Anda di halaman 1dari 47

1

BAB I

PENDAHULUAN

Rhinosinusitis merupakan masalah kesehatan yang frekuensinya meningkat di


masayarakat.1 Pada dekade terkahir tampak pengembangan dari guideline, consensus
dan artikel mengenai epidemiologi, diagnosis dan tatalaksana rhinosinnusitis dan
polip hidung. 1 Rhininitis dan sinusitis biasanya berdampingan dan terjadi bersamaan
pada kebanyakan individu, sehingga terminology yang digunakan sekarang adalah
rhinosinusitis. rhinosinusitis terbagi menjadi akut dan kronik. Pada rhinosinusitis
kronis dapat dibedakan dengan atau tanpa polip hidung. 1 Pada tahun 1996, American
Academy of Otolaryngology - Head and Neck Surgery mengusulkan untuk mengganti
terminologi sinusitis dengan rinosinusitis. Istilah rinosinusitis dianggap lebih tepat
karena menggambarkan proses penyakit dengan lebih akurat. Hal ini mendukung
konsep "one airway disease", yaitu penyakit di salah satu bagian saluran napas akan
cenderung berkembang ke bagian yang lain.
Menurut The European position paper on rhinosinusitis and nasal polyps
(EPOS), definisi rhinosinusitis secara klinis pada orang dewasa ialah inflamasi pada
hidung dan sinus paranasal dengan karakteristik 2 gejala atau lebih, yang salah
satunya adalah hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti/ nasal discharge
anterior/posterior nasal drip) nyeri pada wajah, atau menurunnya fungsi penghiidung,
dan tanda endoskopi yaitu polip nasi, discharge yang mukopurulen yang berasal dari
meatus media dan atau edema/obstruksi mukosa yang berawal dari meatus media dan
atau perubahan mukosa pada kompleks ostiomeatal dan atau sinus. Rhinosinusitis
terbagi atas rhinosinusitis akut dan kronis, akut jika durasi dari penyakit <12 minggu,
dan kronis jika durasi >12 minggu.1

Insiden rinosinusitis di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 33 juta orang


amerika pertahun menderita sinusitis. sebesar 14,6 % dari populasi , dan prevalensi
diagnosa Rhinosinusitis kronis oleh dokter sebanyak 2-4%. Merupakan peringkat
2

kelima terbanyak dalam pengobatan dengan antibiotik. Kasus rinosinusitis kronis itu
sendiri sudah masuk data rumah sakit berjumlah 18 sampai 22 juta pasien setiap
tahunnya yang menghabiskan 3,4-5 juta dollar, dan kira -kira sejumlah 200.000
orang dewasa Amerika menjalankan operasi rinosinusitis per tiap tahunnya juga.1,2

Rinosinusitis kronis (RSK) adalah suatu kondisi umum dengan implikasi


sosial yang signifikan yang disebabkan oleh karena hilangnya jam kerja.
Denominator patofisiologis umum untuk hampir semua bentuk RSK adalah
peradangan, yang farmakoterapinya luas tersedia. Sayangnya, tidak semua pasien
sembuh atau mencapai kontrol dari gejalanya bahkan dengan manajemen medis yang
maksimal. 3
3

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


- Nama : Tn. F
- No. Registrasi Medik : 908608
- Umur : 45 tahun
- Jenis kelamin : Laki-laki
- Alamat : Karya maju
- Agama : Islam
- Pendidikan : SMA
- Pekerjaan : Wiraswasta

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Pasien datang ke poli THT dengan keluhan sakit kepala sejak 2 hari SMRS.

Riwayat Perjalanan Penyakit


Pasien melakukan kontrol ulang dengan keluhan sakit kepala sejak ± 2 hari
yang lalu, sebelumnya ± 3 bulan yang lalu pasien mengeluhkan hidung
tersumbat, disertai rinore berwarna bening dan tidak kunjung membaik. Keluhan
dirasakan semakin memberat sejak ± 3 minggu SMRS dan membaik jika os telah
melakukan cuci hidung.
Pasien juga mengeluhkan nyeri pada wajah dan kadang sampai ke bagian kepala
seperti ditusuk-tusuk, keluhan di bagian wajah dan kepala hilang timbul dan
semakin memberat bila meundukkan kepala

Pasien mengatakan saat keluhan muncul penciuman dirasakan berkurang pada


kedua hidung, nafsu makan berkurang, dan aktivitas sehari-hari kadang
terganggu.
4

Pasien juga mengeluhkan bersin-bersin (+), batuk hilang timbul (+). Post
nasal drip (+), Riwayat trauma (-), riwayat hidung berdarah (-), sulit menelan (-),
keluhan nyeri dan gangguan penedengaran (-), riwayat gigi berlubang (-).

Riwayat Pengobatan
Pasien merupakan pasien rujukan dari RS Abdul Manap kota Jambi. Pasien
sudah mendapatkan obat cuci hidung dan nasacort

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien sudah pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya yaitu kurang
lebih 5 bulan yang lalu pasien pernah menderita hidung tersumbat, bersin- bersin
dan ada rasa nyeri didaerah pipi. riwayat asma (-), kelainan kongenital (-) dan
riwayat alergi (-)

Riwayat Penyakit Keluarga


Alergi (-), Hipertensi (-), DM (-)

Anamnesis pasien

TELINGA HIDUNG TENGGOROK LARING


Gatal : -/- Rinore : +/+ Sukar Menelan : - Suara parau : -
Dikorek : -/- Buntu : +/+ Sakit Menelan : - Afonia : -
Nyeri : -/- Bersin Trismus :- Sesak napas : -
Bengkak : -/- * Dingin/Lembab : - Ptyalismus : - Rasa sakit : -
Otore :-/- * Debu Rumah :- Rasa Ngganjal : - Rasa ngganjal : -
Tuli :-/- Berbau : -/- Rasa Berlendir : -
Tinitus :-/- Mimisan : -/- Rasa Kering : -
Vertigo :-/- Nyeri Hidung : -/-
Mual :- Suara sengau : -
Muntah : -
5

2.3 Pemeriksaan Fisik


- Keadaan Umum : Tampak Sakit Ringan
- Kesadaran : compos mentis
- TD : 110/90 mmHg
- Nadi : 84 x/i
- RR :22 x/i
- Suhu : 36,7 °C
- Anemia :-
- Sianosis :-
- Stridor Inspirasi :-
- Retraksi Suprasternal :-
- Intercostal :-
- Epigastial :-

A) Telinga
Daun Telinga Kanan Kiri
Anotia/mikrotia/makrotia - -
Keloid - -
Perikondritis - -
Kista - -
Fistel - -
Ott hematoma - -
Liang Telinga Kanan Kiri
Atresia - -
Serumen prop - -
Epidermis prop - -
Korpus alineum - -
Jaringan granulasi - -
6

Exositosis - -
Osteoma - -
Furunkel - -
Membrana Timpani Kanan Kiri
Hiperemis - -
Retraksi - -
Bulging - -
Atropi - -
Perforasi - -
Bula - -
Sekret - -
Retro-aurikular Kanan Kiri
Fistel - -
Kista - -
Abses - -
Pre-aurikular Kanan Kiri
Fistel - -
Kista - -
Abses - -

