Pengertian Ilmu Negara Ilmu negara merupakan ilmu yang tergolong ke dalam
kelompok ilmu-ilmu sosial yang mempelajari asal-usul, tujuan, formasi, dan
lenyapnya negara secara umum, abstrak, dan universal. Penjelasan lebih lanjut
dapat dikemukakan sebagai berikut:
Plato
Plato (427-347) adalah murid Socrates. Di dalam buku yang berjudul
Protagoras, Plato mengatakan bahwa sekali pun manusia mempunyai kekuatan
untuk memperoleh makanannya sendiri, dirinya tak akan mampu menghadapi
kekejaman seekor binatang. Dalam posisi ini, manusia adalah belum
mempunyai civic skill, kemauan untuk hidup bersama sesamanya dalam suatu
masyarakat. Dalam karya yang lain, Laws, ketika makanan jarang maka
manusia akan berusaha untuk mencegahnya dan oleh sebab itu akan bersatu
dengan manusia yang lain. Sekali pun belum mengenal aturan formal, manusia
yang berkelompok itu berkembang menjadi kesatuan yang lebih besar dan
akhirnya menjadi sesuatu yang mendekati sebuah negara nasional. Dengan
simbol memenuhi kebutuhan akan makanan tersebut, Plato mengisyaratkan
bahwa berdirinya suatu negara didorong oleh kesadaran manusia untuk
mencukupi kebutuhannya sendiri. Negara yang pada akhirnya terformasi itu
bukanlah entitas yang statis, melainkan dinamis yang perubahannya dikenal
dengan Siklus Plato. Maksudnya, pada awalnya negara berformasi aristrokrasi.
Jika para aristokrat itu mulai mengenal ambisi duniawi, maka akan berubah
menjadi tymokrasi. Jika pembesar negara itu kemudian mulai bersekutu dengan
orang- orang kaya, maka akan memicu pemberontakan rakyat dan kemudian
melahirkan negara demokrasi. Akan tetapi, demokrasi dapat lenyap jika tidak
ada keamanan dan ketertiban yang mendorong kelahiran diktator dalam negara
tirani. Lama-lama lama ada gerakan rakyat yang memberontak dipimpin para
cendekiawan, yang kemudian menggulingkan tirani, dan negara kembali ke
formasi aristrokrasi, demikian seterusnya. Plato sendiri menyenangi pendidikan
sebagai jalan untuk menumbuhkan kesadaran kepada rakyat akan cara
mengatasi kesukaran-kesukaran yang ditemui. Oleh sebab itu, Plato
mensyaratkan agar negara dipimpin oleh filosof, karena mereka lah yang dapat
mendidik rakyat seperti itu.
Aristoteles
Karena merupakan murid Plato, maka jalan pikiran Aristoteles (346-322 SM),
sama dengan sang guru tersebut. Dalam argumen Aristoteles, negara yang baik
adalah negara yang memberlakukan hukum-hukum yang baik. Negara baik
dapat ditemui jika hukum berdaulat di dalamnya. Jadi Aristoteles sangat
menyukai adanya penguasa yang memerintah berdasarkan konstitusi dan
memerintah dengan persetujuan warga negaranya, bukan pemerintahan diktator.
Mengenai asal mula negara, Aristoteles memberikan pendapat yang tidak
berbeda jauh dengan Plato, yang meyakini bahwa negara merupakan gabungan
dari keluarga-keluarga yang menjadi kelompok besar. Kemudian kelompok ini
bergabung kembali lalu menjadi desa, kemudian desa memformasi negara.
Negara terbaik adalah yang berformasi Republik Konstitusional dan
pemerintahannya adalah pemerintahan yang berdasarkan konstitusi, dengan ciri-
ciri sebagai berikut:2 1. Pemerintahan untuk kepentingan umum;2.
Pemerintahan dijalankan menurut hukum; dan 3. Pemerintahan mendapatkan
persetujuan dari warga negaranya. Menurut Aristoteles dalam buku yang
berjudul Nicomachean Ethics, keadilan dan kesetaraan tercapai dengan
pengaturan oleh hukum, dan hukum bertahan diantara kenyataan adanya
ketidakadilan, ketika pelaksanaan hukum bersifat diskrimination dalam
menentukan mana yang adil dan mana yang tidak adil. Keadilan itu sendiri
dapat bersifat distributif maupun korektif. Keadilan distributif adalah keadilan
yang mencakup pembagian pendapatan, kekayaan, dan aset-aset lain dalam
masyarakat. Dalam alam pikiran modern, keadilan yang ini lazimnya disebut
“keadilan legislatif” (legislative justice).3 Sementara itu, keadilan korektif tidak
sama dengan keadilan legislatif, tetapi ia merupakan suatu justice of the courts,
keadilan yang ditentukan oleh pengadilan. Keadilan korektif memulihkan
kembali hak-hak yang dilanggar, mengembalikan kepada keseimbangan semula
sebelum terjadinya pelanggaran. Keadilan korektif dapat tercapai secara
sukarela maupun dengan paksaan. Keadilan dengan sukarela terjadi dalam
perbuatan seperti menjual, membeli, meminjam, menabung, memadamkan api,
dan sebagainya; sementara paksaan antara lain melalui pemenjaraan,
pembunuhan, dan perampokan dengan kekerasan. Dalam buku Nicomachean
Ethics tersebut, Aristoteles juga mengemukakan masalah kesetaraan, yang
disebutnya “memiliki pengertian tidak begitu jauh dari keadilan.” Hanya saja
kesetaraan tidak diberikan oleh hukum karena hukum tidak bisa
memberikannya atas semua kasus, khususnya melalui keadilan korektif.5
Kesetaraan sendiri merupakan wujud nyata dari keadilan.
Lucretius
Ahli kenegaraan ini mengikuti pola pikir Ephicurus, pemikir Yunani murid dari
Aristoteles yang memperkenalkan filsafat individualisme. Menurut Locretius,
manusia hidup tidak dalam suatu masyarakat, akan tetapi mempertahankan diri
dengan ketersediaan pangan dan sandang yang ada di muka bumi. Karena
perasaan dengan kepentingan yang sama, manusia lalu berkelompok untuk
memformasi suatu komunitas yang lebih besar melalui suatu perjanjian
(foedera, treaty). Namun komunitas ini mudah terpecah belah karena rebutan
tambang emas, yang memaksa pemikiran untuk membuat suatu aturan. Oleh
sebab itu, jika pada awalnya manusia dapat hidup tanpa peraturan atau
kebiasaan (custom), kemudian memutuskan untuk menyusun peraturan dan
menetapkan undang-undang, dan memaksa orang-orang untuk bersedia
mematuhinya. Meskipun demikian, sedikit demi sedikit dijumpai orang-orang
yang melakukan pelanggaran hukum, yang dengan tindakan-tindakannya
menyebabkan terjadi kekacuan dan ketidaktertiban kehidupan masyarakat.
Cicero
Dalam karya yang berjudul De republica, Cicero mengatakan asal mula
kehidupan bernegara tidaklah sama dengan jalan berpikir Lucretius. Cicero
mengatakan bahwa asal mula negara adalah sebuah kota yang kemudian melalui
sebuah kontrak sosial, memformasi diri menjadi negara. Jadi, motivasi
pemformasian negara adalah dorongan rasional untuk menciptakan ketertiban.
Dengan adanya kontrak sosial ini, Cicero meyakinkan mengenai terhindarnya
negara dari tirani. Bagaimana pun, kata Cicero, tirani bertentangan dengan
kepentingan negara itu sendiri karena mengeskpresikan sosok manusia yang
kejam.
A. Masa Abad Pertengahan
Masa Abad Pertengahan ini terbagi menjadi 2 periode yaitu Masa Abad
Pertengahan Awal (hingga tahun 1100 M) dan Masa Abad Pertengahan Akhir
(1100-1350 M). Masa ini ditandai dengan lenyapnya berbagai gagasan
kenegaraan masa sebelumnya ketika bangsa Romawi dikalahkan oleh suku
bangsa Eropa Barat dan Benua Eropa memasuki abad pertengahan. Masyarakat
Abad Pertengahan ini dicirikan oleh struktur sosial yang feodal, kehidupan
sosial dan spritualnya dikuasia oleh Paus dan pejabat-pejabat agama, sedangkan
kehidupan politiknya ditandai oleh rebutan kekuasaan diantara kaum
bangsawan.9 Dengan demikian, masyarakat Abad Pertengahan terbelenggu oleh
kekuasaan feodal dan kekuasaan pemimpin-pemimpin agama, sehingga
tenggelam dalam apa yang disebut masa kegelapan. Dalam masa ini, ajaran
Nasrani menunjukkan dominasinya dengan menggeser pengaruh agama Yahudi
dan kebudayaan Romawi. Sekali pun tidak secara langsung mengendalikan
negara, akan tetapi ajaran Nasrani mempunyai kepedulian terhadap persoalan
negara dan kepentingan politik. Keadaan ini menimbulkan dualisme antara
gereja dengan negara. Dalam hal ini, negara yang mempunyai otoritas politik
dan hukum, tidak seberapa kuat berhadap dengan gereja yang mempunyai
wibawa keagamaan dan spiritual dengan jangkauan kekuasaan yang lebih luas.
