanik berkecepatan tinggi. Waktu yang
dibutuhkan realtif lama (1mdetik). Sedangkan batasnya adalah 1 kHz atau lebih cepat lagi, untuk
itu diperlukan tipe solidstate dari CMOS saklar bilateral. Minimum rate multipleksing (konversi
perdetik) ditentukan oleh kemampuan kapasitor mempertahankan tegangan yang diisikan
padanya, sebagai contoh DAC memiliki 4 kanal saat tertentu satu kapasitor diisi melalui saklar
yang terhubung padanya on maka kapasitor harus mampu mempertahankan satu siklus penuh
saklar on dari tiga saklar lainnya.
Non-linearity

Seluruh ADC akan mempunyai kesalahan ketidak linieran disebabkan karena komponen,
menyebabkan outputya menyimpang dari fungsi linier dari inputnya. Kesalahan ini dapat
diperbaiki dengan dikalibrasi atau ujicoba. Sebagai contoh gelombang sinus x(t) = Asin (2πf0t),
yang tentunya sampling yang diambil tidak akan sama amplitudonya karena frekuensi sampling
tidak sama dengan frekuensi siyalnya atau waktul sampling tidak tentu karena clock jitter Δt,
kesalahan akibat fenomena sampling ini dapat diestimasi

Untuk sinyal DC kesalahan tidak ada, jika frekuensi rendah kesalahan rendah jika frekuensi dan
amplitude tinggi sangat berarti, efek ini dapat digambarkan sebagai kesalahan kuantisasi yang
dihitung mengikuti formula

Dimana q jumlah bit ADC, fo frekuensi sampling.

http://elektronika-dasar.web.id/teori-elektronika/adc-analog-to-digital-convertion/Copyright ©
Elektronika Dasar.
BAB III
SISTEM PEMROSESAN SINYAL DIGITAL

Pegolahan sinyal digital untuk mengolah sinyal baik analog maupu digital agar diperoleh
sisitem informasi yang berguna (data). Dan pada dasarya pegolahan sinyal digital adalah
representasi diskrit, karena pengolahaya menggunakan mikrokontroler maupun komputer yang
sudah bersifat digital.Kebayakan di alam bentuk sinyal adalah analog seperti: suhu, tekanan,
kecepata angin dsb. Untuk memperoleh bentuk digital diperlukan sampling (lihat BAB II).
Sehingga dalam proses selanjutnya pun ada dua hal 1) pemrosesan siyal secara analog, 2)
pemrosesan sinyal secara digital (ADC) dan akan dilihat hasil akhirnya bentuk analog
dikembalikan ke analog dengan DAC.

Pemroses Analog
Input analog output analog

ADC Pemroses Digital DAC


Input analog output analog

Digital (10011101) digital (100111001)

LPF ADC Pemroses Digital DAC LPF


Sesor peraga

x(t) x(n) x ‘(n) y(t)

Gambar 3.1. Pemrosesan sinyal analog dan digital

Pada Gambar 3.1. ditunjukkan tipikal aplikasi yang digunakan untuk implementasi suatu
sistem analog menggunakan sistem Pemrosesan Sinyal Digital. Sinyal masukan analog masuk
melalui sebuah tapis analog anti-aliasing untuk mencegah terjadinya aliasing. Kemudian ADC
(analog-to-dgital converter) bertugas menghasilkan data-data digital (beberapa parameter harus
ditetapkan sebelumnya seperti resolusi bit, frekuensi cuplik serta metode ADC). Rangkaian PSD
kemudian melakukan proses-nya (sesuai dengan aplikasi yang dibuat), kemudian luarannya,
yang masih merupakan data-data digital diumpankan melalui DAC untuk dikembalikan menjadi
sinyal analog.
Sinyal sius adalah dalam betuk analog ditulis x(t) = A sin ωt = A sin 2Pft. Jika
disampling dan dibentuk digital, maka dituliskan adalah x(n) = sin n/N To, dimana n bilangan
integer, dengan nilai n sampling sinyal ke n, dengan periode N, sehingga f = n/N, dengan n/k
bilangan iteger.t

1.1. Pemrosesan Sinyal

Dari gambar 3.1, bahwa pemrosean sinyal analog dengan sistem analog, namun ada analog ke
digital dan diproses secara digital dan dikembalikan ke analog. Pemrosesan sinyal demikian
telah banyak digunakan untuk meubah atau memanipulasi sinyal-sinyal analog atau digital sejak
lama, lihat Gambar 3.3. di bawah ini.
Gambar 3.2. Pegiriman siyal analog dan diterima secara analog..

Gambar 3,3, Pengirim sinyal analog diubah ke digital

Proses sinyal digital dapat dilihat dalam diagram Gambar 3.4, alur yang dilakukan dalam PSD
dan fungsi masing-masing.

1. Sinyal analog disampling, spektrum sinyal sampling dianalisis di sini digunakan Discret
Transformasi Fourier (DFT).
2. Dari analisis DFT bagaimana caranya memperoleh/mengukur keakuratan DFT dapat
digali atau dikembangkan ? Hal ini dapat ditelusuri dengan Fungsi Window, dan
selanjutnya bagaimana Fungsi Window bekerja dengan cara konvelusi. Demikian juga
dari DFT bagaimana spektrum DFT dapat dimodifikasi dengan melalukan ke filter
digital yang dapat dilanjutkan ke kovolusi. Pada bagian lain, dari digital filter bagaimana
respons frekuensi digital filter dan dapat dikembangkan dengan Fungsi Widow. Di sisi
lain mengapa spectra deskret periodic dan DFT terjadi kebocoran spektrum, hali ini
dapat diselesaikan dengan konvolusi.
3. Dari DFT bagaimana spktrum noise/derau dapat direduksi untuk menyempurnakan sinyal
diskret untuk dideteksi, diantaranya menggunakan perata-rata sinyal (signal averaging)
terus ke filter digital.
4. Dari sampling periodik juga dapat difilter lagsung, kemudian diselesaikan dengan Fungsi
Window maupun kovolusi.

Sinyal Analog

LPF anti aliasing


Gambar 3.4. Alur dalam DSP dengan fungsi masing-masing proses.

3.2. Aplikasi DSP

Aplikasi yang sering digunakan adalah penapisan suatu sinyal. Pemrosesan Sinyal
Digital (PSD) atau Digital Signal Processing (DSP) telah banyak ditemukan dalam berbagai
macam aplikasi, mulai dari pemrosesan sinyal komunikasi data, suara, audio atau biomedik
hingga instrumentasi dan robotik. Informasi berikut bisa digunakan sebagai gambaran cakupan
aplikasi DSP.

