Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

SINUSITIS DAN POLIP HIDUNG

Disusun oleh:
Ryan Pratama Safitra
NIM. I4061202032

Pembimbing:
dr. Saiful Bahri Bangun, Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK STASE ILMU PENYAKIT THT-KL


PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
RSUD DR. SOEDARSO PONTIANAK
2021
LEMBAR PERSETUJUAN

Telah disetujui Referat dengan judul:


Sinusitis dan Polip Hidung

Disusun sebagai salah satu syarat Kepaniteraan Klinik

Ilmu Penyakit THT-KL RSUD Dr. Soedarso Pontianak

Pontianak, Oktober 2021

Pembimbing Diskusi Topik Penyusun

dr. Saiful Bahri Bangun, Sp. THT-KL Ryan Pratama Safitra


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas kasih
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Referat dengan judul “Sinusitis dan
Polip Hidung”. Referat ini dibuat sebagai salah satu syarat kelulusan kepaniteraan
klinik stase ilmu penyakit THT-KL RSUD dr. Soedarso Pontianak.
Penulisan ini tidak terlepas dari bantuan, dorongan, dukungan, bimbingan serta
dari semua pihak, oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya terutama kepada dr. Saiful Bahri Bangun, Sp. THT-KL selaku
pembimbing referat di SMF Ilmu Penyakit THT-KL RSUD dr. Soedarso Pontianak
yang telah dengan sabar memberikan bimbingan, kritik, serta saran yang membangun.
Tidak lupa rasa terima kasih juga kami ucapkan kepada para tenaga medis dan
karyawan yang telah membantu selama kami mengikuti kepaniteraan klinik di SMF
Ilmu Penyakit THT-KL RSUD RSUD dr. Soedarso Pontianak dan juga berbagai pihak
lain yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih banyak kekurangan, maka kritik
dan saran yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan demi penyempurnaan
selanjutnya. Akhirnya semoga penulisan ini bermanfaat bagi banyak pihak, khususnya
bagi penulis dan para pembaca pada umumnya.

Pontianak, Oktober 2021

Ryan Pratama Safitra


BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sinusitis adalah salah satu dari penyakit yang sering ditemukan dalam
praktek dokter sehari-hari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab
gangguan kesehatan tersering di seluruh dunia.1 Berdasarkan data epidemiologi
mengenai kasus sinusitis didapatkan fakta bahwa kejadian kasus sinusitis paling
banyak terjadi pada musim hujan atau musim dingin dan pada daerah dengan
kelembaban udara atau polusi udara yang tinggi. Sekitar 35 juta orang
didiagnosis menderita sinusitis di Amerika. Hampir 14% penderita mengalami
minimal satu kali episode sinusitis per tahunnya. Sinusitis merupakan penyakit
nomor lima tertinggi yang mendapatkan resep antibiotik.2
Pada tahun 2018 dalam hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
menunjukkan prevalensi infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) menurut
diagnosis tenaga kesehatan dan gejala di Indonesia adalah sebesar 9,3%.
Kemungkinan kejadian sinusitis belum dilaporkan secara baik atau belum
diklasifikasikan terpisah dari ISPA pada survei kesehatan nasional.3
Daerah sinus yang paling sering terkena ialah sinus etmoid dan maksila,
sedangkan sinus frontal lebih jarang dan sinus sphenoid lebih jarang lagi. Sinus
maksila disebut juga antrum Highmore, letaknya dekat akan gigi rahang atas,
maka infeksi gigi mudah menyebar ke sinus, disebut sinusitis dentogen. Sinusitis
dapat menjadi berbahaya karena menyebabkan komplikasi ke orbita dan
intrakranial, serta menyebabkan peningkatan serangan asma yang sulit diobati.1
Polip hidung adalah massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam
rongga hidung, berwarna putih ke abu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi
mukosa. Polip dapat timbul pada penderita laki-laki ataupun perempuan, dari
usia anak-anak sampai usia lanjut. Pada awalnya diduga predisposisi timbulnya
polip nasi adalah adanya rhinitis alergi atau penyakit atopi, tetapi makin banyak
penelitian yang mengemukakan berbagai teori dan para ahli sampai saat ini
menyatakan bahwa etiologi polip nasi masih belum diketahui secara pasti.1
Dari beberapa penelitian, polip jarang terjadi pada usia di bawah 20 tahun
dan terjadi lebih sering pada pria daripada pada wanita. 3 Karakteristik klinis dari
polip hidung adalah obstruksi hidung yang bersifat progresif dan lambat, disertai
dengan berkurangnya kemampuan penghidung. Pada pemeriksaan fisik, polip
sering kali berwarna pucat atau kuning keabuan dan tidak nyeri, sedangkan
turbinat akan berwarna kemerahan. Polip sering timbul pada individu yang
memiliki riwayat asthma, sinusitis kronis, rhinitis alergi, dan kistik fibrosis.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Hidung

Gambar 1. Kerangka hidung5


Batang hidung (dorsum nasi) terdiri atas:5
1) Bagian yang keras (kranial): os nasalis kanan dan kiri, processus frontalis os
maksila
2) Bagian yang lunak (kaudal): kartilago lateralis dan kartilago alaris

