Anda di halaman 1dari 6

HMI Dalam Gerak Pembaharuan Pemikiran Islam

Oleh : Mohamad Khusnul Mubaroq


Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah organisasi yang paling tua dan terbesar di
Indonesia. Didirikan oleh Prof, Lafran Pane pada tanggal 5 Februari 1947, HMI telah tumbuh
bertransformasi menjadi organisasi ektsra kampus yang berpengaruh bagi pembentukan SDM
terbaik bangsa. Fakta historis membuktikan HMI telah berhasil mencetak kader ummat dan bangsa
di level kepemimpinan nasional. Wakil Presiden Jusuf Kalla merupakan prototipe ideal kader
HMI. HMI sebagai sebuah organisasi mahasiswa dan organisasi kader tidak saja memberikan
pengalaman keorganisasiaan yang menjadi modal kultural dan sosial bagi proses pengembangan
softkill mahasiswa tetapi juga menjadi wadah bagi arus pemikiran intelektual islam.

HMI dikenal sebagai organisasi mahasiswa Islam yang membuka ruang bebas bagi
tumbuhnya pemikiran diskursif khususnya tentang wacana pembaharuan pemikiran Islam. Dalam
konteks sejarah pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia, HMI tidak bisa dilepaskan dari proses
yang berlangsung hingga hari ini. Salah satu tokoh yang memulai tumbunya pembaharuan
pemikiran Islam adalah Nurcholish Madjid. Nurcholish Madjid atau yang akrab disapa Cak Nur
adalah tokoh cendekiawan Islam yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum PB HMI periode
1967-1969 dan 1969-1971. Cak Nur terkenal dengan ide ‘sekularisasi’ yang menjadi titik awal
perdebatan keras antara dirinya dengan tokoh-tokoh islam konservatif seperti Mohamad Natsir,
Endang Syaifudin Anshari, dan H.M Rasyidi. Selain ide sekularisasi Cak Nur juga dikenal lewat
semboyan “ Islam Yes, Partai Islam No”. Sumbangsih pemikiran Cak Nur yang paling besar adalah
ketika dirinya merumuskan ideologi HMI yang sekarang masih menjadi acuan bagi instruktur-
instruktur HMI yakni Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP). Selain Cak Nur, ada Ahmad Wahib,
Djohan Effendi dan Dawam Raharjo yang juga sangat concern terhadap pembaharuan pemikiran
Islam. Bahkan Ahmad Wahib, Djohan Effendi dan Dawam Raharjo merupakan tokoh-tokoh awal
di HMI yang berani mendiskusikan perlunya umat islam mengupayakan proses sekularisasi dan
modernisasi sebagai respon menjawab tantangan modernitas. Mereka membentuk limited grup
discussion yang dipimpin oleh Mukti Ali, tokoh modernis islam. Apabila membaca secara
seksama, gagasan tentang keharusan reformasi pemikiran islam dimulai oleh Ahmad Wahib,
Djohan Effendi dan Dawan Raharjo atau yang lebih dikenal ‘Lingkaran Yogyakarta’. Hal ini
secara detail diuraikan dalam bukunya Ahmad Wahib ‘Pergolakan Pemikiran Islam’ dan
dipertegas dalam salah satu subjudul buku biografi Gus Dur karya Greg Barton. Jadi bisa
disimpulkan lokomatif awal pembahuruan pemikiran Islam di HMI dirintis oleh ‘kader-kader
Yogyakarta’.

Tidak kebetulan apabila dikemudian hari Greg Barton dalam disertasinya tentang gerakan
awal ide pemikiran islam liberal lahir dari tokoh-tokoh HMI seperti Nurcholish Madjid, Ahmad
Wahib, Djohan Effendi. Selain ketiga tokoh HMI tersebut, Gus Dur juga dimasukan kedalam
tokoh pembawa ide pemikiran islam liberal di Indonesia. Tentu saja apa yang dipahami Greg
Barton sebagai Islam Liberal perlu dikaji ulang. Meskipun empat tokoh yang dijadikan subjek
disertasi Greg Barton tersebut merupakan tokoh-tokoh yang progresif pada zamannya, tetapi tidak
bisa dilihat relevansinya jika kita lihat fenomena Islam Liberal pasca Reformasi yang cenderung
lebih ‘liberal’ seperti Ulil Absar Abdalla, tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL). Jadi, liberal atau
tidak hanya menyangkut konteks sosial dan budaya.

