BAB I
PENDAHULUAN
kelima terbanyak dalam pengobatan dengan antibiotik. Kasus rinosinusitis kronis itu
sendiri sudah masuk data rumah sakit berjumlah 18 sampai 22 juta pasien setiap
tahunnya yang menghabiskan 3,4-5 juta dollar, dan kira -kira sejumlah 200.000
orang dewasa Amerika menjalankan operasi rinosinusitis per tiap tahunnya juga.1,2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Pasien datang ke poli THT dengan keluhan sakit kepala sejak 2 hari SMRS.
Pasien juga mengeluhkan bersin-bersin (+), batuk hilang timbul (+). Post
nasal drip (+), Riwayat trauma (-), riwayat hidung berdarah (-), sulit menelan (-),
keluhan nyeri dan gangguan penedengaran (-), riwayat gigi berlubang (-).
Riwayat Pengobatan
Pasien merupakan pasien rujukan dari RS Abdul Manap kota Jambi. Pasien
sudah mendapatkan obat cuci hidung dan nasacort
Anamnesis pasien
A) Telinga
Daun Telinga Kanan Kiri
Anotia/mikrotia/makrotia - -
Keloid - -
Perikondritis - -
Kista - -
Fistel - -
Ott hematoma - -
Liang Telinga Kanan Kiri
Atresia - -
Serumen prop - -
Epidermis prop - -
Korpus alineum - -
Jaringan granulasi - -
6
Exositosis - -
Osteoma - -
Furunkel - -
Membrana Timpani Kanan Kiri
Hiperemis - -
Retraksi - -
Bulging - -
Atropi - -
Perforasi - -
Bula - -
Sekret - -
Retro-aurikular Kanan Kiri
Fistel - -
Kista - -
Abses - -
Pre-aurikular Kanan Kiri
Fistel - -
Kista - -
Abses - -
B) Hidung
Rinoskopi Anterior Kanan Kiri
Vestibulum nasi Sekret (+), Hiperemis (-), Sekret (+), Hiperemis (-),
bisul (-), krusta (-), massa bisul (-), krusta (-)
(+) berwarna keabu-abuan,
dengan permukaan licin.
tidak sakit saat disentuh dan
immobile
7
Kavum nasi Sekret (+), pucat (+), edema Sekret (+), pucat (+), edema
mukosa (-) mukosa (-)
Selaput lendir Pucat (+) Pucat (+)
Septum nasi Deviasi (-), heperemis (-) Deviasi (-), hiperemis (-)
Lantai + dasar Dbn Dbn
hidung
Konka inferior Hipertrofi (-), pucat (+), Hipertrofi (-), pucat (+),
edema (-) edema (-)
Meatus nasi inferior Sekret (+) Sekret (+)
Konka media Edema (-), pucat (+), Edema (-), pucat (+),
hipertropi (-) hipertropi (-)
Meatus nasi media Sekret (+) Sekret (+)
Rinoskopi Kanan Kiri
Posterior
Kavum nasi Sulit di nilai Sulit di nilai
Selaput lender Sulit di nilai Sulit di nilai
Koana Sulit di nilai Sulit di nilai
Septum nasi Sulit di nilai Sulit di nilai
Konka superior Sulit di nilai Sulit di nilai
Adenoid Sulit di nilai Sulit di nilai
Septum nasi Sulit di nilai Sulit di nilai
Massa tumor Sulit di nilai Sulit di nilai
Post nasal drip + +
Transluminasi Kanan Kiri
Sinus Maksilaris Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Sinus Frontalis Tidak dilakukan Tidak dilakukan
C) Mulut
Hasil
Selaput lendir Dbn
mulut
Bibir Sianosis (-), bibir kering (-), sudut bibir (N), gerakan
bibir (N)
Lidah Atropi papil (-),tumor (-), parese (-), kotor (-), ulkus (-)
8
D) Faring
Hasil
Uvula Bentuk normal, terletak ditengah, permukaan rata,
edema (-), hiperemis (-)
Palatum mole Hiperemis (-)
Palatum durum Hiperemis (-)
Plika anterior Dbn
Tonsil Dekstra : tonsil T1, hiperemis (-), permukaan rata,
kripta melebar (-)
Mobilitas normal
Sinistra : tonsil T1, hiperemis (-), permukaan rata, kripta
melebar (-)
Mobilitas normal
Plika posterior Hiperemis (-)
Mukosa orofaring Hiperemis (-), granula (-)
E) Laringoskopi indirect
Hasil Hasil
Pangkal lidah Sulit dilakukan Aritenoid Sulit dilakukan
Epiglotis Sulit dilakukan Massa tumor Sulit dilakukan
Valekula Sulit dilakukan Sinus piriformis Sulit dilakukan
Plika ventikularis Sulit dilakukan Trakea Sulit dilakukan
Plika vokalis Sulit dilakukan