B) Hidung
Rinoskopi Anterior Kanan Kiri
Vestibulum nasi Sekret (+), Hiperemis (-), Sekret (+), Hiperemis (-),
bisul (-), krusta (-), massa bisul (-), krusta (-)
(+) berwarna keabu-abuan,
dengan permukaan licin.
tidak sakit saat disentuh dan
immobile
7

Kavum nasi Sekret (+), pucat (+), edema Sekret (+), pucat (+), edema
mukosa (-) mukosa (-)
Selaput lendir Pucat (+) Pucat (+)
Septum nasi Deviasi (-), heperemis (-) Deviasi (-), hiperemis (-)
Lantai + dasar Dbn Dbn
hidung
Konka inferior Hipertrofi (-), pucat (+), Hipertrofi (-), pucat (+),
edema (-) edema (-)
Meatus nasi inferior Sekret (+) Sekret (+)
Konka media Edema (-), pucat (+), Edema (-), pucat (+),
hipertropi (-) hipertropi (-)
Meatus nasi media Sekret (+) Sekret (+)
Rinoskopi Kanan Kiri
Posterior
Kavum nasi Sulit di nilai Sulit di nilai
Selaput lender Sulit di nilai Sulit di nilai
Koana Sulit di nilai Sulit di nilai
Septum nasi Sulit di nilai Sulit di nilai
Konka superior Sulit di nilai Sulit di nilai
Adenoid Sulit di nilai Sulit di nilai
Septum nasi Sulit di nilai Sulit di nilai
Massa tumor Sulit di nilai Sulit di nilai
Post nasal drip + +
Transluminasi Kanan Kiri
Sinus Maksilaris Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Sinus Frontalis Tidak dilakukan Tidak dilakukan

C) Mulut
Hasil
Selaput lendir Dbn
mulut
Bibir Sianosis (-), bibir kering (-), sudut bibir (N), gerakan
bibir (N)
Lidah Atropi papil (-),tumor (-), parese (-), kotor (-), ulkus (-)
8

Gigi Karies (+)


Kelenjar ludah Dbn

D) Faring
Hasil
Uvula Bentuk normal, terletak ditengah, permukaan rata,
edema (-), hiperemis (-)
Palatum mole Hiperemis (-)
Palatum durum Hiperemis (-)
Plika anterior Dbn
Tonsil Dekstra : tonsil T1, hiperemis (-), permukaan rata,
kripta melebar (-)
Mobilitas normal
Sinistra : tonsil T1, hiperemis (-), permukaan rata, kripta
melebar (-)
Mobilitas normal
Plika posterior Hiperemis (-)
Mukosa orofaring Hiperemis (-), granula (-)

E) Laringoskopi indirect
Hasil Hasil
Pangkal lidah Sulit dilakukan Aritenoid Sulit dilakukan
Epiglotis Sulit dilakukan Massa tumor Sulit dilakukan
Valekula Sulit dilakukan Sinus piriformis Sulit dilakukan
Plika ventikularis Sulit dilakukan Trakea Sulit dilakukan
Plika vokalis Sulit dilakukan
Komisura Anterior Sulit dilakukan

F) Kelenjar Getah Bening Leher


9

Kanan Kiri
Regio I Dbn Dbn
Regio II Dbn Dbn
Regio III Dbn Dbn
Regio IV Dbn Dbn
Regio V Dbn Dbn
Regio VI Dbn Dbn
area Parotis Dbn Dbn
Area postauricula Dbn Dbn
Area occipital Dbn Dbn
Area Dbn Dbn
supraclavicular

PEMERIKSAAN NERVUS CRANIALIS :


I. Nervus Olfactory : Normal
II. Nervus Opticus : Normal
III. Nervus Occulomotorius : Normal
IV. Nervus Trochlearis : Normal
V. Nervus Trigeminus : Normal
VI. Nervus Abducent : Normal
VII. Nervus Facialis : Normal
VIII. Nervus Vestibularis : Normal
IX. Nervus Glosopharyngeus : Normal
X. Nervus Vagus : Normal
XI. Nervus Accesorius : Normal
XII. Nervus Hypoglossus : Normal

Pemeriksaan Audiologi
Tes Pendengaran Kanan Kiri
Tes rinne (N) Rinne positif (N) Rinne positif
Tes weber (N) Tidak ada lateralisasi (N) tidak ada lateralisasi
10

Tes schwabach Swabach normal Swabach normal


Kesimpulan : Fungsi Pendengaran telinga kanan dan kiri normal

2.4. Diagnosis
Rhinosinusitis Kronik dengan Polip Nasal Dextra Unilateral grade II

2.5. Diagnosis Banding

- Rhinosinusitis Kronis tanpa polip nasal


- Hipertropi konka
- Tumor cavum nasi
- Rhinolith

2.6. Tatalaksana
Diagnostik
1. Nasoendoskopi
2. X ray SPN : Posisi Waters
Sinus maksillaris: penebalan polypoid mucosa sinus maxillaries kanan.
3. Ct-Scan sinus paranasal

Terapi
- Cuci Hidung NaCl 0.9% 2 x sehari I
- Fluticasone 1 x spray II
- Doxiciklin 1x 100gr

2.7. Monitoring
- Follow up keluhan

2.8. KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi)


11

 Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit dan pengobatan yang


diberikan
 Memberitahu pasien pentingnya follow up dan terapi yang adekuat
 Memberitahukan pasien untuk menjaga kebersihan rongga hidung dan
mulut.

2.9. Prognosis
 Quo et Vitam : dubia ad bonam
 Quo et Fungtionam : dubia ad bonam
 Quo et sanationam : dubia ad bonam

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi Hidung
Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian luar
menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas struktur hidung luar
dibedakan atas tiga bagian, yang paling atas kubah tulang yang tak dapat
digerakkan di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan
dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk
hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah :
1) pangkal hidung (bridge),
2) batang hidung (dorsum nasi),
3) puncak hidung (hip),
4) ala nasi,
12

5) lubang hidung (nares anterior) 2

Gambar 1.anatomi hidung

Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os. internum di
sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung
dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka
superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior dengan
dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka media
dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus
superior.