 Algoritma DSP algorithm Serbaguna


Penapisan dan Konvolusi, tapis adaptif, deteksi dan korelasi, estimasi spektral dan
Transformasi Fourier.
 Pemrosesan suara
Pengkodean dan pendekodean, enkripsi dan dekripsi, pengenalan dan sintesa suara,
identifikasi pembicara, echo cancellation, cochlea-implant.
 Pemrosesan Audio
Pengkodean dan pendekodean HIFI, penghapusan derau (noise cancellation), ekualisasi
audio, emulasi akustik ambien, pencampuran dan pengeditan audio, sintesa suara.
 Pemrosesan Citra
Pemampatan dan penguraian, rotasi, transmisi dan dekomposisi citra, pengenalan pola,
perbaikan citra, retina-implant signal processing, data satelit
 Sistem Informasi
Voice mail, facsimile (fax), modem, telepon selular, modulator/demodulator, line
equalizers, enskripsi dan deskripsi data, komunikasi dan LAN digital, teknologi spread-
spectrum, LAN nirkabel, radio dan televisi, pemrosesan sinyal biomedis, digital forensic.
 Kontrol
Kontrol servo, kontrol disk, kontrol printer, kontrol mesin, navigasi dan petunjuk, kontrol
vibrasi, pemantauan powersystem, robot.
 Instrumentasi
Beamforming, waveform generation, analisis transien, analisis steady-state, instrumentasi
saintifik, radar dan sonar

Saat ini, PSD atau DSP (Digital signal processing) merupakan teknologi yang maju dan
menggantikan sistem pemrosesan sinyal analog dalam banyak aplikasi. Memang awalnya IC
analog dirancang pada ukuran yang sangat kecil, namun sekarang, dengan rancangan nanometer,
rancangan digital bahkan bisa lebih padat dan lebih kecil. Akibatnya lebih kompak, berdaya-
rendah dan murah.

3.3. Variabel sinyal

Untuk memperoleh sinyal digital ada dua dari pengirim atau komponen digital dan sinyal analog
yang dibuat digital dengan system sampling didiskritkan kemudian dengan ADC diubah ke
digital. Salah satu syarat sampling yaitu memenuhi kriteria:

1. Nyquist yaitu frekuensi sampling harus lebih besar sama dengan 2 kali frekuensi sinyal.
2. Waktu sampling atau kecepatan sampling mempertimbangkan kepentingan informasi
sinyal yang akan disampling dan pengolahan sinyal digital yang akan dilakukan dengan
memperhatikan memori sampling yang digunakan untuk menyimpan data sampling.
3. Kecepatan memroses sinyal

Sinyal digital diperoleh dari instrument atau komponen digital, maupun sampling dari
sistem analog (lihat Gambar 3.5). Contoh keluaran komputer, dari mikrokontroler, ADC atau
keluaran komponen digital lainnya.

3.3.1. Variabel Waktu Diskrit


Sinyal digital atau diskrit yang diperoleh dari sampling sinyal analog fungsi waktu, yaitu x(t),
maka diperoleh sinyal diskrit x(n)
Gambar 3.5. Sinyal analog fungsi waktu x(t) yang disampling menjadi sinyal diskrit x(n)

Sinyal diskrit hasil sampling dari bentuk sinyal kontinyu sinusoidal dinyatakan:

x(n) = A cos (ωn + ∅) ; -∞ <n< ∞

3.3.2. Sinyal Diskrit Fungsi Frekuensi


Sinyal diskrit ini diperoleh dari sinyal kontinyu fungsi frekuensi w, yang disampling dan
memperoleh fungsi diskrit dalam domain frekuensi w.

Gambar 3.6 sinyal diskrit sinusoidal yang akan menghasilkan sinyal periodic

Sinyal diskrit sinusoidal Gambar di atas akan periodik sepanjang frekuensi yang berlaku
dalam bilangan rasional. Frekuensi dipisahkan dengan integer perkalian dari 2Pf.

3.4. Sinyal dan Sistem Waktu Diskrit ( Discrete Time Signals and Systems)
Sinyal waktu diskrit merupakan fungsi variabel bebas waktu dengan bilangan bulat.
Secara mutlak, sinyal diskrit x(n) tidak didefinisikan untuk n pecahan. Represetasi sinyal waktu
diskret dalam bentuk fugsi adalah sebagai berikut:
x(n)
Sinyal diskrit unit impuls
n
x(n)
Sinyal diskrit unit step
n
x(n)
Siyal diskrit unit ramp
n
x(n)
Siyal diskrit eksponensial n

x(n) = sin(n) exp(0.2n)


y(n) = u(n) cos(n)

Jika berbentuk barisan adalah:

x(n) = {…, 2, 3, 1.5, 0, -4, …}


y(n) = {0, 1, 2, 4, 8, …}

Nilai di dalam kurung adalah kuantitatif dari amplitudo sampling dari periode yang sama. Dalam
bentuk Tabel
n -3 -2 -1 0 1 2
x(n) 8 4 -1 -2 2 7
Dari sinyal diskret waktu tersebut, maka sinyal yang dihasilkan dalam bentuk diskret dapat
dioperasikan elemnter sebagai berikut:

Penjumlahan sinyal : y(n) = x1(n) + x2(n) + ...


: y(n) = x1(n) * x2(n)* ...

: y(n) = c + x(n)

: y(n) = A x(n)

: y(n) = x(n - k)

: y(n) = x(-n)

Dari sistem waktu diskret di atas merupakan gambaran model matematis dari sistem
diskret. Model matematis ini menggambarkan hubungan input- output pada kondisi awal sistem.

Input Sistem digital output


T(x(n))
(digital) (digital)
Gambar 3.6. Sistem operasi digital (konvolusi)

Persamaan semacam ini yang menghubungkan antara input dan output disebut
persamaan beda (difference equation). Untuk kemudahan, hubungan input-ouput sering diubah
menjadi bentuk lain, atau sering disebut dengan transformasi, misalnya dengan Transformasi Z
Pembagian sistem berdasarkan karakteristiknya diantaranya:
Linieritas: sistem linier dan sistem tak linier
Variasi terhadap waktu: sistem varian waktu (time varying) dan sistem invarian waktu (time
invariant)
Kausalitas: sistem kausal dan sistem non kausal
Stabilitas: sistem stabil dan sistem tak stabil

Sistem Linier
Sistem Linier adalah sistem yang memenuhi sifat:

T[a1x1 (n) a2 x 2(n)] = a1 T[x1(n)] a2[x 2(n)]

dimana x1(n) dan x2(n) adalah input sistem, sedangkan a1 dan a2 adalah konstanta.
Buktikan bahwa sistem yang dinyatakan dengan: y(n) = 2x(n) adalah linier
Jawab:
T[a1x1(n) + a2x2(n)] = 2[a1x1(n) + a2x2(n)]
= 2a1x1(n) + 2a2x2(n)
a1T[x1(n)] + a2T[x2(n)] = a1(2x1(n))+ a2(2x2(n))
= 2a1x1(n) + 2a2x2(n)

Contoh SistemNon Linier Buktikan bahwa sistem yang dinyatakan dengan:


y(n) = [x(n)]2 adalah non linier
Jawab:
T[a1x1(n) + a2x2(n)] = [a1x1(n) + a2x2(n)]2
= a12x12(n) + 2a1x1(n) a2x2(n)+ a22x22(n)
a1T[x1(n)] + a2T[x2(n)] = a1(x12(n))+ a2(x22(n))
= a1x12(n) + a2x22(n)