Awalnya gagasan pembaharuan Islam di HMI tumbuh didasarkan atas iklim intelektual
yang tinggi. Iklim tersebut dibentuk oleh kultur organisasi yang cenderung kosmopolit, egaliter
dan inklusif. Kondisi seperti itu memungkinkan bagi lahirnya wacana pemikiran keislaman yang
baru. Pemikiran keislaman yang dikembangkan oleh HMI pada dasarnya adalah gagasan tentang
keislaman dan kemodernan, dua terminologi yang berasal dari Cak Nur. Dalam pandangan Cak
Nur, umat Islam perlu keluar dari kebekuan dan kejumudan dalam berpikir. Sistem berpikir yang
cenderung didominasi oleh teologi Asy’ariyah menimbulkan sikap yang pasrah dalam menghadapi
tantangan kehidupan dunia, terlebih kehidupan modern. Tidak heran jika masalah teologi menjadi
fokus utama Cak Nur sebagai point mengubah cara berpikir umat islam. Manifestasi pemikiran
teologi Cak Nur tertuang dalam Bab I NDP HMI. Teologi yang diusung oleh Cak Nur adalah
teologi ‘monoteisme radikal’. Moneteisme radikal bisa disejajarkan dengan pemikiran Ibnu
Taimiyah atau Wahabi, Walapun demikian untuk mengetahui apakah teologi Cak Nur ada
kecenderungan Wahabi perlu penelitian lanjut. Yang jelas, Cak Nur adalah seorang yang anti-
tradisionalis. Karakteristik islam tradisonalis yang memiliki kecenderungan sinkretisme sedikit
atau banyak mengandung potensi syirik ( politeisme). Antipati Cak Nur terhadap hal-hal
tradisional bisa dilihat dalam bukunya Bilik-Bilik Pesantren. Tulisan tersebut menurut saya pribadi
sangat apologetik dan subjektif. Dari gagasan Cak Nur bisa dipahami HMI mempunyai orientasi
keislaman yang juga ‘puritan’dengan teologi yang cenderung mengarah pada teologi Mu’tazilah.
Saya menemukan kecenderungan teologi mu’tazilah pada buku Islam Mazhab HMI yang ditulis
oleh tokoh HMI, Azhari Akmal Tarigan. Meskipun HMI sendiri dalam dokumen resminya tidak
pernah menyebut soal islam puritan, wahabi ataupun mu’tazilah. Maksud HMI membawa ide
demikian bertujuan agar sistem berpikir mahasiswa islam bisa lebih progresif dalam melihat
realitas alam dan masyarakat. Mahasiswa adalah kelas menegah yang berpendidikan tinggi
sehingga ada potensi yang cerah apabila cara berpikir mahasiswa islam diarahkan pada
pembentukan cara berpikir yang revolusioner, bukan konservatif. Jika mahasiswa islam mampu
menangkap hal tersebut maka diharapkan akan terjadi perubahan secara kultural dan struktural.
Dan ini lah yang diingikan oleh HMI selama ini. Hanya kita perlu hati-hati sekali dalam memahami
teologi seperti ini. Teologi yang diusung oleh HMI, walaupun sangat progresif membawa potensi
untuk anti-tradisionalisme. Tradisionalisme tidak selamanya bersifat negatif dan menghambat
proses modernisasi seperti yang sering diungkapan Cak Nur. Justru dalam beberapa aspeknya,
tradisionalisme adalah bagian dari perlawanan terhadap dominasi dan hegemoni liberalisasi
ekonomi. Artinya, semuanya hanya masalah model pembacaan dan model pembacaan
dekonstruksi sangat relevan melihat fenomena islam tradisional. Ahmad Baso menjelaskan hal
tersebut dengan baik dalam bukunya NU Studies.

