Disusun oleh:
Ryan Pratama Safitra
NIM. I4061202032
Pembimbing:
dr. Saiful Bahri Bangun, Sp. THT-KL
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas kasih
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Referat dengan judul “Sinusitis dan
Polip Hidung”. Referat ini dibuat sebagai salah satu syarat kelulusan kepaniteraan
klinik stase ilmu penyakit THT-KL RSUD dr. Soedarso Pontianak.
Penulisan ini tidak terlepas dari bantuan, dorongan, dukungan, bimbingan serta
dari semua pihak, oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya terutama kepada dr. Saiful Bahri Bangun, Sp. THT-KL selaku
pembimbing referat di SMF Ilmu Penyakit THT-KL RSUD dr. Soedarso Pontianak
yang telah dengan sabar memberikan bimbingan, kritik, serta saran yang membangun.
Tidak lupa rasa terima kasih juga kami ucapkan kepada para tenaga medis dan
karyawan yang telah membantu selama kami mengikuti kepaniteraan klinik di SMF
Ilmu Penyakit THT-KL RSUD RSUD dr. Soedarso Pontianak dan juga berbagai pihak
lain yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih banyak kekurangan, maka kritik
dan saran yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan demi penyempurnaan
selanjutnya. Akhirnya semoga penulisan ini bermanfaat bagi banyak pihak, khususnya
bagi penulis dan para pembaca pada umumnya.
PENDAHULUAN
Diantara konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Terdapat 3 meatus yaitu:1
a) Meatus inferior terdapat muara ductus nasolakrimalis
b) Meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksilaris dan sinus
ethmoid anterior
c) Meatus superior terdapat muara sinus ethmoid posterior dan sinus
sphenoid
Septum Nasi
Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus
maksila bervolume 6-8ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan
akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15ml saat dewasa.1
Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan
fasial os maksila yang disebut fossa kanina, dinding posteriornya adalah
permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya adalah dinding lateral
rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya
ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah
superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui
infundibulum ethmoid.1
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah:1
1) Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas,
yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga
gigi taring (C) dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat
menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas
menyebabkan sinusitis
2) Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita
3) Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga
drainase hanya tergantung dari gerak silia dan harus melalui
infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus
ethmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada
daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya
menyebabkan sinusitis.
Sinus Frontal
Sinus Ethmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus ethmoid yang paling bervariasi dan
dianggap paling penting, karena dapat merupakan focus infeksi bagi sinus-sinus
lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus ethmoid seperti piramid dengan
dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5cm, tinggi
2,4 cm, dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior.1
Sinus ethmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang
tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os ethmoid, yang terletak di
antara konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi.
Berdasarkan letaknya, sinus ethmoid dibagi menjadi sinus ethmoid anterior yang
bermuara di meatus medius dan sinus ethmoid posterior yang bermuara di
meatus superior. Sel-sel sinus ethmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak,
letaknya di depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media
dengan dinding lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus ethmoid
posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di
posterior dan lamina basalis.1
Di bagian terdepan sinus ethmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut
resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel ethmoid yang
terbesar disebut bula ethmoid. Di daerah ethmoid anterior terdapat suatu
penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus
maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan
sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan
sinusitis maksila.1
Atap sinus ethmoid yang disebut fovea ethmoidalis berbatasan dengan
lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis
dan membatas sinus ethmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus
ethmoid posterior berbatasan dengan sinus sphenoid.1
Sinus Sphenoid
2.4. Sinusitis
2.4.1. Definisi
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya
disertai atau dipicu oleh rhinitis sehingga sering disebut rhinosinusitis. Penyebab
utamanya ialah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang
selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri. Bila mengenai beberapa sinus
disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut
pansinusitis.1
2.4.2. Etiologi
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,
bermacam rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita hamil,
polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka,
sumbatan kompleks ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan
imunologik, diskinesia silia seperti pada sindroma Kartagener, dan di luar negeri
adalah penyakit fibrosis kistik.1
Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis
sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan
menyembuhkan rinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan
foto polos leher posisi lateral.1
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara
dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-lama
menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia.1
2.4.3. Epidemiologi
Sinusitis merupakan salah satu dari penyakit yang sering dijumpai di dunia.
