BAB I
PENDAHULUAN
Sinyal adalah fenomena atau informasi yang berasal dari alam raya ini dari benda hidup
ataupun benda mati atau dari Sang Pencipta alam dalam bentuk apa saja yang dapat memberikan
pengertian atau tidak bagi yang menerima atau memerlukan atau pengguna (user) dengan
variable bebas (waktu , ruang, frekuensi dsb). Sinyal dalam domain frekuensi, amplitude sinyal
mengalami perubahan setiap saat. Sedang sinyal dalam domin frekueni ysng di ketahui adalah
spectrum atau perubahan frekuensi dengan perubahan magnitude (kekerasan suaranya) tanpa
merubah frekuensinya.
Sinyal domain frekuensi dapat dikembalikan ke sinyal domain waktu, menggunakan Transformasi
Fourier (TF).
Gambar 1.0. Gelombang sinus sinyal domain waktu (kiri), dalam domain
frekuensi (kanan)
Sebelum membahas masalah sinyal digital, sebaiknya perlu dimengerti, apa itu sinyal ?
Sinyal adalah informasi dalam bentuk apa saja (fisis ataupu lainya) yang dapat
memberikan pengertian bagi yang memerlukan atau pengguna (user) dengan variable
bebas (ruang atau waktu ataupun lainnya). Secara matematis, sinyal dijelaskan sebagai suatu
fungsi dari satu atau lebih variabel bebas. Sinyal dapat berbentuk isyarat, kode, tulisan suara,
lambang, gambar, kode cahaya, kode bendera dsb.
Contoh sinyal:
Sinyal elektrik: tegangan dan arus pada rangkaian
Sinyal akustik: audio atau sinyal percakapan (analog atau digital)
Sinyal video: variasi intensitas pada sebuah citra
Sinyal biologikal : urutan pada gen
kode gambar, lambang bendera pramuka
Kode cahaya dengan lampu senter
Sinyal suara: Tangis bayi yang baru lahir
Pengertian variable bebas; adalah penentu karakter sinyal yang merupakan penentu ciri
dan dapat berubah-ubah. Dalam kasus pembahasan sinyal ini adalah:
Kontinyu
Lintasan pesawat luar angkasa
Tegangan/voltase listrik
Diskrit (terputus-putus dapat dalam bentuk digital)
DNA
Piksel pada citra digital
Dapat berupa 1-D, 2-D, . . . N-D disebut Sinyal Multikanal dan Sinyal
multidimensi
• Sinyal Multikanal
Sk(t) dimana k=1,2,3, merupakan sinyal dari sensor/sumber ke-k
yang merupakan fungsi waktu, maka: sinyal ini merupakan vektor multikanal
• Sinyal Multidimensi
Sinyal tergantung dari lebih dari 1 variabel bebas, maka sinyal tsb
disebut dengan sinyal multidimensi.
Fokus pada 1-D, variabel “waktu”, variable frekuensi, fariabel fasa dsb. (lazimya
disertakan amplitude)
Sinyal waktu kontinu, x(t), t, kontinyu
Sinyal dalam satu dimensi dalam bentuk variable tunggal, yaitu sinyal dalam satu gerak
ordinat dalam hal ini peubah bebasnya disebut ‘waktu’ dilambangkan dengan t, sehingga
amplitude sinyal ditulis sebagai x(t), y(t), h(t), …….
Kebanyakan sinyal satu dimensi dalam dunia nyata adalah fungsi dari waktu berubah,
seperti tegangan, arus listrik, suhu, kecepatan, tekanan, radiasi matahari dll.
Dari klasifikasi di atas, maka sinyal waktu kontinyu dapat dijelaskan sebagai berikut:
Sinyal waktu diskrit, x[n], n, integer (diskrit yang berubanya sama atau hasil sampling).
Gambar 1.2.Pengiriman data dari sumber digital, melalui telekomuikasi digital (diskrit)
Contoh: Suatu sinyal analog sinus kontinyu x(t) = A sin (ωt + ϑ ) atau x(t) = A sin (2πft + ϑ)
Dalam bentuk sampling x(n) = Asin ωnt
dimana, frekuensi sudut ω = 2πf, f = k/N, f rekuensi gelombang, k bilangan integer
sampling 1, 2, 3, …… N banyaknya sampling.
Jika dibentuk sinyal diskrit sinyal informasi 2 Hz, sampling 20 Hz
Gambar 1.4. Fungsi sinus kontinyu analog dan fungsi kontinyu diskrit (sampling)
Sistem Digital yaitu sistem yang bekerja berdasarkan prinsip bilangan biner. Bilangan
biner adalah bilangan dengan bilangan pokok dua dalam kode hanya “0” dan “1’, atau lazimnya
0 adalah (0 s/d 0,7) Volt DC untuk logika ‘0′ setara dengan 0 dan (3,5 s/d 5) Volt untuk logika
‘1′. setara dengan 5 Volt DC. Contoh pemakaian alat-alat meter, TV, HP pegiriman sinyal dsb
yang sudah semuanya mengarah ke digital bukan analog (sinyal yang fluktuatif dalam bentuk
bukan angka). Jadi sinyal digital adalah sinyal dalam bentuk digit (angka-angka biner) atau
sinyal yang merupakan konversi hasil sampling dengan bilangan pokok 2 (biner).
Sinyal digital cotoh untuk 8 digit yaitu dengan nilai maksimum 1111 1111 yang setara
dengan dinilai decimal 256. Pengubahan ini dilakukan dengan komponen ADC (analog to
digital converter) yaitu peubah dengan bilangan pokok 2 atau dalam skala tegangan adalah 1
setara dengan 5 volt dan 0 dalam tegangan 0 volt untuk unipolar. Jika menggunakan bipolar
maka pulsa 1 adalah + 5 volt dan pulsa 0 adalah – 5 volt. Namun dalam kenyataannya lebih
banyak dipakai unipolar dengan 5 dan 0 volt. Ambang batas pulsa 0 dari 0 - 2,2 V, kalau dalam
pemrosesan/pengiriman sinyal kode 1 (5V) diterima di bawah 2,2 V maka akan dibentuk 0.
Untuk memperoleh ketelitian konversi analog ke digital dapat digunakan ADC yang
derajatnya lebih tinggi yaitu dari: 8, 10,12, 16, 32,64, 128, 256, 512, 1024 dst.
Sistem digital memiliki ketahanan derau yg lebih baik dari pada sistem analog, karena derau
mengikuti pola sinyal. Sedang pada digital dikenal satu dan nol dan mempunyai batas
penafsiran digit 1 diatas (0,7 atau 2, 2,4 volt), tahan terhadap suhu dan derau (noise).
Sistem keakurasian yang tinggi, sejalan dengan derau dan tergantung ADC, pengolah sinyal
digital, dalam bentuk panjang word (word length), floating-pointversus fixed-
point arithmetic dan faktor-faktor lain.
Sinyal digital dapat dipulihkan dengan memasang komponen digital contoh: buffer, inverter
atau double inverter.
Mudah memprosesnya, secara teori tidak ada batasanya, seperti dimodulasi sehingga banyak
digunakan untuk sistem frekuensi modulasi dengan FSK FM, dan mudah diproses.
Mudah dikembalikan ke sisitem analog dengan menggunakan IC DAC.
Mudah menyimpannya dibandingkan sinyal analog. Untuk media penyimpan digital dapat
digunakan elemen memori: flash memory, CD/DVD, hard disk, media magnetik (berupa
tape atau disk) tanpa mengalami pelemahan atau distorsi data, dan dapat pindahkan
serta diproses secara offline di laboratorium.
Kendala:
Apabila diubah dari analog ke digital (sistem digitasi), maka pada digit terakhir LSB (least
significant bit) akan terjadi flicky (berubah-ubah, muncul atau tidak muncul).
Adanya batasan antara nol dan satu, sehingga dapat menafsirkan yang salah jika sinyal
berada di bawah atau ambang pemrosesan pulsa (< 2,2 V ditafsirkan biner 0), kemugkinan
kehilangan informasi penting akibat sampling.
Pemrosesan yang agak lama, namun dapat diatasi dengan ADC cepat dan pemroses cepat.
Dalam perkembangan teknologi software, sinyal tidak hanya dibuat melalui hardware
seperti osilator dsb. Namun, sinyal baik analog dan digital tertentu dapat dibangkitkan dengan
software.
Secara umum pengolahan sinyal ada dua Pengolahan Sinyal Analog (PSA) dan Pengolahan
Sinyal Digital (PSD) dan gabungannnya (Hybrid Proceccing Signal-PSH). Yang akan
diketengahkan PSD yang digabung dengan PSH.
