Anda di halaman 1dari 19

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................

DAFTAR ISI................................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................

1. Latar Belakang................................................................................................................
2. Rumusan Masalah...........................................................................................................
3. Tujuan Penelitian............................................................................................................
4. Manfaat Penelitian..........................................................................................................

BAB II TINJAUAN TEORI.......................................................................................................

1. Definisi secara Umum Bencana.....................................................................................


2. Fase-fase hingga Permasalahan Penanggulangan Bencana........................................
3. Cara mengurangi resiko bencana..................................................................................
4. Pemulihan Korban Pasca Bencana...............................................................................
5. Dampak Bencana pada aspek Spriritual......................................................................
6. Kelompok–Kelompok Rentan Saat Bencana...............................................................
7. Konteks kajian spritualitas bencana.............................................................................
8. Bagaimana Kesenjangan Tema Kajian Spiritualitas Bencana
9. Perawatan atau Tindakan yang dapat diberikan pada penderita spiritual korban
bencana............................................................................................................................

BAB III PENUTUP.....................................................................................................................

1. Kesimpulan......................................................................................................................
2. Saran................................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa , karena dengan rahmat
dan karunia-Nya kami masih diberi kesempatan untuk bekerja bersama untuk menyelesaikan
makalah ini.
Atas limpahan rahmat dan hidayah Nyalah kami dapat menyelesaikan tugas makalah
Mata Kuliah Keperawatan Bencana.Kami mengakui bahwa sebagai manusia biasa memiliki
banyak keterbatasan dalam segala hal. Oleh karena itu, tidak ada hal yang dapat diselesaikan
dengan sangat baik dan sempurna.Semoga dengan adanya makalah ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca untuk menambah wawasan tentang Perawatan Psikososial dan Spiritual pada
Korban Bencana.
Kami menyadari bahwa penulisan laporan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,
maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk
kesempurnaan makalah ini. Akhir kata semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu menuntun kita
menuju jalan yang benar.

Gorontalo, November 2021

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Setiap bencana pasti meninggalkan duka dan luka. Terbayang
penderitaan yang dialami masyarakat Jepang, khususnya di daerah bencana
(Sendai, Fukushima, dan sekitarnya), bencana gempa bumi dan tsunami yang
menelan korban lebih dari 10.000 jiwa ini tentunya akan membawa
perasaan pilu yang mendalam bagi seluruh keluarganya. Demikian pula
kejadian gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh 6 tahun yang lalu
yang menelan korban sekitar 200.000 jiwa. Tidak hanya itu, selain
kehilangan sanak saudara, para korban gempa juga kehilangan tempat
tinggal. Bangunan rumah mereka hancur, dan rata dengan tanah.
Akibat dari bencana tersebut akan berpengaruh terhadap kehidupan
masyarakat paska bencana, sebagai akibat perubahan yang terjadi dalam
hidup mereka yang terjadi secara drastis dan tiba–tiba, dan pada
akhirnya menimbulkan kelainan atau gangguan pada mental atau gangguan
kejiwaan sebagai buntut bencana. 
Pada fase awal bencana, akan membuat para korban menjadi khawatir dan
bahkan mungkin menjadi panik. Kepanikan itu berupa, seseorang akan
merasa sangat down, shock, karena kehilangan harta benda dan
sanak saudara. Demikian pula, mereka akan merasakan berbagai macam emosi
seperti ketakutan, kehilangan orang dan benda yang dicintainya, serta
membandingkan keadaan tersebut dengan kondisi sebelum bencana, mereka
kembali mengingat harta benda yang telah hilang atau rusak sekaligus
merasakan kesedihan yang mendalam. Hingga pada akhirnya merasa kecewa,
frustasi, marah, dan merasakan pahitnya hidup.
1.2 Rumusan Masalah
1) Bagaimana Definisi secara Umum Bencana?
2) Bagaimana Fase-fase hingga Permasalahan Penanggulangan Bencana?
3) Bagaimana cara mengurangi resiko bencana?
4) Bagaimana Pemulihan Korban Pasca Bencana?
5) Bagaiman Dampak Bencana pada aspek Spriritual?
6) Bagaimana Kelompok–Kelompok Rentan Saat Bencana?
7) Bagaiamana Konteks kajian spritualitas bencana?
8) Bagaimana Kesenjangan Tema Kajian Spiritualitas Bencana?
9) Bagaimana Perawatan atau Tindakan yang dapat diberikan pada penderita spiritual
korban bencana?

