Dosa
Keterangan hadits
Tajaawaza: memaafkan
‘an ummati: ummatil ijabah, ummat yang menerima dakwah.
Faedah hadits
Ketika Lupa
Lupa secara bahasa berarti meninggalkan. Seperti dalam ayat,
Pengaruh Lupa
Ulama Syafi’iyah dan ulama Hambali dalam pendapat sahih menurut mereka, orang yang lupa
berarti telah bebas dari mukallaf (pembebanan syariat) ketika ia lupa. Karena mengerjakan suatu
perintah harus dengan didasari ilmu.
اخ ْذنَا إِ ْن نَ ِسينَا أَوْ أَ ْخطَأْنَا ْ َالَ يُ َكلِّفُ هَّللا ُ نَ ْفسًا إِالَّ ُو ْس َعهَا لَهَا َما َك َسب
ْ َت َو َعلَ ْيهَا َما ا ْكتَ َسب
ِ ت َربَّنَا الَ تُ َؤ
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat
pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa
atau kami tersalah.” (QS. Al-Baqarah: 286). Lalu Allah menjawab, aku telah mengabulkannya.”
(HR. Muslim, no. 125).
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma secara marfu’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
ض َع ع َْن أُ َّمتِى ْالخَ طَأ َ َوالنِّ ْسيَانَ َو َما ا ْستُ ْك ِرهُوا َعلَ ْي ِه
َ إِ َّن هَّللا َ َو
“Sesungguhnya Allah menghapuskan dari umatku dosa ketika mereka dalam keadaan keliru,
lupa dan dipaksa.” (HR. Ibnu Majah, no. 2045. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini
sahih).
Ibnu Taimiyah berkata tentang masalah ini,
ك َو ِحينَئِ ٍ•ذ يَ ُكونُ بِ َم ْن ِزلَ ِة َم ْن لَ ْم يَ ْف َع ْلهُ فَاَل يَ ُكونُ َعلَ ْي ِه ْإث ٌم َو َم ْن اَل ْإث َم َعلَ ْي ِه لَ ْم يَ ُك ْن َ َِاسيًا لَ ْم يُ َؤا ِخ ْذهُ هَّللا ُ بِ َذل
ِ َم ْن فَ َع َل َمحْ ظُورًا ُم ْخ ِطئًا أَوْ ن
ْ ْ ُ
َو ِمث ُل هَ َذا اَل يُب ِْط ُل ِعبَا َدتَهُ إنَّ َما يُ ْب ِط ُل. ُصيًا َواَل ُمرْ تَ ِكبًا لِ َما نُ ِه َي َع ْنهُ َو ِحينَئِ ٍذ فَيَ ُكونُ قَ ْد فَ َع َل َما أ ِم َر بِ ِه َولَ ْم يَف َعلْ َما نُ ِه َي َع ْنه ِ عَا
ُظ َر َعلَ ْي ِه
ِ ح ا م ل ع َ ف َ أ ه ب
َ َ َ ْْ َ َ َ ِ َ ِ ِ ور م ُ أ ا م ْل عفْ ي مَ ل ا َ
ذ إ ت
ِ َِ َاد ا بع ْ
ال
“Siapa saja yang melakukan perkara yang dilarang dalam keadaan keliru atau lupa, Allah tidak
akan menyiksanya karena hal itu. Kondisinya seperti tidak pernah berbuat kesalahan tersebut
sehingga ia tidak dihukumi berdosa. Jika tidak berdosa, maka tidak disebut ahli maksiat dan
tidak dikatakan terjerumus dalam dosa. Jadi ia masih dicatat melakukan yang diperintah dan
tidak mengerjakan yang dilarang. Semisal dengan ini tidak membatalkan ibadahnya. Ibadah itu
batal jika tidak melakukan yang Allah perintahkan atau melakukan yang dilarang.” (Majmu’ah
Al-Fatawa, 25:226).
Jika itu berkaitan dengan melakukan larangan dalam keadaan lupa selama bukan pengrusakan,
maka tidak dikenakan apa-apa.
Jika itu berkaitan dengan melakukan larangan dalam keadaan lupa dan ada pengrusakan, maka
tetap ada dhaman (ganti rugi).
