Anda di halaman 1dari 28

BAB IV

KREDIT MACET DAN STATUS PENARIKAN SEPEDA MOTOR DI


WOM FINANCE BREBES

Memiliki kendaraan sendiri tentu akan lebih memudahkan dalam


menjalankan berbagai urusan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam memenuhi
kewajiban ke kampus sebagai mahasiswa maupun bekerja sebagai karyawan suatu
perusahaan. Membeli kendaraan secara kredit melalui perantara perusahaan
leasing, tentu harus sudah siap dengan segala konsekuensinya. Membeli secara
kredit melalui leasing memang mengharuskan membayar angsuran dan cicilan
setiap bulannya. Dalam melakukan pembayaran angsuran ini tidak sedikit kasus
dari para kreditur yang melakukan keterlambatan dalam pembayarannya. Saat
kreditur ini terlambat melakukan pembayaran maka harus menanggung risikonya.
Dari resiko denda hingga penarikan kembali kendaraan bisa menjadi ancaman
ketika terlambat membayar angsuran. Salah satu ancaman terbesar dari terlambat
membayar adalah ditariknya kembali kendaraan oleh pihak leasing melalui
perantaranya, yaitu para tukang penagih hutang (debt collector). Para debt
collector ini memang sering dikenal mengambil paksa kendaraan yang mengalami
kredit macet dalam waktu yang lama. Tentu saat terjadi hal ini kreditur akan
sangat dirugikan. Karena selain kehilangan kendaraan, angsuran yang telah
dibayarkan dalam bulan-bulan sebelumnya juga tidak akan bisa diambil lagi.
Pihak leasing sendiri dalam melakukan hal tersebut tentunya dengan beberapa
prosedur yang berlaku dalam perusahaan dan undang-undang yang berlaku. Untuk
menghindari dari tindakan pidana dan tindakan yang bertentangan dengan
undang-undang, karena banyak hukum yang mengatur tentang perkreditan dan
penarikan sepeda motor. Diantaranya hukum Islam dan hukum Jaminan.

A. Perspektif Hukum Islam dan Hukum Jaminan Tehadap Kredit Macet


1. Kredit Perspektif Ulama
Jual beli kredit berasal dari 2 kata yaitu jual beli dan kredit. Jual beli
dalam pengertian istilah adalah pertukaran harta dengan harta untuk tujuan
memiliki dengan ucapan ataupun perbuatan. Jual beli menurut pandangan
Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma, dan qiyas adalah boleh.
Allah berfirman:

ُ‫َح َّل اللَّه‬


َ ‫َوأ‬
‫الَْبْي َع‬

“Allah menghalalkan jual beli”. (Al-Baqarah:275).1


Semua ulama telah sepakat tentang masalah diperbolehkannya
melakukan jual beli tersebut. Dalam jual beli terdapat beberapa syarat yang
mempengaruhi sah tidaknya akad tersebut:
a. Saling ridha.
b. Orang yang melakukan akad adalah orang yang merdeka.
c. Ada hak milik penuh.2
Di dalam ilmu fikih, akad jual beli ini lebih familiar dengan istilah jual

beli taqsith (‫)الت ْقسيـْط‬


َ . Secara bahasa, taqsith itu sendiri berarti membagi atau
menjadikan sesuatu beberapa bagian. Meskipun sistem ini adalah sistem
klasik, namun terbukti hingga kini masih menjadi trik yang sangat jitu untuk
menjaring pasar, bahkan sistem ini terus-menerus dikembangkan dengan
berbagai modifikasi.3

Dalam Kamus Arab-Indonesia Mahmud Yunus kata Taqsit ‫تقس يط‬

mempunyai arti membayar dengan angsuran.4

Pendapat dari Wahbah Zuhaily mengaitkan antara ta’jil (penundaan


pembayaran hingga waktu tempo tertentu) dan taqsit (pengangsuran
pembayaran tiap waktu tertentu), yang jelas pengertian taqsit secara
terminologi ada satu unsur yang paling mendasar di dalam jual beli kredit,
unsur tersebut yaitu faktor tempo. Maka bisa ditarik kata kuncinya, bahwa
ta’jil adalah menunda pembayaran harga barang sampai waktu kedepan,

QS. Al Baqarah, 2 : 275.


1

Saleh Al-Fauzan, Fiqh Sehari-Hari, (Jakarta: Gema Insani, 2006), hlm. 367.
2

Selanjutnya dituliskan Fauzan, Fiqh Sehari-hari.


3
https://muslim.or.id/20961-tinjauan-syariat-terhadap-jual-beli-kredit.html, diakses pada
tanggal 07 Agustus 2017, Pukul 22.18 WIB.
4
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: YPPP Al-Qur’an, 1990), hlm. 341.
Selanjutnya dituliskan Yunus, Kamus Arab-Indonesia.
baik waktunya sebulan maupun bertahap. Dengan demikian pengertian
taqsit lebih khusus dari pada ta’jil.5

Istilah lain yang sangat dekat dengan bai’ taqsit maupun bai’ ta’jil
adalah bai’ al murabahah, dalam bentuk yang paling sederhana, merujuk
pada salah satu kemungkinan syarat pembayaran dapat dilakukan dengan
uang kontan atau ditangguhkan. Dalam penggunaan istilah term modern,
keduanya yaitu bai’ mu’ajjal dengan murabahah digunakan oleh Dewan
Ideologi Islam Pakistan mengacu pada persiapan dimana bank membeli
barang yang diinginkan, yang tengah mencari pembiayaan ini, dan
menjualnya kepada pelanggan dengan suatu harga yang ditentukan dengan
menghasilkan suatu margin tertentu. Pembayaran dapat dilakukan baik tunai
maupun kredit. Oleh Dr. Sami Hamud istilah ini dikenal dengan sebutan
bai’ al-murabahah lil amr bisy-syira’ (penjualan dengan tingkat margi
keuntungan tertentu kepada orang yang telah memberikan order untuk
membeli), tetapi istilah popular yang lebih dikenal yaitu murabahah.6

Jumhur Ulama 7 Membolehkan praktik jual beli kredit (bai’ bit Taqsith)
tanpa bunga, diantaranya adalah Imam Al-Khathabi dalam Syarh
Mukhtashar Khalil (IV/375), Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam
Majmu’ah Fatawa (XXIX/498-500), Imam Syaukani dalam Nailul Authar
(V/249-250), Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni dengan menukil pendapat
Thawus, Hakam dan Hammad yang membolehkannya (IV/259). Demikian
juga ulama' muta'akhirin, syaikh Yusuf Qardhawi dan Bin Baz
membolehkan praktik jual beli dengan cara kredit. Syekh Abdul Wahhab
Khallaf seperti dimuat dalam majalah Liwa’ul Islam, no. 11 hlm. 122 juga
memandangnya halal. Fatwa Muktamar pertama al-Mashraf al-Islami di
Dubai yang dihadiri oleh 59 ulama internasional, fatwa Direktorat Jenderal
Riset, Dakwah dan Ifta’ serta Komisi Fatwa Kementrian Waqaf dan Urusan

5
Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghalia Indonesia,
2012), hlm. 99-100. Selanjutnya dituliskan Nawawi, Fikih Muamalah klasik dan Kontemporer.
6
M Umer Chapra, Sistem Moneter Islam, Terj. Ikhwan Abidin B, (Jakarta: Gema Insani
Pers, 2000), hlm. 120. Selanjutnya dituliskan Chapra, Sistem Moneter Islam.
7
http://www.konsultasislam.com/2010/10/hukum-jual-beli-secara-kredit.html?m=0,
diunduh pada tanggal 06 Mei 2017, Jam 08.25 WIB.
Agama Islam Kuwait semua sepakat bahwa tidak ada larangan bagi penjual
menentukan harga secara kredit lebih tinggi dari pada ketentuan harga
kontan. Penjual boleh saja mengambil keuntungan dari penjualan secara
kredit dengan ketentuan dan perhitungan yang jelas. (Majalah asy-Syari’ah
Kuwait, Rajab 1414, hlm. 264, Majalah al-Iqtishad al-Islami, I/3 th 1402,
hlm. 35, Majalah al-Buhuts al-Islamiyah, no. 6 Rabi’ Tsani, 1403H, hlm.
270).