1.3 Tujuan

1) Mahasiswa memahami Definisi secara Umum Bencana,


2) Mahasiswa mampu memahami Fase-fase hingga Permasalahan Penanggulangan Bencana
3) Mahasiswa mampu mengurangi resiko bencana
4) Mahasiswa dapat mengetahui dan menerapkan Tahapan Pemulihan Korban Pasca
Bencana
5) Mahasiswa mengetahui dampak Spiritual dalam Korban Bencana
6) Mahasiswa mampu mengetahui Kelompok–Kelompok Rentan Saat Bencana
7) Mahasiswa mengetahui Konteks kajian spritualitas bencana
8) Mahasiswa dapat mengetahui Kesenjangan Tema Kajian Spiritualitas Bencana
9) Mahasiswa mampu mengetahui Perawatan atau Tindakan yang dapat diberikan pada
penderita spiritual korban bencana?
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi Bencana


Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana menyebutkan
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau
faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Definisi tersebut menyebutkan bahwa bencana disebabkan oleh faktor alam, non alam, dan
manusia. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tersebut juga
mendefinisikan mengenai bencana alam, bencana nonalam, dan bencana sosial.
1) Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung
meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
2) Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian
peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi,
dan wabah penyakit.
3) Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau
antarkomunitas masyarakat, dan teror.
2.2 Fase-fese Bencana

Menurut Barbara Santamaria (1995), ada 3 fase dalam terjadinya suatu bencana, yaitu
diantaranya :

1) Fase preimpact
Merupakan warning phase, tahap awal dari bencana. Informasi didapat dari badan
satelit dan meteorologi cuaca. Seharusnya pada fase inilah segala persiapan dilakukan baik
oleh pemerintah, lembaga, dan warga masyarakat.
2) Fase impact
merupakan fase terjadinya klimaks dari bencana. Inilah saat-saat dimana manusia
sekuat tenaga mencoba untuk bertahan hidup (survive). Fase impact ini terus berlanjut
hingga terjadi kerusakan dan bantuan-bantuan darurat dilakukan.
3) Fase postimpact
adalah saat dimulainya perbaikan dan penyembuhan dari fase darurat, juga tahap
dimana masyarakat mulai berusaha kembali pada fungsi komunitas normal. Secara umum
dalam fase postimpact ini para korban akan mengalami tahap respon psikologis mulai
penolakan, marah, tawar-menawar, depresi hingga penerimaan.
2.3 Permasalaahan Dalam Penanggulangan Bencana

