Anda di halaman 1dari 7

Hadits Arbain #39: Tidak Sengaja, Lupa, Dipaksa Berarti Tidak Terkena

Dosa

Hadits Arbain #39


:‫هللا تَ َجاوَ زَ ِلي عَ نْ أُ َّم ِتي‬َ َّ‫«إن‬ ِ :‫هللا ﷺ َقال‬ ِ ‫ َأنَّ رَ سُو َل‬،‫هللا عَ ْن ُهمَا‬ ُ ‫ي‬ َ ‫ض‬ ِ َ‫َّاس ر‬ ٍ ‫ْن عَ ب‬
ِ ‫عَ ِن اب‬
‫ي وَ َغيْرُ ُهمَا‬
ُّ ‫َاج ْه وَ البَ ْي َه ِق‬ ٌ ‫سْ يَانَ وَ مَا اسْ تُ ْك ِرهُوا عَ لَ ْي ِه» َح ِدي‬45‫الخَ ط َ َأ وَ ال ِِّن‬.
َ ‫ْث َحسَنٌ رَ وَ ا ُه ابْنُ م‬
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah memaafkan umatku ketika ia tidak sengaja,
lupa, dan dipaksa.” (Hadits hasan, HR. Ibnu Majah no. 2045, Al-Baihaqi VII/356, dan
selainnya)

Keterangan hadits
Tajaawaza: memaafkan
‘an ummati: ummatil ijabah, ummat yang menerima dakwah.
 

Faedah hadits

1. Luasnya rahmat Allah pada hamba-Nya.


2. Allah memaafkan hamba ketika keliru, lupa, atau dipaksa.
3. Pemaafan dan kemudahan adalah kekhususan umat ini.
4. Syariat datang untuk mengangkat kesulitan. Maka konsekuensinya, dosa diangkat dari
orang yang tidak berniat yaitu saat keliru, lupa, atau dipaksa.
 

Kaedah dari hadits


Segala yang haram yang dikerjakan hamba karena tidak tahu (jahil), lupa, atau dipaksa, maka
tidak dikenakan dosa.

Ketika Lupa
Lupa secara bahasa berarti meninggalkan. Seperti dalam ayat,

‫نَسُوا هَّللا َ فَنَ ِسيَهُ ۗ ْم‬


“Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka.” (QS. At-Taubah: 67).
Maksud nisyan dalam ayat ini adalah meninggalkan.
Secara istilah, Ibnu Nujaim mengatakan tentang nisyan adalah,
‫َع َد ُم تَ َذ َّك ُر ال َّش ْي ِء َو ْقتَ َحا َجتِ ِه إِلَ ْي ِه‬
“Tidak mengingat sesuatu pada waktu ia membutuhkannya.”

Pengaruh Lupa
Ulama Syafi’iyah dan ulama Hambali dalam pendapat sahih menurut mereka, orang yang lupa
berarti telah bebas dari mukallaf (pembebanan syariat) ketika ia lupa. Karena mengerjakan suatu
perintah harus dengan didasari ilmu.

Adapun pengaruh hukum terhadap yang lupa:


Pertama: Hukum ukhrawi
Sepakat para ulama bahwa orang yang lupa tidak dikenakan dosa sama sekali. Sebagaimana
firman Allah,

‫اخ ْذنَا إِ ْن نَ ِسينَا أَوْ أَ ْخطَأْنَا‬


ِ ‫َربَّنَا الَ تُ َؤ‬
“Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.” (QS. Al-
Baqarah: 286)
Dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ketika turun firman Allah Ta’ala,

‫اخ ْذنَا إِ ْن نَ ِسينَا أَوْ أَ ْخطَأْنَا‬ ْ َ‫الَ يُ َكلِّفُ هَّللا ُ نَ ْفسًا إِالَّ ُو ْس َعهَا لَهَا َما َك َسب‬
ْ َ‫ت َو َعلَ ْيهَا َما ا ْكتَ َسب‬
ِ ‫ت َربَّنَا الَ تُ َؤ‬
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat
pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa
atau kami tersalah.” (QS. Al-Baqarah: 286). Lalu Allah menjawab, aku telah mengabulkannya.”
(HR. Muslim, no. 125).
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma secara marfu’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
‫ض َع ع َْن أُ َّمتِى ْالخَ طَأ َ َوالنِّ ْسيَانَ َو َما ا ْستُ ْك ِرهُوا َعلَ ْي ِه‬
َ ‫إِ َّن هَّللا َ َو‬
“Sesungguhnya Allah menghapuskan dari umatku dosa ketika mereka dalam keadaan keliru,
lupa dan dipaksa.” (HR. Ibnu Majah, no. 2045. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini
sahih).
Ibnu Taimiyah berkata tentang masalah ini,

