Anda di halaman 1dari 5

Konflik-konflik yang terjadi antar partai di era Demokrasi Liberal seperti yang telah

disinggung pada pendahuluan, menjadi permasalahan utama yang akan dibahas


berkaitan dengan dampak yang ditimbulkan oleh konflik tersebut, seiring dengan
berlakunya sistem parlementer pada saat itu.
Konflik-konflik tersebut terjadi karena di dalam menjalankan peran dan fungsi dari
masing-masing partai terjadi benturan-benturan baik dari segi ideologi, pemanfaatan isu
nasional, dan hal ini terlihat jelas pada perjalanan masing-masing partai pada masa
Demokrasi Liberal saat itu. Dengan menggunakan ideologi, sebuah partai mencoba
untuk menyerang partai lainnya. Caranya adalah menghubungkan ideologi masing-
masing dengan isu-isu nasional yang dianggap dapat mengurangi pengaruh bahkan
menjatuhkan partai lainnya. Setiap partai mempunyai kelompok-kelompok sosial
tertentu yang dijadikan wahana untuk mencari pengaruh dan memperjuangkan ideologi
masing-masing.
Dinamika politik yang tidak stabil yang tergambar dengan sering terjadinya pergantian
kabinet merupakan dampak dari konflik di atas. Untuk melihat bagaimana dinamika
politik selama masa Demokrasi  Liberal, antara lain dapat ditempuh melalui jumlah
pergantian kabinet yang demikian cepat, dari kabinet yang satu ke kabinet yang lain.
Seperti dikutip oleh Arbi Sanit, selama Indonesia merdeka, tak kurang dari 25 kabinet
yang telah memerintah Indonesia, selain itu ahli lain juga menghitung usia rata-rata dari
12 kabinet di era Demokrasi Liberal, tak lebih dari 8 (delapan) bulan[1].
Oleh karena itulah sistem multi partai dikatakan sebagai sumber konflik nasional pada
saat itu, dikarenakan konsekuensi dari sistem tersebut yaitu terjadinya konflik horizontal
antar partai yang membuat situasi politik yang tidak stabil.
Salah satu definisi partai politik yang menggambarkan adanya kemungkinan terjadinya
konflik antar partai adalah definisi yang dikemukakan oleh Sigmund Neumann dalam
karangannya Modern Political Parties, yaitu sebagai berikut : “ Partai politik adalah
organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan
pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu
golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan-pandangan yang
berbeda”[2].
Selain itu, dalam menjalankan perannya dalam kehidupan politik nasional, partai politik
menyelenggarakan beberapa fungsi sebagai berikut [3]: 1. Partai sebagai sarana
komunikasi politik, 2. Partai sebagai sarana sosialisasi politik, 3.   Partai politik sebagai
saran rekruitmen politik, 4. Partai politik sebagai sarana pengatur konflik.
Ke-empat fungsi di atas akan coba dikaji sejauh mana partai-partai politik yang hidup di
era Demokrasi Liberal dengan sistem multi partainya dapat berperan sebaik mungkin
dengan menjalankan fungsi-fungsi di atas sebagai mana mestinya.
Sisi Positif dan Negatif dari Sistem Multipartai
a.         Sisi Positif

            1)         Menempatkan kalangan sipil sebagai pelaksana kedaulatan rakyat dan
pemerintahan.
            2)         Mencegah kekuasaan presiden yang terlalu besar karena wewenang
pemerintah                                   dipegang oleh partai yang berkuasa.
            3)         Menghidupkan suasana demokratis di Indonesia karena setiap warga
berhak                                          berpartisipasi dalam politik,antara lain mengkritik
pemerintah,menyampaikan                                      pendapat,dan mendirikan partai
politik.

b.         Sisi Negatif


            1)         Ada kecenderungan terjadi peraingan yang tidak sehat di parlemen
maupun kabinet.
            2)         Sejumlah partai cenderung menyuarakan kepentingan kelompoknya
sendiri,bukan                               kepentingan rakyat banyak.