Dalil-dalil yang digunakan oleh pendapat ini diantaranya adalah:

a) Dalil-dalil yang memperbolehkan jual beli dengan pembayaran tertunda.


1) Firman Allah SWT:
ِ ِ ِ ِ َّ
َ ‫ين ءَ َامنُ وا إذَا تَ َدايَنتُ ْم ب َديْ ٍن إىَل أ‬
‫َج ٍل ُّم َس ًّمى‬ َ ‫يَآأَيُّ َه ا الذ‬

ُ‫فَا ْكتُبُوه‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menulisnya.” (QS. Al-Baqarah : 282).
Ibnu Abbas ra. menjelaskan: “Ayat ini diturunkan berkaitan
dengan jual beli As Salam 8 saja.”
Imam Al Qurthubi menerangkan:“Artinya, kebiasaan masyarakat
Madinah melakukan jual beli salam adalah penyebab turunnya ayat
ini, namun kemudian ayat ini berlaku untuk segala bentuk pinjam-
meminjam berdasarkan ijma’ ulama’.” 9
2) Dari Aisyah berkata:

ٍّ ‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه وس لَّ َم اِ ْش َتَرى ِم ْن َي ُه ْو ِد‬


‫ي طَ َعام اً إِىَل‬ ِ َّ ‫َع ْن َعا ئِ َشةَ َر ِضي اللَّهُ َعْن َها أ‬
َ ‫َن َر ُس ْو َل اللَّه‬ َ
[. ٢٠٦٨ :‫ ] أخرجه البخاري‬.‫ َو َر َهنَهُ ِد ْر ًعا لَهُ ِم ْن َح ِديْ ٍد‬، ‫َج ٍل‬
َ‫أ‬

8
Jual beli salam adalah kebalikan kredit yaitu uang dibayar dimuka kontan sedangkan
barang diberikan secara tertunda.
9
Muhammad Ibrahim dan Mahmud Hamid Utsman, Tafsir Al Qurthubi, Jilid 3 (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2007), hlm. 243. Selanjutnya dituliskan Ibrahim dan Utsman, Tafsir Al Qurthubi.
“Sesungguhnya Rasulullah membeli makanan dari seorang yahudi
dengan pembayaran tertunda. Beliau memberikan baju besi beliau
kepada orang tersebut sebagai gadai.” (Muttafaqun ‘alaih).
Hadits ini dengan tegas menyebutkan bahwa Rasulullah SAW
mendapatkan barang kontan namun pembayarannya tertunda.
b) Dalil-dalil yang menunjukkan dibolehkannya memberikan tambahan
harga karena penundaan pembayaran atau karena penyicilan.
1) Firman Allah Ta’ala:
ِ ‫ي ا أَيُّه ا الَّ ِذين آمنُوا اَل تَأْ ُكلُوا أَم والَ ُكم بينَ ُكم بِالْب‬
ٍ ‫اط ِل إِاَّل أَ ْن تَ ُك و َن جِت َ َارةً َع ْن َت َر‬
‫اض‬ َ ْ َْ ْ َ ْ َ َ َ َ
‫ِمْن ُك ْم‬

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan


harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.”
(QS. An Nisa’ : 29)
Keumuman ayat ini mencakup jual beli kontan dan kredit, maka
selagi jual beli kredit dilakukan dengan suka sama suka maka masuk
dalam apa yang diperbolehkan dalam ayat ini.

2) Dari Ibnu Abbas berkata: “Rasulullah SAW datang ke kota Madinah,


dan saat itu penduduk Madinah melakukan jual beli buah-buahan
dengan cara salam dalam jangka satu atau dua tahun, maka beliau
bersabda:
‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم الْ َم ِدينَ ةَ َو ُه ْم يُ ْس لِ ُفو َن بِالت َّْم ِر‬ ِ ِ ٍ َّ‫ع ِن اب ِن عب‬
َ ُّ ‫اس َرض ي اللَّه َعْن ه قَ َال قَد َم النَّيِب‬ َ ْ َ
ٍ ُ‫وم إِىَل أَج ٍل معل‬
ٍ ُ‫وم ووز ٍن معل‬
ٍ ِ ٍ
‫وم‬ َْ َ ْ َ ْ َ َ ُ‫ف يِف َش ْيء فَفي َكْي ٍل َم ْعل‬
َ َ‫َسل‬ َ َ‫السنََتنْي ِ َوالثَّال‬
ْ ‫ث َف َق َال َم ْن أ‬ َّ
” Barangsiapa menghutangkan dalam sesuatu, hendaklah dengan
takaran yang jelas dan timbangan yang jelas sampai waktu yang
jelas.” (HR Bukhari, Kitab al-Salam)
Pengambilan dalil dari hadits ini, bahwa Rasulullah SAW
membolehkan jual beli salam asalkan takaran dan timbangan serta
waktu pembayarannya jelas, padahal biasanya dalam jual beli salam
uang untuk membeli itu lebih sedikit dari pada kalau beli langsung
ada barangnya. Maka begitu pula dengan jual beli kredit yang
merupakan kebalikannya yaitu barang dahulu dan uang belakangan
meskipun lebih banyak dari harga kontan.
c) Dalil Ijma’
Dibolehkannya jual beli dengan kredit dengan perbedaan harga
adalah kesepakatan jumhur ulama’ dan kaum muslimin.10
Fiqh Hanafiyah, harga bisa dinaikkan karena penundaan waktu.
Penjualan kontan dengan kredit tidak bisa disamakan. Karena yang ada
pada saat ini lebih bernilai dari pada yang belum ada. (Lihat Badai’ush
Shana’I 5 / 187). Fiqh Malikiyah, berkata Imam Syathibi: “Penundaan
salah satu alat tukar bisa menyebabkan pertambahan harga.” (Lihat Al
Muwafaqat 4 / 41). Imam Zarqani menegaskan: “Karena perputaran
waktu memang memiliki bagian nilai, sedikit atau banyak, tentu berbeda
pula nilainya. (Lihat Hasyiyah Az Zarqani 3 / 165). Fiqh Syafi’iyah,
Imam Syirazi berkata: “Kalau seseorang membeli sesuatu dengan
pembayaran tertunda, tidak perlu diberitahu harga kontannya, karena
penundaan pembayaran memang memiliki nilai tersendiri.” (Lihat Al
Majmu An Nawawi 13 / 16). Fiqh Hanbali, Ibnu Taimiyah berkata:
“Putaran waktu memang memiliki jatah harga.” (Majmu’ Fatawa 19 /
449)
d) Dalil qiyas
Bahwasannya jual beli kredit ini dikiaskan dengan jual beli salam
yang dengan tegas diperbolehkan Rasulullah SAW, karena ada
persamaan, yaitu sama-sama tertunda. Hanya saja jual beli salam
barangnya yang tertunda, sedangkan kredit uangnya yang tertunda. Juga
dalam jual beli salam tidak sama dengan harga kontan seperti kredit
juga hanya bedanya salam lebih murah sedangkan kredit lebih mahal.
e) Dalil Maslahat
Jual beli kedit ini mengandung maslahat baik bagi penjual maupun
bagi pembeli. Karena pembeli bisa mengambil keuntungan dengan
ringannya pembayaran karena bisa diangsur dalam jangka waktu
10
Lihat Ahkamul Fiqh oleh Syaikh Abduloh Al Jarulloh hlm. 57-58 dan  Majmu’ Fatawa
29/499.
tertentu dan penjual bisa mengambil keuntungan dengan naiknya harga,
dan ini tidak bertentangan dengan tujuan syariat yang memang
didasarkan pada kemaslahatan ummat. Berkata Syaikh Bin Baz:
“Karena seorang pedagang yang menjual barangnya secara berjangka
pembayarannya setuju dengan cara tersebut sebab ia akan mendapatkan
tambahan harga dengan penundaan tersebut.
Sementara pembeli senang karena pembayarannya diperlambat dan
karena ia tidak mampu mambayar kontan, sehingga keduanya
mendapatkan keuntungan.”
2. Hukum Hutang Piutang (Kredit Macet) Dalam Islam 11
Karena kredit termasuk dalam hutang piutang, maka hukum kredit sama
dengan hukum hutang piutang. Hukum hutang piutang dalam Islam adalah
mubāḥ (boleh). Allah SWT berfirman:
‫ط َوإِلَْي ِه ُتْر َجعُو َن‬ ِ ْ ‫اع َفه لَه أ‬ ِ ‫مْن َذاالَّ ِذيي ْق ِرضاللَّه َقرضاحسنًا َفي‬
ُ ِ‫َض َعافًا َكث َريةً َواللَّهُ ََي ْقب‬
ُ ‫ض َو َيْب ُس‬ ُ ُ ‫ض‬
َُ ََ ً ْ َ ُ ُ َ
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik
(menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat
gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan
Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu
dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah/2 : 245)
Islam menangani masalah hutang piutang atau kredit terdapat beberapa cara
dan prosedurnya:
a. Syarat Hutang Piutang Dalam Islam
1) Harta yang dihutangkan adalah jelas dan murni halal.
2) Pemberi hutang tidak mengungkit-ungkit masalah hutang dan tidak
menyakiti pihak yang piutang (yang meminjam)
3) Pihak yang piutang (peminjam) niatnya adalah untuk mendapat ridho
Allah dengan mempergunakan yang dihutang secara benar
4) Harta yang dihutangkan tidak akan memberi kelebihan atau
keuntungan pada pihak yang mempiutangkan
b. Adab Hutang Piutang dalam Islam