Secara umum masyarakat Indonesia termasuk aparat pemerintah didaerah memiliki


keterbatasan pengetahuan tentang bencana seperti berikut :
1) Kurangnya pemahaman terhadap karakteristik bahaya
2) Sikap atau prilaku yang mengakibatkan menurunnya kualitas SDA
3) Kurangnya informasi atau peringatan dini yang mengakibatkan ketidaksiapan
4) Ketidakberdayaan atau ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bahaya
2.4 Pengurangan Resiko Bencana
Tahapan penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi:
1) Pra bencana, pada tahapan ini dilakukan kegiatan perencanaan penanggulangan
bencana, pengurangan risiko bencana, pencegahan, pemaduan dalam perencanaan
pembangunan, persyaratan analisis risiko bencana, penegakan rencana tata ruang,
pendidikan dan peletahihan serta penentuan persyaratan standar teknis penanggulangan
bencana (kesiapsiagaan, peringatan dini dan mitigasi bencana).
2) Tanggap darurat, tahapan ini mencakup pengkajian terhadap loksi, kerusakan dan
sumber daya; penentuan status keadan darurat; penyelamatan dan evakuasi korban,
pemenuhan kebutuhan dasar;  pelayanan psikososial dan kesehatan.
3) Paska bencana, tahapan ini mencakup kegiatan rehabilitasi (pemulihan daerah bencana,
prasaranan dan saran umum, bantuan perbaikan rumah, social, psikologis, pelayanan
kesehatan, keamanan dan ketertiban) dan rekonstruksi (pembangunan, pembangkitan dan
peningkatan sarana prasarana termasuk fungsi pelayanan kesehatan.
2.5 Dampak bencana pada aspek spiritual
Manusia sebagai makhluk yang utuh atau holistik memiliki kebutuhan yang kompleks yaitu
kebutuhan biologis, psikologis, sosial kultural dan spiritual. Spiritual digambarkan sebagai
pengalaman seseorang atau keyakinan seseorang, dan merupakan bagian dari kekuatan yang
ada pada diri seseorang dalam memaknai kehidupannya. Spiritual juga digambarkan sebagai
pencarian individu untuk mencari makna (Bown & Williams, 1993). Dyson, Cobb, dan
Forman (1997) menyatakan bahwa spiritual menggabungkan perasaan dari hubungan
dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan dengan kekuatan yang lebih tinggi.
Bencana adalah fenomena kehidupan yang maknanya sangat tergantung dari mana seseorang
memaknainya. Disinilah aspek spiritual ini berperan. Dalam kondisi bencana, spiritualitas
seseorang merupakan kekuatan yang luar biasa, karena spiritualitas seseorang ini
mempengaruhi persepsi dalam memaknai bencana selain faktor pengetahuan, pengalaman,
dan sosial ekonomi.
Kejadian bencana dapat merubah pola spiritualitas seseorang. Ada yang bertambah
meningkat aspek spiritualitasnya ada pula yang sebaliknya. Bagi yang meningkatkan aspek
spiritualitasnya berarti mereka meyakini bahwa apa yang terjadi merupakan kehendak dan
kuasa sang Pencipta yang tidak mampu di tandingi oleh siapapun. Mereka mendekat dengan
cara meningkatkan spiritualitasnya supaya mendapatkan kekuatan dan pertolongan dalam
menghadapi bencana atau musibah yang dialaminya. Sedangkan bagi yang menjauh
umumnya karena dasar keimanan atau keyakinan terhadap sang pencipta rendah, atau karena
putus asa.
Manusia sebagai mahkluk yang utuh atau holistic memiliki kebutuhan yang kompleks yaitu
kebutuhan biologis, psikologis, social kultural dan spiritual. Spiritual di gambarkan sebagai
pengalaman seseorang atau keyakinan seseorang, dan merupakan bagian dari kekuatan yang
ada pada dari seseorang dalam memaknai kehidupannya. Spiritual juga di gambarkan
sebagai pencarian individu untuk mencari makna (Bownt& Williams 1993). Dyson, cobb,
dan forman (1997) menyatakan bahwa spiritual mengambarkan perasaan dari hubungan
dengan dirinya sendiri, dengan orang lain dan dengan kekuatan yang lebih tinggi.
2.6 Kelompok–Kelompok Rentan Saat Bencana
Bencana adalah masalah global dengan dampak yang sulit diprediksi. Siapa saja dapat
menjadi korban saat kejadian bencana, namun terdapat individu atau kelompok-kelompok
tertebtu yang memiliki resiko yang lebih besar atau rentan saat kejadian bencana atau pasca
bencana yang dapat disebabkan karena usia, jenis kelamin, kondisi fisik dan kesehatan atau
karena kemiskinan. Oleh karena itu petugas kesehatan yang terlibat dalam penanganan
bencana perlu mengidentifikasi kelompok-kelompok rentan ini sebelum kejadian bencana,
termasuk mekibatkan mereka sejak tahap kesiap-sigaan bencana dan mengidentifikasi
sumber daya yang dibutuhkan untuk mengurangi dampak jangka pendek maupun jangka
panjang bencana pada kelompok tersebut. Kelompok-kelompok rentan rentan saat bencana
diantaranya: lanjut usia, wanita hamil, atau menyusui, anak-anak dan bayi,orang-orang
dengan penyakit kronis,kecacatan dan ganguan metal. Dalam Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia (PP Nomor 21 th 2008, tentang Penyelenggaraan Penanggulangan
Bencana) terdapat pasal tentang pelindungan kepada kelompok rentan, dimana pemerintah
dan lembaga terkait harus memberikan prioritas pelayanan penyelamatan, evakuasi,
pengamanan pelayanan kesehatan dan psikososial. Bab ini akan membahas lebih jauh
kelompok rentan dalam menghadapi bencana.
1) Lanjut Usia
Lanjut usia(lansia) merupakan salah satu kelompok rentan baik pada saat kejadian
bencana maupun pasca bencana bencana yang disebabkan karena salah satu atau