Kompleks ostiomeatal (KOM)


13

Kompleks ostiomeatal
(KOM) adalah bagian dari
sinus etmoid anterior yang
berupa celah pada dinding
lateral hidung. Pada
potongan koronal sinus
paranasal gambaran KOM
terlihat jelas yaitu suatu
rongga di antara konka
media dan lamina papirasea.
Struktur anatomi penting
yang membentuk KOM
adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula
etmoid, agger nasi dan ressus frontal. Serambi depan dari sinus maksila
dibentuk oleh infundibulum karena sekret yang keluar dari ostium sinus maksila
akan dialirkan dulu ke celah sempit infundibulum sebelum masuk ke rongga
hidung. Sedangkan pada sinus frontal sekret akan keluar melalui celah sempit
resesus frontal yang disebut sebagai serambi depan sinus frontal. Dari resesus
frontal drainase sekret dapat langsung menuju ke infundibulum etmoid atau ke
dalam celah di antara prosesus unsinatus dan konka media4 .
Sistem Mukosiliar Hidung
14

Gambar 3. System mukosiliar


Transportasi mukosiliar atau TMS adalah suatu mekanisme mukosa hidung
untuk membersihkan dirinya dengan cara mengangkut partikel-partikel asing
yang terperangkap pada palut lender ke arah nasofaring. Merupakan fungsi
pertahanan local pada mukosa hidung. Transpor mukosiliar disebut juga
clearance mucosiliar atau sistem pembersih mukosiliar sesungguhnya.(5)

Transportasi mukosiliar terdiri dari dua sistem yang bekerja simultan, yaitu
gerakan silia dan palut lendir. Ujung silia sepenuhnya masuk menembus
15

gumpalan mukus dan bergerak ke arah posterior bersama dengan materi asing
yang terperangkap di dalamnya ke arah nasofaring. Aliran cairan pada sinus
mengikuti pola tertentu. Transportasi mukosiliar pada sinus maksila berawal
dari dasar yang kemudian menyebar ke seluruh dinding dan keluar ke ostium
sinus alami. Kecepatan kerja pembersihan oleh mukosiliar dapat diukur dengan
menggunakan suatu partikel yang tidak larut dalam permukaan mukosa. Lapisan
mukosa mengandung enzim lisozim (muramidase), dimana enzim ini dapat
merusak bakteri. Enzim tersebut sangat mirip dengan immunoglobulin A (Ig A),
dengan ditambah beberapa zat imunologik yang berasal dari sekresi sel.
Imunoglobulin G (IgG) dan Interferon dapat juga ditemukan pada sekret hidung
sewaktu serangan akut infeksi virus. Ujung silia tersebut dalam keadaan tegak
dan masuk menembus gumpalan mukus kemudian menggerakkannya ke arah
posterior bersama materi asing yang terperangkap ke arah faring. Cairan
perisiliar yang di bawahnya akan di alirkan kearah posterior oleh aktivitas silia,
tetapi mekanismenya belum diketahui secara pasti. Transportasi mukosiliar
yang bergerak secara aktif ini sangat penting untuk kesehatan tubuh. Bila sistem
ini tidak bekerja secara sempurna maka materi yang terperangkap oleh palut
lender akan menembus mukosa dan menimbulkan penyakit. Kecepatan dari
TMS sangatlah bervariasi, pada orang yang sehat adalah antara 1 sampai 20 mm
/ menit.

Karena pergerakan silia lebih aktif pada meatus inferior dan media maka
gerakan mukus dalam hidung umumnya ke belakang, silia cenderung akan
menarik lapisan mukus dari meatus komunis ke dalam celah-celah ini.
Sedangkan arah gerakan silia pada sinus seperti spiral, dimulai dari tempat yang
jauh dari ostium. Kecepatan gerakan silia bertambah secara progresif saat
mencapai ostium, dan pada daerah ostium silia tersebut berputar dengan
kecepatan 15 hingga 20 mm/menit(5)
16

Pada dinding lateral rongga hidung sekret dari sinus maksila akan bergabung
dengan sekret yang berasal dari sinus frontal dan etmoid anterior di dekat
infundibulum etmoid, kemudian melalui anteroinferior orifisium tuba
eustachius akan dialirkan ke arah nasofaring. Sekret yang berasal dari sinus
etmoid posterior dan sfenoid akan bergabung di resesus sfenoetmoid, kemudian
melalui posteroinferior orifisium tuba eustachius menuju nasofaring. Dari
rongga nasofaring mukus turun kebawah oleh gerakan menelan(6)

Vaskularisasi

Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari a.etmoid anterior


dan posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika, sedangkan a.oftalmika
berasal dari a.karotis interna. 7

Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang a.


maksilaris interna, diantaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a. sfenopalatina
yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki
rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. 7

Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang


a.fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
a.. sfenopalatina, a. etmoid, a. labialis superior, a. palatina mayor, yang disebut
pleksus Kiessebach(Little’s area) letaknya superfisial dan mudah cedera oleh
trauma, sehingga sering menjadi sumber epitaksis (perdarahan hidung),
terutama pada anak. 7

Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan


berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung
bermuara ke vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang
berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki
17

katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran


infeksi sampai ke intrakranial.7

Innervasi

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan snsoris dari n.
etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang berasal
dari n. Oftalmikus. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan
sensoris dari n. maksilla melalui ganglion sfenopalatina.

Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga


memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung.
Ganglion ini menerima serabut saraf sensoris dari n.maksilla (N. V-2), serabut
parasimpatis dari n. petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis dari
n. petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit
diatas ujung posterior konka media. 7

2. Anatomi Sinus Paranasal

Ada delapan sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi hidung, sinus
frontal kanan dan kiri, sinus ethmoid kanan dan kiri (anterior dan posterior),
sinus maksila kanan dan kiri (antrum highmore) dan sinus sfenoid kanan dan
kiri. Semua sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa
hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium
masing-masing 8
18

Gambar 4. Sinus paranasal

Secara embriologis, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga


hidung dan perkembangannya pada fetus saat usia 3-4 bulan, kecuali sinus
frontalis dan sphenoidalis. Sinus maksilaris dan ethmoid sudah ada saat anak
lahir sedangkan sinus frontalis mulai berkembang pada anak lebih kurang
berumur 8 tahun sebagai perluasan dari sinus etmoidalis anterior sedangkan
sinus sphenoidalis berkembang mulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari
postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar
maksimum pada usia 15-18 tahun. Sinus frontalis kanan dan kiri biasanya tidak
simetris dan dipisahkan oleh sekat di garis tengah7.
A. Sinus Maksila
Pada waktu lahir sinus maksila ini mulanya tampak sebagai cekungan
ektodermal yang terletak di bawah penonjolan konka inferior, yang terlihat
berupa celah kecil di sebelah medial orbita. Celah ini kemudian akan
berkembang menjadi tempat ostium sinus maksila yaitu di meatus media.
Dalam perkembangannya, celah ini akan lebih kea rah lateral sehingga
terbentuk rongga yang berukuran 7 x 4 x 4 mm, yang merupakan rongga sinus
maksila. Perluasan rongga tersebut akan berlanjut setelah lahir, dan berkembang
19

