Penulis:
Dr. Razaki Persada, S.E., M.Si
Dedi Epriadi, S.Sos., M.Si.
ISBN: 978-623-315-264-8
Design Cover:
Retnani Nur Briliant
Layout:
Nisa Falahia
ii
KATA PENGANTAR
iv
DAFTAR ISI
vii
a. Penamaan/ judul........................................................... 171
b. Pembukaan ..................................................................... 171
c. Batang Tubuh ................................................................. 178
1) Ketentuan umum ..................................................... 183
2) Ketentuan materi yang akan diatur ...................... 184
3) Ketentuan Peralihan ................................................ 185
4) Ketentuan penutup .................................................. 186
d. Penutup .......................................................................... 188
e. Penjelasan ....................................................................... 188
C. Perubahan Peraturan Desa, Peraturan Kepala Desa,
atau Keputusan Kepala Desa .................................................. 189
D. BAB V Pasal dihapus ............................................................... 192
E. Pencabutan Peraturan Desa, Peraturan Kepala Desa,
atau Keputusan Kepala Desa .................................................. 192
BAB 12
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN TERHADAP
PEMERINTAHAN DESA ................................................................. 195
A. Pembinaan dan Pengawasan oleh Pemerintah Atasan ....... 195
B. Pengawasan oleh Warga Desa Sendiri .................................. 200
C. Pengawasan oleh Lembaga Peradilan ................................... 204
D. Pengawasan oleh Lembaga Ombudsman ............................. 205
BAB 13 ORGANISASI PEMERINTAH DAERAH ....................... 207
BAB 14 REFORMASI KINERJA BIROKRASI
PEMERINTAHAN DAERAH DALAM OTONOMI
DAERAH ................................................................................ 210
TENTANG PENULIS ........................................................................ 221
viii
BAB 1
SEJARAH OTONOMI DAERAH
DI INDONESIA
A. Warisan Kolonial
Sejarah kebijakan penyelenggaraan desentralisasi di
Indonesia telah mengalami perjalanan yang sangat panjang,
tidak hanya sejak lahirnya republik ini, tetapi juga sejak masa
pemerintahan kolonial. Dalam rangka mewujudkan
kepentingan pemerintah kolonial, pemerintah daerah dibentuk
bukan semata-mata untuk meningkatkan kapasitas politik
masyarakat setempat, apalagi untuk kepentingaan
pengembangan demokrasi sebagaimana yang menjadi
argumentasi kontemporer bagi perlunya penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Ada juga pandangan bahwa
kebijaksanaan penyelenggaraan desentralisasi didorong oleh
komitmen politik etis pemerintahan kolonial. Pendapat ini juga
sulit untuk diterima karena penyelenggaraan pemerintahan
daerah bukan untuk memajukan masyarakat setempat,
melainkan perwujudan keinginan pemerintah kolonial untuk
mengeksploitasi wilayah jajahan. Alasan ini diperkuat dengan
kenyataan pada mulanya Reglement (Staatsblaad 1855 No.2)
yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan kolonial tidak
mengenal desentralisasi.
Pada tahun 1903 pemerintah kolonial mengeluarkan
desentralisatievet (staatsblaad No.329 tahun 1903) yang
memberi peluang dibentuknya satuan pemerintan (gelvest)
yang mempunyai keuangan sendiri.Penyelenggaraan
pemerintahan diserahkan pada sebuah raad atau dewan di
tiap-tiap daerah. Decentralisatiewet ini kemudian diperkuat
dengan Decentralisatiebesluit (S.137/1905) dan locale
Radenordonntie (S.181/1905) yang menjadi dasar terbentuknya
local Ressort dan Local raad. Akan tetapi, pemerintah daerah
hampir tidak mempunyai wewenang, bahkan anggota raad ada
1
yang sebagian merupakan pejabat pemerintah, dan sebagian
lagi yang dipilih.
Dewan daerah atau locale raad berhak membentuk
peraturan setempat (localeverordeningen) yang menyankut
hal-hal yang belum diatur oleh pemerintahan colonial.
Pengawasan terhadap pemrintahan setempat dilaksanakan
sepenuhnya oleh Gourverneur-General hindia belanda yang
berkedudukan di Batavia.
Pada saat itu belum ada daerah yang diberi otonomi
(desentralisasi). Daerah-daerah yang dibentuk masih bersifat
administratif (residentie, afdeeling, ditrict dan onderdistrict).
Kepala-kepala daerahnya berstatus pejabat pemerintah pusat
yang menjalankan tugas dekonsentrasi.
Dengan dilatarbelakangi ethische politiek (politik etis)
pemerintah kerajaan belanda mengeluarkan decentralisatiwets
1903/329 (ketentuan tentang desentralisasi) yang ditinjaklanjuti
dengan dikeluarkannya decentralisatibesult S 1905/137
(keputusan guburnur jenderal tentang desentralisasi) yang
dijalankankan sendiri oleh aparatnya misalnya pembentukan
Batavia (kota Batavia) S 1905/204.
Administrasi pemerintahan asli ada dibawah
pemerintahan kerajaan, yang kemudian terdapat sejumlah
wedana dan asisten wedana. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat
dalam bagan berikut.
2
Satu hal yang sangat menonjol yang merupakan warisan
dari pemerintahan kolonial adalah kecendrungan sentralisasi
kekuasaan pada pusat pemerintahan dan pola penyelengaraan
pemerintahan daerah yang terikat. Hal ini masih sangat kuat
dipraktekan dalam penyelenggaraan pemerintahan di
Indonesia dari waktu ke waktu.
3
1. Daerah pemerintahan militer jawa dan Madura yang
dijalankan oleh angkatan darat dan berkedudukan di Jakarta,
2. Daerah pemerintahan militer sumatera yang dijalankan oleh
angkatan darat dan berkedudukan di bukittinggi, dan
3. Daerah pemerintahan militer Sulawesi, Kalimantan, nusa
tenggara, Maluku, dan irian barat yang dijalankan oleh
angkatan laut dan berkedudukan dimakassar.
C. Masa Kemerdekaan
Setelah masa penjajahan jepang berakhir dan Indonesia
merdeka pada tahun 1945, pemerintahan daerah di Indonesia
diatur dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang
silih berganti mengikuti perubahan konstitusi yang digunakan,
yaitu sebagai berikut.
1. Undang-undang no 1 tahun 1945 tentang peraturan
mengenai kedudukan komite nasional daerah.
4
2. Undang-undang no 22 tahun 1948 tentang penetapan
aturan-aturan pokok mengenai pemerintahan daerah sendiri
di daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri.
3. Undang-undang no 1 tahun 1957 tentang pokok-pokok
pemerintahan daerah.
4. Penetapan presiden no 6 tahun 1959 tentang pemerintahan
daerah.
5. Undang-undang no 18 tahun 1965 tentang pokok-pokok
pemerintahan daerah.
6. Undang-undang no 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok
pemerintahan di daerah.
7. Undang-undang no 22 tahun 1999 tentang pemerintahan
daerah.
8. Undang-undang no 32 tahun 2004 tentang pemerintahan
daerah.
5
Pembagian daerah terdiri atas dua macam, yaitu
daerah otonom dan daerah istimewa yang masing-masing
dibagi dalam tiga tingkatan, yakni:
a. Provinsi;
b. Kabupaten/kota besar
c. Desa/kota kecil
6
2. Periode undang-undang nomor 22 tahun 1948
Lahirnya undang-undang No. 1 tahun 1945 belum
memberikan landasan yang menyeluruh tentang
pemerintahan daerah dan tentang tata cara
penyelenggaraannya. Oleh karean itu pada tanggal 10 juli
1948 ditetapkan undang-undang nomor 22 tahun 1948
(undang-undang pokok tentangpemerintahan daerah.
Menurut undang-undang ini negara republik
indonsia terdiri atas dua jenis daerah, yaitu daerah otonom
biasa dan daerah otonom istimewa. Kedua jenis daerah
tersebut dibagi-bagi dalam tiga tingkatan daerah yang
berhak mengatur rumah tangganya yaitu:
a. Daerah tingkat I (satu) disebut provinsi;
b. Daerah tingkat II (dua) disebut dengan kabupaten kota
dan kota besar;
c. Daerah tingkat III (tiga) disebut dengan desa (negeri,
marga, dan sebagainya) dan kota kecil.
7
pemerintah no 10 tahun 1948. Daerah-daerah tersebut
memiliki DPRD yang pada praktiknya adalah anggota DPR
sumatera yang berasal dari sub-sub provinsi semula.
Karena beragamnya peraturan desentralisasi,
diadakan usaha pemberlakuan desentralisasi di seluruh nkri
dengan mengadakan perubaha undang-undang nomor 22
tahun 1948 seperlunya. Setelah melewati berbagai
pemerintahan dan perdana menteri yang berhasil
membentuk daerah-daerah otonom baru dengan segala
permasalahannya sedangkan perubahan undang-undang no
22 tahun 1948 tidak sesuai juga, justru dirasakan banyak
keburukannya, pada tahun 1957 pemerintah eksekutif
didepan dpr mengemukakan perlunya pengawasan oleh
pemerintahan pusat terhadap daerah.
9
diserahkan kepada daerah dan pemerintah pusat hanya
mempunyai wewenang dalam hal-hal yang oleh undang-
undang ditetapkan masih masuk kekuasan pemerintah
pusat (sistem otonomi real)
10
pusat, karena yang membantu tugas pemerintahan umum
pusat adalah pegawai-pegawai pemerintah pamong praja
yang bersangkutan.
Setelah dekrit, pemerintah pusat kembali memegang
pimpinan. Tuntunan otonomi seluas-luasnya bergeser pada
keharusan demokrasi sesuai dengan kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan perwakilan (demokrasi
terpimpin). Pada periode ini dikembangkan ide masyarakat
adil makmur pemerintahan daerah dan hubungannya
dengan pemerintah pusat. Suatu pemerintshsn daerah yang
stabil dan efisien yang mampu memeberi bantuan kepada
pemerintah pusat untuk mencapai masyarakat adil mskmur.
11
b. Menyelenggarakan koordinasi antara jawatan-jawatan
pemerintah pusat di daerah dan antara jawatan-jawatan
tersebut dengan pemerintah daerah.
c. Melakukan pengawasan atas jalannya pemerintah daerah
d. Melakuakan tugas-tugas lain yang diserahkan
kepadanya oleh pemerintah pusat.
12
beberapa orang menteri dan diketahui oleh menteri dalam
negeri.
Selanjutnya wilayah kabupaten dan kotamadya ini
dibagi lagi dalam wilayah kecamatan. Singkatnya daerah
negara dibagi-bagi menurut tingkatannya menjadi :
a. Provinsi/ibukota negara;
b. Kabupaten/kotamadya;
c. Kecamatan
13
Setelah sekian lama undang-undang nomor 5 tahun
1974 berjalan dengan mempergunakan prinsip otonomi
yang nyata dan bertanggung jawab, pada praktiknya terjadi
hal-hal berikut.
a. Desentralisasi tidak berjalan karena yang ada masih
sentralisasi kekuasaan dalam segala bidang.
Desentralisasi hanya pada wilayah pelaksanaan,
sedangkan yang lainnya di tangan pemerintah pusat,
dekonsentrasi dan tugas pembantuan lebih banyak
berjalan daripada desentralisasi.
b. Pengawasan terhadap daerah sangat ketat
c. Pembagian keuangan dan hasil perekonomian bagi
daerah sangatlah minim.
14
8. Periode undang-undang nomor 32 tahun 2004
Pada masa pemerintahan yang dibentuk
pascareformasi banyak sekali perubahan (revisi) terhadap
peraturan perundang-undangan. Salah satu program
reformasi bidang hukum adalah perubahan terhadap
peraturan perundang-undangan. Hal ini dilakukan dalam
rangka pembangunan sistem hukum nasional yang
diselaraskan dengan arah kebijakan pembangunan hukum
yang telah ditetapkan dalam RPJMN 2004-2009, yaitu
sebagai berikut.
a. Menata kembali substansi hukum melalui peninjauan
dan penataan peraturan perundang-undangan untuk
mewujudkan tertib perundang-undangan dengan
memerhatikan asas hukum dan hirarki perundang-
undangan dan menghormati serta memperkuat kearifan
lokal dan hukum adat untuk memperkaya sistem hukum
nasional.
b. Melakukan pembenahan struktur hukum melalui
penguatan kelemabagaan dengan menungkatkan
profesionalisme hakim dan staf peradilan serta kualitas
sistem peradilan yang terbuka dan transparan
c. Meningkatkan budaya hukum antara lain melalui
pendidikan dan sosialisasi berbagai peraturan
perundang-undangan serta perilaku keteladanan dari
kepala negara dan jajarannya dalam mematuhi dan
menaati hukum serta penegakan supremasi hukum.
15
a. Politik luar negeri
b. Pertahanan
c. Keamanan
d. Yustisi
e. Moneter dsn fiskal nasional
f. Agama
16
BAB 2
OTONOMI DAERAH DAN FEDERASI
18
Desentalisasi merupakan pembagian wewenang
pemerintah pusat pada badan tertentu untuk menjalankan
fungsi pemerintahan tertentu (desentalisasi fungsional) atau
penyerahan wewenang secara vertical pada daerah yang
dilakukan pemerintah pusat untuk menjalankan urusan
pemerintahan tertentu yang ditetapkan sebagai urusan rumah
tangga daerah (desentalisasi territorial). Dalam rangka
desentalisasi fungsional, misalnya pemerintah pusat,
memberikan wewenang khusus pada badan otorita (Batam,
Jatiluhur, dan sebagainya). Adapun dalam rangka desentalisasi
territorial, pemerintah pusat memberikan otonomi daerah pada
daerah.
Pada prinsipnya, kebijakan otonomi daerah dilakukan
dengan mendesentralisasikan kewenangan yang sebelumnya
tersentralisasi oleh pemerintah pusat. Dalam proses
desentralisasi,kekuasaan pemerintah pusat dialihkan ke
pemerintahan daerah sebagaimana mestinya sehingga
terwujud pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah
kabupaten dan kota seluruh Indonesia. Jika, dalam kondisi
semula, arus pemerintahan kekuasaan pemerintahan bergerak
dari daerah ke tingkat pusat, sejak ditetapkannya otonomi
daerah, arus dinamika kekuasaan bergerak sebaliknya, yaitu
dari pusat ke daerah.
Kebijakan otonomi dan desentralisasi kewenangan ini
dinilai sangat penting, terutama untuk menjamin agar proses
integrasi nasional dapat dipelihara dengan sebaik-baiknya. Hal
ini karena dalam sstem yang berlaku sebelumnya, daerah-
daerah merasakan adanya ketidakadilan structural yang
tercipta dalam hubungan antara pusat dan daerah-daerah.
Untuk menjamin agar perasaan diperlakukan tidak adil yang
muncul diberbagai daerah seluruh Indonesia tidak semakin
luas dan meningkat yang akan sangat membahayakan integrasi
nasional, kebijakan otonomi daerah ini dinilai mutlak harus
diterapkan dalam waktu yang secepat-cepatnya sesuai dengan
tingkat kesiapan daerah sendiri. Bahkan, awal mula
ditetapkannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang
19
Pemerintahan Daerah, MPR mengeluarkan sebuah ketetapan
MPR No. IV/MPR/2000 yang menegaskan bahwa daerah-
daerah tidak perlu menunggu petunjuk dan aturan dari pusat
untuk menyelenggarakan otonomi daerah sebagaimana
mestinya. Sebelum di keluarkannya peraturan yang diperlukan
dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dapat menentukan
sendiri pengaturan mengenai hal-hal yang bersangkutan
melalui penetapan Peraturan Daerah. Setelah peraturan pusat
yang dimaksud ditetapkan, Peraturan Daerah disesuaikan
sebagaimana mestinya.
Dengan demikan, kebijakan otonomi daerah dan
desentralisasi kewenangan tidak hanya menyangkut
pengalihan kewenangan dari atas ke bawah, tetapi perlu juga
diwujudkan atas dasar prakarsa dari bawah untuk mendorong
tumbuhnya kemandirian pemerintahan daerah sebagai faktor
yang menentukan keberhasilan kebijakan otonomi daerah itu.
Dalam kultur masyarakat yang paternalistic, kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah itu tidak akan berhasil
apabila tidak disertai dengan upaya sadar untuk membangun
keprakarsaab dan kemandirian daerah sendiri.
20
lainnya. Dengan demikian, definisi yang menyangkut self rule
sebuah provinsi harus jelas. Selain itu, setiap provinsi atau
negara bagian harus memiliki konstitusi negara bagian yang
mengatur mekanisme penyelenggaraan pemerintahan di
negara bagian. Yang bersangkutan, termasuk hubungan antara
negara bagian atau provinsi dengan kabupaten atau kota.
Dengan kondisi seperti ini untuk sementara tidak realistis jika
negara ini memilih negara federasi sebagai pengganti dari
bentuk Negara Kesatuan.
Untuk memberlakukan sebuah negara federasi, sejumlah
persyaratan juga harus dapat dipenuhi, terutama yang
menyangkut perwujudan demokrasi dalam kehidupan sehari
hari. Federasi tanpa demokrasi yang stabil sangat sulit
terwujud. Pengalaman di berbagai negara yang memilih
federasi telah memperlihatkan hal itu. Amerika Serikat,
Kanada, Australia dan lainnya adalah negara-negara yang
demokrasinya sudah stabil.
Kedua, pilihan otonomi luas merupakan pilihan yang
sangat strategis dalam rangka memelihara nation state (negara
bangsa) yang sudah lama di bangun dan di pelihara. Dengan
otonomi, kita dapat mengembalikan harkat, martabat, dan
harga diri masyarakat di daerah karena masyarakat didaerah
selama puluhan tahun lebih sejak pasca-kemerdekaan telah
mengalami proses marginalisasi. Mereka mengalami alienasi
dalam segala bentuk pembuatan kebijaksanaan publik. Segala
bentuk kebijaksanaan publik yang bersifat nasional ditentukan
oleh sekoelompok kecil orang dipemerintahan pusat, sementara
masyarakat didaerah diwajibkan untuk menyukseskanya
dalam proses implementasi kebijaksanaan tersebut.
Ketiga, sentalisasi terbukti gagal mengatasi krisis nasional
yang terjadi pada tahun 1997. Saat itu ekonomi indoensia
mengalami kehancuran total dengan segala impliasinya. Hal itu
terjadi karena pemerintah memasuki arena global yang
sebenarnya tidak siap untuk diikuti. Pemerintah lebih banyak
mencurahkan perhatiannya untuk kepentingan ekonomi
domestic dengan berorientasi lokal. Seharusnya tugas
21
pemerintah tidak lagi mengurus dan memikirkan masalah-
masalah derah karena masalah tersebut sebaiknya diserahkan
sepenuhnya kepada pemerintah daerah. Sebaliknya,
pemerintah pusat memusatkan semua perhatian dan energinya
untuk bermain ditingkat internasional sehingga saat terjadi
krisis, pemrintah tidak canggung menghadapinnya. Sekitar
tahun 1997-1999, krisis ekonomi elah membawa dampak sangat
buruk terhadap kehidupan politik nasional. Demikian juga
sebaliknya, sistem politik yang otoritarian akan mengakibatkan
konsentrasi sumber daya ekonomi hanya pada segelintir orang
yang ada dipemerintah pusat karena tidak ada kontrol yang
membatasi kekuasaan.
Oleh karna itu, otonomi daerah merupakn pilihan yang
baik bagi kepentingan bangsa dan masyarakat Indonesia dari
pada sentralisasi. Dengan diberlakukannya desentalisasi,
daerah akan menjadi kuat. Jika daerah sudah kuat, negarapun
akan kuat karena daerah merupakan pilar bagi sebuah negara
dimanapun. Adanya desentalisasi akan memunculkan pusat-
pusat kegiatan ekonomi dan usaha yang baru didaerah-daerah.
Keempat, pemantapan demokrasi politik. Alasan lain
yang diyakini sebgai dasar untuk memiliih desentralisasi
adalah memantapkan ehidupan demokrasi di Indonesia pada
masa-masa yang akan datang. Demokrasi tanpa pengeuatan
politik lokal akan sangat rapuh karena tidak mungkin sebauh
demokrasi dibangun dengan hanya memperkuat elit politik
nasional.