11
http://www.ariepinoci.web.id/2012/07/hukum-dan-syarat-utang-piutang-dalam.html,
diakses pada tanggal 06 Mei 2017, Pukul 08.50 WIB.
1) Ada perjanjian tertulis dan saksi yang dapat dipercaya
2) Pihak pemberi hutang tidak mendapat keuntungan apapun dari apa
yang dipiutangkan.
3) Pihak piutang sadar akan hutangnya, harus melunasi dengan cara yang
baik (dengan harta atau benda yang sama halalnya) dan berniat untuk
segera melunasi.
4) Sebaiknya berhutang pada orang yang shaleh dan memiliki
penghasilan yang halal.
5) Berhutang hanya dalam keadaan terdesak atau darurat.
6) Hutang piutang tidak disertai dengan jual beli.
7) Memberitahukan kepada pihak pemberi hutang jika akan terlambat
untuk melunasi hutang.
8) Pihak piutang menggunakan harta yang dihutang dengan sebaik
mungkin.
9) Pihak piutang sadar akan hutangnya dan berniat untuk segera
melunasi.
c. Bahaya Sikap Hutang Piutang
Hutang merupakan sesuatu yang sensitif diantara hubungan sesama
manusia. Meski Islam memperbolehkan untuk berhutang, itupun dengan
syarat seperti yang sudah disebutkan di atas. Terutama, berhutang
dianjurkan hanya pada keadaan yang benar-benar sangat terdesak saja.
Kebiasaan berhutang, meski tidak dalam keadaan darurat, justru akan
memberikan dampak buruk terutama jika hutang tersebut tidak sempat
untuk dilunasi karena yang berhutang lebih dulu meninggal dunia.
Berikut bahayanya berhutang:
1) Menyebabkan Stres
Tidak salah lagi jika seseorang yang berhutang sering kali
mengalami stres memikirkan hutangnya. Kesulitan untuk tidur,
pikiran tidak fokus, bahkan sampai tidak nafsu makan. Hutang
merupakan sesuatu yang menyebabkan seseorang mudah merasa sedih
di malam hari karena memikirkan cara untuk melunasinya, sedangkan
pada siang harinya akan merasa kehinaan karena merasa dipandang
rendah oleh orang lain akan hutangnya. Dalam kondisi psikis yang
tertekan, ditambah fisik yang ikut lemas, tingkat stres pun akan
semakin tinggi. Bagi mereka yang senantiasa menyerahkan segala
urusan kepada Allah SWT, insya Allah bisa melalui semuanya dengan
ikhlas. Sedangkan mereka yang berpikiran sempit, tak jarang memilih
jalan pintas, misalnya bunuh diri, karena tidak sanggup lagi
memikirkan bagaimana caranya untuk membayar hutang tersebut
(terutama sekali jika hutang itu sudah jadi kebiasaan yang akhirnya
akan menumpuk dan semakin sulit untuk menemukan cara
melunasinya).
2) Merusak Akhlak
Kebiasaan berhutang justru dapat merusak akhlak seseorang karena
berhutang bukan termasuk dalam hobi yang baik, layaknya kebiasaan
berbohong. Nabi Muhammad SAW bersabda:

ِ َّ ‫إِ َّن‬
‫ب‬
َ ‫َّث فَ َك َذ‬ َ ‫الر ُج َل إ َذا َغ ِر َم‬
َ ‫ح د‬،

‫ف‬
َ َ‫َخل‬
ْ ‫َو َو َع َدفَأ‬

“Sesungguhnya seseorang apabila berhutang, maka dia sering


berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” (H. R. Al-
Bukhari)

Seseorang yang terlilit hutang sangat mudah untuk dipengaruhi


oleh iblis agar mengerjakan maksiat demi bisa melunasi hutangnya,
dengan berbagai cara termasuk mencuri atau merampok.

3) Dihukum Layaknya Seorang Pencuri

Rasulullah SAW bersabda:

ِ ِ
َ‫أَمُّيَ َار ُج ٍل تَ َديَّ َن َد ْينً َاو ُه َوجُمْم ٌع أَ ْن الَيُ َو ِّفيَ هُ إِيَّاهُ لَق َي اللّ‍ه‬
‫َسا ِرقًا‬
“Siapa saja yang berhutang lalu berniat tidak mau melunasinya,
maka dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) dalam status
sebagai pencuri.” (H. R. Ibnu Majah).

4) Jenazahnya Tidak Dishalatkan

Sebagaimana yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW. Beliau


pernah tidak mau menshalatkan jenazah seseorang yang rupanya
masih memiliki hutang namun belum terbayar dan tidak ada
meninggalkan sepeserpun harta untuk melunasinya. Sampai kemudian
ada salah seorang sahabat yang bersedia menanggungkan hutangnya,
baru Rasulullah SAW mau menshalatkan jenazah tersebut.

5) Dosanya Tidak Terampuni Sekalipun Mati Syahid

Nabi Muhammad SAW bersabda:

ٍ ْ‫ِهْي ِد ُك ُّل ذَن‬


‫ب‬ ‫يُ ْغ َف ُرلِ َّش‬

‫إالَّالدَّيْ َن‬

“Semua dosa orang yang mati syahid Akan diampuni (oleh Allah),
kecuali hutangnya.” (H. R. Muslim)

6) Tertunda Masuk Surga

Dari Tsauban, Nabi Muhammad SAW bersabda:

ِ ِِ ٍ ِ
َ ‫ َوالْغُلُ ْول‬، ‫ اَلْكرْب‬: ‫الر ْو ُح اجْلَ َس َد َو ُه َوبَِر ْيءٌم ْن ثَالَث‬
‫والدَّيْ ِن َد َخ َل‬، ُّ ‫َم ْن فَ َار َق‬

َ‫اجْلَنَّة‬

“Barangsiapa yang rohnya berpisah dari jasadnya (baca: meninggal


dunia) dalam keadaan terbebas dari tiga hal, niscaya ia akan masuk
surga, yaitu: bebas dari sombong, bebas dari khianat, dan bebas dari
tanggungan hutang.”

7) Pahala adalah Ganti Hutangnya

Dari Ibnu ‘Umar, Nabi Muhammad SAW bersabda:

ِِ ِ ِ ِ ِ
َّ‫س مَث‬
َ ‫ٌارأ َْود ْر َه ٌم قُض َي م ْن َح َس نَاته لَْي‬ َ‫ات َو َعلَْي ِه د ْين‬
َ ‫َم ْن َم‬
‫ِد ْينَ ٌار َوالَ ِد ْر َه ٌم‬

“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu


dinar atau satu dirham, maka hutang tersebut akan dilunasi dengan
kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak
ada lagi dinar dan dirham.” (H. R. Ibnu Majah).