sebesar 2 mm vertical, dan 3 mm anteroposterior tiap tahun. Mula-mula


dasarnya lebih tinggi dari pada dasar rongga hidung dan pada usia 12 tahun,
lantai sinus maksila ini akan turun, dan akan setinggi dasar hidung dan
kemudian berlanjut meluas ke bawah bersamaan dengan perluasan rongga.
Perkembangan sinus ini akan berhenti saat erupsi gigi permanen. Perkembangan
maksimum tercapai antara usia 15 dan 18 tahun.4
Sinus maksila berbentuk piramid ireguler dengan dasarnya menghadap ke fosa
nasalis dan puncaknya ke arah apeks prosesus zigomatikus os maksila. Dinding
anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa
kanina,dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding
medialnya ialah dinding lateral rongga hidung. Dinding medial atau dasar
antrum dibentuk oleh lamina vertikalis os palatum, prosesus unsinatus os
etmoid, prosesus maksilaris konka inferior, dan sebagaian kecil os lakrimalis.
Dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus
alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding
medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.
Menurut Morris, pada buku anatomi tubuh manusia, ukuran rata-rata sinus
maksila pada bayi baru lahir 7-8 x 4-6 mm dan untuk usia 15 tahun 31-32 x 18-
20 x 19-20 mm. Antrum mempunyai hubungan dengan infundibulum di meatus
medius melalui lubang kecil, yaitu ostium maksila yang terdapat di bagian
anterior atas dinding medial sinus. Ostium ini biasanya terbentuk dari membran.
Jadi ostium tulangnya berukuran lebih besar daripada lubang yang sebenarnya
Hal ini mempermudah untuk keperluan tindakan irigasi sinus
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah :
1. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas , yaitu
premolar (P1 dan P2) , molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring
(C) dan gigi molar (M3) , bahkan akar-akar gigi tersebut tumbuh ke dalam
rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Gigi premolar kedua dan
gigi molar kesatu dan dua tumbuhnya dekat dengan dasar sinus. Bahkan
20

kadang-kadang tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa


saja. Proses supuratif yang terjadi di sekitar gigi-gigi ini dapat menjalar ke
mukosa sinus melalui pembuluh darah atau limfe, sedangkan pencabutan
gigi ini dapat menimbulkan hubungan dengan rongga sinus yang akan
mengakibatkan sinusitis.
2. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.
3. Os sinus maksila lebih tinggi letaknya dari dasar sinus, sehingga
drainase hanya tergantung dari gerak silia, dan drainase harus melalui
infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid
anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat
menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan
sinusitis.4
B. Sinus Frontalis
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat
fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid.
Sesudah lahir. sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan
mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun.

Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi , dan seringkali juga sangat
berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus dan pasangannya, kadang-kadang juga
ada sinus yang rudimenter. Bentuk sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak
simetris, satu lebih besar dari pada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang
terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu
sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang. Ukuran
rata-rata sinus frontal : tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm, dan isi rata-
rata 6-7 ml. Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding
sinus pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal
dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior,
sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal
21

berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di ressus frontal yang berhubungan


dengan infundibulum etmoid.4
C. Sinus Etmoid

Dari semua sinus paranasal. sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir
ini dianggap paling penting. karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-
sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengen
dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm,
tinggi 2.4 cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian
posterior.

Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang


tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid. yang terletak di
antara konka media dan dinding medial orbita. Sel-sei ini Jumlahnya bervariasi.
Berdasarkan letaknya. sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang
bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus
superior.

Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut
resesus frontal. yang berhubungan dengan sinus frontai. Sei etmoid yang
terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu
penyempitan yang disebut infundlbuium. tem pat berrnuaranya ostlum sinus
makslia. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan
sinusitis frontal dan pembengkakan di lnfundibulum dapat menyebabkan
sinusitis maksila.

Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidaiis berbatasan dengan lamina
kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirarasea yang sangat tipis dan
membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid
posterior berbatasan dengan sinus sfenoid.4

D. Sinus Sfenoid
22

Binus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.


Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum inlersfenoid.
Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3 cm dan lebarnya 1,7 cm.
Volumenya bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh
darah dan nervus dl bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan
dengan rongga sinus dan tampak sebagai lndentasi pada dinding sinus sfenoid.
Batas batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar
hipofisa. sebelah interiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan
sinus kavernosus dan a.karotis lnterna (sering tampak sebagai indentasi) dan di
sebelah posteriomya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.4

3. Rhinosinusitis1
3.3.1. Definisi
Menurut The European position paper on rhinosinusitis and nasal
polyps(EPOS), definisi rhinosinusitis secara klinis pada orang dewasa ialah
inflamasi pada hidung dan sinus paranasal dengan karakteristik 2 gejala atau
lebih, yang salah satunya adalah hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti/ nasal
discharge anterior/posterior nasal drip) nyeri pada wajah, atau menurunnya fungsi
penghidung, dan tanda endoskopi yaitu polip nasi, discharge yang mukopurulen
yang berasal dari meatus media dan atau edema/obstruksi mukosa yang berawal
dari meatus media dan atau perubahan mukosa pada kompleks ostiomeatal dan
atau sinus.1
3.3.2. Etiologi dan Faktor Predisposisi1
Beberapa faktor etiologi dan presdiposisi antara lain ISPA akibat virus,
bermacam rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita hamil,
polip hidung, kelainan anatomi seperti devisiasi septum atau hipertropi konka,
sumbatan kompleks Ostio-metal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan
imunologik, diskinesia silia seperti pada sindroma kartagener.
23

Pada anak hifertropi adenoid merupakan factor penting penyebab sinusitis


sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan
menyembuhkan rinosinusitisnya.
Factor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan
kering serta kebiasaan merokok. Kadaan ini lama-lama menyebabkan perubahan
mukosa dan merusak silia.9

3.3.3. Epidemiologi
Insiden rinosinusitis di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 33 juta orang
amerika pertahun menderita sinusitis. sebesar 14,6 % dari populasi dan dan
prevalensi diagnosa Rhinosinusitis kronis oleh dokter sebanyak 2-4%. Yang
merupakan peringkat kelima terbanyak dalam pengobatan dengan antibiotik.
Kasus rinosinusitis kronis itu sendiri sudah masuk data rumah sakit berjumlah
18 sampai 22 juta pasien setiap tahunnya yang menghabiskan 3,4-5 juta dollar,
dan kira -kira sejumlah 200.000 orang dewasa Amerika.2

Di Rsup Haji Adam Malik Pada Tahun 2011, dari 190 sampel rinosinusitis
kronis, diperoleh insidensi penyakit ini paling sering pada rentang umur 31-45
tahun (31,6%), perempuan lebih rentan mendapat rinosinusitis kronis (54,2%)
dan keluhan utama yang paling banyak didapati adalah hidung tersumbat
(56,8%). Faktor predisposisi yang tidak dicantumkan untuk memicu kejadian ini
menempati tempat paling sering (63,2%), manakala sinus maksilaris (54,6%)
merupakan sinus yang paling sering mengalami kelainan dalam penyakit
rinosinusitis kronis. Kejadian sinusitis secara unilateral adalah yang paling sering
terjadi (48,4%). 10
24

3.3.4. Patofisiologi 11

Kegagalan transport mukus dan menurunnya ventilasi sinus merupakan faktor


utama berkembangnya sinusitis. Patofisiologi rinosinusitis digambarkan sebagai
lingkaran tetutup, dimulai dengan inflamasi mukosa hidung khususnya kompleks
ostiomeatal (KOM). Secara skematik patofisiologi rinosinusitis sebagai berikut:
Inflamasi mukosa hidung -> pembengkakan (udem) dan eksudasi -> obstruksi
(blokade) ostium sinus -» gangguan ventilasi & drainase, resorpsi oksigen yang
ada di rongga sinus -> hipoksi (oksigen menurun, pH menurun, tekanan negatif)
-> permeabilitas kapiler meningkat, sekresi kelenjar meningkat -transudasi,
peningkatan eksudasi serus, penurunan fungsi silia -> retensi sekresi di sinus
pertumbuhan kuman.11
Sebagian besar kasus rinosinusitis disebabkan karena inflamasi akibat dari colds
(infeksi virus) dan rinitis alergi. Infeksi virus yang menyerang hidung dan sinus
25

paranasal menyebabkan udem mukosa dengan tingkat keparahan yang berbeda.