Pemroses
Sinyal analog masuk Sinyal Analog Keluaan sinyal analog
(PSA)
Gambar 1.5. Di atas pemroses analog, bawah pemroses digital dengan masukan dan
kaeluaran analog
Sinyal Analog (hardware)
((9((hardware)
ADC
Sinyal Digital
PENGGUNAAN PENGGUNAAN
Analisis Spektrum Interferensi
Deteksi Target Noise
Speech Recognition Pemisahan Band Frekuensi
Speaker Verivication
Pemrosesan Sinyal
Digital (DSP)
Disain Filter
Digital Time Forier Transform FIR IIR
(DTFT)
FIR IIR
Untuk menganalisis perubahan sinyal analog menjadi digital adalah Transformasi Z dan
Trannsormasi Diskrit Fourier. Sedangkan untuk sinyal analog digunakan Transformasi Laplac.
BAB II
SISTEM DIGITAL
Operasi atau pemrosesan sinyal digital atau diskrit (DSP) selalu menggunakan bentuk
sinyal diskrit atau biner dari hasil sampling, juga adalah sinyal digital atau sistem angka-angka
biner yang dikeluarkan oleh penghasil sinyal digit seperti komputer atau mikrokontroler. Atau
sinyal digital yang dibentuk melalui peubahan sinyal analog ke digital dengan operasional
menggunakan sistem komponen digital, AND, OR, EXCLUSIVE, NAND, NOR, BUFFER,
INVERTER, ADC dsb. Demikian juga hasil keluaran (output) sebagai hasil proses dari
rangkaian digital juga dalam bentuk biner.
Sistem angka yang biasa kita kenal adalah sistem desimal yaitu sistem bilangan berbasis
10, tetapi sistem yang dipakai dalam komputer dan operasi digital dipakai adalah biner. Sistem
biner adalah sistem bilangan yang hanya menggunakan dua simbol (0,1). Bilangan ini biasanya
dikatakan mempunyai radiks 2 dan biasa disebut bilangan berbasis 2, setiap biner digit disebut
bit.
Pembatasan semua dari sistem digital ( biner) ini mengakibatkan bahwa angka-angka
yang diberikan dalam bentuk lain (seperti sinyal analog, atau operasi selain biner) harus di
konversi kan ke bentuk biner dahulu sebelum diolah oleh suatu sistem digital pada akhir proses
hasilnya ( dalam bentuk biner ) dapat dikonversikan kembali ke bentuk sistem angka aslinya.
Contoh bilangan biner dengan 8 digit, digital maksimum (1111 1111) digit = 256 angka decimal.
Jadi biner 8 digit: 1x27 + 1x26 + 1x25 + 1x24 + 1x23 + 1x22 + 1x21 + 1x20 = decimal 256
128 64 32 16 8 4 2 1 = 256
Jika 160 langkah, maka pulsa yang diperoleh kode digitanya adalah 1 0 1 0 0 0 0 0
5 V DC 1 0 1 0 0 0 0 0 pulsa digital 10100000
0 V DC
Dalam penulisan, penambahan bilangan nol di depan bilangan biner sering dilakukan
untuk mempermudah operasi-operasi bilangan atau untuk menunjukkan berapa ‘bit’ struktur
bilangan biner tersebut. Misalnya ‘0′ dapat ditulis ‘0000′ atau ‘00000000′. Penulisan ‘0000′ lebih
memudahkan bila ‘0′ dioperasikan dengan bilangan biner yang berstruktur ‘XXXX’. Demikian
pula ‘00000000′. Sekaligus hal ini menunjukkan berapa bit struktur bilangan biner tersebut.
‘0000′ berarti nilai ‘0′ dari 4 bit atau 4 digit. ‘00000000′ berarti nilai ‘0′ dari 8 bit atau 8
digit. (http://lecturer.eepis-its.edu).
= 14
2. Decimal ke binary
Bobot binary: menyatakan perbandingan yang dimilki oleh setiap digit bilangan
binary. Cara membaca hasil seperti di bawah adalah dari bawah ke atas, yang terakhir dibagi 2
sisa 1, jadi kode biner dibaca dari bawah 1101. Cotoh:
Sistem Bilangan Biner adalah suatu sistem atau cara menghitung bilangan dengan hanya
menggunakan dua angka, yaitu ‘0′ dan ‘1′. Konversinya dalam bentuk tegangan di teknik digital
level TTL (Transistor-transistor Logic) adalah (0 s/d 0,7) Volt untuk logika ‘0′ dan (3,5 s/d 5)
Volt untuk logika ‘1′. Sedangkan untuk level IC CMOS tergantung dari besar dan range catu
tegangan yang dipasang pada IC tersebut. Meskipun IC CMOS dapat dicatu sampai dengan 18
Volt, tetapi umumnya tetap dipasang dengan tegangan +5V, karena biasanya ia dirangkai
bersamaan dengan IC TTL atau IC peripheral yang mempunyai level TTL (0 s/d 5) Volt.
Gerbang logika atau sering juga disebut Gerbang Logika Boolean, merupakan sebuah
sistem pemrosesan dasar yang dapat memproses input-input yang berupa bilangan biner menjadi
sebuah output yang berkondisi dan dapat digunakan dalam proses selanjutnya.
Gerbang NOR sering juga disebut dengan istilah INVERTER OR. Logika dari gerbang
ini adalah membalik apa yang ada di input, sehingga keluarannya terbalik, biasanya hanya terdiri
dari satu kaki saja. Ketika input bernilai 1 maka output bernilai 0 dan begitu pula sebaliknya.
Gerbang AND memiliki karakteristik logika dimana input masuk bernilai 0 maka
outpunya akan bernilai 0. Jika kedua input bernilai 1 maka output juga akan bernilai 1.
Gerbang AND akan menghasilkan output 1 (nilai Y = 1) jika kedua input (A dan B) bernilai 1
(lihat pada table kebenaran gerbang AND).
Lambang Gerbang :
Gerbang BUFFER (penyangga)
Gerbang Buffer adalah gerbang yang menghasilkn antara input dan output sama dan berfungsi
untuk merevitalisasi sinyal yang rusak. Lambang penyangga jika masukan 0 keluaran 0 dan
sebaliknya masukan 1 keluaran 1, ini contoh pada pemakaian saklar hidup dan keluaran mati
dan sebaliknya.
Disebut juga pembalik, hanya mempunyai satu masukan dan satu keluaran, diman output selalu
merupakan kebalikan inputnya.
Gerbang AND
Gerbang AND merupakan bentuk perkalian jika semuanya 1 akan menghasilkan satu jika
salah satu nol akan menghasilkan nol.
Contoh saklar
Gerbang OR :
Contoh saklar OR
PERCOBAAN :Skema pengkabelan pada komponen digital (AND DAN OR):
Dari percobaan – percobaan diatas dapat diperoleh table hasil percobaan sebagai berikut :
Tabel Hasil Percobaan Gerbang AND :
Penjelasan :
LED akan menyala jika kedua kaki (kaki A dan kaki B) diberi suatu inputan.
Gerbang NAND
Gerbang NOR
Aljabar Boole adalah aljabar yang diberlakukan pada variabel diskrit sehingga sesuai
saat diberlakukan pada rangkaian digitial.
Aljabar Boole terdiri dari dua yaitu :
- Teorema variabel tunggal
- Teorema variabel jamak Alajabar Boolen adalah alajabar yang terdiri atas suatu himpunan B
dengan 2 operator biner yang didefinisikan pada himpunan tersebut yaitu penjumlahan dan
perkalian prinsip dualitas.
Dualitas adalah padanan 2 ekspresi boolen yang diperoleh dengan cara:
1. Mempertukarkan + dengan 0 dan
2. Mempertukarkan 1 dengan 0
Terdapat 2 jenis teorema dalam alajabar boole yakni teorema variable tunggal dan jamak,
adapun teorema variable jamak terdiri dari teorema komutatif, distributive, asosiatif, absorsi dan
morgan. Sedangkan teorema variable tunggal diperoleh dari hasil penurunan operasi logika dasar
OR, AND, dan NOT yang mana teorema itu meliputi teorema 0 dan 1, identitas idempotent,
komplemen dan involusi.
Sinyal digital diperoleh dalam dua bentuk yaitu: 1). yang berasal dari analog yang diubah ke
digital menggunakan ADC (analog to digital converter, dan 2) sinyal hasil keluaran dari komputer
atau sejenisnya yang menghasilkan sinyal digital atau dibentuk digital oleh program, atau
menggunakan komponen digital
Untuk menghasilkan pulsa digital dapat dilakukan dengan komputer, prosesor yang
dilengkapi dengan komponen peubah sinyal analog ke digital yaitu ADC. ADC mengkonversi sinyal
analog yang diterima ke digital selanjutnya dioperasikan secara digital seperti yang telah dilakukan
di atas. Biasanya digunakan tipe ADC 8080 yang berada dalam mikrokontroler ATMEGA 8051.
Keluran mikrokontroler ini digital, sehingga dapat digunakan untuk mendrive motor step atau
operasi digital lainnya.
Peraga seven segmen terdiri dari dua jenis yaitu common anode dan common cathode.
Peraga seven segmen jenis common anode membutuhkan sinyal rendah sedangkan jenis
common cathode membutuhkan sinyal yang tinggi untuk menyalakan segmen-segmennya.
Secara umum peraga seven segmen memiliki 7 buah inputan yakni: a, b, c, d, e, f, dan g yang
mana inputan inilah yang digunakan untuk menyalakan segmen-segmennya.