kombinasi dari factor-faktor keterbatasan fisikm ketebatasan funsional, karakteristik
sosiodemografi dan psikososial dan atau menderita penyakit kronis sehingga
membutuhkan lebih banyak bantuan. Selain itu, dalan situasi kegawatdaruratan, lansia
mengabaikan peringatan bencana dan enggan meninggalkan rumah mereka. Di Amerika
Serikat, sebagian besar korban kematian akibat Badai Katrina tahun 2005 dialami oleh
lansia. Di kota Lousiana and New Orleans, lebih dari 70% korban yang meninggal
berusia lebih dari 60 tahun.
Setelah kejadian bencana, alnsia mudah mengalami penurunan kesadaran akibat kurang
nutrisi, suhu yang ekstrim, terpapar terhadapnsumber infeksi di pengungsian,
keterbatasan bantuan kebutuhan medis dan stress emosional. Hull (2007) melaporkan
sekitar 1300 lansia yang hidup mandiri sebelumnya harus tinggal di panti jompo karena
mengalami komplikasi penyakit kronis setelah Bencana Badai Katrina Tahun 2005. Oleh
karena itu, lansia memerlukan perhatian dan dukungan khusus dari petugas kesehatan
untuk mencegah kondisi yang lebih parah pasca bencana. Kegiatab yang dapat dilakukan.
a) Buat disaster plans di rumah yang disosialisasikan kepada seluruh anggota
keluarga sehingga keluarga dapar memberikan dukungan yang sesuai saat
bencana terjadi.
b) Pemberian nutrusu adekuat sesuai dengan kebutuhab lansia dab penyakit yang
dideritanya.
c) Pemeriksaan kesehatan untuk mencegah penyakit penyerta yang dapat timbul
karena penurunan daya tahan tubuh lansia.
d) Libatkan petugas konseling untuk mencegah, mengdentifikasi, mengurangi
resiko kejadian depresi pasca bencana.
2) Wanita Hamil dan Menyusui
Wanita khususnya wanita hamil sangat rentan saat bencana karena keterbatasan fisik
yang dialami sehingga kesulitan untuk menyelamatkan diri dalam situasi darurat. Survey
yang dilakukan oleh Nishikikori et al. (2006) yang bertujuan untuk menggambarkan
kematian dan factor resikonya akibat bencan Tsubami 2004 di Wilayah Pantai Timur
Srilanka menemukan jumlah kematian pada wanita dua kali lebih besar dibandungka
laki-laki. Kondisi hamil juga menyebabkan wanita rentan pada saat proses evakuasi
karena ancaman keguguran atau kelahiran premature, pendarahan serta pelepasan dini
plasenta sehingga perlu dilakukan secara cepat dan tepat serta perlu disediakan alat
untuk pertolongan persalinan darurat.
Pada saat bencana pemeriksaan rutin pada wantia hamil harus tetap dilakukan oleh
petugas kesehatan untuk mengidentifikasi awal resiki yang dapat terjadi akibat dari
stress fisk dan psikologis yang dialami. Kegitan yang dapat dilakukan.
a) Buat disaster plans di rumah yang disosialisasikan kepada seluruh anggota
keluarga sehingga keluarga dapat memberikan dukungan yang sesuai saat
bencana terjadi
b) Pemberian nutrisi adekuat sesuai dengan kebutuhan ibu hamil dan menyusui.
c) Libatkan petugas konseling untuk mencegah, mengidentifikasi, mengurangi
resiko kelanjutab depresi pasca bencana.
3) Anak-Anak
Anak-anak sering menjadi korban pada semua jenis bencana. Lebih lanjut lagi
ketersedian sumber daya, alat, dan bahan yang sesuai dengan kebutuhan anak yang
menjadi korban bencana sering diabaikan pada tahap kesiap-siagaan bencana.
Diperkirakan sekitar 70% dari total kematian akibat bencana dialami oleh anak-anak
baik bencana alam maupun vencana akibat perbuatan manusia. Lebih tepatnyadari 30%
korban bencana Tsunami tahun 2004 di Wilayah Pantai Timur Srilanka adalah anak-
anak.
Anak-anak juga retan terpisah dari orang tua atau keluarga mereka pada saat bencana.
Pada saat kejadian Badai Katrina di Amerika Serikat, banyak anak-anak yang tiba
ditempat pengungsian setelah dievakuasi dari New Orleans mengalami trauma psikilogis
karena terpisah dengan keluarga mereka. Akubat bencan Tsunami di Aceh tahun 2004,
sekitar 35.000 anak Indonesia kehilangan satu ata kedua orang tuanya. Selain itu,
terdapat juga laporan adanya perdagangan anak (Chil trafficking) yang dialami oleh
anak-anak yang kehilangan orang tua/wali.
Anak-anak rentan mengalami masalah kesehatan jangka pendek dan jangka panjang
karena keterbatasan fisik, imunitas, kondisi psikososial dan kurangnya kemampuan
untuk mengidentifikasi dan melindungi diri dari bahaya yang dipengaruhi oleh tahap
perkembangan serta kemampuan komunikasinya. Oleh karena itu, petugas kesehatan
bencana perlu lebih tanggap dala mengidentifikasi dini masalah-masalah kesehatan fisik
dan psikososial yang dialami oleh anak, serta mampu merancang intervensi-intervensi
yang dapat menurunkan resiko-resiko yang dapat terjadi pada anak intra dan pasca
bencana misalnya dengan melakukan pemeriksaan kesehatan serta berkala, melakukan
terapi kelompok bermain, dan lain-lain.
Kegiatan yang dapat dilakukan dalam mempersiapkan anak-anak siap bencana.
a) Libatkan anak-anak dalam latihan kesiapan bencana di institusi pendidikan usia
dini dan sekolah dasar.
b) Siapkan fasilitas kesehatan yang khusus untuk bayi dan anak pada saat bencana.
c) Pertolongan sesuai dengan permasalahan fisik dan aspek tumbuh kembangnya.
d) Upayakan saat evakuasi trasportasi dalam memberi pelayanan fasilitas kesehatan,
hindari memisahkan abak dari orang tua, keluarga, atau wali.
e) Lakukan healing proses dan healing terapi untuk menurunkan memori yang
negative akibat bencana

