KATA PENGANTAR.................................................................................................................
DAFTAR ISI................................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................
1. Latar Belakang................................................................................................................
2. Rumusan Masalah...........................................................................................................
3. Tujuan Penelitian............................................................................................................
4. Manfaat Penelitian..........................................................................................................
1. Kesimpulan......................................................................................................................
2. Saran................................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa , karena dengan rahmat
dan karunia-Nya kami masih diberi kesempatan untuk bekerja bersama untuk menyelesaikan
makalah ini.
Atas limpahan rahmat dan hidayah Nyalah kami dapat menyelesaikan tugas makalah
Mata Kuliah Keperawatan Bencana.Kami mengakui bahwa sebagai manusia biasa memiliki
banyak keterbatasan dalam segala hal. Oleh karena itu, tidak ada hal yang dapat diselesaikan
dengan sangat baik dan sempurna.Semoga dengan adanya makalah ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca untuk menambah wawasan tentang Perawatan Psikososial dan Spiritual pada
Korban Bencana.
Kami menyadari bahwa penulisan laporan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,
maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk
kesempurnaan makalah ini. Akhir kata semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu menuntun kita
menuju jalan yang benar.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
TINJAUAN TEORI
Menurut Barbara Santamaria (1995), ada 3 fase dalam terjadinya suatu bencana, yaitu
diantaranya :
1) Fase preimpact
Merupakan warning phase, tahap awal dari bencana. Informasi didapat dari badan
satelit dan meteorologi cuaca. Seharusnya pada fase inilah segala persiapan dilakukan baik
oleh pemerintah, lembaga, dan warga masyarakat.
2) Fase impact
merupakan fase terjadinya klimaks dari bencana. Inilah saat-saat dimana manusia
sekuat tenaga mencoba untuk bertahan hidup (survive). Fase impact ini terus berlanjut
hingga terjadi kerusakan dan bantuan-bantuan darurat dilakukan.
3) Fase postimpact
adalah saat dimulainya perbaikan dan penyembuhan dari fase darurat, juga tahap
dimana masyarakat mulai berusaha kembali pada fungsi komunitas normal. Secara umum
dalam fase postimpact ini para korban akan mengalami tahap respon psikologis mulai
penolakan, marah, tawar-menawar, depresi hingga penerimaan.
2.3 Permasalaahan Dalam Penanggulangan Bencana
Bencana adalah suatu peristiwa yang secara umum di anggap negatif karena dapat
merugikan manusia secara langsung, berupa kerugian material atau bahkan kehilangan
nyawa. Namun demikian, dalam persestif yang lebih kontemtorel,bencana juga bisa
memiliki posisi positif tertentu. Seperti misalnya kreps(dalam quaran velly, 1998) yang
menyebutkan bahwa bencana menyangkut dua askep yakni: kejadian sistemik(SYSTEMIC
EVENTS) dan katalis sosial (social catalyst), dimana askep kedua inilah yang menonjolkan
sisi positif dari peristiwa bencana
Askep kejadian sistemik dapat di pahami sebagai suatu venomena sosial yang melibatkan
suatu peristiwa dramatik yang akan menjadi momen bersejara bagi genarasi-genarasi
berikut. Kejadian sistemik menjadi hanya terkait dengan fenomena sosial karena bencana
bukan saja berdampak langsung pada orang-orang yang menjadi korban ketika peristiwa
bencana berlangsung, tetapi juga akan menjadi catatan sejarah yang menciptakan suatu
persepsi bersama bahwa sebuah bencana telah melukai dan membunuh banyak orang dengan
jumlah yang signifikan. Hal ini membuat orang yang mengetahui catatan sejarah itu menjadi
lebih waspada terhadap peristiwa bencana yang sama maupun lainnya. Perspektif
kesejarahan ini penting dalam studi kebencanaan secara sosial karena sejarah merupakan
suatu konstruksi sosial, yang merupakan agregasi dari pengalaman dan memori individu
yang disampaikan secara lisan maupun tulisan.
Aspek kedua dari definisi bencana menurut perspektif ilmu sosial adalah”katalis sosisal”.
Katalis sosial dapat dipahami sebagai suatu reaksi kolegtif terhadap peristiwa yang
menganggu dan merugikan kehidupan manusia. Kreps (dalam qwarantelli, 1998) bahkan
menyatakan secara eksplisit bahwa aspek kedua inilah yang menegaskan perbedaan definisi
bencana secara teknis dengan bencana dalam prespektif karena dalam kerangka ini bencana
memiliki hubungan kausa litas dengan percepatan dan dinamika sosial serta reaksi sosial
memperkuat atau mumgkin sebaliknya menghancurkan struktur sosial yang ada.