NEGARA MENURUT SISTEM KEPARTAIAN


Sistem Kepartaian

Menurut Maurice Duverger, partai politik suatu Negara dapat digolongkan menjadi tiga macam,
yaitu:

(a)   Sistem Monopartai (Sistem Satu Partai)

       Suatu sistem politik dikatakan menganut sistem monopartai, apabila di dalam wilayah
Negara tersebut hanya terdapat satu partai yang diakui dan diperbolehkan hidup serta
berkembang.

(b)   Sistem Dwipartai (Sistem Dua Partai)

       Suatu sistem politik dikatakan menganut sistem dwipartai, apabila di dalam wilayah Negara
tersebut konstitusional hanya diakui adanya dua partai yang hidup dan berkembang. Contoh
Negara yang menganut sistem dua partai adalah Amerika Serikat dengan Partai Republik dan
Demokrat serta Inggris dengan partai Konservatif dan partai Buruhnya.

(c)   Sistem Multipartai (Sistem Partai Banyak)


       Suatu sistem politik dikatakan menganut sistem dwipartai, apabila di dalam wilayah Negara
tersebut terdapat lebih dari dua partai yang diakui secara konstitusional. Contoh Negara yang
menganut sistem multipartai, antara lain Indonesia, Filipina, Jepang, Malaysia, Belanda, dan
Perancis.

Sistem multipartai adalah sebuah sistem yang terdiri atas berbagai partai politik yang berlaga
dalam pemilihan umum, dan semuanya memiliki hak untuk memegang kendali atas tugas-tugas
pemerintah, baik secara terpisah atau dalam koalisi.[1] Sistem multi-partai banyak dipraktikkan
dalam sistem parlementer dibandingkan sistem presidensial, serta di negara-negara yang
Pemilunya menggunakan sistem proporsional dibandingkan dengan negara-negara yang
menggunakan sistem distrik.
Sistem distrik terpusat pada daerah dukungan terkonsentrasi untuk perwakilan besar
dalam legislatur sementara sistem proporsional lebih mengaitkan pandangan masyarakat. Sistem
proporsional memiliki distrik-distrik multianggota dengan lebih dari satu perwakilan yang terpilih dari
setiap daerah yang diberikan untuk badan legislatif yang sama, dan kemudian masuk ke dalam
sejumlah besar partai. Hukum Duverger menyatakan bahwa jumlah partai politik adalah tambahan
jumlah kursi dalam suatu daerah.
Argentina, Austria, Brasil, Denmark, Finlandia, Perancis, Jerman, Islandia, India, Indonesia, Irlandia, 
Israel, Italia, Lebanon, Meksiko, Moldova, Nepal, Belanda, Selandia
Baru, Norwegia, Filipina, Portugal, Rumania, Serbia, Spanyol, Sri
Lanka, Swedia, Swiss, Taiwan, Tunisia, dan Ukraina adalah contoh negara-negara yang
menggunakan sistem multipartai secara efektif dalam sistem demokrasinya. Di negara-negara
tersebut, tak ada partai tunggal yang memegang penuh kursi parlemen. Sehingga, berbagai partai
politik membentuk koalisi partai politik dalam menyusun blok kekuatan pengembangan
pemerintahan.
BAB II
PEMBAHASAN

1.1  PENGERTIAN SISTEM MULTI PARTAI 

          Suatu sistem dikatakan menganut multipartai,apabila di dalam wilayah Negara tersebut
terdapat lebih dari dua partai yang diakui secara konstitusional. Contoh Negara yang menganut
sistem multipartai, antara lain Indonesia,Filipina,jepang,Malaysia,Belanda dan Prancis.
          Sistem multi partai adalah salah satu varian dari beberapa sistem kepartaian yang
berkembang di dunia modern saat ini. Kata kunci dari sistem multipartai  tersebut adalah jumlah
partai politik yang tumbuh atau eksis yang mengikuti kompetisi mendapatkan kekuasaan melalui
pemilu, lebih dari dua partai politik.
Umumnya sistem ini dianggap cara paling efektif dalam merepresentasikan keinginan
rakyat yang beranekaragam ras, agama, atau suku. Dan lebih cocok dengan pluralitas budaya dan
politik di banding dwi partai. Sistem ini dalam kepemerintahan parlementer cenderung
menitikberatkan kekuasaan pada badan legislatif, hingga badan eksekutif sering berperan lemah
dan ragu-ragu. Sebab tidak ada satu partai yang cukup kuat untuk menduduki kepemerintahan
sendiri hingga memaksa untuk berkoalisi..