صالَةَ لِ َم ْن الَ ُوضُو َء لَهُ َوالَ ُوضُو َء لِ َم ْن لَ ْم يَ ْذ ُك ِر ا ْس َم هَّللا ِ تَ َعالَى َعلَ ْي ِه
َ َال
“Tidak ada shalat bagi yang tidak ada wudhu. Tidak ada wudhu bagi yang tidak membaca
bismillah di dalamnya.” (HR. Abu Daud, no. 101 dan Ibnu Majah, no. 399. Al-Hafizh Abu
Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Kalau dilihat dari hadits-hadits yang ada yang semisal dengan hadits di atas, dapat dikatakan
bahwa haditsnya saling menguatkan satu dan lainnya. Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata, “Nampak
bahwa dilihat dari berbagai macam jalur, hadits yang membicarakan anjuran bismillah saat
wudhu saling menguatkan, yang menunjukkan adanya ajaran akan hal itu.” (Talkhish Al-Habir,
1:128).
Sebagian ulama mendhaifkan hadits di atas, namun dari berbagai jalur, hadits menjadi kuat.
Sedangkan penafian (peniadaan) yang disebutkan dalam hadits adalah kesempurnaan. Jadi
maksudnya adalah tidak sempurna wudhunya. Karena ada hadits-hadits yang membicarakan
tentang wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti hadits ‘Abdullah bin Zaid, ‘Utsman bin
‘Affan, dan juga Ibnu ‘Abbas, tidak menyebutkan bismilah di dalamnya. Sehingga penafian yang
ada dimaknakan, tidak sempurna. Jadi tetap ada anjuran membaca bismillah di awal wudhu,
namun tidak menunjukkan wajib.
Ulama Syafi’iyah dan madzhab Imam Ahmad berpendapat bahwa membaca bismillah pada awal
wudhu termasuk perkara sunnah. Jika lupa membacanya di awal wudhu, maka boleh dibaca
kapan pun saat wudhu sebelum wudhu selesai. Jika meninggalkan membaca bismillah karena
lupa, maka sah wudhunya.
Cara mengqadha’nya jika yang lupa lebih dari satu shalat, bisa dengan petunjuk dari Syaikh
‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berikut ketika beliau mengatakan dalam Manhajus Salikin,
ضا ُؤهَا فَوْ رًا ُم َرتِّبًاَ َب َعلَ ْي ِه ق َ َُو َم ْن فَاتَ ْته
َ صاَل ةٌ َو َج
ِ صالَ ِة َسقَطَ التَّرْ تِيْبُ بَ ْينَهَا َوبَ ْينَ ال َحا
ض َر ِة َّ فَإ ِ ْن نَ ِس َي أَوْ َج ِهلَهُ أَوْ خَ افَ فَوْ تَ ال
“Siapa yang luput dari shalat, wajib baginya untuk mengqadha’nya segera secara berurutan.
Jika ia lupa, tidak tahu, atau khawatir luput dari shalat hadhirah (yang saat ini ada), maka
gugurlah tartib (berurutan) antara shalat yang luput tadi dan shalat yang hadhirah (yang saat
ini ada).”
Sebagaimana dikatakan oleh Al-Qadhi Abu Syuja’ dalam Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib,
ketentuan mengenai perkara yang tertinggal dalam shalat ada tiga yaitu: fardhu, sunnah ab’adh,
dan sunnah hai’at.
Jika termasuk fardhu (rukun shalat), apabila tertinggal dalam shalat, maka tidak bisa digantikan
dengan sujud sahwi. Akan tetapi jika seseorang teringat sementara jarak waktu masih
memungkinkan untuk mengerjakannya, dia harus mengerjakan perkara tersebut dan di akhir
melakukan sujud sahwi.
Jika termasuk sunnah ab’adh (seperti tasyahud awwal, duduk tasyahud awwal, shalawat kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tasyahud awal, shalawat kepada keluar Nabi pada
tasyahud awal dan akhir, pen.), lalu tertinggal dalam shalat, maka tidak perlu diulang apabila
yang rukun (fardhu) sudah dikerjakan. Akan tetapi di akhir, harus melakukan sujud sahwi.
Jika termasuk dalam sunnah hai’at, maka perkara yang tertinggal tersebut tidak perlu diulang
setelah tertinggal dan seseorang tidak perlu melakukan sujud sahwi.
