Anda di halaman 1dari 7

FATWA ULAMA TENTANG PERAYAAN NATAL

Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk mendiskusikan secara kritis tentang pendapat ulama mengenai
ucapan selamat natal. Fatwa-fatwa tentang natal dikeluarkan sebagai dampak dari
perdebatan tentang kehadiran seorang Muslim pada perayaan-perayaan natal. Sebagian
ulama meyakini bahwa perayaan natal dapat menjadi godaan kuat bagi umat Islam untuk
ikutserta dalam perayaan tersebut. Ulama ini mengajukan temuan bahwa para ulama
mempunyai pandangan berbeda tentang ajaran Islam mengenai mengucapkan selamat natal
kepada orang-orang Kristen. Kelompok pertama meyakini bahwa mengucapkan selamat
natal kepada orang Kristen tidak diperbolehkan, sedangkan kelompok kedua meyakini
bahwa orang-orang Islam diperbolehkan untuk menghadiri dan mengucapkan selamat natal
kepada mereka. Secara historis, dunia Muslim telah memberikan respons terhadap eksistensi
dan ritual perayaan natal dengan cara merayakan hari kelahiran Nabi (maulid Nabi) dan
sebagian ulama hendak membuktikan perayaan natal bidah bagi Muslim.

Kata Kunci: Perayaan Natal, Pendapat Ulama


PENDAHULUAN
Banyak umat Islam, terutama yang hidup terutama beragama Kristen atau dipengaruhi
oleh budaya Barat, menderita sikap merayakan Natal karena periode Natal begitu penting
dalam perjalanan hidup. Strategi periklanan utama ini telah memungkinkan adanya rumah di
televisi, radio, majalah dan surat kabar, dan telah mempengaruhi imajinasi orang dengan
berbagai atraksi siang dan malam selama lebih dari sebulan. 1Di Belanda misalnya, inilah
konflik paling kontroversial atau sering disebut penyatuan atas keberadaan anak-anak muslim
di hari raya. Pertanyaan yang paling umum adalah apakah mereka harus menghadiri upacara
tersebut atau apakah mereka ingin orang Kristen merayakan Natal. Imam Amsterdam
mencoba menjawab pertanyaan apakah umat Islam dapat merayakan Natal dengan
mengeluarkan partwa (keputusan resmi atau penawaran keagamaan) yang melarang Natal
(larangan).
Muslim mengunjungi perayaan Natal bukanlah hal baru. Secara keseluruhan sejarah
Islam, ia mengorganisir perayaan Muslim yang luar biasa yang dialami dalam sebagian kecil
Islam. Dari awal setu abad ke-12 (Maroko Utara), orang-orang Kristen merayakan pesta besar
dan Muslim tertarik pada festival dan tertarik pada Muslim Islam yang tertarik pada liburan
Natal. Di Mesir, hari-hari Kristen menyatakan bahwa kekaisaran berbagi kabin manis dengan
kompresor. Pada abad ke-13, umat Islam berpartisipasi dalam pesta Natal di jembatan. Pada
saat itu, Abbas, seorang pemimpin jembatan, berusaha menghilangkan keterlibatan Muslim
dari Partai Natal dengan menyajikan lisensi (ulang tahun Nabi Muhammad) kepada Muslim.