Komisura Anterior Sulit dilakukan
Kanan Kiri
Regio I Dbn Dbn
Regio II Dbn Dbn
Regio III Dbn Dbn
Regio IV Dbn Dbn
Regio V Dbn Dbn
Regio VI Dbn Dbn
area Parotis Dbn Dbn
Area postauricula Dbn Dbn
Area occipital Dbn Dbn
Area Dbn Dbn
supraclavicular
Pemeriksaan Audiologi
Tes Pendengaran Kanan Kiri
Tes rinne (N) Rinne positif (N) Rinne positif
Tes weber (N) Tidak ada lateralisasi (N) tidak ada lateralisasi
10
2.4. Diagnosis
Rhinosinusitis Kronik dengan Polip Nasal Dextra Unilateral grade II
2.6. Tatalaksana
Diagnostik
1. Nasoendoskopi
2. X ray SPN : Posisi Waters
Sinus maksillaris: penebalan polypoid mucosa sinus maxillaries kanan.
3. Ct-Scan sinus paranasal
Terapi
- Cuci Hidung NaCl 0.9% 2 x sehari I
- Fluticasone 1 x spray II
- Doxiciklin 1x 100gr
2.7. Monitoring
- Follow up keluhan
2.9. Prognosis
Quo et Vitam : dubia ad bonam
Quo et Fungtionam : dubia ad bonam
Quo et sanationam : dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
1. Anatomi Hidung
Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian luar
menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas struktur hidung luar
dibedakan atas tiga bagian, yang paling atas kubah tulang yang tak dapat
digerakkan di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan
dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk
hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah :
1) pangkal hidung (bridge),
2) batang hidung (dorsum nasi),
3) puncak hidung (hip),
4) ala nasi,
12
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os. internum di
sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung
dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka
superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior dengan
dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka media
dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus
superior.
Kompleks ostiomeatal
(KOM) adalah bagian dari
sinus etmoid anterior yang
berupa celah pada dinding
lateral hidung. Pada
potongan koronal sinus
paranasal gambaran KOM
terlihat jelas yaitu suatu
rongga di antara konka
media dan lamina papirasea.
Struktur anatomi penting
yang membentuk KOM
adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula
etmoid, agger nasi dan ressus frontal. Serambi depan dari sinus maksila
dibentuk oleh infundibulum karena sekret yang keluar dari ostium sinus maksila
akan dialirkan dulu ke celah sempit infundibulum sebelum masuk ke rongga
hidung. Sedangkan pada sinus frontal sekret akan keluar melalui celah sempit
resesus frontal yang disebut sebagai serambi depan sinus frontal. Dari resesus
frontal drainase sekret dapat langsung menuju ke infundibulum etmoid atau ke
dalam celah di antara prosesus unsinatus dan konka media4 .
Sistem Mukosiliar Hidung
14
Transportasi mukosiliar terdiri dari dua sistem yang bekerja simultan, yaitu
gerakan silia dan palut lendir. Ujung silia sepenuhnya masuk menembus
15
gumpalan mukus dan bergerak ke arah posterior bersama dengan materi asing
yang terperangkap di dalamnya ke arah nasofaring. Aliran cairan pada sinus
mengikuti pola tertentu. Transportasi mukosiliar pada sinus maksila berawal
dari dasar yang kemudian menyebar ke seluruh dinding dan keluar ke ostium
sinus alami. Kecepatan kerja pembersihan oleh mukosiliar dapat diukur dengan
menggunakan suatu partikel yang tidak larut dalam permukaan mukosa. Lapisan
mukosa mengandung enzim lisozim (muramidase), dimana enzim ini dapat
merusak bakteri. Enzim tersebut sangat mirip dengan immunoglobulin A (Ig A),
dengan ditambah beberapa zat imunologik yang berasal dari sekresi sel.