Otonomi daerah akan memperkuat basis bagi kehidupan
demokrasi disebuah negara, termasuk Indonesia. Jika
masyarakat daerah terbiasa dengan proses yang terbuka,
terbiasa terlibat dalam mekanisme membuat kebijakan public
di daerahnya, ketika ada peluang untuk ikut berperan dalam
politik nasional, mereka tidak akan canggung menghadapinya.
Kelima, keadilan. Otonomi daerah akan mencegah
terjadinya kepincangan dalam menguasai sumber daya yang
dimiliki dalam sebuah negara. Sumber daya yang terdapat
disebuah daerah sudah seharusnya dipelihara, dijaga, dan
22
dinikmati oleh masyarakat setempat. Tanah dan hutan dengan
segala hasilnya yang merupakan hak warisan dari kalangan
nenek moyang suatu masyarakat harus dinikmati oleh
masyarakat setempat.
Dengan memperhatikan alsan-alasan tersebut, sudah
seharusnya pilihan terhadap penyelenggaraan otonomi daerah
di negara kesatuan merupakan pilihan yang sangat
menentukan keberadaan negara bangsa pada masa-masa yang
akan datang. Sentralisasi sudah terbukti kegagalannya,
demikian juga dengan dekonsentrasi. Umumnya dekonsentrasi
dapat dijalankan secara simultan dengan desentralisasi
sehingga yang satu tidak menafikkan yang lainnya. Sekalipun
demikian ,bukan berarti desentralisai dan otonomi daerah
menjadi harga mati. Wacana yang menyangkut federasi tentu
harus terbuka dan dibuka secara terus menerus dan yang tidak
kalah pentingnya dalah mempersiapkan sarana untuk
kepentingan itu, terutama sarana konstitusionalnya.
Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai
kewajiban :
1. Melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan
kerukunan nasional, serta keutuhan negara kesatuan
republic Indonesia
2. Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat
3. Mengembangkan kehidupan demokrasi
4. Mewujudkan dan pemerataan
5. Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan
6. Menyediakan fasilitas layanan kesehatan
7. Menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak
8. Mengembangkan sistem jaminan sosial
9. Menyusun perencanaan dan tata ruang daerah
10. Mengembangkan sumber daya produktif di daaerah
11. Melestarikan lingkungan hidup
12. Mengelola administrasi kependudukan
13. Melestarikan nilai sosial budaya
14. Membentuk dan menerapkan peraturan perundang-
undangan sesuai dengan kewenangannya dan
23
15. Kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan.
24
Undang No. 22 tahun 19199 mengunakan prinsip otonomi
nyata seluas-luasnya, dan bertanggung jawab, yang maknanya
sama dengan yang sebelumnya, tetapi lebih luas. Pemberian
otonominya dengan residurual, urusan pusat ditentukan
terlebih dahulu, kemudian urusan provinsi ditetapkan secara
terbatas, dan selebihnya diserahkan kepada kabupaten/kota.
Akibatnya, otonomi daerah kabupaten/kota sangat luas
sedangkan otonomi daerah provinsi sangat terbatas. Prinsip ini
berbeda dengan UU No. 31 tahun 2004 yang menganut sistem
kombinasi residual material. Ada urusan yang mutlak
dijalankan oleh pemerintah pusat (6 urusan) dan da pula
urusan konkuren (bersama) yang dibagi antara pusat, provinsi,
dan kabupaten/kota. Implikasinya otonomi daerah provinsi
sama dengan otonomi daerah kabupaten/kota, yang berbeda
hanya skalanya sehingga otonomi daetah provinsi lebih luas
dari pada otonomi daerah yang diatur dalam UU N0. 22 tahun
1999.
Medebewind (tugas pembantuan) merupakan tugas
pelaksanaan urusan yang menjadi wewenang pemerintah pusat
(bagian sentralisasi) yang secara teknis ditugaskan kepada
daerah atau desa. Jika da tingkatan daerah, tugas pembantuan
juga merupakan penigasan untuk melaksanakan urusan yang
menjadi wewenang daerah yang lebih tinggi (bagian
desentralisasi) kepada daerah yang lebih rendah atau desa
denga tata cara dan pembiayaan yang ditetapkan/disediakan
oleh pemberi tugas. Tugas pembantuan dari pemerintah pusat,
misalnya plpres, pemilu legislatif, dan sensus penduduk. Tugas
pembantuan dari provinsi ke kabupaten/kota, misalnya
pemilihan gubernur. Tugas pembantuan dari kabupaten ke
desa, misalnya pemilihan bupati.
Penggunaan tersebut berimplikasi pada pengelompokan
urusan pemerintahan di daerah, yaitu:
1. Kelompok urusan pusat yang dikerjakan oleh aparat pusat
(dekosentrasi)
2. Kelompok urusan pusat yang pengerjaannya perlu dibantu
secara teknis oleh daerah (medebewind)
25
3. Kelompok urusan daerah yang dikerjakan oleh aparat
daerah (desentalisasi/otonomi)
26
C. Status Daerah Otonom dan Daerah Administratif
Di daerah berotonomi (daerah otonom), pemerintahan
daerah, yaitu Pemerintah daerah yang memiliki wewenang
eksekutif dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang
memiliki wewenang legislatif. Pemerintah Daerah adalah
kepala daerah/wakil kepala daerah dan perangkat daerah.
Daerah otonom berweang mentapkan berbagai peraturan
daerah, misalnya Perda tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD).
Di Indonesia terdapat tiga macam daerah berotonomi,
yaitu daerah otonom biasa, daerah istimewa, dan daerah
khusus. Perbedaan ketiga macam daerah berotonomi yang
terletak dalam penetapan kepala daerah, urusan yang
ditangani, dan manajemennya. Jika daerah otonom siapa pun
dapat menjadi Kepda sepanjang terpilih rakyat, di daerah
istimewa (Yogyakarta) yang menjadi Kepdanya dalah sultan
(Yogyakarta). Di daerah khusus (DKI jaya, aceh, dan papua)
yang membedakannya dengan daerah otonom biasa, antara
lain kekhususan dalam urusan-urusan yang ditanganinya dan
kekusushan manajemennya. Contoh, walikota dan bupati di
Jakarta tidak dipilih rakyat, tetapi ditunjuk/diangkat oleh
gubernur DKI.
Di daerah yang tidak berotonomi (administratif),
pemerintahan daerah di jalankan oleh kepalad daerah dan
perangkatnya karena tidak ada DPRD. Aktivitasnya murni
dekosentrasi (pekerjaan pusat) atau murni perjaan
desentralisasi daerah yang di atasnya. Oleh karena itu,
pemerintah daerah tidak menetapan Perda APBD dan perda-
perda lainnya.
Selain alat daerah (desentralisasi), gubernur ditetapkan
juga sebagai alat pusat (drkosentrasi). Oleh karena itu, ia
berwennag mengawasi, membina dan mengkoordinasikan
aktivitas kabupaten/kota. Sebelum UU No. 22 tahun 1999,
bupati/walikota pun memiliki kedudukan seperti gubernur
(alat daerah merangkap alat pusat). Setelah UU No. 22 tahun
27
1999 dan diteruskan sekarang dengan UU No. 32 tahun 2004,
bupati/walikota hanya alat daerah.
28
Visi otonomi daerah di rumuskan dalam tiga ruang
lingkup interaksinya yang utama, yaitu politik, ekonomi, serta
sosial dan budaya. Dalam bidang politik, karena otonomi
daerah merupakan buah dari kebijakan desentralisai dan
demokratisasi, harus dipahami senagai sebuah proses untuk
membuka ruang bagi lahirya kepala pemerintahan yang dipilih
secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya
penyelenggaraan pemerintahan yang responsif terhadap
kepentingan masyarakat luas, dan memelihara mekanisme
pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggung-
jawaban publik. Demokratisasi pemerintah juga berarti
transparasi kebijakan. Artinya, untuk setiap kebijakan yang
diambil harus jelas pihak yang memperkarsai kebijakan itu,
tujuannya, biaya yang di pakai, pihak yang bertanggung jawab
jika kebijakan tersebut gagal. Otonomi daerah juga berarti
kesempatan membangun struktur pemerintah yangsesuai
dengan kebutuhan daerah, membangun sistem pola karier
politik dan administratif yang kompetetif, serta
mengembangkan sistem manajemen pemerintahan yang efektif.
Dalam bidang ekonomi, otonomi daerah di satu pihak
harus menjamin lancarnya pelaksaan kebijakan otonomi
nasional di daerah, dan pada pihak lain terbukanya peluang
bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional
dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi
ekonomi di daerahnya. Delam konteks ini, otonomi daerah
memungkinkan lahirnya berbagai prakrasa pemerintah daerah
untukmenawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses
perizinan usaha, dan membangun infastruktur yang
menunjang peraturan ekonomi di daerahnya. Dengan
demikian, otonomi daerah akan membawa masyarakat ke
tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dari waktu ke waktu.
Dalam bidang sosial dan budaya, otonomi daerah harus
dikelola sebaik mungkin demi menciptakan dan memelihara
harmoni sosial dan pada saat yang sama memelihara nilai-nilai
lokal yang dipandang bersifat kondusif terhadap kemampuan
masyarakat merespons dinamika kehidupan di sekitarnya.
29
Berdasarkan visi ini, konsep otonomi daerah melandasi
lahirnya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 dan Undang-
Undang Nomor 25 tahun 1999, yang menjadi tongak lahirnya
otonomi daerah dan desentralisasi dengan merangkum hal-hal
berikut.
1. Penyerahan sebanyak mungkin kewenangn pemerintahan
dalam hubungan domestic kepala daerah. Selain itu bidang
keuangan dan moneter, politik luar negeri, pertahanan,
keagamaan, serta beberapa bidang kebijakan pemerintahan
yang bersifat strategis nasional, pada dasarnya semua
bidang pemerintahan yang lain dapat didesentralisasikan.
Dalam konteks ini, pemerintahan daerah tetap terbagi atas
dua ruang lingkup, bukan tingkatan, yaitu daerah
kabupaten dan kota yang diberi status otonomi penuh, dan
provinsi yang diberi statis otonomi terbatas. Otonomi penuh
berarti adanya ruang tersedia bagi pemerintah pusat untuk
melakukan operasi di daerah provinsi. Hal inilah yang
dijadikan alasan gubernur sebagai kepala daerah provinsi,
selain berstatus sebagai kepala daerah otonom, juga sebagai
wakil pemerintah pusat.
2. Penguatan peran DPRD dalam pemilihan dan penetapan
kepala daerah. Kewenangan DPRD dalam menilai
keberhasilan atau kegagalan kepemimpinan kepala daerah
harus dipertegas. Pemberdayaan dan penyalur aspirarsi
masyarakat harus dilakukan. Untuk itu, optimilasi hak-hak
DPRD perlu dihidupkan, hak prakarsa perlu diaktifkan, dan
hak bertanya perlu didorong. Dengan demikian, produk
legislasi dapat ditingkatkan dan pengawasan politik
terhadap jalannya pemerintahan dapat diwujudkan.
3. Pembangunan tradisi politik yang sesuai dengan kultur
setempat demi menjamin tampilnya kepemimpinan
pemeritahan yang berkualitifikasi tinggi dengan tingkat
akseptabilitas yang tinggi pula.
4. Peningktan efektivitas fungsi-fungsi pelayanan eksekutif
melalui pembenahan organisasi dan institusi yang dimiliki
agar lebih sesuai denga ruang lingkup kewenangan yang
30
telah didesentralisasikan, setara dengan beban tugas yang
dipikul, selaras dengan kondisi daerah, serta lebih responsif
terhadap kebutuhan daerah. Dalam kaitan ini juga
diperlukan terbangunnya sistem administrasi dan pola karir
kepegawaian daerah yang lebih sehat dan kompetetif.
5. Peningkatan efisiensi administrasi keuangan daerah serta
pengaturan yang jelas atas sumber-sumber pendapatan
negara dan daerah, pembagian revenue dari sumber
penerimaan yang berkaitan dengan kekayaan alam, pajak,
retribusi, serta tata cara dan syarat untuk onjaman dan
obligasi daerah.
6. Perwujudan desentralisasi fiskal melalui pembesaran
olokasi subsidi dari pemerintah pusat yang bersifat block
grant, pengaturan pembagian sumber-sumber pendapatan
daerah, pemberian keleluasan kepada daerah utuk
menetapkan prioritas pembangunan, serta optimalisasi
upaya pemberdayaan masyarakat melalui lembaga swadaya
pembangunan yang ada.
7. Pembidaaan dan pemberdayaan lembaga-lembaga dan nilai-
nilai lokal yang bersifat kondusif terhadap upaya
memelihara harmoni sosial dan solidaritas sosial sebagai
satu bangsa.
E. Federalisme-Federasi
Menurut kranenburg, negara seikat dalah negara
brdaulat yang dibentuk menjadi satu dari sejumlah negara lain,
sedangkan kekuasaan negaranya maju ke muka keluar dari
kesatuan negara dan negara0negara bagian yang bergabung.
Negara bagian dalam negara serikat tidak berdaulat sehingga
mereka hanya sebagai ersatz kedaulatan yangt diberikan
menurut Undang-Undang Dasar bagian-bagian tertentu dalam
melakukan kekuasaan negara serikat itu.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dijelaskan bahwa
pembentukan suatu negara federal bermula dari beberapa
negara merdeka yang berdaulat, bersepakat mengabubgkan
31
diri menjadi suatu negara baru yang disebut negara federal
ataupun negara serikat.
Selanjutnya, menurut kranenburg, mereka bergabung
karena pada kenyataannya terdapat keadaan hidup bersama,
kepentingan kolektif dan tujuan-tujuan bersama secara
beragam serta dalan banyak rupa. Pembagian tugas pada
pemenuhan kepentingan bersama golongan manusia telah
mempunyai hubungan, dapat diatur dalam berbagai cara.
Dalam kesepakatan itu, mereka bersama-sama sepakat
menyerahkan berbagai kewenangan (kedaulatan) yang mereka
miliki kepada negara baru, yaitu negara federal yang baru
dibentuk. Secara tradisional, kewenangan itu terdiri atas
kewenangan dalam bidang politik luar negeri, kewenangan
dibidang pertahanan,dan kewenangan yang berkitan dengan
mata uang. Sumber kewenangan adalah negara-negara pendiri
yang kemudian berubah status menjadi negara bagian. Berapa
banyak kewenagan yang diberikan oleh negara pendiri kepada
pemerintah pusat (pemerintah federal) bergantung kepada
kesepakan besama yang akan dituangkan dalam Konstitusi
Negara Federal.
Perbedaan antara sistem negara federal dan negara
kesatuan yang bersifat desentralisasi tidak terletak pada jumlah
kewenangan yang dimiliki oleh tiap-tiap pihak dan tidak
terletak pada sebutan bagian-bagiannya, seperti negara
ataupun provinsi, tetapi terletak pada perbedaan yang bersifat
hukum positif berikut.
1. Dalam negara serikat, bagian-bagian mempunyai kekuaan
sendiri membuat koenstitusi, mengatur sendiri bentuk
organisasi dalam batas-batas konstitusi, sedangkan dalam
negara kesatuan yang menerapkan sistem desentralisasi,
bagian ditetapkan sedikitnya secara kasar oeleh pembuat
undang-undang pusat.
2. Dalam negara serikat, kekuasaan pembuatan undang-
undang pusat untuk memberikan peraturan mengenai
berbagai perkara telah disebut satu per satu secara
terperinci, sementara dalam negara kesatuan yang
32
menerapkan desentralistis, kekuasan pembuatan undang-
undang telah diberikan dalam rumus yang umum dan
kekuasaan legislatif badan-badan lebih rendah bergantung
pada pembuat undang-undang pusat dalam menggunakan
kekuasan itu.
33
Selain pengalaman yang baik dan sukses dari suatu
negara yang menganut sistem negara federal, tidak sedukit
pula negara federal yang mengalami kegagalan, seperti Uni
Soviet, Yoguslovia. Negara tidak tergantung dengan sistem
yang digunakannya, tetapi lebih bergantung pada kemampuan
bangsa yang bersangkutan mengurus urusan rumah tangga
sendiri dengan berpegang pada persatuan, penghargaan hak-
hak rakyat, dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia.
34
BAB 3
BENTUK DAN SUSUNAN PEMERINTAH
DAERAH
35
Secara umum, peran ini diwujudkan dalam tiga funsi
berikut.
1. regulator, mengatur seluruh kepentingan daerah, baik
urusan rumah tangga daerah (otonomi) maupun urusan
pemerintah pusat yang diserahkan pelaksanaanya ke daerah
(tugas pembantuan )
2. policy making, merumuskan kebijakan pembangunan dan
perencanaan program pembangunan di daerahnya.
3. budgeting, peranan anggaran daerah (APBD).
36
Secara umum, lembaga pewakilan (DPR/DPRD)
mempunyai beberapa fungsi dan hak nuntuk melakasankan
fungsinya. fungsi umumnya adalh pengaturan, penggaran,
pengawasan, dan penampungan serta penyaluran spirasi
rakyat, adapun hak-haknya adlah hak bertanya, hak meminta
keterangan (interpelasi), hak penyelidikan (angket), dan hak
usul pernyataan pendapat (pada negara negara dengan sistem
parlementer disebut sebagai mosi).
Di indonesia, fungsi dan hak-hak tersebut di sesuaikan
dengan sistem ketatanegaraan yang berlaku, yaitu sesuai
dengan yang tercantum dalam undang undang nomor 32 tahun
2004 dengan penyesuaian menurut sistem ketanegaraan di
indonesia dan menetapkan DPRD pada kedudukan yang lebih
baik dibandingkan dengan yang tercantum dalam undang
undang nomor 5 tahun 1974. fungsi fungsi DPRD tersebut
adalah sebagai berikut.
1. Fungsi Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat
Sebagai lembaga yang mewakili rakyat, fungsi utama
DPRD adalah menampung dan menyalurkan aspirasi rakyat
daerahnya. hal ini dilakukan dengan cara memberdayakan
masyarkat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas peran
masyarkat mengembangan peran dan funsi dewan
perwakilan rakyat daerah.
2. Pengaturan
Fungsi pengaturan adalah fungsi untu membentuk
peraturan Daerah (Perda) bersama kepala daerah. DPRD
membentuk perda,dan karna DPRD bukan lagi bagian dari
pemerintahan daerah,perda hanya ditandatangani oleh
kepala daerah.
Untuk melaksankan fungsi pengaturan ini, DPRD
mempunyai hak berikut:
a. mengadakan perubahan (amandemen) terhadap suatu
rancangan perda
b. usul insiatif, yaitu mengajukan Rancangan Perda
37
3. Pengawasan
Fungsi yang sangat popiler dari DPRD dan
pelaksanaanya bergantung pada internal DPRD adalah
fungsi pengawasan (control) Undang Undang Noor 32
Tahun 2004 memberikan kesempatan yang cukup luas dan
besar bagi DPRD untuk melaksanakan fungsi pengawasan
atas jalannya roda pemerintahan daerah, baik dalam bentuk
preventif maupun represtif, yaitu sebagai berikut.
a. Bersama kepala daerah menetapkan anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah
b. Melaksanakan pengawasan terhadap pelakasanaan
peraturan Daerah dan peraturan Perundang-undangan
lainnya, seperti pelaksanaan keputusan Gubernur,
pelaksanaan APBD, kebijakan pemerintahan daerah dan
pelaksanaan kerjasama internasional di daerah.
c. meminta pertanggungjawaban
d. meminta keterangan kepada Pemerintah Daerah
e. mengadakan penyelidikan
f. mengadakan perubahan atas rancangan peraturan
peraturan daerah
g. mengajukan pernyataan pendapat
h. mengajukan rancangan peraturan daerah
i. menentukan anggaran belabja DPRD
j. menetapkan peraturan tata tertib DPRD
k. meminta pejabat negara, pejabat pemerintah atau warga
masyarakat untuk memberikanketrangan suatu hal yang
perlu ditangani demi kepentingan negara, bangsa
pemerintahan, dan pembangunan.
l. memberikan persetujuan pengangkatan seorang
sekretaris DPRD oleh kepala daerah dari pegawai negeri
sioilyang memenuhi syarat.
m. melalui keputusan DPRD menetapkan pemberhentian
kepala daerah karna alasan yang di atur berdasarkan
ketentuan dalam Undang Undang Nomor 32 tahun 2004
dan disahkan oleh presiden
38
n. melalui peraturan daerah mengatur kedudukan
keuangan kepala daerah dan wakilnya
o. melalui peraturan daerah melakukan pengangkatan
pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji,
tunjangan, dan kesejahteraan pegawai, pendidikan dan
pelatihan sesuai dengan ke5mampuan daerah
p. memberi persetujuan kepada pemerintah daerah untuk
dapat melakukan peminjaman dari sumber dalam negeri
dan atau sumber dari luar negeri untuk membiayai
kegiatan pemerintah
q. melalui peraturan daerah menentukan tarif dan tata cara
pemungutan pajak dan retribusi daerah sesuai dengan
peraturan perundang undangan
r. melalui peraturan daerah membentuk badan usaha milik
daerah sesuai dengan peraturan perundang undangan.