Gambar 2. Lateral wall of nasal cavity, left side5


Gambar 3. Nasal cavity, cavitas nasi, and jalur masuk sinus paranasal, left side5

Diantara konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Terdapat 3 meatus yaitu:1
a) Meatus inferior  terdapat muara ductus nasolakrimalis
b) Meatus medius  terdapat muara sinus frontal, sinus maksilaris dan sinus
ethmoid anterior
c) Meatus superior  terdapat muara sinus ethmoid posterior dan sinus
sphenoid
Septum Nasi

Gambar 4. Nasal Septum5


Septum nasi menopang dorsum nasi dan membagi 2 cavum nasi. Septum
nasi terdiri dari 2 bagian.5,6
a) Bagian posterior terdiri atas tulang: lamina perpendikularis os ethmoidalis,
vomer
b) Bagian anterior terdiri dari tulang rawan: kartilago quadrangularis
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan
periosteum pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi oleh mukosa
hidung.
Kompleks Osteomeatal (KOM)

Gambar 5. Kompleks Osteomeatal7


Kompleks osteomeatal (KOM) merupakan saluran umum yang menghubungkan
sinus frontal, sel udara ethmoid anterior, dan sinus maksilaris ke meatus medius,
memungkinkan aliran udara dan drainase mukosiliar.7
KOM terdiri dari lima struktur sebagai berikut:7
1) Ostium sinus maksilaris: saluran drainase sinus maksilaris
2) Infundibulum: saluran umum yang mengalirkan ostium sinus maksilaris dan sel
udara ethmoid anterior ke hiatus semilunaris
3) Ethmoid bulla: sebuah sel udara yang menonjol di atas hiatus semilunaris
4) Processus uncinatum: processus yang berbentuk seperti kait (hook-like
processus) yang muncul dari aspek posteromedial ductus nasolakrimalis dan
membentuk batas anterior dari hiatus semilunaris.
5) Hiatus semilunaris: saluran drainase akhir; daerah yang berada di antara bulla
ethmoid superior dan free-edge dari processus uncinatum
KOM merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drainase
dari sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus maksilaris, ethmoid anterior dan
frontal. Jika terjadi obstruksi pada celah sempit ini maka akan terjadi perubahan
patologis yang signifikan pada sinus yang terkait.6
Inervasi Hidung

Gambar 6. Inervasi dari nasal cavity5


Yang terlihat langsung adalah saraf kranial pertama untuk penghiduan, divisi
oftalmikus dan maksilaris dari saraf trigeminus untuk impuls aferen sensorik
lainnya, nervus facialis untuk gerakan otot-otot pernafasan pada hidung luar, dan
sistem saraf otonom. Yang terakhir ini terutama melalui ganglion sphenopalatina
untuk mengontrol diameter vena dan arteri hidung, dan juga produksi mukus,
dengan demikian dapat mengubah pengaturan hantaran, suhu dan kelembaban aliran
udara.8
Vaskularisasi Rongga Hidung

Gambar 7. Arteries of the nasal cavity5


Pada bagian anterior septum, terdapat anastomosis dari a. sphenopalatina, a.
palatina mayor, a. labialis superior, dan a. ethmoidalis anterior yang membentuk
pleksus kiesselbach. Pleksus ini terletak superfisial sehingga menjadi sumber
perdarahan yang tersering pada epistaksis anterior.6
Pada bagian posterior, terdapat pleksus Woodruff yang dibentuk oleh
anastomosis dari a. sphenopalatina, a.nasalis posterior, dan a. faringeal
ascendens.6

2.2. Sinus Paranasal


Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat
pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus
frontal, sinus ethmoid dan sinus sphenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal
merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga
di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga
hidung.1
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga
hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus
sphenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus ethmoid telah ada saat bayi
lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus ethmoid anterior pada anak
yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sphenoid dimulai pada
usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-
sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun.1

Gambar 8. Sinus Paranasal9

Sinus Maksila

Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus
maksila bervolume 6-8ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan
akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15ml saat dewasa.1
Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan
fasial os maksila yang disebut fossa kanina, dinding posteriornya adalah
permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya adalah dinding lateral
rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya
ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah
superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui
infundibulum ethmoid.1

Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah:1
1) Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas,
yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga
gigi taring (C) dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat
menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas
menyebabkan sinusitis
2) Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita
3) Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga
drainase hanya tergantung dari gerak silia dan harus melalui
infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus
ethmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada
daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya
menyebabkan sinusitis.

Sinus Frontal

Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke


empat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum
ethmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun
dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun.1
Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar
daripada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang
lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih
5% sinus frontalnya tidak berkembang.1
Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm tingginya, lebarnya 2.4 cm dan
dalamnya 2 cm. sinus frontal biasanya bersekat-sektat dan tepi sinus berlekuk-
lekuk. Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus
pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan
oleh tulang yang relative tipis dari orbita dan fossa cerebri anterior, sehingga
infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini.1