           
1.2  SISTEM MULTIPARTAI DI INDONESIA
           Kemerdekaan berserikat, berkumpul, serta mengeluarkan pikiran dan pendapat merupakan
hak asasi manusia yang diakui dan dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang terdapat pada pasal 28.
Memperkukuh kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat
merupakan bagian dari upaya untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang kuat dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, serta
demokratis dan berdasarkan hukum.
asas tersebut terwujud dalam institusi partai politik. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008
tentang Partai Politik mendefinisikan bahwa Partai Politik adalah organisasi yang bersifat
nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar
kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik
anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa partai politik itu pada pokoknya memiliki kedudukan
dan peranan yang sentral dan penting dalam setiap sistem demokrasi.
Salah satu hasil reformasi yang terpenting adalah dibukanya kebebasan berpendapat dan
berkumpul yang ditandai dengan banyaknya partai (multi partai) dengan berbagai asas dan ciri.
Undang-undang kepartaian telah membolehkan berdirinya partai dengan berbagai asas dan ciri
dengan tetap harus mengakui satu-satunya asas negara, yakni Pancasila. Partai-partai baru pun
bermunculan dan dideklarasikan bahkan tampil dalam berbagai kesempatan untuk
mempropagandakan "ide-ide" dan "program-program mereka". Ratusan partai telah berdiri dan
berusaha mendaftarkan diri ke Departemen kehakiman untuk mendapatkan pengesahan. Tak
ketinggalan media massa sebagai "alat pengarah dan penggiring massa" mengikuti gejala
pluralitas partai itu pun dengan masing-masing menekankan dan menonjolkan partai atau tokoh
partai yang cenderung didukungnya.
 Partai-partai yang begitu banyak dan masing-masing memiliki kepentingan sendiri
Namun yang jelas, target partai-partai yang ada, apapun asas ciri dan warna partai itu, termasuk
dalam hal ini partai-partai yang mengaku berasaskan Islam atau berbasis umat Islam, jelas adalah
mendapatkan suara dan kekuasaan dalam pemilu mendatang untuk nantinya menyusun
pemerintahan yang mendapatkan legitimasi. Partai apapun yang menang, sekalipun asas dan
cirinya mengarah kekiri-kirian, partai itu akan dianggap layak memerintah. Sekalipun partai itu
adalah partai yang menyerukan kepada ide-ide sekularisme dan gaya hidup kebebasan, jika
mendapat suara terbanyak, pemerintahan partai itu harus ditaati. Itulah realitas multipartai yang
ada dalam sistem demokrasi.
             Dalam sejarah pemilu di Indonesia, sistem multipartai telah berlangsung sejak pemilu
pertama ada tahun 1955 dengan jumlah 178 peserta termasuk calon perorangan, Pemilu 1971
diikuti 10 Parpol, Pemilu  1999 diikuti oleh 48 Parpol, dan Pemilu 2004 diikuti oleh 24
parpol. Sementara pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 hanya diikuti 3 parpol. yaitu Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), dan Partai Demokrasi Indonesia
(PDI). Ketiganya merupakan hasil dari fusi (penggabungan) dari partai-partai yang menjadi
peserta pada Pemilu 1971. PPP adalah hasil fusi dari Partai NU, Parmusi, PSII, dan Perti.
Sedangkan PDI merupakan hasil penggabungan dari PNI, Parkindo, Partai Katolik, IPKI, dan
Murba. Pemilu di masa orde baru ini sering disebut dengan sistem multipartai sederhana.

            Di masa transisi politik saat ini, nampaknya sistem multipartai masih akan menjadi idola
dan bertahan lama. Pasalnya, selain konstitusi menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul,
para elit politik juga gemar menginstitusionaliosasikan dirinya kedalam bentuk parpol. Karena
partai politik merupakan kendaraan untuk sampai ke tampuk kekuasaan. 

Anda mungkin juga menyukai