بِس ِْم هَّللا فِي أَوَّله َوآ ِخره: ْ فَإ ِ ْن ن َِس َي فِي أَوَّله فَ ْليَقُل، ط َعا ًما فَ ْليَقُلْ بِس ِْم هَّللا
َ إِ َذا أَ َك َل أَ َحد ُك ْم
“Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia ucapkan “Bismillah”. Jika ia
lupa untuk menyebutnya, hendaklah ia mengucapkan: BISMILLAAH FII AWWALIHI WA
AAKHIRIHI (dengan nama Allah pada awal dan akhirnya).” (HR. Tirmidzi no. 1858, Abu Daud
no. 3767 dan Ibnu Majah no. 3264. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini
sahih dan Syaikh Al Albani menyatakan hadits ini sahih).
اس إِنَّ َما هُ َو التَّ ْسبِي ُح َوالتَّ ْكبِي ُر َوقِ َرا َءةُ ْالقُرْ آ ِن
ِ َّصالَةَ الَ يَصْ لُ ُح فِيهَا َش ْى ٌء ِم ْن َكالَ ِم الن
َّ إِ َّن هَ ِذ ِه ال
‘Sesungguhnya shalat ini, tidak pantas di dalamnya ada percakapan manusia, karena shalat itu
hanyalah tasbih, takbir dan membaca Al-Qur’an.’” (HR. Muslim, no. 537)
Menurut ulama Malikiyah dan Syafi’iyah bahwa siapa yang berbicara ketika shalat dalam
keadaan lupa, shalatnya tidaklah batal asalkan kata-kata yang keluar sedikit dan nantinya ditutup
kealpaan tersebut dengan sujud sahwi. Jika kata-kata yang keluar banyak, shalatnya batal.
Pertama, jika terkait dengan hak sesama manusia. Ada dua hal yang perlu diperhatikan:
1. Jika memang perbuatan tersebut diizinkan, ia sengaja melakukan, namun tidak sengaja
merusak, ketika itu tidak ada dhaman (ganti rugi). Contoh seperti yang dilakukan oleh
seorang tabib atau dokter, atau orang yang menjadi wakil (diserahi tanggung jawab)
lalu tidak sengaja merusak. Karena kaedahnya, sesuatu yang dibolehkan oleh syari’at
mengakibatkan tidak ada dhaman (ganti rugi).
2. Jika memang perbuatan tersebut tidak diizinkan, maka dikenakan dhaman (ganti rugi).
Contoh orang yang tidak sengaja membunuh orang lain walaupun tidak dikenakan
qishash (nyawa dibalas nyawa), namun tetap dikenakan dhaman (ganti rugi) yaitu
dikenakan diyyat.
Kedua, jika terkait dengan hak Allah, maka tidak ada hukuman had. Namun apakah ada dhaman
(ganti rugi)? Hal ini perlu dirinci.
1. Jika tidak ada itlaf (pengrusakan) seperti seseorang yang tidak sengaja menutup
kepalanya saat ihram atau memakai baju saat ihram (padahal tidak boleh mengenakan
pakaian yang membentuk lekuk tubuh seperti baju, pen.), maka tidak ada kafarah
2. Jika ada itlaf (pengrusakan) seperti memotong kuku saat ihram atau memotong rambut
saat ihram atau berburu hewan saat ihram, maka ada beda pendapat jika dilakukan
tidak sengaja untuk kasus kedua ini. Pendapat yang lebih kuat adalah tetap dikenakan
kafarah.
Adapun yang dimaksud dengan kafarah atau fidyah:
Fidyah karena melakukan larangan ihram yaitu mencukur rambut, memotong kuku, memakai
harum-haruman, mencumbu istri dengan syahwat, memakai pakaian berjahit yang membentuk
lekuk tubuh bagi laki-laki, memakai sarung tangan, menutup rambut kepala, dan memakai niqob
bagi wanita.
Bentuk fidyah dari setiap pelanggaran ini adalah memilih salah satu dari tiga hal:
1. Menyembelih satu ekor kambing
2. Memberi makan kepada enam orang miskin
3. Berpuasa selama tiga hari
Ketika Dipaksa
Bagaimana jika ada yang dipaksa dengan ancaman dibunuh untuk mengucapkan kalimat kufur,
lantas ia mengucapkannya? Atau bagaimana jika ia dipaksa untuk murtad?