Imunoglobulin G (IgG) dan Interferon dapat juga ditemukan pada sekret hidung
sewaktu serangan akut infeksi virus. Ujung silia tersebut dalam keadaan tegak
dan masuk menembus gumpalan mukus kemudian menggerakkannya ke arah
posterior bersama materi asing yang terperangkap ke arah faring. Cairan
perisiliar yang di bawahnya akan di alirkan kearah posterior oleh aktivitas silia,
tetapi mekanismenya belum diketahui secara pasti. Transportasi mukosiliar
yang bergerak secara aktif ini sangat penting untuk kesehatan tubuh. Bila sistem
ini tidak bekerja secara sempurna maka materi yang terperangkap oleh palut
lender akan menembus mukosa dan menimbulkan penyakit. Kecepatan dari
TMS sangatlah bervariasi, pada orang yang sehat adalah antara 1 sampai 20 mm
/ menit.
Karena pergerakan silia lebih aktif pada meatus inferior dan media maka
gerakan mukus dalam hidung umumnya ke belakang, silia cenderung akan
menarik lapisan mukus dari meatus komunis ke dalam celah-celah ini.
Sedangkan arah gerakan silia pada sinus seperti spiral, dimulai dari tempat yang
jauh dari ostium. Kecepatan gerakan silia bertambah secara progresif saat
mencapai ostium, dan pada daerah ostium silia tersebut berputar dengan
kecepatan 15 hingga 20 mm/menit(5)
16
Pada dinding lateral rongga hidung sekret dari sinus maksila akan bergabung
dengan sekret yang berasal dari sinus frontal dan etmoid anterior di dekat
infundibulum etmoid, kemudian melalui anteroinferior orifisium tuba
eustachius akan dialirkan ke arah nasofaring. Sekret yang berasal dari sinus
etmoid posterior dan sfenoid akan bergabung di resesus sfenoetmoid, kemudian
melalui posteroinferior orifisium tuba eustachius menuju nasofaring. Dari
rongga nasofaring mukus turun kebawah oleh gerakan menelan(6)
Vaskularisasi
Innervasi
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan snsoris dari n.
etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal
dari n. Oftalmikus. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan
sensoris dari n. maksilla melalui ganglion sfenopalatina.
Ada delapan sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi hidung, sinus
frontal kanan dan kiri, sinus ethmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior),
sinus maksila kanan dan kiri (antrum highmore) dan sinus sfenoid kanan dan
kiri. Semua sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa
hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium
masing-masing 8
18
Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi , dan seringkali juga sangat
berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus dan pasangannya, kadang-kadang juga
ada sinus yang rudimenter. Bentuk sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak
simetris, satu lebih besar dari pada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang
terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu
sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang. Ukuran
rata-rata sinus frontal : tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm, dan isi rata-
rata 6-7 ml. Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding
sinus pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal
dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior,
sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal
21
Dari semua sinus paranasal. sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir
ini dianggap paling penting. karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-
sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengen
dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm,
tinggi 2.4 cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian
posterior.
Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut
resesus frontal. yang berhubungan dengan sinus frontai. Sei etmoid yang
terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu
penyempitan yang disebut infundlbuium. tem pat berrnuaranya ostlum sinus
makslia. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan
sinusitis frontal dan pembengkakan di lnfundibulum dapat menyebabkan
sinusitis maksila.