Sistem Invarian Waktu yaitu: sistem yang dinyatakan dengan y(n) = T[x(n)]
disebut Time Invarian jika
y(n–k)=T[x(n–k)]
Contoh:Sistem y(n) = x(n) –x(n–1) adalah invarian waktu (time invariant) karena:
T[x(n–k)] = x(n–k) –x(n–1–k)
y(n–k) = x(n–k) –x(n–k –1)

contoh time varying waktu yang berubah

Keluaran sistem untuk setiap waktu hanya tergantung kepada input sekarang dan sebelumnya,
juga output sebelumnya
y(n) = f [x(n), x(n–1), x(n–2), …, y(n –1), y(n –2), …]
Contoh:
sistem kausal: y(n) = 2x(n) –3x(n–2)

sistem non kausal: y(n) = x(n) + 3x(n+4)

Sistem Kausal Sistem Stabil dan Tak stabil

Sistem Stabil BIBO (Bounded Input Bounded Output): output sistem adalah terbatas untuk input
terbatas
x(n)

Contoh system stabil, dinyatakan dengan


y(n) = 0,1 * y(n–1) + x(n)
dan y(-1) = 0
adalah stabil, karena ketika diberi input unit impuls,outputnya adalah:
y(0) = 0,1 * y(–1)+ x(0) = 1
y(1) = 0,1 * y(0) + x(1) = 0,1
y(2) = 0,1 * y(1) + x(2) = 0,01 dan seterusnya.

Contoh sistem takstabil yaitu Sistem yang dinyatakan dengan


y(n) = 2* y(n–1) + x(n)
dan y(-1) = 0
adalah tidakstabil, karena ketika diberi input unit impuls,outputnya adalah:
y(0) = 2* y(–1) + x(0) = 1
y(1) = 2* y(0) + x(1) = 2
y(2) = 2* y(1) + x(2) = 4
dan seterusnya

3.5. Interaksi Sinyal-Sistem


Untuk sistem LTI (Linear Time Invariant), output y(n) dicari dengan menggunakan Jumlah
Konvolusi (Convolution Sum): Sistem di bawah ini merupakan respons system dengan masukan
digital x(n) yang diproses dengan system dengan bentuk h(n) dan akan menghasilkan y(n) juga
dalam betuk digital

h(n)
Input digital x(n) konvolusi y(n)

y(n) = x(n)*h(n) = y(n) =

h(n): respons sistem LTI terhadap input impuls, ka variable bantu.

3.5.1. Diagram Waktu Diskrit

x(n) y(n) = x (n) + v(n) A


v(n) x(n) A y(n) = A x(n)
Penjumlahan Pengalian dengan konstanta
x(n) y(n) = x(n).v(n)

Perkalian
v(n)
x(n) x(n +1) x(n) Z-1 x(n-1)
Z

Delay Positif Delay Negatif


x(n) Z-1 x(n-1) Z-1 x(n-2) Z-1 x(n-3)

A1 A2 A3 A4
A2 x(n-1) A3 x(n-2) Ax3(n-3)
A1 x(n)

y(n) = A1 x(n) + A1 x(n) + A3 x(n-2) + Ax3(n-3)


Gambar Operasional sistem delay

Ada dua metode analisis, yaitu analisis respon sistem Linier Time Invariant (LTI) dari
masukan yaitu: dapat menguraikan bagian demi bagian

y(n) = f [ y(n-1), y(n-2), ……. y(n-N), x(n), x(n-1), x(n-2), ………. x(n-M)]
N M
= Σ ak y(n-k) + Σ ak x(n-k)
k=1 k=1

Dari sini dapat dilihat bahwa metode analisis penyelesaiannya tergantung kasusnya baik dengan
persamaan beda (difference equation) atau yang lainya.

Cara yang kedua yaitu analisis siyal masukan sesuai dengan posisi sampling ke n, sehingga
sinyal masukan dapat dinyatakan dengan deret jumlah Σ dari amplitude impuls. Untuk
menyatakan hasil sampling ke k, dilakukan dengan mengalikan sinyal input dengan unit impuls
d(n-k), sehingga dapat diselesaikan dengan persamaan, dan diperoleh harga yang dikalikan pada
posisi n = k, sebesar nilai amplitude digitnya di tempat yang sama karena δ n-k) = 1. Jadi
diskrit amplitude akan besarnya sama dengan aplitudo diskritnya.


x(n) = Σ x(n) δ (n-k) , untuk beberapa sampling
-∞

x(nT) = Σ x(kT) δ (n-k)T
-∞

Dimana δ (n-k)T = δ (nT-kT) mempunyai nilai 1 untuk n = k dan bol untuk lainnya, karena
fungsi delta.
Cotoh; Sinyal input diskrit x(n) = [2,3,4,7,8], jika dituliskan dengan analisis input respons adalah

x(n) = xoδ(n) + x1 δ(n-1) + x2 δ (n-2) + x3 δ (n-3) + x4 δ (n-4) adalah

= 2 δ (n) + 3 δ (n-1) + 4 δ (n-2) + 7 δ (n-3) + 8 δ (n-4)

 Lapsley, P., Bier, J., Shoham, A. dan Lee, E., 1997, DSP Processor Fundamentals, IEEE
Press, New York.

BAB IV
KONVOLUSI
Dari blok diagram gambar DSP dengan runutan sinyal analog selanjutnya disampling.
Selanjutnya sara sampling telah dibahas pada BAB III, selanjutnya ada alternative ke Digital
Fourier Transformation (akan dibahas selanjutna). Pada sub bab ni akan diungkap mengenai
Window filter.

4.1. Fungsi Window (Window Filter, lazimnya filter ruang)


Pemrosesan sinyal digital salah satu menggunakan fungsi Window (filter Window). Fungsi
window adalah suatu fungsi pemroses digital yang diluar akan bernilai 0 diluar interval yang
dipilih, sebagai contoh sebuah fungsi konstan didalam interval missal – m dan + n bernilai
konstan, tetapi diluar –m< f(n)< +n, maka diluar – m dan + n, maka mempunyai nilai nol. Jika
data dikalikan dengan fungsi window akan menghasilkan nilai yang mirip diluar –m < f(n) < n
akan sama dengan nol. Sedang jika di interval windownya akan menghasilkan nilai perkalian.
Dalam aplikasinya fungsi atau filter window digunakan non negative smooth atau penghalusan
yang tidak nol atau disebut kurva “ Bell Shaped” penyelesaian integral Secara umum tidak
hanya diluar interval menghasilkan bentuk nol, tetapi sesuai dengan spesifikasi fungsi cepat
menuju nol.

Pemrosesan sinyal diskrit atau digital dari LTI (linear time invariant) dapat
dikarakterisasi dengan unit sampel h(n) untuk setiap input x(n). Biasanya hasil sampling
dibentuk seri, misal sinyal disampling sebanyak 50 kali, maka proses DSP akan dilaksanakan
sebanyak nilai seri dari samplingnya yaitu 50 kali dan lazimnya disebut proses konvolusi. Jadi
konvolusi merupakan salah satu penyelesaian sistem LTI disamping metoda beda (difference
equation) yang merupakan solusi langsung.