Diperlihatkan Gambar 2.10 di bawah ini , yaitu proses kontrol digital.
Resolusi ADC
Resulosi ADC menentukan “ketelitian nilai hasil konversi ADC”. Sebagai contoh: ADC 8 bit
akan memiliki output 8 bit data digital, ini berarti sinyal input dapat dinyatakan dalam 255 (2 n –
1) nilai diskrit. ADC 12 bit memiliki 12 bit output data digital, ini berarti sinyal input dapat
dinyatakan dalam 4096 nilai diskrit. Dari contoh diatas ADC 12 bit akan memberikan ketelitian
nilai hasil konversi yang jauh lebih baik daripada ADC 8 bit.
Prosedur menghitung step adalah 2n -1, dengan n banyaknya bit atau digit, missal 16 bit atau
digit berarti = 65535 step, paling tidak resolusi instrument disebut 16 bit/digit.
Disini sinyal yang lambat perubahannya cukup digunakan secara umum dengan sederhana
dengan waktu yang sama. Namun bagi sinyal yang mengalami perubahan cepat, diperlukan
sampling cepat, sehingga perlu digunakan ADC yang cepat dan teliti yaitu dengan digit yang
semakin tinggi.
Aliasing
Tatkala sampling terlalu panjang atau lama, maka dikhawatirkan akan hilangnya sinyal
penting yang mengandung informasi, sehingga bila dikembalikan ke sistem analog lagi sinyal
semula akan tidak utuh. Sebaliknya jika sampling terlalu cepat akan menyebabkan terjadinya
perubahan pada pengembalian sinyal analog, dan menghabiskan memori dengan caepat.Untuk
kebutuhan agar sampling tepat sesuai dengan bentuk sinyalnya diperlukan teori sampling dengan
frekueni Nyquist sama dengan 0.5 dari frekuensi sampling ADC. Jika sebuah ADC mempunyai
frekuensi sampling 5000 Hz. Maka sampling frekuensi Nyquist sinyal yang baik maksimum
adalah 2500 Hz.
Jika ADC dibandingkan dengan sinyal analog mempunyai frekuensi sampling melebihi
frequensi Nyquist, dan output digitasi sinyal ADC jatuh ke frekuensi rendah, fenomena in
disebut Aliasing (lihat Gambar 2.14. di bawah).
Bila periode gelombangn output lebih besar (lambat) dari input sampling (output )
gelombang dan bentuk gelombang berbentuk tidak sama, perlu dimengerti frekuensi Nyquist
absolute maksimum untuk ADC lebih terbatas dan tidak mewakili sebagian besar dari frekuensi
yang dapat diukur. Seyogyanya dimengerti frekuensi Nyquist absolute dari suatu ADC adalah
agar aman lebih besar dari 1/5 atau 1/10 dari sampel frequensi. Oleh karena itu sebaiknya
sebelum masuk ke ADC dipasang LPF untuk menghindari sinyal frekuensi lebih besar dari
batas sinyal samplingnya, sehingga ADC tetap akan bekerja tanpa terjadinya alising.
Dengan demikian tentunya ada step recovery dari output ADC yang menggunakan sistem
tracking converter dengan kondisi khusus.
Agar tidak terjadi frekuensi alising, besarnya frekuensi sampling (Fs) minimal 2 x
frekuensi sinyal informasi (F inf). Hal ini berdasarkan criteria Nyquist
ADC (Analog to Digital Converter) memiliki 2 karakter prinsip, yaitu kecepatan sampling dan
resolusi. Kecepatan sampling suatu ADC adalah seberapa rapat sinyal analog dicuplik/diambil
ke bentuk sinyal digital pada selang waktu tertentu. Kecepatan sampling biasanya dinyatakan
dalam sample per second (SPS). Agar medekati sinyal aslinya digunaka sampling yang tinggi,
namun efek alising yang dibahas diatas, harus diperhatikan dengan syarat sampling Nyquist Fs >
2 F inf, sehingga mengurangi cacad sampling tatkala dikembalikan.
Pengaruh Kecepatan sampling ADC menentukan ketelitian nilai hasil konversi ADC.
Sebagai contoh: ADC 8 bit akan memiliki output 8 bit data digital, ini berarti sinyal input dapat
dinyatakan dalam 255 (2n – 1) nilai diskrit. ADC 12 bit memiliki 12 bit output data digital, ini
berarti sinyal input dapat dinyatakan dalam 4096 nilai diskrit. Dari contoh diatas ADC 12 bit
akan memberikan ketelitian nilai hasil konversi yang jauh lebih tinggi daripada ADC 8 bit.
Prinsip kerja
Kuantisasi
Beberapa ADC dan prinsip kerjanya.
1. ADC Simultan
Salah satu rangkaian ADC adalah ADC Simultan atau flash converter atau parallel converter.
Input analog Vi yang akan diubah ke bentuk digital diberikan secara simultan pada sisi + pada
komparator tersebut, dan input pada sisi – tergantung pada ukuran bit converter. Ketika Vi
melebihi tegangan input – dari suatu komparator, maka output komparator adalah high,
sebaliknya akan memberikan output low.
Rangkaian Dasar ADC Simultan , bila Vref diset pada nilai 5 Volt, maka dari gambar rangkaian
ADC Simultan diatas didapatkan : V(-) untuk C7 = Vref * (13/14) = 4,64 V(-) untuk C6 = Vref *
(11/14) = 3,93 V(-) untuk C5 = Vref * (9/14) = 3,21 V(-) untuk C4 = Vref * (7/14) = 2,5 V(-)
untuk C3 = Vref * (5/14) = 1,78 V(-) untuk C2 = Vref * (3/14) = 1,07 V(-) untuk C1 = Vref *
(1/14) = 0,36 Sebagai contoh Vin diberi sinyal analog 3 Volt, maka output dari C7=0, C6=0,
C5=0, C4=1, C3=1, C2=1, C1=1, sehingga didapatkan output ADC yaitu 100 biner, sehingga
diperoleh tabel berikut : Tabel Output ADC Simultan.
2. Counter Ramp ADC
Pada gambar diatas, ditunjukkan blok diagram Counter Ramp ADC didalamnya tedapat DAC yang diberi
masukan dari counter, masukan counter dari sumber Clock dimana sumber Clock dikontrol dengan cara
meng AND kan dengan keluaran Comparator. Comparator membandingkan antara tegangan masukan
analog dengan tegangan keluaran DAC, apabila tegangan masukan yang dikonversi belum sama
dengan tegangan keluaran dari DAC maka keluaran comparator = 1 sehingga Clock dapat memberi
masukan counter dan hitungan counter naik.
Misal dikonversi tegangan analog 2 volt, dengan mengasumsikan counter reset, sehingga keluaran pada
DAC juga 0 volt. Apabila konversi dimulai maka counter akan naik dari 0000 ke 0001 karena
mendapatkan pulsa masuk dari Clock oscillator dimana saat itu keluaran Comparator = 1, karena
mendapatkan kombinasi biner dari counter 0001 maka tegangan keluaran DAC naik dan dibandingkan
lagi dengan tegangan masukan demikian seterusnya nilai counter naik dan keluaran tegangan DAC juga
naik hingga suatu saat tegangan masukan dan tegangan keluaran DAC sama yang mengakibatkan
keluaran komparator = 0 dan Clock tidak dapat masuk. Nilai counter saat itulah yang merupakan hasil
konversi dari analog yang dimasukkan.
Kelemahan dari counter tersebut adalah lama, karena harus melakukan trace mulai dari 0000 hingga
mencapai tegangan yang sama sehingga butuh waktu.
SAR (Successive Aproximation Register) ADC
Untuk mempermudah pengertian dari metode ini diberikan contoh seperti pada timing diagram gambar 6
Misal diberi tegangan analog input sebesar 6,84 volt dan tegangan referensi ADC 10 volt sehingga
apabila keluaran tegangan sbb :
Setelah diberikan sinyal start maka konversi dimulai dengan memberikan kombinasi 1000 0000 ternyata
menghasilakan tegangan 5 volt dimana masih kurang dari tegangan input 6,84 volt, kombinasi berubah
menjadi 1100 0000 sehingga Vout = 7,5 volt dan ternyata lebih besar dari 6,84 sehingga kombinasi
menjadi 1010 0000 tegangan Vout = 6,25 volt kombinasi naik lagi 1011 0000 demikian seterusnya hingga
mencapai tegangan 6,8359 volt dan membutuhkan hanya 8 clock.
2. Konversi digital ke analog (DAC)
Untuk mengembalikan ke sistem analog yaitu menggunakan DAC (digital to Analog Convertion)
dapat dibangun menggunakan penguat penjumlah inverting dari sebuah operasional amplifier
(Op-Amp) yang diberikan sinyal input berupa data logika digital (0 dan 1). Rangkaian dasar
DAC (Digital to Analog Convertion) terdapat 2 tipe yaitu Binary-weighted DAC dan R/2R
Ladder DAC.