Di saat yang sama, dia ingin memperkuat identitas Muslim Sota. Pada Februari 1981,
umat Islam di Indonesia mengakui tema Natal yang umum. Tujuannya adalah untuk
mempromosikan keharmonisan antara Muslim dan Kristen, yang merupakan hasil dari
konflik pada akhir 1960an dan awal 1970-an. Beberapa orang Indonesia telah melihat acara
ini sebagai contoh toleransi beragama yang baik, tetapi banyak yang melihatnya secara tidak
langsung. Upaya untuk memperkenalkan agama Kristen atau Kristen kepada Muslim.2
Karena toleransi beragama, umat Kristen Indonesia lebih memilih mengundang umat Islam
ke perayaan Natal. Dia mengklaim bahwa Natal bukanlah ritual maupun hari lahir Nabi
Muhammad. Beberapa Muslim adalah anggota Dewan Natal. Kemitraan dengan Muslim
adalah kesempatan besar bagi orang Kristen untuk belajar agama Kristen. Oleh karena itu,
para ulama meyakini penting untuk menerbitkan fatwa. Misalnya, fatwa yang dikeluarkan
Komisi Ulama Indonesia (MUI) yang ditandatangani Siuri Jazali dan Masudi melarang umat
Islam mengikuti perayaan Natal. Hamanaka juga menyebutkan masalah pencegahan umat
Islam untuk berpartisipasi dalam perayaan Natal. Umat Kristen percaya bahwa Natal adalah
hari lahir 'anak-anak Tuhan' yang berencana untuk pindah ke Tuhan, dan dia bersikeras
bahwa itu adalah iman Kristen dan bahwa Muslim juga memiliki keyakinan mereka sendiri.
Ibn Taymiyah mengatakan keyakinannya bersalah dan hampir bisa menipu. Ini benar
ketika Jaziya (pajak non-Islam) muncul di awal Islam. Oleh karena itu, mereka percaya
bahwa umat Islam harus menjadi penolong mereka dalam beberapa elemen keimanan
mereka.

1
Abdul Manan, Diskurs Fatwa Ulama Tentang Perayaan Natal, Hal 26
2
Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis ‘Ulama’ Indonesia: Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum
Islam di Indonesia 1975-1988 (Jakarta: Mizan, 1993), h. 110. Lihat juga Karel Steenbrink, “Hamka (1908-1981)
and the Integration of the Islamic Ummah of Indonesia,” dalam Studia Islamika, Vol. 1, No 3, 1994, h. 142.
Kita tahu bahwa ada dua jenis fatwa di dunia Muslim. Pertama: fatwa akademis
seperti Syekh Muhammad IbnSaleh Al Atashin, Ibn Taymiyah, Ibn Taymiam, Muhammad
Rasheed Lida dan Muhammad Quraisy Shahab Fatwa. Kedua, fatwa dikeluarkan oleh
kelompok ilmiah seperti Keputusan Ahli Hukum Tinggi Arab Saudi, Keputusan Uni Eropa,
dan Keputusan Ulama (MUI). Dalam dunia Islam, sebagian besar undang-undang
dikeluarkan sebagai tanggapan atas masalah yang dihadapi komunitas Islam. Beberapa
undang-undang dikeluarkan secara sukarela oleh pemerintah atau ulama untuk menjalankan
Islam, sementara yang lain dikeluarkan atas permintaan pemerintah bila diperlukan, dan
ulama memberikan nasihat tentang masalah agama.3 Oleh karena itu, dekrit dikeluarkan
untuk tujuan yang berbeda dalam keadaan yang berbeda.
Tulisan ini mengkaji fatwa para ulama yang berkaitan dengan pengucapan selamat
kepada umat Kristen atas perayaan natal mereka. Lebih lanjut akan dicoba untuk menjelaskan
mengapa fatwa ini di keluarkan. Selain itu, juga akan dilihat beberapa diskusi tentang
pendapat ilmuwan Muslim tentang mengucapkan selamat natal kepada Kristen serta
bagimana reaksi dunia Muslim tetang perayaan natal tersebut.
PEMBAHASAN
Hubungan Sosial Politik dari Fatwa
Fatwa tentang perayaan natal dikeluarkan berhubungan dengan perayaan tahun ketiga
millennium, pembahasan tentang persaingan antara misi Kristen, dan pembahasan tentang
kedatangan orang Islam pada perayaan natal. Fatwa tersebut dipublikasikan berkenaan
dengan pertanyaan tentang merayakan millennium dan diajukan kepada mufti yang
berkedudukan tinggi dan diteruskan kepada panitia tetap dewan tinggi ulama (No. 3825,
tanggal 21/Rajab/1420 hijriah atau 1 September/1999 masehi). 4Pertanyaannya, “bagaimana
seharusnya umat Islam menyiapkan dirinya untuk menyambut kedatangan tahun baru?”