‫ك َو ِحينَئِ ٍ•ذ يَ ُكونُ بِ َم ْن ِزلَ ِة َم ْن لَ ْم يَ ْف َع ْلهُ فَاَل يَ ُكونُ َعلَ ْي ِه ْإث ٌم َو َم ْن اَل ْإث َم َعلَ ْي ِه لَ ْم يَ ُك ْن‬ َ ِ‫َاسيًا لَ ْم يُ َؤا ِخ ْذهُ هَّللا ُ بِ َذل‬
ِ ‫َم ْن فَ َع َل َمحْ ظُورًا ُم ْخ ِطئًا أَوْ ن‬
ْ ْ ُ
‫ َو ِمث ُل هَ َذا اَل يُب ِْط ُل ِعبَا َدتَهُ إنَّ َما يُ ْب ِط ُل‬. ُ‫صيًا َواَل ُمرْ تَ ِكبًا لِ َما نُ ِه َي َع ْنهُ َو ِحينَئِ ٍذ فَيَ ُكونُ قَ ْد فَ َع َل َما أ ِم َر بِ ِه َولَ ْم يَف َعلْ َما نُ ِه َي َع ْنه‬ ِ ‫عَا‬
‫ُظ َر َعلَ ْي ِه‬
ِ ‫ح‬ ‫ا‬ ‫م‬ ‫ل‬ ‫ع‬ َ ‫ف‬ َ ‫أ‬ ‫ه‬ ‫ب‬
َ َ َ ْ‫ْ َ َ َ ِ َ ِ ِ و‬‫ر‬ ‫م‬ ُ ‫أ‬ ‫ا‬ ‫م‬ ْ‫ل‬ ‫ع‬‫ف‬ْ ‫ي‬ ‫م‬َ ‫ل‬ ‫ا‬ َ
‫ذ‬ ‫إ‬ ‫ت‬
ِ َِ ‫َا‬‫د‬ ‫ا‬ ‫ب‬‫ع‬ ْ
‫ال‬
“Siapa saja yang melakukan perkara yang dilarang dalam keadaan keliru atau lupa, Allah tidak
akan menyiksanya karena hal itu. Kondisinya seperti tidak pernah berbuat kesalahan tersebut
sehingga ia tidak dihukumi berdosa. Jika tidak berdosa, maka tidak disebut ahli maksiat dan
tidak dikatakan terjerumus dalam dosa. Jadi ia masih dicatat melakukan yang diperintah dan
tidak mengerjakan yang dilarang. Semisal dengan ini tidak membatalkan ibadahnya. Ibadah itu
batal jika tidak melakukan yang Allah perintahkan atau melakukan yang dilarang.” (Majmu’ah
Al-Fatawa, 25:226).

Kedua: Hukum duniawi


Jika itu berkaitan dengan meninggalkan perintah karena lupa, maka tidaklah gugur, bahkan harus
dilakukan ketika ingat.

Jika itu berkaitan dengan melakukan larangan dalam keadaan lupa selama bukan pengrusakan,
maka tidak dikenakan apa-apa.

Jika itu berkaitan dengan melakukan larangan dalam keadaan lupa dan ada pengrusakan, maka
tetap ada dhaman (ganti rugi).

Kaedah membedakan lupa dalam perintah dan larangan


Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Perbedaan penting yang perlu diperhatikan bahwa siapa
yang melakukan yang haram dalam keadaan lupa, maka ia seperti tidak melakukannya.
Sedangkan yang meninggalkan perintah karena lupa, itu bukan alasan gugurnya perintah. Namun
bagi yang mengerjakan larangan dalam keadaan lupa, maka itu uzur baginya sehingga tidak
terkenai dosa.” (I’lam Al-Muwaqi’in, 2:51).
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
ُ‫•ًّا َع ْنه‬Ž‫َم ْن فَ َع َل َمحْ ظُورًا نَا ِسيًا لَ ْم يَ ُك ْن قَ ْد فَ َع َل َم ْن ِهًي‬
“Barangsiapa melakukan suatu yang terlarang karena lupa, maka ia tidak dikatakan melakukan
suatu yang terlarang.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 20:573)