Sinus Ethmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus ethmoid yang paling bervariasi dan
dianggap paling penting, karena dapat merupakan focus infeksi bagi sinus-sinus
lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus ethmoid seperti piramid dengan
dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5cm, tinggi
2,4 cm, dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior.1
Sinus ethmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang
tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os ethmoid, yang terletak di
antara konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi.
Berdasarkan letaknya, sinus ethmoid dibagi menjadi sinus ethmoid anterior yang
bermuara di meatus medius dan sinus ethmoid posterior yang bermuara di
meatus superior. Sel-sel sinus ethmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak,
letaknya di depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media
dengan dinding lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus ethmoid
posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di
posterior dan lamina basalis.1
Di bagian terdepan sinus ethmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut
resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel ethmoid yang
terbesar disebut bula ethmoid. Di daerah ethmoid anterior terdapat suatu
penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus
maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan
sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan
sinusitis maksila.1
Atap sinus ethmoid yang disebut fovea ethmoidalis berbatasan dengan
lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis
dan membatas sinus ethmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus
ethmoid posterior berbatasan dengan sinus sphenoid.1

Sinus Sphenoid

Sinus sphenoid terletak dalam os sphenoid di belakang sinus ethmoid


posterior. Sinus sphenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum
intersphenoid. Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3cm dan lebarnya
1,7 cm. Volumenya bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus berkembang,
pembuluh darah dan nervus di bagian lateral os sphenoid akan menjadi sangat
berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding
sinus sphenoid.1
Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fossa cerebri media dan
kelenjar hipofisa, sebelah inferior atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan
dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna (sering tampak sebagai
indentasi) dan di sebelah posterior berbatasan dengan fossa cerebri posterior di
daerah pons.1

2.3. Pemeriksaan Sinus Paranasal


Untuk mengetahui adanya kelainan pada sinus paranasal dilakukan inspeksi
dari luar, palpasi, rinoskopi anterior, rinoskopi posterior, transiluminasi,
pemeriksaan radiologik dan sinoskopi.1
a) Inspeksi
Yang diperhatikan dari inspeksi ialah adanya pembengkakan pada wajah.
Pembengkakan di pipi sampai kelopak mata bawah yang berwarna kemerah-
merahan mungkin menunjukkan sinusitis maksila akut. Pembengkakan di
kelopak mata atas mungkin menunjukkan sinusitis frontal akut. Sinusitis
ethmoid akut jarang menyebabkan pembengkakan di luar, kecuali bila telah
terbentuk abses.1
b) Palpasi
Nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk di gigi menunjukkan adanya sinusitis
maksila. Pada sinus frontal terdapat nyeri tekan di dasar sinus frontal, yaitu
pada bagian medial atap orbita. Sinusitis ethmoid menyebabkan nyeri tekan
di daerah kantus medius.1 Sinusitis sphenoidalis akut terisolasi amat jarang,
namun dapat dicirikan oleh nyeri kepala yang mengarah ke vertex cranium.
Penyakit ini lebih lazim menjadi bagian dari pansinusitis, dan oleh karena
itu gejalanya menjadi satu dengan gejala infeksi sinus lainnya.8
c) Transiluminasi
Transiluminasi mempunyai manfaat yang terbatas, hanya dapat dipakai
untuk memeriksa sinus maksila dan frontal, bila pemeriksaan radiologis
tidak tersedia. Bila ada pemeriksaan transiluminasi tampak gelap di daerah
infraorbital, mungkin berarti antrum terisi oleh pus atau mukosa antrum
menebal atau terdapat neoplasma di dalam antrum. Bila terdapat kista yang
besar di dalam sinus maksila, akan tampak terang pada pemeriksaan
transiluminasi, sedangkan pada foto rontgen tampak adanya perselubungan
berbatas tegas di dalam sinus maksila. Transiluminasi pada sinus frontal
hasilnya lebih meragukan. Besar dan bentuk kedua sinus ini seringkali tidak
sama. Gambaran yang terang berarti sinus berkembang dengan baik dan
normal, sedangkan gambaran yang gelap mungkin berarti sinusitis atau
hanya
menunjukkan sinus yang tidak berkembang.1

2.4. Sinusitis
2.4.1. Definisi
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya
disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sering disebut rhinosinusitis. Penyebab
utamanya ialah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang
selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri. Bila mengenai beberapa sinus
disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut
pansinusitis.1

2.4.2. Etiologi
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,
bermacam rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita hamil,
polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka,
sumbatan kompleks ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan
imunologik, diskinesia silia seperti pada sindroma Kartagener, dan di luar negeri
adalah penyakit fibrosis kistik.1
Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis
sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan
menyembuhkan rinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan
foto polos leher posisi lateral.1
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara
dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-lama
menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia.1