Analisis
Sistem LTI

Sistem Konvolusi (grafis, Analisis Langsung (hububungan


analisis dan matriks) keluaran dengan masukan)
Analisis Beda (Differece Equation)

Konvolusi dikenal juga dengan cross corelation adalah operasi antar dua fungsi sehingga
menghasilkan fungsi ketiga yang merupakan modifikasi dari kedua fungsi aslinya.Dalam analisis
sebuah sistem, masukan dan keluaran merupakan sebuah sinyal yang dapat dinyatakan dalam
bentuk tabel, fungsi matematis ataupun grafis. Akibat pengolahan sistem, fungsi matematis
sinyal berubah. Gambar 4.1 menunjukkan proses konvolusi dengan keluaran y(n), masukan
adalah sinyal diskrit atau sampling x(n) dan unit pemroses adalah h(n)

x(n) Unit sample y(n)


h(n)
input output

Gambar 4.1 Proses konvolusi

Sinyal waktu diskrit merupakan fungsi dari argument yang hanya bernilai pada bagian
diskrit dari waktu x[n] misal dimana n {...-2,-1,0,1,2,3,4...}. Nilai x bisa real ataupun kompleks.
Sinyal diskrit adalah sinyal yang digunakan dalam domain teknik engineering berbasis digital.
Banyak cara untuk menyelesaikan konvolusi sinyal diskrit, diantaranya yaitu dengan cara grafis
atau analisis dan cara matrik. Salah satu diantaranya yang sangat sederhana adalah secara grafis.
Cara ini yang paling mudah difahami secara visual, serta perhitungannya tidak membutuhkan
matematik tingkat tinggi.
Secara matematis, konvolusi DSP adalah integral yang mencerminkan jumlah
cakupan dari sebuah fungsi diskrit x(n) yang digeser atas fungsi h(n) sehingga
menghasilkan fungsi y(n). Konvolusi dilambangkan dengan asterisk ( *). konvolusi terus
dievaluasi pada setiap pergeseran n dengan perkalian x[k] dan h[n-k] untuk semua nilai n, yang
berjalan dari minus tak berhingga (-∞) sampai plus tak berhingga (+∞). Proses konvolusi sangat
berguna untuk menggambarkan beberapa efek spektrum yang terjadi secara luas dalam
pengukuran, seperti pengaruh dari low-pass filter pada sinyal listrik atau pengaruh spektral
bandpass pada spektrometer dalam bentuk spektrum. Jadi penyelesaian kovolusi dua fungsi f(x)
dan g(x) menghasilkan h(x) adalah

a adalah peubah bantu, x waktu sampling diskrit ada yang menggunakan n.


Konvolusi dari dua buah sinyal waktu diskrit, x(n) dan h(n) secara matematis dinyatakan dalam
rentang batas :
y(n) = x(n)*h(n) ............................................................ (4.1).

4.2. Menghitung Konvolusi dua Sinyal

4.1. 1. Secara Grafis

Jika dua buah sinyal diskrit x(n) dan h(n) mempunyai representasi sebagai berikut:
Agar dapat menyelesaikan permasalahan ini dilakukan tahapan – tahapan berikut :
1. Gambarkan terlebih dahulu bentuk sinyal x(k) yang sama dengan x(n) dan h(k) yang sama
dengan h(n)
2. Cerminkan / putar sinyal h[k], sehingga menjadi h(n-k).
3. Susun sinyal x(n) dan h(n-k), lalu lakukan perkalian x(n) dan h(n-k) pada setiap pergeseran n.
Hitung untuk n=0 y(0)= = 1*1 =1. Gambarkan y(0)=1
4. Geser h(n-k) ke kanan 1 step, lalu hitung untuk n=1 yaitu y(1)=1*1+1*2=3. Selanjutnya
gambarkan y(1)=3.
5. Geser h(n-k) ke kanan 1 step, lalu hitung untuk n = 2 y[1] = 1*1+1*2 + 1*3 = 6.
Selanjutnya gambarkan y[2]=6.
6. Geser h(n-k)
Selanjutnya gambarkan y[3]=8.
7. Geser h[n- y[1]=1*1+1*2+1*3+1*2+1*1=9.
Selanjutnya gambarkan y[4]=9.
8. Geser h[n-
Selanjutnya gambarkan y[5]=8.
9. Geser h[n-k] ke kanan 1 step, lalu hitung untuk n=6 yaitu y[6]=1*3+1*2+1*1=6. Selanjutnya
gambarkan y[6]=6.
10. Geser h[n-k] ke kanan 1 step, lalu hitung untuk n=7 y[7]=1*2+1*1=3. Selanjutnya
gambarkan y[7]=3.
11. Geser h[n-k] ke kanan 1 step, lalu hitung untuk n=8 y[8]=1*1=1. Selanjutnya gambarkan
y[8]=1
Sehingga diperoleh dari posisi akhir sinyal adalah seperti berikut :
Cara grafis ini sering juga disebut cara analitis, karena proses peletakan grafis dirunutkan
dalam angka angka, sehingga tidak memerlukan grafis, hanya melihat angka angka yang berada
di atasnya. Prosedurnya sama misal: y(n) = x(n)*h(n).

x(n) = (1, 2, 3, 1)
h(n) = (1, 2, 1, -1)

Prosedur sama dengan grafis, misal h(n) dibalik urutannya menjadi h(n) = (-1, 1, 2, 1).
Geser mulai dengan n = 0, kalikan x(n) dengan h(n) selanjutnya dijumlahkan semua diperoleh
y(n) lihat Tabel di bawah.
4.1.2. Cara Matrik

Cara lain menentukan keluaran sebuah sistem diskrit dengan konvolusi dilakukan dengan
membuka sigma (Σ) dan mengoperasikan perkalian antara x(k) dengan h(n-k) atau
sebaliknya h(k) dengan x(n-k) pada batas batas yang ditentukan:

 Metode komutatif y(n) = x(n) * h(n) = h(n) * x(n)

∞ ∞
y(n) = x(n) * h(n) = Σ x(k) h(n-k) = Σ h(k) x(n-k)
k=-∞ k=-∞

Bentuk konvolusi dengan panjang konvolusi: P = X + H – 1 = 4 + 5 – 1 = 8 (n= 0,1, …….. 7)


Dimana X ukuran/panjang sinyal input x(n), H panjang sistem pemroses (pengali) h(n)
Perhitungan konvolusi:
n ∞ ∞
y(n) = x(n) * h(n) = Σx(k) h(n-k) = Σh(k) x(n-k)
k=-∞ k=-∞

0 y(0) = h(0)x(0) + h(0)x(0-1) + h(0)x(0-2)


1 y(1)= h(0)x(1-0) + h(1)x(1-1) + h(2)x(1-2) + h(3)x(1-3) +
2 y(2)= h(0)x(2-0) + h(1)x(2-1) + h(2)x(2-2) + h(3)x(2-3) + h(4)x(2-4) +
3 y(3)= h(0)x(3-0) + h(1)x(3-1) + h(2)x(3-2) + h(3)x(3-3) + h(4)x(3-4) + h(5)x(3-5) +

n-1 y(n-1)= h(0)x[(n-1)-0] + h(1)x[(n-1)-1] + h(2)x[(n-1)-2] + h(3)x[(n-1)-3] +


+ h(4)x[(n-1)-4] + h(4)x[(n-1)-4] + …………….. h(n-1)x[(n)]