Kedua tipe DAC tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Binary-weighted DAC Sebuah
rangkaian Binary-weighted DAC dapat disusun dari beberapa Resistor dan Operational
Amplifier yang diset sebagai penguat penjumlah non-inverting seperti gambar di atas. Pada
rangkaian Dasar Binary-weighted DAC yaitu resistor 20K Ohm digunakan untuk
menjumlahkan arus yang dihasilkan dari penutupan switch-switch D0 sampai D3. Resistor-
resistor ini diberi skala nilai sedemikian rupa sehingga memenuhi bobot biner (binary-weighted)
dari arus yang selanjutnya akan dijumlahkan oleh penguat penjumlah inverting IC 741. Apabila
sumber tegangan pada penguat penumlah IC 741 tersebut adalah simetris ± 15Vdc. Maka dengan
menutup D0 menyebabkan tegangan +5Vdc akan diberikan ke penguat penjumlah dengan
penguatan – 0,2 kali (20K/100K) sehingga diperoleh tegangan output penguat penjumlah -1Vdc.
Penutupan masing-masing switch menyebabkan penggandaan nilai arus yang dihasilkan dari
switch sebelumnya. Nilai konversi dari kombinasi penutupan switch ditunjukkan pada tabel
berikut.
Konversi Digital ke Analog Rangkaian yang lain yaitu Binary-weighted R/2R Ladder, ini
banyak digunakan dalam IC-IC DAC. Pada rangkaian R/2R Ladder, hanya dua nilai resistor
yang diperlukan, yang dapat diaplikasikan untuk IC DAC dengan resolusi 8, 10 atau 12 bit.
Rangkaian R/2R Ladder dapat dilihat pada gambar dibawah. Prinsip kerja dari rangkaian R/2R
Ladder adalah sebagai berikut : informasi digital 4 bit masuk ke switch D0 sampai D3. Switch
ini mempunyai kondisi “1” (sekitar 5 V) atau “0” (sekitar 0 V).
Dengan pengaturan switch akan menyebabkan perubahan tegangan yag diberikan ke penguat
penjumlah inverting sesuai dengan nilai ekivalen biner-nya. Sebagai contoh, jika D0 = 0, D1 = 0,
D2 = 0 dan D3 = 1, maka R1 akan paralel dengan R5 menghasilkan 10 k . Selanjutnya 10 k ini
seri dengan R6 = 10 k menghasilkan 20 k . 20 k ini paralel dengan R2 menghasilkan 10 k , dan
seterusnya sampai R7, R3 dan R8. Sehingga diperoleh rangkaian ekivalennya seperti gambar
berikut dan teganagan output (Vout) analog dari rangkaian R/2R Ladder DAC diatas dapat
dihitung dengan menggunakan persamaan: Vout=(-Vref(\frac{R9}{R}))\cdot
((\frac{D_{0}}{16})+(\frac{D_{1}}{8})+(\frac{D_{2}}{4})+(\frac{D_{3}}{2})) Vout yang
dihasilkan dari kombinasi switch ini adalah -5V. Nilai kombinasi dan hasil konversi rangkaian
R/2R Ladder DAC ditunjukkan pada gambar berikut.
Vout=(-Vref(\frac{R9}{R}))\cdot ((\frac{D_{0}}{16})+(\frac{D_{1}}{8})+(\frac{D_{2}}{4})+(\frac{D_{3}}{2}))
Step
%resolusi = x100%
SkalaPenuh
Secara umum dapat ditulis melalui jumlah harga amplitudo atau jumlah step dari DAC misal N
bit, maka kita tuliskan sebagai berikut:
1
%resolusi = x100% = 0,1%
210 1
Dari kondisi ini dapat kita lihat bahwa jumlah bit merupakan penentu prosentase resolusi,
bertambahnya jumlah bit akan menambah jumlah step untuk mencapai skala penuh dan setiap
step akan menjadi semakin kecil, resolusi DAC maupun ADC tergantung jumlah bit.
Akurasi relatif adalah deviasi maksimum dari output DAC dari harga ideal, sebagai contoh
DAC memiliki akurasi relatif + 0,01 % FS, selama pengubah memiliki output skala penuh 5 V
maka konversi prosentase adalah:
+ 0,01 % x 5 V = 0,0005 V = 0,1 mV.
Hal ini berarti bahwa output DAC setiap saat dapat kurang dari harga sebenarnya sampai 0,1
mV. Umumnya DAC memiliki akurasi antara 0,01- 0,1%. Hal ini penting untuk dipahami
bahwa akurasi dan resolusi dari DAC harus kompatibel.
Kecepatan Operasi biasanya adalah waktu settling yang merupakan interval waktu maksimum
yang dibutuhkan output untuk menghasilkan tegangan dari 0V sampai mencapai skala penuh
seiring dengan perubahan kode input selama waktu 0 detik sampai 1detik. Umumnya waktu
settling pada batas 0-20 µdetik dan secara umum DAC dengan output arus relatif lebih singkat
dibanding DAC dengan output tegangan.
2.6 Operasi multiplexing peubah digital ke analog.
Pada banyak aplikasi terdapat lebih dari satu kelompok dari input digital yang akan diubah
menjadi satu besaran analog, sebagai contoh suatu proses kontrol komputer melayani beberapa
sinyal kode digital untuk mengendalikan peralatan penggerak yang beragam seperti motor atau
katup selenoid. Secara prinsip untuk melakukan itu dapat dilakukan melalui dua cara yaitu:
Cara pertama dimana setiap input sinyal digital dikonversikan melalui satu DAC, keuntungannya
adalah setiap sinyal digital dikonversikan terus menerus dan tidak diperlukan adanya penyimpan.
Akan tetapi sistem atau cara ini sangat mahal karena diperlukan komponen yang presisi berisi
anatara lain resistor presisi, sumber referensi, amplifier dsb. Pada Gambar 2.6 diperlihatkan tiga
buah DAC dimana masing-masing memberikan tiga output Vout1, Vout2 dan Vout3 dan 3 kelompok
saluran input digital. Hal ini, menunjukkan saluran input terlalu banyak dan pemberian data input
digital sebaiknya dari satu sumber dan output disalurkan pada tiga output.
Seluruh ADC akan mempunyai kesalahan ketidak linieran disebabkan karena komponen,
menyebabkan outputya menyimpang dari fungsi linier dari inputnya. Kesalahan ini dapat
diperbaiki dengan dikalibrasi atau ujicoba. Sebagai contoh gelombang sinus x(t) = Asin (2πf0t),
yang tentunya sampling yang diambil tidak akan sama amplitudonya karena frekuensi sampling
tidak sama dengan frekuensi siyalnya atau waktul sampling tidak tentu karena clock jitter Δt,
kesalahan akibat fenomena sampling ini dapat diestimasi
Untuk sinyal DC kesalahan tidak ada, jika frekuensi rendah kesalahan rendah jika frekuensi dan
amplitude tinggi sangat berarti, efek ini dapat digambarkan sebagai kesalahan kuantisasi yang
dihitung mengikuti formula
http://elektronika-dasar.web.id/teori-elektronika/adc-analog-to-digital-convertion/Copyright ©
Elektronika Dasar.
BAB III
SISTEM PEMROSESAN SINYAL DIGITAL
Pegolahan sinyal digital untuk mengolah sinyal baik analog maupu digital agar diperoleh
sisitem informasi yang berguna (data). Dan pada dasarya pegolahan sinyal digital adalah
representasi diskrit, karena pengolahaya menggunakan mikrokontroler maupun komputer yang
sudah bersifat digital.Kebayakan di alam bentuk sinyal adalah analog seperti: suhu, tekanan,
kecepata angin dsb. Untuk memperoleh bentuk digital diperlukan sampling (lihat BAB II).
Sehingga dalam proses selanjutnya pun ada dua hal 1) pemrosesan siyal secara analog, 2)
pemrosesan sinyal secara digital (ADC) dan akan dilihat hasil akhirnya bentuk analog
dikembalikan ke analog dengan DAC.
Pemroses Analog
Input analog output analog
Pada Gambar 3.1. ditunjukkan tipikal aplikasi yang digunakan untuk implementasi suatu
sistem analog menggunakan sistem Pemrosesan Sinyal Digital. Sinyal masukan analog masuk
melalui sebuah tapis analog anti-aliasing untuk mencegah terjadinya aliasing. Kemudian ADC
(analog-to-dgital converter) bertugas menghasilkan data-data digital (beberapa parameter harus
ditetapkan sebelumnya seperti resolusi bit, frekuensi cuplik serta metode ADC). Rangkaian PSD
kemudian melakukan proses-nya (sesuai dengan aplikasi yang dibuat), kemudian luarannya,
yang masih merupakan data-data digital diumpankan melalui DAC untuk dikembalikan menjadi
sinyal analog.