Artinya, jika seseorang yang berhutang tidak sempat melunasinya


karena meninggal dunia, maka diakhirat nanti pahalanya akan diambil
untuk melunasi hutangnya tersebut.

8) Urusannya Masih Menggantung

Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad SAW bersabda:

ِِ ِ
َ ‫س الْ ُم ْؤم ِن ُم َعلَّ َقةٌبِ َديْن ه َحىَّت يُ ْق‬
‫ضى‬ ُ ‫َن ْف‬

ُ‫َعْنه‬

“Jiwa seorang mukmin masih bergantung dengan hutangnya hingga


dia melunasinya.” (H. R. Tirmidzi)

Berhutang memang diperbolehkan, namun menghindarinya adalah


lebih baik. Setiap rezeki sudah diatur oleh Allah SWT. Hanya tinggal
bagaimana kita menjemput rezeki tersebut, terutama agar
mendapatkannya dengan cara yang halal. Jangan mudah tergiur
dengan kemewahan sesaat, perbanyaklah berdzikir dan berdoa kepada
Allah SWT agar diberikan rezeki yang halal dan berkah. Jika memang
terpaksa untuk berhutang, maka itu lebih baik dilakukan dari pada
berbuat maksiat semacam mencuri. Tapi harus diingat, tujuan
berhutang adalah murni untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya dengan
cara yang baik pula. Serta, di dalam hati sudah berniat untuk sesegera
mungkin melunasi hutang tersebut agar tidak menjadi penghalang di
akhirat nanti.

2) Prinsip Hutang

Sesungguhnya, hutang dalam ajaran Islam merupakan sesuatu yang


biasa terjadi dalam kehidupan. Hutang telah menjadi bagian dari
sunnatullah sehingga Allah SWT pun mengizinkan adanya hutang ini.
Dalam QS Albaqarah : 282 misalnya, disebutkan di awal ayat bahwa jika
seorang yang beriman ingin berhutang kepada pihak lain dalam jangka
waktu tertentu, hendaknya ia mencatatnya. Ini menunjukkan bahwa
hutang merupakan sesuatu yang diperbolehkan selama memenuhi
sejumlah prinsip dan etika pokok. Jika etika dan prinsip pokok ini
dilanggar, itu akan menimbulkan kemudharatan yang sangat besar.
Adapun prinsip utang piutang adalah:

1) Pemanfaatan hutang untuk kemaslahatan.

Hutang harus benar-benar dimanfaatkan untuk kemaslahatan.


Untuk meningkatkan perekonomian, pendidikan dan pemberdayaan
(produktif), hutang diarahkan untuk peningkatan produktifitas tidak
konsumtif dan eksploitatif.

2) Hutang-piutang sebagai bentuk tolong-meolong antar sesama.

Bahwa anjuran tolong menolong dalam kebajikan dan ketakwaan,


adalah merupakan sendi tata sosial, di mana al-Qur’an mewajibkan
kepada manusia untuk saling tolong menolong atas setiap usaha yang
bermanfaat bagi manusia baik secara individual atau komunal,
bermanfaat untuk urusan agama atau urusan dunia sekaligus bahu-
membahu menolak segala hal yang dapat merusak dan membahayakan
bagi kehidupan bersama.12

Bagian dari bentuk kerjasama dan tolong menolong adalah


meringankan beban orang lain, baik antar pribadi, antar golongan,
dengan memberikan bantuan pinjaman sesuai kebutuhan, Allah
menegaskan dalam QS. Al-Māidah ayat 2:

ُ ‫الت ْق َوى َوال َت َع َاونُوا َعلَى اإلمْثِ َوالْعُ ْد َو ِان َو َّات ُق وا اللَّهَ إِ َّن اللَّهَ َش ِد‬
‫يد‬ َّ ‫َوَت َع َاونُوا َعلَى الْرِب ِّ َو‬

ِ ‫الْعِ َق‬
‫اب‬

“dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan


takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran, dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya
Allah amat berat siksanya.”
Penafsiran Ayat:
Kalimat Ta’āwanū dalam ayat tersebut adalah tolong-menolong.
Maksudnya diperintahkan hidup bertolong-tolongan, dalam membina
Al-Birru, yaitu segala ragam maksud yang baik dan berfaedah yang
didasarkan kepada menegakkan takwa yaitu mempererat hubungan
dengan Tuhan.13
3) Tidak saling merugikan antar debitur dan kreditur.
Hutang-piutang dimaksudkan untuk kebaikan dan kemaslahatan
kedua belah pihak debitur dan kreditur. Prinsip yang ditekankan
adalah bahwa hutang-piutang tidak boleh merugikan debitur dan
kreditur. Allah menganjurkan hutang-piutang secara baik, untuk
menghilangkan kesulitan dan penderitaan sementara orang. Praktek

12
Abdul Rahman Ghazali, dkk, Fiqih muamalat, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2010), hlm. 253. Selanjutnya dituliskan Rahman Ghazali, Fiqih muamalat.
13
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD, 2003), jilid 3, hlm.
1601. Selanjutnya dituliskan Hamka, Tafsir Al-Azhar.
hutang-piutang merupakan perbuatan kemanusiaan yang timbul dari
rasa kasih sayang yang dianjurkan agama.
Tujuan yang mulia ini bisa berbuah sebaliknya menjadi pemicu
perselisihan dan permusuhan, karena ada sebagian manusia yang tidak
jujur, tidak mengerti kebaikan orang lain bahkan mengingkari
janjinya. Karena itulah al-Qur’an menggariskan ketentuan yang harus
dihormati dan dilaksanakan oleh kedua belah pihak yang mengadakan
perjanjian hutang piutang. Menghormati perjanjian dan kepercayaan
adalah suatu kewajiban Islami, karena mengandung pengaruh positif
dan faktor yang penting untuk menjaga kedamaian, agar tidak terjadi
kerugian pada kedua belah pihak, memecahkan kesulitan,
menghilangkan perselisihan dan mengharmonisasikan hubungan antar
manusia. Seperti yang telah ditegaskan dalam QS. An-Nahl : 94
ۖ ‫ص َد ْدمُتْ َع ْن َس بِ ِيل اللَّ ِه‬ ‫َّخ ُذوا أَمْيَانَ ُكم دخاًل بينَ ُكم َفتَ ِز َّل قَ َدم بع َد ثُبوهِتَا وتَ ُذوقُوا ُّ مِب‬
ِ ‫واَل َتت‬
َ ‫السوءَ َا‬ َ ُ َْ ٌ ْ َْ َ َ ْ َ
‫يم‬ ِ
ٌ ‫اب َعظ‬
ٌ ‫َولَ ُك ْم َع َذ‬
“Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat
penipu di antaramu, yang menyebabkan tergelincir kaki (mu) sesudah
kokoh tegaknya, dan kamu rasakan kemelaratan (di dunia) karena
kamu menghalangi (manusia) dari jalan Allah; dan bagimu azab yang
besar.”
Penafsiran ayat:
Demikianlah kita melihat bahwa Al-Qur’an meletakkan dasar-
dasar janji dan perjanjian yang adil dan menempatkan kesetiaan
memenuhiny sebagai perbuatan yang baik yang dapat membawa insan
kepada derajat yang luhur dalam kehidupan dunia, serta
menjadikannya berbahagia di akhirat.14
Disamping itu, Allah menganjurkan memenuhi perjanjian, baik
perjanjian antara manusia dengan Tuhannya maupun perjanjian antar
manusia dengan sesamannya. Allah berfirman dalam QS.Al- Māidah:
1
14
Mahmud Syaltut, Tafsir Al-Quranul Karim, (Bandung: CV.Diponegoro, 1989), hlm.
174, Selanjutnya dituliskan Syaltut, Tafsir Al-Quranul Karim.
ِ َّ
َ ‫يَا أَيُّ َها الذ‬
‫ين َآمنُوا أ َْوفُوا‬
ِ ‫ۚ بِالْع ُق‬
‫ود‬ ُ
“hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad (perjanjian-
perjanjian) itu……”
Penafsiran ayat:
Al-Alusi menyalinkan didalam tafsirnya Ruhur Ma’ani sebagai
kesimpulan bahwa ‘uqud ini dapat disimpulkan kepada tiga pokok:
1) ‘Aqad diantara seorang hamba dengan Allah. Artinya manusia
mengikat janji dengan Allah bahwa dia akan tunduk kepada
perintah Allah.
2) ‘Aqad janji antara seorang hamba Allah dengan dirinya sendiri.
Artinya bahwa dia berjanji akan berbuat baik dan menghentikan
perbuatan yang buruk.
3) ‘Aqad janji diantara seseorang dengan sesamanya. Artinya
seseorang berusaha agar menjadi anggota masyarakat yang
memberi faedah kepada sesama manusia.
Zaid din Aslam mengemukakan bahwa bukanlah janji
dengan Allah saja yang wajib dipenuhi oleh seorang mu’min
melainkan mu’min wajib memenuhi janjinya dengan sesama
muslim.15
3. Hukum Jaminan Tentang Kredit Macet
Pada dasarnya, kreditur pemegang jaminan kebendaan memiliki hak
untuk mengeksekusi barang jaminan untuk dijual secara lelang guna
pembayaran hutang debitur jika debitur lalai melaksanakan kewajibannya
berdasarkan perjanjian kredit atau biasa disebut dengan wanprestasi.
Pemberian hak kepada kreditur untuk mengeksekusi jaminan kebendaan
yang diberikan oleh debitur dapat dilihat dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (“KUHPer”) serta beberapa peraturan perundang-undangan
berikut ini:

15
Hamka, Tafsir Al-Azhar, jilid 3, hlm. 1592.
a. Pasal 1155 KUHPer: Kreditur sebagai penerima benda gadai berhak
untuk menjual barang gadai, setelah lewatnya jangka waktu yang
ditentukan, atau setelah dilakukannya peringatan untuk pemenuhan
perjanjian dalam hal tidak ada ketentuan jangka waktu yang pasti.
b. Pasal 15 ayat (3) jo. Pasal 29 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia (“UU Jaminan Fidusia”): yang memberikan hak
kepada kreditur untuk mengeksekusi benda jaminan fidusia jika debitur
cidera janji (wanprestasi).
c. Pasal 6 jo. Pasal 20 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan
Tanah: yang memberikan hak kepada kreditur untuk mengeksekusi benda
jaminan fidusia jika debitur cidera janji (wanprestasi).

Mengenai apa yang dimaksud dengan wanprestasi sendiri, dapat dilihat


pada Penjelasan Pasal 21 UU Jaminan Fidusia, yaitu yang dimaksud dengan
"cidera janji" (wanprestasi) adalah tidak memenuhi prestasi, baik yang
berdasarkan perjanjian pokok, perjanjian Jaminan Fidusia, maupun
perjanjian jaminan lainnya.

Mengenai apa itu prestasi, berdasarkan Pasal 1234 KUHPer, ada 3


macam bentuk prestasi, yaitu:

1) Untuk memberikan sesuatu


2) Untuk berbuat sesuatu dan
3) Untuk tidak berbuat sesuatu.

Melihat pada bentuk-bentuk prestasi pada Pasal 1234 KUHPer serta


pendapat J. Satrio dalam bukunya yang berjudul Hukum Perikatan (hal.
122), dapat kita lihat bahwa wujud wanprestasi bisa berupa:

a) Debitur sama sekali tidak berprestasi


b) Debitur keliru berprestasi
c) Debitur terlambat berprestasi.

Apabila kredit macet tersebut terjadi karena debitur tidak melaksanakan


prestasinya sebagaimana terdapat dalam perjanjian kredit, maka sebelum
melakukan eksekusi barang jaminan, debitur harus terlebih dahulu
dinyatakan wanprestasi, yang dilakukan melalui putusan pengadilan. Untuk
itu kreditur harus menggugat debitur atas dasar wanprestasi. Akan tetapi
sebelum menggugat debitur, kreditur harus melakukan somasi terlebih
dahulu yang isinya agar debitur memenuhi prestasinya. Apabila debitur
tidak juga memenuhi prestasinya, maka kreditur dapat menggugat debitur
atas dasar wanpretasi, dengan mana apabila pengadilan memutuskan bahwa
debitur telah wanprestasi, maka kreditur dapat melakukan eksekusi atas
barang jaminan yang diberikan oleh debitur. Jadi, dapat atau tidaknya
barang jaminan dieksekusi tidak hanya bergantung pada apakah jangka
waktu pembayaran kredit telah lewat atau tidak. Akan tetapi, apabila debitur
melakukan prestasi yang tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, itu juga
merupakan bentuk wanprestasi (keliru berprestasi atau melakukan tidak
sebagaimana yang diperjanjikan) dan dapat membuat kreditur berhak untuk
melaksanakan haknya mengeksekusi barang jaminan.

Namun, biasanya sebelum membawa perkara kredit yang bermasalah ke


jalur hukum, dilakukan upaya-upaya secara administrasi terlebih dahulu.
Drs. Muhamad Djumhana, S.H., dalam bukunya yang berjudul Hukum
Perbankan di Indonesia (hal. 553-573), sebagaimana kami sarikan,
mengatakan bahwa mengenai kredit bermasalah dapat dilakukan
penyelesaian secara administrasi perkreditan, dan terhadap kredit yang
sudah pada tahap kualitas macet maka penanganannya lebih ditekankan
melalui beberapa upaya yang lebih bersifat pemakaian kelembagaan
hukum (penyelesaian melalui jalur hukum).

Menurut Djumhana, penyelesaian secara administrasi perkreditan antara


lain sebagai berikut:

1) Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan syarat kredit yang


menyangkut jadwal pembayaran dan atau jangka waktu termasuk masa
tenggang, baik meliputi perubahan besarnya angsuran maupun tidak
2) Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau
seluruh syarat-syarat kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadwal
pembayaran, jangka waktu, dan atau persyaratan lainnya sepanjang tidak
menyangkut perubahan maksimum saldo kredit dan konversi seluruh atau
sebagian dari pinjaman menjadi penyertaan bank
3) Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan syarat-syarat kredit
berupa penambahan dana bank dan/atau konversi seluruh atau sebagian
tunggakan bunga menjadi pokok kredit baru, dan/atau konversi seluruh
atau sebagian dari kredit menjadi penyertaan dalam perusahaan.

Sedangkan, penyelesaian melalui jalur hukum antara lain:

a) Melalui Panitia Urusan Piutang Negara


b) Melalui badan peradilan
c) Melalui arbitrase atau Badan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Oleh karena itu, memang barang jaminan dapat dilelang sebelum lewat
jangka waktu pembayaran kredit dalam hal debitur melakukan tindakan
wanprestasi lainnya. Meski demikian, ada baiknya ditempuh upaya-upaya
secara administrasi terlebih dahulu untuk menyelesaikan kredit yang
bermasalah sebelum melakukan gugatan ke pengadilan dan mengeksekusi
barang jaminan.