Virus penyebab tersering adalah coronavirus, rhinovirus, virus influenza A, dan
respiratory syncytial virus (RSV).
Pada pasien rinitis alergi, alergen menyebabkan respons inflamasi dengan
memicu rangkaian peristiwa yang berefek pelepasan mediator kimia dan
mengaktifkan sel inflamasi. Limfosit T-helper 2 (Th-2) menjadi aktif dan
melepaskan sejumlah sitokin yang berefek aktivasi sel mastosit, sel B dan
eosinofil. Berbagai sel ini kemudian melanjutkan respons inflamasi dengan
melepaskan lebih banyak mediator kimia yang menyebabkan udem mukosa dan
obstruksi ostium sinus. Rangkaian reaksi alergi ini akhirnya membentuk
lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan bakteri sekunder seperti halnya
pada infeksi virus.11

Klirens dan ventilasi sinus yang normal memerlukan mukosa yang sehat.
Inflamasi yang berlangsung lama (kronik) sering berakibat penebalan mukosa
disertai kerusakan silia sehingga ostium sinus makin buntu. Mukosa yang tidak
dapat kembali normal setelah inflamasi akut dapat menyebabkan gejala persisten
dan-mengarah pada rinosinusitis kronik.11
26

3.3.5. Klasifikasi

Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps


2012,berdasarkan waktunya rhinosinusitis dapat terbagi atas: 4 epos

1. Rhinosinusitis Kronik Tanpa Polip Nasal


2. Rhinosinusitis Kronik dengan Polip Nasal

Berdasarkan beratnya penyakit, rinosinusitis dapat dibagi menjadi ringan,


sedang dan berat berdasarkan total skor visual analogue scale (VAS) (0-10) : 4
1. Ringan = VAS 0-3
2. Sedang = VAS >3-7
3. Berat = VAS >7-10

Untuk menilai beratnya penyakit, pasien diminta untuk menentukan dalam


VAS jawaban dari pertanyaan: Berapa besar gangguan dari gejala rinosinusitis
saudara?

3.3.6. Manifestasi Klinis2

Terdapat beberapa manifestasi klinis pada rhinosinusitis, diantaranya adalah :9

1. Gejala Subjektif

a. Hidung tersumbat
b. Nyeri/nyeri tekan pada wajah
c. Sakit kepala
d. Gangguan penghidu

2. Gejala Obyektif

a. Edema
b. Sekret Nasal
c. Massa Pada Cavum Nasal
27

3.3.7. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
a. Hidung tersumbat
b. Nyeri/nyeri tekan pada wajah
c. Sakit kepala
d. Gangguan penghidu
e. Sekret Nasal

Terdapat beberapa gejala minor seperti: nyeri telinga, pusing, halitosis, sakit gigi,
iritasi faring, laring, trakea, disfonia dan batuk, mengantuk, malaise, gangguan
tidur.1
Yang menjadi pembeda antara kelompok rinosinusitis kronik tanpa dan dengan
nasal polip adalah ditemukannya jaringan polip / jaringan polipoid pada
pemeriksaan rinoskopi anterior.
28

Pemeriksaan

a. Rhinoskopi Anterior
Tanda khas adanya sekret di meatus media atau meatus superior, edema
mukosa atau konka, hiperemis pada rhinosinusitis akut, polip atau
abnormalitas anatomi hidung.
b. Rhinoskopi Posterior
Ditemukannya post nasal drip
c. Nyeri tekan pada wajah
d. Transluminasi sinus
Pada pemeriksaan transluminasi, sinus yang mengalami sinusitis akan tampak
suram.

Pemeriksaan rhinoskopi anterior


Pemeriksaan rhinoskopi anterior saja bernilai terbatas, meskipun begitu pemeriksaan
ini merupakan langkah awal dalam pemeriksaan rhinosinusitis. Rinoskopi anterior
dengan cahaya lampu kepala yang adekuat dan kondisi rongga hidung yang lapang
(sudah diberi topikal dekongestan sebelumnya),12,13 Dengan rinoskopi anterior dapat
dilihat kelainan rongga hidung yang berkaitan dengan rinosinusitis kronik seperti
udem konka, hiperemi, sekret (nasal drip), krusta, deviasi septum, tumor atau
polip.12 Rinoskopi posterior bila diperlukan untuk melihat patologi di belakang
rongga hidung.12

Pemeriksaan Penunjang
a. Nasal Endoskopi
b. Imaging
i. Foto Polos : posisi waters, PA, Lateral
ii. Ct-Scan sinus paranasal
Merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu menilai
anatomi hidung dan sinus, adanya penyaki dalam hidung dan sinus
29

secara keseluruhan dan perluasannya. Namun, karena mahal hanya


dikerjakan sebagai penunjang diagnostik sinusitis kronis yang tidak
membaik dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan operator
untuk melakukan operasi.
c. Biopsi dan tes resistensi
d. Cultur Bakteri

Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain:12,13


1. Sitologi nasal, biopsi, pungsi aspirasi dan bakteriologi
2. Tes alergi
3. Tes fungsi mukosiliar : kliren mukosiliar, frekuensi getar siliar,
mikroskop elektron dan nitrit oksida
4. Penilaian aliran udara nasal (nasal airflow): nasal inspiratory
peakflow, rinomanometri, rinometri akustik dan rinostereometri
5. Tes fungsi olfaktori: threshold testing
6. Laboratorium : pemeriksaan CRP ( C-reactive protein)
3.3.8 Diagnosis Banding
Diagnosos banding sinusitis adalah luas, karena tanda dan gejala sinusitis
tidak sensitif dan spesifik. Infeksi saluran nafas atas, polip nasal,
penyalahgunaan kokain, rinitis alergika, rinitis vasomotor, dan rinitis
medikamentosa dapat datang dengan gejala pilek dan kongesti nasal.
Rhinorrhea cairan serebrospinal harus dipertimbangkan pada pasien dengan
riwayat cedera kepala. Pilek persisten unilateral dengan epistaksis dapat
mengarah kepada neoplasma atau benda asing nasal. Tension headache,
cluster headache, migren, dan sakit gigi adalah diagnosis alternatif pada
pasien dengan sefalgia atau nyeri wajah.
Pasien dengan demam memerlukan perhatian khusus, karena demam dapat
merupakan manifestasi sinusitis saja atau infeksi sistem saraf pusat yang
berat, seperti meningitis atau abses intrakranial.17
30

3.4 Polip Hidung 14

Polip hidung ialah massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam rongga
hidung, berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi mukosa. Polip
dapat timbul pada penderita laki-laki maupun perempuan. Polip hidung adalah
massa non-neoplastik dari edema hidung/mukosa sinus, terbagi menjadi 2 yaitu
polip etmoidal bilateral dan polip antrokoanal.14

Patogenesis pembentukan polip sering diasosiasikan dengan inflamasi kronik,


disfungsi saraf otonom serta presdiposisi genetic. Menurut teori Bernstein, terjadi
perubahan mukosa hidung akibat peradangan atau aliran udara yang
berturbulensi, terutama didarah sempit ostiomeatal. Terjadi prolaps submukosa
yang diikuti oleh reepitelisasi dan pembentukkan kelenjar baru. Juga terjadi
penyerapan natrium oleh permukaan sel epitel yang berakibat retensi air sehingga
terbentuk polip.
Teori lain mengatakan karena ketidak seimbangan saraf vasomotor terjadi
peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan regulasivaskular yang
mengakibatkandilepasnya sitokin-sitokindari sel mast, yang akan menyebabkan
edema dan lama-kelamaan menjadi polip.
Bila proses terus berlanjut , mukosa yang sembab makin membesar menjadi polip
dan kemudian akan turun ke rongga hidung dengan membentuk tangkai.