Bentuk Matrik

x x0 x1 x2 x3 x4
h
h0 h0x0 h0x1 h0x2 h0x3 h0x4

h1 h1x0 h1x1 h1x2 h1x3 h1x4

h2 h2x0 h2x1 h2x2 h2x3 h2x4

h3 h3x0 h3x1 h3x2 h3x3 h3 x4

4.1.3. Cara Transformasi


Penyelesaian konvolusi dilakukan dengan cara transformasi Z yaitu:
y(n) = x(n)* h(n)
Y(z) = X(z) H(z)
Contoh konvolusi: x(n) = [0, 1, 1. 1, 0]; h(n) = [1, 2, 3, 2, 1] hasil transformasi Z adalah
Y(z) = (0 + z-1 + z-2 + z-3 + 0). (1z-0 +2 z-1 + 3z-2 +2 z-3 + 1z-4)
= (0 + z-1 + 3z-2 +6 z-3 + 7z-4 +6z-5 +3 z-6 + z-7 + 0) = (0, 1, 3, 6, 7, 6, 3, 1, 0)

4.1.4. Cara Unit Sample Respons


Untuk memanfaatkan konvolusi dapat digunakan uit sample respons, maka akan
diperoleh persamaan output dengan input variable yang dapat diubah ubah sesuai
inputnya.
Contoh: konvolusi: x(n) = [0, 1, 1. 1, 0]; h(n) = [1, 2, 3, 2, 1] nyatakan dalam unit
sampler.
x(n) = d(n) + d(n-1) + d(n-2) + d(n-3) + d(n-4) adalah
h(n) = d(n) + d(n-1) + d(n-2) + d(n-3) + d(n-4)
dengan y(n) = x(n)* h(n) atau
y(n) = x(n)* [d(n) + d(n-1) + d(n-2) + d(n-3) + d(n-4)]
= x*d(n) + x(n)*d(n-1) + x(n)* d(n-2) + x(n)* d(n-3) + x(n)* d(n-4)
= x(n) + x(n-1) + x(n-2) + x(n-3) +x(n-4) yang berarti y(n) fungsi x(n), karena d bernilai
1 dan nilai x (n) berubah pada sampling d(n) + d(n-1) + d(n-2) + d(n-3) + d(n-4).

Substitusikan x(n) pada persamaan di atas, maka diperoleh nilai y(n) adalah:

y(n) = [d(n) + d(n-1) + d(n-2) + d(n-3) + d(n-4)] + [ d(n-1) + d(n-2) + d(n-3) + d(n-4) +
+d(n-5] + [d(n-2) + d(n-3) + d(n-4) + d(n-5) + d(n-6)] + [ d(n-3) + d(n-4)+ d(n-5)
+ d(n-6) + d(n-7)] + [d(n -4) +d(n-5) + d(n-6) + d(n-7) + d(n-8)].

Selajutnya dikelompokkan suku yang sejenis:


y(n) = 1 d(n) + 2d(n-1) + 3d(n-2) + 4 d(n-3) + 5d(n-4)] + 4d(n-5) +3 d(n-6) +2 d(n-7)] +
+1 d(n-8)]. Jadi y(n) = [1, 2, 3, 4, 5, 4, 3, 2, 1]

4.2. Implementasi

Proses konvolusi diskrit banyak dijumpai pada aplikasi engineering dan matematik,
seperti dalam pengolahan citra untuk memperhalus (smoothing) menajamkan (crispening)
mendeteksi tepi (edge detection) dan efek lainnya, pada pada teknik listrik. Dalam suatu sistem
Linier Time Invariant (LTI), konvolusi dari satu sinyal input dengan impulse menghasilkan
output (respon) . Pada saat tertentu, output tersebut adalah efek akumulasi dari semua nilai-nilai
sebelumnya dari fungsi input. Dengan menghitung konvolusi sebuah sinyal dapat ditentukan cara
kerja transformasi wavelet kontinyu (TWK) pada sebuah jendela modulasi setiap waktu dari
setiap skala yang diinginkan. Proses ini umumnya digunakan di dalam penelitian ilmiah seperti
respon transient, respon impulse, analisis nilai jenuh, dan pengenalan suara dsb.
Proses konvolusi untuk penghalusan citra seperti Gambar di bawah, gambar atas adalah
sinyal penuh dengan noise, selanjutnya dilakukan konvolusi menghasilkan sinyal yang bersih
pada gambar di bawanya yaitu pemfilteran atau penghalusan dengan konvolusi.

4.2.1 Konvolusi dengan Matlab pada DSP


Misalnya diketahui :
x(n) = [3, 11, 7, 0, -1, 4, 2], -3 ≤ n ≤ 3
h(n) = [2, 3, 0, -5, 2, 1] -1≤ n ≤ 4
cari konvolusi y(n) = x(n) * h(n).

Gunakan MATLAB fugsi sebut CONV yang menghitung konvolusi tersebut di atas dimulai
pada n = dan perintahnya adalah: y = conv (x,h);
Untuk mencari nilai-nilai y(n) untuk contoh di atas, program MATLAB-nya adalah:
%----------------------------------------------------------------------
%Nama File : Konvolusi_1.m
%Oleh : Anonim
%----------------------------------------------------------------------
x(n) = [3, 11, 7, 0, -1, 4, 2];
h(n) = [2, 3, 0, -5, 2, 1];
y = conv(x,h);

Walupun demikian, fungsi CONV tidak menyediakan dan tidak pula menerima informasi
pewaktuan apapun jika sekuen mempunyai support yang sembaarang. Apa yang dipeerlukan
adalah titik awal dan akhir dari y(n). Diberikan suatu durasi tertentu x(n) dan y(n) sangatlah
mudah untuk menentukan titik-titik ini. Misalnya:
{x(n); nxb ≤ n ≤ nxe} dan {h(n); nhb ≤ n ≤ nhe}
Adalah dua durasi tertentu suatu sekuen. Kita lihat bahwa titik awal dan akhir dari y(n) adalah
berturut-turut:
nyb = nxb + nhb dan nxe + nhe
Perluasan dan fungsi conv ( disebut conv_m.m) yang melakukan konvolusi dengan dukungan
runutan yang acak dapat dirancang. Perhatikan berikut ini:

% [y,ny] = conv_m(x,nx,h,nh)
% [y,ny] = hasil konvolusi
% [x,nx] = sinyal pertama
% [h,nh] = sinyal kedua
nyb = nx(1) + nh(1);
nye = nx(length(x)) + nh(length(h));
ny = [nyb;nye];
y = conv(x,h);

Lakukan konvolusi : x(n) = [3, 11, 7, 0, -1, 4, 2], untuk -3 ≤ n ≤ 3


dengan h(n) = [2, 3, 0, -5, 2, 1], untuk -1≤ n ≤ 4,
Hasil:
%----------------------------------------------------------------------
%Nama File : Konvolusi_1.m
%Oleh
%----------------------------------------------------------------------
x = [3, 11, 7, 0, -1, 4, 2];
nx = [-3:3];
h = [2, 3, 0, -5, 2, 1];
nh = [-1:4];
[n,ny]=conv(x,nx,h,nh)