39
debat dapat direfleksikan mutu DPRD sebgai forum
yang hidup dan menarik, juga merangsang masyarakat
untuk berpartisipasai dalam kehisdupan berpolitik sehari
hari. disinilah letak seni demokrasi sekaligus esensinya.
fungsi debat harus dibatasi oleh batas normal, tanggung
jawab, integritas, ideal, dan batasan dalam peraturan
perundang undangan yang berlaku.
Hak-hak DPRD yang cukup luas itu membuat
legislatif daerah mempunyai banyak peluang berdebat
secara produktif dalam kesempatan memperjuangkan
kepentingan rakyat yang diwakilinya atau masyarakat
secara umum, pada mumnya, pengalaman dan
kemampuan serta hasil dari setiap debat ini sanga
berharga untuk peningkatan ataumeneruskan karier
setiap anggota DPRD. debat yang memuaskan
masyarakat serta menhasilkan produk legislatif yang
bertanggung jawab dan matang.
b. Fungsi matang
Fungsi reprentasi berkaitan dengan fungsi lainnya,
terutama fungsi debat dan fungsi pengadalian dan
pegawasan. hal ini karna secara hipotesis, setiap anggota
DPRD mengekspresikan suara dan kepentingan rakyat
yang diwakilinya. anggota DPRD harus bertindak dan
berperilaku sebagai presenta (wakil) untuk setiap tindak-
tanduknya dalam seluruh kegiatan perwakilan rakyat
karna kedudukan tersebut, ia memiliki posisi terhormat
yang harus diimbangi dengan perbuatandan hasil kerja
produktif dan berguna bagi rakyat yang di wakilinya, Ia
adalah “Duta” pembawa suara penyambung lidah,
perlindungan dari rakyat yang memercayakan suara
padanya mrlalui pemilihan umum.
Berbeda dengan jabatan atau tugas lain, di DPRD
setiap anggota adalah pribadi yang dianggap matang,
berintegrasi, dam mampu mengamil keputusan yang
menyangkut kepentingan hidupp masyarakat. sekalipum
40
dalam DPRD terdapat pimpinan fraksi dan pimpinan
dewan, dan prinsipnya setiap anggota DPRD adalah
representasi (wakil) utuh dari masyarkat.
Fungsi fungsi tersebut merupakan tugas dan
wewenang dewan perwakilan rakyat daerah yan harus
dijalankan sebagai amanat dari masyarakat yang
diwakilinya dalam rangka mewudkan aspirasi
masyarkat di daerah masing masing.
41
Adapun wakil kepala daerah mempunyai tugas:
1. membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan
pemerintahan daerah
2. membantu kepala daerah dalam mengkoordinasikan
kegiatan instansi vertikal di daerah, menindaklanjuti
laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat
pengawasan, melaksanakan pemberdayaan perempuan dan
pemuda, serta mengupayakan pengembangan dan
pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup;
3. memantau dan mengevaluasi penyelenggraan
pemerintahan kabupaten dan kota bagi wakil kepala daerah
provinsi
4. memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan
pemerintahan di wilayah kecamatan, kelurahan, dan/ atau
desa bagi wakil kepala daerah kabupaten/kota;
5. memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah
dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintah daerah
6. melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya
yang diberikan oleh kepala daerah;dan
7. melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila
kepala daerah berhalangan.
42
kesatuan republik indonesia yang berdasrkan pancasiladan
undang undang dasar 1945 seperti gerakan G-30-S/PKI dan
atau organisasi terlarang lainnya;
5. mempunyai rasa pengabdian terhadap nusa dan bangsa
6. mempunyai kepribadian dan kepemimpinan
7. berwibawa
8. jujur
9. cerdas, berkemampuan, dan terampil
10. adil
11. tidak dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan pasti
12. sehat jasmani dan rohani
13. berumur sekurang-kurangnya 35 tahun bagi kepala daerah
tingkat I dan 30 tahun bagi kepala daerah tingkat II
14. mempunyai kecakapan dan pengelaman pekerjaan yang
cukup di bidang pemerintahan;
15. berpengathuan yang sederajat dengan perguruan tinggi
atau sekurang kurangnta berpendiikan yang dapat
dipersamakan dengan sarjana muda bagi kepala daerah
tinngkat I dan berpengetahuan sederajat dengan akademi
atau sekurang kurangnta berpendidikan yang dapat
dipersamakan dengan sekolah lanjutan atas bagi kepala
daerah tingkat II
43
menunjukan bahwa undang undang nomor 32 tahun
2004dalam hal pemilihan kepala daerah menganut demokrasi
langsung, artinya rakyat secara langsung berpartisipasi dalam
menentukan pilihannya kepala daerah, presiden dan wakil
kepala presiden serta pemilihan kepala deaerah dipilih dalam
satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis
berdasrkan asas langsung, uum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”
senada dengan pasal ini adalah pasal 24 ayat 5 undang undang
32 tahun 2004 yang menyatakan keapala daerah dan wakil
kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat
(3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di
daerah yang bersangkutan “ sementara dalam ketentuan yang
lama berdsarkan pasal 40 ayat (1) undang undang nomor 22
tahun 1999 ditentukan bahwa, “ pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah di laksankan secara langsung, bebas,
rahasia, jujur dan adil.”
Undang undang nomor 32 tahun 2004 tentang
pemeintahan daerah (uu no. 32 tahun 2004) merupakan undang
yang mengatur tentang pemerintahan daerah (perda). terkait
dengan uu ini, saat ini sedang hangat diperbincangkangkan
tentang pemilihan kepala daerah oleh DPRD jika
dikaitkandengan demokrasi yaitu pemerintahan dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat dan pemahaman sederhana yang
dapat digambarkan atas sebuah demokrasi, demokrasi ini
dituangkan dalam pasal 1 ayat 2 undang undang dasar negara
republik indonesia tahun 1945 (UUD NRI 1945) yaitu
kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut
undang undang.
Demokrasi merupakan banyak pemerintahan politik
yang kekuasaan pemerintahannya bersal dari rakyat, baik
secara langsung (Demokrasi Langsung) maupun melalui
perwakilan (Demokrasi Perwakilan). DPRD adalah wakil
rakyat yang dipilih rakyat untuk mewakili aspirasi mereka di
pemerintahan. jika dilihat pengertian demokrasi terdapat
demokrasi secara tidak langsung (representatif demokrasi).
44
memang dimungkinkan terjadinya pemilihan kepala darah
oleh DPRD.
Akan tetapi, apabila disandingkan dengan pasal 22E ayat
(1) UUD 1945 yang menyebutkan “Pemilihan umum
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil setiap lima tahun sekali“ Dalam pasal tersebut, kata
“langsung” ditafsirkan dan menghendaki dilakukannya
pemilihan kepala daerah oleh rakyat secara langsung. dengan
demikian, setiap warga negara memiliki hak suara untuk
individu yang telah memenuhi syarat. alasan lain yang menjadi
faktor lahirnya wacana ini adalah masalah finansial. dana yang
digunakan untuk setiap pemilihan kepala daerah terbilang
besar. jika dana tersebut dialihkan untuk memperbaiki
kehidupan masyarakat, tentu akan lebih baik. akan tetapi, ada
juga kubu kontra untuk wacana tersebut yang memandang
bahwa pemilu secara langsung akan memudahkan terjadinya
jual beli suara antara setiap oknum yang berkepentingan untuk
berkuasa di tingkat daerah.
45
Penyelenggaraan Pilkada dilakukan oleh komisi
Pemilihan umum (KPU) provinsi dan KPU Kabupaten/kota.
pilkada diselenggrakan dengan diawasi oleh panitia pengawas
Pemilihan umum (Panwaslu) Provinsi dan Panwaslu
Kabupaten/Kota keanggotaan dari panwaslu terdiri atas unsur
kepolisian, kejaksaanm perguruan tinggi, pers, dan tokoh
masyarakat sebagaiman ditentukan dalam pasal 57 ayat (3) UU
No. 32 tahun 2004. keanggotaan tersebut diusulkan oleh panitia
pengawas kabupaten/kota untuk ditetapkan oleh DPRD sesuai
pasal 57 ayat (5) UU No. 32 Tahun 2004.
Peserta Pilkada adalah pasangan calon yang diusulkan
oleh partai poliyik atau gabungan partai politik, hal ini sesuai
dengan pasal 56 ayat (2) UU No. 32 tahun 2004. ketentuan ini
diubah dengan UU No. 12 Tahun 2008 yang menyatakn bahwa.
“beserta pilkada juga dapat bersal dari pasangan calon
perorangan yang didukung oleh sejumlah orang“ undang
undang ini menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konsitusi
yang membatlkan beberapa pasal menyangkut peserta pilkada
dalam Undang Undang nomor 32 tahun 2004.
Pilkada tidak langsung atau melalui DPRD dipandang
telah melanggar prinsip prinsip demokrasi, diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Kedaulatan rakyat
2. Pemerintahan berdasrkan persetujuan dari yang diperintah
3. Kekuasaan mayoritas
4. Hak hak minoritas
5. Jaminan hak asasi manusia
6. Pemilihan yang bebas dan jujur;
7. Persamaan di depan hukum;
8. Proses hukum yang wajar
9. Pembatasan pemerinahan secara konstitusional
10. Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik;
11. Nilai nilai toleransi, pragmattisme, kerjasama, dan mufakat.
46
Akan tetapi, pilkada langsung pun mengundang
permasalahan yang kompleks, tidak hanya menghamburkan
biaya yang sangat besar, tetapi juga menimbulkan politik uang
dan kerusuhan sosial terjadi di mana mana sehingga pilkada
langsung dipandang lebih signifikan merusak nilai nilai dan
etika demokrasi. berdasrkan pertimbangan itu, pemilihan
kepala daerah harus dilakukan melalui DPRD. Melalui undang
undang MD3 yang disahkan pada 8 juli 2014 lembaga legislatif
memiliki kewenangan yang sangat luas, termasuk memilih
kepala daerah, yaitu gubernur, bupati, dan walikota. bahkan,
masalah penyelidikan perkara hukum khusus bagi penegak
hukum terlebih dahulu harus mendapatkan izin dari mahkamh
kehormatan DPR sebelum memeriksa anggota dewan. selain
itu juga munculnya pasal yang memberikan hak kepada
anggota DPR alokasi anggaran layaknya dana aspirasi. hal ini
muncul dalam pasal 80 huruf j UU MD3, yakni anggota dewan
berhak mengajukan usul pembangunan di daerah
pemilihannya dan berhak mendaptkan anggaran atas usulan
itu.
Undang undanf MD3 yang menuai protes karena
pemilihan kepala daerah melalui DPRD mendapat sambutan
luar biasa dari Presiden Susilo Bambang Yudoyono Sehingga
menertibkan peraturann pemerintah pengganti Undang-
Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota.
47
BAB 4
PENINGKATAN PAJAK DAN RETRIBUSI
DAERAH
48
telah memperlihatkan hasil yang menggembirakan, yaitu
sejumlah derah berhasil mencapai peningkatan PADnya secara
significant ,akan tetapi kreativitas pemerintah daerah yang
berlebihan dan tidak terkontrol dalam memungut pajak daerah
dan retribusi daerah akan menimbulkan dampak yang
merugikan bagi masyarakat dan dunia usaha yang
menyebabkan biaya ekonomi tinggi, oleh karena itu undang
undang nomor 34 tahun 2000 tetap memberikan Batasan
kriteria pajak daerah dan retribusi yang dapat di pungut oleh
pemerintah daerah.
49
pungutan menimbulkan suatu beban bagi konsumen atau
produsen .
Untuk mempertahankan prinsip prinsip tersebut,
perpajakan daerah harus memiliki ciri-ciri tertentu. Adapun
ciri-ciri yang di maksud yakni :
1. Pajak daerah bisa di pungut secara ekonomi berarti
perbandingan antara penerimaan pajak harus lebih besar
dari ongkos pemungutannya.
2. Relatif stabil artinya penerimaan pajaknya tidak berfluktuasi
terlau besa.kadang kadang meningkat secara drastis dan ada
saatnya turun secara tajam.
3. Tax base nya harus merupakan perbandingan antara prinsip
keuntungan (benefit) dan kemampuan untuk membayar
(ability to pay )
50
1. Pajak yang di maksudkan untuk tujuan stabilitas ekonomi
dan cocok untuk tujuan distribusi pendapatan seharusnya
tetap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat
2. Basis pajak yang di serahkan pada daerah tidak terlalu
mobile. Pajak daerah yang sangat mobile dapat merelokasi
daerah.
3. Basis pajak yang distribusinya sangat timpang antar daerah
seharusnya di serahkan pada pemerintah pusat
4. Pajak daerah seharusnya visible, dalam arti bahwa pajak
seharusnya jelas bagi pembayar pajak daerah. Objek dan
subjek pajak serta besaran pajak terutang dapat dengan
mudah di hitung sehingga dapat mendorong akuntabilitas
daerah
5. Pajak daerah seharusnya tidak dapat di bebankan kepada
penduduk derah lain karena akan memperlemah hubungan
antar pembayar pajak dan pelayanan yang di terima (pajak
adalah fungsi dari pelayanan)
6. Pajak daerah seharusnya dapat menjadi sumber penerimaan
yang memadai untuk menghindari ketimpangan fiscal
vertical yang besar. Hasil penerimaan idealnnya harus
elastis sepanjang waktu dan seharusnya tidak terlalu
berfluaktif
7. Pajak yang di serahkan kepada daerah seharusnya relative
mudah di administrasikan atau perlu pertimbangan efiesien
secara ekonomi berkaitan dengan kebutuhan data, seperti
identifikasi jumlah pembayar pajak,penegakkan hukum(law
enforcement) dan komputerisasi.
8. Pajak dan retribusi berdasarkan prinsip manfaat dapat di
gunakan secukupnya pada semua tingkat tingkat
pemerintahan, tetapi penyerahan wewenang pemungutan-
nya kepada daerah hanya tepat sepanjang manfaatnya dapat
di lokalisasikan bagi pembayar pajak local.
51
C. Ketentuan Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Di negara-negara yang menganut paham hukum, segala
sesuatu yang menyangkut pajak seharusnya di tetapkan dalam
peraturan perundang undangan. Dengan demikian,
pemungutan pajak kepada rakyat harus di sertai dengan
perangkat peraturan perundang undangan yang di sebut
dengan hukum pajak. Di Indonesia dalam undang undang
dasar 1945 dicantumkan pasal 23A yang mengatur tentang
dasar hukum pemungutan pajak oleh negara. Pasal ini
mengatur dan menaytakan bahwa pajak dan pemungutan
lainnya bersifat memaksa untuk keperluan negara di atur
dengan undang undang.
Pengaturan kewenangan pengenaan pemungutan pajak
daerah dan retribusi daerah dalam undang undang nomor 18
tahun 1997 yang mulai berlaku pada tahun 1998 dia anggap
kurang memberikan peluang kepada daerah untuk
mengadakan pemungutan baru. Pada waktu undang undang
nomor 18 tahun 1997 berlaku belum ada satu dareahpun yang
mengusulkan pemungutan baru karena dianggap sulit di
lakukan. Selain itu pengaturan perda pengaturan tentang derah
dan pajak serta retribusi harus mendapatkan pengesahan dari
pusat juga telah di anggap telah mengurangi otonomi daerah.
Dengan di ubahnya undang undang nomor 18 tqahun 1997
menjadi undang undang 34 tahun 2000, pajak derah dan
retribusi di harapkan dapat menjadi salah satu PAD. Yang
penting untuk pembangunan daerah. Undang undang 34 tahun
2000 dan peraturan pemerintah pendukungnya, yaitu PP
nomor 65 tahun 2001 tentang pajak daerah dan PP no 66 tahun
2001 tentang retribusi daerah menjelaskan antara pajak darah
yang di pungut dan retribusi yang dipungut pemerintah baik
provinsi maupun kabupaten/kota. Pajak provinsi di tetapkan
sebanyak empat jenis pajak,yaitu:
1. Pajak kendaraam bermotor dan kendaraan di atas air(PKB &
KAA)
2. Bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan di atas
air (BBNKB & KAA)
52
3. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB)
4. Pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan
air permukaan (P3ABT & AP)
53
1. Bersifat pajak dan bukan retribusi
2. Objek pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah
kabupaten/kota yang bersangkutan dan mempunyai
mobilitas yang cukup rendah serta hanya melayani
masyarakat di wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan.
3. Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangam
dengan kepentingan umum
4. Potensimya memadai
5. Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif.
6. Memerhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat,
7. Menjajga kelestarian lingkungan.
54
D. Peningkatan Penerimaan Masyarakat
Penggalian sumber sumber keuangan daerah khususnya
yang berasal dari pajak daerah dari pada dasarnya perlu
memperhatikan dua hal, yaitu dasar pengenaan pajak dan tarif
pajak. Pemerintahan daerah cenderung menggunakan tarif
yang tinggi agar di peroleh tarif penerimaan maksimum. Hal
ini tergantung pada respon wajib pajak, permintaan dan
penerimaan wajib pajak adalah formulasi model yang di
kenakan sebagai model leviatan. Dengan asumsi bahwa biaya
administrasi perpajakan di anggap tidak signifikan dan cateris
paribus level pelayanan publik yang di biayai dari penerimaan
pajak dan hanya kegiatan ekonomi yang di pengaruhi oleh
besaran pajak.Total penerimaan pajak maksimum yang di
tentukan oleh kemampuan wajib pajak untuk menghindari
beban pajak, baik legal dan mapun illegal dengan mengubah
ekonomi behavior dari wajib pajak.
Model leviathan memberikan pelajaran bahwa
peningkatan penerimaan pajak daerah tidak harus di capai
dengan mengenakan tarif pajak yang terlalu tinggi ,tetapi
dengan pengenaan tarif pajak rendah yang di kombinasikan
dengan struktur pajak yang meminimalkan penghindaran
pajak dan respon harga dan kuantitas barang terhadap
pengenaan pajak sedemikian rupa akan di capai total
penerimaan maksimum, model levithan ini dapat di
kembangkan untuk menganalisis lebih lanjut antara tarif dan
dasar pengenaan pajak untuk mencapai total penerimaan pajak
maksimal.
56
kebutuhan pengeluaran daerah sangat kcil dan bervariasi
antar daerah, yaitu kiurang dari 10% hingga 50%. Sebagian
besar daerah provinsi hanya dapat membiayai kebutuhan
pengeluarannya sebesar 10%.
5. Variasi dalam penerimaan di perparah lagi dengan sistem
bagi hasil.
Bagi hasil di dasarkan pada daerah penghasil
sehingga hanya menguntungkan daerah tertentu. Demikian
pula, distribusi pajak antar daerah sangat timpang karena
basis pajak antar daerah sangat bervariasi (rasio PAD
tertinggi dengan terendah mencapai 600). Peranan pajak dan
retribusi daerah dalam pembiayan yang sangat rendah dan
bervariasi juga terjadi karena adanya perbedaan yang sangat
besar dalam jumlah penduduk, keadaan geografis
(berdampak pada biaya yang relatif mahal), dan
kemampuan masyarakat sehingga mengakibatkan biaya
penyediaan layanan kepada masyarakat menjadi sangat
bervariasi.