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidaiis berbatasan dengan lamina
kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirarasea yang sangat tipis dan
membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid
posterior berbatasan dengan sinus sfenoid.4
D. Sinus Sfenoid
22
3. Rhinosinusitis1
3.3.1. Definisi
Menurut The European position paper on rhinosinusitis and nasal
polyps(EPOS), definisi rhinosinusitis secara klinis pada orang dewasa ialah
inflamasi pada hidung dan sinus paranasal dengan karakteristik 2 gejala atau
lebih, yang salah satunya adalah hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti/ nasal
discharge anterior/posterior nasal drip) nyeri pada wajah, atau menurunnya fungsi
penghidung, dan tanda endoskopi yaitu polip nasi, discharge yang mukopurulen
yang berasal dari meatus media dan atau edema/obstruksi mukosa yang berawal
dari meatus media dan atau perubahan mukosa pada kompleks ostiomeatal dan
atau sinus.1
3.3.2. Etiologi dan Faktor Predisposisi1
Beberapa faktor etiologi dan presdiposisi antara lain ISPA akibat virus,
bermacam rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita hamil,
polip hidung, kelainan anatomi seperti devisiasi septum atau hipertropi konka,
sumbatan kompleks Ostio-metal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan
imunologik, diskinesia silia seperti pada sindroma kartagener.
23
3.3.3. Epidemiologi
Insiden rinosinusitis di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 33 juta orang
amerika pertahun menderita sinusitis. sebesar 14,6 % dari populasi dan dan
prevalensi diagnosa Rhinosinusitis kronis oleh dokter sebanyak 2-4%. Yang
merupakan peringkat kelima terbanyak dalam pengobatan dengan antibiotik.
Kasus rinosinusitis kronis itu sendiri sudah masuk data rumah sakit berjumlah
18 sampai 22 juta pasien setiap tahunnya yang menghabiskan 3,4-5 juta dollar,
dan kira -kira sejumlah 200.000 orang dewasa Amerika.2
Di Rsup Haji Adam Malik Pada Tahun 2011, dari 190 sampel rinosinusitis
kronis, diperoleh insidensi penyakit ini paling sering pada rentang umur 31-45
tahun (31,6%), perempuan lebih rentan mendapat rinosinusitis kronis (54,2%)
dan keluhan utama yang paling banyak didapati adalah hidung tersumbat
(56,8%). Faktor predisposisi yang tidak dicantumkan untuk memicu kejadian ini
menempati tempat paling sering (63,2%), manakala sinus maksilaris (54,6%)
merupakan sinus yang paling sering mengalami kelainan dalam penyakit
rinosinusitis kronis. Kejadian sinusitis secara unilateral adalah yang paling sering
terjadi (48,4%). 10
24
3.3.4. Patofisiologi 11
Klirens dan ventilasi sinus yang normal memerlukan mukosa yang sehat.
Inflamasi yang berlangsung lama (kronik) sering berakibat penebalan mukosa
disertai kerusakan silia sehingga ostium sinus makin buntu. Mukosa yang tidak
dapat kembali normal setelah inflamasi akut dapat menyebabkan gejala persisten
dan-mengarah pada rinosinusitis kronik.11
26
3.3.5. Klasifikasi
1. Gejala Subjektif
a. Hidung tersumbat
b. Nyeri/nyeri tekan pada wajah
c. Sakit kepala
d. Gangguan penghidu
2. Gejala Obyektif
a. Edema
b. Sekret Nasal
c. Massa Pada Cavum Nasal
27
3.3.7. Diagnosis
Terdapat beberapa gejala minor seperti: nyeri telinga, pusing, halitosis, sakit gigi,
iritasi faring, laring, trakea, disfonia dan batuk, mengantuk, malaise, gangguan
tidur.1
Yang menjadi pembeda antara kelompok rinosinusitis kronik tanpa dan dengan
nasal polip adalah ditemukannya jaringan polip / jaringan polipoid pada
pemeriksaan rinoskopi anterior.
28
Pemeriksaan
a. Rhinoskopi Anterior
Tanda khas adanya sekret di meatus media atau meatus superior, edema
mukosa atau konka, hiperemis pada rhinosinusitis akut, polip atau
abnormalitas anatomi hidung.
b. Rhinoskopi Posterior
Ditemukannya post nasal drip
c. Nyeri tekan pada wajah
d. Transluminasi sinus
Pada pemeriksaan transluminasi, sinus yang mengalami sinusitis akan tampak
suram.