Kekuasaan negara dianggap turunan dari kekuasaan Tuhan, sehingga negara
terserap di bawah pengaruh gereja. Demikian pula, kehidupan ilmu pengetahuan
dikendalikan oleh gereja. Pemikiran-pemikiran kritis ditentang sepanjang
bertentangan dengan doktrin yang diajarkan oleh gereja. Dalam perkembangan
selanjutnya, muncul gerakan untuk melakukan perubahan sosial dan kultural
yang berintikan pada pendekatan kemerdekaan akal dari berbagai batasan.
Gerakan itu berpusat pada 2 kejadian besar yaitu Renaissance dan reformasi.
Renaissance adalah aliran yang menghidupkan kembali minat pada sastra dan
budaya Yunani Kuno, yang berupa gelombang kebudayaan dan pemikiran yang
dimulai di Italia pada abad ke-14 dan mencapai puncaknya pada abad ke- 15
dan ke-16. Masa Renaissance adalah masa di mana orang mematahkan semua
ikatan yang ada dan menggantikan dengan kebebasan bertindak seluas-luasnya,
sepanjang sesuai dengan apa yang dipikirkan karena dasar dari ide ini adalah
kebebasan berpikir dan bertindak bagi manusia. Kejadian tersebut di samping
telah mengantarkan dunia pada kehidupan yang lebih modern dan mendorong
berkembang pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi, telah pula memberikan
sisi buruk seperti perbuatan amoral dan melakukan apa saja yang diinginkan
sepanjang dikehendaki oleh akal.10 Berkembangnya pengaruh kebudayaan
Yunani Kuno yang mendorong Renaissance disebabkan terjadinya Perang Salib,
suatu perang antara penganut agama Kristen dan Islam selama lebih dari 2 abad
(1096-1291) dalam memperebutkan kota Yerusalem. Dorongan Perang Salib
bagi Renaissance ini muncul karena terjadinya kontak gagasan antara dua pihak
yang berperang.11 Seperti diketahui, bahwa pada Abad Pertengahan peradaban
Barat tenggelam dalam kegelapan, sebaliknya, dunia Islam pada waktu itu justru
berada pada puncak kejayaan peradaban yang karena perhatiannya untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan, sehingga masa itu menjadi “Peradaban
Ilmu.” Islam telah memberikan kontribusi besar kepada kebudayaan Eropa
dengan menerjemahkan warisan Parsi dan Yunani yang kemudian disesuaikan
dengan watak bangsa Arab serta menyeberangkannya ke Eropa melalui Siria,
Spanyol, dan Sisilia, suatu arus penyeberangan yang menguasai alam pikiran
Eropa dalam Abad Pertengahan.12 Dipandang dari sudut sejarah kebudayaan
maka tugas menyeberangkan kebudayaan ilmu pengetahuan itu tidaklah kecil
nilainya bagi penciptaan ilmu pengetahuan yang asli, sebab tanpa migrasi
budaya itu, islam telah mengembangkan karya Aristoteles, Galenus Prolemaois,
dan menyeberangkannya ke Barat, sehingga ilmuilmu itu diwarisi oleh generasi
Renaissance di Eropa. Peristiwa lain adalah Reformasi, yaitu revolusi agama di
Eropa Barat pada abad ke-16 yang awalnya dimaksudkan untuk perbaikan
dalam geraja Katolik akan tetapi kemudian berkembang menjadi asas-asas
Protestanisme. Reformasi dimulai ketika Martin Luther menempelkan 95 dalil
di pintu gereja Wittenberg (31 Oktober 1517) yang kemudian segera
memancing serangan kepada gereja. Berakhirnya Reformasi ditandai dengan
terjadinya perdamaian Westphalia (1648) yang mengakhiri peperangan selama
30 tahun. Namun Protestanisme yang lahir dari reformasi itu tidak hilang,
melainkan tetap menjadi kekuatan dasar di dunia Barat sampai sekarang.13 Para
pemikir kenegaraan pada masa Abad Pertengahan paruh pertama adalah: 1.
Agustinus 2. Thomas Aquinas 3. Marsilius 4. Thomas Mores Ciri-ciri pemikiran
asal mula negara dalam masa ini adalah sebagai berikut: 1. Kekuasaan negara
diperoleh dari Tuhan dan negara sebagai suatu organisasi bersedia untuk
mematuhi segala perintah Tuhan. 2. Konsepsi negara berdasarkan ajaran Tuhan
(theocracy). Di Eropa, berdasarkan ajaran Nasrani, mengakui dualisme gereja
dan negara. Hanya saja segala urusan spiritual merupakan bagian dari
kekuasaan Tuhan yang dilaksanakan oleh Paus, sedangkan ketertiban
merupakan urusan negara. Ajaran Protestan menolak konstruksi ini, akan tetapi
hanya mengakui satu kekuasaan yang melekat pada negara, sekalipun mengakui
bahwa sumber kedaulatan adalah Tuhan. 3. Sistem pemerintahan adalah
teokrasi tidak langsung, maksudnya Pemerintah adalah wakil Tuhan yang
mengurusi kekuasaan negara. 4. Negara menggantungkan diri kepada
masyarakat yang beragama dan bertumpu pada satu keyakinan sehingga segala
sesuatu yang dianggap bid’ah akan dihukum dan diasingkan. 5. Gereja
merupakan pusat spritualiatas sedangkan negara merupakan pusat kekuasaan;
Hukum atau panduan kehidupan di bawah lindungan raja, yang mana raja kebal
dan menduduki posisi yang terhormat. 6. Gereja mendidik kaum muda dan
menolak kehadiran ilmu pengetahuan. 7. Hukum publik dan privat tidak
dibedakan, kedaulatan wilayah digunakan untuk melindungi kepemilikan tanah,
dan bertumpu pada kekuatan keluarga bangsawan. 8. Sistem sosial
kemasyarakatan bersifat feodal. Kekuasaan negara terbagi-bagi, dari Tuhan
kepada raja, dari raja kepada bangsawan, lalu kepada kesatria, dan kepada
kepala wilayah (town). Hukum bersifat partikularistik. 9. Lembaga perwakilan
terdiri dari bangsawan, yang mana hukum negara ditentukan oleh para pendeta
dan para bangsawan. 10. Bangsawan besar dan kecil mempunyai kekuasaan
untuk meneruskan keturunannya, yang kekuasaanya jauh berkembang seiring
dengan melemahnya negara. Sementara pada posisi lain kaum tani tidak
menikmati kebebasan yang berarti. 11. Negara pada masa ini menjalankan
konsep Rechsstaat, akan tetapi tidak ada pengelolaan badan pengadilan,
sehingga upaya menegakkan hak dilaksanakan oleh masyarakat sendiri.
Pemerintah dan birokrasi lemah dan tidak berkembang. 12. Kesadaran spiritual
rendah, dan jika ada, maka itu dilaksanakan menurut insting dan tendensius,
sehingga kebiasaan merupakan sumber hukum yang utama. Setelah Renaissance
dan reformasi mulai muncul pemikiran yang khas mengenai kenegaraan seperti
nampak dalam karya- karya: 1. Nicollo Machiaveli 2. Jean Bodin 3. Fransisco
Suarez 4. Hugo Gratius 5. Thomas Hobbes.
Nicollo Machiaveli (1469-1527) Pemikiran mengenai negara dituangkan di
dalam buku yang berjudul Il Principle (Sang Penguasa). Menurut Machiaveli
negara merupakan puncak kesadaran tertinggi. Kesadaran itu dicapai oleh
kesadaran manusia itu sendiri dan tidak diberikan oleh agama. Namun demikian
ia menolak keberadaan negara yang berdasarkan hukum seperti cita-cita pemikir
Yunani dan Romawi Kuno. Baginya, hukum publik tidak lebih merupakan saran
mencapai kesejahteraan dan juga memperbesar kekuasaan negara. Negara amat
ditentukan oleh bagaimana politik kekuasaan dijalankan. Negara ada bukan
karena alasan moral atau hukum, tetapi karena kebutuhan politik. Politik dan
kekuasaan dijalankan oleh negarawan, tetapi tidak perlu memperhatikan ajaran
moral dan pertimbangan hukum. Cita- cita untuk mewujudkan kesejahteraan
secara menyeluruh harus diabaikan. Machiavelli memelopori tumbuhnya sistem
politik yang independen dari ajaran agama dan pemisahan antara hukum dan
politik. Dia mengajukan kebijakan negara yang tidak bermoral dan tidak adil,
yang menyumbang gagasan besar bagi tumbuhnya politik yang korup pada
setidaknya di 3 negara. Machiavelli adalah penyokong intelektual untuk
pemerintahan yang tiran. Abstrasi gagasan Machiavelli itu dikenal sebagai
ragione di statio atau dalih negara, yang kemudian ditafsirkan sebagai politik
“menghalalkan segala cara.” Ajaran ini sangat mengejutkan bagi dunia yang
baru beranjak dari Abad Pertengahan yang didonomiasi oleh paham keagamaan.
Kendati dekat dengan kalangan Paus, Machiavelli telah membahas kekuasaan
dan politik secara sekuler.
Jean Bodin (1530-1598)
Bodin melihat negara merupakan hak pemerintah dengan kekuasaan penuh.