57
F. Optimalisasi Pemungutan Pajak dan Retribusi Daerah dalam
Mengingkatkan Kemampuan Keuangan Daerah.
Ciri utama yang menunjukkan suatu daerah otonom
mampu berotonomi adalah kemampuan keuangan daerahnya,
artinya daerah otonom harus memiliki kewengan dan
kemampuan untuk menggali sumber sumber keuangan
sendiri,mengelola dan menggunakan keuangan daerah sendiri
yanbg cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahan daerahnya sendiri. Ketergantuan pada bantuan
dari pemerintah pusat harus seminimal mungkin sehingga
PAD khususnya pajak odan retribusi daerah harus menjadi
perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagai prasyarat
mendasar dalam sistem pemerintahan negara. Berkaitan denga
hal tersebut, optimalisasi sumber sumber PAD perlu di lakukan
untuk meningkatkan keuangan daerah.Untuk itu di perlukan
intensifikasi dan ekstensifikasi subjek dan objek pendapatan.
Dalam jangka pendek, kegiatan yang paling mudah dan
dapat segera di lakukan adalah dengan melakukan intensifikasi
terhadap objek atau sumber pendapatan daerah yang sudah
ada melalui pemanfaatan teknologi informasi. Dengan
melakukan efektifitas dan efisiensi sumber atau objek
pendapatan daerah, produktifitas PAD akan meningkat tanpa
harus melakukan perluasan sumber atau objek pendapatan
baru yang memerlukan studi, proses dan waktu yang panjang.
Dukungan teknologi dan informasi secara terpadu untuk
mengintensifikasikan pajak mutlak di perlukan karena sistem
pajak yang di lakukan selama ini kurang optimal. Masalah ini
tercermin pada sistem dan prosedur yang masih konvensional
dan masih banyak sistem yang berjalan secara parsial sehingga
besar kemungkinan informasi yang di sampaikan otidak
konsisten, versi data yang berbeda dan data tidak up to date.
Permasalahan pada sistem pemungutan pajak cukup banyak,
misalnya baik dalam hal data wajib pajak /retribusi, penetapan
jumlah pajak, jumlah tagihan pajak dan target pemenuhan
pajak yang tidak optimal.
58
Secara umum, upaya yang perlu di lakukan oleh
pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan pendapatan
daerah melaui optimalisasi intensifikasi pemungutan pajak
daerah dan retribusi daerah adalah sebagai berikut
1. Memperluas basis penerimaan
Tindakan yang di lakukan untuk memperluas basis
penerimaan yang dapat di pungut oleh daerah, yang dalam
perhitungsn ekonomi di anggap potensial, antara lain
mengidentifikasi pembayaran pajak baru/potensial dan
jumlah pembayar pajak, memperbaiki basis data objek,
memperbaiki penilaian,mengitung kapasitas penerimaan
dari setiap jenis pungutan.
2. Memperkuat proses pemungutan
Upaya yang di lakukan dalam memperkuat proses
pemungutannya, yaitu mempercepat penyusunan perda,
mengubah tarif, khususnya tarif retribusi dan peningkatan
SDM.
3. Meningkatkan pengawasan
Hal ini dapat di tingkatkan dengan meningkatkan
atau melakukan pengawasan dan pemeriksaan secara
dadakan dan berkala, memperbaiki proses pengawasan,
menerapkan sanksi terhadap penunggak pajak dan sanksi
terhadap pihak fiskus, serta meningkatkan pembayaran
pajak dan pelayanan yang di berikan oleh daerah.
4. Meningkatkan efisiensi administrasi dan menekan biaya
pemungutan
Tindakan yang di lakukan oleh daerah,yang
memperbaiki prosedur administrasi pajak melalui
penyerdahanan administrasi pajak, meningkatkan efisien
pemungutan dari setiap jenis pemungutan pajak.
5. Meningkatkan kapasitas penerimaan melalui perencanaan
yang lebih baik.
Hal ini dapat di lakukan dengan meningkatkan
koordinasi dengan instansi terkait di daerah. Selanjutnya
eksistensifikasi perpajakan juga dapat di lakukan, yaitu
melalui kebijaksanaan pemerintah untuk melakukan dan
59
memberikan kewenangan pajak lebih besar kepada daerah
pada masa mendatang. Untuk itu perlu adanya
perubahahan dalam sistem perpajakan indonesia melalui
sistem pembagian langsung atau beberapa basis pajak
pemerintahan pusat yang lebih tepat di pungut oleh daerah.
60
dapat berperan mengatur perekonomian masyarakat agar
dapat tumbuh kembang sehingga meningkatkan kesejahteraan
masyarakat di daerah.
61
BAB 5
PRODUK HUKUM DAERAH SEBAGAI
LANDASAN PENYELENGGARAAN
PEMERINTAHAN DAERAH
63
1. Sesuai dengan kewenangan Daerah berdasarkan Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku.
2. Tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
3. Sesuai dengan aspirasi dan materi-materi yang berkembang
dalam masyarakat.
4. Tidak bertentangan dengan peraturan lainnya yang
sederajat.
5. Tidak bertentangan dengan kepentingan umum.
64
3. Urusan pemerintahan yang diserahkan oleh Pemerintah
Pusat Atau Pemerintah Daerah yang lebih tinggi
tingkatannya.
65
3. Asas kebangsaan, bahwa setiap muatan Perda harus
mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang
pluralistik (kebhinnekaan) dengan tetap menjaga prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4. Asas kekeluargaan, bahwa setiap materi muatan Perda
harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat
dalam setiap pengambilan keputusan.
5. Asas kenusantaraan, bahwa setiap materi muatan Perda
senantiasa memerhatikan kepentingan seluruh wilayah
Indonesia dan materi muatan Perda merupakan bagian dari
sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.
6. Asas bhinneka tunggal ika, bahwa setiap materi muatan
Perda harus memerhatikan keragaman penduduk, agama,
suku dan golongan, kondisi daerah dan budaya khususnya
yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
7. Asas keadilan, bahwa setiap materi muatan Perda harus
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap
warga negara tanpa kecuali.
8. Asas kesamaan dalam hukum dan pemerintahan, bahwa
setiap materi muatan Perda tidak boleh berisi hal-hal yang
bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara
lain agama, suku, ras, golongan, gender atau status sosial.
9. Asas ketertiban dan kepastian hukum, bahwa setiap materi
muatan Perda harus dapat menimbulkan ketertiban
dalammasyarakat melalui jaminan adanya kepastian
hukum.
10. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, bahwa
setiap materi muatan Perda harus mencerminkan
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara
kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan
bangsa dan negara.
11. Asas lain sesuai substansi Perda yang bersangkutan. Selain
asas dan materi muatan di atas, DPRD dan Pemerintah
Daerah dalam menetapkan Perda harus mempertimbangkan
Keunggulan lokal/daerah, sehingga mempunyai daya saing
66
alam pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat
daerahnya.
68
Urgensi pengaturan tata cara pengajuan Rancangan
Peraturan Daerah adalah tercapainya koordinasi antara Satuan
Kerja Perangkat Daerah dalam penyiapan Rancangan Peraturan
Daerah dan efektivitas proses pengharmonisasian Rancangan
Peraturan Daerah. Kondisi yang baik dalam perencanaan dan
persiapan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah dan
harmonisasi materi atau substansi Rancangan Peraturan
Daerah antar Satuan Kerja Perangkat Daerah akan melahirkan
Peraturan Daerah yang baik dan berkualitas.
Departemen Dalam Negeri telah mengeluarkan Surat
Edaran Nomor 188.34/1586/S tanggal 25 Juli 2006 perihal
Tertib perancangan dan Penetapan Peraturan Daerah. Dalam
Surat Edaran tersebut ditegaskan bahwa para Gubernur,
Bupati/Walikota, dapat mendayagunakan keberadaan Kantor
Wilayah Departemen Hukum dan HAM di daerah masing-
masing untuk melakukan evaluasi dan harmonisasi Rancangan
Peraturan daerah dan Peraturan Daerah.
Merespons dan menindaklanjuti arahan Presiden,
Departemen Dan HAM bekerja sama dengan UNDP
membentuk tim yang terdiri atas Departemen/LPND serta
para pakar untuk menyusun panduan praktis Teknik
Pembuatan Peraturan Daerah." Dalam buku ini terdapat dua
pokok isi. Pertama, menyangkut materi/substansi Rancangan
Peraturan Daerah. Terkait materi atau substansi ran Daerah,
dalam buku ini dimuat arahan parameter Agar Rancangan
Peraturan Daerah memuat atau setidak-tidaknya tidak
bertentangan dengan:
1. prinsip hak asasi manusia, termasuk kesetaraan jender;
2. prinsip good sustainable development;
3. prinsip dan arahan penyusunan Rancangan Peraturan
Daerah Mengenai APBD, pajak dan retribusi daerah, dan
tata ruang;
4. arahan materi Peraturan Daerah yang mengatur perangkat
organisasi daerah.
69
Kriteria/parameter di atas merupakan titik tolak, tolok
ukur, dan kendali bagi pembentuk termasuk perancang
pembuatan Rancangan Peraturan Daerah agar Peraturan
Daerah yang dihasilkan sesuai dengan asas pembentukan
peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Adanya asas "dapat dilaksanakan, asas kedayagunaan
dan kehasilgunaan "dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan mengingatkan agar setiap Peraturan Daerah yang
dibuat karena dibutuhkan dan bermanfaat bagi masyarakat dan
diperhitungkan betul efektivitasnya, baik secara filosofis,
yuridis, maupun sosiologis. kedua, menyangkut teknik
penyusunan. Ketentuan mengenai teknik penyusunan
peraturan perundang-undangan yang tercantum dalam
Lampiran Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 berisi teknik
penyusunan terhadap semua jenis peraturan perundang-
undangan. Para perancang peraturan perundang-undangan di
tingkat daerah memerlukan pedoman penyusunan untuk
peraturan perundang-undangan di tingkat daerah. membuat
rumusan yang jelas termasuk asas pembentukan Peraturan
perundang-undangan. mulai judul, pembukaan, batang tubuh
(termasuk ketentuan pidana dan ketentuan peralihan),
penjelasan, pendelegasian kewenangan dan penggunaan
bahasa harus dipahami secara baik oleh perancang peraturan
perundang-undangan di tingkat daerah.
Tertib pembentukan peraturan perundang-undangan
termasuk elemen penting untuk mewujudkan tata kelola
pemerintahan yang baik. Peran aparatur Pemerintahan Daerah
dalam pembentukan Peraturan Daerah sangat ditentukan oleh
kompetensi dan kapasitasnya dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya. Dalam pelaksanaan tugas dan fungsi pembentukan
Peraturan Daerah, diperlukan aparatur pemerintahan daerah,
khususnya tenaga perancang peraturan perundang-undangan
yang berkualitas, yang mempunyai tugas menyiapkan,
mengolah, dan merumuskan Rancangan Peraturan Daerah.
70
Untuk menetapkan peraturan perundang-undangan
yang berkualitas, baik di tingkat nasional maupun Daerah,
peraturan perundang-undangan tersebut sekurang-kurangnya
harus memenuhi tiga landasan berikut.
1. Landasan filosofis yaitu bahwa setiap perundang-undangan
harus merujuk pada falsafah hidup bangsa. Apa pun
falsafah hidup bangsa tersebut, peraturan yang
ditetapkannya harus mengandung falsafah hidupnya
sehingga peraturan yang ditetapkan akan berdasarkan
moral.
2. Landasan sosiologis, yaitu bahwa setiap ketentuan yang
dimuat dalam peraturan tersebut sesuai dengan keyakinan
umum atau kesadaran hukum masyarakat. Peraturan yang
ditetapkan tersebut harus sesuai dengan hukum yang hidup
(living law) dalam masyarakat.
3. Landasan yuridis adalah landasan hukum yang menjadi
dasar kewenangan pembuatan peraturan perundang-
undangan. akhirnya, tidak setiap pejabat atau badan
mempunyai wewenang menetapkan suatu peraturan
sehingga terdapat aturan hukum yang mengatur bahwa
pejabat atau badan tersebut berwenang menetapkan
peraturan.
71
prakarsa Gubernur atau Bupati/Walikota, atau sebaliknya
dapat dilakukan oleh DPRD melalui pengajuan usul inisiatif,
Jadi, keduanya (Gubernur atau Bupati/Walikota dan DPRD)
mempunyai hak yang sama untuk mengajukan Raperda. Oleh
karena itu, dari mana pun usul inisiatif atau prakarsa
pengajuan Raperda itu berasal, tetap memerlukan pembahasan
dan persetujuan bersama DPRD dengan Gubernur atau
Bupati/Walikota dan diundangkan oleh Sekretaris Daerah
dalam lembaran Daerah agar Perda tersebut mempunyai
kekuatan hukum mengikat (legal binding).
Raperda yang berasal dari hak inisiatif DPRD dapat
disampaikan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau alat
kelengkapan DPRD Yang khusus menangani bidang legislasi.
Raperda ini kemudian diusulkan ke pimpinan DPRD agar
dibahas dalam Rapat Paripurna Internal DPRD. Apabila
mendapat persetujuan dalam Rapat Paripurna Internal DPRD,
selanjutnya disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada
Gubernur atau Bupati/ Walikota dengan Surat Pengantar
Pimpinan DPRD.
Sebaliknya, apabila Raperda dimaksud muncul berdasar
kan prakarsa Gubernur atau Bupati/Walikota, pertama-tama
Raperda disiapkan oleh dinas, badan, kantor, atau perangkat
Pemerintah Daerah lain yang dikoordinasikan dengan
biro/bagian hukum dan perundang-undangan. Raperda
tersebut kemudian disampaikan kepada Gubernur atau
Bupati/Walikota, yang apabila disetuiui oleh Gubernur atau
Bupati/Walikota, Raperda yang dimaksud disampaikan
kepada DPRD dengan Surat Pengantar Gubernur atau
Bupati/Walikota.
Penyebarluasan Raperda yang berasal dari DPRD
dilaksanakan oleh Sekretariat DPRD, sedangkan
penyebarluasan Raperda yang berasal dari Gubernur atau
Bupati/ Walikota dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah.
Apabila dalam suatu masa sidang, Gubernur atau
Bupati/Walikota dan DPRD menyampaikan Raperda mengenai
materi yang sama, yang dibahas adalah Raperda yang
72
disampaikan oleh DPRD sedangkan Raperda yang
disampaikan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota digunakan
sebagai bahan persandingan.
Pembahasan Raperda di DRD dilakukan oleh DPRD
bersama Gubernur atau Bupati/Walikota, yang dilakukan
dalam Rapat Komisi, Rapat Pansus, Rapat Alat Kelengkapan
DPRD, dan Rapat Paripurna. Raperda dapat ditarik kembali
sebelum dibahas bersama oleh DPRD dan Gubernur atau
Bupati/Walikota.
Raperda yang sedang dibahas hanya dapat ditarik
kembali berdasarkan persetujuan bersama DPRD dan
Gubernur atau Bupati/Walikota. Raperda yang telah disetujui
bersama oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota
disampaikan oleh Pimpinan DPRD kepada Gubernur atau
Bupati/Walikota untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah
(Perda), yang dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7
(tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.
Raperda yang telah disetujui bersama dan telah disampaikan
oleh Pimpinan DPRD ditetapkan oleh Gubernur atau
Bupati/Walikota dengan membubuhkan tanda tangan dalam
jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak Raperda
tersebut disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur atau
Bupati/Walikota. Apabila Raperda dimaksud tidak
ditandatangani oleh Gubernur atau Bupati/Walikota dalam
waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak Raperda tersebut
disetujui bersama, Raperda tersebut sah menjadi Perda dan
wajib diundangkan dengan kalimat pengesahan yang berbunyi
"Peraturan Daerah ini dinyatakan sah". Kalimat ini harus
dibubuhkan pada halaman terakhir suatu Perda sebelum
pengundangan naskah Perda ke dalam Lembaran Daerah.
73
dengan berprinsip pada kepentingan masyarakat daerah dan
juga kepentingan nasional. Untuk mewujudkan hal tersebut,
pemerintah memberlakukan pengawasan terhadap
penyelenggaraan pemerintahan daerah, untuk menjamin agar
pemerintahan daerah berjalan sesuai dengan rencana dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
Sebagaimana diatur dalam Pasal 218 Undang-Undang Nomor
32 tahun 2004 yang diatur lebih rinci dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 79 tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan
dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Dalam rangka pemberdayaan otonomi daerah,
pemerintah pusat berwenang melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah
sesuai amanat Pasal 217 dan 218 Undang-Undang Nomor 32
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pada bulan
Desember 2005 ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 79
Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan
atas, Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Pembinaan dan
pengawasan dimaksudkan agar kewenangan daerah otonomi
dalam menyelenggarakan desentralisasi tidak mengarah pada
kedaulatan.
Di samping Pemerintah Daerah merupakan subsistem
dalam Penyelenggaraan pemerintahan negara, secara implisit
pembinaan dan pengawasan terhadap Pemerintah Daerah
merupakan bagian integral dari sistem penyelenggaraan negara
sehingga harus berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam kerangka
Negara Kesatuan Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 79
tahun 2005 secara tegas memberikan kewenangan kepada
Pemerintah Pusat untuk melaksanakan pembinaan dan
pengawasan atas penyelenggaraan pemerintah daerah, menteri
dan pimpinan LPND pembinaan sesuai dengan Kewenangan
masing-masing yang meliputi pemberian pedoman. Bimbingan,
pelatihan, arahan dan pengawasan yang dikoordinasikan
kepada Menteri Dalam Negeri. Pemerintah dapat melimpahkan
pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan Kabupaten di
74
daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pembinaan yang dilakukan oleh Gubernur terhadap peraturan
Kabupaten dan Kota dilaporkan kepada Presiden melalui
Mendagri dengan tembusan kepada Departemen/Lembaga
Pemerintahan Non Departemen terkait.
Pengawasan Kebijakan Daerah yang berdasarkan
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah sejalan dengan Pengawasan Perda Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah yang diatur dengan Undang-Undang Nomor
18 tahun 1997 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
Nomor 34 tahun 2000. Pengawasan dilakukan secara represif
dengan memberikan kewenangan seluas-luasnya kepada
Pemerintah Daerah untuk menetapkan peraturan daerah, baik
yang bersifat limitatif maupun peraturan daerah lain
berdasarkan kriteria yang ditetapkan pemerintah. Karena tidak
disertai dengan sanksi dalam kedua undang-undang tersebut,
peluang ini dimanfaatkan oleh Pemerintah Daerah untuk
menetapkan perda yang berkaitan dengan pendapatan dan
membebani dunia usaha dengan tidak menyampaikan
Peraturan Daerah dimaksud kepada Pemerintah Pusat.
Daerah dan Retribusi Daerah, Pengawasan atas
penyelenggaraan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 18
tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 34 tahun 2000 tentang pajak daerah dan retribusi
daerah, pengawasan atas penyelenggaraan pemerintah daerah
berdasarkan UU Nomor 32 tahun 2004 dan PP Nomor 79 tahun
2005 dilakukan secara:
1. Preventif, terhadap kebijakan Pemerintah Daerah yang
menyangkut Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Tata Ruang
Daerah, dan APBD;
2. Represif, terhadap kebijakan berupa Peraturan Daerah dan
Peraturan Kepala Daerah selain yang menyangkut Pajak
Daerah, Retribusi Daerah, Tata Ruang Daerah dan APBD;
3. Fungsional, terhadap pelaksanaan kebijakan Pemerintah
Daerah;
75
4. Pengawasan legislatif (Dewan Perwakilan rakyat Daerah)
terhadap pelaksanaan kebijakan daerah;
5. Pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah oleh masyarakat.
76
g. Gubernur menetapkan rancangan Perda setelah
mendapat persetujuan bersama dari DPRD sesuai
dengan hasil evaluasi menjadi Perda.
h. Paling lama 7 (tujuh) hari setelah Perda ditetapkan
disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri.