Ilustrasi untuk mengambar adalah perbandingan antara proses pemulihan pasca bencana
gempa dan tsunami diaceh dengan bencana gempa di yogyakarta. Dengan mengabaikan
skala dan dampak langsung yang terjadi, kedua bencana tersebut telah mendorong terjadinya
reaksi perubahan sosial dengan derajat yang berbeda. Artinya, pemahaman bencana dalam
konteks ini mulai mengarah pada adanya dampak sosial bencana yang berpeluang positif
pada dinamika budaya dan struktur sosial pasca terjadinya suatu peristiwa bencana.
Terkait dengan penanganan dampak dan korban bencana ini, telah berkembang gagasan
untuk mengurangi korban bencana dengan mengelola resiko bencana, daripada sekedar
menolong korban bencana. Ketangguhan atau resiliensi telah menjadi gagasan umum dalam
upaya memperkuat upaya kolektikf untuk membuat sekelompok penyintas korban bencana
dapat menghadapi potensi ancaman bencana yang mungkin berulang
Collinis (2009: 160) menyebutkan bahwa sudah mulai ada kesadaran yang meluas untuk
meningkatkan upaya respon bencana kepada pendekatan penguatan ketangguhan
masyaratkat kepada sekadar pendekatan konseling tradisional terhadap para penyintas. Hal
ini mengindikiasikan bahwa ada suatu cara pandang baru untuk melakukan penanggulangan
bencana yang tidak hanya bersifat individual dan jangka pendek, namun mulai melihat aspek
komunal yang bisa dilembangakan secara jangka panjang.
Namun demikian, harus tetap di pahami bahwa para penyintas bencana umumnya memiliki
pola trauma bervariasai yang berkaitan dengan determinasi budaya tertentu (Ren, 2012).
Cara orang barat memaknai kehidupan yang berbeda dengan cara orang timur memaknai
kehidupan, membuat responds terhadap situasi bencana pun berbeda. Ini artinya ada
perbedaan dimensi cara pandang terhadap kehidupan. Dalam kerangka konseptual, cara
pandang atau pemaknaan terhadap aspek kehidupan adalah wujud dari spiritualitas yang
nyata yang perlu di perhatikan dalam hal penanganan penyitas bencana.
Spritualitasme yang selalu hadir dalam kehidupan manusia yang terutama dipicu oleh
sebuah situasi ekstrim, seperti misalnya kesenangan dalam suka cita dan kebahagiaan
(Hidayat, 2015-a) atau juga rasa takut yang mendalam atas sesuatu peristiwa yang berakhir
pada kematian (Hidayat, 2015-b). Namun peristiwa yang menakutkan memang sering kali
berpengaruh lebih kuat dan bersifat jangka Panjang dalam membentuks pritualitas seseorang
dibandingkan suasana sukacita (Indiyanto&Kuswanjono (eds,)-a 2012).
Salah satu sumber rasa takut yang besar atas berakhirnya kehidupan yang dapat menjadi
pemicu utama menguat atau melemahnya spiritualita sseseorang adalah situasi bencana
(Peres et.all., 2007 ; Ren, 2012 ; Stratta et. All., 2013). Bencana seolah-olah menjadi
“neraka” kecil yang membuat mereka yang melihat secara langsung menjadi takut dan
gentar. Mereka menjadi merasa sangat terancam dan sangat bersyukur bisa selamat dari
peristiwa bencana yang merenggut harta benda dan mungkin juga anggota keluarga serta
kerabat dan teman-teman mereka.
Dalam konteks di Indonesia, spritualitas memiliki bentangan dimensi yang lebih luas. Ia
tidak hanya mencakup matra transedensi dalam berkehidupan, tetapi juga kekuatan
pengetahuan yang terlembaga dalam mentalitas budaya yang unik. Seperti misalnya Vickres
(2005) menjelaskan apa yang terjadi di Indonesia dalam rentang sejarahnya adalah interaksi
alam pikiran yang membentuk pola tertentu dari hasil interaksi sosial, politik, dan budaya
yang dimulai sejak kehadiran Belanda di tanah air.
Spritualitas sendiri memang cenderung lebih kental dalam dimensi individualistis daripada
dimensi kolektifnya. Disinilah letak kegagalan spritualitas yang dirasuki cara pandang dunia
modern yang berorientasi pada individualisme dalam menjelaskan perilaku kolektif sebagai
suatu entitas yang utuh. Bisa dikatakan semua pemikir modernitas menekankan
individualisme sebagai pusatnya.