2.4.3. Epidemiologi
Sinusitis merupakan salah satu dari penyakit yang sering dijumpai di dunia.
Di Amerika Serikat didapatkan data bahwa dalam 1 tahunnya dapat ditemukan
73 juta kasus yang berkaitan dengan sinusitis. Kasus sinusitis paling banyak
ditemukan pada kelompok usia anak-anak yang berusia dibawah 15 tahun dan
pada kelompok usia 25 hingga 45 tahun. Berdasarkan jenis kelamin, kasus
sinusitis paling sering ditemukan pada wanita ketimbang pria.10
Belum ada data epidemiologi khusus mengenai sinusitis secara nasional
di Indonesia. Namun, data terbaru berdasarkan Riskesdas 2018 menunjukkan
prevalensi infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) menurut diagnosis tenaga
kesehatan dan gejala di Indonesia adalah sebesar 9,3%. Kemungkinan kejadian
sinusitis belum dilaporkan secara baik atau belum diklasifikasikan terpisah dari
ISPA pada survei kesehatan nasional.3
Prevalensi sinusitis di Indonesia cukup tinggi. Hasil penelitian dari sub
bagian Rinologi Departemen THT FKUI-RSCM, dari 496 pasien rawat jalan
ditemukan 50% penderita sinusitis kronik. Angka tersebut lebih besar
dibandingkan data di negara-negara lain.11
Dari hasil laporan bagian THT RSUD A. Dadi Tjokrodipo Bandar
Lampung, dilaporkan tindakan BSEF pada periode Januari-November 2017
adalah 21 kasus atas indikasi rinosinusitis, 33 kasus pada polip hidung disertai
rinosinusitis dan 30 kasus BSEF disertai dengan tindakan septum koreksi atas
indikasi rinosinusitis dan septum deviasi.12

2.4.4. Klasifikasi
Rhinosinusitis dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok
berdasarkan perjalanan penyakit, lokasi dan penyebabnya. Berdasarkan
perjalanan penyakit, rhinosinusitis dibagi menjadi:13
a) Rinosinusitis akut: Onset mendadak, berlangsung kurang dari 4 minggu
dengan resolusi lengkap.
b) Rinosinusitis subakut: Sebuah rangkaian dari rinosinusitis akut tetapi
kurang dari 12 minggu.
c) Rinosinusitis akut rekuren: Empat atau lebih episode akut, masing-masing
berlangsung setidaknya 7 hari, dalam periode 1 tahun.
d) Rinosinusitis kronis: Tanda-tanda gejala bertahan 12 minggu atau lebih.

Berdasarkan lokasinya dibagi menjadi:1,14


a) Sinusitis maksilaris: menyebabkan nyeri daerah maksila seperti sakit gigi
dan kepala
b) Sinusitis frontalis: menyebabkan nyeri pada daerah belakang dan atas mata
c) Sinusitis ethmoidalis: menyebabkan nyeri pada daerah belakang mata,
maupun sakit kepala
d) Sinusitis sphenoidalis: menyebabkan nyeri pada daerah belakang mata,
tetapi lebih sering pada vertex kepala

Berdasarkan penyebabnya:14
a) Rhinogenik (penyebab kelainan atau masalah di hidung), Segala sesuatu
yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis.
Contohnya rinitis akut (influenza), polip, dan septum deviasi. Tipe ini dapat
terjadi juga karena perluasan infeksi yang berasal dari hidung. Sinusitis
rhinogen lebih sering terjadi bila dibandingkan dengan sinusitis dentogen
b) Dentogenik/Odontogenik (penyebabnya kelainan gigi), yang sering
menyebabkan sinusitis infeksi adalah pada gigi geraham atas (pre molar dan
molar). Bakteri penyebabnya adalah Streptococcus pneumoniae,
Hemophilus influenza, Steptococcus viridans, Staphylococcus aureus,
Branchamella catarhatis
2.4.5. Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
lancarnya mucociliary clearance di dalam KOM. Mukus juga mengandung
substansi antimicrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme
pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan.1
Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi
edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat
bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam
rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous.
Kondisi ini bisa dianggap sebagai rhinosinusitis non-bacterial dan biasanya
sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan.1
Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan
media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi dari bakteri sehingga sekret
menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai rhinosinusitis akut bakterial dan
memerlukan terapi antibiotik.1
Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi),
inflamasi dapat berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang.
Mukosa semakin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus
berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi,
polypoid atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin
diperlukan tindakan operasi.1

2.4.6. Manifestasi Klinis


Keluhan utama rhinosinusitis akut adalah hidung tersumbat disertai nyeri
atau rasa tertekan pada wajah dan ingus purulen, yang seringkali turun ke
tenggorok (post nasal drip), dan dapat disertai gejala sistemik berupa demam
dan lesu.1
Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan
ciri khas sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa di tempat lain
(referred pain). Nyeri pipi menandakan sinus maksila, nyeri di antara atau di
belakang ke dua bola mata menandakan sinusitis ethmoid, nyeri di dahi atau
seluruh kepala menandakan sinus frontal. Pada sinusitis sphenoid, nyeri
dirasakan di vertex, oksipital, belakang bola mata dan daerah mastoid. Pada
sinusitis maksila kadang-kadang ada nyeri alih ke gigi dan telinga.1
Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia atau anosmia, halitosis, post nasal
drip yang menyebabkan batuk dan sesak pada anak.1
Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang-
kadang hanya 1 atau 2 gejala dari gejala-gejala di bawah ini yaitu sakit kepala
kronik, post nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok, gangguan telinga
akibat sumbatan kronik muara tuba Eustachius, gangguan ke paru seperti
bronchitis (sinobronkitis), bronkiektasis dan yang penting adalah serangan asma
yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak, mukopus yang tertelan dapat
menyebabkan gastroenteritis.1