Secara Makroskopik polip merupakan massa bertangkai dengan permukaan


licin, berbentuk bulat dan lonjong, berwarna putih keabu-abuan, agak bening,
lobular, dapat tunggal atau multiple dan tidak sensitive (bila ditekan/ditusuk tidak
terasa sakit). Warna polip yang pucat disebabkan karena mengandung banyak
cairan dan sedikit aliran darah ke polip, dan bila terjadi iritasi kronis warna polip
dapat berubah menjadi kemerah-merahan, polip yang sudah menahun dapat
menjadi kekuning-kuningan karna banyak mengandung jaringan ikat. Tempat asal
31

tumbuhnya polip terutama dari kompleks ostio-meatal di meatus medius dan sinus
etmoid. Polip yang tumbuh kearah belakang dan membesar di nasofaring disebut
polip koana14.

Secara mikroskopis tampak epitel pada polip serupa dengan mukosa hidung
normal yaitu epitel bertingkat semu bersilia dengan submukosa yang sembab. Sel-
selnya terdiri dari limfosit, sel plasma, eosinophil, neutrophil dan makrofag.
Mukosa mengandung sel-sel goblet. Polip yang sudah lama dapat mengalami
metaplasis epitel karena sering terkena aliran udara, menjadi epitel transisional,
kubik atau gepeng berlapis tanpa keratinisasi. Berdasarkan jenis sel peradangan
polip dikelompokkan menjadi polip tipe eosinofilik dan polip tipe neutrophil.14

Anamnesis

Keluhan utama penderita polip nasi ialah hidung rasa tersumbat dari yang ringan
sampai berat, rinore mulai jernih sampai purulent, hiposmmia atau anosmia.
Disertai bersin-bersin, rasa nyeri pada hidung disertai sakit kepala didaerah
frontal. Gejala sekunder yang dapat timbul ialah bernafas lewat mulut, suara
sengau, halitosis, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup. Dapat
menyebabkan gejala saluran napas bawah.14

Pemeriksaan Fisik

Polip nasi yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga
hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan
Rhinoskopi anterior terlihat massa berwarna pucat yang berasal dari meatus
medius dan mudah digerakkan. Pembagian stadium polip menurut Mackay dan
Lun, stadium 1: polip masih terbatas di meatus medius, stadium 2: polip sudah
keluar dari meatus medius, tampak di rongga hidung tapi belum memenuhi
rongga hidung, stadium 3: polip massif.14
32

Pemeriksaan Penunjang

Naso-Endoskopi

Adanya fasilitas endoskop (teleskop) akan sangat membantu diagnosis kasus


polip yang baru. Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada
pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan
nasoendoskopi. Pada kasus polip koanal juga sering dapat dilihat tangkai polip
yang berasal dari ostium asesorius sinus maksila. Untuk melihat polip yang masih
kecil dan belum keluar dari kompleks osteomeatal. 14

Radiologi

Foto polos sinus paranasal (posisi waters, AP, Caldwell dan lateral) dapat
memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara cairan di dalam sinus,
tetapi kurang bermamfaat pada kasus polip. Pemeriksaan tomografi komputer
(TK, CT scan) sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung
dan sinus paranasal apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau
sumbatan pada kompleks ostiomeatal. TK terutama diindikasikan pada kasus
polip yang gagal diobati dengan terapi medikantosa, jika ada komplikasi dari
sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi.

Tatalaksana
Tujuan menghilangkan keluhan-keluhan, mencegah komplikasi dan mencegah
rekurensi polip

Konservatif

1. Perubahan polipoid awal dengan mukosa edem kembali normal dengan


antihistamin dan control alergi
33

2. Penggunaan steroid bermanfaat pada pasien yang tidak toleransi dengan


antihistamin dan atau pada asma. Kontraindikisi: hipertensi, ulkus peptikum,
dm, kehamilan dan tb15

Operatif

1. Polipektomi, kasus polip yang tidak membaik dengan medikamentosa dapat


dilakukan ekstraksi polip (polipektomi) menggunakan senar polip atau cunam
dengan analgesi local
2. Etmoidektomi Intranasal atau ekstranasal untuk polip etmoid
3. Etmoidektomi transnasal (operasi caldwell-Luc), terjadi infeksi dan perubahan
polypoid yang juga tampak pada sinus maksilaris
4. Bedah Sinus endoskopi fungsional (BSEF) yang terbaik apabila tersedia
fasilitas endoskop.15
3.5 Hubungan Polip Hidung dengan Rhinosinusitis Kronik
Etiologi polip hidung sangat kompleks dan masih sulit dipahami. Tetapi biasanya
berhubungan dengan inflamasi kronik, disfungsi saraf otonom, serta predisposisi
genetik. Menurut teori Bernstein terjadi perubahan mukosa hidung akibat
peradangan atau aliran udara yang beturbulensi, terutama ddidaerah sempit di
kompleks ostiomeatal. Terjadi prolapse submukosa yang diikuti oleh reepitelisasi
dan pembentukan kelenjar baru. Juga terjadi penyerapan natrium oleh permukaan
sel epitel yang berakibat retensi air sehingga terbentul polip.14,15

Teori lain mengatakan karena ketidakseimbangan saraf vasomotor terjadi


peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi vascular yang
mengakibatkan dilepasnya sitokin-sitokin dari sel mast, yang akan menyebabkan
edema dan lama-kelamaan menjadi polip. Polip biasanya tampak pada
rhinosinusitis kronik baik pada alergi dan non alergi. Rhinitis no alergi dengan
sindrom eusinofil (NARES) terbentuk dari rhinitis kronik yang berhubungan
dengan polip. Mukosa hidung, terutama pada daerah meatus medial dan konka
34

menjadi edem akibat terkumpulnya cairan ekstraseluler akibat perubahan polipoid.