Pertanyaan ini pernah diajukan kepada Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaymin sebagai
seorang mufti (pemberi fatwa) untuk mengetahui keputusan syar ‘i (hukum Islam) mengenai
masalah ini. Istifta’ (peminta fatwa) adalah majelis tertinggi ahli hukum dari Kerajaan Arab
Saudi atas nama umat Islam.
Menyambut awal milenium ke-3 dalam kalender Masehi, umat Islam menunjukkan
bahwa ada banyak catatan tentang peristiwa penting dan persiapan keselamatan pada tahun
2000 (era Kristen). Orang Yahudi dan Kristen sangat senang dengan acara tersebut dan
memberinya harapan besar. Umat Kristen sedang mempersiapkan tahun 2000 untuk kalender
mereka sendiri, melakukan apa yang mereka inginkan secara khusus dan menyebarkan iman
mereka kepada orang-orang di seluruh dunia, terutama Amerika. Beberapa Muslim juga
tertarik dengan acara ini, dan sekarang adalah waktu yang tepat untuk menikah atau
melakukan sesuatu. Beberapa dari mereka mempromosikan acara ini di toko atau perusahaan.
Juga, di bawah pengaruh propaganda ini, beberapa Muslim mulai bersiap untuk
merayakannya, termasuk menggambarkan lawan mereka dalam teks acara tersebut. Ada

3
Fatwa adalah anjuran agama yang diberikan oleh seorang mufti (pemberi fatwa) atas permintaan satu orang
atau lebih orang Islam yang menanggapi adalah mufti sebagai orang yang berkuasa. Pemberi fatwa disebut
ifta, sedangkan peminta fatwa disebut istiftâ’.
4
Millennium pertama dimulai pada AD (Anno Domini) 1. Jadi millennium dihitung dengan cara berikut:
millennium pertama: 1-1000, millennium kedua: 1001-2000, dan millennium ketiga: 2001-3000. Dengan
demikian, millenniumketiga sama dengan abad ke 21 yang dimulai pada bulan Januari pada tahun 2001.
kekhawatiran bahwa hal itu dapat mempengaruhi keyakinan Islam. Sehubungan dengan hal
tersebut, Dewan Hukum Tertinggi Arab Saudi memutuskan untuk merayakan Tahun Baru
2000, apakah umat Islam saling menyambut atau tidak, dan mengeluarkan fatwa atas nama
umat Islam untuk melaksanakan berbagai kegiatan. Penggunaan milenium baru dan kalender
Masehi. Bisa dikatakan umat Islam dilarang merayakan dan meniru berbagai aktivitas
Kristiani, seperti merayakan milenium baru dan agama Kristen lainnya.
Seringkali saat merayakan Natal di Indonesia, umat Islam dengan senang hati
diundang untuk merayakan Natal. Ia menerima undangan tersebut karena sejumlah alasan.