B. Analisis Hukum Islam dan Hukum Jaminan Terhadap Status Penarikan


Sepeda Motor 16
1. Kecurangan Dalam Penarikan sepeda Motor
Sesuai dengan yang terjadi dikalangan masyarakat pada umumnya,
oknum pihak leasing yang disebut dengan debt collector adalah orang yang
menangani dan mengambil kendaraan sepeda motor kredit milik leasing
yang bemasalah. Dalam menjalankan tugasnya para oknum debt collector
tidak segan-segan untuk mengambil paksa dan merampas sepeda motor
milik konsumen yang kreditnya bermasalah tersebut. Padahal bukan hak
dari para debt collector untuk mengambilnya. Beberapa konsumen pasti
pernah ada yang mengalami kesulitan ekonomi sehingga tidak mampu
membayar cicilan sepeda motor. Dalam kondisi tersebut hal pertama yang

16
Wawancara dengan Bapak Mujibuda’wah selaku Operation Head WOM Finance
Brebes, pada tanggal 23 Juli 2017, Pukul 13.00 WIB.
terbayang adalah, pasti sepeda motor akan disita. Pada kenyataannya
memang banyak kasus yang berakhir seperti itu. Dalam kondisi gagal bayar
biasanya debt collector akan menyita sepeda motor tersebut. Sebagai warga
yang tidak tahu hukum, pasti akan pasrah saja. Bahkan merasa bahwa itu
memang pantas dilakukan karena tidak membayar cicilan.
Sebagian besar konsumen kendaraan bermotor membeli sepeda motor
dengan cara kredit. Hanya sebagian kecil yang membeli dengan cara cash.
Pembelian dengan cara kredit ini bisa dilakukan melalui perusahaan leasing.
Pembelian dengan cara kredit ini memang menguntungkan banyak pihak.
Konsumen diuntungkan karena bisa memiliki kendaraan dengan dana yang
terbatas. Pihak perusahaan leasing sangat diuntungkan karena memperoleh
profit yang sangat besar dari industri ini. Pihak dealer juga diuntungkan
karena dagangannya laris manis, dan pihak leasing akan memberi bonus
untuk tiap unit yang terjual. Tidak heran saat ini banyak dealer-dealer yang
tidak terima pembayaran secara cash, harus dengan cara kredit. Ini biasanya
terjadi pada dealer sepeda motor.
Jika saling menguntungkan begini seharusnya tidak ada masalah. Tapi
rupanya banyak masalah yang muncul dari usaha ini. Kebanyakan
dikarenakan adanya praktek-praktek curang yang dilakukan oleh oknum
pihak leasing. Saat aplikasi kredit kita telah disetujui oleh pihak leasing,
maka kita diwajibkan untuk membayar DP (uang muka). Aturan terbaru
(2012) untuk kredit sepeda motor DP minimal sebesar 20%. Selanjutnya,
dilakukanlah perjanjian kredit (akad kredit) antara debitur (konsumen) dan
kreditur (perusahaan leasing). Pada tahap inilah kecurangan leasing dimulai.
Bagi masyarakat umum yang tidak jeli sulit melihat kecurangan ini.
Dalam proses akad kredit pihak leasing tidak memberikan draft
perjanjiannya beberapa hari sebelumnya untuk dipelajari. Perjanjian akad
kredit yang berlembar-lembar itu selalu diberi pihak leasing mendadak,
sesaat sebelum konsumen tanda tangan. Dari gejala ini seharusnya
konsumen menyadari bahwa ada sesuatu yang disembunyikan dalam
perjanjian tersebut. Pada kenyataannya isi dari perjanjian itu banyak yang
bersifat sepihak, merugikan konsumen, bahkan melanggar hukum. Inilah
alasannya mengapa leasing tidak menerima pengacara atau polisi sebagai
konsumennya. Perjanjian yang konsumen tanda tangani tersebut disebut
oleh pihak leasing sebagai Perjanjian Fidusia.
“Perjanjian fidusia adalah perjanjian hutang-piutang antara kreditur
dengan debitur yang melibatkan penjaminan yang kedudukannya tetap
dalam penguasaan pemilik jaminan dan dibuatkan Akta Notaris dan
didaftarkan ke kantor pendaftaran fidusia.” Dengan perjanjian fidusia ini
keditur (pihak pemberi kredit) memiliki hak eksekutorial langsung jika
debitur melakukan pelanggaran perjanjian. Sedangkan dalam pelaksanaan
penandatanganan akad kredit pembelian sepeda motor tidak dilakukan
dihadapan notaris. Hanya dengan memberi kata-kata “Dijaminkan Secara
Fidusia” tidak lantas secara otomatis membuatnya menjadi sebuah
perjanjian fidusia. Perjanjian yang konsumen tanda tangani dengan tidak
dihadapan notaris itu disebut “Perjanjian Dibawah Tangan.”
Masih banyak lagi kecurangan-kecurangan lain yang dilakukan oleh
oknum pihak leasing, seperti skema cicilan dan penalti pelunasan yang
sangat merugikan konsumen. Sering kita temui keluhan konsumen yang
sudah melewati setengah masa termin cicilannya namun mendapati
hutangnya hanya berkurang sedikit. Namun kita akan fokus pada
konsekuensi yang harus kita hadapi saat mengalami gagal bayar. Untuk
lebih memahami, mari kita buat ilustrasinya:
Jika konsumen kredit sepeda motor untuk jangka waktu 3 tahun. Lantas
setelah memasuki tahun ketiga tiba-tiba tidak lagi mampu membayar
cicilan. Dalam kondisi tersebut sepeda motor akan disita. Padahal
sebelumnya konsumen sudah membayar uang DP (20-25% dari harga) dan
selama 2 tahun sudah membayar cicilan dengan tertib. Artinya dari sisi
keadilan, hak konsumen terhadap sepeda motor tersebut jauh lebih besar
dibanding hak pihak leasing (DP + cicilan 2 tahun).
Terlepas dari sisi keadilan. Dari segi hukum pun ternyata sama sekali
tidak berhak menyita sepeda motor konsumen itu. Berikut beberapa
alasannya:
a. Sebagaimana sudah dibahas diatas bahwa perjanjian yang konsumen
tanda tangani tersebut sama sekali bukan perjanjian fidusia. Artinya
pihak kreditur tidak memiliki hak eksekutorial atas jaminan (sepeda
motor).
b. Dalam STNK dan BPKB sepeda motor tersebut yang tertera adalah
nama konsumen, bukan nama leasing. Artinya sepeda motor tersebut
secara hukum sah merupakan milik konsumen, bukan milik leasing.
Sedangkan hubungan antara konsumen dengan pihak leasing adalah
hubungan hutang-piutang biasa.
c. Satu-satunya pihak yang berhak melakukan eksekusi di negara ini
adalah pengadilan melalui keputusan eksekusi pengadilan. Artinya
leasing apalagi debt collector sama sekali tidak berhak melakukan
eksekusi dengan alasan apapun. Tentu saja leasing tidak mau
menempuh proses pengadilan karena selain memerlukan biaya juga
butuh waktu yang tidak sebentar, dan keputusan pengadilan pasti
akan memerintahkan untuk dilakukan pelelangan terhadap sepeda
motor konsumen tersebut. Dimana hasil lelang harus dibagi dua.
Pertama untuk membayar sisa hutang konsumen kepada leasing,
sisanya menjadi hak konsumen.

Cara diatas adalah cara yang sesuai aturan hukum dan tentu saja adil
bagi kedua belah pihak. Disini konsumen mulai memahami bahwa
proses penyitaan sepeda motor tersebut sesungguhnya melanggar
hukum. Namun seringkali sebagai orang yang tidak tahu hukum justru
konsumen yang ditakut-takuti oleh pihak leasing. Karena tahu tidak
memiliki dasar hukum maka mereka selalu memakai tenaga pihak
ketiga yaitu debt collector. Penggunaan jasa pihak ketiga (Debt
Collector) ini adalah upaya leasing untuk cuci tangan manakala muncul
masalah akibat proses penyitaan yang melanggar hukum tadi.
Alasannya tentu saja demi efisiensi. Penting diingat bahwa kasus ini
adalah kasus hutang-piutang (Perdata) bukan kasus pidana. Jadi bahkan
polisi pun tidak boleh ikut campur apalagi debt collector. Maka jangan
terkecoh oleh oknum polisi yang sering membekingi debt collector.
2. Hukum Islam Terhadap Status Penarikan Sepeda Motor
Menurut fakta di lembaga pembiayaan WOM Finance, selama angsuran
belum lunas dalam jangka waktu yang telah ditentukan dan disepakati oleh
nasabah dan pihak WOM Finance, sepeda motor tetap milik WOM Finance.
Jadi ketika nasabah tidak bisa lagi untuk membayar cicilannya maka sepeda
motor tersebut akan ditarik kembali dan dilelang. Sedangkan menurut akad
perjanjian yang dipakai oleh WOM Finance adalah akad Murabahah dengan
ketentuan umum dalam dokumen perjanjian adalah pihak kedua (konsumen)
perorangan atau badan hukum cakap hukum yang membeli barang
berdasarkan prinsip syari’ah dari pihak pertama (WOM Finance)
berdasarkan akad murabahah dan pihak kedua (konsumen) menyatakan
telah menerima barang dengan sempurna dan dalam keadaan baik dari
pemasok (dealer). sebenarnya ketika sudah dibeli barang tersebut sudah
sepenuhnya milik konsumen sesuai dengan isi dokumen yang telah
disepakati dan ditandatangani konsumen, walaupun konsumen tidak bisa
lagi membayar cicilannya sepeda motor tersebut tidak boleh ditarik kembali
selama konsumen masih mempunyai itikad baik untuk membayar dan
melunasi kekurangan angsurannya. Sedangkan yang dilakukan oleh WOM
Finance adalah menarik kembali sepeda motor tersebut melalui jasa debt
collector. Maka hukum status penarikan sepeda motor tersebut adalah tidak
sah.17
Dalam hukum Islam mengambil dan merampas barang yang bukan
haknya disebut dengan ghasb. Kata Ghasb disebutkan dalam Alqur’an.