Beberapa bentuk lupa


Pertama: Lupa dengan meninggalkan perintah
1. Lupa membaca bismillah pada awal wudhu
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫صالَةَ لِ َم ْن الَ ُوضُو َء لَهُ َوالَ ُوضُو َء لِ َم ْن لَ ْم يَ ْذ ُك ِر ا ْس َم هَّللا ِ تَ َعالَى َعلَ ْي ِه‬
َ َ‫ال‬
“Tidak ada shalat bagi yang tidak ada wudhu. Tidak ada wudhu bagi yang tidak membaca
bismillah di dalamnya.” (HR. Abu Daud, no. 101 dan Ibnu Majah, no. 399. Al-Hafizh Abu
Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Kalau dilihat dari hadits-hadits yang ada yang semisal dengan hadits di atas, dapat dikatakan
bahwa haditsnya saling menguatkan satu dan lainnya. Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata, “Nampak
bahwa dilihat dari berbagai macam jalur, hadits yang membicarakan anjuran bismillah saat
wudhu saling menguatkan, yang menunjukkan adanya ajaran akan hal itu.” (Talkhish Al-Habir,
1:128).
Sebagian ulama mendhaifkan hadits di atas, namun dari berbagai jalur, hadits menjadi kuat.
Sedangkan penafian (peniadaan) yang disebutkan dalam hadits adalah kesempurnaan. Jadi
maksudnya adalah tidak sempurna wudhunya. Karena ada hadits-hadits yang membicarakan
tentang wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti hadits ‘Abdullah bin Zaid, ‘Utsman bin
‘Affan, dan juga Ibnu ‘Abbas, tidak menyebutkan bismilah di dalamnya. Sehingga penafian yang
ada dimaknakan, tidak sempurna. Jadi tetap ada anjuran membaca bismillah di awal wudhu,
namun tidak menunjukkan wajib.

Ulama Syafi’iyah dan madzhab Imam Ahmad berpendapat bahwa membaca bismillah pada awal
wudhu termasuk perkara sunnah. Jika lupa membacanya di awal wudhu, maka boleh dibaca
kapan pun saat wudhu sebelum wudhu selesai. Jika meninggalkan membaca bismillah karena
lupa, maka sah wudhunya.

2. Lupa mengerjakan shalat wajib


Para ulama sepakat bahwa siapa saja yang lupa shalat fardhu, wajib ia mengqadha’nya.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


َّ ‫صلِّهَا إِ َذا َذ َك َرهَا فَإ ِ َّن هَّللا َ يَقُو ُل أَقِ ِم ال‬
‫صالَةَ لِ ِذ ْك ِرى‬ َ ُ‫صالَ ِة أَوْ َغفَ َل َع ْنهَا فَ ْلي‬
َّ ‫إِ َذا َرقَ َد أَ َح ُد ُك ْم َع ِن ال‬
“Jika salah seorang di antara kalian tertidur dari shalat atau ia lupa dari shalat, maka hendaklah ia
shalat ketiak ia ingat. Karena Allah berfirman (yang artinya): Kerjakanlah shalat ketika ingat.”
(QS. Thaha: 14) (HR. Muslim, no. 684)

Cara mengqadha’nya jika yang lupa lebih dari satu shalat, bisa dengan petunjuk dari Syaikh
‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berikut ketika beliau mengatakan dalam Manhajus Salikin,

‫ضا ُؤهَا فَوْ رًا ُم َرتِّبًا‬َ َ‫ب َعلَ ْي ِه ق‬ َ ُ‫َو َم ْن فَاتَ ْته‬
َ ‫صاَل ةٌ َو َج‬
ِ ‫صالَ ِة َسقَطَ التَّرْ تِيْبُ بَ ْينَهَا َوبَ ْينَ ال َحا‬
‫ض َر ِة‬ َّ ‫فَإ ِ ْن نَ ِس َي أَوْ َج ِهلَهُ أَوْ خَ افَ فَوْ تَ ال‬
“Siapa yang luput dari shalat, wajib baginya untuk mengqadha’nya segera secara berurutan.
Jika ia lupa, tidak tahu, atau khawatir luput dari shalat hadhirah  (yang saat ini ada), maka
gugurlah tartib (berurutan) antara shalat yang luput tadi dan shalat yang hadhirah (yang saat
ini ada).”
 

3. Lupa salah satu bagian shalat

Sebagaimana dikatakan oleh Al-Qadhi Abu Syuja’ dalam Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib,
ketentuan mengenai perkara yang tertinggal dalam shalat ada tiga yaitu: fardhu, sunnah ab’adh,
dan sunnah hai’at.