Sehingga:
Y(n) = {6, 31, 47,6, -51, -5, 41, 18, -22, -3, 8, 2}

4.2.2. Konvolusi Sinyal Discrete Unit Step


Membangkitkan sebuah sinyal unit step diskrit yang memiliki nilai seperti berikut:

Dan melakukan operasi konvolusi yang secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut:
x[n]*v[n]
Untuk itu langkah yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Bangkitkan sinyal x[n] dengan mengetikkan perintah berikut:
L=input('Panjang gelombang(>=10) : ');
P=input('Lebar pulsa (lebih kecil dari L): ');

%----------------------------------------------------------------------
%Nama File : Konvolusi_2.m
%Oleh :
%----------------------------------------------------------------------
%Sinyal x(n)
for n=1:L
if n<=P
x(n)=1;
else
x(n)=0;
end
end
t=1:L;
subplot(3,1,1)
stem(t,x)

2. Jalankan program dan tetapkan nilai L=20 dan P=10.


3. Selanjutnya masukkan pembangkitan sekuen unit step ke dua dengan cara menambahkan
syntax berikut ini di bawah program anda pada langkah pertama:

%Sinyal v(n)

for n=1:L
if n<=P
v(n)=1;
else
v(n)=0;
end
end
t=1:L;
subplot(3,1,2)
stem(t,v)

4. Coba jalankan program dan tambahkan perintah berikut:

subplot(3,1,3)
stem(conv(x,v)) %Konvolusi sinyal: x(n)*v(n)

5. Coba anda jalankan seperti pada langkah kedua, dan apakah hasilnya seperti ini?

Gambar 6.2. Contoh Hasil Konvolusi

6. Ulangi langkah ke 5 dan rubahlah nilai untuk L=12, 15, dan 12.
Sedangkan untuk P masukkan nilai 10, 5, dan 12, apa yang terjadi?
4.2.3 Konvolusi Dua Sinyal Sinus
Di sini kita mencoba untuk membangkitkan dua sinyal sinus dan melakukan operasi
konvolusi untuk keduanya. Langkah yang harus anda lakukan adalah sebagai berikut:

1. Buat program untuk membangkitkan dua gelombang sinus seperti berikut:

 L =input('Banyaknya titik sampel(>=20): ');


 f1 =input('Besarnya frekuensi gel 1 adalah Hz: ');
 f2 =input('Besarnya frekuensi gel 2 adalah Hz: ');
 teta1=input('Besarnya fase gel 1(dalam radiant): ');
 teta2=input('Besarnya fase gel 2(dalam radiant): ');
 A1 =input('Besarnya amplitudo gel 1: ');
 A2 =input('Besarnya amplitudo gel 2: ');

%----------------------------------------------------------------------
%Nama File : Konvolusi_3.m
%Oleh :
%----------------------------------------------------------------------
%Sinus pertama
t=1:L;
t=2*t/L;
y1=A1*sin(2*pi*f1*t + teta1*pi);
subplot(3,1,1)
stem(y1)
%SInus kedua
t=1:L;
t=2*t/L;
y2=A2*sin(2*pi*f2*t + teta2*pi);
subplot(3,1,2)
stem(y2)

2. Coba anda jalankan program anda dan isikan seperti berikut ini:
Banyaknya titik sampel(>=20): 20
Besarnya frekuensi gel 1 adalah Hz: 1
Besarnya frekuensi gel 2 adalah Hz: 0.5
Besarnya fase gel 1(dalam radiant): 0
Besarnya fase gel 2(dalam radiant): 0.5
Besarnya amplitudo gel 1: 1
Besarnya amplitudo gel 2: 1
Perhatikan tampilan yang dihasilkan. Apakah ada kesalahan pada program anda?

3. Lanjutkan dengan menambahkan program berikut ini pada bagian bawah program yang anda buat
tadi.

subplot(3,1,3)
stem(conv(y1,y2))

4. Jalankan program tersebut, dan kembali lakukan pengisian seperti pada langkah ke 3. Lihat
hasilnya dapat dilihat tampilan seperti berikut

Gambar 6.3. Contoh Hasil Konvolusi Dua Sinyal Sinus

5. Ulangi langkah ke 4, dengan menetapkan nilai sebagai berikut: L=50. w1=w2=2, teta1=1.5,
teta2=0.5, dan A1=A2=1. Apa yang anda dapatkan? Apakah anda mendapatkan hasil yang
berbeda dari program sebelumnya? Mengapa ?

4.2.4 Konvolusi Sinyal Bernoise dengan Raise Cosine


Sekarang kita mulai mencoba utnuk lebih jauh melihat implementasi dari sebuah operasi
konvolusi. Untuk itu ikuti langkah-langkah berikut.
1. Bangkitkan sinyal raise cosine dan sinyal sinus dengan program berikut.

%----------------------------------------------------------------------
%Nama File : Konvolusi_3.m
%Oleh :Tri Budi Santoso dkk
%----------------------------------------------------------------------
%convolusi sinyal sinus bernoise dengan raise cosine;
n=-7.9:.5:8.1;
y=sin(4*pi*n/8)./(4*pi*n/8);
figure(1);
plot(y,'linewidth',2)
t=0.1:.1:8;
x=sin(2*pi*t/4);
figure(2);
plot(x,'linewidth',2)

Gambar 4.14. Sinyal Raise Cosine


Gambar 4.15. Sinyal Sinus Asli

2. Tambahkan noise pada sinyal sinus.

t=0.1:.1:8;
x_n=sin(2*pi*t/4)+0.5*randn*sin(2*pi*10*t/4)+,... 0.2*randn*sin(2*pi*12*t/4);
figure(3);
plot(x_n,'linewidth',2)

Gambar 4.16. Sinyal Sinus Bernoise

3. Lakukan konvolusi sinyal sinus bernoise dengan raise cosine, perhatikan apa yang terjadi?
xy=conv(x_n,y);
figure(4);
plot(xy,'linewidth',2)
Gambar 4.17. Hasil Konvolusi

5. Coba anda lakukan perubahan pada nilai sinyal raise cosine dengan mengurangi rentang
nilai pada n, bisa anda buat lebih pendek atau lebih panjang, dan ulangi lagi langkah 3,
catat apa yang terjadi.

4.2.5 Konvolusi Sinyal Audio

Coba kita lihat bersama bagaimana pengaruh operasi konvolusi pada sinyal audio, dalam
hal ini kita ulangi permainan seperti pada modul sebelumnya. Untuk itu ikuti langkah
berikut.

1. Buat sebuah program baru sebagai brikut:

%----------------------------------------------------------------------
%Nama File : Konvolusi_4.m
%Oleh :Tri Budi Santoso dkk
%----------------------------------------------------------------------
%convolusi_1.m
clear all;
[Y,Fs] = wavread('lagu_1_potong.wav');
Fs = 16000;%nilai default Fs=16000
sound(Y,Fs)

Apa yang anda dapatkan?