Basis negara adalah keluarga, kepemilikan umum, dan kedaulatan. Bodin
menyalalahkan gagasan kenegaraan pada masa sebelumnya terlalu menekankan
kepada kesejahteraan. Dengan ajaran kedaulatannya, Bodin memberikan
kontribusi bagi berlangsungnya sistem monarki absolut di Prancis. Bukan hanya
di Prancis, gagasan Bodin juga diterima di Inggris. Bodin berpendapat bahwa
negara adalah keseluruhan dari keluarga dengan segala miliknya yang dipimpin
oleh akal dari seorang penguasa yang berdaulat. Para keluarga, yang menjadi
basis berdirinya negara, menyerahkan beberapa hal menjadi urusan negara yang
kemudian membuat kekuasaan negara dibatasi tindakannya menurut moralitas
hukum alam. Raja sebagai pemimpin yang berkuasa disampiri oleh atribut
kedaulatan yang bersifat, pertama, tunggal. Ini berarti hanya negara yang
memiliki segalanya jadi di dalam negara itu tidak ada kekuasaan lain yang
membuat undang-undang atau hukum. Kedua, asli, yang berarti kekuasaan itu
tidak berasal dari kekuasaan lain, bukan diberikan atau diturunkan dari
kekuasaan lain. Ketiga, abadi. Kekuasaan tertinggi ada pada negara. Keempat,
tidak dapat dibagi-bagi. Kedaulatan itu tidak dapat diserahkan kepada orang
atau badan lain, baik sebagian maupun seluruhnya.
Otto van Gierke (1841-1921) Aliran pemikiran Gierke merujuk kepada mazhab
historis yang didirikan oleh Von Savigny. Menurut Savigny, hukum merupakan
struktur organik yang pertumbuhannya menggambarkan perkembangan negara.
Namun berlainan dengan Savigny yang mempertahankan hukum Romawi
sebagai elemen pembangunan hukum di Jerman, Gierke justru menolak, karena
menurutnya yang terbaik struktur hukum itu dibanding atas “hukum asli”
Jerman yang telah ada di masa lampau. Gierke menganggap negara merupakan
struktur organik yang lahir dari perjanjian sosial yang mencerminkan perilaku
orang-orang yang ada di dalamnya.
Karl Marx Menurut Karl Marx, negara adalah penjelmaan dari pertentangan-
pertentangan kekuatan ekonomi. Negara dipergunakan sebagai alat dari mereka
yang kuat untuk menindas golongan-golongan yang lemah ekonominya. Yang
dimaksud dengan orang yang kuat adalah mereka yang memiliki alat-alat
produksi. Negara, menurut Marx, akan lenyap dengan sendirinya kalau dalam
masyarakat itu tidak terdapat lagi perbedaan-perbedaan kelas dan pertentangan-
pertentangan ekonomi.
Harold J. Laski Dalam buku yang berjudul The Satet in the Theory and Practice,
Laski berpendapat bahwa negara merupakan suatu alat pemaksa (Dwang
Organizatie) untuk melaksanakan dan melangsungkan suatu jenis sistem
produksi yang stabil. Pelaksanaan sistem produksi ini semata-mata akan
menguntungkan golongan kuat yang berkuasa. Artinya, andai kata penguasa itu
berasal dari aliran kapitalis, maka organisasi negara itu tadi selalu akan
dipergunakan oleh penguasa untuk melangsungkan sistem ekonomi kapitalis.
Eugen Erlich Bagi Erlich, program pokok dari tatanan hukum adalah
mengembalikan hukum kepada kenyataan eksistensia (Seinstatsachen). Setiap
perilaku yang dilakukan berulang- ulang, akan dianggap sebagai hukum,
sedangkan apa yang dianggap sebagai norma akan menjadi norma. Menurut
Budiono Kusumohamidjojo, pemikiran seperti itu ada bahayanya. Karena
masyarakat dapat kalah melawan oligarki yang korup tetapi solid, orang dapat
menjadi semakin apatis terhadap korupsi dan kolusi sedemikian rupa, sehingga
korupsi dan kolusi dianggap sebagai perilaku yang normal. Apakah korupsi dan
kolusi lalu pantas dijadikan norma juga
Hans Kelsen Menurut Kelsen, negara merupakan suatu tertib hukum yang
muncul karena diciptakannya peraturan-peraturan hukum yang menentukan
bagaimana orang di dalam masyarakat atau negara itu harus bertanggung jawab
terhadap perbuatannya. Peraturan- peraturan hukum itu berlaku mengikat,
artinya bahwa setiap orang harus menaatinya. Jadi, negara adalah suatu tertib
hukum yang memaksa.
G.Teori Modern Gugus pendapat dalam teori modern mengatakan bahwa negara
adalah suatu kenyataan. Negara terikat, waktu, keadaan, dan tempat. Oleh sebab
itu, teori modern lebih condong kepada hukum tata negara karena
membicarakan negara sebagai kenyataan yang ada Menurut Soehino, pemikiran
teori modern ini nampak antara lain dari pendapat Kranenburg dan Logeman.
Istilah Hukum Tata Negara berasal dari bahasa Belanda Staatsrecht yang artinya
adalah hukum Negara.Staats berarti negara-negara, sedangkan recht berarti
hukum.Hukum negara dalam kepustakaan Indonesia diartikan menjadi Hukum
Tata Negara.Mengenai definisi hukum tata negara masih terdapat perbedaan
pendapat di antara ahli hukum tata negara. Perbedaan ini antara lain disebabkan
oleh masing-masing ahli berpendapat bahwa apa yang mereka anggap penting
akan menjadi titik berat perhatiannya dalam merumuskan pengertian dan
pandangan hidup yang berbeda.
Hukum Tata Negara juga dapat dibedakan antara Hukum Tata Negara Umum
dan Hukum Tata Negara Positif.Hukum Tata Negara Umum membahas asas-
asas, prinsip-prinsip yang berlaku umum, sedangkan Hukum Tata Negara
Positif hanya membahas hukum tata negara yang berlaku pada suatu tempat dan
waktu tertentu. Misalnya, hukum tata negara Indonesia, Hukum Tata Negara
Inggris, ataupun Hukum Tata Negara Amerika Serikat yang dewasa ini berlaku
di masing-masing negara yang bersangkutan, adalah merupakan hukum tata
negara positif.
Barulah setelah reformasi 1998 terjadi perkembangan yang dominan dalam
studi Hukum Tata Negara.Lahirnya para ahli Hukum Tata Negara juga turut
membantu perkembangan tersebut.Melalui amandemen pancasila akhirnya
menghasilkan perubahan dan perombakan pada struktur / unsur kenegaraan.
Terlahirnya lembaga-lembaga negara baru itu tak lain bermaksud mewujudkan
Indonesia yang lebih baik dan demokratis.
1. Presiden
Presiden merupakan sebutan untuk seseorang yang menjabat sebagai kepala
negara sekaligus kepala pemerintahan yang melaksanakan roda pemerintahan
dalam suatu negara.
Masa jabatan Presiden dalam satu periode adalah selama 5 tahun. Akan tetapi,
ia masih diperbolehkan jika ingin mengajukan diri sebagai kandidat presiden di
periode selanjutnya.
Secara umum, Presiden memiliki tugas dan wewenangnya tersendiri, berikut ini
merupakan tugas dari Presiden, yaitu :
Mempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian dan juga kesepakatan
dengan negara lain.
Berwenang untuk mengangkat seorang duta dan juga konsul guna ditempatkan
di negara lain.
Mempunyai kewenangan untuk mengizinkan kedutaan yang datang dari negara
lain untuk singgah di Indonesia.
Presiden memiliki kekuatan untuk memberikan penghargaan kepada warga
negara Indonesia dan asing yang mampu membanggakan dan menjaga nama
baik Indonesia.
2. Wakil Presiden
Wakil presiden merupakan sebuah jabatan yang berada satu tingkat lebih rendah
dibandingkan dengan Presiden. Seseorang yang menjabat sebagai Wakil
Presiden dapat mengambil alih tugas serta jabatan Presiden jika Presiden sedang
berhalangan.
Sama halnya dengan Presiden, Wakil Presiden juga memiliki tugas serta
kewenangannya tersendiri, yaitu diantaranya adalah :
Bertugas untuk membantu presiden dalam melaksanakan kewajibannya
terhadap suatu negara.
Dapat mengganti tugas dan tanggung jawab presiden sampai akhir hayatnya jika
presiden meninggal dunia, berhenti, atau gagal menjalankan tugasnya dalam
jangka waktu tertentu.
Memberikan perhatian khusus terhadap masalah yang membutuhkan
penanganan berurusan dengan bidang kesejahteraan publik.
3. Menteri
Menteri merupakan kekuasaan yang memegang posisi publik secara signifikan
dalam suatu pemerintahan.
Seseorang yang menjabat sebagai menteri umumnya bertugas untuk
menjalankan suatu pelayanan serta menjadi anggota kabinet yang dipimpin oleh
seorang presiden atau perdana menteri.
Bertugas dalam membantu pekerjaan presiden di dalam sebuah pemerintahan.
Memanajemen departemen sesuai dengan tugas-tugas dasar yang telah
ditetapkan oleh pemerintah serta promosi aparatur departemen.
Bertanggung jawab untuk menentukan kebijakan guna mengimplementasi
fungsional lapangan sesuai dengan pedoman umum yang telah ditetapkan oleh
Presiden.