Jika termasuk fardhu (rukun shalat), apabila tertinggal dalam shalat, maka tidak bisa digantikan
dengan sujud sahwi. Akan tetapi jika seseorang teringat sementara jarak waktu masih
memungkinkan untuk mengerjakannya, dia harus mengerjakan perkara tersebut dan di akhir
melakukan sujud sahwi.

Jika termasuk sunnah ab’adh (seperti tasyahud awwal, duduk tasyahud awwal, shalawat kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tasyahud awal, shalawat kepada keluar Nabi pada
tasyahud awal dan akhir, pen.), lalu tertinggal dalam shalat, maka tidak perlu diulang apabila
yang rukun (fardhu) sudah dikerjakan. Akan tetapi di akhir, harus melakukan sujud sahwi.

Jika termasuk dalam sunnah hai’at, maka perkara yang tertinggal tersebut tidak perlu diulang
setelah tertinggal dan seseorang tidak perlu melakukan sujud sahwi.

Sebab melakukan sujud sahwi menurut ulama Syafi’iyah ada empat:

1. Meninggalkan salah satu dari sunnah ab’adh seperti tasyahud awal.


2. Ragu mengenai jumlah rakaat.
3. Melakukan sesuatu yang terlarang dalam shalat karena lupa; jika dilakukan sengaja,
akan membatalkan shalat seperti menambah rakaat jadi lima dalam shalat Zhuhur
karena lupa.
4. Memindahkan yang merupakan fi’il (perbuatan) shalat baik rukun shalat atau sunnah
ab’adh atau memindahkan membaca surat bukan pada tempatnya seperti membaca Al-
Fatihah ketika tasyahud, membaca surat pendek ketika I’tidal. (Lihat Al-Fiqh Al-
Manhaji, 1:173-174)
Cara melakukan sujud sahwi:
4. Lupa membaca bismillah ketika makan
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ُ‫إِ َذا أَ َك َل أَ َح ُد ُك ْم فَ ْليَ ْذ ُك ِر ا ْس َم هَّللا ِ تَ َعالَى فَإ ِ ْن ن َِس َى أَ ْن يَ ْذ ُك َر ا ْس َم هَّللا ِ تَ َعالَى فِى أَ َّولِ ِه فَ ْليَقُلْ بِس ِْم هَّللا ِ أَ َّولَهُ َوآ ِخ َره‬
“Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia menyebut nama Allah
Ta’ala. Jika ia lupa untuk menyebut nama Allah Ta’ala di awal, hendaklah ia mengucapkan:
‘BISMILLAAH AWWALAHU WA AAKHIROHU (dengan nama Allah pada awal dan
akhirnya).’” (HR. Abu Daud, no. 3767 dan Tirmidzi, no. 1858. Tirmidzi mengatakan hadits
tersebut hasan sahih. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits tersebut sahih).
Dalam lafazh lain disebutkan,

‫ بِس ِْم هَّللا فِي أَوَّله َوآ ِخره‬: ْ‫ فَإ ِ ْن ن َِس َي فِي أَوَّله فَ ْليَقُل‬، ‫ط َعا ًما فَ ْليَقُلْ بِس ِْم هَّللا‬
َ ‫إِ َذا أَ َك َل أَ َحد ُك ْم‬
“Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia ucapkan “Bismillah”. Jika ia
lupa untuk menyebutnya, hendaklah ia mengucapkan: BISMILLAAH FII AWWALIHI WA
AAKHIRIHI (dengan nama Allah pada awal dan akhirnya).” (HR. Tirmidzi no. 1858, Abu Daud
no. 3767 dan Ibnu Majah no. 3264. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini
sahih dan Syaikh Al Albani menyatakan hadits ini sahih).

Kedua: Lupa dengan melakukan larangan


1. Makan dan minum dalam keadaan lupa saat puasa
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
ْ َ‫ فَإِنَّ َما أ‬,ُ‫صوْ َمه‬
ُ‫ط َع َمهُ هَّللَا ُ َو َسقَاه‬ َ ‫ فَ ْليُتِ َّم‬,‫ب‬
َ ‫ فَأ َ َك َل أَوْ َش ِر‬,‫صائِ ٌم‬
َ ‫َم ْن نَ ِس َي َوه َُو‬
“Barangsiapa yang lupa sedang ia dalam keadaan puasa lalu ia makan atau minum, maka
hendaklah ia sempurnakan puasanya karena kala itu Allah yang memberi ia makan dan minum.”
(HR. Bukhari, no. 1933 dan Muslim, no. 1155).