Sinyal sius adalah dalam betuk analog ditulis x(t) = A sin ωt = A sin 2Pft. Jika
disampling dan dibentuk digital, maka dituliskan adalah x(n) = sin n/N To, dimana n bilangan
integer, dengan nilai n sampling sinyal ke n, dengan periode N, sehingga f = n/N, dengan n/k
bilangan iteger.t
Dari gambar 3.1, bahwa pemrosean sinyal analog dengan sistem analog, namun ada analog ke
digital dan diproses secara digital dan dikembalikan ke analog. Pemrosesan sinyal demikian
telah banyak digunakan untuk meubah atau memanipulasi sinyal-sinyal analog atau digital sejak
lama, lihat Gambar 3.3. di bawah ini.
Gambar 3.2. Pegiriman siyal analog dan diterima secara analog..
Proses sinyal digital dapat dilihat dalam diagram Gambar 3.4, alur yang dilakukan dalam PSD
dan fungsi masing-masing.
1. Sinyal analog disampling, spektrum sinyal sampling dianalisis di sini digunakan Discret
Transformasi Fourier (DFT).
2. Dari analisis DFT bagaimana caranya memperoleh/mengukur keakuratan DFT dapat
digali atau dikembangkan ? Hal ini dapat ditelusuri dengan Fungsi Window, dan
selanjutnya bagaimana Fungsi Window bekerja dengan cara konvelusi. Demikian juga
dari DFT bagaimana spektrum DFT dapat dimodifikasi dengan melalukan ke filter
digital yang dapat dilanjutkan ke kovolusi. Pada bagian lain, dari digital filter bagaimana
respons frekuensi digital filter dan dapat dikembangkan dengan Fungsi Widow. Di sisi
lain mengapa spectra deskret periodic dan DFT terjadi kebocoran spektrum, hali ini
dapat diselesaikan dengan konvolusi.
3. Dari DFT bagaimana spktrum noise/derau dapat direduksi untuk menyempurnakan sinyal
diskret untuk dideteksi, diantaranya menggunakan perata-rata sinyal (signal averaging)
terus ke filter digital.
4. Dari sampling periodik juga dapat difilter lagsung, kemudian diselesaikan dengan Fungsi
Window maupun kovolusi.
Sinyal Analog
Aplikasi yang sering digunakan adalah penapisan suatu sinyal. Pemrosesan Sinyal
Digital (PSD) atau Digital Signal Processing (DSP) telah banyak ditemukan dalam berbagai
macam aplikasi, mulai dari pemrosesan sinyal komunikasi data, suara, audio atau biomedik
hingga instrumentasi dan robotik. Informasi berikut bisa digunakan sebagai gambaran cakupan
aplikasi DSP.
Saat ini, PSD atau DSP (Digital signal processing) merupakan teknologi yang maju dan
menggantikan sistem pemrosesan sinyal analog dalam banyak aplikasi. Memang awalnya IC
analog dirancang pada ukuran yang sangat kecil, namun sekarang, dengan rancangan nanometer,
rancangan digital bahkan bisa lebih padat dan lebih kecil. Akibatnya lebih kompak, berdaya-
rendah dan murah.
Untuk memperoleh sinyal digital ada dua dari pengirim atau komponen digital dan sinyal analog
yang dibuat digital dengan system sampling didiskritkan kemudian dengan ADC diubah ke
digital. Salah satu syarat sampling yaitu memenuhi kriteria:
1. Nyquist yaitu frekuensi sampling harus lebih besar sama dengan 2 kali frekuensi sinyal.
2. Waktu sampling atau kecepatan sampling mempertimbangkan kepentingan informasi
sinyal yang akan disampling dan pengolahan sinyal digital yang akan dilakukan dengan
memperhatikan memori sampling yang digunakan untuk menyimpan data sampling.
3. Kecepatan memroses sinyal
Sinyal digital diperoleh dari instrument atau komponen digital, maupun sampling dari
sistem analog (lihat Gambar 3.5). Contoh keluaran komputer, dari mikrokontroler, ADC atau
keluaran komponen digital lainnya.
Sinyal diskrit hasil sampling dari bentuk sinyal kontinyu sinusoidal dinyatakan:
Gambar 3.6 sinyal diskrit sinusoidal yang akan menghasilkan sinyal periodic
Sinyal diskrit sinusoidal Gambar di atas akan periodik sepanjang frekuensi yang berlaku
dalam bilangan rasional. Frekuensi dipisahkan dengan integer perkalian dari 2Pf.
3.4. Sinyal dan Sistem Waktu Diskrit ( Discrete Time Signals and Systems)
Sinyal waktu diskrit merupakan fungsi variabel bebas waktu dengan bilangan bulat.
Secara mutlak, sinyal diskrit x(n) tidak didefinisikan untuk n pecahan. Represetasi sinyal waktu
diskret dalam bentuk fugsi adalah sebagai berikut:
x(n)
Sinyal diskrit unit impuls
n
x(n)
Sinyal diskrit unit step
n
x(n)
Siyal diskrit unit ramp
n
x(n)
Siyal diskrit eksponensial n
Nilai di dalam kurung adalah kuantitatif dari amplitudo sampling dari periode yang sama. Dalam
bentuk Tabel
n -3 -2 -1 0 1 2
x(n) 8 4 -1 -2 2 7
Dari sinyal diskret waktu tersebut, maka sinyal yang dihasilkan dalam bentuk diskret dapat
dioperasikan elemnter sebagai berikut:
: y(n) = c + x(n)
: y(n) = A x(n)
: y(n) = x(n - k)
: y(n) = x(-n)
Dari sistem waktu diskret di atas merupakan gambaran model matematis dari sistem
diskret. Model matematis ini menggambarkan hubungan input- output pada kondisi awal sistem.
Persamaan semacam ini yang menghubungkan antara input dan output disebut
persamaan beda (difference equation). Untuk kemudahan, hubungan input-ouput sering diubah
menjadi bentuk lain, atau sering disebut dengan transformasi, misalnya dengan Transformasi Z
Pembagian sistem berdasarkan karakteristiknya diantaranya:
Linieritas: sistem linier dan sistem tak linier
Variasi terhadap waktu: sistem varian waktu (time varying) dan sistem invarian waktu (time
invariant)
Kausalitas: sistem kausal dan sistem non kausal
Stabilitas: sistem stabil dan sistem tak stabil
Sistem Linier
Sistem Linier adalah sistem yang memenuhi sifat:
dimana x1(n) dan x2(n) adalah input sistem, sedangkan a1 dan a2 adalah konstanta.
Buktikan bahwa sistem yang dinyatakan dengan: y(n) = 2x(n) adalah linier
Jawab:
T[a1x1(n) + a2x2(n)] = 2[a1x1(n) + a2x2(n)]
= 2a1x1(n) + 2a2x2(n)
a1T[x1(n)] + a2T[x2(n)] = a1(2x1(n))+ a2(2x2(n))
= 2a1x1(n) + 2a2x2(n)
Sistem Invarian Waktu yaitu: sistem yang dinyatakan dengan y(n) = T[x(n)]
disebut Time Invarian jika
y(n–k)=T[x(n–k)]
Contoh:Sistem y(n) = x(n) –x(n–1) adalah invarian waktu (time invariant) karena:
T[x(n–k)] = x(n–k) –x(n–1–k)
y(n–k) = x(n–k) –x(n–k –1)
Keluaran sistem untuk setiap waktu hanya tergantung kepada input sekarang dan sebelumnya,
juga output sebelumnya
y(n) = f [x(n), x(n–1), x(n–2), …, y(n –1), y(n –2), …]
Contoh:
sistem kausal: y(n) = 2x(n) –3x(n–2)
Sistem Stabil BIBO (Bounded Input Bounded Output): output sistem adalah terbatas untuk input
terbatas
x(n)
h(n)
Input digital x(n) konvolusi y(n)
Perkalian
v(n)
x(n) x(n +1) x(n) Z-1 x(n-1)
Z
A1 A2 A3 A4
A2 x(n-1) A3 x(n-2) Ax3(n-3)
A1 x(n)
Ada dua metode analisis, yaitu analisis respon sistem Linier Time Invariant (LTI) dari
masukan yaitu: dapat menguraikan bagian demi bagian
y(n) = f [ y(n-1), y(n-2), ……. y(n-N), x(n), x(n-1), x(n-2), ………. x(n-M)]
N M
= Σ ak y(n-k) + Σ ak x(n-k)
k=1 k=1
Dari sini dapat dilihat bahwa metode analisis penyelesaiannya tergantung kasusnya baik dengan
persamaan beda (difference equation) atau yang lainya.
Cara yang kedua yaitu analisis siyal masukan sesuai dengan posisi sampling ke n, sehingga
sinyal masukan dapat dinyatakan dengan deret jumlah Σ dari amplitude impuls. Untuk
menyatakan hasil sampling ke k, dilakukan dengan mengalikan sinyal input dengan unit impuls
d(n-k), sehingga dapat diselesaikan dengan persamaan, dan diperoleh harga yang dikalikan pada
posisi n = k, sebesar nilai amplitude digitnya di tempat yang sama karena δ n-k) = 1. Jadi
diskrit amplitude akan besarnya sama dengan aplitudo diskritnya.