Salah satu alasannya adalah kebanyakan orang Indonesia ingin hidup harmonis dengan orang
Indonesia. Banyaknya kegiatan merayakan Natal di Indonesia sudah tidak perlu
dipertanyakan lagi. Misalnya, Anda dapat menyumbangkan uang ke panti asuhan Matritter
Pit, mengunjungi rumah orang tua Anda, mengenakan pakaian bekas dan berdonasi untuk
pensiunan, atau membeli makanan. Alasan lainnya, keluarga yang berbeda agama dan agama
di Indonesia tidak jarang dan tidak menjadi masalah. Keluarga yang berbeda umumnya
berpartisipasi dalam pelayanan keluarga lain yang berbeda agama. Misalnya, di Solo
Indonesia, pemilik rumah Mustafa al-Habsi merayakan Natal di rumah pada tanggal 25
Desember 2008 dan menyajikan makan siang Natal khusus kepada tetangganya (Muslim dan
non-Muslim) yang disebut tumpengan.5
Diskursus Pendapat Ulama tentang Perayaan Natal
Dalam hal ini, dinilai perlu untuk mendiskusikan pendapat ilmuwan Muslim terhadap
masalah ini. Untuk mengetahui perdebatan di antara ilmuwan Muslim dalam hal memberikan
ucapan selamat kepada umat Kristen dalam perayaan natal mereka atau ikut serta dalam hari
besar keagamaan umat Kristen. Pendapat-pendapat ilmuwan Muslim dalam masalah ini dapat
memperluas pemahaman dari fatwa itu sendiri. Untuk tujuan ini, akan didiskusikan pendapat-
pendapat ilmuwan Muslim.
Pendapat Husein Shahab
Pendapat Husin Shahab didasarkan pada kesimpulan dari diskusi tentang partisipasi
Muslim pada natal. Kesimpulannya ada dua. Pertama, 25 Desember adalah bukan tanggal
yang tepat untuk hari kelahiran Nabi Isa.Kedua, tidak ada teks al-Qur’an tentang natal, juga
tidak ada argumen yang pasti berasal Nabi Muhammad SAW. atau imam yang mengatakan
bahwa orang harus memberi penghormatan pada hari natal. Karena itu, merayakan natal
dikategorikan sebagai bidah6. Di samping itu, mengacu pada kesimpulan dan pengalaman
Ayatullah Khomeini ketika ia diasingkan, Shahab kemudian memutuskan bahwa hukum
merayakan natal menjadi dua.Pertama, bagi Muslim, tidak ada pendapat atau pedoman untuk
melakukannya.Kedua, jika ada manfaat dalam melakukannya, misalnya untuk membangun
rasa saling menghormati antara Islam dan Kristen, maka hukumnya menjadija’iz.7 Informasi
yang serupa mengenai mengucapkan selamat kepada orang Kristen untuk membangun saling
menghormati dan persatuan antara Islam dan Kristen dikeluarkan oleh Imam Pakistan, Syed

5
Pada perayaan tersebut, Musthofa al-Habsy mengatakan bahwa tidak ada larangan dalam Islam untuk
merayakan kelahiran Nabi Isa (Yesus Kristus) yang juga diakui sebagai Nabi dalam agama Islam. Lihat detik.com
pada 25 Desember 2008.
6
Lihat artikel Husein Shahab dalam majalah Tempo, 1 Agustus 1991, h. 6.
7
Suatu tindakan dianggap netral terhadap perintah Allah yang mungkin atau mungkin tidak dilakukan dimana
tida ada kerugian atau kebaikan terjadi. Sinonim darija’izadalahmubah.
Sâdat ‘Ali Qadri yangmengatakan bahwasetiap Muslim seharusnya mengucapkan selamat. Ia
ingin mengingatkan masyarakat Muslim bahwa Muhammad dan Isa adalah dekat. Itu
sebabnya Muslim dan Kristen seharusnya berusaha untuk bersatu mengusir kekuatan
komunis medan kapitalisme. Dalam hal ini, merayakan natal tidak diperselisihkan.8
Pendapat Ibn Taymiyyah
Menurut Ibn Taymiyyah, memberi ucapan selamat pada perayaan non-Muslim pada
hari besar agama mereka adalah dilarang. Menyetujui hari besar agama mereka berarti
menyetujui untuk kekafiran, dan menyetujui beberapa aspek kecil dari agama mereka adalah
seperti menyetujui sebuah cabang dari kekafiran. Larangan juga diperluas kepada semua hal
yang berkaitan kepada perayaan, seperti, memberikan hadiah dan makanan.