2.4.7. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.1
Pada anamnesis, gejala subyektif terdiri dari gejala sistemik dan gejala
lokal. Gejala sistemik ialah demam dan rasa lesu. Gejala lokal pada hidung
terdapat ingus kental yang kadang-kadang berbau dan dirasakan mengalir ke
nasofaring. Dirasakan hidung tersumbat, rasa nyeri didaerah infraorbita dan
kadang-kadang menyebar ke alveolus, sehingga terasa nyeri di gigi. Nyeri alih
dirasakan di dahi dan di depan telinga. Penciuman terganggu dan ada perasaan
penuh dipipi waktu membungkuk ke depan. Terdapat perasaan sakit kepala
waktu bangun tidur dan dapat menghilang hanya bila peningkatan sumbatan
hidung sewaktu berbaring sudah ditiadakan.15
Gejala obyektif, pada pemeriksaan sinusitis maksila akut akan tampak
pembengkakan di pipi dan kelopak mata bawah. Pada rinoskopi anterior tampak
mukosa konka hiperemis dan edema. Pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan
sinusitis etmoid anterior tampak mukopus atau nanah di meatus medius. Pada
rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip).15
Sinusitis dapat dicurigai bila ditemukan 2 kriteria mayor +1 minor atau 1
mayor + 2 minor.15
Tabel 2.1 Karakteristik Mayor dan Minor Sinusitis15

Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan


naso-endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini.
Tanda khas adalah adanya pus di meatus medius (pada sinusitis maksila dan
ethmoid anterior dan frontal) atau di meatus superior (pada sinusitis ethmoid
posterior dan sphenoid). Pada rhinosinutis akut, mukosa edema dan hiperemis.
Pada anak sering ada pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus medius.1
Pemeriksan penunjang yang penting adalah foto polos atau CT Scan. Foto
polos posisi Waters, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi
sinus-sinus besar seperti maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat
perselubungan, batas udara-cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa.1
CT Scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu
menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus
secara keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal hanya dikerjakan
sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan
pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan operator saat melakukan operasi
sinus.1
Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit akan menjadi suram dan
gelap. Pemeriksaan ini sudah jarang digunakan karena sangat terbatas
kegunaannya. Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan
mengambil sekret dari meatus medius atau superior, untuk mendapat antibiotik
yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil sekret yang keluar dari pungsi
sinus maksila.1
Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus
maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskop bisa dilihat kondisi sinus
maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi.1

2.4.8. Tata Laksana


Tujuan terapi sinusitis adalah mempercepat penyembuhan, mencegah
komplikasi, dan mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatannya
adalah membuka sumbatan di KOM sehingga drainase dan ventilasi sinus-sinus
pulih secara alami.1
Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut
bakterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta
membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan
penisilin seperti amoksisilin. Jika diperkirakan kuman telah resisten atau
memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan amoksisilin-klavulanat atau
jenis sefalosporin generasi ke-2. Pada sinusitis, antibiotik diberikan selama 10-
14 hari mesikpun gejala klinik sudah hilang. Pada sinusitis kronik diberikan
antibiotik yang sesuai untuk bakteri gram negatif dan anaerob.1
Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan jika
diperlukan, seperti analgetik, mukolitik, steroid oral/topical, pencucian rongga
hidung dengan NaCl atau pemanasan (diatermi). Antihistamin tidak rutin
diberikan, karena sifat antikolinergiknya dapat menyebabkan sekret jadi lebih
kental. Bila ada alergi berat sebaiknya diberikan antihistamin generasi ke-2.
Irigasi sinus maksila atau Proetz displacement therapy juga merupakan terapi
tambahan yang dapat bermanfaat. Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika
pasien menderita kelainan alergi yang berat.1
Tindakan Operasi
Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi
terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini telah
menggantikan hampir semua jenis bedah sinus terdahulu karena memberikan
hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan dan tidak radikal.1

Indikasinya berupa1:
a) Sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat
b) Sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang ireversibel
c) Polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur

2.4.9. Komplikasi
Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis
kronik dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial.1
Kelainan orbita, disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata
(orbita). Yang paling sering ialah sinusitis ethmoid, kemudian sinus frontalis dan
maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum.
Kelainan yang dapat timbul ialah edema palpebra, selulitis orbita, abses
subperiosteal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi thrombosis sinus
kavernosus. 1
Kelainan intrakranial, dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau
subdural, abses otak, dan thrombosis sinus kavernosus.1
Komplikasi juga dapat terjadi pada sinusitis kronis, berupa1:
Osteomielitis dan abses subperiosteal. Paling sering timbul akibat sinusitis
frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomyelitis sinus
maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi.
Kelainan paru, seperti bronchitis kronik dan brokiektasis. Adanya kelainan
sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkhitis. Selain
itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial yagn sukar dihilangkan
sebelum sinusitisnya disembuhkan.1

2.4.10. Prognosis
Prognosis untuk penderita sinusitis akut yaitu sekitar 40 % akan sembuh
secara spontan tanpa pemberian antibiotik. Terkadang juga penderita bisa
mengalami relaps setelah pengobatan namun jumlahnya sedikit yaitu kurang dari
5 %. Komplikasi dari penyakit ini bisa terjadi akibat tidak ada pengobatan yang
adekuat yang nantinya akan dapat menyebabkan sinusitis kronik, meningitis,
brain abscess, atau komplikasi extra sinus lainnya. Sedangkan prognosis untuk
sinusitis kronik yaitu jika dilakukan pengobatan yang dini maka akan
mendapatkan hasil yang baik.16