∞
x(n) = Σ x(n) δ (n-k) , untuk beberapa sampling
-∞
∞
x(nT) = Σ x(kT) δ (n-k)T
-∞
Dimana δ (n-k)T = δ (nT-kT) mempunyai nilai 1 untuk n = k dan bol untuk lainnya, karena
fungsi delta.
Cotoh; Sinyal input diskrit x(n) = [2,3,4,7,8], jika dituliskan dengan analisis input respons adalah
Lapsley, P., Bier, J., Shoham, A. dan Lee, E., 1997, DSP Processor Fundamentals, IEEE
Press, New York.
BAB IV
KONVOLUSI
Dari blok diagram gambar DSP dengan runutan sinyal analog selanjutnya disampling.
Selanjutnya sara sampling telah dibahas pada BAB III, selanjutnya ada alternative ke Digital
Fourier Transformation (akan dibahas selanjutna). Pada sub bab ni akan diungkap mengenai
Window filter.
Pemrosesan sinyal diskrit atau digital dari LTI (linear time invariant) dapat
dikarakterisasi dengan unit sampel h(n) untuk setiap input x(n). Biasanya hasil sampling
dibentuk seri, misal sinyal disampling sebanyak 50 kali, maka proses DSP akan dilaksanakan
sebanyak nilai seri dari samplingnya yaitu 50 kali dan lazimnya disebut proses konvolusi. Jadi
konvolusi merupakan salah satu penyelesaian sistem LTI disamping metoda beda (difference
equation) yang merupakan solusi langsung.
Analisis
Sistem LTI
Konvolusi dikenal juga dengan cross corelation adalah operasi antar dua fungsi sehingga
menghasilkan fungsi ketiga yang merupakan modifikasi dari kedua fungsi aslinya.Dalam analisis
sebuah sistem, masukan dan keluaran merupakan sebuah sinyal yang dapat dinyatakan dalam
bentuk tabel, fungsi matematis ataupun grafis. Akibat pengolahan sistem, fungsi matematis
sinyal berubah. Gambar 4.1 menunjukkan proses konvolusi dengan keluaran y(n), masukan
adalah sinyal diskrit atau sampling x(n) dan unit pemroses adalah h(n)
Sinyal waktu diskrit merupakan fungsi dari argument yang hanya bernilai pada bagian
diskrit dari waktu x[n] misal dimana n {...-2,-1,0,1,2,3,4...}. Nilai x bisa real ataupun kompleks.
Sinyal diskrit adalah sinyal yang digunakan dalam domain teknik engineering berbasis digital.
Banyak cara untuk menyelesaikan konvolusi sinyal diskrit, diantaranya yaitu dengan cara grafis
atau analisis dan cara matrik. Salah satu diantaranya yang sangat sederhana adalah secara grafis.
Cara ini yang paling mudah difahami secara visual, serta perhitungannya tidak membutuhkan
matematik tingkat tinggi.
Secara matematis, konvolusi DSP adalah integral yang mencerminkan jumlah
cakupan dari sebuah fungsi diskrit x(n) yang digeser atas fungsi h(n) sehingga
menghasilkan fungsi y(n). Konvolusi dilambangkan dengan asterisk ( *). konvolusi terus
dievaluasi pada setiap pergeseran n dengan perkalian x[k] dan h[n-k] untuk semua nilai n, yang
berjalan dari minus tak berhingga (-∞) sampai plus tak berhingga (+∞). Proses konvolusi sangat
berguna untuk menggambarkan beberapa efek spektrum yang terjadi secara luas dalam
pengukuran, seperti pengaruh dari low-pass filter pada sinyal listrik atau pengaruh spektral
bandpass pada spektrometer dalam bentuk spektrum. Jadi penyelesaian kovolusi dua fungsi f(x)
dan g(x) menghasilkan h(x) adalah
Jika dua buah sinyal diskrit x(n) dan h(n) mempunyai representasi sebagai berikut:
Agar dapat menyelesaikan permasalahan ini dilakukan tahapan – tahapan berikut :
1. Gambarkan terlebih dahulu bentuk sinyal x(k) yang sama dengan x(n) dan h(k) yang sama
dengan h(n)
2. Cerminkan / putar sinyal h[k], sehingga menjadi h(n-k).
3. Susun sinyal x(n) dan h(n-k), lalu lakukan perkalian x(n) dan h(n-k) pada setiap pergeseran n.
Hitung untuk n=0 y(0)= = 1*1 =1. Gambarkan y(0)=1
4. Geser h(n-k) ke kanan 1 step, lalu hitung untuk n=1 yaitu y(1)=1*1+1*2=3. Selanjutnya
gambarkan y(1)=3.
5. Geser h(n-k) ke kanan 1 step, lalu hitung untuk n = 2 y[1] = 1*1+1*2 + 1*3 = 6.
Selanjutnya gambarkan y[2]=6.
6. Geser h(n-k)
Selanjutnya gambarkan y[3]=8.
7. Geser h[n- y[1]=1*1+1*2+1*3+1*2+1*1=9.
Selanjutnya gambarkan y[4]=9.
8. Geser h[n-
Selanjutnya gambarkan y[5]=8.
9. Geser h[n-k] ke kanan 1 step, lalu hitung untuk n=6 yaitu y[6]=1*3+1*2+1*1=6. Selanjutnya
gambarkan y[6]=6.
10. Geser h[n-k] ke kanan 1 step, lalu hitung untuk n=7 y[7]=1*2+1*1=3. Selanjutnya
gambarkan y[7]=3.
11. Geser h[n-k] ke kanan 1 step, lalu hitung untuk n=8 y[8]=1*1=1. Selanjutnya gambarkan
y[8]=1
Sehingga diperoleh dari posisi akhir sinyal adalah seperti berikut :
Cara grafis ini sering juga disebut cara analitis, karena proses peletakan grafis dirunutkan
dalam angka angka, sehingga tidak memerlukan grafis, hanya melihat angka angka yang berada
di atasnya. Prosedurnya sama misal: y(n) = x(n)*h(n).
x(n) = (1, 2, 3, 1)
h(n) = (1, 2, 1, -1)
Prosedur sama dengan grafis, misal h(n) dibalik urutannya menjadi h(n) = (-1, 1, 2, 1).
Geser mulai dengan n = 0, kalikan x(n) dengan h(n) selanjutnya dijumlahkan semua diperoleh
y(n) lihat Tabel di bawah.
4.1.2. Cara Matrik
Cara lain menentukan keluaran sebuah sistem diskrit dengan konvolusi dilakukan dengan
membuka sigma (Σ) dan mengoperasikan perkalian antara x(k) dengan h(n-k) atau
sebaliknya h(k) dengan x(n-k) pada batas batas yang ditentukan:
∞ ∞
y(n) = x(n) * h(n) = Σ x(k) h(n-k) = Σ h(k) x(n-k)
k=-∞ k=-∞
Bentuk Matrik
x x0 x1 x2 x3 x4
h
h0 h0x0 h0x1 h0x2 h0x3 h0x4
Substitusikan x(n) pada persamaan di atas, maka diperoleh nilai y(n) adalah:
y(n) = [d(n) + d(n-1) + d(n-2) + d(n-3) + d(n-4)] + [ d(n-1) + d(n-2) + d(n-3) + d(n-4) +
+d(n-5] + [d(n-2) + d(n-3) + d(n-4) + d(n-5) + d(n-6)] + [ d(n-3) + d(n-4)+ d(n-5)
+ d(n-6) + d(n-7)] + [d(n -4) +d(n-5) + d(n-6) + d(n-7) + d(n-8)].
4.2. Implementasi
Proses konvolusi diskrit banyak dijumpai pada aplikasi engineering dan matematik,
seperti dalam pengolahan citra untuk memperhalus (smoothing) menajamkan (crispening)
mendeteksi tepi (edge detection) dan efek lainnya, pada pada teknik listrik. Dalam suatu sistem
Linier Time Invariant (LTI), konvolusi dari satu sinyal input dengan impulse menghasilkan
output (respon) . Pada saat tertentu, output tersebut adalah efek akumulasi dari semua nilai-nilai
sebelumnya dari fungsi input. Dengan menghitung konvolusi sebuah sinyal dapat ditentukan cara
kerja transformasi wavelet kontinyu (TWK) pada sebuah jendela modulasi setiap waktu dari
setiap skala yang diinginkan. Proses ini umumnya digunakan di dalam penelitian ilmiah seperti
respon transient, respon impulse, analisis nilai jenuh, dan pengenalan suara dsb.
Proses konvolusi untuk penghalusan citra seperti Gambar di bawah, gambar atas adalah
sinyal penuh dengan noise, selanjutnya dilakukan konvolusi menghasilkan sinyal yang bersih
pada gambar di bawanya yaitu pemfilteran atau penghalusan dengan konvolusi.