Membina serta implementasi kerjasama dengan departemen, lembaga dan
organisasi terkait lainnya untuk menyelesaikan masalah yang muncul.
Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia ( pemerintah daerah provinsi ,
pemda kota )
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerahProvinsi. Daerah
Provinsi itu dibagi lagi atas daerahKabupatendan daerahKota. Setiapdaerah
Provinsi, daerah Kabupaten, dan daerah Kota mempunyai PemerintahanDaerah
yang diatur dengan undang-undang. Pemerintah Daerah dan DPRD adalah
penyelenggara Pemerintahan Daerah menurut asas otonomi dan tugas
pembantuandengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip
Negara KesatuanRepublik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar 1945.Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau
Walikota, dan PerangkatDaerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan
daerah. Perangkat Daerahadalah organisasi atau lembaga pada pemerintah
daerahyang bertanggung jawabkepadaKepala Daerahdalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan di daerah.Pada DaerahProvinsi, Perangkat
Daerah terdiri atasSekretariat Daerah, DinasDaerah, danLembaga Teknis
Daerah. Pada DaerahKabupaten/Kota, PerangkatDaerah terdiri atas Sekretariat
Daerah, Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah,Kecamatan, danKelurahan.
Perangkat Daerah dibentuk oleh masing-masingDaerah berdasarkan
pertimbangan karakteristik, potensi, dan kebutuhan Daerah.Organisasi
Perangkat Daerah ditetapkan denganPeraturan Daerahsetempatdengan
berpedoman kepada Peraturan Pemerintah. Pengendalian organisasi perangkat
daerah dilakukan oleh Pemerintah Pusat untuk Provinsi dan olehGubernur untuk
Kabupaten/Kota dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.Formasi dan
persyaratan jabatan perangkat daerah ditetapkan dengan PeraturanKepala
Daerah dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Pemerintahan daerah
menyelenggarakan urusan pemerintahan yangmenjadi kewenangannya, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh Undang-undangditentukan menjadi urusan
pemerintah pusat. Urusan pemerintahan yang menjadiurusan Pemerintah Pusat
meliputi :1.politik luar negeri;2.pertahanan;3.keamanan;4.yustisi;5.moneter dan
fiskal nasional; dan 6.agama
Kecamatan
Kecamatan merupakan bagian dari wilayah kabupaten. Wilayahkecamatan
terdiri atas beberapa desa/kelurahan. Kecamatan dibentuk diwilayah
kabupaten/kota dengan Perda berpedoman pada PeraturanPemerintah.
Kecamatan dipimpin oleh camat yang dalam pelaksanaantugasnya memperoleh
pelimpahan sebagian wewenang bupati atau walikotauntuk menangani sebagian
urusan otonomi daerah. Camat diangkat olehBupati/Walikota atas usul
sekretaris daerah kabupaten/kota dari pegawainegeri sipil yang menguasai
pengetahuan teknis pemerintahan dan memenuhi persyaratan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Kelurahan
Kelurahandibentuk di wilayah kecamatan dengan Perda Kabupaten/Kotayang
berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Kelurahan dipimpin olehseorang lurah
yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan
dariBupati/Walikota. Lurah diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul Camat dari
pegawai negeri sipil yang menguasai pengetahuan teknis pemerintahan
danmemenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Desa
Dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desayang
terdiri dari pemerintahdesadanBadan Permusyawaratan Desa. Landasan
pemikiran dalam pengaturan mengenai desa adalahkeanekaragaman, partisipasi,
otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat. Pemerintah
mengakui otonomi yang dimiliki oleh desa ataupundengan sebutan lainnya dan
kepada desa melalui pemerintah desa dapatdiberikan penugasan ataupun
pendelegasian dari Pemerintah ataupun pemerintah daerah untuk melaksanakan
urusan pemerintah tertentu. Sedangterhadap desa di luar desa geneologis yaitu
desa yang bersifat administratifseperti desa yang dibentuk karena pemekaran
desa ataupun karenatransmigrasi ataupun karena alasan lain yang warganya
pluralistis, majemuk,ataupun heterogen, maka otonomi desa akan diberikan
kesempatan untuktumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan dari desa
itu sendiri.Kepala desa dipilih langsung oleh dan dari penduduk desa warga
negaraRepublik Indonesia yang syarat selanjutnya dan tata cara pemilihannya
diaturdengan Perda yang berpedoman kepada Peraturan Pemerintah. Calon
kepaladesa yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan kepala
desasebagaimana dimaksud, ditetapkan sebagai kepala desa. Masa jabatan
kepaladesa adalah 6 (enam) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1
(satu)kali masa jabatan berikutnya. Masa jabatan kepala desa dalam ketentuan
inidapat dikecualikan bagi kesatuan masyarakat hukum adat
yangkeberadaannya masih hidup dan diakui yang ditetapkan dengan
Perda.Badan Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan desa
bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Didesa
dapat dibentuk lembaga kemasyarakatan yang ditetapkan dengan peraturan desa
dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.Yang dimaksud
dengan lembaga kemasyarakatan desa dalam ketentuan iniseperti Rukun
Tetangga, Rukun Warga, PKK, karang taruna, lembaga pemberdayaan
masyarakat.Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa
mencakup:1.urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul
desa;2.urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota
yangdiserahkan pengaturannya kepada desa;3.tugas pembantuan dari
Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota; urusan
pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-perundangandiserahkan
kepada desa.
Instansi Vertikal
Instansi vertikal adalah lembaga milik pusat yang ditempatkan diluarkantor
pusatnya.1.Instansi Vertikal pada Wilayah ProvinsiKeberadaan instansi vertikal
di provinsi berdasarkan kebutuhanakan tugas dekonsentrasi yang ditentukan
oleh pemerintah dandepartemen teknis yang bersangkutan. Instansi vertikal
yang berada di provinsi adalah kantor cabang departemen pusat di provinsi yang
beradadi bawah dan bertanggung jawab kepada menteri yang
bersangkutan.2.Instansi Vertikal pada Wilayah Kabupaten/KotaKeberadaan
instansi vertikal di kabupaten/kota disesuaikan dengankebutuhan pelayanan
departemen yang bersangkutan dan penilaian pemerintah mengenai perlu
tidaknya suatu wilayah dibentuk instansivertikal tertentu.
Warga negara Indonesia dan hubungan ham dengan htn
Istilah warga negara sendiri merupakan terjemahan kata citizen (Inggris) yang
memiliki arti warga negara atau dapat diartikan sesama penduduk dan orang
setanah air.
Berdasarkan arti dalam bahasa Inggris, warga negara adalah orang orang yang
menjadi bagian dari suatu penduduk yang menjadi unsur negara itu sendiri.
1. A.S. Hikam
Mendefinisikan bahwa warga negara merupakan terjemahan dari "citizenship",
yaitu anggota dari sebuah komunitas yang membentuk negara itu sendiri.
Mendefinisikan warga negara dengan anggota negara.
2. Koerniatmanto S.
Sebagai anggota negara, seorang warga negara memiliki kedudukan yang
khusus terhadap negaranya. la memiliki hubungan hak dan kewajiban yang
bersifat timbal-balik terhadap negaranya.
3. Austin Ranney
Warga negara adalah orang-orang yang memiliki kedudukan resmi sebagai
anggota penuh suatu negara.
- Ikut serta dalam upaya pembelaan negara (pasal 27 ayat 3, perubahan kedua
tanggal 18 Agustus 2000)
- Kewajiban untuk ikut serta dalam upaya pembelaan negara (pasal 27 ayat 3
perubahan kedua tanggal 18 Agustus 2000)
- Kewajiban untuk ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan Negara
(pasal 30 ayat 1 perubahan kedua tanggal 18 Agustus 2000).
HAM dalam konstitusi Indonesia telah dilandaskan dan dirumuskan dalam pasal
28 A sampai 28 J Undang-Undang Dasar 1945:
Piagam Madinah
Materi HAM juga memiliki keterkaitan dengan nilai nilai yang terkandung
dalam Piagam Madinah, Piagam Madinah merupakan konstitusi yang berfungsi
menjadi dasar hidup bersama yang disepakati masyarakat Madinah yang
heterogen di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad pada akhir tahun 1 H.
Piagam Madinah mengandung prinsip-prinsip HAM dan punya relevansi
dengan universalitas HAM, Prinsip-prinsip HAM yang dikandung oleh Piagam
Madinah dan punya relevansi dengan universalitas HAM, ialah: (1) Hak atas
kebebasan beragama; (2) Hak atas persamaan di hadapan hukum; (3) Hak untuk
hidup; dan (4) Hak memperoleh keadilan.Hal ini tentunya juga menunjukkan
adanya keterkaitan HAM dengan nilai nilai luhur keislaman yang luar
biasa,yang telah ada sejak jaman Rasulullah.
Di dalam sejarah Islam, mencatat bahwa setelah Nabi Muhammad dan
muslimin berhijrah dari kota Makkah ke kota Madinah, telah memberikan
pengaruh yang sangat signifikan. Karena penduduk Madinah telah bertambah
majemuk dengan berbagai golongan dan berbagai kepercayaan dan menjadi
masyarakat yang heterogen.