Pemeriksaan Penunjang
a. Nasal Endoskopi
b. Imaging
i. Foto Polos : posisi waters, PA, Lateral
ii. Ct-Scan sinus paranasal
Merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu menilai
anatomi hidung dan sinus, adanya penyaki dalam hidung dan sinus
29
Polip hidung ialah massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam rongga
hidung, berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi mukosa. Polip
dapat timbul pada penderita laki-laki maupun perempuan. Polip hidung adalah
massa non-neoplastik dari edema hidung/mukosa sinus, terbagi menjadi 2 yaitu
polip etmoidal bilateral dan polip antrokoanal.14
tumbuhnya polip terutama dari kompleks ostio-meatal di meatus medius dan sinus
etmoid. Polip yang tumbuh kearah belakang dan membesar di nasofaring disebut
polip koana14.
Secara mikroskopis tampak epitel pada polip serupa dengan mukosa hidung
normal yaitu epitel bertingkat semu bersilia dengan submukosa yang sembab. Sel-
selnya terdiri dari limfosit, sel plasma, eosinophil, neutrophil dan makrofag.
Mukosa mengandung sel-sel goblet. Polip yang sudah lama dapat mengalami
metaplasis epitel karena sering terkena aliran udara, menjadi epitel transisional,
kubik atau gepeng berlapis tanpa keratinisasi. Berdasarkan jenis sel peradangan
polip dikelompokkan menjadi polip tipe eosinofilik dan polip tipe neutrophil.14
Anamnesis
Keluhan utama penderita polip nasi ialah hidung rasa tersumbat dari yang ringan
sampai berat, rinore mulai jernih sampai purulent, hiposmmia atau anosmia.
Disertai bersin-bersin, rasa nyeri pada hidung disertai sakit kepala didaerah
frontal. Gejala sekunder yang dapat timbul ialah bernafas lewat mulut, suara
sengau, halitosis, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup. Dapat
menyebabkan gejala saluran napas bawah.14
Pemeriksaan Fisik
Polip nasi yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga
hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan
Rhinoskopi anterior terlihat massa berwarna pucat yang berasal dari meatus
medius dan mudah digerakkan. Pembagian stadium polip menurut Mackay dan
Lun, stadium 1: polip masih terbatas di meatus medius, stadium 2: polip sudah
keluar dari meatus medius, tampak di rongga hidung tapi belum memenuhi
rongga hidung, stadium 3: polip massif.14
32
Pemeriksaan Penunjang
Naso-Endoskopi
Radiologi
Foto polos sinus paranasal (posisi waters, AP, Caldwell dan lateral) dapat
memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara cairan di dalam sinus,
tetapi kurang bermamfaat pada kasus polip. Pemeriksaan tomografi komputer
(TK, CT scan) sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung
dan sinus paranasal apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau
sumbatan pada kompleks ostiomeatal. TK terutama diindikasikan pada kasus
polip yang gagal diobati dengan terapi medikantosa, jika ada komplikasi dari
sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi.
Tatalaksana
Tujuan menghilangkan keluhan-keluhan, mencegah komplikasi dan mencegah
rekurensi polip
Konservatif
Operatif
3.6 Tatalaksana
Tujuan terapi sinusitis adalah 1) mempercepat penyembuhan, 2) mencegah
komplikasi, dan 3) mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan
ialah membuka sumbatan di KOM sehingga drainase dan ventilasi sinus-sinus
pulih secara alami.1
Gamba
r 6. Skema tatalaksana RSK dengan polip hidung
37
Tatalaksana RSK secara umum adalah terapi medikamentosa dan pembedahan yang
diperlukan bila ditemui kegagalan medikamentosa dengan gejala yang persisten.