Gunakan MATLAB fugsi sebut CONV yang menghitung konvolusi tersebut di atas dimulai
pada n = dan perintahnya adalah: y = conv (x,h);
Untuk mencari nilai-nilai y(n) untuk contoh di atas, program MATLAB-nya adalah:
%----------------------------------------------------------------------
%Nama File : Konvolusi_1.m
%Oleh : Anonim
%----------------------------------------------------------------------
x(n) = [3, 11, 7, 0, -1, 4, 2];
h(n) = [2, 3, 0, -5, 2, 1];
y = conv(x,h);
Walupun demikian, fungsi CONV tidak menyediakan dan tidak pula menerima informasi
pewaktuan apapun jika sekuen mempunyai support yang sembaarang. Apa yang dipeerlukan
adalah titik awal dan akhir dari y(n). Diberikan suatu durasi tertentu x(n) dan y(n) sangatlah
mudah untuk menentukan titik-titik ini. Misalnya:
{x(n); nxb ≤ n ≤ nxe} dan {h(n); nhb ≤ n ≤ nhe}
Adalah dua durasi tertentu suatu sekuen. Kita lihat bahwa titik awal dan akhir dari y(n) adalah
berturut-turut:
nyb = nxb + nhb dan nxe + nhe
Perluasan dan fungsi conv ( disebut conv_m.m) yang melakukan konvolusi dengan dukungan
runutan yang acak dapat dirancang. Perhatikan berikut ini:
% [y,ny] = conv_m(x,nx,h,nh)
% [y,ny] = hasil konvolusi
% [x,nx] = sinyal pertama
% [h,nh] = sinyal kedua
nyb = nx(1) + nh(1);
nye = nx(length(x)) + nh(length(h));
ny = [nyb;nye];
y = conv(x,h);
Sehingga:
Y(n) = {6, 31, 47,6, -51, -5, 41, 18, -22, -3, 8, 2}
Dan melakukan operasi konvolusi yang secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut:
x[n]*v[n]
Untuk itu langkah yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Bangkitkan sinyal x[n] dengan mengetikkan perintah berikut:
L=input('Panjang gelombang(>=10) : ');
P=input('Lebar pulsa (lebih kecil dari L): ');
%----------------------------------------------------------------------
%Nama File : Konvolusi_2.m
%Oleh :
%----------------------------------------------------------------------
%Sinyal x(n)
for n=1:L
if n<=P
x(n)=1;
else
x(n)=0;
end
end
t=1:L;
subplot(3,1,1)
stem(t,x)
%Sinyal v(n)
for n=1:L
if n<=P
v(n)=1;
else
v(n)=0;
end
end
t=1:L;
subplot(3,1,2)
stem(t,v)
subplot(3,1,3)
stem(conv(x,v)) %Konvolusi sinyal: x(n)*v(n)
5. Coba anda jalankan seperti pada langkah kedua, dan apakah hasilnya seperti ini?
6. Ulangi langkah ke 5 dan rubahlah nilai untuk L=12, 15, dan 12.
Sedangkan untuk P masukkan nilai 10, 5, dan 12, apa yang terjadi?
4.2.3 Konvolusi Dua Sinyal Sinus
Di sini kita mencoba untuk membangkitkan dua sinyal sinus dan melakukan operasi
konvolusi untuk keduanya. Langkah yang harus anda lakukan adalah sebagai berikut:
%----------------------------------------------------------------------
%Nama File : Konvolusi_3.m
%Oleh :
%----------------------------------------------------------------------
%Sinus pertama
t=1:L;
t=2*t/L;
y1=A1*sin(2*pi*f1*t + teta1*pi);
subplot(3,1,1)
stem(y1)
%SInus kedua
t=1:L;
t=2*t/L;
y2=A2*sin(2*pi*f2*t + teta2*pi);
subplot(3,1,2)
stem(y2)
2. Coba anda jalankan program anda dan isikan seperti berikut ini:
Banyaknya titik sampel(>=20): 20
Besarnya frekuensi gel 1 adalah Hz: 1
Besarnya frekuensi gel 2 adalah Hz: 0.5
Besarnya fase gel 1(dalam radiant): 0
Besarnya fase gel 2(dalam radiant): 0.5
Besarnya amplitudo gel 1: 1
Besarnya amplitudo gel 2: 1
Perhatikan tampilan yang dihasilkan. Apakah ada kesalahan pada program anda?
3. Lanjutkan dengan menambahkan program berikut ini pada bagian bawah program yang anda buat
tadi.
subplot(3,1,3)
stem(conv(y1,y2))
4. Jalankan program tersebut, dan kembali lakukan pengisian seperti pada langkah ke 3. Lihat
hasilnya dapat dilihat tampilan seperti berikut
5. Ulangi langkah ke 4, dengan menetapkan nilai sebagai berikut: L=50. w1=w2=2, teta1=1.5,
teta2=0.5, dan A1=A2=1. Apa yang anda dapatkan? Apakah anda mendapatkan hasil yang
berbeda dari program sebelumnya? Mengapa ?
%----------------------------------------------------------------------
%Nama File : Konvolusi_3.m
%Oleh :Tri Budi Santoso dkk
%----------------------------------------------------------------------
%convolusi sinyal sinus bernoise dengan raise cosine;
n=-7.9:.5:8.1;
y=sin(4*pi*n/8)./(4*pi*n/8);
figure(1);
plot(y,'linewidth',2)
t=0.1:.1:8;
x=sin(2*pi*t/4);
figure(2);
plot(x,'linewidth',2)
t=0.1:.1:8;
x_n=sin(2*pi*t/4)+0.5*randn*sin(2*pi*10*t/4)+,... 0.2*randn*sin(2*pi*12*t/4);
figure(3);
plot(x_n,'linewidth',2)
3. Lakukan konvolusi sinyal sinus bernoise dengan raise cosine, perhatikan apa yang terjadi?
xy=conv(x_n,y);
figure(4);
plot(xy,'linewidth',2)
Gambar 4.17. Hasil Konvolusi
5. Coba anda lakukan perubahan pada nilai sinyal raise cosine dengan mengurangi rentang
nilai pada n, bisa anda buat lebih pendek atau lebih panjang, dan ulangi lagi langkah 3,
catat apa yang terjadi.
Coba kita lihat bersama bagaimana pengaruh operasi konvolusi pada sinyal audio, dalam
hal ini kita ulangi permainan seperti pada modul sebelumnya. Untuk itu ikuti langkah
berikut.
%----------------------------------------------------------------------
%Nama File : Konvolusi_4.m
%Oleh :Tri Budi Santoso dkk
%----------------------------------------------------------------------
%convolusi_1.m
clear all;
[Y,Fs] = wavread('lagu_1_potong.wav');
Fs = 16000;%nilai default Fs=16000
sound(Y,Fs)
2. Beri tanda % pada sound(Y,Fs) untuk membuatnya tidak diekesekusi oleh Matlab,
sehingga menjadi % sound(Y,Fs). Kemudian tambahkan perintah berikut.
nois = randn(length(Y),1);
Y_noise = Y + 0.08*nois;
sound(Y_noise,Fs)
satu = ones(4,1);
Y_c = conv(satu,Y_noise);
sound(Y_c,Fs)
Konvolusi pada perbaikan citra adalah merupakan teknik spasial filtering atau pemfilteran
secara ruang pada citra atau gambar yang lazimnya. Titik yang akan diproses beserta titik-titik
disekitarnya (tetangganya - neighbor) dimasukkan kedalam sebuah matrik 2 (dua) dimensi yang
berukuran n x m. Atau konvolusi dari piksel utama yang sama dengan jumlah berbobot dari
piksel-piksel di sekeliling (matrik tetangga) dari piksel utama. Bobot ditentukan oleh matrix
kecil yang disebut mask konvolusi atau kernel konvolusi. Dimensi matrix mask biasanya
kelipatan ganjil, karena titik atau piksel yang akan diproses berada di tengah dari matrik, dimana
posisi tengahnya berkaitan dengan posisi piksel output.
Jendela konvolusi pada citra atau gambar dilakukan tahapan dengan bingkai bergerak yang
berpusat pada tiap piksel pada citra input untuk menghasilkan piksel-piksel yang baru. Jumlah
bobot pada mask berpengaruh pada intensitas keseluruhan dari citra yang baru.
1. Posisi pertama konvolusi dimulai dari tempat jendela konvolusi yang tidak
bertimpaan dengan tepi citra mask 3x3: posisi pertama adalah (1, 1) bukan (0, 0)
2. Ukuran citra diperbesar dengan menduplikasi tepi citra sebelum dilakukan
konvolusi dengan mask 3x3 dapat disalin baris atas, sisi kiri, sisi kanan dan baris
bawah
Contoh: Sebuah citra dengan pusat T dengan matrik kecil dengan tetangganya ukuran (n,m)
= (3x3), akan diperbaiki citra disekitar T, dengan ukuran matrik tetangganya ganjil (3x3)
tersebut. Selain matrik tetangga ukuran (3x3) tersebut, teknik spatial filtering menggunakan
sebuah matrik lain lagi yaitu matrik konvolusi (mask/kernel) yang ukurannya sama dengan
matrik tetangga tadi yaitu (3x3) dalam hal ini adalah matrik Kernel sehingga terbentuk formula
konvolusi (lihat Gambar 4.) . hasil konvolusi citra ditaruh oapada matrik baru.