Secara fisiologis, individualisme memiliki arti sebagai suatu penolakan bahwa diri pribadi
manusia secara internal berhubungan dengan hal-hal lain; bahwa setiap individu manusia
sangat ditentukan oleh hubungannya dengan orang lain, dengan Lembaga, dengan alam,
dengan masa lalunya, atau mungkin dengan suatu pencipta ilahi. Descartes mengkapkan
individualusme dengan jelas sekali dengan difinisinya tentang substansi, dimana jiwa
manusia menjadi contohnya yang paling utama yang untuk menjadi dirinya tidak
memerlukan apapun selain dirinya sendiri. (Griffin, 2005)
Dari sudut pandang sosiologis, indivualisme terutama berarti penghancuran komunitas dan
institusi organic yang kecil dan intim dalam satu proses sentralisasi. Pergerakan ini
merupakan transisi dari komunitas (gemeinschaft) kemasyarakatan gregatif (gesselschaft).
Pergerakan ini juga disebut sebagai transisi dari masyarakat yang berdasar pada adat istiadat
kepada masyarakat yang di dasarkan pada kontrak atau dari masyarakat yang di dasarkan
tradisi kemasyarakat yang di dasarkan pada perhitungan rasional.
Intinya adalah, bahwa sebagaian besar struktur yang di dalamnya manusia telah memiliki
hubungan intim, facetoface, dan yang telah menjawab sebagian besa rmasalah manusia,
telah bermodifikasi sehingga hubungan-hubungan sosial antara individu menjadi semakin
terbatas pada kelompok-kelompok infersonal yang besar, yang sebenarnya hanya melibatkan
sekelompok kecil dari kehidupan seseorang saja individual lah yang menjadi sentral dari
pergerakan koletif yang bermakna.
Buku ini akan mengkaji bagaimanakah sebuah entitas spritualitas yang unik dapat
membentuk cara berpikir para penyintas terhadap ancaman bencana yang dilembagakan
dalam rutinitas pola kehidupan masyarakat di lokasi rawan bencana.
Pada dasarnya sudah banyak penelitian yang mencoba mengangkat tema tentang spritualitas
dalam perspektif ilmu sosial. Beberapa ilmuan sosial menegaskan kaitan spritualitas dengan
karakter individual dalam perannya sebagai makhluk sosial yang selalu mencari kebaikan
dalam hidupnya dalam wujud kesejahteraan dan kemakmuran (Cavanagh, 2002: Zohar,
2004: Karakas, 2010). Sementara sekelompok ilmuan lain tampaknya lebih banyak
membahas dan mengkaji spritualitas dalam tataran nilai yang mendasari transpormasi sosial
untuk mencapai keadilan yang lebih meluas (Marstlof, 1998: Jurkiewicz, 2004: Pawer,
2009). Kedua cara pandang ilmu-ilmu sosial dalam mengelaborasi konsep spritualitas ini
(distribusi keadilan dan kesejahteraan), tentunya sangat relevan jika dihubungkan kembali
pada tataran pola kehidupan masyarakat dilokasi rawan bencana serta kebijakan dan
pelaksaan tata kelola resiko bencana, terutama dalam senjumlah isu spesifik yang sering kali
dikaitkan dengan tema spritualitas, seperti isu tata kelola lingkungan ( Booth,1999:Coates
Ed.,2007) dan juga isu kebencanaan ( marsella ed.,2008).
Sementara studi ilmiah dalam bentuk skripsi, tesis, dan disertai tentang spritualitas juga
sudah ada dari berbagai jenjang studi dan berbagai fakultas. Namun memang jumlahnya
tidak sebanyak penelitian tentang kebencanaan. Beberapa penelitian tentang spritualitas ini
umumnya memang berkaitan dengan metode atau proses bantuan tertentu, seperti misalnya
spiritualitas sebagai upaya intervensi sosial dalam ranah pekerjaan sosial ( Musthofa,2016:
Witono,2015: Endang,2013:Erlangga,2010) atau spiritualitas sebagai metode asuhan
keperawatan (Collein,2010:Syam,2010)
Tema kajian ilmiah spiritualitas lainnya yang ada dilingkungan Universitas Indonesia adalah
studi tentang spiritualitas pada tataran individu sebagai perkembangan psiko-sosial manusia
(Natasuarna,2006) dan juga spiritualitas sebagai gaya hidup individual (dading,2006)
sementara kajian lainnya lebih memfokuskan implikasi spiritualitas terhadap entitas
kelompok sosial (Munandar,2011:Mulyono,2010: Karim,2008).