77
g. Bupati/Walikota menetapkan rancangan Perda setelah
mendapat persetujuan bersama DPRD sesuai dengan
hasil evaluasi menjadi Perda.
h. Paling lama 7 (tujuh) hari setelah Perda ditetapkan
disampaikan kepada Gubernur dan Menteri Dalam
Negeri.
78
d. Hasil pengkajian dan evaluasi disampaikan kepada
Menteri Dalam Negeri melalui Biro Hukum Sekretariat
Jenderal.
e. Hasil evaluasi yang telah ditandatangani Menteri Dalam
Negeri disampaikan kepada Gubernur oleh Biro Hukum.
80
BAB 6
PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE
DALAM PENYELENGARAAN OTONOMI
DAERAH
82
B. Hubungan Prinsip Good Governance dengan Otonomi
Daerah
Menurut World Bank, kata governance diartikan sebagai
the way state power is used in managing economic and social
resources for Development society. Pengertian ini
menggambarkan bahwa governance adalah cara kekuasaan
negara digunakan untuk mengelola sumber daya ekonomi dan
sosial untuk pembangunan masyarakat. Cara ini lebih
menunjukkan pada hal-hal yang bersifat teknis.
Sejalan dengan pendapat World Bank tersebut, UNDP
mengemukakan definisi governance sebagai the exercise of political
economic and administrative authority to manage a nation's affair at
all levels. Kata governance berarti penggunaan atau
pelaksanaan, yaitu penggunaan kewenangan politik, ekonomi,
dan administratif untuk mengelola masalah-masalah nasional
pada semua tingkatan. Di sini titik tekannya pada kewenangan,
kekuasaan yang sah atau kekuasaan yang memiliki legitimasi.
Berdasarkan pengertian tersebut, World Bank lebih
menekankan pada cara pemerintah mengelola sumber daya
sosial dan ekonomni untuk kepentingan pembangunan
masyarakat, sedangkan UNDP lebih menekankan pada aspek
politik, ekonomi, dan administratif dalam pengelolaan negara.
Political governance mengacu pada proses pembuatan
kebijakan (policy/strategy formulation). Econonic governance
mengacu pada proses pembuatan keputusan di bidang
ekonomi yang berimplikasi pada masalah pemerataan,
penurunan kemiskinan, dan peningkatan kualitas hidup.
Adapun administrative governance mengacu pada sistem
implementasi kebijakan.
Menurut UNDP, governance didukung oleh tiga kaki,
yaitu politik, ekonomi, dan administrasi. Kaki pertama adalah
tata pemerintahan di bidang politik dimaksudkan sebagai
proses-proses pembuatan keputusan untuk formulasi kebijakan
publik, baik dilakukan oleh birokrasi sendiri maupun oleh
birokrasi bersama-sama politisi. Partisipasi masyarakat dalam
proses pembuatan kebijakan tidak hanya pada tataran
83
implementasi seperti yang selama ini terjadi, tetapi mulai dari
formulasi, evaluasi, sampai pada implementasi.
Kaki kedua, yaitu tata pemerintahan di bidang ekonomi
meliputi proses-proses pembuatan keputusan untuk
memfasilitasi aktivitas ekonomi di dalam negeri dan interaksi
di antara penyelenggara ekonomi. Sektor pemerintah
diharapkan tidak terlampau banyak terjun secara langsung
pada sektor ekonomi karena akan dapat menimbulkan distorsi
mekanisme pasar. Kaki ketiga, yaitu tata pemerintahan di
bidang administrasi adalah berisi implementasi proses
kebijakan yang telah diputuskan oleh institusi politik.
Menurut UNDP, governance atau tata pemerintahan
memiliki tiga domain, yaitu:
1. Negara atau pemerintahan (state);
2. Sektor swasta atau dunia usaha (private sector);
3. Masyarakat (society).
3. Transparansi (Transparancy)
Salah satu karakteristik good governance adalah
keterbukaan. Karakteristik ini sesuai dengan semangat
zaman yang serba terbuka akibat adanya revolusi informasi.
85
Keterbukaan tersebut mencakup semua aspek
aktivitas yang menyangkut kepentingan publik, mulai
proses pengambilan keputusan, penggunaan dana-dana
publik sampai pada tahapan evaluasi.
6. Keadilan (Equity)
Melalui prinsip good governance, setiap warga
negara memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh
kesejahteraan. Akan tetapi, karena kemampuan setiap
warga negara berbeda-beda, sektor publik perlu memainkan
peranan agar kesejahteraan dan keadilan berjalan seiring
sejalan.
86
7. Efektif dan Efisiensi (Efectiveness and Efficiency)
Agar mampu berkompetisi secara sehat dalam
peraturan dunia, kegiatan ketiga domain dan governance
harus mengutamakan efektivitas dan efisiensi dalam setiap
kegiatan. Tekanan perlunya efektivitas dan efisiensi
ditujukan pada sektor publik karena sektor ini menjalankan
aktivitasnya secara monopolistik. Tanpa kompetisi, efisiensi
tidak akan tercapai.
8. Akuntabilitas (Accountability)
Setiap aktivitas yang berkaitan dengan kepentingan
publik harus mempertanggungjawabkannya kepada publik.
Secara teoretis, akuntabilitas dapat dibedakan menjadi lima
macam, yaitu:
a. Akuntabilitas organisasi;,
b. Akuntabilitas legal;
c. Akuntabilitas politik;
d. Akuntabilitas profesional;
e. Akuntabilitas moral.
87
masyarakat apabila tidak dikelola secara bijak dapat
menimbulkan berbagai ketegangan sosial. Dalam hal ini
diperlukan pimpinan nasional yang memiliki dukungan
legitimasi politik yang kuat, memiliki karisma, serta
kemampuan manajerial untuk mengendalikan perubahan.
Prinsip-prinsip good governance pada dasarnya mengandung
nilai yang bersifat objektif dan universal yang menjadi acuan
dalam menentukan tolok ukur atau indikator dan ciri-
ciri/karakteristik penyelenggaraan pemerintahan negara yang
baik.
Prinsip-prinsip good governance dalam praktik
penyelenggaraan negara dituangkan dalam (tujuh) asas-asas
umum penyelenggaraan negara sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme. Adapun prinsip atau asas umum dalam
penyelenggaraan negara yang tercantum dalam Undang-
Undang Nomor 28 tahun 1999 meliputi hal berikut.
1. Asas Kepastian Hukum adalah asas dalam negara hukum
yang mengutamakan landasan peraturan perundang-
undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan
Penyelenggara Negara.
2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara adalah asas yang
menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan
keseimbangan, dalam pengendalian Penyelenggara Negara.
3. Asas Kepentingan Umum adalah asas yang mendahulukan
kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif,
Akomodatif, dan selektif.
4. Asas Keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap
hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar,
jujur, dan tidak diskriminatif, tentang penyelenggaraan
negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak
asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.
5. Asas Proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan
keseimbangan antara hak dan kewajiban Penyelenggara
Negara.
88
6. Asas Profesionalitas adalah asas yang mengutamakan
keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7. Asas Akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa
setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara
Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan
tertinggi negara dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
89
Tuntutan agar penyelenggaraan pemerintahan
diselenggarakan secara transparan dan terbuka mendorong
pada pemantapan sikap untuk menerapkan prinsip-prinsip
akuntabilitas terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan.
Berkaitan dengan upaya pelaksanaan tata pemerintahan
yang baik, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah merupakan salah satu instrumen yang
merefleksikan keinginan Pemerintah untuk melaksanakan tata
pemerintahan yang baik dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah.
Hal ini dapat dilihat dari indikator upaya penegakan
hukum, transparansi, dan penciptaan partisipasi. Dalam hal
penegakan hukum, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004
telah mengatur secara tegas upaya hukum bagi para
penyelenggara pemerintahan daerah yang diindikasikan
melakukan penyimpangan. Penyidikan terhadap kepala daerah
dan wakil kepala daerah tidak lagi dapat dihambat oleh alasan
belum adanya persetujuan Presiden. Pasal 36 ayat (2)
menyebutkan bahwa apabila persetujuan tertulis tidak
diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 60 hari
terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan
dan penyidikan dapat dilakukan. Demikian pula, halnya
dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Sesuai
Pasal 53 ayat (1) dan ayat (2) menegaskan bahwa upaya
penyidikan terhadap anggota DPRD dapat dilanjutkan apabila
Dalam waktu 60 hari tidak ada persetujuan tertulis dari Menteri
dalam negeri, atas nama presiden bagi anggota DPRD provinsi
dan dari gubernur atas nama menteri dalam negeri bagi
anggota DPRD kabupaten/kota.
Bahkan, untuk kasus-kasus tertentu, proses hukum
dapat dilaksanakan tanpa menunggu dari presiden, yaitu:
1. Tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan;
atau
2. Disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang
diancam dengan pidana mati, atau telah melakukan tindak
pidana kejahatan terhadap keamanan negara.
90
Sementara itu, upaya untuk mewujudkan transparansi
dalam Penyelenggaraan pemerintahan diatur dalam Pasal 127
ayat (2), yang menegaskan bahwa sistem akuntabilitas
dilaksanakan dengan kewajiban kepala daerah untuk
memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah
kepada Pemerintahan, dan memberikan laporan keterangan
pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan
laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada
masyarakat. Dengan sistem akuntabilitas semacam ini, terdapat
keuntungan yang dapat diperoleh, yaitu akuntabilitas lebih
dapat terukur tidak hanya dilihat dari sudut pandang politisi
semata. Hal ini merupakan antitesis sistem akuntabilitas dalam
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, yaitu penilaian
terhadap laporan pertanggungjawaban kepala daerah oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sering tidak
berdasarkan pada indikator-indikator yang tidak jelas. Karena
akuntabilitas didasarkan pada indikator kinerja yang terukur,
laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan daerah
tidak mempunyai dampak politis ditolak atau diterima.
Dengan demikian, stabilitas penyelenggaraan pemerintahan
daerah dapat lebih terjaga.
Selain itu, dalam upaya penciptaan partisipasi
masyarakat, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 juga
memberikan koridor bagi masyarakat untuk menyalurkan
aspirasinya. Menilik pentingnya aspirasi masyarakat dalam
proses pembuatan kebijakan publik, undang-undang ini
membuka koridor yang luas bagi masyarakat untuk
memberikan berbagai masukan terhadap kebijakan-kebijakan
daerah, sebagaimana tercantum dalam Pasal 139: "Masyarakat
berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam
rangka penyiapan atau pembahasan Rancangan Peraturan
Daerah (Raperda)". Partisipasi masyarakat juga berperan dalam
upaya mengawasi kinerja penyelenggaraan pemerintahan yang
baik (good governance).
91
Selain mengatur partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah, Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2004 juga memberi koridor partisipasi dalam
pemberian pelayanan kepada masyarakat. Peran serta swasta
dalam proses pelayanan kepada masyarakat merupakan hal
yang tidak dapat dielakkan lagi. Kapasitas pemerintahan
daerah yang terbatas menuntut adanya dukungan swasta
dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat sehingga
dapat tercipta sistem pelayanan yang optimal. Koridor peran
swasta diatur dalam Pasal 195 ayat (3) yang berbunyi: "Dalam
penyediaan pelayanan publik, daerah dapat bekerja sama
dengan pihak ketiga."
Dengan kerja sama pemerintah daerah dengan swasta
diharapkan akan tercipta sistem pelayanan kepada masyarakat
atau publik yang efisien, efektif, sinergis, dan saling
menguntungkan. Dengan demikian, jelas bahwa Undang-
Undang Nomor 32tahun 2004 dipersiapkan untuk menjadi
instrumen yang diharapkan dapat menjadi ujung tombak
pelaksanaan konsep good governance dalam penyelenggaraan
pemerintahan di Indonesia.
92
BAB 7
KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM
PENINGKATAN PEREKONOMIAN DAERAH
DAN PENDAPATAN PAJAK DAERAH
2 Mardiasmo,op.cit., hlm.59.
94
5. Modernisator pembangunan, yaitu mengubah sistem
kegiatan yang lebih maju.3
99
dikomunikasikan secara vertikal ataupun horizontal dengan
baik.8
102
4. Menaikkan pajak melalui peningkatan tarif dan perluasali1
subjek dan objek pajak;
5. Mengoptimalkan penerimaan pajak pusat yang dapat di-
sharing dengan daerah. Jika potensinya cukup besar,
pemerintah daerah dapat membantu memobilisasi
penerimaan pajak pusat sehingga bagian bagi hasil pajak
untuk daerah tersebut tinggi.11
105
2. Adil dan merata secara 106e bagian, artinya sesuai dengan
tingkatan kelompok masyarakat dan horizontal, yaitu
berlaku sama bagi setiap anggota kelompok masyarakat
sehingga tidak ada yang kebal pajak.
3. Administrasi yang fleksibel, artinya sederhana, mudah
dihitung, pelayanan memuaskan bagi wajib pajak.
4. Secara politis dapat diterima oleh masyarakat sehingga
timbul motivasi dan kesadaran pribadi untuk membayar
pajak.
5. Non-distorsi terhadap perekonomian: implikasi pajak atau
pungutan yang hanya menimbulkan pengaruh minimal
terhadap perekonomian. Pada dasarnya setiap pajak atau
pungutan akan menimbulkan suatu beban, baik bagi
konsumen maupun produsen. Jangan sampai suatu pajak
atau pungutan menimbulkan beban tambahan (extra burden)
yang berlebihan sehingga akan merugikan masyarakat
secara menyeluruh (dead-weight loss).
hlm. 134-135
13 Teresa Ter-Minassian, “Fiscal Federalism in Theory and Practice”,
109
4. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dam
Air Permukaan (PSABT & AP).
110
1. bersifat pajak dan bukan retribusi;
2. objek pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah
kabupaten kota yang bersangkutan dan mempunyai
mobilitas yang cukup rendah serta hanya melayani
masyarakat di wilayah daerah kabupaten/ kota yang
bersangkutan;
3. objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan
dengan kepentingan umum;
4. objek pajak bukan merupakan objek pajak provinsi dan/
atau objek pajak pusat;
5. potensinya memadai;
6. tidak memberikan dampak ekonomi yang 111ebagian;
7. memerhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat;
dan
8. menjaga kelestarian lingkungan.
111
tersebut sudah dibatalkan oleh pemerintah pusat, pemerintah
daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung
(MA) segera setelah mengajukannya kepada pemerintah
berdasarkan PP Nomor 20 tahun 2001 tentang Pembinaan dan
Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
18 Geoffrey Brennan dan James Buchanan, “Tax Limits and thr logic of
Indonesia, LPEM Universitas Indonesia Bekerja sama dengan Clean Urban Project,
RTI, Jakarta, 1999.
113
bagi 114e bagian daerah perarti memperkecil kemampuan
manuver keuangan daerah dalam menghadapi krisis
ekonomi.
2. Perannya yang tergolong kecil dalam total penerimaan
daerah
Sebagian besar penerimaan daerah masih berasal dari
pantuan pusat. Dari segi upaya pemungutan pajak,
banyaknya pantuan dan subsidi ini mengurangi ”usaha”
daerah dalam Pemungutan PAD-nya dan lebih
mengandalkan kemampuan “negosiasi” daerah terhadap
pusat untuk memperoleh tambahan bantuan.
3. Kemampuan administrasi pemungutan di daerah yang
masih rendah
Hal ini mengakibatkan bahwa pemungutan pajak
cenderung dibebani oleh biaya pungut yang besar. PAD
masih tergolong memiliki tingkat buoyancy yang rendah.
Salah satu sebabnya adalah diterapkan 114ebagi ”target”
dalam pungutan daerah. Sebagai akibatnya, beberapa
daerah lebih condong memenuhi target tersebut, walaupun
dari sisi pertumbuhan ekonomi sebenarnya pemasukan
pajak dan retribusi daerah dapat melampaui target yang
ditetapkan.
4. Kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan yang
lemah
Hal ini mengakibatkan kebocoran yang sangat berarti
bagi daerah. Selama ini peranan PAD dalam membiayai
kebutuhan pengeluaran daerah sangat kecil dan bervariasi
antardaerah, yaitu kurang dari 10% hingga 50%. Sebagian
besar daerah provinsi hanya dapat membiayai kebutuhan
pengeluarannya kurang dari 10%.
5. Variasi dalam penerimaan diperparah lagi dengan 114ebagi
bélgi hasil
Bagi hasil didasarkan pada daerah penghasil sehingga
hanya menguntungkan daerah tertentu. Demikian pula,
distribusi pajak antardaerah sangat timpang karena basis
pajak antardaerah sangat bervariasi (rasio PAD tertinggi
114
dengan terendah mencapai 600). Peranan pajak dam
retribusi daerah dalam pembiayaan yang sangat rendah clan
bervariasi juga terjadi karena adanya perbedaan yang sangat
besar dalam jumlah penduduk, keadaan geografis
(berdampak pada biaya yang 115ebagian mahal), dan
kemampuan masyarakat sehingga mengakibatkan biaya
penyediaan pclayanan kcpada masyarakat sangat bervariasi.
115
pusat dan daerah sebagai prasyarat mendasar dalam 116ebagi
pemerintahan negara.
Berkaitan dengan hal tersebut, Optimalisasi sumber-
Sumber PAD perlu dilakukan untuk meningkatkan
kemampuan keuanga11 daerah. Untuk itu, diperlukan
intensifikasi dan ekstensifikasi subjek dan objek pendapatan.
Dalam jangka pendek, kegiatan yang paling mudah dan
dapat segera dilakukan adalah dengan melakukan intensifikasi
terhadap objek atau sumber pendapatan daerah yang sudah
ada melalui pemanfaatan teknologi informasi. Dengan
melakukan efektivitas dan efisiensi sumber atau objek
pendapatan daerah, produktivitas PAD akan meningkatkan
tanpa harus melakukan perluasan sumber atau objek
pendapatan baru yang memerlukan studi, proses, dan waktu
yang 116ebagia. Dukungan teknologi informasi secara terpadu
untuk mengintensifkan pajak mutlak diperlukan karena
116ebagi pemungutan pajak yang dilaksanakan selama ini
cenderung tidak optimal. Masalah ini tercermin pada 116ebagi
dan prosedur pemungutan yang masih konvensional dan
masih banyaknya 116ebagi berjalan secara parsial sehingga
besar kemungkinan informasi yang disampaikan tidak
konsisten, versi data yang berbeda dan data tidak up-to-date.
Permasalahan pada 116ebagi pemungutan pajak cukup banyak,
misalnya baik dalam hal data wajib pajak/retribusi, penetapan
jumlah pajak, jumlah tagihan pajak, dan target pemenuhan
pajak yang tidak optimal.
Secara umum, upaya yang perlu dilakukan oleh
pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan pendapatan
daerah melalui Optimalisasi intensifikasi pemungutan pajak
daerah dan retribusi daerah adalah sebagai berikut.
1. Memperluas basis penerimaan
Tindakan yang dilakukan untuk memperluas basis
penerimaan yang dapat dipungut oleh daerah, yang dalam
perhitungan ekonomi dianggap potensial, antara lain
mengidentifikasi pembayar pajak baru/potensial dan
jumlah pembayar pajak, memperbaiki basis data objek,
116
memperbaiki penilaian, menghitung kapasitas penerimaan
dari setiap jenis pungutan.
2. Memperkuat proses pemungutan
Upaya yang dilakukan dalam memperkuat proses
pemungutan, yaitu mempercepat penyusunan Perda,
mengubah tarif, khususnya tarif retribusi dan peningkatan
SDM.
3. Meningkatkan pengawasan
Hal ini dapat ditingkatkan dengan melakukan
pemeriksaan secara dadakan dan berkala, memperbaiki
proses pengawasan, menerapkan sanksi terhadap
penunggak pajak dan sanksi terhadap pihak 117ebagi, serta
meningkatkan pembayaran pajak dan pelayanan yang
diberikan oleh daerah.
4. Meningkatkan efisiensi administrasi dan menekan biaya
pemungutan
Tindakan yang dilakukan oleh daerah, yaitu
memperbaiki prosedur administrasi pajak melalui penye-
derhanaan administrasi pajak, meningkatkan efisiensi
pemungutan dari setiap jenis pemungutan.