Ibnu Hazm juga menyatakan ada klaim ijmak dalam hal ini. Beliau berkata dalam Maratib Al-
Ijma’, hlm. 61,
ْ اتَّفَقُوْ ا َعلَى أَ َّن ْال ُم ْك َرهَ َعلَى ْال ُك ْف ِر َوقَ ْلبُهُ ُم
ط َمئِ ٌّن بِا ِال ْي َما ِن أَنَّهُ اَل يَ ْل َز ْمهُ َش ْي ٌء ِمنَ ْال ُك ْف ِر ِع ْن َد هللاِ تَ َعالَى
“Para ulama sepakat bahwa orang yang dipaksa berbuat kufur sedangkan hatinya dalam keadaan
tenang di atas iman, ia tidak dihukumi kufur di sisi Allah Ta’ala.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al-Istiqamah (2: 210) berkata,
Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah dalam kitab tafsirnya (14: 223) mengatakan, Ibnu
‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menyatakan bahwa siapa saja yang kufur setelah sebelumnya ia
beriman, maka baginya murka Allah dan baginya siksa yang pedih. Namun siapa yang dipaksa
untuk mengucapkan kalimat kufur, namun hatinya tetap masih dalam keadaan iman, ia
mengucapkannya hanya ingin menyelamatkan diri dari musuhnya, maka seperti itu tidaklah
mengapa. Karena Allah Ta’ala menghukumi hamba hanya karena kekufuran yang ia ridhai
dalam hatinya.
Dipaksa itu ada dua macam
Dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah (22: 182) disebutkan bahwa pemaksaan itu ada dua macam.
Pemaksaan pertama disebut ikrahan tamman, yaitu pemaksaan sempurna, artinya benar-benar
menghadapi bahaya besar. Seperti dipaksa dengan dibunuh, dipotong, dipukul yang dapat
membahayakan jiwa atau anggota badan, baik dengan sedikit atau banyak pukulan.
Pemaksaan kedua disebut ikrahan naqishan, yaitu pemaksaan yang tidak sempurna, artinya tidak
benar-benar mengancam jiwa. Seperti dipenjara, dirantai, atau pukulan yang tidak sampai
membahayakan jiwa atau anggota badan.
Para ulama menyatakan bahwa yang disebut pemaksaan yang boleh melakukan perbuatan
kekufuran atau mengucapkan kata kufur adalah pemaksaan pertama, yaitu pemaksaan sempurna
(ikrahan tamman). Namun syarat disebut ikrahan tamman adalah:
1. Ancaman yang diberikan benar-benar berdampak bahaya pada jiwa atau anggota
badan.
2. Yang memaksa benar-benar mampu diwujudkan ancamannya.
3. Yang dipaksa benar-benar tidak mampu untuk menolak ancaman pada dirinya, baik
dengan melarikan diri atau meminta pertolongan pada yang lain.
4. Yang dipaksa punya sangkaan kuat bahwa ancaman tersebut benar-benar bisa
diwujudkan oleh yang memaksa.
Memilih mati
Bolehkah bagi yang diancam memilih untuk bersabar dan terus terkena bahaya dan terus disakiti,
andai juga ia terbunuh ketika itu?
Iya, boleh memilih seperti itu. Bilal bin Rabbah radhiyallahu ‘anhu dan lainnya pernah memilih
seperti itu.
Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan, seseorang boleh memilih untuk mati ketika diancam
untuk mengatakan kalimat kufur. Seperti yang dipilih oleh Bilal. Ia enggan mengucapkan
kalimat kufur. Sampai-sampai orang kafir meletakkan batu yang besar di dadanya dalam keadaan
panas. Mereka terus memaksa Bilal untuk berbuat syirik pada Allah, namun Bilal enggan
menuruti keinginan mereka. Bilal tetap mengatakan, “Ahad, Ahad (artinya: Esa, Esa).” Bilal
mengatakan, “Demi Allah, seandainya aku tahu suatu kalimat yang akan membuat kalian lebih
marah dari kalimat itu, tentu aku akan mengucapkannya.” Semoga Allah meridhai Bilal.” (Tafsir
Al-Qur’an Al-‘Azhim, 4: 715)
Sumber https://rumaysho.com/25032-hadits-arbain-39-tidak-sengaja-lupa-dipaksa-berarti-tidak-
terkena-dosa.html