2.7 Konteks kajian spritualitas bencana

Bencana adalah suatu peristiwa yang secara umum di anggap negatif karena dapat
merugikan manusia secara langsung, berupa kerugian material atau bahkan kehilangan
nyawa. Namun demikian, dalam persestif yang lebih kontemtorel,bencana juga bisa
memiliki posisi positif tertentu. Seperti misalnya kreps(dalam quaran velly, 1998) yang
menyebutkan bahwa bencana menyangkut dua askep yakni: kejadian sistemik(SYSTEMIC
EVENTS) dan katalis sosial (social catalyst), dimana askep kedua inilah yang menonjolkan
sisi positif dari peristiwa bencana

Askep kejadian sistemik dapat di pahami sebagai suatu venomena sosial yang melibatkan
suatu peristiwa dramatik yang akan menjadi momen bersejara bagi genarasi-genarasi
berikut. Kejadian sistemik menjadi hanya terkait dengan fenomena sosial karena bencana
bukan saja berdampak langsung pada orang-orang yang menjadi korban ketika peristiwa
bencana berlangsung, tetapi juga akan menjadi catatan sejarah yang menciptakan suatu
persepsi bersama bahwa sebuah bencana telah melukai dan membunuh banyak orang dengan
jumlah yang signifikan. Hal ini membuat orang yang mengetahui catatan sejarah itu menjadi
lebih waspada terhadap peristiwa bencana yang sama maupun lainnya. Perspektif
kesejarahan ini penting dalam studi kebencanaan secara sosial karena sejarah merupakan
suatu konstruksi sosial, yang merupakan agregasi dari pengalaman dan memori individu
yang disampaikan secara lisan maupun tulisan.

Aspek kedua dari definisi bencana menurut perspektif ilmu sosial adalah”katalis sosisal”.
Katalis sosial dapat dipahami sebagai suatu reaksi kolegtif terhadap peristiwa yang
menganggu dan merugikan kehidupan manusia. Kreps (dalam qwarantelli, 1998) bahkan
menyatakan secara eksplisit bahwa aspek kedua inilah yang menegaskan perbedaan definisi
bencana secara teknis dengan bencana dalam prespektif karena dalam kerangka ini bencana
memiliki hubungan kausa litas dengan percepatan dan dinamika sosial serta reaksi sosial
memperkuat atau mumgkin sebaliknya menghancurkan struktur sosial yang ada.

Ilustrasi untuk mengambar adalah perbandingan antara proses pemulihan pasca bencana
gempa dan tsunami diaceh dengan bencana gempa di yogyakarta. Dengan mengabaikan
skala dan dampak langsung yang terjadi, kedua bencana tersebut telah mendorong terjadinya
reaksi perubahan sosial dengan derajat yang berbeda. Artinya, pemahaman bencana dalam
konteks ini mulai mengarah pada adanya dampak sosial bencana yang berpeluang positif
pada dinamika budaya dan struktur sosial pasca terjadinya suatu peristiwa bencana.
Terkait dengan penanganan dampak dan korban bencana ini, telah berkembang gagasan
untuk mengurangi korban bencana dengan mengelola resiko bencana, daripada sekedar
menolong korban bencana. Ketangguhan atau resiliensi telah menjadi gagasan umum dalam
upaya memperkuat upaya kolektikf untuk membuat sekelompok penyintas korban bencana
dapat menghadapi potensi ancaman bencana yang mungkin berulang

Collinis (2009: 160) menyebutkan bahwa sudah mulai ada kesadaran yang meluas untuk
meningkatkan upaya respon bencana kepada pendekatan penguatan ketangguhan
masyaratkat kepada sekadar pendekatan konseling tradisional terhadap para penyintas. Hal
ini mengindikiasikan bahwa ada suatu cara pandang baru untuk melakukan penanggulangan
bencana yang tidak hanya bersifat individual dan jangka pendek, namun mulai melihat aspek
komunal yang bisa dilembangakan secara jangka panjang.