Untuk membangun suatu masyarakat yang aman, tentram tanpa adanya
permusuhan anter golongan, maka Nabi Muhammad membuat suatu
kesepakatan atau perjanjian dengan penduduk muslim yang ada di Madinah
antara kelompok muhajirin (pendatang) dan kelompok anshar (penduduk asli)
dengan kaum Yahudi dan kelompok lainya, yang kemudian perjanjian tersebut
dinamakan Piagam Madinah.
Piagam Madinah yaitu perjanjian mengenai pembahasan yang berkenaan
dengan persamaan dalam hak dan kewajiban diantara kelompok dalam
menjalankan kehidupan sosial, bermasyarakat dan bernegara.maka dengan
demikian, dapat kita ketahui bahwa Islam telah memberikan respons yang
sangat besar terhadap HAM dalam memberikan konsep-konsep dasar HAM
untuk menjadi dasar kehidupan bersosial dan bernegara, agar yang telah dicita-
citakan oleh Tuhan sebagai “baldatun thoibatun wa rabbun ghafur.“
Jadi secara keseluruhan jelaslah bahwa muatan HAM telah dimuat dalam aturan
konstitusi negara tercantum dengan jelas didalam pasal 28 A sampai 28 J UUD
1945. Oleh karena itu sudah menjadi keharusan bagi setiap pihak dan negara
dalam menjamin HAM yang menjadi elemen dasar hadirnya negara sebagai
pengayom rakyatnya. Bahkan, di dalam Piagam Madinah, landasan HAM telah
melekat menjadi nilai-nilai luhur dalam bingkai keislaman. Demikian
pemaparan singkat mengenai HAM dari perspektif HTN, semoga semakin
meningkatkan wawasan kita perihal perlindungan HAM dalam bingkai
konstitusi ketatanegaraan Indonesia.
Subyek, sistematika, ruang lingkup, bentuk dan pelaksanaan HAN
Sebagai suatu ilmu, hukum administrasi negara tentu harus jelas batasbatasnya
atau yang menjadi tanda pembeda yang jelas dengan ilmu hukum yang lain.
Untuk itulah sangat dibutuhkan kejelasan atas ruang lingkup yang menjadi
lapangan ilmiah dari ilmu hukum administrasi negara. Batas-batas ruang
lingkup sekaligus menjadi satu penanda objek-objek yang menjadi bisnis utama
yang seharusnya dibahas dalam ilmu hukum administrasi negara. Acap kali,
dalam penentuan batas ruang lingkup imu tersebut, digunakan metode dengan
melakukan pendekatan atas ilmu yang memiliki kemiripan objek yang sama
dengan ilmu yang akan dibahas batas-batas ruang lingkupnya. Hal ini sangat
diperlukan. Mengapa? Karena terhadap hal yang sangat relatif dapat dengan
jelas ditentukan batas-batasnya, sedangkan terhadap ilmu yang sangat berbeda
batasannya tentu akan semakin mudah pembedaannya. Khusus dalam ilmu
hukum administrasi negara, ilmu hukum yang memiliki kedekatan dengan HAN
adalah hukum tata negara. Hal ini mengingat keduanya memiliki satu lapangan
yang mirip satu sama lain, yakni negara, kewenangan, para pejabat, serta rakyat.
Untuk itu, perlu diperjelas batas kedua keilmuan tersebut agar mudah
pembedaan dan pembatasan dengan ilmu hukum yang mempunyai lapangan
yang berbeda. Pada awalnya, banyak pakar menganggap bahwa hukum
administrasi negara dan hukum tata negara merupakan kesatuan dan tidak dapat
dipisahkan. Hukum administrasi negara hanya merupakan bagian khusus dari
hukum tata negara. Pendek kata, hukum administrasi negara hanya mempunyai
lapangan yang sama dengan hukum tata negara. Akan tetapi, yang membedakan
hukum administrasi negara dilihat sebagai hukum yang khusus, sedangkan
hukum tata negara merupakan hukum umumnya. Beberapa sarjana terkemuka
yang memandang bahwa antara hukum administrasi negara dan hukum tata
negara merupakan satu kesatuan karena tidak terdapat perbedaan yang
prinsipiil. Hal tersebut seperti yang diungkapkan Vegting, Kranenburg, dan
Prins. Kesimpulan ini didasarkan pada pernyataan Kranenburg yang melihat
bahwa hukum tata negara merupakan hukum yang berbicara mengenai struktur
dari suatu pemerintahan, sedangkan hukum administrasi negara merupakan
hukum yang membahas peraturan-peraturan yang bersifat khusus. Pendapat
Kranenburg ini didukung oleh Prins yang mengemukakan bahwa hukum
administrasi negara membahas hal-hal yang bersifat teknis, sedangkan hukum
tata negara lebih merupakan hukum yang membahas hal-hal yang lebih
fundamental dari negara Pada sisi yang lain, terdapat pula sekumpulan pakar
yang melihat bahwa antara hukum admininistrasi negara dan hukum tata negara
bukanlah sesuatu yang sama, tetapi memiliki beberapa perbedaan yang sangat
prinsipiil. Para pakar yang mempunyai pandangan bahwa HAN dan HTN
mempunyai perbedaan yang prinsipiil tersebut: 1. Romeiyn, 2. Van Vallen
Hoven, 3. Logemann, 4. Donner, 5. Oppenheim. Dari kelima pakar di atas yang
secara tegas membedakan hukum administrasi negara dan hukum tata negara
adalah Van Vollenhoven. Dia mengetengahkan teori “residu”. Teori ini
menjelaskan bahwa lapangan hukum administrasi negara adalah “sisa atau
residu” dari lapangan hukum setelah dikurangi oleh hukum tata negara, hukum
pidana materiil, dan hukum perdata materiil. Adanya teori residu ini
memperjelas perbedaan antara hukum administrasi negara dan ilmu hukum
lainnya, terutama HTN. Lapangan hukum administrasi negara mempunyai
wilayah yang tidak dibahas dalam lapangan hukum perdata, hukum pidana,
ataupun hukum tata negara.
Oppenheim memberikan satu penegasan yang memperkuat pendapat
Vollenhoven tentang adanya garis tegas antara hukum administrasi negara dan
hukum tata negara. Ia menyatakan bahwa hukum administrasi negara membahas
negara dalam keadaan bergerak (state in progres) atau staats in beveging, yakni
mempelajari segala kewenangan atau aparatur dalam menjalankan proses-proses
pemerintahan. Sementara itu, hukum tata negara melihat atau membahas negara
dalam keadaan diam (state in still) atau staats in rust dalam pengertian
membahas negara atau kewenangan lembagalembaganya, tetapi sebatas
memerinci tugas dan kewenangan itu sendiri, tanpa membahas bagaimana
kewenangan itu dijalankan dalam pemerintahan sehari-hari. Pendapat lain dan
serupa dengan pandangan Van Vollenhoven dan Oppenheim dikemukakan oleh
Romeyn yang melihat HAN sebagai pengatur pelaksanaan teknisnya. Demikian
juga Donner menganggap bahwa hukum tata negara sebagai hukum yang
menetapkan tugas dan kewenangan lembaga negara. Akan tetapi, hukum
administrasi negaralah yang melaksanakan tugas dan kewajiban yang sudah
ditetapkan oleh hukum tata negara. Logeman juga menambahkan pendapatnya
untuk memperkuat asumsi dasar bahwa hukum tata negara dan hukum
administrasi negara adalah sesuatu yang berbeda dan terpisah. Menurut
pendapatnya, hukum tata negara menetapkan kompetensi atau kewenangannya,
sedangkan tugas hukum administrasi negaralah membahas hubungan istimewa
tersebut. Pendapat yang membedakan secara prinsipiil antara hukum
administrasi negara dan hukum tata negara sangat jelas didasarkan adanya
wilayah ataupun cakupan bahasan yang jelas-jelas berbeda. Pandangan ini tentu
lebih bisa diterima dibandingkan dengan pendapat awal yang mengemukakan
bahwa kedua hukum tersebut bersatu. Hal tersebut telah terbukti di hampir
seluruh perguruan tinggi hukum, yaitu selalu membedakan keberadaan hukum
administrasi negara dan hukum tata negara, baik dalam praktik pemerintahan
maupun pengembangan ilmu pengetahuan. Secara ringkas, hal tersebut dapat
digambarkan oleh Tri Widodo Utomo25 dalam skema pengelompokan yang
melihat tidak adanya perbedaan prinsipiil antara hukum tata usaha negara dan
hukum administrasi negara dengan kelompok yang membedakan secara
prinsipiil.