Kombinasi kortikosteroid intranasal dan cuci hidung dengan NaCl fisiologis,
merupakan medikamentosa utama penatalaksanaan RSK dengan rekomendasi grade
A. Kortikosteroid intranasal berfungsi sebagai anti inflamasi, sedangkan cuci hidung
berguna dalam mengurangi post nasal drip, membersihkan sekret, alergen dan iritan
lainnya, sehingga memperbaiki klirens mukosilier. Pemberian medikamentosa lain
seperti: antibiotik, anti histamin, PPI; harus berdasarkan keluhan dan gejala klinik
yang terlihat.16
38
39
40
Penelitian mengenai operasi sinus sangat sulit untuk digeneralisasi, karena operasi
diindikasikan pada pasien tertentu yang tidak memberikan respon yang adekuat
terhadap pengobatan medikamentosa. Terdapat masalah khusus dalam melaksanakan
studi operatif, karena operasi sangat sulit untuk diprediksi atau distandarisasi,
terutama pada penelitian multisenter, dan tipe penatalaksanaan sulit dibuat membuta
(blinding/ masking). Randomisasi kemungkinan berhadapan dengan masalah etik
kecuali kriteria inklusi dipersempit dan adalah sangat sulit untuk memperoleh
kelompok pasien homogen dengan prosedur terapi yang dapat dibandingkan untuk
menyingkirkan bias evaluasi hasil operasi sinus. Meskipun demikian :
3.7 Komplikasi9
Paling sering timbul aklbat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada
anak-anak. Pada osteomyelitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral
atau fistula pada pipi.
4. Kelainan paru
- bronkitis kronik
- bronkiektasis.
Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut
sinobronkitis. Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma
bronkial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan.12
BAB IV
ANALISIS KASUS
43
Pada kasus ini telah dilaporkan seorang laki-laki berusia berusia 45 tahun yang
datang dengan keluhan sakit kepala sejak 2 hari yang lalu, sebelumnya ± 3 bulan
yang lalu pasien mengeluhkan hidung tersumbat, disertai rinore berwarna bening
dan tidak kunjung membaik. Keluhan dirasakan semakin memberat sejak ± 3
minggu SMRS dan membaik jika os telah melakukan cuci hidung. Pasien juga
nyeri pada wajah dan kadang sampai ke bagian kepala seperti ditusuk-tusuk,
memberat bila meundukkan kepala, penciuman dirasakan berkurang pada kedua
hidung. Pasien juga mengeluhkan bersin-bersin (+), batuk hilang timbul (+),
demam hilang timbul (-).
Gejala yang ditemukan ini sesuai dengan manifestasi klinis rinosinusitis kronis
yang tertera baik pada EPOS 2012 dimana dikatakan rinosinusitis terdapat dua
atau lebih gejala dimana salah satunya adalah buntu hidung (nasal blockage /
obstruction / congestion) atau nasal discharge (anterior / posterior nasal drip)
yang dapat disertai nyeri fasial / pressure dan penurunan daya penciuman. Jika
gejala tersebut berlangsung lebih dari 12 minggu, maka dapat disebut sebagai
rinosinusitis kronis.1
Pasien mulai berobat jalan di bagian THT sejak Januari 2019 ,keluhan dirasa
berkurang dengan terapi cuci hidung dan obat-obatan. Dari riwayat pengobatan
tersebut, diketahui bahwa setelah menjalan terapi konservatif selama beberapa
bulan hingga saat ini, terapi hanya mampu mengurangi namun tidak dapat
menghentikan keluhan sehingga disarankan terapi dalam bentuk tindakan yang
lebih invasif. Hal ini sesuai dengan algoritma terapi rinosinusitis yang
dikeluarkan oleh EPOS 2012 dimana pasien dengan rinosinusitis kronis awalnya
dapat diterapi secara konservatif menggunakan kortikosteroid topikal dan cuci
hidung namun jika setelah 4 minggu dinilai tidak ada perbaikan atau perbaikan
minimal serta telah mengganggu aktivitas dan kualitas hidup pasien maka dapat
dipertimbangkan untuk dilakukan tindakan pembedahan dengan setelahnya di
follow up dan diberikan kortikosteroid topikal, cuci hidung, kultur dan pemberian
antibiotik jangka panjang.13
BAB V
KESIMPULAN
45
DAFTAR PUSTAKA
46