Namun demikian, harus tetap di pahami bahwa para penyintas bencana umumnya memiliki
pola trauma bervariasai yang berkaitan dengan determinasi budaya tertentu (Ren, 2012).
Cara orang barat memaknai kehidupan yang berbeda dengan cara orang timur memaknai
kehidupan, membuat responds terhadap situasi bencana pun berbeda. Ini artinya ada
perbedaan dimensi cara pandang terhadap kehidupan. Dalam kerangka konseptual, cara
pandang atau pemaknaan terhadap aspek kehidupan adalah wujud dari spiritualitas yang
nyata yang perlu di perhatikan dalam hal penanganan penyitas bencana.

Spritualitasme yang selalu hadir dalam kehidupan manusia yang terutama dipicu oleh
sebuah situasi ekstrim, seperti misalnya kesenangan dalam suka cita dan kebahagiaan
(Hidayat, 2015-a) atau juga rasa takut yang mendalam atas sesuatu peristiwa yang berakhir
pada kematian (Hidayat, 2015-b). Namun peristiwa yang menakutkan memang sering kali
berpengaruh lebih kuat dan bersifat jangka Panjang dalam membentuks pritualitas seseorang
dibandingkan suasana sukacita (Indiyanto&Kuswanjono (eds,)-a 2012).

Salah satu sumber rasa takut yang besar atas berakhirnya kehidupan yang dapat menjadi
pemicu utama menguat atau melemahnya spiritualita sseseorang adalah situasi bencana
(Peres et.all., 2007 ; Ren, 2012 ; Stratta et. All., 2013). Bencana seolah-olah menjadi
“neraka” kecil yang membuat mereka yang melihat secara langsung menjadi takut dan
gentar. Mereka menjadi merasa sangat terancam dan sangat bersyukur bisa selamat dari
peristiwa bencana yang merenggut harta benda dan mungkin juga anggota keluarga serta
kerabat dan teman-teman mereka.

Dalam konteks di Indonesia, spritualitas memiliki bentangan dimensi yang lebih luas. Ia
tidak hanya mencakup matra transedensi dalam berkehidupan, tetapi juga kekuatan
pengetahuan yang terlembaga dalam mentalitas budaya yang unik. Seperti misalnya Vickres
(2005) menjelaskan apa yang terjadi di Indonesia dalam rentang sejarahnya adalah interaksi
alam pikiran yang membentuk pola tertentu dari hasil interaksi sosial, politik, dan budaya
yang dimulai sejak kehadiran Belanda di tanah air.

Spritualitas sendiri memang cenderung lebih kental dalam dimensi individualistis daripada
dimensi kolektifnya. Disinilah letak kegagalan spritualitas yang dirasuki cara pandang dunia
modern yang berorientasi pada individualisme dalam menjelaskan perilaku kolektif sebagai
suatu entitas yang utuh. Bisa dikatakan semua pemikir modernitas menekankan
individualisme sebagai pusatnya.

Secara fisiologis, individualisme memiliki arti sebagai suatu penolakan bahwa diri pribadi
manusia secara internal berhubungan dengan hal-hal lain; bahwa setiap individu manusia
sangat ditentukan oleh hubungannya dengan orang lain, dengan Lembaga, dengan alam,
dengan masa lalunya, atau mungkin dengan suatu pencipta ilahi. Descartes mengkapkan
individualusme dengan jelas sekali dengan difinisinya tentang substansi, dimana jiwa
manusia menjadi contohnya yang paling utama yang untuk menjadi dirinya tidak
memerlukan apapun selain dirinya sendiri. (Griffin, 2005)

Dari sudut pandang sosiologis, indivualisme terutama berarti penghancuran komunitas dan
institusi organic yang kecil dan intim dalam satu proses sentralisasi. Pergerakan ini
merupakan transisi dari komunitas (gemeinschaft) kemasyarakatan gregatif (gesselschaft).
Pergerakan ini juga disebut sebagai transisi dari masyarakat yang berdasar pada adat istiadat
kepada masyarakat yang di dasarkan pada kontrak atau dari masyarakat yang di dasarkan
tradisi kemasyarakat yang di dasarkan pada perhitungan rasional.

Intinya adalah, bahwa sebagaian besar struktur yang di dalamnya manusia telah memiliki
hubungan intim, facetoface, dan yang telah menjawab sebagian besa rmasalah manusia,
telah bermodifikasi sehingga hubungan-hubungan sosial antara individu menjadi semakin
terbatas pada kelompok-kelompok infersonal yang besar, yang sebenarnya hanya melibatkan
sekelompok kecil dari kehidupan seseorang saja individual lah yang menjadi sentral dari
pergerakan koletif yang bermakna.