2.5. Polip Hidung


2.5.1. Definisi
Polip hidung adalah massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam
rongga hidung, berwarna putih ke abu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi
mukosa. Polip dapat timbul pada penderita laki-laki ataupun perempuan, dari
usia anak-anak sampai usia lanjut.1

2.5.2. Epidemiologi
Prevalensi polip nasi dilaporkan 1-2% pada orang dewasa di Eropa dan
4,2% di Finlandia. Di Amerika Serikat prevalensi polip nasi diperkirakan antara
1-4%. Pada anak-anak sangat jarang ditemukan dan dilaporkan hanya sekitar
0,1%. Penelitian Larsen dan Tos di Denmark memperkirakan insidensi polip
nasi sebesar 0,627 per 1000 orang per tahun. Di Indonesia studi epidemiologi
menunjukkan bahwa perbandingan pria dan wanita 2-3:1 dengan prevalensi
0,2%-4,3%.17
Di Amerika Serikat, CRSwNP biasanya menyerang pasien berusia antara 40
hingga 60 tahun. Laki-laki lebih cenderung memiliki CRSwNP, dengan satu
penelitian menunjukkan prevalensi 38% pada wanita dan 62% prevalensi pada
pria.18 Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Iran terhadap 297 pasien polip
nasi terdiri atas 118 pasien berjenis kelamin perempuan dan 179 pasien berjenis
kelamin laki-laki. Selain itu, penelitian yang di lakukan di Prancis melaporkan
bahwa seiring bertambahnya usia, kejadian polip nasi akan meningkat terutama
pada pasien yang memiliki riwayat asma.19
2.5.3. Etiologi
Polip hidung diklasifikasikan menjadi tiga kelompok: lokal, difus, dan
sistemik. Polip hidung lokal biasanya reaktif terhadap proses inflamasi atau
proses neoplastik. Polip hidung difus sering terlihat pada pasien dengan chronic
rhinosinusitis with nasal polyposis (CRSwNP). CRSwNP memiliki beberapa
etiologi. Di belahan bumi barat, polip hidung sebagian besar merupakan hasil
dari eosinofilia yang dikenadlikan oleh sel T-helper 2 (Th2), peradangan
imunoglobulin-E (IgE), dengan peningkatan interleukin-5 (IL-5), sering
dikaitkan dengan lingkungan dan/atau pemicu alergi musiman. Pasien dengan
cystic fibrosis cenderung memiliki peradangan yang dipicu oleh neutrofil di
dalam polip mereka, dan seringkali dapat memiliki polip hidung yang parah
tanpa pemicu alergi yang jelas, meskipun pemeriksaan klinisnya bisa sangat
mirip.20
Cystic fibrosis harus dibedakan pada pasien muda (pra-remaja, remaja,dan
dewasa muda) dengan polip hidung refrakter, terutama pada pasien keturunan
Eropa. Diagnosis yang cepat sangat penting dilakukan, dikarenakan terdapat
implikasi sistemik dan genetik/diturunkan dari keluarga dengan diagnosis cystic
fibrosis. Teori tambahan yang diusulkan termasuk proses inflamasi yang dipicu
oleh jamur, serta respons inflamasi masif yang dipicu oleh eksotoksin dari
infeksi Staphylococcus aureus. Poliposis hidung sistemik mengacu pada pasien
yang menderita penyakit sistemik dengan manifestasi yang terjadi pada hidung.
Eosinophilic granulomatosis with polyangiitis (EGPA), sebelumnya dikenal
sebagai sindrom Churg-Strauss, dan cystic fibrosis (CF) termasuk dalam
penyakit
sistemik ini.20

2.5.4. Patogenesis

Pembentukan polip sering diasosiasikan dengan inflamasi kronik, disfungsi


saraf otonom serta predisposisi genetik. Menurut teori Bemstein, terjadi
perubahan mukosa hidung akibat peradangan atau aliran udara yang
berturbulensi, terutama di daerah sempit di kompleks ostiomeatal. Terjadi
prolaps submukosa yang diikuti oleh reepitelisasi dan pembentukan kelenjar
baru. Juga terjadi peningkatan penyerapan natium oleh permukaan sel epitel
yang berakibat retensi air sehingga terbentuk polip.1

Teori lain mengatakan karena ketidakseimbangan saraf vasomotor terjadi


peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi vaskular yang
mengakibatkan dilepasnya sitokinsitokin dari sel mast, yang akan menyebabkan
edema dan lama-kelamaan menjadi polip.1

Bila proses terus berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar menjadi
polip dan kemudian akan turun ke rongga hidung dengan membentuk tangkai.1

2.5.5. Diagnosis

Anamnesis
Keluhan utama penderita polip nasi ialah hidung rasa tersumbat dari yang
ringan sampai berat, rinore mulai yang jernih sampai purulen, hiposmia atau
anosmia. Mungkin disertai bersin-bersin, rasa nyeri pada hidung disertai sakit
kepala di daerah frontal. Bila disertai infeksi sekunder mungkin didapati posf
nasa/ drip dan rinore purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul ialah bemafas
melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan penurunan kualitas
hidup.1
Dapat menyebabkan gejala pada saluran napas bawah, berupa batuk kronik
dan mengi, terutama pada penderita polip nasidengan asma. Selain itu harus
ditanyakan riwayat rintis alergi, asma, intoleransi terhadap aspirin dan alergi
obat lainnya serta alergi makanan.1