2. Berbicara dalam shalat dalam keadaan lupa


Dari Mu’awiyah bin Hakam As-Sulamiy radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku ketika itu shalat
bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu ada seseorang yang bersin dan ketika itu aku
menjawab ‘yarhamukallah’ (semoga Allah merahmatimu). Lantas orang-orang memalingkan
pandangan kepadaku. Aku berkata ketika itu,

َّ َ‫َواثُ ْك َل أُ ِّميَا ْه َما َشأْنُ ُك ْم تَ ْنظُرُونَ إِل‬


‫ى‬
“Aduh, celakalah ibuku! Mengapa Anda semua memandangku seperti itu?” Mereka bahkan
menepukkan tangan mereka pada paha mereka. Setelah itu barulah aku tahu bahwa mereka
menyuruhku diam. Lalu aku diam. Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai
shalat, ayah dan ibuku sebagai tebusanmu (ungkapan sumpah Arab), aku belum pernah bertemu
seorang pendidik sebelum dan sesudahnya yang lebih baik pengajarannya daripada beliau. Demi
Allah! Beliau tidak menghardikku, tidak memukul, dan tidak memakiku. Beliau bersabda saat
itu,

‫اس إِنَّ َما هُ َو التَّ ْسبِي ُح َوالتَّ ْكبِي ُر َوقِ َرا َءةُ ْالقُرْ آ ِن‬
ِ َّ‫صالَةَ الَ يَصْ لُ ُح فِيهَا َش ْى ٌء ِم ْن َكالَ ِم الن‬
َّ ‫إِ َّن هَ ِذ ِه ال‬
‘Sesungguhnya shalat ini, tidak pantas di dalamnya ada percakapan manusia, karena shalat itu
hanyalah tasbih, takbir dan membaca Al-Qur’an.’” (HR. Muslim, no. 537)
Menurut ulama Malikiyah dan Syafi’iyah bahwa siapa yang berbicara ketika shalat dalam
keadaan lupa, shalatnya tidaklah batal asalkan kata-kata yang keluar sedikit dan nantinya ditutup
kealpaan tersebut dengan sujud sahwi. Jika kata-kata yang keluar banyak, shalatnya batal.

3. Baru mengetahui adanya najis setelah shalat


Barangsiapa yang lupa membersihkan diri dari najis lalu ia shalat dalam keadaan lupa, maka
shalatnya sah. Masalah najis berkaitan dengan larangan ketika shalat. Ketika dilakukan diterjang
dalam keadaan lupa, maka shalatnya tetap sah dan tidak perlu diulangi. Hal ini menjadi pendapat
Syafi’i yang qadim. Dalil dari hal ini adalah hadits ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
melepas sandal saat shalat. Hadits lengkapnya sebagaimana berikut ini.

Dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,


‫ار ِه فَلَ َّما َرأَى َذلِكَ ْالقَوْ ُم أَ ْلقَوْ ا نِ َعالَهُ ْم فَلَ َّما‬ ِ ‫ض َعهُ َما ع َْن يَ َس‬ َ ‫صلِّي بِأَصْ َحابِ ِه إِ ْذ َخلَ َع نَ ْعلَ ْي ِه فَ َو‬
َ ُ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ي‬َ ِ ‫بَ ْينَ َما َرسُو ُل هَّللا‬
‫ال َرسُو ُل‬ َ َ‫ك فَأ َ ْلقَ ْينَا نِ َعالَنَا فَق‬
َ ‫صاَل تَهُ قَا َل َما َح َملَ ُك ْم َعلَى إِ ْلقَا ِء نِ َعالِ ُك ْم قَالُوا َرأَ ْينَاكَ أَ ْلقَيْتَ نَ ْعلَ ْي‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ِ ‫ضى َرسُو ُل هَّللا‬ َ َ‫ق‬
َ ْ َ
‫ْج ِد فليَنظرْ فإِن َرأى فِي‬ ُ ْ ْ َ ْ َ ُ ُ َ َ َ ً َ َ َ َ َ
ِ ‫يل أتَانِي فأخبَ َرنِي أن فِي ِه َما قذرًا أوْ قا َل أذى َوقا َل إِذا َجا َء أ َحدك ْم إِلى ال َمس‬ َّ َ ْ َ َ َ َّ َّ َ
َ ‫صلى ُ َعل ْي ِه َو َسل َم إِن ِجب ِْر‬ ‫هَّللا‬ َّ َ ِ ‫هَّللا‬
‫صلِّ فِي ِه َما‬ ْ ْ َ َ
َ ُ‫نَ ْعلَ ْي ِه قَ َذرًا أوْ أ ًذى فَليَ ْم َسحْ هُ َولي‬
“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat bersama shahabatnya, tiba-tiba dia
melepaskan kedua sandalnya dan meletakkannya di sebelah kirinya. Ketika para shahabat
melihatnya, mereka pun melepas sandalnya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
selesai shalat, beliau berkata, ‘Apa yang membuat kalian melepas sandal kalian?’ Mereka
berkata, ‘Kami lihat engkau melepas sandalmu, maka kamipun melepas sandal kami.’ Lalu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya Jibril mendatangiku dan
mengabarkan kepadaku bahwa pada kedua sandalku terdapat kotoran. Dan dia berkata, ‘Jika
kalian mendatangi masjid, hendaknya memperhatikan, jika pada sandalnya terdapat najis atau
kotoran hendaknya dia bersihkan, lalu shalat dengan memakai keduanya.” (HR. Abu Daud, no.
650. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih)