5. Meningkatkan kapasitas penerimaan melalui perencanaan
yang lebih baik
Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan
koordinasi dengan instansi terkait di daerah. Selanjutnya,
ekstensifikasi perpajakan juga dapat dilakukan, yaitu
melalui kebijaksanaan pemerintah untuk memberikan
kewenangan perpajakan yang lebih besar kepada daerah
pada masa mendatang. Untuk itu, perlu adanya perubahan
dalam 117ebagi perpajakan Indonesia melalui 117ebagi
pembagian langsung atau beberapa basis pajak pemerintah
pusat yang lebih tepat dipungut oleh daerah.
117
dapat dilihat dari gambaran consolidated revenues APBD dan
APBN (APBD kabupaten/kota * provinsi + penerimaan dalam
negeri dalam APBN), porsi PAD hanya sebesar 5,30% dari total
consolidated revenues, pada pihak 1am pengeluaran yang
menjadi tanggung jawab daerah sekitar 0% dari consolidated
expenditures. Gambaran porsi PAD terhadap total consolidated
revenues yang hanya 5,30% menunjukkan betapa sentralistisnya
sisi penerimaan antara kabupaten/ kota dan provinsi Pada satu
pihak dan penerimaan dalam negeri dalam APBN pada pihak
lain. Sebagai perbandingan yang sama, masing-masing untuk
developing countries, transition countries dan OECD countries rata-
rata gebesar 9,27 °o, 16,59% dan 19,13%. Keadaan ini kurang
mendukung akuntabilitas dari penggunaan anggaran daerah
karena keterbatasan dana transfer dari pusat untuk membiayai
kebutuhan daerah idealnya dapat ditutup oleh daerah dengan
menyesuaikan basis pajak atau tarif pajak daerahnya.
Untuk itu, perlu dicarikan upaya untuk meningkatkan
taxing power daerah, antara lain melalui pengalihan sepenuhnya
beberapa pajak pusat kepada daerah (artinya daerah
sepenuhnya menetapkan basis pajak, tarif ataupun administrasi
pemungutannya), pengalihan 118ebagian Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP) kepada daerah dan lain-lain kebijakan
sharing tax dan piggy backing system. Kabupaten/ kota perlu
diberi tambahan pendapatan dengan memberikan kewenangan
penuh memungut pajak sampai dengan besaran tertentu. PBB
dan BPHTB dapat dialihkan menjadi pajak daerah dan
pemerintah kabupaten/kota diberi wewenang untuk
menetapkan dasar pengenaan pajak (tax~base) dan tarif sampai
dengan batas tertentu atas kedua jenis pajak tersebut, meskipun
untuk sementara waktu, administrasinya akan tetap dilakukan
oleh pemerintah pusat. Kebijakan ini diharapkan dapat
menghilangkan upaya daerah untuk menggali Consolidated
Expenditure sumber-sumber PAD yang berdampak distortif
terhadap perekonomian.
118
Pada pihak lain, dilihat dari sisi kewenangan yang
menjadi tanggung jawab daerah, Indonesia tergolong negara
yang melaksanakan desentralisasi dengan proses yang ”big
bang”. Hal ini dapat dilihat dari pergeseran expenditure
assignment yang dilaksanakan oleh daerah pada tahun 1990-an
sebesar 16,59% dari Total (APBD+APBN) meningkat menjadi
27,78% pada tahun 2001.
Berdasarkan uraian tersebut, penyelenggaraan otonomi
daerah dapat dilaksanakan dengan baik apabila didukung
dengan sumber-sumber pembiayaan yang memadai. Potensi
ekonomi daerah sangat menentukan dalam upaya
meningkatkan kemampuan keuangan daerah bagi
penyelenggaraan rumah tangganya. Sekalipun demikian,
otonomi daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia tidak hanya diukur dari jumlah PAD yang dapat
dicapai, tetapi sejauh mana pajak daerah dan retribusi daerah
dapat berperan mengatur perekonomian masyarakat agar
dapat bertumbuh kembang sehingga meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di daerah.
119
BAB 9
SEKRETARIAT DAERAH, DINAS DAERAH,
LEMBAGA TEKNIS DAERAH, CAMAT,
LURAH, DAN DESA
A. Sekretariat Daerah
Pemerintah daerah mempunyai perangkat daerah.
Perangkat daerah adalah organisasi/lembaga pada pemerintah
daerah yang bertanggungjawab kepada kepala daerah dan
membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan
pemerintahan. Sekretariat daerah adalah unsur staf pemerintah
daerah. Maksudnya sebagai lembaga yang memberi dukungan
data, informasi, dan perencanaan pada pemerintah daerah.
1. Sekretariat Daerah Provinsi
Sekretariat daerah provinsi merupakan unsur staf
pemerintah provinsi dan dipimpin oleh seorang sekretaris
daerah yang berada di bawah dan bertanggungjawab
kepada gubernur. Sekretariat daerah provinsi mempunyai
tugas membantu gubernur dalam melaksanakan tugas
dalam penyelenggaraan pemerintahan, administrasi,
organisasi, dan tata laksana serta memberikan pelayanan
administrasi kepada seluruh perangkat daerah.
Sekretariat daerah provinsi memiliki fungsi:
a. Pengoordinasian perumusan kebijakan pemerintah
daerah provinsi;
b. Penyelenggaraan administrasi pemerintahan;
c. Pengelolaan sumber daya aparatur, keuangan, prasarana,
dan sarana pemerintahandaerah provinsi;
d. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh gubernur
sesuai dengan tugas dan fungsinya.
120
2. Sekretariat Daerah Kabupaten/Kota
Sekretariat daerah kabupaten/kota merupakan unsur
staf pemerintah provinsi dan dipimpin oleh seorang
sekretaris daerah yang berada di bawah dan bertanggung-
jawab kepada bupati/walikota.
Sekretariat daerah kabupaten/kota mempunyai
fungsi:
a. Pengoordinasian perumusan kebijakan pemerintah
daerah provinsi;
b. Penyelenggaraan administrasi pemerintahan;
c. Pengelolaan sumber daya aparatur, keuangan, prasarana,
dan sarana pemerintahandaerah provinsi;
d. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh gubernur
sesuai dengan tugas dan fungsinya.
B. Sekretariat DPRD
1. Sekretariat DPRD Provinsi
Sekretariat DPRD Provinsi merupakan unsur
pelayanan terhadap DPRD Provinsi, dipimpin oleh seorang
sekretaris yang bertanggungjawab kepada pimpinan DPRD
dan secara administratif dibina oleh sekretaris daerah
provinsi. Sekretarian DPRD Provinsi mempunyai tugas
memberikan pelayanan administratif kepada anggota DPRD
Provinsi. Sekretariat DPRD Provinsi mempunyai fungsi:
a. Fasilitasi rapat anggota DPRD Provinsi;
b. Pelaksanaan urusan rumah tangga dan perjalanan dinas
anggota DPRD Provinsi;
c. Pengelolaan tata usaha DPRD Provinsi.
121
2. Sekretariat DPRD Kabupaten/Kota
Sekretariat DPRD Kabupaten/Kota merupakan unsur
pelayanan terhadap DPRD Kabupaten/Kota, dipimpin oleh
seorang sekretaris yang bertanggungjawab kepada
pimpinan DPRD dan secara administratif dibina oleh
sekretaris daerah Kabupaten/Kota. Sekretarian DPRD
Kabupaten/Kota mempunyai tugas memberikan pelayanan
administratif kepada anggota DPRD Kabupaten/Kota.
Sekretariat DPRD Kabupaten/Kota mempunyai fungsi:
a. Fasilitasi rapat anggota DPRD Kabupaten/Kota;
b. Pelaksanaan urusan rumah tangga dan perjalanan dinas
anggota DPRD Kabupaten/Kota;
c. Pengelolaan tata usaha DPRD Kabupaten/Kota.
C. Inspektorat Daerah
1. Inspektorat Provinsi
Inspektorat provinsi adalah perangkat daerah
provinsi yang merupakan unsur pengawa penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Inspektorat provinsi mempunyai
tugas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan
pemerintahan di daerah provinsi, pelaksanaan pembinaan
atas penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota
dan pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah
kabupaten/kota. Inspektorat provinsi dalam melaksanakan
tugas menyelenggarakan fungsi:
a. Perancaan program pengawasan;
b. Perumusan kebijakan dan fasilitasi pengawasan;
c. Pemeriksaan, pengusutan, pengujian dan penilaian tugas
pengawasan.
122
2. Inspektorat Kabupaten/Kota
Inpektorat kabupaten/kota merupakan unsur
pengawas penyelenggaraan pemerintaha daerah.
Inspektorat kabupaten/kota mempunyai tugas melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan di
daerah kabupaten/kota, pelaksanaan pembinaan atas
penyelenggaraan pemerintahan desa dan pelaksanaan
urusan pemerintahan desa.
Inspektorat kabupaten/kota dalam melaksanakan
tugas menyelenggarakan fungsi:
a. Perencanaan program pengawasan;
b. Perumusan kebijakan dan fasilitasi pengawasan;
c. Pemeriksaan, pengusutan, pengujian dan penilaian tugas
pengawasan.
D. Dinas Daerah
1. Dinas Provinsi
Dinas provinsi merupakan unsur pelaksana
pemerintah provinsi dipimpin oleh seorang kepala yang
berada di bawah dan betanggung jawab kepada gubernur
melalui sekretaris daerah. Dinas provinsi mempunyai tugas
melaksanakan kewenangan desentralisasi dan
dekonsentrasi. Dinas provinsi mempunyai fungsi:
a. Perumusan kebijakan teknis sesuai dengan ruang
lingkup tugasnya;
b. Pemberian perizinan dan pelaksanaan pelayanan
umum;
c. Pembinaan pelaksanaan tugas sesuai dengan lingkup
tugasnya.
123
2. Dinas Kabupaten/Kota
Dinas kabupaten/kota merupakan unsur pelaksana
pemerintah kabupaten/kota dipimpin oleh seorang kepala
yang berada di bawah dan betanggung jawab kepada
bupati/walikota melalui sekretaris daerah. Dinas
kabupaten/kota mempunyai tugas melaksanakan
kewenangan otonomi daerah kabupaten/kota dalam rangka
pelaksanaan tugas desentralisasi. Dinas kabupaten/kota
mempunyai fungsi:
a. Perumusan kebijakan teknis sesuai dengan ruang
lingkup tugasnya;
b. Pemberian perizinan dan pelaksanaan pelayanan umum;
c. Pembinaan terhadap Unit Pelaksana Teknis Dinas dan
Cabang Dinas dalam lingkup tugasnya.
124
2. Lembaga Teknis Daerah Kabupaten/Kota
Lembaga Teknis Daerah Kabupaten/Kota merupakan
unsur penunjang pemerintah daerah kabupaten/kota yang
dipimpin oleh seorang kepala yang berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada bupati/walikota melalui
sekretaris daerah. Lembaga Teknis Daerah Provinsi
mempunyai tugas membantu bupati/walikota dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam lingkup
tugasnya. Lembaga Teknis Daerah Kabupaten/Kota
mempunyai fungsi:
a. Perumusan kebijakan teknis sesuai dengan lingkup
tugasnya;
b. Pelayanan penunjang penyelenggaraan pemerintah
daerah.
F. Kecamatan
Status kecamatan sesuai dengan UU No. 22 tahun 1999 jo
UU No. 32/2004 bukan lagi sebagai wilayah administrasi tapi
sebagai wilayah kerja camat sebagai perangkat daerah
kabupaten/kota. Dengan demikian camat adalah perangkat
daerah kabupaten dan /atau daerah kota bukan sebagai kepala
wilayah. Disamping menangani urusan-urusan otonomi daerah
cama juga menyelenggarakan tugas umum pemerintahan yang
meliputi:
1. Mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat;
2. Mengoordinasikan upaya penyelenggaraan ketentraman
dan ketertiban umum;
3. Mengoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan
perundangan;
4. Mengoordinasikan pemeliharaan sarana dan prasarana dan
fasilitas pelayanan umum;
5. Mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan
di tingkat kecamatan;
6. Membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau
kelurahan;
125
7. Melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang
lingkup tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan
pemerintahan desa atau kelurahan.
126
ditetapkan oleh bupati/ wali kota disampaikan kepada menteri
melalui gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk
mendapat persetujuan.
Jadi kecamatan dibentuk dalam rangka meningkatkan
koordinasi penyelenggaraan pemerintahan artinya dengan
adanya kecamatan, camat sebagai pimpinan tertinggi di
kecamatan harus dapat mengkoorkinasikan semua urusan
pemerintahan di kecamatan, kemudian juga camat harus
memberikan pelayanan publik di kecamatan dan juga
pemberdayaan masyarakat desa/kelurahan.
G. Kelurahan
Kelurahan adalah suatu wilayah yang ditempati oleh
sejumlah penduduk yang mempunyai organisasi pemerintahan
terendah langsung di bawah camat tetapi tidak memiliki hak
untuk menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Kelurahan
merupakan wilayah kerja Lurah sebagai Perangkat Daerah
Kabupaten atau Kota. Kelurahan dipimpin oleh seorang Lurah
yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil. Kelurahan
merupakan unit pemerintahan terkecil, kelurahan memiliki hak
mengatur wilayahnya lebih terbatas. Dalam perkembangannya
sebuah Desa dapat diubah statusnya menjadi Kelurahan.
Kelurahan adalah wilayah kerja lurah sebagai perangkat
daerah kabupaten dan/atau daerah kota di bawah kecamatan.
Kelurahan merupakan perangkat kecamatan yang di pimpin
oleh kepala kelurahan. Lurah diangkat dari pegawai negeri
sipil yang memenuhi syarat oleh bupati/walikota atas usul
camat. Lurah mempunyai tugas pelaksanaan kegiatan
pemerintahan kelurahan, pemberdayaan masyarakat,
pelayanan masyarakat, penyelenggaraan ketentraman dan
ketertiban umum.
Sesuai dengan Nomer 73 Tahun 2005, Kelurahan adalah
wilayah kerja Lurah sebagai perangkat daerah kabupaten/kota
dalam wilayah Kecamatan. Kelurahan dibentuk di wilayah
Kecamatan. Pembentukan Kelurahan harus sekurang-
kurangnya memenuhi syarat :
127
1. Jumlah Penduduk
2. Luas Wilayah
3. Bagian Wilayah Kerja
4. Sarana dan Prasarana Pemerintahan.
128
Dalam menyelenggarakan pemerintahan Kelurahan,
Lurah dibantu perangkat Kelurahan. Perangkat Kelurahan
terdiri dari Sekretaris Kelurahan dan Seksi Seksi serta jabatan
fungsional. Dalam melaksanakan tugasnya, perangkat
Kelurahan bertanggung jawab kepada Lurah. Perangkat
Kelurahan, diisi dari Pegawai Negeri Sipil yang diangkat oleh
Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota atas usul Camat. Ketentuan
lebih lanjut mengenai struktur organisasi dan tata kerja
Kelurahan diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Keuangan Kelurahan bersumber dari :
1. APBD Kabupaten/Kota yang dialokasikan sebagaimana
perangkat daerah lainnya,
2. Bantuan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah
Kabupaten/Kota, dan bantuan pihak ketiga.
H. Desa
Desa menurut H.A.W. Widjaja dalam bukunya yang
berjudul “Otonomi Desa” menyatakan bahwa: Desa adalah
sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
susunan asli berdasarkasan hak asal-usul yang bersifat
istimewa. Landasan pemikiran dalam mengenai Pemerintahan
Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli,
demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat
Undang-undang No. 22/1999 jo UU No. 32/2004
merumuskan Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan
adat istiadat setempat yang diakui dalam Sistem Pemerintahan
Nasional dan berada di daerah kabupaten/kota. Otonomi yang
dimiliki pemerintah desa adalah otonomi berdasarkan asal usul
dan adat istiadat. Artinya, apabila desa memang mempunyai
urusan-urusan yang secara adat diatur dan diurus maka urusan
tersebut diakui oleh undang-undang.
129
Contoh urusan-urusan yang dimiliki pemerintah desa:
1. Urusan pengelolaan pasar
2. Urusan lumbung desa
3. Urusan pengairan desa
4. Urusan pengelolaan makam keramat
5. Urusan penyelenggaraan upacara adat
130
1. Kepala Desa
Kepala desa adalah kepala pemerintahan desa. Kepala
desa mempunyai tugas pokok memimpin dan
mengoordinasikan pemerintah desa dalam melaksanakan
sebagian urusan rumah tangga desa, urusan pemerintahan
umum, pembinaan dan pembangunan masyarakat, serta
menjalankan tugas pembantuan dari pemerintah atasnya.
Tugas dan kewajiban kepala desa adalah:
a. Memimpin penyelenggaraan pemerintah desa;
b. Membina kehidupan masyarakat desa;
c. Membina perekonomian desa;
d. Membina ketentraman dan ketertiban masyarakat desa;
e. Mendamaikan perselisihan masyarakat di desa;
f. Mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan dan
dapat menunjuk kuasa hukumnya.
2. Sekretaris Desa
Sekretaris desa adalah staf yang memimpin
sekretariat desa. Sekretariat desa bertugas membantu kepala
desa di bidang pembinaan administrasi dan memberikan
pelayanan teknis administrasi kepada seluruh perangkat
pemerintah desa. Sekretaris desa dijabat oleh PNS yang
memenuhi syarat.
3. Kepala Urusan
Kepala urusan adalah staf yang membantu sekretaris
desa sesuai dengan bidangnya. Kepala urusan bertanggung
jawab kepada sekretaris desa. Kepala urusan terdiri atas:
a. Kepala Urusan Pemerintahan;
b. Kepala Urusan Pembangunan;
c. Kepala Urusan Administrasi.
5. Kepala Dusun
Kepala dusun berkedudukan sebagai unsur pelaksana
tugas kepala desa di wilayah kerjanya. Tugas kepala dusun
menjalankan tugas kepala desa di wilayah kerjanya.
132
BAB 10
PERTUMBUHAN PEMERINTAHAN DESA
133
Directieverganderingan KBG XXXVII. Piagam tersebut
menginformasikan bahwa warga Desa Walandit pada bulan
terang (tetileman) di kenakan pungutan untuk upacara
menghormati Berahmana (gunung Bromo di peguunungan
Tengger). Perintah raja mengenakan pungutan kepada warga
Desa Walandit tersebut di tulis dalam Piagam Loyang.
Prasasti dan piagam tersebut membuktikan bahwa pada
abad ke-14 di Indonesia sudah terdapat desa dengan ststus
swatantra. Otonom. Tentang hirarkinya berdasarkan status
sengketa desa Himad dan desa Walandid tersebut, tampaknya
susunan pemerintah desa waktu itu langsung di bawah
kerajaan/pusat. Tidak ada daerah atau wilayah semacam
kabupaten/provinsi di atas desa. Hal tersebut tampak melalui
penanganan langsung oleh pejabat kerajaan ketika kedua desa
tersebut bersengketa.
Bagaimana pratik penyelenggara pemerintah desa waktu
itu? Dalam hal ini pun tidak banyak sumber tertulis yang
memberi informasi secara lengkap. Akan tetapi, sedikit
gambaran bagaimana praktik pemerintahan desa pada waktu
itu bisa di lihat pada praktik pemerintahan desa dalam
kabupaten Baduy dalam menyelenggarakan pemerintahan
desainya tidak banyak berbeda dengan yang di praktikkan
nenek moyangnya pada zaman Kerajaan Pajajaran abad ke-11-
15.
Masyarakat Baduy adalah contoh kesatuan masyarakat
hukum adat yang bersifat geneologis, terdiri atas satu
keturunan. Diduga kuat mereka adalah pelarian sisa-sisa
pasuka Pajajaran yang terdesak oleh pasukan kesultanan
Banten yang menyebarkan agama Islam. Mereka lalu lari ke
hutan yang kemudian membentuk komunitas yang tertutup.
Sejak saat itulah mereka mempertahanka semua lembaga yang
mengatur perikehidupannya sampai sekarang.
Masyarakat Baduy dibagi menjadi dua: Baduy Dalam
dan Baduy Luar. Orang Baduy Dalam berpakaian serba putih
sedangkan orang Baduy Luar berpakaian serba hitam.