Di Amerika Serikat didapatkan data bahwa dalam 1 tahunnya dapat ditemukan
73 juta kasus yang berkaitan dengan sinusitis. Kasus sinusitis paling banyak
ditemukan pada kelompok usia anak-anak yang berusia dibawah 15 tahun dan
pada kelompok usia 25 hingga 45 tahun. Berdasarkan jenis kelamin, kasus
sinusitis paling sering ditemukan pada wanita ketimbang pria.10
Belum ada data epidemiologi khusus mengenai sinusitis secara nasional
di Indonesia. Namun, data terbaru berdasarkan Riskesdas 2018 menunjukkan
prevalensi infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) menurut diagnosis tenaga
kesehatan dan gejala di Indonesia adalah sebesar 9,3%. Kemungkinan kejadian
sinusitis belum dilaporkan secara baik atau belum diklasifikasikan terpisah dari
ISPA pada survei kesehatan nasional.3
Prevalensi sinusitis di Indonesia cukup tinggi. Hasil penelitian dari sub
bagian Rinologi Departemen THT FKUI-RSCM, dari 496 pasien rawat jalan
ditemukan 50% penderita sinusitis kronik. Angka tersebut lebih besar
dibandingkan data di negara-negara lain.11
Dari hasil laporan bagian THT RSUD A. Dadi Tjokrodipo Bandar
Lampung, dilaporkan tindakan BSEF pada periode Januari-November 2017
adalah 21 kasus atas indikasi rinosinusitis, 33 kasus pada polip hidung disertai
rinosinusitis dan 30 kasus BSEF disertai dengan tindakan septum koreksi atas
indikasi rinosinusitis dan septum deviasi.12
2.4.4. Klasifikasi
Rhinosinusitis dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok
berdasarkan perjalanan penyakit, lokasi dan penyebabnya. Berdasarkan
perjalanan penyakit, rhinosinusitis dibagi menjadi:13
a) Rinosinusitis akut: Onset mendadak, berlangsung kurang dari 4 minggu
dengan resolusi lengkap.
b) Rinosinusitis subakut: Sebuah rangkaian dari rinosinusitis akut tetapi
kurang dari 12 minggu.
c) Rinosinusitis akut rekuren: Empat atau lebih episode akut, masing-masing
berlangsung setidaknya 7 hari, dalam periode 1 tahun.
d) Rinosinusitis kronis: Tanda-tanda gejala bertahan 12 minggu atau lebih.
Berdasarkan penyebabnya:14
a) Rhinogenik (penyebab kelainan atau masalah di hidung), Segala sesuatu
yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis.
Contohnya rinitis akut (influenza), polip, dan septum deviasi. Tipe ini dapat
terjadi juga karena perluasan infeksi yang berasal dari hidung. Sinusitis
rhinogen lebih sering terjadi bila dibandingkan dengan sinusitis dentogen
b) Dentogenik/Odontogenik (penyebabnya kelainan gigi), yang sering
menyebabkan sinusitis infeksi adalah pada gigi geraham atas (pre molar dan
molar). Bakteri penyebabnya adalah Streptococcus pneumoniae,
Hemophilus influenza, Steptococcus viridans, Staphylococcus aureus,
Branchamella catarhatis
2.4.5. Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
lancarnya mucociliary clearance di dalam KOM. Mukus juga mengandung
substansi antimicrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme
pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan.1
Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi
edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat
bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di dalam
rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous.
Kondisi ini bisa dianggap sebagai rhinosinusitis non-bacterial dan biasanya
sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan.1
Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan
media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi dari bakteri sehingga sekret
menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai rhinosinusitis akut bakterial dan
memerlukan terapi antibiotik.1
Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi),
inflamasi dapat berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang.