Ruang lingkup hukum administrasi negara sesungguhnya sangat luas
cakupannya. Hal itu sebagaimana diungkap oleh Prajudi Atmosudirdjo yang
mengatakan bahwa ruang lingkup hukum administrasi negara meliputi: 1.
hukum tentang dasar-dasar dan prinsip-prinsip umum administrasi negara; 2.
hukum tentang organisasi administrasi negara; 3. hukum tentang aktivitas-
aktivitas administrasi negara yang bersifat yuridis; 4. hukum tentang sarana-
sarana administrasi negara, terutama kepegawaian negara dan keuangan negara;
5. hukum administrasi pemerintahan daerah dan wilayah yang dibagi menjadi:
a. hukum administrasi kepegawaian, b. hukum administrasi keuangan, c.
hukumadministrasi materiil, d. hukum administrasi perusahaan negara, e.
hukum tentang peradilan administrasi negara. 2 Sementara itu, menurut Van
Vollenhoven yang mendasarkan teori “residu”, lapangan atau cakupan hukum
administrasi negara meliputi: 1. hukum pemerintah/bestuur recht, 2. hukum
peradilan yang meliputi: a. hukum acara pidana, b. hukum acara perdata, c.
hukum peradilan administrasi negara, 3. hukum kepolisian, 4. hukum proses
perundang-undangan/regelaarsrecht. 28 Pandangan Van Vollenhoven ini
memasukkan hukum acara pidana dan hukum acara perdata dalam lingkup
hukum administrasi negara. Hal ini tentu didasarkan pada pemikiran bahwa
kedua hukum acara tersebut pada prinsipnya berisi administrasi peradilan yang
mengatur tata cara atau penatausahaan proses-proses beracara sehingga sudah
sepatutnyalah hal tersebut masuk dalam lingkup hukum administrasi negara
meskipun penamaannya bisa membuat rancu. Hal ini mengingat selama ini
hukum acara pidana merupakan hukum formil dari lapangan hukum pidana.
Hukum acara perdata merupakan hukum formil dari lapangan hukum perdata.
Akan tetapi, substansi yang dibahas atau yang menjadi isu utama dalam hukum
acara peradilan apa pun sesungguhnya memang membahas segala proses
administrasi peradilan (court administration), seperti bagaimana mendaftar
perkara, memanggil para pihak yang bersengketa, administrasi pembuktian,
bagaimana menghadirkan saksi, dan segenap prosedur lainnya. Pendapat Van
Vollenhoven ini tidak jauh berbeda dengan pendapat Prayudi yang memasukkan
administrasi negara di bidang yuridis dalam lingkup wilayah hukum
administrasi negara. Dengan perkataan lain, dari kedua pandangan tersebut, luas
lingkup hukum administrasi negara itu meliputi pengaturan prosedur, tata cara,
penatausahaan, proses pencatatan, dan segala tindakan administrasi lainnya.
Maka itu, hal tersebut dimasukkan dalam ruang lingkup hukum administrasi
negara. Pendapat lain tentang ruang lingkup hukum administrasi negara
dikemukakan oleh Kusumadi Pudjosewojo. Ia membagi bidang-bidang pokok
yang merupakan lapangan hukum adminsitrasi negara: 1. hukum tata
pemerintahan, 2. hukum tata keuangan, 3. hukum hubungan luar negeri, 4.
hukum pertahanan negara dan keamanan umum. Pendapat Kusumadji ini lebih
menekankan cakupan hukum administrasi negara sebagaimana yang tertuang
dalam UUD 1945. Namun, model pendekatan ini menimbulkan ketidakjelasan,
bukan saja karena tidak jelas tolok ukurnya, tetapi juga rancu dengan lapangan
atau cakupan hukum tata negara. Hal ini mengingat dimasukkannya hubungan
luar negeri serta pertahanan negara yang secara jelas merupakan pokok bahasan
dalam lapangan hukum tata negara. Perkembangan dewasa ini mengenai luas
cakupan hukum administrasi negara pada prinsipnya menggabungkan teori
residu dari Van Vollenhoven dan dikawinkan dengan pendapat Prajudi. Hal
tersebut berarti luas cakupan hukum administrasi negara lebih menitikberatkan
bidang ilmu selain yang menjadi bahasan hukum perdata, hukum pidana, dan
hukum tata negara. Lalu, ditambahkan pula segala hal yang berkaitan dengan
masalah prosedur, tata laksana, dan kegiatan administrasi lainnya, tetapi dengan
catatan proses administrasi tersebut, substansi utama tidak berada dalam
lapangan hukum lainnya. Sebagai contoh, dalam perkembangan dewasa ini,
hukum acara perdata ataupun hukum acara pidana tidak lagi dimasukkan dalam
ruang lingkup hukum administrasi negara karena kedua substansi dasarnya ada
di lingkup hukum yang lain meskipun pokok bahasan sesungguhnya merupakan
lingkup administrasi negara. Pernyataan di atas yang membatasi ruang lingkup
hukum administrasi negara dengan penekanan teori residu dan pendapat Prajudi,
dalam praktik, terbukti dengan melihat kurikulum di beberapa fakultas hukum
yang menetapkan objek-objek hukum administrasi negara: 1. hukum
administrasi negara (umum), 2. hukum administrasi negara (khusus) yang
meliputi bidang-bidang tertentu, di antaranya hukum ketenagakerjaan, hukum
keuangan negara, hukum pajak, hukum pertambahan, hukum agraria, hukum
tata ruang, hukum kepegawaian, hukum pertambangan, dan hukum acara
peradilan tata usaha negara.
Penerapan Hukum Administrasi Negara di Indonesia
Penerapan Hukum Administrasi Negara (HAN) di Indonesia memiliki
peranan penting
dalam melakukan kontrol terhadap jalannya instrumen-instrumen
pemerintah seperti
badan-badan milik pemerintah dan pejabat-pejabat pemerintah yang
melakukan
Penerapan Hukum Administrasi Negara di Indonesia Penerapan Hukum
Administrasi Negara (HAN) di Indonesia memiliki peranan pentingdalam
melakukan kontrol terhadap jalannya instrumen-instrumen pemerintah
sepertibadan-badan milik pemerintah dan pejabat-pejabat pemerintah
yang melakukanPenerapan Hukum Administrasi Negara di Indonesia
Penerapan Hukum Administrasi Negara (HAN) di Indonesia memiliki
peranan penting
dalam melakukan kontrol terhadap jalannya instrumen-instrumen
pemerintah seperti
badan-badan milik pemerintah dan pejabat-pejabat pemerintah yang
melakukan
Penerapan Hukum Administrasi Negara di Indonesia
Penerapan Hukum Administrasi Negara (HAN) di Indonesia memiliki
peranan penting
dalam melakukan kontrol terhadap jalannya instrumen-instrumen
pemerintah seperti
badan-badan milik pemerintah dan pejabat-pejabat pemerintah yang
melakukan
Penerapan Hukum Administrasi Negara di Indonesia
Penerapan Hukum Administrasi Negara (HAN) di Indonesia memiliki
peranan penting
dalam melakukan kontrol terhadap jalannya instrumen-instrumen
pemerintah seperti
badan-badan milik pemerintah dan pejabat-pejabat pemerintah yang
melakukan
Penerapan Hukum Administrasi Negara di Indonesia
Penerapan Hukum Administrasi Negara (HAN) di Indonesia memiliki peranan
pentingdalam melakukan kontrol terhadap jalannya instrumen-instrumen
pemerintah sepertibadan-badan milik pemerintah dan pejabat-pejabat
pemerintah yang melakukan pelanggaran baik itu pencurian atau penyalah
gunaan wewenangnya yang dimana akanmenyinggung perlindungan bagi
subyek hukum yang dirugikan oleh negara maupunperson yang mewakili
negara dan perlindungan hukum dalam HAN.Penerapan HAN itu sendiri sangat
tegas dan mempunyai penegakan hukum sendiri. Halini bertujuan agar
terciptanya ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat.
Hukum dalam HAN Menurut P.Nicolai dan kawan-kawan sarana penegakan
hukum administrasi berisi :1.Pengawasasan bahwa organ pemerintahan dapat
melaksanakan ketaatan pada atauberdasarkan undang-undang yang
ditetapkan secara tertulis dan pengawasan terhadapkeputusan yang
meletakkan kewajiban kepada individu.
2. Penerapan kewenangan sanksi pemerintaha dan ada beberapa sanksi
pidana dalamHAN, yaitu:
1. Paksaan pemerintah
2. Penarikan kembali keputusan yang menguntungkan
3. Pengenaan uang paksa oleh pemerintah
4. Pengenaan denda administratif3. Penyelenggara Administrasi Negara
Dilihat dari Segi Hukum Administrasi Negara Menurut undang undang No 28
tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara YangBersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Yang di maksud dengan
aparatpemerintah atau Penyelenggaraan Administrasi Negara yang baik
adalah : Aparatpemerintah yang adil dalam melaksanakan tugasnya, yaitu
aparat yang tidak melakukandiskriminatif penduduk, antara penduduk kaya dan
yang tidak kaya. Aparat pemerintah yang adil adalah juga aparat yang
memberikan kepada pendusukapa yang menjadi haknya. Aparat pemerintah
yang bersih, artinya tanpa cacat hukum, tidakmelakukan korupsi, kolusi maupun
nepotisme. Aparat pemerintah yang berwibawa, yaituaparat yang disegani oleh
penduduk, bukan ditakuti. Aparat pemerintah yang bermoral, artinya
aparat yang : Mempunyai keyakinan diri,keyakinan tentang apa yang baik
untuk dilakukan dan apa yang tidak baik untuk tidakdilakukan. Aparat
yang dapat mengawasi diri dalam melaksanakan tugasnya, tanpa harusdiawasi
dari luar. Misalnya dari atasannya atau dari suatu badan pengawas.
Mempunyaidisiplin diri, artinya menaati dan mematuhi peraturan tanpa
paksaan dari luar. Misalnyaseorang bendahara mengelola uang Negara , sesuai
dengan peraturan tanpa paksaan dariBadan Pemeriksaan Keuangan (BPK).