2. Beri tanda % pada sound(Y,Fs) untuk membuatnya tidak diekesekusi oleh Matlab,
sehingga menjadi % sound(Y,Fs). Kemudian tambahkan perintah berikut.

nois = randn(length(Y),1);
Y_noise = Y + 0.08*nois;
sound(Y_noise,Fs)

Coba amati lagi apa yang terjadi?


3. Buat perintah sound tidak aktif, kemudian bangkitkan sebuah sinyal yang bernilai 1
dengan
cara seperti berikut.

satu = ones(4,1);

4. Lakukan operasi konvolusi dan dengarkan hasilnya pada speaker anda

Y_c = conv(satu,Y_noise);
sound(Y_c,Fs)

4.3. Aplikasi Konvolusi Pada Perbaikan Citra

Konvolusi pada perbaikan citra adalah merupakan teknik spasial filtering atau pemfilteran
secara ruang pada citra atau gambar yang lazimnya. Titik yang akan diproses beserta titik-titik
disekitarnya (tetangganya - neighbor) dimasukkan kedalam sebuah matrik 2 (dua) dimensi yang
berukuran n x m. Atau konvolusi dari piksel utama yang sama dengan jumlah berbobot dari
piksel-piksel di sekeliling (matrik tetangga) dari piksel utama. Bobot ditentukan oleh matrix
kecil yang disebut mask konvolusi atau kernel konvolusi. Dimensi matrix mask biasanya
kelipatan ganjil, karena titik atau piksel yang akan diproses berada di tengah dari matrik, dimana
posisi tengahnya berkaitan dengan posisi piksel output.

Untuk citra konvolusi ditulis: y(n,m) = x(n,m) * h(n,m)

Jendela konvolusi pada citra atau gambar dilakukan tahapan dengan bingkai bergerak yang
berpusat pada tiap piksel pada citra input untuk menghasilkan piksel-piksel yang baru. Jumlah
bobot pada mask berpengaruh pada intensitas keseluruhan dari citra yang baru.

Jumlah = 1, berarti intensitas citra output = intensitas citra input


Jumlah = 0 berarti piksel yang baru bernilai negatif dan harus ditambahkan dengan suatu
konstanta (intensitas max/ 2); jika msh negatif, pixel = 0. Untuk menyelesaikan konvolusi citra:

1. Posisi pertama konvolusi dimulai dari tempat jendela konvolusi yang tidak
bertimpaan dengan tepi citra mask 3x3: posisi pertama adalah (1, 1) bukan (0, 0)
2. Ukuran citra diperbesar dengan menduplikasi tepi citra sebelum dilakukan
konvolusi dengan mask 3x3 dapat disalin baris atas, sisi kiri, sisi kanan dan baris
bawah

Contoh: Sebuah citra dengan pusat T dengan matrik kecil dengan tetangganya ukuran (n,m)
= (3x3), akan diperbaiki citra disekitar T, dengan ukuran matrik tetangganya ganjil (3x3)
tersebut. Selain matrik tetangga ukuran (3x3) tersebut, teknik spatial filtering menggunakan
sebuah matrik lain lagi yaitu matrik konvolusi (mask/kernel) yang ukurannya sama dengan
matrik tetangga tadi yaitu (3x3) dalam hal ini adalah matrik Kernel sehingga terbentuk formula
konvolusi (lihat Gambar 4.) . hasil konvolusi citra ditaruh oapada matrik baru.

X(n,m)
= (3x3)

Piksel utama T dan Matrik Matrik tetangga (3x3) pada citra (P1..P9) dan
Tetangga (3x3) matrik kernel/mask (3x3) dengan (A …..I)

Gambar 4.20. konvolusi dari gambar/citra

Dari gambar 4.20 di atas, diperoleh hasil:

x(n.m) = AP1 + BP2 + CP3 + DP4 + EP5 + FP6 + GP7 + HP8 + IP9

Contoh konvolusi gambar ukuran matrik 5 x 5 piksel dan gray scale (keabuan maksimum) 8, dari
filter spasial dilihat nilai maksimum 7.

X(n,m) = (5x-2) +(5x-1)+(4x0)+(0x-


1)+(5x0)+(4x1)+(6x0)+(1x1)+(3x2) = - 4
Hasil konvolusi matrik gambar dengan image mask adalah - 4 ditaruh pada kolom pusat matrik.
Hasil seluruh perhitungan dapat dilihat dalam Gambar di bawah ini. Selanjutnya dilakukan
normalisasi, Dalam normalisasi jika hasilnya negative, maka dijadikan 0 (nol), jika hasilnya
diatas maksimum nilai ke abuan diambil nilai keabuan maksimum dari citra atau gambar dari
Gambar di atas nilai keabuan maksimum 7, jadi setelah dikonvolusi dilakukan normalisasi
diperoleh matrik di sebelah kanan.

4.3.1. Operasi Piksel per Piksel

Contoh selanjutnya operasi konvolusi dengan kernel piksel perpiksel dari gambar/citra dengan
matrik (5 x 5), dan hasil matrik disimpan dalam matrik yang baru:

Tanda dot biru menunjukkan posisi kernel (0 x0)

Konvolusi ke 1
Tempatkan kernel pada sudut kiri atas, kemudian dihitung nilai piksel pada posisi (0 x 0) dari
kernel
Hasil konvolusi sebagai berikut: (0x4) + (-1x4) + (0x3) + (-1x6) + (-1x5) + (0x5) + (-1x6) +
(0x6) = 3 .
Hasil konvolusi 3 tersebut ditaruh pada kotak utama matrik (0x0) lihat Gambar di atas.

Konvolusi ke 2,
Geser kernel satu piksel ke kanan kemudian hitung nilai piksel pada posisi (0,0) dari Kernel
piksel no 1:

Hasil konvolusi sebagai berikut: (0x4) + (-1x3) + (0x5) + (-1x6) + (1x5) + (4x5) + (-1x5) +
(-1x6) + (0x6) = 0 .

Hasil konvolusi 0 tersebut ditaruh pada kotak utama matrik (0x0) lihat Gambar di atas.

Konvolusi tahap ke 3
Selanjutnya, geser kernel satu piksel ke kanan kemudian hitung nilai piksel pada posisi (0,0) dari
Kernel piksel no 2:
Hasil konvolusi sebagai berikut: (0x3) + (-1x5) + (0x4) + (-1x5) + (4x5) + (-1x2) + (0x6) +
(-1x6) + (0x2) = 2 .
Hasil konvolusi 2 tersebut ditaruh pada kotak utama matrik (0x0) lihat Gambar di atas.

Konvolusi tahap ke 4
Selanjutnya geser kernel satu piksel ke bawah lalu mulai lagi melakukan konvolusi dari sisi kiri
citra. Setiap kali konvolusi, geser Kernel satu piksel kekanan dan lakukan lagi perhitungan yang
sama (lihat Gambar di bawah) dan seterusnya.

Hasil konvolusi ini adalah: (0x6) + (-1x6) + (0x5) + (-1x5) + (4x6) + (-1x6) + (0x6) + (-1 x7) +
(0x5) = 0
Hasil konvolusi 0 tersebut ditaruh pada kotak utama matrik (0x0) lihat Gambar di atas.