Mukosa semakin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus
berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi,
polypoid atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin
diperlukan tindakan operasi.1
2.4.7. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.1
Pada anamnesis, gejala subyektif terdiri dari gejala sistemik dan gejala
lokal. Gejala sistemik ialah demam dan rasa lesu. Gejala lokal pada hidung
terdapat ingus kental yang kadang-kadang berbau dan dirasakan mengalir ke
nasofaring. Dirasakan hidung tersumbat, rasa nyeri didaerah infraorbita dan
kadang-kadang menyebar ke alveolus, sehingga terasa nyeri di gigi. Nyeri alih
dirasakan di dahi dan di depan telinga. Penciuman terganggu dan ada perasaan
penuh dipipi waktu membungkuk ke depan. Terdapat perasaan sakit kepala
waktu bangun tidur dan dapat menghilang hanya bila peningkatan sumbatan
hidung sewaktu berbaring sudah ditiadakan.15
Gejala obyektif, pada pemeriksaan sinusitis maksila akut akan tampak
pembengkakan di pipi dan kelopak mata bawah. Pada rinoskopi anterior tampak
mukosa konka hiperemis dan edema. Pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan
sinusitis etmoid anterior tampak mukopus atau nanah di meatus medius. Pada
rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip).15
Sinusitis dapat dicurigai bila ditemukan 2 kriteria mayor +1 minor atau 1
mayor + 2 minor.15
Tabel 2.1 Karakteristik Mayor dan Minor Sinusitis15
Indikasinya berupa1:
a) Sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat
b) Sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang ireversibel
c) Polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur
2.4.9. Komplikasi
Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis
kronik dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial.1
Kelainan orbita, disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata
(orbita). Yang paling sering ialah sinusitis ethmoid, kemudian sinus frontalis dan
maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum.
Kelainan yang dapat timbul ialah edema palpebra, selulitis orbita, abses
subperiosteal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi thrombosis sinus
kavernosus. 1
Kelainan intrakranial, dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau
subdural, abses otak, dan thrombosis sinus kavernosus.1
Komplikasi juga dapat terjadi pada sinusitis kronis, berupa1:
Osteomielitis dan abses subperiosteal. Paling sering timbul akibat sinusitis
frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomyelitis sinus
maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi.
Kelainan paru, seperti bronchitis kronik dan brokiektasis. Adanya kelainan
sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkhitis. Selain
itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial yagn sukar dihilangkan
sebelum sinusitisnya disembuhkan.1
2.4.10. Prognosis
Prognosis untuk penderita sinusitis akut yaitu sekitar 40 % akan sembuh
secara spontan tanpa pemberian antibiotik. Terkadang juga penderita bisa
mengalami relaps setelah pengobatan namun jumlahnya sedikit yaitu kurang dari
5 %. Komplikasi dari penyakit ini bisa terjadi akibat tidak ada pengobatan yang
adekuat yang nantinya akan dapat menyebabkan sinusitis kronik, meningitis,
brain abscess, atau komplikasi extra sinus lainnya. Sedangkan prognosis untuk
sinusitis kronik yaitu jika dilakukan pengobatan yang dini maka akan
mendapatkan hasil yang baik.16
2.5.2. Epidemiologi
Prevalensi polip nasi dilaporkan 1-2% pada orang dewasa di Eropa dan
4,2% di Finlandia. Di Amerika Serikat prevalensi polip nasi diperkirakan antara
1-4%. Pada anak-anak sangat jarang ditemukan dan dilaporkan hanya sekitar
0,1%. Penelitian Larsen dan Tos di Denmark memperkirakan insidensi polip
nasi sebesar 0,627 per 1000 orang per tahun. Di Indonesia studi epidemiologi