Polip yang awalnya sembab menjadi bertangkai akibat gravitasi dan bersin yang
berlebihan.14,15
Meskipun prevalensi dan morbiditas rinosinusitis kronis disertai dengan polip
masih sangat tinggi, tetapi masih sedikit diketahui tentang mekanisme yang
mendasari patogenesisnya. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa tingkat EBV
induced protein 2 juga meningkat pada penderita polip hidung (p < 0,5) dan
berkorelasi positif terhadap sel B, terjadi peningkatan kadar sel B dan sel plasma
pada jaringan nasal polip dibandingkan pada jaringan orang normal, di duga sel B
memainkan peranan penting dalam patogenesis polip hidung (Hulse et al. 2013).
Polip nasi dapat timbul pada hidung yang tidak terinfeksi kemudian menyebabkan
sumbatan yang mengakibatkan rinosinusitis, tetapi dapat juga timbul setelah ada
rinosinusitis kronis. Pada patofisiologi sinusitis, permukaan mukosa ditempat yang
sempit di komplek osteomeatal sangat berdekatan dan jika mengalami oedem,
mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak
dan lendir tidak dapat dialirkan. Maka terjadi gangguan drainase dan ventilasi dari
sinus maksila dan sinus frontal, sehingga akibatnya aktifitas silia terganggu dan
terjadi genangan lendir sahingga lendir menjadi lebih kental dan merupakan media
yang baik untuk tumbuh bakteri patogen. Bila sumbatan berlangsung terus maka
akan terjadi hipoksia dan retensi lendir sehingga bakteri anaerob pun akan
berkembang biak. Bakteri juga memproduksi toksin yang akan merusak silia.
Selanjutnya dapat terjadi perubahan jaringan menjadi hipertofi, polipoid atau
terbentuk polip dan kista.
35

3.6 Tatalaksana
Tujuan terapi sinusitis adalah 1) mempercepat penyembuhan, 2) mencegah
komplikasi, dan 3) mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan
ialah membuka sumbatan di KOM sehingga drainase dan ventilasi sinus-sinus
pulih secara alami.1

Gambar 5 skema tatalaksana rhinosinusitsi kronis di pelayanan primer


36

tatalaksana rhinosinusitsi kronis di pelayanan primer

Gamba
r 6. Skema tatalaksana RSK dengan polip hidung
37

Tatalaksana RSK secara umum adalah terapi medikamentosa dan pembedahan yang
diperlukan bila ditemui kegagalan medikamentosa dengan gejala yang persisten.
Kombinasi kortikosteroid intranasal dan cuci hidung dengan NaCl fisiologis,
merupakan medikamentosa utama penatalaksanaan RSK dengan rekomendasi grade
A. Kortikosteroid intranasal berfungsi sebagai anti inflamasi, sedangkan cuci hidung
berguna dalam mengurangi post nasal drip, membersihkan sekret, alergen dan iritan
lainnya, sehingga memperbaiki klirens mukosilier. Pemberian medikamentosa lain
seperti: antibiotik, anti histamin, PPI; harus berdasarkan keluhan dan gejala klinik
yang terlihat.16
38
39
40

Terapi Bedah Berbasis Bukti Untuk Rinosinusitis

Penelitian mengenai operasi sinus sangat sulit untuk digeneralisasi, karena operasi
diindikasikan pada pasien tertentu yang tidak memberikan respon yang adekuat
terhadap pengobatan medikamentosa. Terdapat masalah khusus dalam melaksanakan
studi operatif, karena operasi sangat sulit untuk diprediksi atau distandarisasi,
terutama pada penelitian multisenter, dan tipe penatalaksanaan sulit dibuat membuta
(blinding/ masking). Randomisasi kemungkinan berhadapan dengan masalah etik
kecuali kriteria inklusi dipersempit dan adalah sangat sulit untuk memperoleh
kelompok pasien homogen dengan prosedur terapi yang dapat dibandingkan untuk
menyingkirkan bias evaluasi hasil operasi sinus. Meskipun demikian :

1. Pada rinosinusitis akut, operasi diindikasikan pada kasus yang berat


dan komplikasi yang berhubungan.
2. Lebih dari 100 kasus berseri (level IV) dengan hasil yang konsisten
bahwa pasien rinosinusitis kronis dengan dan tanpa polip mendapat manfaat
dari operasi sinus
3. Komplikasi mayor terjadi pada kurang dari 1 % dan operasi revisi
dilaksanakan kira - kira 10 % dalam kurun waktu 3 tahun
4. Pada sebagian besar kasus rinosinusitis kronis, pengobatan
medikamentosa yang adekuat sama efektifnya dengan operasi, jadi operasi
sinus seharusnya dicadangkan untuk pasien yang tidak memberikan respon
memuaskan terhadap pengobatan medikamentosa. (level Ib)
5. Bedah sinus endoskopik fungsional lebih superior dibandingkan
prosedur konvensional termasuk polipektomi dan irigasi antrum (Level Ib),
41

tetapi superioritas terhadap antrostomi meatus inferior atau


sfenoetmoidektomi belum terbukti
6. Pada pasien rinosinusitis kronis yang belum pernah dioperasi, operasi
yang lebih luas tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan
prosedur operasi yang terbatas (level Ib). Walaupun bukan berbasis bukti,
perluasan operasi biasanya disesuaikan terhadap perluasan penyakit, yang
merupakan pendekatan secara rasional. Pada bedah sinus paranasal primer,
direkomendasikan bedah secara konservatif.
7. Operasi sinus endonasal revisi hanya diindikasikan jika pengobatan
medikamentosa tidak efektif. Perbaikan gejala secara umum diobservasi
pada pasien dengan rinosinusitis kronis dengan dan tanpa polip, walaupun
perbaikannya kurang dibandingkan setelah operasi primer. Angka
komplikasi dan terutama resiko rekurensi penyakit lebih tinggi
dibandingkan operasi primer.1

3.7 Komplikasi9

Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya


antibiotik. Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada
sinusitis kronis dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau
intrakranial.

1. Kelainan orbita, disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan


dengan mata (orbita). Yang paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian
sinusitis frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui
tromboflebitis dan perkontinuitaturm Kelainan yang dapat timbul ialah
- edema palpebra
- selulitis orbita
- abses subperiostal
42

- abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi thrombosis sinus


kavernosus.
2. Kelainan intrakranial. Dapat berupa
- meningitis
- abses ekstradural atau subdural
- abses otak
- trombosis sinus kavernosus

Komplikasi juga dapat terjadi pada sinusitis kronis, berupa

3. Osteomielitis dan abses subperiostal.

Paling sering timbul aklbat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada
anak-anak. Pada osteomyelitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral
atau fistula pada pipi.