2.8 Kesenjangan Tema Kajian Spiritualitas Bencana

Buku ini akan mengkaji bagaimanakah sebuah entitas spritualitas yang unik dapat
membentuk cara berpikir para penyintas terhadap ancaman bencana yang dilembagakan
dalam rutinitas pola kehidupan masyarakat di lokasi rawan bencana.

Pada dasarnya sudah banyak penelitian yang mencoba mengangkat tema tentang spritualitas
dalam perspektif ilmu sosial. Beberapa ilmuan sosial menegaskan kaitan spritualitas dengan
karakter individual dalam perannya sebagai makhluk sosial yang selalu mencari kebaikan
dalam hidupnya dalam wujud kesejahteraan dan kemakmuran (Cavanagh, 2002: Zohar,
2004: Karakas, 2010). Sementara sekelompok ilmuan lain tampaknya lebih banyak
membahas dan mengkaji spritualitas dalam tataran nilai yang mendasari transpormasi sosial
untuk mencapai keadilan yang lebih meluas (Marstlof, 1998: Jurkiewicz, 2004: Pawer,
2009). Kedua cara pandang ilmu-ilmu sosial dalam mengelaborasi konsep spritualitas ini
(distribusi keadilan dan kesejahteraan), tentunya sangat relevan jika dihubungkan kembali
pada tataran pola kehidupan masyarakat dilokasi rawan bencana serta kebijakan dan
pelaksaan tata kelola resiko bencana, terutama dalam senjumlah isu spesifik yang sering kali
dikaitkan dengan tema spritualitas, seperti isu tata kelola lingkungan ( Booth,1999:Coates
Ed.,2007) dan juga isu kebencanaan ( marsella ed.,2008).

Di Indonesia sendiri khususnya di lingkungan Universitas Indonesia penelitian tentang


spritualitas dan juga kebencanaan sudah banyak dilakukan sebelumnya. Dalam penelusuran
koleksi perpustakaan UI dalam 30 tahun berakhir, paling tidak ada 430 judul penelitian
skripsi, tesis, atau penelitian dosen dari berbagai fakultas yang berhubungan dengan bencana
dengan sebaran kategori kata kunci pencaharian.

Sementara studi ilmiah dalam bentuk skripsi, tesis, dan disertai tentang spritualitas juga
sudah ada dari berbagai jenjang studi dan berbagai fakultas. Namun memang jumlahnya
tidak sebanyak penelitian tentang kebencanaan. Beberapa penelitian tentang spritualitas ini
umumnya memang berkaitan dengan metode atau proses bantuan tertentu, seperti misalnya
spiritualitas sebagai upaya intervensi sosial dalam ranah pekerjaan sosial ( Musthofa,2016:
Witono,2015: Endang,2013:Erlangga,2010) atau spiritualitas sebagai metode asuhan
keperawatan (Collein,2010:Syam,2010)

Tema kajian ilmiah spiritualitas lainnya yang ada dilingkungan Universitas Indonesia adalah
studi tentang spiritualitas pada tataran individu sebagai perkembangan psiko-sosial manusia
(Natasuarna,2006) dan juga spiritualitas sebagai gaya hidup individual (dading,2006)
sementara kajian lainnya lebih memfokuskan implikasi spiritualitas terhadap entitas
kelompok sosial (Munandar,2011:Mulyono,2010: Karim,2008).

Dari penelitian-penelitian tersebut dapat dilihat bahwa tema spiritualitas tersebut semuanya
merupakan kajian yang memisahkan spiritualitas pada tataran individu dengan spiritualitas
pada entitas kelompok sosial yang lebih luas. Belum ada tema kajian kerangka yang
berupaya menghubungkan ekstrapolasi dari tingkat individual hingga ketataran struktur
sosial yang lebih makro. Hal inilah yang menjadi dasar dan gagasan awal dari penelitian di
buku ini.

Sementara jika dihubungkan dengan tema penelitian kebencanaan di atas, memang belum
banyak penelitian yang mengkombinasikan tema spiritualitas dengan tema penanggulangan
bencana. Hal ini menjadi suatu kekuatan menjadi sebuah researchgap sebagai titik pangkal
untuk mengetahui lebih lanjut tentang berbagai fenomena dan praktek baik yang ada
dilapangan beberapa praktek baik (lesson learned) dari kearifan lokal yang kental dengan
unsur spiritualitas dalam upaya penanggulangan bencana memang sudah pernah
terdokumentasi (indiyanto;et.all,.2012)namun impikasi pada daur kehidupan jangka panjang
dan pelaksanaan tata kelola resiki bencana belum pernah dikaji lebih jauh.