Pemeriksaan fisik
Polip nasi yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga
hidung tampak mekar karena pelebaran'batang hidung. Pada pemeriksaan
rinoskopi anterior terlihat sebagai rnassa yang berwarna pucat yang berasal dari
meatus medius dan mudah digerakkan.1
Tabel 2.2 Pembagian stadium menurut Mackay dan Lund

Stadium Manifestasi
I Polip masih terbatas di
meatus
medius
II Polip sudah keluar dari
meatus medius, tampak
di rongga hidung tapi
belum memenuhi rongga hidung
III Polip yang masif

Naso-endoskopi

Adanya fasilitas endoskop (teleskop) akan sangat membantu diagnosis


kasus polip yang baru. Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terihat pada
pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan
nasoendoskopi. Pada kasus polip koanal juga sering dapat dilihat tangkai polip
yang berasal dari ostium asesorius sinus maksila.1

Pemeriksaan Radiologi

Foto polos sinus paranasal (posisi Waters, AP, Caldwell dan lateral) dapat
mempeilihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udaracairan di dalam sinus,
tetapi kurang bermafaat pada kasus polip. Pemeriksaan tomografi komputer (TK,
CT scan) sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan
sinus paranasal apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau
sumbatan pada kompleks ostiomeatal. TK terutama diindikasikan pada kasus
polip yang gagal diobati dengan terapi medikamentosa, jika ada komplikasi dari
sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi.1
Gambar 9. Polip Hidung1

Gambar 10. Perkembangan Polip Hidung1

2.5.6. Tata Laksana


Tujuan utama pengobatan pada kasus polip nasi ialah menghilangkan
keluhan- keluhan, mencegah komplikasi dan mencegah rekurensi polip.
Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga
polipektomi medikamentosa. Dapat diberikan topikal atau sistemik. Polip tipe
eosinofilik memberikan respons yang lebih baik terhadap pengobatan
kortikosteroid intranasal dibandingkan polip tipe neutrofilik. Kasus polip yang
tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau polip yang sangat masif
dipertimbangkan untuk terapi bedah. Dapat dilakukan ekstraksi polip
(polipektomi) menggunakan senar polip atau cunani dengan analgesi lokal,
etmoidektomi intranasal atau etmoidektomi ekstranasal untuk polip etmoid,
operasi Caldwell-Luc untuk sinus maksila. Yang terbaik ialah bila tersedia
fasilitas endoskop maka dapat dilakukan tindakan BSEF (Bedah Sinus
Endoskopi Fungsional).1

Gambar 11. Skema Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik Dengan Polip Hidung


Pada Dewasa21

2.5.7. Komplikasi
Polip hidung biasanya merupakan manifestasi dari proses penyakit yang
mendasarinya. Komplikasi yang terjadi biasanya ditentukan oleh masalah yang
mendasarinya. Pasien dengan polip hidung memiliki gejala hidung obstruktif
dengan gangguan tidur dan pada tingkat yang lebih rendah mengalami kelelahan
kronis. Polip hidung dapat menyumbat jalur drainase sinus paranasal yang dapat
menyebabkan pembentukan mukokel.18
Mukokel dapat menyebabkan kompresi struktur orbital, eksoftalmos,
diplopia, dan menyebabkan tampilan fisik yang tidak seimbang. Beberapa pasien
mungkin memiliki penyakit yang berat sehingga kualitas hidup mereka sangat
terganggu. Polip hidung dapat menyebabkan anosmia ireversibel. Polip hidung
juga berkontribusi terhadap terjadinya obstructive sleep apnea (OSA).22

2.5.8. Prognosis
Prognosis polip hidung dipengaruhi oleh endotipe proses penyakit.
Kekambuhan tampak lebih tinggi pada pasien dengan rinosinusitis jamur alergi
dibandingkan pasien dengan CRSwNP yang disebabkan oleh asma atau
sensitivitas aspirin. Jika dibandingkan dengan pasien CRSwNP, pasien dengan
sensitivitas aspirin cenderung memiliki penyakit yang lebih berat dan tingkat
kekambuhan yang lebih tinggi.23
Faktor prognostik potensial lainnya yang berkaitan dengan prognosis
terburuk adalah usia yang lebih muda saat timbulnya penyakit, skor Lund
Mackay yang lebih tinggi, angka osteitis global yang tinggi, dan peningkatan
eosinofilia/neutrofilia jaringan.24