Ibn Qayyim juga mempunyai pendapat yang sama, di mana memberi ucapan selamat
pada orang kafir pada perayaan agama mereka adalah dilarang oleh konsensus karena
menyiratkan bahwa seseorang menerima atau menyetujui dari ritual kekafiran mereka.
Demikian pula dengan Fatwa Lajna Daima li al-Buhûts al- ‘Ilmiyya wa al-Iftâ’. Fatwa ini
menyatakan bahwa Muslim tidak diperbolehkan untuk mengucapkan selamat kepada
orangorang Kristen pada hari raya mereka. Lebih lanjut, fatwa ini menjelaskan bahwa ada
unsur dosa dalam praktik seperti itu yang dilarang dalam Islam. Muhammad Rasyid Ridha
juga menyatakan pembahasan yang sama dalam fatwanya yang melarang Muslim untuk
mengambil bagian dalam perayaan agama non-Muslim9. Selain itu, Jamal al-Dîn Zarabozo
menegaskan lebih lanjut bahwa Muslim tidak diperbolehkan untuk mengucapkan selamat
pada hari libur atau perayaan/festival non-Muslim karena kegiatan tersebut dianggap dilarang
oleh kesepakatan ulama Islam. Tindakan ini dianggap menghormati orang Kristen serta
membantu mereka dalam kesyirikan, kegiatan tersebut tidak memiliki dasar dalam hukum
Islam10. Dengan demikian, hukum menyampaikan ucapan selamat kepada non-Muslim pada
hari besar agama mereka adalah dilarang.
Faktanya, keputusan kerajaan yang dikeluarkan oleh Kementerian Dalam Negeri pada
7 Maret 1981 harus dipertimbangkan berdasarkan informasi yang terkandung dalam empat
paragraf sebelumnya. Otoritas Islam di Indonesia khawatir Natal akan menjadi godaan besar
bagi umat Islam untuk berpartisipasi dalam perayaan Natal, yang semakin populer di
keluarga dan kehidupan publik mereka. Menurut Beck, kesalahpahaman penggunaan nilai-
nilai religius dan seremonial pada perayaan Natal sebagai ciri khas Natal bisa sangat
bertentangan dengan ketentuan hukum Islam atau mengabaikan ajaran Islam namun menurut
Fatwa 7 Maret 1981, perayaan tersebut Hari Natal Bahaya terbesar bagi eksistensi Muslim
dalam Kekristenan adalah bahwa mereka memiliki alasan yang kuat untuk mengekspos
mereka kepada agama Kristen. Selain itu, para ilmuwan percaya bahwa ini adalah ancaman
langsung bagi agama Kristen.11

8
Nico Landman, Visies van Moslims in Nederlands op de Christenen en de Kerkedijke Houding Tenover
Moslims, (Dotoraalscriptie Missiologie Faculteit der Godgeleerdheid, Vrije Universiteit Amsterdam, 1986), h.
50.
9
Lihat Nurhadi, Muslim’s Attendence at Christmas Celebration: A Study on the Fatwa of the Council of
Indonesian ‘Ulama’, (paper tidak diterbitkan, 1998), h. 35.
10
Lihat Jamal al-Din Zarabozo, “Celebrating or Participating in Holidays of the Disbelivers,” dalam Majalah al-
Jumu ‘ah, Vol. 9, Issue 2.
11
Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia, h. 101.
Fatwa menyebarluaskan dan mengutip teks dari Muslim Patwa yang menghadiri
upacara Natal yang dikeluarkan Kementerian Dalam Negeri pada 7 Maret 1981. Kongres
Patwa mengutip ayat 25 Alquran dalam sembilan catatan. Sebagian besar lagu yang
disebutkan adalah Sura Maidah (Sura 5) dan Al-Kafirun (Sura 109). 6 puisi dalam 2 bab.