Allah berfirman:

‫ك يَأْ ُخ ُذ ُك َّل َس ِفينَ ٍة‬


ٌ ِ‫دت أَ ْن أ َِع َيب َه ا َو َك ا َن َو َراءَ ُهم َّمل‬
ُّ ‫ني َي ْع َملُ و َن يِف الْبَ ْح ِر فَ أ ََر‬ِ ِ َ‫الس ِفينَةُ فَ َك ان‬
َ ‫ت ل َم َس اك‬
ْ َّ ‫أ ََّما‬

‫صبًا‬
ْ ‫َغ‬

Wawancara dengan Bapak Eqi Bagus Hartoyo selaku konsumen WOM Finance Brebes
17

pada tanggal 23 Juli 2017, Pukul 11.00 WIB.


“Adapun perahu itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di
laut, dan aku bertujuan merusakkan perahu itu, karena di hadapan mereka
ada seorang raja yang merampas setiap bahtera.” (Al Kahfi: 79)

Ghasb secara bahasa artinya mengambil sesuatu secara zalim. Sedangkan


menurut istilah fuqaha adalah mengambil dan atau menguasai hak orang
lain secara zalim dan aniaya dengan tanpa hak.18

Ghasb adalah haram. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

‫ين ءَ َامنُ وا الَتَ أْ ُكلُوا أ َْم َوالَ ُكم َبْينَ ُكم‬ ِ َّ


َ ‫يَاأَيُّ َه ا الذ‬
ِ ‫بِالْب‬
‫اط ِل‬َ

 “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan


harta sesamamu dengan jalan yang batil……...” (QS. An Nisaa’: 29)

Di samping itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ِ ‫ال ْام ِر ٍئ ُمس لِ ٍم إِالَّ بِ ِطْي‬


ٍ ‫ب َن ْف‬
‫س‬ ُ ‫الَ حَيِ ُّل َم‬
ْ
ِ
ُ‫مْنه‬

“Tidak halal mengambil harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan


dirinya.” (HR. Abu Dawud dan Daruquthni, dishahihkan oleh Syaikh al-
Albani dalam Shahihul Jami’ no. 7662)

Ketika khutbah wadaa’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ يِف‬،‫ يِف َش ْه ِر ُك ْم َه َذا‬،‫ َك ُح ْر َم ِة َي ْوِم ُك ْم َه َذا‬،‫ َبْينَ ُك ْم َح ر ٌام‬،‫اض ُك ْم‬ ِ


َ َ ‫ َوأ َْعَر‬،‫ َوأ َْم َوالَ ُك ْم‬،‫فَ ِإ َّن د َم اءَ ُك ْم‬
‫َبلَ ِد ُك ْم َه َذا‬

Jika mengambil harta orang lain secara rahasia dari tempat yang terjaga, maka hal itu
18

disebut pencurian. Jika mengambilnya secara kekerasan, maka hal itu adalah muhaarabah dan jika
mengambilnya karena menguasai, maka hal itu adalah ikhtilas (jambret) dan jika mengambilnya
saat ia diamanahi, maka hal ini disebut khianat.
“Sesungguhnya darahmu, hartamu dan kehormatanmu terpelihara  antara
sesama kamu sebagaimana terpeliharanya hari ini, bulan ini dan negerimu
ini.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda:

ِ ِ ِ ِ ِ َّ ‫الَ يزيِن‬
‫ني يَ ْس ِر ُق‬
َ ‫ َوالَ يَ ْس ِر ُق ح‬،‫ب َو ُه َو ُم ْؤم ٌن‬
ُ ‫ني يَ ْشَر‬ ُ ‫ َوالَ يَ ْشَر‬،‫ني َيْزيِن َو ُه َو ُم ْؤم ٌن‬
َ ‫ب اخلَ ْمَر ح‬ َ ‫الزايِن ح‬ َْ
ِ ِِ ِ
‫ني َيْنتَ ِهُب َه ا‬ َ ْ‫َّاس إِلَْي ه ف َيه ا أَب‬
َ ‫ص َار ُه ْم ح‬ ُ ‫ َيْرفَ ُع الن‬،ً‫ب نُ ْهبَ ة‬
ِ
ُ ‫ َوالَ َيْنتَه‬،‫َو ُه َو ُم ْؤم ٌن‬
‫َو ُه َو ُم ْؤِم ٌن‬

“Tidaklah seseorang berzina dalam keadaan beriman, tidaklah seseorang


meminum minuman keras ketika meminumnya dalam keadaan beriman,
tidaklah seseorang melakukan pencuria dalam keadaan beriman dan
tidaklah seseorang merampas sebuah barang rampasan dimana orang-
orang melihatnya, ketika melakukannya dalam keadaan beriman.” (HR.
Bukhari dan Muslim)

As Saa’ib bin Yazid meriwayatkan dari bapaknya bahwa Nabi


shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫َخ ِيه َف ْلَي ُر َّد َه ا‬


ِ ‫ فَمن أَخ َذ عص ا أ‬،‫اَل يأْخ ْذ أَح ُد ُكم عصا أ َِخ ِيه اَل ِعب ا أَو ج ًّادا‬
َ َ َ َْ َ ْ ً ََ ْ َ ُ َ
‫إِلَْيه‬

“Janganlah salah seorang di antara kamu mengambil tongkat saudaranya


baik main-main maupun serius. Jika salah seorang di antara kamu
mengambil tongkat saudaranya, maka kembalikankah.” (HR. Ahmad, Abu
Dawud, Tirmidzi dan ia menghasankannya. Hadits ini dihasankan pula oleh
Syaikh al-Albani dalam Shahih Abi Dawud dan Shahih At Tirmidzi)

Dalam hadits yang lain yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu
Umamah secara marfu’ disebutkan:
‫ َوإِ ْن َك ا َن‬:‫ َو َح َّر َم َعلَْي ِه اجْلَنَّةَ َف َق َال لَهُ َر ُج ٌل‬،‫َّار‬ ِِ ِ ِ ٍ ِ ٍ
َ ‫ َف َق ْد أ َْو َج‬،‫َم ِن ا ْقتَطَ َع َح َّق ْام ِرئ ُم ْسلم بيَمينه‬
َ ‫ب اهللُ لَهُ الن‬
ِ ‫ول‬
ِ َ‫ وإِ ْن ق‬:‫اهلل؟ قَ َال‬
‫ض يبًا‬ َ ‫َش ْيئًا يَ ِس ًريا يَ ا َر ُس‬
َ
‫ِم ْن أ ََر ٍاك‬

“Barangsiapa yang mengambil harta saudaranya dengan sumpahnya,


maka Allah mewajibkan dia masuk neraka dan mengharamkan masuk
surga. Lalu ada seorang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, meskipun
hanya sedikit?” Beliau menjawab, “Meskipun hanya sebatang kayu araak
(kayu untuk siwak).“

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu


‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ِ ‫ فَِإنَّه يطََّوقُ ه ي وم‬،‫ض ظُْلم ا‬


‫القيَ َام ِة ِم ْن َس ْب ِع‬ ِ ِ ‫من أ‬
ََْ ُ ُ ُ ً ِ ‫َخ َذ ش ْبًرا م َن األ َْر‬
َ َْ
ِ
َ ‫أ ََرضنْي‬

“Barangsiapa yang mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka Allah


akan mengalungkan tujuh bumi kepadanya.”