Aparat pemerintah yang baik, artinya aparat yang : Berada dalam
kedudukannyasebagai aparat yang ideal dan fungsional. Aparat yang ideal
adalah aparat yang bekerjadengan cita-cita tinggi, bercita-cita untuk
menciptakan pemerintahan yang lebih baik daripemerintah yang ada
sebelumnya. Dan aparatur yang fungsional adalah aparat yangmenjalankan
fungsinya yang ulet, tekun dan dengan penuh rasa tanggung jawab. Jika
iaberkerja membumi, maka ia adalah aparat yang fungsional. Aparat yang baik
merupakanBestaandvoorwaarde artinya syarat yang harus ada untuk adanya
pemerintahan yanh baikatau administrasi yang baik. Kebebasan
pemerintah menggunakan wewenang paksaan pemerintahan ini dibatasioleh
asas-asas umum pemerintahan yang layak,seperti asas
kecermatan,asaskeseimbangan,asas kepestian hukum,dan sebagainya.
Disamping itu,ketika pemerintahan
1) Peradilan umum
Salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan
disebut peradilan umum. Pada umumnya, jika rakyat melakukan suatu
pelanggaran atau kejahatan, maka menurut peraturan dapat dihukum atau
dikenakan sanksi dan akan diadili dalam lingkungan peradilan umum.
Saat ini peradilan umum diatur berdasarkan UU No.2 tahun 1986
(Lembaran Negara No. 20 tahun 1986). Kekuasaan kehakiman di lingkungan
peradilan umum dilaksanakan oleh pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan
Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi sebagaimana diatur
dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 2 tahun 1986.
2) Peradilan Khusus
a) Pengadilan agama
Pengadilan agama yang dimaksud adalah pengadilan agama Islam. Tugasnya
memeriksa dan memutus perkara-perkara yang timbul antara orang-orang yang
beragama Islam mengenai bidang hukum perdata tertentu yang diputus berdasar
syariat Islam. Contohnya adalah perkara perkara yang berkaitan dengan nikah,
rujuk, talak (perceraian), nafkah, dan waris. Keputusan pengadilan agama dalam
hal yang dianggap perlu dapat dinyatakan berlaku oleh pengadilan negeri.
UU No. 7 tahun 1989 yang mengatur tentang pengadilan agama menyatakan
bahwa lingkup pengadilan agama terdiri atas:
(1) pengadilan tinggi agama sebagai badan peradilan tingkat banding, bertempat
kedudukan sama dengan daerah pengadilan tinggi;
(2) pengadilan agama sebagai badan peradilan tingkat pertama, bertempat
kedudukan sama dengan pengadilan negeri.
C) Pengadilan militer
Pengadilan yang mengadili anggota-anggota TNI, meliputi angkatan
darat, angkatan laut, dan angkatan udara disebut pengadilan militer.
Berdasarkan Undang-Undang No. 31 tahun 1987 tentang Pengadilan Militer,
dinyatakan bahwa lingkup pengadilan militer meliputi:
1) pengadilan militer pertempuran;
2) pengadilan militer tingkat pertama yang mengadili kejahatan
dan pelanggaran yang dilakukan oleh TNI yang berpangkat kapten ke
bawah disebut pengadilan militer;
3) pengadilan militer utama;
4) pengadilan militer tinggi, sebagai berikut:
a) pengadilan tingkat pertama yang mengadili kejahatan dan pelanggaran yang
dilakukan oleh TNI yang berpangkat mayor ke atas, dan
b) pengadilan untuk memeriksa dan memutus pada tingkat banding perkara
pidana yang telah diputus oleh pengadilan militer dalam daerah
hukumnya yang dimintakan banding. Pengadilan militer sekarang berpuncak
pada Mahkamah Agung mengingat bahwa pengadilan tertinggi di Indonesia
adalah Mahkamah Agung.
Di samping pengadilan tentara, terdapat juga kejaksaan tentara yang
mempunyai daerah kekuasaan sama dengan daerah kekuasaan pengadilan
militer yang bersangkutan.
Kewenangan
Mahkamah Konstitusi mempunyai 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu)
kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk:
1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;
2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar;
3. Memutus pembubaran partai politik, dan
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Kewajiban
Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Pelanggaran dimaksud sebagaimana
disebutkan dan diatur dalam ketentuan Pasal 7A UUD 1945 yaitu melakukan
pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negar, korupsi, penyuapan,
tindak pidana lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kalau kita mau membicarakan prinsip peradilan dalam Islam, maka alangkah
baiknya kita merujuk pada prinsip-prinsip hukum Islam secara universal seperti
dikemukakan oleh Juhaya S. Praja yang terdiri dari prinsip tauhid, keadilan,
‘amar ma‘rûf nahyi munkar, alhurriyyah, al-musâwah, al-ta‘âwun, dan al-
tasamuh. 4 Nampaknya prinsipprinsip tersebut bisa diterapkan dalam peradilan
Islam yang rinciannya sebagai berikut:
1. Prinsip Tauhid Prinsip tauhid menyatakan bahwa manusia ada di bawah
suatu ketetapan yang sama yakni mengesakan Tuhan yaitu Allah SWT. dalam
arti hanya Dialah yang harus ditaati hukum-hukumnya. Berdasarkan prinsip ini
maka pelaksanaan hukum Islam merupakan ibadah dalam arti perhambaan
manusia dan penyerahan dirinya kepada Allah SWT sebagai manifestasi
pengakuan atas ke-Maha-Esaan-Nya.5
2. Prinsip Keadilan Prinsip keadilan ini sangat relevan dengan lembaga
peradilan, karena tujuan orang datang ke pengadilan tiada lain untuk menuntut
keadilan yang merasa sudah dirampas orang lain. Allah SWT memerintahkan
manusia untuk berlaku adil dalam segala hal. Perintah ini terutama ditujukan
kepada mereka yang diberi tugas memegang kekuasaan, atau yang mempunyai
hubungan dengan kekuasaan, seperti para pemimpin, para hakim, mufti, dan
sebagainya. Ada beberapa ayat al-Quran yang menunjukkan hal itu, di
antaranya dalam surat al-Mâidah ayat 8 dan surat ke al-An„âm ayat 152.
3. Prinsip ‘amar ma‘rûf nahyi munkar Kelanjutan dari dua prinsip tauhid dan
keadilan ialah „amar ma‘rûf nahyi munkar yakni memerintah kebaikan dan
melarang kejahatan. „Amar ma‘rûf diartikan dengan fungsi social engineering
dalam filsafat hukum Barat, dan nahyi munkar sebagai social control-nya. Atas
dasar prinsip inilah maka dalam hukum Islam ada perintah dan larangan yang
terkenal dengan al-ahkâm al-khamsah, yakni wajib, haram, sunnah, makruh dan
mubah. Prinsip „amar ma’rûf nahyi munkar ini didasarkan pada firman Allah
SWT surat Ali-„Imrân ayat Pada dasarnya perintah ‘amar ma‘rûf nahyi munkar
kepada seluruh umat manusia yang beriman hukumnya sunnah, tetapi kepada
orang-orang yang ditugasi untuk itu hukumnya wajib. Dalam Peradilan Islam
ada wilayah (lembaga) hisbah yang dipimpin oleh Muhtasib. Tugas dari
muhtasib itu adalah ‘amar ma‘rûf nahyi munkar. Oleh karena itu, ‘amar ma‘rûf
nahyi munkar bagi muhtasib hukumnya wajib.
4. Prinsip al-Musâwah (persamaan) Prinsip persamaan ini didasarkan pada
firman Allah SWT dalam surat al-Hujurât ayat 13. Persamaan di depan
pengadilan merupakan prinsip hukum acara dalam peradilan di masa „Umar bin
Khaththab, sehingga dalam suratnya kepada Abû Mûsa al-Asy„arî beliau
berkata: “Perlakukanlah sama manusia (para pihak) di majelismu, di hadapan
kamu dan dalam putusanmu, sehingga orang mulia tidak akan tamak akan
kecuranganmu dan orang yang lemah tidak akan putus asa dari keadilanmu”.
5. Prinsip Ta‘âwun (Tolong-menolong) Ta‘âwun berarti tolong-menolong atau
bantu-membantu antara sesama manusia. Tolong-menolong ini diarahkan sesuai
dengan prinsip tauhid, yakni dalam upaya meningkatkan kebaikan dan
ketaqwaan kepada Allah SWT. Prinsip ini didasarkan pada firman Allah dalam
surat al-Mâidah ayat 2 dan surat al-Mujâdalah ayat 9. Pelaksanaan tugas hakim
di pengadilan pada hakikatnya harus dilandasi dengan tolong-menolong sesama
manusia. Para pihak yang berperkara datang ke pengadilan untuk menuntut atau
mempertahankan haknya yang sudah dirampas orang lain. Karena itu hakim
harus memenuhi keinginan para pihak dengan membatu mereka apa yang
mereka perlukan untuk memperlancar jalannya persidangan.