Pada zaman ketika Cak Nur hidup kondisi umat islam memang dalam posisi yang
dilematis. Meledaknya globalisasi dan tekonologi modern yang datang dari peradaban barat
memaksa para tokoh intelektual islam memikirkan kembali ajaran-ajaran islam yang telah mapan,
jka tidak dibilang konservatif. Gerakan pembaharuan islam sendiri awalnya datang dari negeri
Mesir pada abad 18. Tokoh-tokoh seperti Muhammad Abduh, Jamaludin Al-Afghani dan Rasyid
Ridha menjadi tokoh awal dari sebuah gerakan modernisasi islam. Kekalahan Turki Ottoman,
praktik islam yang penuh bid’ah dan hegemoni kolonialisme barat atas negara-negara islam adalah
beberapa faktor objektif perlunya usaha pembaharuan pemikiran. Pengaruh pemikiran mereka
sampai di Indonesia melalui gerakan pembaharuan yang dibawa oleh organisasi Muhammadiyah.
Pada saat HMI didirikan tahun 1947 diskursus modernisasi islam sudah banyak dibicarakan oleh
elit intelektual islam tetapi masih bersifat sporadis dan belum menjadi sebuah diskursus yang
dominan. Diskursus modernisasi islam mulai menjadi perbicangan menarik di era Orde Baru. Di
era ini HMI mengalami masa kejayaan dengan banyaknya kader intelektual islam yang lahir antara
lain Nurcholis Madjid, Endang Syaifudin Anshari, Immadudin Abdurrahim, Ahmad Wahib,
Djohan Effendi, Dawam Raharjo, Deliar Noer, Azyumardi Azra, Komarudin Hidayat, dan masih
banyak lagi. Orientasi orde baru yang menempatkan proses pembangunan (developmentalis)
dalam kebijakannya mendukung terhadap tumbuhnya gerakan modernisasi islam. Banyak
kalangan konservatif yang menilai tokoh-tokoh modernis islam melakukan upaya justifikasi atas
tatanan pemerintahan Soeharto sehingga mereka mendapat label ‘legitimator orde baru’. Sebagai
bukti pemerintah orde baru mengakomodasi gerakan tersebut maka puncaknya dibentuk Ikatan
Cendekiawan Muda Islam Indonesia ( ICMI). ICMI berperan membentuk proses modernisasi
islam di masyarakat sebagai sebuah pendekatan kultural bagi terbentuknya sistem berpikir (
epistemologis) umat islam Indonesia yang progresif. HMI dalam pengertian yang positif menjadi
entitas inteletual muslim selama masa orde baru yang secara evolutif melakukan proses produksi
bagi lahirnya intelektual muslim progresif.

Gerakan Pembaharuan Islam di Era Millineal

Memasuki millennium abad 21, pembaharuan pemikiran Islam mengalami semacam gejala
konservatisme. Gerakan pembaharuan yang memiliki ‘daya tonjok psikologis’ hampir tidak
bergema pasca reformasi 1998. Praktis hanya pemikiran Ulil Absar Abdalla yang sempat membuat
geger umat islam. Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dimotori oleh Ulil sebenarnya hampir sama
apa yang dilakukan oleh tokoh intelektual muslim era Orde Baru. Tetapi metode hermeneuik yang
dijadikan metodologi JIL dalam melakukan usaha interpretasi kembali ajaran islam menimbulkan
polemik berkepanjangan. Metode hermeneutik sendiri memang masih diperdebatkan dalam level
akademis sebagai sebuah metode baru. Pasca gerakan pembaharuan JIL, pembaharuan pemikiran
islam di Indonesia mengalami bentuk kemacetan intelektual, termasuk HMI yang dikenal
organisasi paling modernis dan progresif. Gagalnya HMI di era millineal dalam membentuk kader
intelektual muslim sejalan dengan orientasi organisasi yang cenderung diarahkan dalam
permasalahan politik praktis. Kultur organisasi mengalami transformasi dari organisasi yang
diskursif menjadi organisasi yang pragmatis ( baca ‘Seharusnya Aku Bukan HMI’ oleh Zaenal
Mutaqin) . Walaupun kultur organisasi yang inklusif, egaliter dan kosmpolit tetap dipertahankan
sebagai ciri khas HMI, dampak dari kejumudan tersebut membawa implikasi yang panjang. HMI
dewasa ini sudah mandul untuk melahirkan pemikiran islam yang progresif. Fase kejumudan ini
dibaca dengan baik oleh organisasi mahasiswa islam yang lahir dari era reformasi yakni Kesatuan
Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). KAMMI dengan pendekatan keagamaan yang
praktis berhasil membaca perubahan zaman. Bukan sesuatu yang menakjubkan jika KAMMI
mulai dominan di kampus-kampus, khususnya kampus negeri. Menurut Wikipedia, kader KAMMI
yang berhasil menjabat sebagai Presiden BEM atau Ketua BEM sebanyak 300 lebih yang tersebar
di kampus-kampus Indonesia dengan konsentrasi kampus negeri seperti ITB, ITB, UGM, Undip,
UI, IPB, Unsoed dan lain-lain. Pada awal 1960-an sampai akhir 1990-an kampus-kampus tersebut
didominasi oleh kader-kader HMI.