Oleh karena itu orang yang melakukan ghasb harus bertobat kepada
Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan mengembalikan barang ghasb kepada
pemiliknya serta meminta maaf kepadanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:

، ‫ َقْب َل أَ ْن الَ يَ ُك و َن ِدينَ ٌار َوالَ ِد ْر َه ٌم‬، ‫َح ٍد ِم ْن ِعْر ِض ِه أ َْو َش ْى ٍء َفْليَتَ َحلَّْلهُ ِمْن هُ الَْي ْو َم‬
َ ‫ت لَهُ َمظْلَ َمةٌ أل‬
ْ َ‫َم ْن َكان‬
‫اح ِبه‬ ِ
ِ ‫ات ص‬ ِ ِ َ‫ وإِ ْن مَل تَ ُكن لَ ه حس ن‬، ‫إِ ْن َك ا َن لَ ه عم ل ص الِح أ ُِخ َذ ِمْن ه بَِق ْد ِر مظْلَمتِ ِه‬
َ َ‫ات أُخ َذ م ْن َس يِّئ‬
ٌ ََ ُ ْ ْ َ َ َ ُ ٌ َ ٌ ََ ُ
‫فَ ُح ِم َل َعلَْي ِه‬

“Barangsiapa yang pernah menzalimi seseorang baik kehormatannya


maupun lainnya, maka mintalah dihalalkan hari ini, sebelum datang hari
yang ketika itu tidak ada dinar dan dirham. Jika ia memiliki amal saleh,
maka diambillah amal salehnya sesuai kezaliman yang dilakukannya,
namun jika tidak ada amal salehnya, maka diambil kejahatan orang itu,
lalu dipikulkan kepadanya.” (HR. Bukhari)

Jika barang ghasb masih ada, maka dikembalikan seperti sedia kala.
Namun jika sudah binasa, maka dengan mengembalikan gantinya.

3. Hukum Jaminan Terhadap Status Penarikan Sepeda Motor


Hukum jaminan tetntang status penarikan sepeda motor adalah hukum
fidusia. Hukum fidusia memang cukup asing didengar oleh orang umum,
padahal hukum ini harus diketahui oleh setiap orang yang akan membeli
sepeda motor ke sebuah dealer lewat leasing. Hukum fidusia adalah
pengalihan hak kepemilikan atas suatu benda yang dapat difidusiakan
tersebut berdasarkan kepercayaan yang penguasaannya tetap dilakukan oleh
si pemilik benda tersebut. Biasanya hal ini terjadi karena pemilik benda
tersebut (debitur) membutuhkan sejumlah uang dan sebagai jaminan atas
pelunasan utangnya tersebut si debitur menyerahkan secara kepercayaan hak
kepemilikannya atas suatu benda bergerak atau benda yang tidak termasuk
dalam lingkup Undang-Undang No. 4 tahun 1996 kepada kreditumya, dan
hak tersebut juga dapat dialihkan kepada pihak lain. Pemberian jaminan
fidusia ini merupakan perjanjian yang bersifat accesoir dari suatu
peminjaman pokok sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 6-huruf
B UU No.42 tahun 1999 dan harus dibuat dengan suatu akta notaris yang
disebut sebagai akta jaminan fidusia. Untuk melalui proses ini pihak leasing
dikenakan biaya antara Rp 500.000 hingga kisaran Rp 5.000.000 tiap unit
sepeda motor.
Karena untuk menuruti hukum fidusia ini memerlukan biaya yang tidak
sedikit maka biasanya pihak leasing hanya mencantumkan saja dalam
perjanjian sewa beli secara fidusia. Jadi leasing tidak menjalankan proses ini
secara resmi tetapi hanya embel-embel di surat perjanjian bahwa seakan-
akan leasing sudah melakukan hukum fidusia. Lagipula jika semua leasing
menjalankan hukum fidusia maka harga motor ditentukan oleh perbankan,
karena alasan diatas. Selain itu untuk mengurus hukum fidusia hanya ada di
Semarang, karena kantor pengadilan yang mengurusi hukum fidusia ini
bukan kantor sembarangan hanya ada di ibukota provinsi dan di kantor
pusat. Karena masalah itu sebagian leasing hanya mencantumkan tidak
melaksanakan hukum fidusia secara resmi, terlalu sulit dan sangat tidak
efisien. Maka jika semua leasing melakukan prosedur hukum fidusia
menurut prosedur yang benar harga motor menjadi tinggi dalam arti menaati
penggunaan dan tata caranya. Menurut KUHP yang berhak menyita itu
adalah pengadilan tanpa terkecuali baik motor, rumah, tanah dsb. “Tidak
bisa memproses suatu perkara yang berkaitan dengan leasing terkecuali ada
unsur pencemaran nama baik dan penganiayaan, karena itu sudah termasuk
pidana, dan juga pihak leasing tidak bisa memperkarakan konsumen yang
tidak bisa membayar kewajibannya selama pihak konsumen tersebut mau
berjanji melunasi tunggakanya.”
a. Menunggak dan debt collector
Dalam dunia perkreditan motor, pasti ada seorang nasabah yang tidak
lancar atau nunggak dalam pembayaran. Baik itu terlambat membayar 1-
3 bulan atau bahkan lebih. Maka dari itu pihak leasing sudah menyiapkan
strategi untuk menyelesaikan masalah itu. Ada orang atau bagian yang
sudah siap untuk mengurus masalah itu. Orang yang mengurusi masalah
itu disebut debt collector, ada 3 tingkatan collector secara umum yaitu:
Desk Collector, Juru tagih (debt collector) dan Juru Sita (collector
remidiall).
b. Prosedur penarikan
Sepeda motor yang ditarik pun ada kriterianya, yaitu sepeda motor
yang ada di data yang tunggakanya diatas 6 bulan keatas. Sepeda motor
itu tidak mungkin ditemukan di rumah konsumen karena biasanya sepeda
motor itu sudah berpindah tangan atau dijual tanpa BPKB dan sudah
digadaikan oleh pihak pertama. Sebenarnya ada pihak resmi dari leasing,
tetapi hanya berfokus pada masalah angsuran. Jika sepeda motor
mengalami masalah penunggakan antara 1-3 bulan maka pihak
kolektorlah yang bertugas untuk menagih. Namun jika sudah 4 bulan
turunlah SKP (Surat Kuasa Penarikan) yang dikeluarkan oleh leasing.
Sepeda motor yang sudah ditarik oleh debt collector lalu diberikan ke
pihak leasing, maka sepeda motor tersebut ditahan oleh leasing dan
leasing akan memberikan jangka waktu selama 7 hari untuk melunasi
sisa tunggakan angsuran motor tersebut. Jika dalam waktu 7 hari nasabah
tidak bisa memenuhi kewajibanya melunasi sisa tunggakan maka sepeda
motor tersebut akan dilelang. Lelang sepeda motor yang bermasalah
diikuti oleh semua orang, tidak ada ketentuan khusus untuk mengikuti
lelang sepeda motor yang diselenggarakan leasing. Jika sudah terjual
maka uang hasil lelang tersebut digunakan untuk melunasi tunggakan
angsurang ke dealer. Prosedur ini yang kebanyakan terjadi di dunia
leasing. Yang berhak menarik pengadilan bukan debt collector.
c. Cara Kerja
Jam kerja debt collector tidak terkekang oleh waktu, bisa dikatakan
tergantung mood dari debt collector itu sendiri. Dengan bermodalkan
checklist dan surat tugas yang dikeluarkan oleh leasing. Tempat
beroperasinya debt collector bisa kita temui di tempat yang padat arus
kendaraan. Bisa didekat pasar, dan didekat mall. Tempat kerja debt
collector ini fleksibel. Sembari menunggu sepeda motor yang ada di data
biasanya mereka menunggu di warung-warung. Outsourching atau
BANSUS (Bantuan Khusus) itu sebutan debt collector leasing WOM.

Anda mungkin juga menyukai