6. Prinsip Kemerdekaan atau Kebebasan (al-Hurriyyah) Kebebasan dalam Islam
dijamin, baik kebebasan individual maupun kebebasan secara kolektif. Tujuan
utama penyematan kemerdekaan kepada badan peradilan adalah agar para
pejabat fungsional yakni para hakim yang memeriksa dan memutus perkara
benarbenar dapat menegakkan hukum dan keadilan, karena hanya peradilan
yang bebas dan merdekalah yang dapat diperkirakan menegakkan hukum dan
keadilan yang hakiki dan dapat menjamin tegaknya negara hukum. Prinsip-
prinsip peradilan yang sudah dikemukakan di atas sebenarnya juga merupakan
prinsip dalam hukum acaranya ditambah dengan prinsip-prinsip yang terdapat
dalam risâlah al-Qadlâ’ yang dibuat oleh „Umar bin Khaththab. Risâlah al-
Qadlâ’ atau Risâlah ‘Umar seperti yang dkemukakan Atur al-„Amrusy,6 atau
Dustûr al-Qadlâ’ seperti dikemukakan „Athiyah Musyrifah7 dan Muhammad
alHafnawy,8 atau Kitâb ‘Umar Fi al-Qadlâ’ seperti dikemukakan oleh Ibn al-
Qayyim al-Jawziyyah9 dan Muhammad bin Isma‟il al-Kahlany adalah Risâlah
(sepucuk surat) yang berisi petunjuk bagi para hakim mengenai tata cara
menghadapi dan menyelesaikan perkara di pengadilan. Risâlah tersebut ditulis
oleh „Umar bin Khaththab, dan disampaikan kepada Abû Mûsa al-Asy„arî yang
bernama asli „Abdullah bin Qays qadli di daerah Koufah, dan kepada Abû
„Ubaydah bin alJarrah qadli di daerah Syam,10 kemudian disebarluaskan
kepada seluruh qadli yang diangkat „Umar. Para ahli menerangkan risâlah itu
dengan bermacam-macam, salah satunya seperti yang disampaikan Ibn al-
Qayyim al-Jawziyyah dalam I’lâm al-Muwaqqi‘în yakni risâlah alQadlâ’ yang
disampaikan kepada Abû Mûsa al-Asy„ari, sebagai berikut: َ ف ة َ ع,ٌ َ َذ ِ ا ْ م َ ْه اف
ا ْس و ُ م ْ َل أَِب ِ إ ُ ر, ف ُ د ْ ع َ ََّما ب َى, َ ُم َكم ْ َضة َري ف َ ْء َ َضا لق ْ َّن ا ِ إvُُْْ ٌ َ ب ْ ت ُ ٌ م نَّة ُ ٌ وس ة
ْ
َ ُّ ب ٌ م ِ َِل ْ أُ ْ ا َ َك و ِه ْ ج َ و ْ ِف َ َك وvَ َِ َ ُم ع َ َب َكت
ِ ِ و ا َ َف َلْ ن ٍ ّ َقvvvvvَ آ ِس ا ُ ْ َذ ل, ْ س ِ ل َ ْم ْ ِف َ ْس لنَّا
ْ َّ
َّدع ُ ْمل َى ا لِ ت َ َك ح ِ ْئ َ َضا ق َى ل َ ْ ُي ع ِم َ ْالي َ و ْ ىvّ َْ َكل ت ُ َع ْف ن َ َ ْلي ُ نَّو ِ إ َ ْ َك ف لَي ِ َلْ ا
َ ري عvvvع أَ س ْ ي َ َلْ ي َ َك و ِ ف ْ ي َ ْ ح ْ ٌف ِف َ َِشvvv ا ِ َ ْدل ع ْ ن ِ ْ ٌف م ي ِ َ َض,َ ُ ع ة َ ن ِ ّ ي َ ْلب َ َك
ِ ََََِّّلْ ص ْ َْي إ ِم ِ ل ْ ُس َْ َْي ْالم ب ٌ ز ِ ْئ ا َ ُ ج ْلح ُ ْالصv ُ طم َ ي ْ ن َ م َّ ر َ ْ ح ْ أَو ا ً ْم ا َ ر َ َّل ح َ ْ أَح ا ً ْلح ْ
ًَْ
ب و َ ت ْ ْطَي أَع ُ و َ َّن ي َ ْن ب ِ إ َ ف ِ و ْ لَي ِ ِ ُ َ و َ َ ح م ْ َى َّْع ِ ا ْ ن َ م ْن أَ ِ إ َ و ِ ّو ِ ق, ًَْلv و َ ْ َكر أَن َ َْل, َ
ْ اْ ِّ َ ح َك ِ َذل ُ ه َ ز َ ْج ع َ لvvْضر ا َ ف ً ة َ ن ّ ِ ي َ ب ْ ا أَو ً ب ِ ْئ َغا ق ِ ِ إ ْ ِهى َ ت ْ ن َ ا ي ً د َ َم ا ُ ْب لَو
يvvِهالق ْ َي ل َ َت ع َْل ل ْ َح ت ْ ِس ْ َت إ َ َض ْ َ أَج َ ْ ِذر و ُ ْلع ِ ل ُ َغ ل ْ أَب َ و ُ َك ى ِ َّن َذل ِ إ َ ف َ َّة ِضي
و ا َ م َ ْلع ِ ل ْ ى,ي َ ْءvَ َ َْْلvَ َْْ ق ٌ ْء َ َضا َك ق َّن َ ع َ ن
Sedangkan risâlah Qadlâ’ ‘Umar yang disampaikan kepada Abû „Ubaydah bin
al-Jarrah adalah sebagai berikut:11 ْ َ ْ إ ً ر ْ ي َ خ ِ و ْ ي ِ ف،س ي ْ ٍل ا َ ِخص َ ْ َ ْخس م َ ْلز ِ ا
َ َ ا َك أَ َل ْ َم ل ْ ِن اvv ف ُ د ْ ع َ ْ ب َّم، َ ْس َف ن َ ْك و ِ آل ْ َل ِ ْء َ َضا ْالق ْ ْ َك ِف لَي ِ ْ ُت إ ب َ ِ ّن َكت إ ِ ي
ِ أل َ و ِل ْ ُو د ُ ِت ْالع ْ ا َ ن
َ ي ْاvَ َْْ َ ضل ح ْ ُذ ِبَف ُ ْخ َ َت َ ُ َك و ن ْ ي ِ ْ ِْن ا ِ َ َ ا ّ ِظ: ْصم ا ْْل َ َ َضر ْ ح َذا ِ َك
ت َي َ و ُ ُو ْن ا َ س ِ َطvَ َْْ َ ِ ت ُ و ُ َْلب َئ ق، غ َ َ ْد ا ْى ا َ َعvvv ًِْبلب َي ل َ َع ف ُ نَّو ِ إ َ ف َ ْب ِري َ ْلvً ِّ ي َ ْ َك
َ ََِّنَ إ َ و ِ و ِ ل ْ أَى ْ َل ِ َف ا َ رvََّ ِ ُُث ِ ة َ ع ْ ِط ا ْ ْالق َل َ ْ طَا ا َذا، َ ََس ب ْ ن َ ي َ ََّت ْ َف ح ي ِ الْ َّضع ْ ِن ْأ ِ ل
ْ آ ِس ب ِ و ِ ب ْ َق ف ْ ر َ ي، َ ْص ان َ و ُ و َ ت َ ْج ا َ َك ح َ َر ت ُ و ُ ْس ب َ ح َك ْ ِظ َْل ْ ِف ْ م ُ َه ن ْ ي
َ ق ْ َك ا َل َّْيْ َ ب َ ت َ ي ْ ْ َل ا َ ْل ِح م ُ َى ْالص لvvا لvv و ُ ْء َ َض. َ ي ْ ا ُ َ ْلم َ لس ْ اvvَل ْ ن َ م ُ قو ُّ َ َ ح ع ْ ِض
ر َ وvvvvَ ْص ع ِر ْ اح َ َك و ِ ف ْ طApabila disimpulkan dari kedua risâlah yang
disampaikan „Umar itu terdapat beberapa prinsip dalam menyelenggarakan
peradilan yaitu: Keharusan menyelenggarakan peradilan karena didasarkan pada
ketentuan yang tegas dari al-Quran dan al-Sunnah; Hakim harus bisa memahami
perkara apabila perkara itu diajukan kepadanya; Hakim harus mempersamakan
para pihak di hadapannya; Pembuktian dibebankan kepada penggugat dan
sumpah dibebankan kepada tergugat yang menolak gugatan; Hakim harus
memberi tempo untuk membuktikan pada pihak yang mengaku mempunyai hak
pada orang lain; Hakim boleh mengadakan perdamaian di antara para pihak
yang berperkara; Orang-orang Islam dianggap adil untuk menjadi saksi bagi
sesamanya, kecuali orang yang pernah dijatuhi hukuman had (qadzaf), orang
yang melakukan saksi palsu, orang yang diragukan kehambaannya, dan orang
yang diragukan keturunannya; Hakim boleh melakukan peninjauan kembali;
Hakim harus berijtihad dalam masalah yang tidak ada dasar hukumnya dari al-
Quran dan al-sunnah, diantaranya dengan menggunakan qiyas; Hakim tidak
boleh marah, sedih, kacau pikiran, menyakiti para pihak dan sebagainya dalam
memutuskan perkara; Hakim harus mendekati orang yang lemah supaya bisa
berbicara jelas dan ada keberanian dan Hakim harus memelihara hak orang
asing.
Daftar Pustaka