Kegagalan HMI dalam upaya kaderisasi, menurut Azyumardi Azra disebabkan oleh
pendekatan keagamaan yang diskursif dan terlalu menekankan aspek kognitif ketimbang
pendekatan yang praktis dengan penekanan pada aspek afektif. KAMMI yang mengambil
orientasi keagamaan yang konservatif mampu mengakomodasi sikap keagamaan umat muslim
Indonesia yang menurut Greg Fealy mulai menunjukan tanda-tanda konservatisme. Hari ini sikap
keagamaan umat muslim mengarah pada sikap konservatif terhadap pendekatan keagamaan. Sikap
konservatisme ini timbul oleh munculnya kelas menengah muslim yang semakin kuat semenjak
Orde Baru memberikan peluang mobilitas sosial bagi umat muslim. Gejala seperti ini sudah
diprediksi oleh Yudi Latif melalui disertasinya tentang Genealogi Intelektual Muslim Indonesia
yang secara panjang lebar menjelaskan proses munculnya elit intelektual muslim dari zaman
kolonialis sampai akhir orde baru.

Perubahan dalam sikap keagamaan umat muslim Indonesia seperti yang diungkapkan oleh
Greg Fealy menurut saya pribadi adalah sebuah tanda-tanda yang tidak begitu baik. Sikap
konservatif yang kuat di kalangan umat muslim akan berpengaruh buruk bagi munculnya gerakan
radikalisme, puritanisme dan arabisasi. Hal ini diperkuat oleh fakta bahwa Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI) yang telah mampu merekrut anggota yang cukup signifikan. HTI yang mengusung agenda
pembentukan negara khilafah berpotensi merusak Negara Kesatuan Repbulik Indonesia. Sikap
radikalisme HTI membahayakan bagi tatanan ideologis dan politis bangsa ini. Disini lah peran
penting HMI sebagai organisasi islam modernis-progresif untuk tidak terjebak dalam arena politik
praktis agar peran HMI dalam merawat NKRI masih menemukan makna dan relevansinya.
Terlebih konsep Keislaman dan Keindonesiaan HMI yang menjadi gagasan dasar Prof.Lafran Pane
perlu dibudayakan, dikembangkan dan dipertahankan demi tercapainya tatanan masyarakat
Indonesia yang sesuai Pancasila. Konservatisme yang mulai menguat di kalangan umat muslim
Indonesia seharusnya dijadikan point of return kader HMI guna melahirkan gagasan-gagasan segar
terkait pembaharuan pemikiran islam sebagai bentuk counter-discourse terhadap upaya dominatif
konservatisme. Justru dewasa ini counter-discourse ini muncul dari kalangan tradisonalis NU yang
dahulu menjadi objek pemikiran pembaharuan islam. NU sekarang mulai bergerak dalam tataran
wacana mencegah radikalisme, puritanisme, arabisasi, westernisasi, liberalisasi ekonomi dan
kapitalisme. Dengan upaya seperti itu NU menunjukan sikap dekonstruksif bahwa tatanan
masyarakat kapitalis yang hedonistik-konsumeristik membawa implikasi destruktif terhadap
pembangunan karakter bangsa. Lalu dimana kah peran HMI dalam melawan wacana kapitalisasi,
liberalisasi ekonomi, radikalisme ? Mengutip pendapat Ahmad Baso, NU seperti juga HMI perlu
‘berbicara sebagai subjek’ bukan objek. Selama ini HMI selalu menjadi objek dari sebuah wacana
dan diskursus. Mungkin sudah saatnya HMI berbicara sebagai subjek yang memiliki karateristik
dan ciri khasnya sendiri. Jika tidak demikian, HMI akan tetap dilihat sebagai objek oleh ‘yang
lain’ ( the other) sebagai organisasi yang pragmatis, politis, nepotis dan gila kekuasaan. Semoga
tulisan ini adalah awal lahirnya fase yang baru di HMI. Sehingga 72 tahun HMI berdiri benar-
benar berdampak pada kemajuan umat dan bangsa. Waallahualam.

Anda mungkin juga menyukai