Ketika Tidak Sengaja


Yang dimaksud di sini adalah tidak punya maksud untuk melakukan sesuatu. Bukan yang
dimaksud dengan khatha’ di sini adalah lawan dari benar atau berarti salah.

Sesuatu ketidaksengajaan tidaklah dikenakan dosa sebagaimana disebutkan dalam ayat,

‫اخ ْذنَا إِ ْن نَ ِسينَا أَوْ أَ ْخطَأْنَا‬


ِ ‫َربَّنَا اَل تُ َؤ‬
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tidak sengaja.” (QS.
Al-Baqarah: 286). Dalam hadits disebutkan bahwa Allah telah memenuhi hal tersebut.
Dalam hadits disebutkan,

َ ‫إِ َّن هَّللا َ تَ َجا َوزَ ع َْن أُ َّمتِى ْال َخ‬


‫طأ َ َوالنِّ ْسيَانَ َو َما ا ْستُ ْك ِرهُوا َعلَ ْي ِه‬
“Sesungguhnya Allah memaafkan umatku ketika ia tidak sengaja, lupa atau dipaksa.” (HR. Ibnu
Majah, no. 2043. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih karena memiliki
penguat dari jalur lainnya)
 

Apakah kalau tidak sengaja dikenakan ganti rugi?


Hal ini perlu dirinci.

Pertama, jika terkait dengan hak sesama manusia. Ada dua hal yang perlu diperhatikan:

1. Jika memang perbuatan tersebut diizinkan, ia sengaja melakukan, namun tidak sengaja
merusak, ketika itu tidak ada dhaman (ganti rugi). Contoh seperti yang dilakukan oleh
seorang tabib atau dokter, atau orang yang menjadi wakil (diserahi tanggung jawab)
lalu tidak sengaja merusak. Karena kaedahnya, sesuatu yang dibolehkan oleh syari’at
mengakibatkan tidak ada dhaman (ganti rugi).
2. Jika memang perbuatan tersebut tidak diizinkan, maka dikenakan dhaman (ganti rugi).
Contoh orang yang tidak sengaja membunuh orang lain walaupun tidak dikenakan
qishash (nyawa dibalas nyawa), namun tetap dikenakan dhaman (ganti rugi) yaitu
dikenakan diyyat.
Kedua, jika terkait dengan hak Allah, maka tidak ada hukuman had. Namun apakah ada dhaman
(ganti rugi)? Hal ini perlu dirinci.

1. Jika tidak ada itlaf (pengrusakan) seperti seseorang yang tidak sengaja menutup
kepalanya saat ihram atau memakai baju saat ihram (padahal tidak boleh mengenakan
pakaian yang membentuk lekuk tubuh seperti baju, pen.), maka tidak ada kafarah
2. Jika ada itlaf (pengrusakan) seperti memotong kuku saat ihram atau memotong rambut
saat ihram atau berburu hewan saat ihram, maka ada beda pendapat jika dilakukan
tidak sengaja untuk kasus kedua ini. Pendapat yang lebih kuat adalah tetap dikenakan
kafarah.
Adapun yang dimaksud dengan kafarah atau fidyah:
Fidyah karena melakukan larangan ihram yaitu mencukur rambut, memotong kuku, memakai
harum-haruman, mencumbu istri dengan syahwat, memakai pakaian berjahit yang membentuk
lekuk tubuh bagi laki-laki, memakai sarung tangan, menutup rambut kepala, dan memakai niqob
bagi wanita.