Konvolusi tahap ke 5

Selanjutnya, geser Kernel satu piksel ke kanan lalu mulai lagi melakukan konvolusi dari sisi
kiri citra. Setiap kali konvolusi, geser Kernel satu piksel kekanan dan lakukan lagi perhitungan
yang sama (lihat Gambar di atas) dan seterusnya.
Hasil konvolusi ini adalah: (0x6) + (-1x5) + (0x5) + (-1x6) + (4x6) + (-1x6) + (0x7) + (-1 x5) +
(0x5) = 2
Hasil konvolusi 2 tersebut ditaruh pada kotak utama matrik (0x0) lihat Gambar di atas.

Konvolusi tahap ke 6

Selanjutnya, geser Kernel satu piksel ke kanan lalu mulai lagi melakukan konvolusi dari sisi
kiri citra. Setiap kali konvolusi, geser Kernel satu piksel kekanan atau ke bawah dan lakukan lagi
perhitungan yang sama (lihat Gambar di atas) dan seterusnya.

Hasil konvolusi ini adalah: (0x5) + (-1x5) + (0x2) + (-1x6) + (4x6) + (-1x2) + (0x5) + (-1 x5) +
(0x3) = 6
Hasil konvolusi 6 tersebut ditaruh pada kotak utama matrik (0x0) lihat Gambar di atas.

Masalah yang timbul pada konvolusi tersebut adalah Piksel pinggir (border), karena beberapa
koefisien konvolusi tidak dapat diposisikan pada piksel piksel citra yang disebut Efek
Menggantung “ hang effect” seperti matrik yang diperoleh di bawah ini (tanda tanya). Hal ini
akan selalu terjadi pada piksel-piksel pinggir kiri, kanan, atas dan bawah solusi masalah ini
adalah dengan menggunakan [SID95].
Hasil akhir matrik baru dari konvolusi citra dalam bentuk matrik

1. Ada beberapa cara untuk mengolah piksel – piksel yang berada di tepi citra
2. Piksel-piksel pinggir diabaikan, tidak dikonvolusi, Cara demikian banyak dipakai
di dalam pustaka fungsi yaitu fungsi pengolahan citra. Dengan cara demikian,
maka piksel-piksel pinggir nilainya sama seperti citra asal (tidak berubah).
3. Akan terjadi duplikasi elemen citra/gambar, misal elemen kolom pertama disalin ke
kolom (m + 1), begitu juga sebaliknya, lalu konvolusikan piksel-piksel pinggir
tersebut.
4. Elemen yang ditandai dengan ? atau zero-padding yang kosong diasumsikan
dengan nilai 0 atau konstanta lain (nilai aslinya), sehingga piksel-piksel pinggir
dapat dioperasikan.
5. Solusi ketiga pendekatan di atas mengansumsikan bagian pinggir citra/gambar
lebarnya sangat kecil (hanya satu piksel) dibandingkan dengan ukuran gambar
yang ada, sehingga piksel-piksel yang diasumsikan tersebut tidak memberikan
pengaruh signifikan jika dilihat (contoh matrik di Gambar bawah)

4 4 3 5 4
6 3 0 2 2
5 0 2 6 2
6 6 0 2 3
3 5 2 4 4
6. Jika hasil konvolusi menghasilkan nilai pixel negatif, maka nilai tersebut dijadikan
nol, sebaliknya jika hasil konvolusi menghasilkan nilai pixel yang lebih besar dari
nilai maksimum, maka nilai tersebut dijadikan ke nilai keabuan maksimum.
7. Untuk pixel tepi tidak dikonvolusi, jadi nilainya tetap sama seperti citra asal,
Sehingga hasil secara keseluruhan adalah seperti gambar berikut :
Jadi apa sebenarnya konvolusi dengan korelasi

Konvolusi adalah salah satu proses filtering atau masking atau kernilisai image yang sering
dilakukan pada proses pengolahan gambar. Pada MATLAB terdapat banyak sekali cara yang
dapat dilakukan untuk melakukan proses konvolusi. Proses konvolusi dilakukan dengan
menggunakan matriks yang biasa disebut mask yaitu matriks yang berjalan sepanjang proses dan
digunakan untuk menghitung nilai representasi lokal dari beberapa piksel pada image lebih
dikenal Kernel

Sedangkan Korelasi pada statistika adalah keterkaitan/hubungan linier antara dua peubah acak.

Jadi inti konvolusi di sini adalah memfilter/masker atau mekorelasikan gambar, sehingga
diperoleh lebih jelas, seperti terlihat pada gambar di bawah. Untuk melakukan pemfilteran dapat
dilakukan dengan cara memasang filter: Low Pass Filter (LPF), Band Pass Filter (BPF), High
Pass Filter (HPF), Laplacian, Directional, Roberts, Sobel maupun Gaussian, hal ini akan dibahas
pada BAB VI mengenai filter.

Untuk penapis atau filter LPF sering disebut averaging filter atau perata-rata, untuk hardware
disebut unit perata-rata. Filter LPF ini akan menghasilkan citra yang lebih lembut (smooth)
sehingga terkesan kabur (Blur), dan mengurangi kisaran tinggi abu-abu. Jumlah koefisien =1
yang berarti jika lebih besar dari 1 akan menghasilkan penguatan (penajaman).

Filter Kernel perata-rata ukuran (3x3) Filter Kernel perata-rata berbobot


Filter dengan koefisien sama disebut (weighted averaging) (3x3)
Filter/penapis kotak

Untuk program MATLAB, berikut ini cara membuka AMTLAB:

1. Buka aplikasi MATLAB,


2. lalu pilih file>>new>>m-file
3. masukan perintah dibawah ini ( gambar agar mudah untuk mengetik dan dimengerti)

4. selanjutnya SAVE/CTRL+S ,
5. Yang perlu diingat sebelum tekan F5. Pada gambar di atas yang digaris bawahi dengan
warna merah, itu menunjukan gambar, artinya masukan/simpan gambar tsb yang akan di
konvolusi di direktori file(.m) pada gambar atas (yang disave diatas, gambar terdapat
:D
6. dan terakhir tekan F5.
7. Keluar tampilan gambar baru yang sudah dikonvolusi.
Sebelum sesudah di konvolusi

Konvolusi pada MATLAB. terlihat jelas perbedaannya. Di atas sudah dijelaskan proses
perhitungan dengan menggunakan korelasi tersebut. Disini mengambil sample dari matriks yang
belum di konvolusi dan yang sudah di konvolusi dapat dilihat dalam gambar sepatu diatas. Gurat
lebih jelas setelah difilter.

Penggunaan Konvolusi adalah:

1. Perbaikan kualitas citra (image enhancement)


2. Penghilangan derau.
3. Penghalusan/pelembutan citra.
4. Deteksi tepi, penajaman tepi.
5. Dll.

Referensi
http://ensiklopediseismik.blogspot.com/2007/06/konvolusi-convolution.html,
http://en.wikipedia.org/wiki/Convolution,
http://www.sfu.ca/~truax/conv.html,
http://www.mathworks.com.

Anda mungkin juga menyukai