4. Kelainan paru
- bronkitis kronik
- bronkiektasis.
Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut
sinobronkitis. Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma
bronkial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan.12

BAB IV
ANALISIS KASUS
43

Pada kasus ini telah dilaporkan seorang laki-laki berusia berusia 45 tahun yang
datang dengan keluhan sakit kepala sejak 2 hari yang lalu, sebelumnya ± 3 bulan
yang lalu pasien mengeluhkan hidung tersumbat, disertai rinore berwarna bening
dan tidak kunjung membaik. Keluhan dirasakan semakin memberat sejak ± 3
minggu SMRS dan membaik jika os telah melakukan cuci hidung. Pasien juga
nyeri pada wajah dan kadang sampai ke bagian kepala seperti ditusuk-tusuk,
memberat bila meundukkan kepala, penciuman dirasakan berkurang pada kedua
hidung. Pasien juga mengeluhkan bersin-bersin (+), batuk hilang timbul (+),
demam hilang timbul (-).
Gejala yang ditemukan ini sesuai dengan manifestasi klinis rinosinusitis kronis
yang tertera baik pada EPOS 2012 dimana dikatakan rinosinusitis terdapat dua
atau lebih gejala dimana salah satunya adalah buntu hidung (nasal blockage /
obstruction / congestion) atau nasal discharge (anterior / posterior nasal drip)
yang dapat disertai nyeri fasial / pressure dan penurunan daya penciuman. Jika
gejala tersebut berlangsung lebih dari 12 minggu, maka dapat disebut sebagai
rinosinusitis kronis.1

Dari pemeriksaan fisik, tidak terdapat pembengkakan pada wajah pasien


khususnya di daerah sinus maksila dan frontal serta tidak terdapat nyeri ketuk
sinus. Rinoskopi anterior memperlihatkan kedua konka inferior hipertrofi,
mukosa cavum nasi pucat, terdapat sekret minimal berwarna jernih di meatus
inferior sinistra. Dari pemeriksaan penunjang, Xray Posisi Waters didapatkan
hasil Sinus maksillaris: penebalan polypoid mucosa sinus maxillaries kanan.
Temuan dari pemeriksaan fisik dan penunjang sesuai dengan manifestasi klinis
menurut EPOS 2012 yaitu dari pemriksaan fisik dapat ditemukan
Nasoendoskopi polip dan/ atau - sekret mukopurulen dari meatus medius dan/
atau - edema/ obstruksi mukosa di meatus medius dan/ atau Tomografi computer
terdapat perubahan mukosa di kompleks osteomeatal dan/atau sinus.1
44

Pasien mulai berobat jalan di bagian THT sejak Januari 2019 ,keluhan dirasa
berkurang dengan terapi cuci hidung dan obat-obatan. Dari riwayat pengobatan
tersebut, diketahui bahwa setelah menjalan terapi konservatif selama beberapa
bulan hingga saat ini, terapi hanya mampu mengurangi namun tidak dapat
menghentikan keluhan sehingga disarankan terapi dalam bentuk tindakan yang
lebih invasif. Hal ini sesuai dengan algoritma terapi rinosinusitis yang
dikeluarkan oleh EPOS 2012 dimana pasien dengan rinosinusitis kronis awalnya
dapat diterapi secara konservatif menggunakan kortikosteroid topikal dan cuci
hidung namun jika setelah 4 minggu dinilai tidak ada perbaikan atau perbaikan
minimal serta telah mengganggu aktivitas dan kualitas hidup pasien maka dapat
dipertimbangkan untuk dilakukan tindakan pembedahan dengan setelahnya di
follow up dan diberikan kortikosteroid topikal, cuci hidung, kultur dan pemberian
antibiotik jangka panjang.13

BAB V
KESIMPULAN
45

Secara umum rinosinusitis kronis adalah suatu inflamasi pada (mukosa)


hidung dan sinus paranasal, berlangsung selama dua belas minggu atau lebih.
Penyebab rinosinusitis kronik bersifat multifaktorial antara lain inflamasi kronis,
gangguan patensi Kompleks Osteomeatal (KOM), gangguan klirens mukosilier serta
peningkatan pertumbuhan bakteri. Secara epidemiologi yang paling sering terkena
adalah sinus ethmoid dan maksilaris. Gejala umum rhinosinusitis kronis yaitu hidung
tersumbat disertai dengan nyeri/rasa tekanan pada muka dan ingus purulent, yang
seringkali turun ke tenggorok (post nasal drip). Diagnosis rinosinusitis kronis
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
yang umumnya merujuk pada kriteria diagnosis EPOS 2012. Bahaya dari
rinosinusitis adalah komplikasinya hingga ke daerah orbita dan intrakranial. Prinsip
penatalaksanaan rinosinusitis kronik pada orang dewasa dibedakan menjadi dua yaitu
penatalaksanaan medikamentosa dan pembedahan. Pada rinosinusitis kronik terutama
yang tidak membaik dengan tatalaksana medikamentosa, terapi pembedahan menjadi
pilihan yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA
46

1. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012. Rhinology.


Supplement 23, 2012
2. Ballenger JJ. The technical anatomy and physiology of the nose and accessory
sinuses. In Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head, & Neck. Fourteenth edition
Ed. Ballenger JJ. Lea & Febiger. Philadelphia, London, 1991: p.3-8
3. Deepthi N.V, Menon U.K, Madhumita K. Review Article : Chronic
Rhinosinusitis – An Overview. Amrita Journal Of Medicine. 2012: 1-44
4. Soepardi EA, et al. Buku ajar ilmu kesehatan : telinga hidung tenggorok kepala&
leher. 6th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007
5. Yilmaz AS, Naclerio RM. Anatomy and Physiology of the Upper Airway.
Available at: http://pats.atsjournals.org/content/8/1/31.full.pdf+html.
6. Lund VJ. Anatomy of the nose and paranasal sinuses. In : Gleeson (Ed).
ScottBrowns’s Otolaryngology. 6th ed. London : Butterworth, 1997: p.1/5/1-30.
7. Damayanti dan Endang. Sinus Paranasal. Dalam: Efiaty, Nurbaiti, editor. Buku
Ajar Ilmu Kedokteran THT Kepala dan Leher, ed. 7, Balai Penerbit FK UI,
Jakarta 2012.
8. Lasiyo S. Rinosinusitis Akut. Ilmu Penyaki Telinga Hidung Tenggorok Kepala
Leher Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 2012
9. Damayanti dan Endang. Sinusitis. Dalam: Efiaty, Nurbaiti, editor. Buku Ajar
Ilmu Kedokteran THT Kepala dan Leher, ed. 7, Balai Penerbit FK UI, Jakarta
2012.
10. Arivalagan, Privina. The Picture Of Chronic Rhinosinusitis in RSUP Haji Adam
Malik in Year 2011. E – Jurnal FK-USU Volume 1 No. 1 Tahun 2013
11. Kentjono WA. Rinosinusitis: Etiologi dan Patofisiologi. Bagian Ilmu Kesehatan
THT FK Unair/RSU Soetomo Surabaya. 2004
12. Mulyarjo. Diagnosis klinik rinosinusitis. In Mulyarjo, Soedjak S, Kentjono WA,
Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap perkembangan terkini
diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya: Dep./SMF THT-KL
Univ.Airlangga,2004; 17-23
47

13. Fokkens W, Lund V, Mullol J, et al. European position paper on rhinosinusitis


and nasal polyps. Rhinology, 2007; 45(suppl 20): 1-139.
14. Mangunkusumo, Endang.Wardani,Retno S.polip Hidung dalam Soepardi, Efiaty
A.Iskandar,Nurbaity.Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala & Leher Edisi Keenam. Fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Jakrta
2007.
15. Dhingra PL. Disease of Ear Nose and Throat. 4th Edition. New Delhi: Elsevier,
Inc, 2007. pp 210
16. Ratunanda SS. Tatalaksana medikamentosa pada rhinosinusitis kronik.
Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok – Bedah Kepala Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin
Bandung
17. Adams GL, Boies LR, Higler PH. Hidung dan Sinus Paranasalis. Buku Ajar
Penyakit THT. Edisi Keenam. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1997.
Hal 173-240.

Anda mungkin juga menyukai