Bentuk fidyah dari setiap pelanggaran ini adalah memilih salah satu dari tiga hal:
1. Menyembelih satu ekor kambing
2. Memberi makan kepada enam orang miskin
3. Berpuasa selama tiga hari
Ketika Dipaksa
Bagaimana jika ada yang dipaksa dengan ancaman dibunuh untuk mengucapkan kalimat kufur,
lantas ia mengucapkannya? Atau bagaimana jika ia dipaksa untuk murtad?

Tentang masalah tersebut, mari kita perhatikan dalil-dalil berikut ini.

ٌ‫َضبٌ ِّمنَ هَّللا ِ َولَهُ ْم َع َذاب‬


َ ‫ص ْدرًا فَ َعلَ ْي ِه ْم غ‬ ْ ‫َمن َكفَ َر بِاهَّلل ِ ِمن بَ ْع ِد إي َمانِ ِه إِالَّ َم ْن أُ ْك ِرهَ َوقَ ْلبُهُ ُم‬
َ ‫ط َمئِ ٌّن بِا ِإلي َما ِن َولَ ِكن َّمن َش َر َح بِ ْال ُك ْف ِر‬
‫َع ِظي ٌم‬
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah),
kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak
berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan
Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (QS. An-Nahl: 106)
Dalam hadits disebutkan bahwa orang-orang musyrik pernah menyiksa ‘Ammar bin Yasir. Ia
tidaklah dilepas sampai mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyanjung dengan
kebaikan pada sesembehan orang musyrik. Lalu setelah itu ia pun dilepas. Ketika ‘Ammar
mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia pun ditanya oleh Rasul, “Apa yang
terjadi padamu?” “Sial, wahai Rasulullah. Aku tidaklah dilepas sampai aku mencelamu dan
menyanjung-nyanjung sesembahan mereka.”

ْ ‫ ُم‬: ‫ك ؟ » قَا َل‬


‫ « إِ ْن عَادُوا فَ ُع ْد‬: ‫ط َمئِ ٌّن بِا ِإل ْي َما ِن قَا َل‬ َ َ‫ « َك ْيفَ ت َِج ُد قَ ْلب‬: ‫» قَا َل‬
Rasul balik bertanya, “Bagaimana hatimu saat itu?” Ia menjawab, “Hatiku tetap dalam keadaan
tenang dengan iman.”  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali mengatakan, “Kalau mereka
memaksa (menyiksa) lagi, silakan engkau mengulanginya lagi seperti tadi.” (HR. Al-Hakim
dalam Al-Mustadrak, 2: 389; Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra, 8: 208. Sanad hadits ini dha’if.
Namun ada banyak jalur periwayatan kisah ini. Intinya kisah ini masih memiliki asal. Ibnu Hajar
dalam Fath Al-Bari, 12: 312 menyatakan bahwa hadits ini termasuk hadits mursal yang saling
menguatkan satu dan lainnya)

Ibnu Hazm juga menyatakan ada klaim ijmak dalam hal ini. Beliau berkata dalam Maratib Al-
Ijma’, hlm. 61,

ْ ‫اتَّفَقُوْ ا َعلَى أَ َّن ْال ُم ْك َرهَ َعلَى ْال ُك ْف ِر َوقَ ْلبُهُ ُم‬
‫ط َمئِ ٌّن بِا ِال ْي َما ِن أَنَّهُ اَل يَ ْل َز ْمهُ َش ْي ٌء ِمنَ ْال ُك ْف ِر ِع ْن َد هللاِ تَ َعالَى‬
“Para ulama sepakat bahwa orang yang dipaksa berbuat kufur sedangkan hatinya dalam keadaan
tenang di atas iman, ia tidak dihukumi kufur di sisi Allah Ta’ala.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al-Istiqamah (2: 210) berkata,

ٍّ ‫ق ال ُم ْك َر ِه بِ َغي ِْر َح‬


‫ق‬ ُ ‫ع فِي أَ َّن األَ ْق َوا َل الَ يَ ْثب‬
ِّ ‫ُت ُح ْك ُمهَا فِي َح‬ ٌ ‫َولِهَ َذا لَ ْم يَ ُك ْن ِع ْن َدنَا نِ َزا‬
“Oleh karena itu, kami tidak ada silang pendapat mengenai hukum bagi orang yang dipaksa
tanpa jalan yang benar bahwa tidak dikenakan hukum padanya.”