X(n,m)
= (3x3)
Piksel utama T dan Matrik Matrik tetangga (3x3) pada citra (P1..P9) dan
Tetangga (3x3) matrik kernel/mask (3x3) dengan (A …..I)
x(n.m) = AP1 + BP2 + CP3 + DP4 + EP5 + FP6 + GP7 + HP8 + IP9
Contoh konvolusi gambar ukuran matrik 5 x 5 piksel dan gray scale (keabuan maksimum) 8, dari
filter spasial dilihat nilai maksimum 7.
Contoh selanjutnya operasi konvolusi dengan kernel piksel perpiksel dari gambar/citra dengan
matrik (5 x 5), dan hasil matrik disimpan dalam matrik yang baru:
Konvolusi ke 1
Tempatkan kernel pada sudut kiri atas, kemudian dihitung nilai piksel pada posisi (0 x 0) dari
kernel
Hasil konvolusi sebagai berikut: (0x4) + (-1x4) + (0x3) + (-1x6) + (-1x5) + (0x5) + (-1x6) +
(0x6) = 3 .
Hasil konvolusi 3 tersebut ditaruh pada kotak utama matrik (0x0) lihat Gambar di atas.
Konvolusi ke 2,
Geser kernel satu piksel ke kanan kemudian hitung nilai piksel pada posisi (0,0) dari Kernel
piksel no 1:
Hasil konvolusi sebagai berikut: (0x4) + (-1x3) + (0x5) + (-1x6) + (1x5) + (4x5) + (-1x5) +
(-1x6) + (0x6) = 0 .
Hasil konvolusi 0 tersebut ditaruh pada kotak utama matrik (0x0) lihat Gambar di atas.
Konvolusi tahap ke 3
Selanjutnya, geser kernel satu piksel ke kanan kemudian hitung nilai piksel pada posisi (0,0) dari
Kernel piksel no 2:
Hasil konvolusi sebagai berikut: (0x3) + (-1x5) + (0x4) + (-1x5) + (4x5) + (-1x2) + (0x6) +
(-1x6) + (0x2) = 2 .
Hasil konvolusi 2 tersebut ditaruh pada kotak utama matrik (0x0) lihat Gambar di atas.
Konvolusi tahap ke 4
Selanjutnya geser kernel satu piksel ke bawah lalu mulai lagi melakukan konvolusi dari sisi kiri
citra. Setiap kali konvolusi, geser Kernel satu piksel kekanan dan lakukan lagi perhitungan yang
sama (lihat Gambar di bawah) dan seterusnya.
Hasil konvolusi ini adalah: (0x6) + (-1x6) + (0x5) + (-1x5) + (4x6) + (-1x6) + (0x6) + (-1 x7) +
(0x5) = 0
Hasil konvolusi 0 tersebut ditaruh pada kotak utama matrik (0x0) lihat Gambar di atas.
Konvolusi tahap ke 5
Selanjutnya, geser Kernel satu piksel ke kanan lalu mulai lagi melakukan konvolusi dari sisi
kiri citra. Setiap kali konvolusi, geser Kernel satu piksel kekanan dan lakukan lagi perhitungan
yang sama (lihat Gambar di atas) dan seterusnya.
Hasil konvolusi ini adalah: (0x6) + (-1x5) + (0x5) + (-1x6) + (4x6) + (-1x6) + (0x7) + (-1 x5) +
(0x5) = 2
Hasil konvolusi 2 tersebut ditaruh pada kotak utama matrik (0x0) lihat Gambar di atas.
Konvolusi tahap ke 6
Selanjutnya, geser Kernel satu piksel ke kanan lalu mulai lagi melakukan konvolusi dari sisi
kiri citra. Setiap kali konvolusi, geser Kernel satu piksel kekanan atau ke bawah dan lakukan lagi
perhitungan yang sama (lihat Gambar di atas) dan seterusnya.
Hasil konvolusi ini adalah: (0x5) + (-1x5) + (0x2) + (-1x6) + (4x6) + (-1x2) + (0x5) + (-1 x5) +
(0x3) = 6
Hasil konvolusi 6 tersebut ditaruh pada kotak utama matrik (0x0) lihat Gambar di atas.
Masalah yang timbul pada konvolusi tersebut adalah Piksel pinggir (border), karena beberapa
koefisien konvolusi tidak dapat diposisikan pada piksel piksel citra yang disebut Efek
Menggantung “ hang effect” seperti matrik yang diperoleh di bawah ini (tanda tanya). Hal ini
akan selalu terjadi pada piksel-piksel pinggir kiri, kanan, atas dan bawah solusi masalah ini
adalah dengan menggunakan [SID95].
Hasil akhir matrik baru dari konvolusi citra dalam bentuk matrik
1. Ada beberapa cara untuk mengolah piksel – piksel yang berada di tepi citra
2. Piksel-piksel pinggir diabaikan, tidak dikonvolusi, Cara demikian banyak dipakai
di dalam pustaka fungsi yaitu fungsi pengolahan citra. Dengan cara demikian,
maka piksel-piksel pinggir nilainya sama seperti citra asal (tidak berubah).
3. Akan terjadi duplikasi elemen citra/gambar, misal elemen kolom pertama disalin ke
kolom (m + 1), begitu juga sebaliknya, lalu konvolusikan piksel-piksel pinggir
tersebut.
4. Elemen yang ditandai dengan ? atau zero-padding yang kosong diasumsikan
dengan nilai 0 atau konstanta lain (nilai aslinya), sehingga piksel-piksel pinggir
dapat dioperasikan.
5. Solusi ketiga pendekatan di atas mengansumsikan bagian pinggir citra/gambar
lebarnya sangat kecil (hanya satu piksel) dibandingkan dengan ukuran gambar
yang ada, sehingga piksel-piksel yang diasumsikan tersebut tidak memberikan
pengaruh signifikan jika dilihat (contoh matrik di Gambar bawah)
4 4 3 5 4
6 3 0 2 2
5 0 2 6 2
6 6 0 2 3
3 5 2 4 4
6. Jika hasil konvolusi menghasilkan nilai pixel negatif, maka nilai tersebut dijadikan
nol, sebaliknya jika hasil konvolusi menghasilkan nilai pixel yang lebih besar dari
nilai maksimum, maka nilai tersebut dijadikan ke nilai keabuan maksimum.
7. Untuk pixel tepi tidak dikonvolusi, jadi nilainya tetap sama seperti citra asal,
Sehingga hasil secara keseluruhan adalah seperti gambar berikut :
Jadi apa sebenarnya konvolusi dengan korelasi
Konvolusi adalah salah satu proses filtering atau masking atau kernilisai image yang sering
dilakukan pada proses pengolahan gambar. Pada MATLAB terdapat banyak sekali cara yang
dapat dilakukan untuk melakukan proses konvolusi. Proses konvolusi dilakukan dengan
menggunakan matriks yang biasa disebut mask yaitu matriks yang berjalan sepanjang proses dan
digunakan untuk menghitung nilai representasi lokal dari beberapa piksel pada image lebih
dikenal Kernel
Sedangkan Korelasi pada statistika adalah keterkaitan/hubungan linier antara dua peubah acak.
Jadi inti konvolusi di sini adalah memfilter/masker atau mekorelasikan gambar, sehingga
diperoleh lebih jelas, seperti terlihat pada gambar di bawah. Untuk melakukan pemfilteran dapat
dilakukan dengan cara memasang filter: Low Pass Filter (LPF), Band Pass Filter (BPF), High
Pass Filter (HPF), Laplacian, Directional, Roberts, Sobel maupun Gaussian, hal ini akan dibahas
pada BAB VI mengenai filter.
Untuk penapis atau filter LPF sering disebut averaging filter atau perata-rata, untuk hardware
disebut unit perata-rata. Filter LPF ini akan menghasilkan citra yang lebih lembut (smooth)
sehingga terkesan kabur (Blur), dan mengurangi kisaran tinggi abu-abu. Jumlah koefisien =1
yang berarti jika lebih besar dari 1 akan menghasilkan penguatan (penajaman).
4. selanjutnya SAVE/CTRL+S ,
5. Yang perlu diingat sebelum tekan F5. Pada gambar di atas yang digaris bawahi dengan
warna merah, itu menunjukan gambar, artinya masukan/simpan gambar tsb yang akan di
konvolusi di direktori file(.m) pada gambar atas (yang disave diatas, gambar terdapat
:D
6. dan terakhir tekan F5.
7. Keluar tampilan gambar baru yang sudah dikonvolusi.
Sebelum sesudah di konvolusi
Konvolusi pada MATLAB. terlihat jelas perbedaannya. Di atas sudah dijelaskan proses
perhitungan dengan menggunakan korelasi tersebut. Disini mengambil sample dari matriks yang
belum di konvolusi dan yang sudah di konvolusi dapat dilihat dalam gambar sepatu diatas. Gurat
lebih jelas setelah difilter.
Referensi
http://ensiklopediseismik.blogspot.com/2007/06/konvolusi-convolution.html,
http://en.wikipedia.org/wiki/Convolution,
http://www.sfu.ca/~truax/conv.html,
http://www.mathworks.com.