Dari penelitian-penelitian tersebut dapat dilihat bahwa tema spiritualitas tersebut semuanya
merupakan kajian yang memisahkan spiritualitas pada tataran individu dengan spiritualitas
pada entitas kelompok sosial yang lebih luas. Belum ada tema kajian kerangka yang
berupaya menghubungkan ekstrapolasi dari tingkat individual hingga ketataran struktur
sosial yang lebih makro. Hal inilah yang menjadi dasar dan gagasan awal dari penelitian di
buku ini.
Sementara jika dihubungkan dengan tema penelitian kebencanaan di atas, memang belum
banyak penelitian yang mengkombinasikan tema spiritualitas dengan tema penanggulangan
bencana. Hal ini menjadi suatu kekuatan menjadi sebuah researchgap sebagai titik pangkal
untuk mengetahui lebih lanjut tentang berbagai fenomena dan praktek baik yang ada
dilapangan beberapa praktek baik (lesson learned) dari kearifan lokal yang kental dengan
unsur spiritualitas dalam upaya penanggulangan bencana memang sudah pernah
terdokumentasi (indiyanto;et.all,.2012)namun impikasi pada daur kehidupan jangka panjang
dan pelaksanaan tata kelola resiki bencana belum pernah dikaji lebih jauh.
Sebagai titik masuk yang paling efektif dalam mengaji hal tersebut, maka tempat yang
paling rawan atau paling beresiko bencanalah yang harus menjadi tempat penelitian ini
dilakukan.
Kearifan lokal pada dasarnya bersumber pada pengetahuan lokal yang telah diturunkan dan
di praktikan lintas generasi. Dalam kenyataannya, pengetahuan lokanya pada prinsipnya
sangat dinamis mengikuti perkembangan interaksi sosial budaya dan juga kondisi
lingkungan. Nigren(1999) mengemukakan pengetahuan lokal merupakan istilah yang
problematik. Pengetahuan lokal di anggap tidak ilmiah, sehingga pengetahuan lokal tersebut
dibedakan dengan pengetahuan ilmiah yang dikenalkan oleh dunia barak titik temuh antara
pengetahuan lokal yangt tidak ilmiah dan ilmiah tersebut keduanya berada pada bagaimana
cara memahami dunianya sendiri. Pengetahuan lokal dapat ditelusuri dalam bentuk pramatis
maupun ketika pengetahuan itu menjadi seolah-olah dalam ilmiah (unreason).
Dalam konteks penanggulangan, pengetahuan lokal ini sangat penting dalam determinasi
analisis dalam batasan parameter yang spesifik. Johan(2009) menyebabkan bahwa
pengetahuan dalam bentuk pramatis menyangkut pengetahuan tentang kaitan pemanfaatan
sumber daya alam, dan dalam bentuk supranatural adalah basis bagi sistem pengetahuan
masyarakat, sehingga dapat diintegrasikan dalam analisis resiko lingkungan dan mitigasi
bencana alam berlandaskan kajian ilmu pengetahuan modern atau pandangan etik. Oleh
karena itu dari data hasil kajian ilmu pengetahuan modern perlu dijadikan landasan awal
untuk memahami konteks pengetahuan lokal.
2.9 Perawatanatau Tindakan yang dapat diberikan pada penderita spiritual korban
bencana.
Nayat khan dalam bukunya dimensi spiritual psikologi menyebutkan bahwa kekuatan psikis
yang dimiliki seseorang dapat dikembangkan melalui oleh spiritual yang dilakukan yang
melalui beberapa tahapan :
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bencana alam merupakan sebuah musibah yang tidak dapat diprediksi kapan
datangnya. Apabila bencana tersebut telah datang maka akan menimbulkan kerugian dan
kerusakan yang membutuhkan upaya pertolongan melalui tindakan tanggap bencana yang
dapat dilakukan oleh perawat.
http://susansutardjo.blogdetik.com/tag/dampak-psikologis-terhadap-korban-bencana-alam/
psikologi.or.id/.../sumbangan-psikologi-klinis-terhadap-bencana.pdf
http://kabarinews.com/psikosomatik-banyak-diderita-oleh-masyarakat-korban-bencana-
alam/36556
http://www.pulih.or.id/res/publikasi/news_letter_14.pdf
http://altanwir.wordpress.com/2008/02/14/karakter-psikososial-korban-bencana/
http://dppm.uii.ac.id/dokumen/prosiding/2f_Artikel_rumiani.pdf.dppm.uii.ac.id.pdf
http://sururudin.wordpress.com/2011/04/13/penanganan-psikiatris-pada-korban-pasca-bencana/
http://radenandriansyah.blogdetik.com/penanganan-bencana/macam-macam-bencana/