Juga dalam Ensiklopedia Fikih, Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah (22: 182) disebutkan,

ِ َ‫ لَ ْم ي‬: ‫ق الفُقَهَا ُء َعلَى أَ َّن َم ْن أُ ْك ِرهَ َعلَى ال ُك ْف ِر فَأَتَى بِ َكلِ َم ِة ال ُك ْف ِر‬


ً‫صرْ َكافِرا‬ َ َ‫َواتَّف‬
“Para fuqaha sepakat bahwa siapa yang dipaksa untuk melakukan suatu kekufuran lantas ia
mengucapkan kalimat kufur, maka tidak divonis sebagai orang kafir.”

Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah dalam kitab tafsirnya (14: 223) mengatakan, Ibnu
‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menyatakan bahwa siapa saja yang kufur setelah sebelumnya ia
beriman, maka baginya murka Allah dan baginya siksa yang pedih. Namun siapa yang dipaksa
untuk mengucapkan kalimat kufur, namun hatinya tetap masih dalam keadaan iman, ia
mengucapkannya hanya ingin menyelamatkan diri dari musuhnya, maka seperti itu tidaklah
mengapa. Karena Allah Ta’ala menghukumi hamba hanya karena kekufuran yang ia ridhai
dalam hatinya.
Dipaksa itu ada dua macam

Dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah (22: 182) disebutkan bahwa pemaksaan itu ada dua macam.

Pemaksaan pertama disebut ikrahan tamman, yaitu pemaksaan sempurna, artinya benar-benar
menghadapi bahaya besar. Seperti dipaksa dengan dibunuh, dipotong, dipukul yang dapat
membahayakan jiwa atau anggota badan, baik dengan sedikit atau banyak pukulan.

Pemaksaan kedua disebut ikrahan naqishan, yaitu pemaksaan yang tidak sempurna, artinya tidak
benar-benar mengancam jiwa. Seperti dipenjara, dirantai, atau pukulan yang tidak sampai
membahayakan jiwa atau anggota badan.

Para ulama menyatakan bahwa yang disebut pemaksaan yang boleh melakukan perbuatan
kekufuran atau mengucapkan kata kufur adalah pemaksaan pertama, yaitu pemaksaan sempurna
(ikrahan tamman). Namun syarat disebut ikrahan tamman adalah:

1. Ancaman yang diberikan benar-benar berdampak bahaya pada jiwa atau anggota
badan.
2. Yang memaksa benar-benar mampu diwujudkan ancamannya.
3. Yang dipaksa benar-benar tidak mampu untuk menolak ancaman pada dirinya, baik
dengan melarikan diri atau meminta pertolongan pada yang lain.
4. Yang dipaksa punya sangkaan kuat bahwa ancaman tersebut benar-benar bisa
diwujudkan oleh yang memaksa.
 

Memilih mati
Bolehkah bagi yang diancam memilih untuk bersabar dan terus terkena bahaya dan terus disakiti,
andai juga ia terbunuh ketika itu?

Iya, boleh memilih seperti itu. Bilal bin Rabbah radhiyallahu ‘anhu dan lainnya pernah memilih
seperti itu.

Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan, seseorang boleh memilih untuk mati ketika diancam
untuk mengatakan kalimat kufur. Seperti yang dipilih oleh Bilal. Ia enggan mengucapkan
kalimat kufur. Sampai-sampai orang kafir meletakkan batu yang besar di dadanya dalam keadaan
panas. Mereka terus memaksa Bilal untuk berbuat syirik pada Allah, namun Bilal enggan
menuruti keinginan mereka. Bilal tetap mengatakan, “Ahad, Ahad (artinya: Esa, Esa).” Bilal
mengatakan, “Demi Allah, seandainya aku tahu suatu kalimat yang akan membuat kalian lebih
marah dari kalimat itu, tentu aku akan mengucapkannya.” Semoga Allah meridhai Bilal.” (Tafsir
Al-Qur’an Al-‘Azhim, 4: 715)

Sumber https://rumaysho.com/25032-hadits-arbain-39-tidak-sengaja-lupa-dipaksa-berarti-tidak-
terkena-dosa.html

Anda mungkin juga menyukai