Masyarakat Baduy dipimpin oleh seorang kepala yang disebut
134
Puun. Puun selalu diambil dari masyarakat Baduy Dalam.
Karena orang Baduy Dalam tidak boleh berhubungan dengan
Baduy Luar, maka Puun menunjuk salah seorang Baduy Luar
sebagai Jaro. Jaro adalah wakil Puun untuk mengurus
masyarakat Baduy Luar. Jaro tidak mempunyai kekuasaan
memutuskan perkara. Ia hanyalah penerus kebijakan Puun.
Puun adalah kepala pemerintahan, kepala adat, dan
pemimpin kepercayaan. Jabatan Puun dipilih secara sukarela
dan demokratis oleh masyarakat atau ditentukan oleh ahli
agama/kepercayaan berdasarkan ilham yang diterima dan
diyakini kebenarannya. Di bawah Puun terdapat Girang Seurat
atau juru tulis dan pejabat- pejabat yang berfungsi mengurusi
bidang keamanan, pengadilan, pengairan, dan kepala-kepala
kampung.
Desa Baduy mempunyai alum-alun mini ukuran 7 x 10 m
yang terletak di tengah-tengah kampung. Di pinggir “alun-
alun” tersebut terdapat Balai dengan posisi menghadap “alun-
alun”. Balai adalah tempat berkumpul pejabat desa yang
dipimpin Puun. Melalui Balai inilah pemerintahan desa
diselenggarakan. Dengan demikian, Balai adalah semacam
pusat pemerintahan masyarakat Baduy.
Masyarakat Baduy sangat menghormati semua norma,
aturan, adat istiadat, dan semua kebijakan yang diputuskan
Puun. Mereka hidup secara tertib dan teratur berdasarkan adat
istiadat yang masih dijunjung tinggi. Mereka hidup gotong
royong dalam menyelesaikan masalah. Mereka juga
menyelesaikan masalah sendiri ketika terjadi perselisihan di
antara mereka (Bayu Surianingrat; 1992: 20-21).
Van Tricht (Tim STPDN; 1999: 77-79) menggambarkan
bentuk pemerintahan desa adat Baduy sebagai berikut:
Tugas pokok dan fungsi masing-masing aparat adalah
sebagai berikut:
1. Puun adalah pemimpin formal. Ia dianggap keramat, wakil
dewa dan memahami masalah-masalah religius;
2. Geurang Seuat adalah wakil Puun yang memiliki tugas dan
fungsi melaksanakan tata pemerintahan, atau sejenis
135
perdana menteri;
3. Kokolot juga wakil Puun yang memiliki fungsi khusus,
yaitu memberikan pengamanan kepada Puun dan
kerabatnya;
4. Beresan atau Dewan Rakyat merupakan sarana dan wahana
dalam proses perumusan kebijakan Puun demi ketenangan,
ketentreraman, dan keadilan desa;
5. Jaro berfungsi mengelola, membina, dan menjaga
keselamatan warga kampung;
6. Dukun mempunyai fungsi:
a. Menyembuhkan warga yang sakit;
b. Memberi nasihat dan masukan kepada Puun;
c. Menyaksikan pelantikan dan peletakan jabatan Puun;
d. Memberikan rekomendasi supranatural kepada Puun;
e. Menyampaikan wangsit kepada Puun dan masyarakat
yang diperoleh melalui mimpi;
f. Menjadi penghubung antara pimpinan dan warga.
136
membantu menikahkan wanita warga gampongnya. Di
samping itu ia juga mendapat penghasilan dari jasa
membantu menyelesaikan sengketa warga yang di selesaikan
di depan Uleebalang. Ia juga mendapat prosentase tertentu dari
pembagian tanah pusaka yang menjadi hak Uleebalang. Masih
ada penghasilan lain, yaitu hadiah-hadiah dari warganya yang
di berikan secara ikhlas.
Seorang Keuchi’ di bantu oleh seorang waki’. Jika
Keuchi’ mengepalai lebih dari satu gampong ia memiliki waki’
sebanyak gampong itu. Selain sebagai wakil Kuchi’ ia juga bisa
menjadi bapak dari warga subgampong yang berada di bawah
tanggung jawabnya.
Teungku menurut orang Aceh adalah “ibu” warga
gambong. Istilah Teungku berkaitan dengan gelar yang di
berikan kepada orang yang mengemban jabatan yang
berhubungan dengan agama. Jadi teungku mempunyai tugas
khusus yang berhubungan dengan berbagai hal yang berkaitan
dengan agama Islam seperti imam salat, pengurusan
meunasah/musalla, pengajaran Alquran, nikah, cerai, talak,
dan fatwa untuk pelanggaran-pelanggaran syari’at.
Uerueng Tuha adalah kelompok sesepuh gambong.
Mereka adalah kaum yang mempunyai pengalaman,
kebijaksanaan, sopan santun dan mempunyai pengetahuan
yang cukup soal adat. Biasanya mereka terdiri dari para orang
tua yang sudah berumur dan di pandang cakap. Mereka tidak
di angkat secara formal tetapi pengakuan warga saja. Dengan
demikian, jumlahnya tidak tentu, tergantung seberapan banyak
para sesepu yang mempunyai kearifan dan kecakapan di
gampong tersebut. Mereka mempunyai pengaruh yang cukup
kuat dalam memutuskan hal-hal yang berkaitan dengan
masalah gampong. Dalam perkara-perkara penting yang
berhubungan dengan urusan gambong mereka selalu di ajak
membicarakannya. Pendapatnya akan di indahkan oleh
Keunchi’ maupun Teungku.
137
Urusan Gompong di selesaikan oleh para pemimpin
yang terdiri atas 3 usur tadi dengan cara mufakat. Mufakat ini
merupakan sumber legitiminasi pemerintahan gampong dalam
melaksanakan semua kegiatannya yang berhubungan dengan
masalah keamanan, ketertiban, peradilan dan kesejahteraan
warganya.
Di demak Jawa Tengah pemerintahan desa di
selenggarakan sebagai berikut. Desa di pimpin oleh kepala desa
yang di pilih oleh semua penduduk desa dewasa. Akan tetapi
pada jaman dulu pemilih di batasi pada kepala keluarga yang
sudah mempunyai hak garap sawah komunal/norowito.
Sedangkan kepala keluarga dari kalangan buruh tani dan
orang-orang yang mondok (Tidak mempunyai tanah
yasan/sendiri dan numpang di pekarangan milik oranglain)
tidak mempunyai hak pilih. Kepala desa di bantu oleh pamong
desa atau serekat desa yang terdiri atas: carik atau sekretaris
desa, kemituwa, bekel, baysn, ulu-ulu, dan modin. Carik adalah
pejabat yang mengurusi administrasi/tata usaha desa;
kemituwa adalah sepuluh desa dari kalangan kepalah dukuh
yang paling senior; bekel adalah kepala dukuh, suatu bagian
wilayah dari desa; bayan adalah petugas pengantar surat atau
petugas yang memberi informasi (tukang uwar-uwar) kepada
penduduk tentang hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan
pemerintah seperti masalah pajak, upacara, undangan di
kelurahan, dan kegiatan-kegiatan lain yang di selenggarakan
pemerintah desa atau pemerintah atasnya. Ulu-ulu adalah
pejabat yang bertugas mengurusi pengairan desa; dan modin
adalah petugas yang mengurusi bidang keagamaan termasuk
kelahiran, khitanan, nikah, talak, rujuk, dan kematian.
Kepala desa dalam menjalankan tugasnya di dampingi
Dewan sesepuh desa yang terdiri atas kepala Desa. Kamituwa,
Kyai Desa, Mantan Kepala Desa, dan tokoh-tokoh desa yang
berpengaruh. Dewan Sesepuh Desa setahun sekali mengadakan
kumpulan desa untuk menentukan rambu-rambu kebijakan yang
meliputi penggunaan uang hasil lelang benda desa untuk
kegiatan pembangunan desa, penentuan tanah pensiun bagi
138
kepala desa yang berakhir masa jabatannya, penetuan hak
garap bagi para maagang tani, dan menentukan kewajiban-
kewajiban warga dalam bentuk gugur gunung dan ronda.
Magang tani adalah kepala keluarga yang sudah mempunya
hak atas tanah komunal desa norowito tetapi belum menggarap
sawah yang di maksud karna sawah norowito tersebut sudah
terbagi habis oleh sejumlah kepala keluarga yang tinggal desa
yang bersangkutan. Jika di antara para kepala keluarga
penggarap tersebut ada yang meninggal dunia maka sawahnya
ada yang d cabut oleh desa maka di berikan kepada kepala
keluarga yang magang tani berdasarkan urutan yang di
tentukan berdasarkan tanggal perkawinannya.
Pemerintah desa mengatur dan mengurus tanah
komunal yang terdiri atas 3 fungsi:
1. Tanah bengkok yang di peruntukkan untuk kepala desa dan
perangkat desa ;
2. Tanah norowito yang di peruntukkan bagi warga desa ; dan
3. Dan tanah banda desa yang di peruntukkan untuk biaya
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa.
139
penggunaan air oleh warga dan menyelesaikan perselisihan
pengguna air di lapangan.
Pemerintah desa mengatur dan mengurus lumbung
desa, lembaga simpan pinjam padi. Pemerintah desa mengatur
ketentuan berapa kuintal padi, perlunya petani menyimpan
sebagian hasil panennya di lumbung, tata cara pinjam-
meminjam padi, dan waktu pengambilanya kembali untuk
kepentingan tanam di musim garap, rendengan, dan konsumsi.
Pemerintah desa mengurus sekolah desa. Pada tahun
ajaran baru, Bayan mendata usia anak sekolah dan menyuruh
orangtuanya untuk mendaftar di sekolah desa. Pemerintah
desa merawat bangunan sekolah, meyediakan tempat tinggal
pada guru-guru yang di rawat di sekolah desa tersebut, dan
membantu memberi jamuan saat para guru mengajar di kelas.
Bayan juga mencari anak-anak yang bolos sekolah, mangkir
tanpa ijin, dan menyuruh anak yang bolos sekolah tersebut
untuk masuk kembali.
Pemerintah desa juga mengatur dan mengurus kesehatan
warga terutama pencegahan terhadap penyakit cacar, tipus,
kolera, disentri, dan malaria. Pemerintah desa bekerja sama
dengan menteri kesehatan mengumpulkan anak-anak yang di
pendapa desa/kelurahan untuk di suntik cacar/tipus/kolera/
disentri. Pemerintah desa bekerja sama dengan petugas
kesehatan menyemprot rumah-rumah warga untuk mencegah
penyakit malaria. Pemerintah desa sebulan sekali
memerintahkan warga untuk mengeluarkan kasur, bantal, dan
gombal di latar, halaman untuk di panaskan di bawah sinar
matahari agar tidak bau apek dan bebas penyakit.
140
bangsa Indonesia tersebut mulai terusik ketika bangsa Eropa
mulai berdatangan ke Nusantara. Bangsa Eropa mula-mula
datang hendak berdagang hingga kemudian bernafsu menjajah.
Pada 1511 Malaka di kuadai Portugis. Dalam waktu yang sama
bangsa Spanyol tiba di Maluku. Kemudian pada akhir abad ke
16 bangsa Belanda tiba di Banten, terus Maluku.
Belanda dengan armada dagangnya yang di sebut VOC
kemudian menundukkan kerajaan-kerajaan Nusantara.
Kerajaan-kerajaan Nusantara pada abad ke 16 sampai abad ke
17 satu persatu menyerahkan kedaulatan politiknya kepada
VOC. Oleh karena itu, secara politis desa juga berada di bawah
kekuasaan VOC. Namun demikian, sampai dengan kekuasaan
VOC berakhir pada abad ke -18 desa tetap di biarkan seperti
sedia kala. Baru setelah wilayah Indonesia di urus langsung
oleh pemerintah Hindia Belanda yang kemudian menerapkan
organisasi pemerintahan yang modern, desa mendapat
pengakuan yang formal. Pada tahun 1854, berdasarkan
konstitusi kerajaan Belanda di Hindia Belanda di berlakukan
semacam UUD Hindia Belanda yang di sebut Indische
Staatstregeling (IS) . Unang Soedardjo menjelaskan, berdasarkan
ketatanegaraan Hindia Belanda sebagaimana tersurat dalam
Indische Staatstregeling, pemerintah kolonial memberikan hak
untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri kepada desa
atau kesatuan-kesatuan masyarakat hukum pribumi dengan
sebutan Inlandsche Gemeente.
141
Selanjutnya dalam IS pasal 128 ayat 1-6 desa di atur
sebagai berikut :
1. Desa-desa bumiputera di biarkan memilih nanggota-
anggota pemerintahan desanya sendiri, dengan persetujuan
penguasa yang di tunjuk untuk itu menurut ordonasi.
Gubernur Jenderal menjaga hal tersebut dengan segala
pelanggarannya.
2. Dengan ordonansi dapat ditentukan keadaan kepala desa,
dan anggota pemerintah desa diangkat oleh penguasa yang
ditunjuk untuk itu.
3. Kepala desa bumi putra diberikan hak untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya dengan memperhatikan
peraturan-peraturan yang dikeluarkan gubernur, Jenderal,
Pemerintah wilayah dan Presiden atau pemerintah Otonom
yang ditunjuk dengan ordonansi.
4. Jika yang ditentukan dalam ayat (1) dan (2) dari pasal ini
tidak sesuai dengan kembaga masyarakat atau dengan hak-
hak yang diperkenankan dimiliki, maka berlakunya
ditangguhkan.
5. Dengan ordonansi dapat diatur wewenang dari desa
bumiputra untuk (a) memungut pajak dibawah pengawasab
tertentu, (b) didalam batas-batas tertentu menetapkan
hukuman terhadap pelanggaran atas aturan yang diadakan
oleh desa.
6. Desa yang sebagian atau selurhnya berada dalam batas
suatu kota yang telah dibentuk dewan menurut ayat (2)
Pasal 21 ayat (2) pasal 24 sepanjang mengenai daerah yang
termasuk didalam batas termaksud, dapat dihapuskan
dengan ordonansi atau bila dianggap perlu dikecualikans
dari berlakunya aturan yang ditetapkan dalam ayat (3) pasal
ini sebagai akibat dari tidak diberlakukannya aturan
tersebut, atau jika perlu dapat dibuat ordonansi.
142
kebebesan dalam otonomi aslinya tapi desa tetap dikontrol
secara ketat oleh pemerintah hindia belanda. Kleintjs ( dalam
Surianingrat, 1992) menggambarkan keadaan desa saat itu
dengan mengatakan sebagai berikut:
... Desa dibiarkan mempunyai wewenang untuk mengurus
rumah tangga menurut kehendaknya dibidang kepolisian
maupun pengaturan tetapi dalam penyelenggarannya desa
tidak bebas sepenuhnya. Desa diberi otonomi dengan
memperhatikan peraturan yang dibuat oleh Gubernur Jenderal,
kepala wilayah atau pemerintah dari kesatuan masyarakat
yang berdiri sendiri, yang ditunjuk dengan ordonansi.
143
2. Ngbihi adalah wakil Kuwu;
3. Juru tulis atau carik berfungsi sebagai sekretaris desa;
4. Raksabumi berfungsi sebagai pengurus pengairan dan
pemeliharaan selokan-selokan;
5. Myor berfungsi sebagai wakil pengurus pengairan yang
langsung tembus ke lapangan;
6. Juru Tala berfungsi sebagai pengurus lingkungan
masyarakat;
7. Cap Gawe berfungsi sebagai pengurus jalan desa;
8. Pencalang atau jaga karsa berfungsi sebagai polisi desa yang
menjaga keamanan dan ketentraman masyarakat;
9. Tukang cangkal berfungsi sebagai pengurus pajak desa;
10. Labe atau Amil berfungsi sebagai pengurus masalah Agama
Islam;
11. Kepala Dusun berfungsi sebagai wakil masyarakat dari
sebuah deusun/dulun, bagian dari desa;
12. Lembaga Sosial Desa berfungsi sebagai dewan penasehat.
144
Susunan organisasi dan tata kerja pemerintahan Marga
adalah sebagai berikut:
1. Marga di kepalai oleh Pesirah. Pesirah di bantu oleh seorang
Pembarap sebagai unsur staf;
2. Marga membawahi kampung-kampung. Kampung
merupakan kesatuan masyarakat yang berada di bawah
Marga. Jadi kampong merupakan bagian dari Marga.
Kampung di kepalai seorang kepala Kampung yang di sebut
“Kepala”. Kepala Kampung membawahi Kepala-kepala
Suku. Di samping kampong juga terdapat Umbulan.
Umbulan adalah kampong-kampung kecil yang terdiri atas
beberapa rumah yang mempunyai kesatuan geneologis.
145
3. Dewan Marga, berkedudukan sebagai penasihat, bukan
lembaga legislasi.
146
Hanya sebutan untuk Kepala Desa (menjadi Kuchoo),
masa jabatan (dari tak terbatas menjadi 4 tahun), dan cara
pemilihan dan pemberhentiannya diatur lebih lanjut dalam
Osamu Seirei No. 7 tahun 2604 (1944)) yang ditetapkan pada
tanggal 1 Maret Tahun Syoowa 19 (2604 atau 1944). Dari
ketentuan Osamu Seirei ini ditegaskan bahwa Kuchoo (Kepala
Ku, Kepala Desa) diangkat dengan jalan pemilihan. Sedangkan
dewan yang berhak untuk menentukan tanggal pemilihan dan
syarat-syarat lain dalam pemilihan Kucoo adalalh Guncoo.
Masa jabatarn Kucoo adalah + tahun. Kucoo dapat dipecat oleh
Syuucookan (Surianingrat, 1985: 189-190).
Selanjutnya menurut Suhartono et. al (2001: 49), pada
jaman penjajahan Jepang desa ditempatkan di atas aza
(kampung, dusun) yang merupakan institusi terbawah. Pada
pendudukan Jepang ini, otonomi desa kembali dibatasi, bahkan
desa di bawah pengaturan dan pengendalian yang sangat ketat.
Rakyat desa dimobilisasi untuk keperluan perang, menjadi
satuan-satuan milisi sepertiHeiho, Kaibodan, Seinendan, dan
lain-lain. Kepala desa difungsikan sebagai pengawas rakyat
untuk menanam tanaman yang dikehendaki Jepang, seperti
jarak, padi, dan tebu. Pemerintah desa pada jaman
pendudukan Jepang terdiri dari 9 (sembilan) pejabat: Lurah,
Carik, 5 (lima) orang Mandor, Polisi Desa, dan Amir
(mengerjakan urusan agama)
Dalam kurun waktu penguasaan Jepang ini, secara
teoritis bentuk nemerintahan desa dibiarkan sebagaimana
adanya. Akan tetapi, sesuai dengan sifat fasisme kekuasaan
Jepang, desa tak lagi dipandang sebagai lembaga milik pribumi
yang bersifat otonom sehingga dibebaskan dari kekuasaan di
atasnya sebagaimana Belanda memperlakukannya, melainkan
ditempatkan sebagai institusi di atas aza (kampung, dusun)
yang merupakan institusi terbawah. Desa dibagi-bagi atas
beberapa kampung yang terdiri atas beberapa rumah tangga.
Kampung-kampung tersebut diorganisir dalam RK (Rukun
Kampung) dan kelompok rumah tangga diorganisir ke dalam
RT (Rukun Tetangga). Mulai saat itulah istilah RK dan RT
147
dipakai bangsa Indonesia, yang sekarang berubah menjadi RW
dan RT. Melalui lembaga RK dan RT Jepang memobilisir
penduduk untuk keperluan perang melawan sekutu. Jepang
menjadikan kepala desa, ketua RK, dan ketua RT sebagai
pengawas rakyat. Kepala desa, ketua RK, dan ketua RT
menyuruh rakyat menanam tanaman yang ditentukan Jepang
seperti pohon jarak, padi, dan tebu dan merekrut rakyat untuk
dijadikan tenaga paksa, romusha, atau anggota semimiliter
seperti heiho, kaibodan, seinendan.