menunjukkan bahwa perbandingan pria dan wanita 2-3:1 dengan prevalensi
0,2%-4,3%.17
Di Amerika Serikat, CRSwNP biasanya menyerang pasien berusia antara 40
hingga 60 tahun. Laki-laki lebih cenderung memiliki CRSwNP, dengan satu
penelitian menunjukkan prevalensi 38% pada wanita dan 62% prevalensi pada
pria.18 Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Iran terhadap 297 pasien polip
nasi terdiri atas 118 pasien berjenis kelamin perempuan dan 179 pasien berjenis
kelamin laki-laki. Selain itu, penelitian yang di lakukan di Prancis melaporkan
bahwa seiring bertambahnya usia, kejadian polip nasi akan meningkat terutama
pada pasien yang memiliki riwayat asma.19
2.5.3. Etiologi
Polip hidung diklasifikasikan menjadi tiga kelompok: lokal, difus, dan
sistemik. Polip hidung lokal biasanya reaktif terhadap proses inflamasi atau
proses neoplastik. Polip hidung difus sering terlihat pada pasien dengan chronic
rhinosinusitis with nasal polyposis (CRSwNP). CRSwNP memiliki beberapa
etiologi. Di belahan bumi barat, polip hidung sebagian besar merupakan hasil
dari eosinofilia yang dikenadlikan oleh sel T-helper 2 (Th2), peradangan
imunoglobulin-E (IgE), dengan peningkatan interleukin-5 (IL-5), sering
dikaitkan dengan lingkungan dan/atau pemicu alergi musiman. Pasien dengan
cystic fibrosis cenderung memiliki peradangan yang dipicu oleh neutrofil di
dalam polip mereka, dan seringkali dapat memiliki polip hidung yang parah
tanpa pemicu alergi yang jelas, meskipun pemeriksaan klinisnya bisa sangat
mirip.20
Cystic fibrosis harus dibedakan pada pasien muda (pra-remaja, remaja,dan
dewasa muda) dengan polip hidung refrakter, terutama pada pasien keturunan
Eropa. Diagnosis yang cepat sangat penting dilakukan, dikarenakan terdapat
implikasi sistemik dan genetik/diturunkan dari keluarga dengan diagnosis cystic
fibrosis. Teori tambahan yang diusulkan termasuk proses inflamasi yang dipicu
oleh jamur, serta respons inflamasi masif yang dipicu oleh eksotoksin dari
infeksi Staphylococcus aureus. Poliposis hidung sistemik mengacu pada pasien
yang menderita penyakit sistemik dengan manifestasi yang terjadi pada hidung.
Eosinophilic granulomatosis with polyangiitis (EGPA), sebelumnya dikenal
sebagai sindrom Churg-Strauss, dan cystic fibrosis (CF) termasuk dalam
penyakit
sistemik ini.20
2.5.4. Patogenesis
Bila proses terus berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar menjadi
polip dan kemudian akan turun ke rongga hidung dengan membentuk tangkai.1
2.5.5. Diagnosis
Anamnesis
Keluhan utama penderita polip nasi ialah hidung rasa tersumbat dari yang
ringan sampai berat, rinore mulai yang jernih sampai purulen, hiposmia atau
anosmia. Mungkin disertai bersin-bersin, rasa nyeri pada hidung disertai sakit
kepala di daerah frontal. Bila disertai infeksi sekunder mungkin didapati posf
nasa/ drip dan rinore purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul ialah bemafas
melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan penurunan kualitas
hidup.1
Dapat menyebabkan gejala pada saluran napas bawah, berupa batuk kronik
dan mengi, terutama pada penderita polip nasidengan asma. Selain itu harus
ditanyakan riwayat rintis alergi, asma, intoleransi terhadap aspirin dan alergi
obat lainnya serta alergi makanan.1
Pemeriksaan fisik
Polip nasi yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga
hidung tampak mekar karena pelebaran'batang hidung. Pada pemeriksaan
rinoskopi anterior terlihat sebagai rnassa yang berwarna pucat yang berasal dari
meatus medius dan mudah digerakkan.1
Tabel 2.2 Pembagian stadium menurut Mackay dan Lund
Stadium Manifestasi
I Polip masih terbatas di
meatus
medius
II Polip sudah keluar dari
meatus medius, tampak
di rongga hidung tapi
belum memenuhi rongga hidung
III Polip yang masif
Naso-endoskopi
Pemeriksaan Radiologi