Sebagai titik masuk yang paling efektif dalam mengaji hal tersebut, maka tempat yang
paling rawan atau paling beresiko bencanalah yang harus menjadi tempat penelitian ini
dilakukan.
Kearifan lokal pada dasarnya bersumber pada pengetahuan lokal yang telah diturunkan dan
di praktikan lintas generasi. Dalam kenyataannya, pengetahuan lokanya pada prinsipnya
sangat dinamis mengikuti perkembangan interaksi sosial budaya dan juga kondisi
lingkungan. Nigren(1999) mengemukakan pengetahuan lokal merupakan istilah yang
problematik. Pengetahuan lokal di anggap tidak ilmiah, sehingga pengetahuan lokal tersebut
dibedakan dengan pengetahuan ilmiah yang dikenalkan oleh dunia barak titik temuh antara
pengetahuan lokal yangt tidak ilmiah dan ilmiah tersebut keduanya berada pada bagaimana
cara memahami dunianya sendiri. Pengetahuan lokal dapat ditelusuri dalam bentuk pramatis
maupun ketika pengetahuan itu menjadi seolah-olah dalam ilmiah (unreason).

Dalam konteks penanggulangan, pengetahuan lokal ini sangat penting dalam determinasi
analisis dalam batasan parameter yang spesifik. Johan(2009) menyebabkan bahwa
pengetahuan dalam bentuk pramatis menyangkut pengetahuan tentang kaitan pemanfaatan
sumber daya alam, dan dalam bentuk supranatural adalah basis bagi sistem pengetahuan
masyarakat, sehingga dapat diintegrasikan dalam analisis resiko lingkungan dan mitigasi
bencana alam berlandaskan kajian ilmu pengetahuan modern atau pandangan etik. Oleh
karena itu dari data hasil kajian ilmu pengetahuan modern perlu dijadikan landasan awal
untuk memahami konteks pengetahuan lokal.

2.9 Perawatanatau Tindakan yang dapat diberikan pada penderita spiritual korban
bencana.

Nayat khan dalam bukunya dimensi spiritual psikologi menyebutkan bahwa kekuatan psikis
yang dimiliki seseorang dapat dikembangkan melalui oleh spiritual yang dilakukan yang
melalui beberapa tahapan :

 Berlatih melakukan konsentrasi


 Berlatih melakukan hasil konsentrasi melalui pikiran
 Agar dapat mengekspresikan kekuatan psikis
 Berlatih menjaga kestabilan dan ketenangan dalam berfikir
 Berlatih mengumpulkan kekuatan psikis yang selanjutnya digunakan untuk bertindak
1) Proactive coping
Konsep proactive coping diarahkan oleh sikap yang proaktif. Sikap tersebut
merupakan kepercayaan yang relative terus menerus ada pada setiap individu.
Dimana apabila terjadi perubahan-perubahan yang berpotensi mengganggu
keseimbangan emosional individu. Dimana apabila terjadi perubahan-perubahan
yang berpotensi mengganggu keseimbangan emosional individu, maka sikap tersebut
mampu memperbaiki diri dan lingkungannya.
2) Terapi psiko-spirutual, terdiri dari 3 tahapan :
 Tahapan penyadaran diri (self awarenss)
 Pengenalan jati diri dan citra diri (self identification)
 Tahapan pengembangan (self development)
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Bencana alam  merupakan sebuah musibah  yang tidak dapat diprediksi kapan
datangnya.  Apabila bencana tersebut telah datang maka akan menimbulkan kerugian dan
kerusakan yang membutuhkan upaya pertolongan melalui tindakan tanggap bencana yang
dapat dilakukan oleh perawat.

Adapun peran serta mahasiswa keperawatan dalam menolong korban bencana


dikelompokkan menjadi 4 yaitu :

1) Peran dalam Pencegahan Primer

2) Peran dalam Keadaan Darurat (Impact Phase)

3) Peran di dalam posko pengungsian dan posko bencana

4) Peran dalam fase postimpact


DAFTAR PUSTAKA

http://susansutardjo.blogdetik.com/tag/dampak-psikologis-terhadap-korban-bencana-alam/

psikologi.or.id/.../sumbangan-psikologi-klinis-terhadap-bencana.pdf

http://kabarinews.com/psikosomatik-banyak-diderita-oleh-masyarakat-korban-bencana-

alam/36556

http://www.pulih.or.id/res/publikasi/news_letter_14.pdf

http://altanwir.wordpress.com/2008/02/14/karakter-psikososial-korban-bencana/

http://dppm.uii.ac.id/dokumen/prosiding/2f_Artikel_rumiani.pdf.dppm.uii.ac.id.pdf

http://sururudin.wordpress.com/2011/04/13/penanganan-psikiatris-pada-korban-pasca-bencana/

http://radenandriansyah.blogdetik.com/penanganan-bencana/macam-macam-bencana/

Anda mungkin juga menyukai