Bagian lain disebutkan dalam Asli (ayat 4), Mariam (ayat 3), Gao (ayat 2), Kotaris, Kuman,
Mutam, dan Pertobatan (ayat). Selain syair Alquran, MUI menggunakan Hadis, dikutip
Numan Ibn Bashir, yang merujuk doktrin hukum Islam untuk mendukung penalaran
keagamaan yang menarik.12 Setelah beberapa kali berdiskusi tentang fatwa, dia
menyimpulkan bahwa umat Islam dilarang keras untuk berpartisipasi dalam perayaan Natal.
KESIMPULAN
Di Indonesia, Natal dirayakan di mana-mana dengan suara lagu-lagu Natal, dan
semangat Natal memungkinkan kehidupan sosial. Otoritas Islam di Indonesia prihatin bahwa
Natal akan menjadi godaan serius bagi umat Islam karena Natal menjadi lebih umum dalam
keluarga dan kehidupan publik. Bahaya terbesar adalah Muslim akan tergoda untuk
merayakan Natal dan masuk Kristen. Singkatnya, diyakini bahwa orang Kristen
menggunakan Natal sebagai bagian dari strategi pertobatan mereka. Ordonansi Kementerian
Dalam Negeri menjelaskan hubungan antara ulama dan pemerintah. Ulama, di sisi lain,
memiliki kewajiban untuk memimpin umat Islam ke dalam komunitas religius. Oleh karena
itu, para ilmuwan harus mempertimbangkan dengan cermat kepentingan manusia. Di sisi lain,
pemerintah harus berurusan dengan sejumlah perusahaan yang berbeda agama. Alhasil,
pemerintah bertindak lebih hati-hati dan inklusif dalam menangani masalah keagamaan. Itu
adalah area sensitif yang dapat menghalangi stabilitas negara.
Studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa ulama memiliki pandangan yang
berbeda tentang ajaran Islam tentang keinginan umat Kristen untuk Natal. Dia juga mencatat
bahwa ajaran Islam tentang partisipasi Islam dalam ritual non-Muslim pada umumnya
berbeda. Pandangan mereka dapat dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama
mengucapkan Selamat Natal kepada Umat Kristen. Cendekiawan Muslim seperti Ibn
Taymiyyah, Ibn Qayyim, Muhammad Rashid Rida, dan Sheikh Muhammad ibn Saleh al-
Attan melarang umat Islam mendekati dan mengagumi orang Kristen. Sebaliknya, kelompok
lain mengizinkan umat Islam untuk menyambut umat Kristen seperti Syahab, dan jika umat
Islam melakukannya dengan bijak, mereka mengizinkan umat Islam untuk menyambut umat
Kristiani dan merayakan Natal. Dan Anda dapat melindungi keyakinan / keyakinan mereka
dari kehancuran keyakinan mereka. Salah jika melepaskan toleransi beragama atas nama
agama jika agama tidak bersalah karena membutuhkan toleransi beragama. Namun, keliru
pula mencemari kesakralan keyakinan agama dalam karya toleransi beragama. Oleh karena
itu, cara umat Islam tidak bisa merayakan Natal bersama umat Kristen bisa dimaklumi dalam
hal menjaga keimanannya. Mereka juga bisa meningkatkan rasa saling menghormati antara
Islam dan Kristen, sehingga bisa berpartisipasi dalam perayaan natal.

12
Ibid., h. 104.
Daftar Pustaka
Mudzhar, Muhammad Atho’. Fatwa - Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi tentang
Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988. Jakarta: Mizan, 1993.
Al-Utsaymin, Muhammad Ibn Shalih. “al-Tahni’a bi ‘Id al-Krismâsi,” dalam The Council of
Supreme Body of Jurists of the Kingdom of Saudi Arabia. Fatâwâ al-Bilâd al-Harâm. Saudi
Arabia: t.p., 1999.
Shihab, Muhammad Quraish.Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1992.

Anda mungkin juga menyukai