Foto polos sinus paranasal (posisi Waters, AP, Caldwell dan lateral) dapat
mempeilihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udaracairan di dalam sinus,
tetapi kurang bermafaat pada kasus polip. Pemeriksaan tomografi komputer (TK,
CT scan) sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan
sinus paranasal apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau
sumbatan pada kompleks ostiomeatal. TK terutama diindikasikan pada kasus
polip yang gagal diobati dengan terapi medikamentosa, jika ada komplikasi dari
sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi.1
Gambar 9. Polip Hidung1
2.5.7. Komplikasi
Polip hidung biasanya merupakan manifestasi dari proses penyakit yang
mendasarinya. Komplikasi yang terjadi biasanya ditentukan oleh masalah yang
mendasarinya. Pasien dengan polip hidung memiliki gejala hidung obstruktif
dengan gangguan tidur dan pada tingkat yang lebih rendah mengalami kelelahan
kronis. Polip hidung dapat menyumbat jalur drainase sinus paranasal yang dapat
menyebabkan pembentukan mukokel.18
Mukokel dapat menyebabkan kompresi struktur orbital, eksoftalmos,
diplopia, dan menyebabkan tampilan fisik yang tidak seimbang. Beberapa pasien
mungkin memiliki penyakit yang berat sehingga kualitas hidup mereka sangat
terganggu. Polip hidung dapat menyebabkan anosmia ireversibel. Polip hidung
juga berkontribusi terhadap terjadinya obstructive sleep apnea (OSA).22
2.5.8. Prognosis
Prognosis polip hidung dipengaruhi oleh endotipe proses penyakit.
Kekambuhan tampak lebih tinggi pada pasien dengan rinosinusitis jamur alergi
dibandingkan pasien dengan CRSwNP yang disebabkan oleh asma atau
sensitivitas aspirin. Jika dibandingkan dengan pasien CRSwNP, pasien dengan
sensitivitas aspirin cenderung memiliki penyakit yang lebih berat dan tingkat
kekambuhan yang lebih tinggi.23
Faktor prognostik potensial lainnya yang berkaitan dengan prognosis
terburuk adalah usia yang lebih muda saat timbulnya penyakit, skor Lund
Mackay yang lebih tinggi, angka osteitis global yang tinggi, dan peningkatan
eosinofilia/neutrofilia jaringan.24
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Sinusitis merupakan penyakit yang sering dijumpai dalam praktek dokter,
penyakit ini terjadi karena adanya proses inflamasi dari mukosa sinus paranasal.
Faktor dan penyebab terjadinya sinusitis yaitu ISPA akibat virus, bermacam
rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan
anatomi, infeksi tonsil, gigi, imunologik, diskinesia silia, dan fibrosis kistik.
Gejala yang sering muncul yaitu hidung tersumbat disertai nyeri atau rasa
tertekan pada wajah dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok (post
nasal drip), dan dapat disertai gejala sistemik berupa demam dan lesu. Prinsip
pengobatannya yaitu membuka sumbatan di KOM sehingga drainase dan
ventilasi sinus-sinus pulih secara alami.
Polip hidung merupakan massa lunak yang mengandung banyak cairan di
dalam rongga hidung, berwarna putih ke abu-abuan, yang terjadi akibat
inflamasi mukosa. Penyebab utama dari polip ini belum dapat diketahui secara
pasti namun keterlibatan adanya gangguan anatomi, faktor genetik, infeksi yang
disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, serta asma, rinitis alergi, inhalan non-
alergi dikaitkan dengan perkembangan dan perkembangan polip hidung.
Keluhan yang sering dirasakan pasien yaitu hidung tersumbat dari yang ringan
sampai berat, rinore mulai yang jernih sampai purulen, hiposmia atau anosmia.
Prinsip pengobatannya yaitu mengobati simptomatiknya dan dapat diberikan
kortikosteroid baik topikal maupun sistemik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher Edisi 7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
2017.
2. Brook I, Bronze MS. Acute sinusitis. Medscape. 2018
3. Kemenkes RI. Laporan Nasional RISKESDAS 2018. Jakarta: Kemenkes RI.
2018.