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Sinusitis merupakan penyakit yang sering dijumpai dalam praktek dokter,
penyakit ini terjadi karena adanya proses inflamasi dari mukosa sinus paranasal.
Faktor dan penyebab terjadinya sinusitis yaitu ISPA akibat virus, bermacam
rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan
anatomi, infeksi tonsil, gigi, imunologik, diskinesia silia, dan fibrosis kistik.
Gejala yang sering muncul yaitu hidung tersumbat disertai nyeri atau rasa
tertekan pada wajah dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok (post
nasal drip), dan dapat disertai gejala sistemik berupa demam dan lesu. Prinsip
pengobatannya yaitu membuka sumbatan di KOM sehingga drainase dan
ventilasi sinus-sinus pulih secara alami.
Polip hidung merupakan massa lunak yang mengandung banyak cairan di
dalam rongga hidung, berwarna putih ke abu-abuan, yang terjadi akibat
inflamasi mukosa. Penyebab utama dari polip ini belum dapat diketahui secara
pasti namun keterlibatan adanya gangguan anatomi, faktor genetik, infeksi yang
disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, serta asma, rinitis alergi, inhalan non-
alergi dikaitkan dengan perkembangan dan perkembangan polip hidung.
Keluhan yang sering dirasakan pasien yaitu hidung tersumbat dari yang ringan
sampai berat, rinore mulai yang jernih sampai purulen, hiposmia atau anosmia.
Prinsip pengobatannya yaitu mengobati simptomatiknya dan dapat diberikan
kortikosteroid baik topikal maupun sistemik.

DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher Edisi 7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
2017.
2. Brook I, Bronze MS. Acute sinusitis. Medscape. 2018
3. Kemenkes RI. Laporan Nasional RISKESDAS 2018. Jakarta: Kemenkes RI.
2018.
4. Maharjan S. Nasal Polyposis: A Review. Glob J Otolaryngol. 2017;8(2):19–21.
5. Paulsen F, Waschke J. Sobotta: Atlas of Human Anatomy Head, Neck and
Neuroanatomy. 15th Edition. Munchen: Elsevier Urban & Fischer. 2015
6. Bansal M. Diseases of Ear, Nose and Throat. New Delhi: Jaypee Brothers
Medical Publishers. 2013
7. St-Amant M, Knipe H, et al. Osteomeatal complex. Radiopaedia. 2018.
8. Boies A. Buku ajar penyakit tht. Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2015
9. PDQ Adult Treatment Editorial Board. Paranasal sinus dan nasal cavity cancer
treatment (adult). PDQ Cancer Information Summaries. 2019
10. Battisti AS, Modi P, Pangia J. Sinusitis. [Updated 2021 Aug 11]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470383/
11. Arivalagan P, Rambe A. Gambaran rhinosinusitis kronis di RSUP Haji Adam
Malik pada tahun 2011. Medan: Jurnal FK USU. 2013
12. Nurmalasari, Yesi; Nuryanti, Dera. Faktor-Faktor Prognostik Kesembuhan
Pengobatan Medikamentosa Rinosinusitis Kronis di Poli THT RSUD A. Dadi
Tjokrodipo Bandar Lampung Tahun 2017. Jurnal Ilmu Kedokteran dan
Kesehatan, 2017, 4.3.
13. Battisti AS, Modi P, Pangia J. Sinusitis. StatPearls. 2020.
14. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hitung
tenggorok-kepala leher. Jakarta: FK UI. 2007
15. Ballenger JJ, Snow JB. Penyakit Telinga, Hidung,Tenggorokan, Kepala, dan
Leher Jilid I. Tangerang: Bina Rupa Aksara. 2009
16. Hoxworth. J.M, Glastonbury. C.M. Orbital and Intracranial Complications of
Acute Sinusitis. Neuroimag Clin N Am. 2010.
17. Taufiq, F. P. A. 2014. Polip Nasi Rekuren Bilateral Stadium 2 Pada Wanita
Dengan Riwayat Polipektomi Dan Rhinitis Alergi Persisten. Jurnal
Medula, 1(05), 1-6.
18. Stevens WW, Schleimer RP, Kern RC. Chronic Rhinosinusitis with Nasal
Polyps. J Allergy Clin Immunol Pract. 2016 Jul-Aug;4(4):565-72. 
19. Meymane Jahromi, A., & Shahabi Pour, A. (2012). The Epidemiological and
Clinical Aspects of Nasal Polyps that Require Surgery. Iranian journal of
otorhinolaryngology, 24(67), 75–78.
20. Ta NH. Will we ever cure nasal polyps? Ann R Coll Surg Engl. 2019
Jan;101(1):35-39.
21. Lund VJ, et al. Buku Saku EPOS. European Position Paper on Rhinosinusitis
and Nasal Polyps. 2007.
22. Migueis DP, Lacerda GCB, Lopes MC, Azevedo-Soster LMSF, Thuler LCS,
Lemes LNA, Araujo-Melo MH. Obstructive sleep apnea in patients with chronic
rhinosinusitis with nasal polyps: a cross-sectional study. Sleep Med. 2019
Dec;64:43-47.
23. Guo M, Alasousi F, Okpaleke C, Habib AR, Javer A. Prognosis of Chronic
Rhinosinusitis With Nasal Polyps Using Preoperative Eosinophil/Basophil
Levels and Treatment Compliance. Am J Rhinol Allergy. 2018 Sep;32(5):440-
446.
24. Kim JY, Han YE, Seo Y, Choe G, Kim MK, Huh G, Cho D, Yang SK, Kang
SH, Kim DW. Revisiting the Clinical Scoring System for the Prognosis of
Chronic Rhinosinusitis with Nasal Polyps. Yonsei Med J. 2019 Jun;60(6):578-
584.

Anda mungkin juga menyukai