4. Maharjan S. Nasal Polyposis: A Review. Glob J Otolaryngol. 2017;8(2):19–21.
5. Paulsen F, Waschke J. Sobotta: Atlas of Human Anatomy Head, Neck and
Neuroanatomy. 15th Edition. Munchen: Elsevier Urban & Fischer. 2015
6. Bansal M. Diseases of Ear, Nose and Throat. New Delhi: Jaypee Brothers
Medical Publishers. 2013
7. St-Amant M, Knipe H, et al. Osteomeatal complex. Radiopaedia. 2018.
8. Boies A. Buku ajar penyakit tht. Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2015
9. PDQ Adult Treatment Editorial Board. Paranasal sinus dan nasal cavity cancer
treatment (adult). PDQ Cancer Information Summaries. 2019
10. Battisti AS, Modi P, Pangia J. Sinusitis. [Updated 2021 Aug 11]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470383/
11. Arivalagan P, Rambe A. Gambaran rhinosinusitis kronis di RSUP Haji Adam
Malik pada tahun 2011. Medan: Jurnal FK USU. 2013
12. Nurmalasari, Yesi; Nuryanti, Dera. Faktor-Faktor Prognostik Kesembuhan
Pengobatan Medikamentosa Rinosinusitis Kronis di Poli THT RSUD A. Dadi
Tjokrodipo Bandar Lampung Tahun 2017. Jurnal Ilmu Kedokteran dan
Kesehatan, 2017, 4.3.
13. Battisti AS, Modi P, Pangia J. Sinusitis. StatPearls. 2020.
14. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hitung
tenggorok-kepala leher. Jakarta: FK UI. 2007
15. Ballenger JJ, Snow JB. Penyakit Telinga, Hidung,Tenggorokan, Kepala, dan
Leher Jilid I. Tangerang: Bina Rupa Aksara. 2009
16. Hoxworth. J.M, Glastonbury. C.M. Orbital and Intracranial Complications of
Acute Sinusitis. Neuroimag Clin N Am. 2010.
17. Taufiq, F. P. A. 2014. Polip Nasi Rekuren Bilateral Stadium 2 Pada Wanita
Dengan Riwayat Polipektomi Dan Rhinitis Alergi Persisten. Jurnal
Medula, 1(05), 1-6.
18. Stevens WW, Schleimer RP, Kern RC. Chronic Rhinosinusitis with Nasal
Polyps. J Allergy Clin Immunol Pract. 2016 Jul-Aug;4(4):565-72.
19. Meymane Jahromi, A., & Shahabi Pour, A. (2012). The Epidemiological and
Clinical Aspects of Nasal Polyps that Require Surgery. Iranian journal of
otorhinolaryngology, 24(67), 75–78.
20. Ta NH. Will we ever cure nasal polyps? Ann R Coll Surg Engl. 2019
Jan;101(1):35-39.
21. Lund VJ, et al. Buku Saku EPOS. European Position Paper on Rhinosinusitis
and Nasal Polyps. 2007.
22. Migueis DP, Lacerda GCB, Lopes MC, Azevedo-Soster LMSF, Thuler LCS,
Lemes LNA, Araujo-Melo MH. Obstructive sleep apnea in patients with chronic
rhinosinusitis with nasal polyps: a cross-sectional study. Sleep Med. 2019
Dec;64:43-47.
23. Guo M, Alasousi F, Okpaleke C, Habib AR, Javer A. Prognosis of Chronic
Rhinosinusitis With Nasal Polyps Using Preoperative Eosinophil/Basophil
Levels and Treatment Compliance. Am J Rhinol Allergy. 2018 Sep;32(5):440-
446.
24. Kim JY, Han YE, Seo Y, Choe G, Kim MK, Huh G, Cho D, Yang SK, Kang
SH, Kim DW. Revisiting the Clinical Scoring System for the Prognosis of
Chronic Rhinosinusitis with Nasal Polyps. Yonsei Med J. 2019 Jun;60(6):578-
584.