Dengan demikian, pemerintahan desa pada zaman
Jepang lebih menekankan fungsi pengawasan, pengendalian,
dan pengerahan rakyat untuk kepentingan pemerintahan
atasnya (Jepang). Pemerintahan desa sama sekali tidak
menjalankan fungsi pembangunan untuk perbaikan
kesejahteraan rakyat. Dilihat dari sisi pemberdayaan
masyarakat, Jepang telah membalikkan arah perkembangan
desa: dari otonomisasi sistem liberal di bawah pemerintah
Hindia Belanda ke arah pengendalian model fasisme di bawah
tentara pendudukan Jepang.
Desa dijadikan obyek untuk menyukseskan agenda-
agenda Jepang. Sejak saat itu konsep otonomisasi desa menjadi
hilang dan sebagai akibatnya bibit demokrasi dalam
masyarakat desa juga hilang.
D. Zaman Kemerdekaan
1. Desa dalam Konsepsi Founding Father dan Konstitusi.
Fakta menunjukkan bahwa desa sudah ada ratusan
bahkan ribuan tahun lalu. Jadi, sebelum bangsa Belanda
menjajah kita bahkan jauh sebelum kerajaan-kerajaan besar
seperti Sriwijaya, Majapahit, Demak, dan Mataram Islam
berdiri, desa sudah eksis dengan lembaganya yang teratur,
tertib, dan ajeg Berdasarkan fakta tersebut maka bapak-
bapak pendiri bangsa menghendaki agar dalam menyusun
struktur pemerintahan pada era Indonesia merdeka desa
harus menjadi dasar kelembagaannya. Usulan founding
fathers tentang desa tersebut berangkat dari hasil kajian
148
yang dilakukan oleh para ahli khususnya bangsa Belanda.
Para ahli bangsa Belanda menemukan desa telah ada dan
memiliki kelembagaan yang lengkap dan mantap.
Berdasarkan temuan para ahli ini, pemerintah Hindia
Belanda kemudian memberikan pengesahan juridisnya.
Dalam pengesahan ini desa dia sebagai kesatuan
masyarakat hukum pribumi yang dapat menyelenggarakan
rumah tangganya sendiri.
Dalam sistem pemerintahan zaman Hindia Belanda di
Indonesia dikenal adanya daerah yang merupakan
persekutuan hukum pribumi atau kesatuan masyarakat
hukum pribumi. Kesatuan masyarakat hukum pribumi ini
adalah suatu daerah yang dihuni oleh masyarakat yang
saling mengenal karena adanya hubungan seketurunan
(geneologis) ataupun rasa sewilayahan (teritorial) yang
membentuk sistem kemasyarakatan yang khas.
Contoh kesatuan masyarakaat hukum pribumi adalah
Desa di Jawa-Bali- Madura, Nagari di Minangkabau, Marga
di Palembang, Gampong di Aceh, dan lain-lain. Daerah-
daerah ini telah memiliki tata cara sendiri dalam mengatur
perikehidupan sosialnya seperti mengatur sistem
pemerintahannya, sistem ekonominya, sistem keamanan-
nya, clan sistem sosial-budayanya. Semuanya di
kembangkan sendiri secara mantap dan langgeng. Terhadap
kesatuan masyarakat hukum pribumi tersebut Belanda tidak
mengusik-usik tata cara kemasyarakatan daerah-daerah ini.
Daerah ini diakui (recognition) sebagai kesatuan masyarakat
hukum pribumi dan diberi hak untuk tetap mengatur
urusan rumah tangganya sesuai dengan adat yang berlaku
disitu. Belanda menyebut daerah ini dengan sebutan
Inlandsche Gemeente atau Dorfgemeinschapten.
Keberadaan daerah ini sampai pada zaman Jepang dan
proklamasi kemerdekaan masih eksis.
Berdasarkan kenyataan itulah maka menjelang
merdeka, pada sidang-sidang dan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan panitia
149
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) antara 28 Mei
sampai dengan Agustus 1945 Mohammad Yamin, salah satu
peserta sidang, menyampaikanok-pokok pikiran tentang
susunan negara.
Dalam pidatonya 29 Mei 1995 menyampaikan
susunan Negara sebagai berikut :
a. Negeri, desa, dan segala persekutuan hukum adat yang
dibarui dengan jalan rasionalisme dan pembaruan
zaman, dijadikan kaki sustunan Negara sebagai bagian
bawah;
b. Pemerintah pusat dibentuk di sekeliling kepala negara,
terbagi atas
1) Wakil kepala negara;
2) Satu kementerian sekeliling seorang pemimnpin
Kementerian;
3) Pusat parlemen balai perwakilan, yang terbagi atas
Mejelis dan Balai Perwakilan Rakyat.
c. Antara bagian atas dan bagian bawah dibentuk bagian
tengah berupa pemerintah daerah untuk menjalankan
Pemerintah Urusan Dalam, Pangreh Praja.
150
Dalam usulan ini status desa berada dalam
pemerintah daerah. Kemudian proses penyusunan
pemerintahan daerah harus memandang dan mengingati
dasar permusyawatan dan hak asal-usul dalam daerah-
daerah yang bersifat istimewa. Hak asal-usul dalam daerah-
daerah yang bersifat istimewa harus diperingati
(diperhatikan, pen.) juga. Daerah-daerah yang bersifat
istimewa itu ialah: Pertama, daerah kerajaan (Kooti), baik di
Jawa maupun di luar Jawa, daerah-daerah yang dalam
bahasa Belanda dinamakan "Zeltbesturende Lanschappen".
Kedua, daerah-daerah yang mempunyai susunan asli, ialah
dorfgemeinschaften, daerah-daerah kecil yang mempunyai
susunan rakyat asli seperti desa di Jawa, nagari di
Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, huta dan
kuria di Tapanuli, gampong di Aceh (Sekretariat Negara;
1995: 271-272)
Dalam sidang pembahasan tentang susunan
Pemerintah Indonesia pada sidang Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia 18 Agustus 1945 Mr. Soepomo
menjelaskan bahwa susunan pemerintah terdiri atas
Pemerinah Pusat dan Pemerintah Daerah. Daerah-daerah
istimewa yang masih ada harus diindahkan dan dihormati
susunannya yang asli, akan tetapí keadaannya tetap sebagai
daerah, bukan negara. Demikian pula halnya "zelfstandige
gemeenschappen seperti desa di Jawa, nagari di Sumatera
(Minangkabau), marga di Palembang, yang dalam bahasa
Belanda disebut "inheemsche Rechtsgemeenschappen".
Secara skematis susunan Pemerintah Indonesia itu
dituangkan dalam bagan sebagaimana tampak dihalaman
berikut. (Sekretariat Negara; 1995: 424-425). Menurut skema
di atas Desa masuk ke dalam pemerintahan daerah bersama
dengan Kooti atau Daerah Swapraja.Pada 18 Agustus 1946
sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
mengesahkan Undang-Undang Dasar.
151
Dalam Undang-Undang Dasar ini Desa masuk dalam
ketentuan Pasal 18 tentang Pemerintah Daerah. Pasal ini
berbunyi:
Pembagian daerah Indonesia atas dasar daerah besar dan
kecil dengan bentuk Susunan pemerintahannya ditetapkan
dengan undang-undang, dengan memandang dan
mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem
pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-
daerah yang bersifat istimewa.
153
Penjelasan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1918,
angka 18 menjelaskan bahwa Daerah Otonom yang
terbawah ialah desa, nagari, marga, kota kecil, dan
sebagainya. Ini berarti bahwa desa diletakkan dalam
lingkungan pemerintahan modern, tidak ditarik di luarnya
sebagaimana pada zaman Belanda. Jadi, menurut Undang-
Undang ini pemerintah desa adalah satuan pemerintah
terbawah di bawah pemerintah kabupaten (kota besar)
dengan hak mengatur rumah tanggganya sendiri yang jelas.
Adapun hak mengatur rumah sendiri ini sebagaimana
dijelaskan dalam Penjelasan angka 17 dijalankan atas dasar
hak otonomi dan hak medebewind.
Sedangkan ketentuan mengenai hak otonomi dan
halk medeberwind ini dijelaskan pada angka 13 sebagai
berikut:
a. Penyerahan penuh, artinya baik tentang asasnya
(prinsip-prinsipnya) maupun tentang caranya
menjalankan kewajiban (pekerjaan) yang diserahkan itu
diserahkan semuanya kepada daerah (hak otonom);
b. Penyerahan tidak penuh, artinya penyerahan hanya
mengenai caranya menjalankan saja, sedangkan prinsip-
prinsipnya (asas-asasnya) ditetapkan oleh pemerintah
pusat sendiri (hak medebewind).
154
ini pun juga belum sempat dilaksanakan karena pada 1959
terjadi perubahan ketatanegaraan sehubungan dengan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 (kembali kepada UUD 1945).
Dengan kondisi demikian, maka secara de facto
penyelenggaraan pemerintahan desa masih berdasarkan
IGO dan IGOB.
Peneliti dari Universitas Indonesia menggambarkan
keadaan desa pada saat itu. Koentjaraningrat (1960: 273)
dalam penelitiannya di Desa Celapar, Karanganyar,
Kebumen, menemukan sistem administrasi desa yang relatif
asli dengan organisasi pemerintahannya sebagai berikut:
a. Desa dipimpin oleh lurah dan dibantu oleh lima belas
perangkat desa yang sebagian besar ditunjuk dan
beberapa dipilih;
b. Terdapat dua pembantu kepala desa yang disebut
congkok, seorang juru tulis desa (carik), dua orang
bendaharawan desa (kamituwo), dua orang pengurus
agama (kaum) dengan fungsi utama mencatat talak, tiga
orang polisi desa (pulisi atau jagabaya), dan empat juru
penerang desa (kebayan). Sedangkan jabatan pengurus
air atau ulu-ulu/anjir/reksobumi yang kebanyakan
terdapat di desa lain tidak terdapat di Desa Celapar.
155
penggadaian (panyeksen);
d. Pembayaran kepada kepala desa ketika perkawinan
terjadi di luar desa dan ketika pengantin perempuan
pindah dari komunitas desa (pengganjal)
e. Bekerja dalam rumah tangga perangkat desa untuk
waktu tertentu (kuduran).
156
Desa memiliki tanah komunal yang terbagi atas tanah
bengkok, tanah norowito, tanah bondo desa, dan tanah
pensiun. Tanah bengkok diperuntukkan bagi lurah dan
pamong desa sebagai tanah jabatan, pengganti gaji. Tanah
norowito adalah tanah desa yang dibagikan kepada warga
desa dengan hak garap (tanah norowito ini sejak tahun 1961
telah dikonversi menjadi tanah hak milik pribadi sejalan
dengan Undang-Undang Pokok Agraria).
Tanah bondo desa adalah tanah desa yang
diperuntukkan untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan desa. Tanah pensiun
adalah tanah desa yang dicadangkan bagi lurah yang telah
menyelesaikan masa baktinya dengan selamat (dalam
Chanif Nurcholis, 2000).
Sampai akhir 1960-an, di desa-desa di daerah Demak,
Jawa Tengah penyelenggaraan pemerintahannya masih
didasarkan pada adat istiadat.
Penyelenggaraan pemerintahan di bidang peradilan
berlaku sistem peradilan desa dengan lurah dan kamituwo
sebagai penengah dan pemutus perkara. Di bidang
keamanan berlaku sistem ronda yang terdiri atas ronda
kampung, ronda thethek (keliling kampung), dan ronda di
pendapa kelurahan. Di bidang sosial-budaya berlaku gugur
gunung/gotong royong untuk memperbaiki saluran air,
tanggul, selokan, kuburan, dan masjid. Pada awal musim
tanam padi/rendengan semua pemilik kerbau
menyumbangkan tenaga dan kerbaunya sehari untuk
membajak sawalh lurah yang disebut kuduran. Pada bulan
Apit, webulan setelah bulan Syawal, desa mengadakan
upacara sedekah bumi dengan nanggap wayang kulit sehari
semalam. Lurah desa di samping menerima tanah bengkok
juga menerima uang pologoro atas layanan yang diberikan
sebagai saksi atas transaksi jual beli.
Harsya W. Bachtiar (dalam Koentjaranigrat, 1960: 366-
381) dan Benda Beckmann (1981 38-48) dalam penelitiannya
di Minangkabau, Sumatera Baratauga menemukan masih
157
terselenggaranya pemerintahan desa sesuai dengan adat
istiadat. Di Negeri Taram dan Bukit Hijau lembaga-lembaga
adat masih menjalankan fungsi- fungsi kekerabatan,
keagamaan, peradilan, dan pemerintahan. Sebuah nagari
secara formal dipimpin oleh Wali Nagari. Di samping itu
juga ada Pucuk Suku yang merupakan pimpinan adat dari
para parui.
Parui adalah kesatuan hukum berdasarkan sistem
matrilineal yang dipimpin oleh Penghulu Andiko. Penghulu
Andiko mempunyai perangkat atau lembaga yang terdiri
atas Bendaro dan Mantri yang mengurus kekayaan dan
komunikasi, Kadi yang menangani urusan agama Islam,
dan Panglimo yang bertanggung jawab atas keamanan. Di
bawah Wali Nagari terdapat ketua-ketua Jorong Segala
sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan Nagari baik
yang berkaitan dengan masalah adat, agama, peradilan,
maupun pemerintahan diputuskan dalam Kerapatan Adat
Nagari. Jika di hampir semua desa di wilayah Nusantara
masih seperti sedia kala maka tidak demikian yang terjadi di
Daerah Istimewa Yogyakarta. Daerah Istimewa Yogyakarta
adalah daerah bekas Daerah Swapraja/Otonom berupa
kesultanan yang berada di bawah kontrol langsung
Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Daerah tersebut kemudian diberi status daerah
istimewa oleh Pemerintah Republik Indonesia karena
jasanya ikut serta dalam perjuangan kemerdekaan
Indonesia. Sejalan dengan perubahan paradigma
pemerintahan nasional yang bersendikan kedaulatan rakyat,
maka atas desakan rakyat Pemerintah Daerah Istimewa
Yogyakarta mengakomodasi kehendak rakyat untuk
mengimplementasikan asas kedaulatan rakyat tersebut
dengan membentuk lembaga legislatif dari pusat (Yogya)
sampai desa. Melalui Maklumat No.7 Negeri Kasultanan
Yogyakarta dan Praja Paku Alaman Daerah Istimewa
Negara Republik Indonesia tentang Pembentukan Dewan
Perwakilan Rakyat Felurahan maka di semua kelurahan,
158
wilayah Kasultanan Daerah Istimewa Yogyakarta dibentuk
DPRK (Dewan Perwakilan Rakyat Kelurahan) dan Majelis
Desa. Anggota DPRK dipilih oleh rakyat secara langsung
atau ditunjuk oleh Paiong desa atau aparat kecamatan.
Sedangkan anggota Majelis Desa terdiri atas lurah
dan pamong desa, anggota DPRK, dan anggota masyarakat
sebanyak Sesuai dengan Maklumat Nomor 7 tahun 1946,
fungsi DPRK adalah:
a. Membicarakan rumah tangga daerah perwakilannya,
b. Membuat aturan- aturan. Dengan demikian, DPRK telah
benar-benar menjadi lembaga legislatif di tingkat desa.
Adanya DPRK diharapkan akan membawa kemajuan
desa, dengan membuat aturan-aturan demi
meningkatkan kesejahteraan warga desa. Dalam
kenyataannya, DPRK lebih banyak menangani sengketa
antarwarga sehingga DPRK menjadi semacam lembaga
penyelesaian sengketa" (dalam Suhartono; 2001)
159
Musyawarah Desapraja, Petugas Desapraja, Pamong
Desapraja, Panitera Desapraja, Petugas Desapraja, dan
Badan Pertimbangan Desapraja.
Adapun fungsi dan tugas-tugas alat kelengkapan
Desapraja tersebut adalah sebagai berikut:
a. Kepala Desapraja adalah penyelenggara utama urusan
rumah tangga Desapraja dan merupakan alat pemerintah
pusat (pasal 8);
b. Badan Musyawarah Desapraja adalah perwakilan dari
masyarakat Desapraja (pasal 17);
c. Pamong Desapraja adalah pembantu Kepala Desapraja
yang mengepalai suatu dukuh dalam lingkungan daerah
Desapraja (pasal 25);
d. Panitera Desapraja adalah pegawai Desapraj a yang
memimpin penyelenggaraan tata usaha Desapraja dan
tata usaha Kepala Desapraja di bawah pimpinan
langsung Kepala Desapraja (pasal 28);
e. Petugas Desapraja adalah pembantu-pembantu Kepala
Desapraja dan Pamong Desapraja dalam penyeleng-
garaan urusan rumah tangga Desapraja (pasal 30);
f. Setiap Desapraja memiliki Badan Pertimbangan
Desapraja (pasal 32). Badan Pertimbangan Desapraja
bertugas memberikan nasihat yang diminta atau vang
tidak diminta oleh Kepala Desapraja (pasal 33).
160
Undang ini tidak sesuai dengan perkembangan kenegaraan
dan tujuan pembangunan yang sedang dilaksanakan. Untuk
itu, melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969, Undang-
Undang tentang Desapraja dinyatakan tidak berlaku. Mulai
saat itu, dasar hukum Desa menjadi tidak jelas. IGO dan
IGOB sudah dicabut oleh Undang-Undang Nomor 19 tahun
1965, sedangkan Undang-Undang Nomor 19 tahun 1965
dicabut dengan UU Nomor 6 tahun 1969.
Untuk mengatasi kekosongan landasan hukum
tentang desa, dikeluarkanlah Surat Edaran Mendagri Nomor
5/1/1969, tanggal 29 April 1969 tentang Pokok-pokok
Pembangunan Desa. Dalam surat edaran tersebut desa
diberi pengertian sebagai berikut: Desa dan daerah yang
setingkat adalah Kesatuan Masyarakat Hukum
(rechtsgemeenschap) baik genealogis maupun teritorial yang secara
hirarkis pemerintahannya langsung di bawah kecamatan.
Setelah mengalami kevakuman selama 10 tahun,
melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa, desa mulai mendapat dasar aturan yang
jelas lagi.
Undang-undang ini mengatur pemerintahan desa
sebagai berikut:
a. Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah
penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum
termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung
di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah
tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
b. Pemerintah desa terdiri atas kepala desa dan Lembaga
Musyawarah Desa;
c. Dalam menjalankan tugasnya kepala desa dibantu oleh
perangkat desa yang terdiri atas unsur staf dan unsur
pelaksana: sekretariat desa sebagai unsur staf dan kepala
dusun sebagai unsur pelaksana;
d. Sekretaris desa memimpin sekretariat desa yang terdiri
161
atas kepala-kepala urusan ;
e. Desa bukanlah daerah otonom sebagaimana daerah
otonom dalam pengertian Daerah Tingkat 1/Daerah
Tingkat II;
f. Desa bukanlah suatu satuan wilayah. Desa hanya bagian
dari wilayah urusan kecamatan;
g. Desa adalah satuan ketatanegaraan yang berkedudukan
langsung di bawah kecamatan;
162
Pasal 18 UUD 1945 diamandemen menjadi Pasal 18, 18A,
dan 18B. Pasal 18B yang berbunyi:
a. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat
istimewa yang diatur dengan undang- undang.
b. Negara mengakui kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak- hak tradisionalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
diatur dalam undang-undang.
163
Pemerintahan Daerah. Baik UU No. 22/1999 maupun UU
No. 32/2004 menganut prinsip- prinsip demokrasi,
partisipasi masyarakat, pemerataan dan keadilan, dan
keanekaragaman. Berdasarkan prinsip-prinisp tersebut, desa
diatur sebagai berikut: status desa dikembalikan sebagai
kesatuan masyarakat hukum adat yang berwenang
mengatur dan mengurus urusan masyarakat setempat
berdasarkan asal-usul dan adat istiadat, nomenklatur desa
bisa menggunakan nama lain sesuai dengan adat istiadat
yang berlaku dalam masyarakat setempat, di desa dibentuk
lembaga perwakilan rakyat yang berfungsi sebagai
pengayom adat istiadat legislasi, dan pengawasan. Di
samping itu, kedudukan desa yang dulu menu UU No.
5/1979 berada di bawah pemerintah wilayah kecamatan,
menurut Undang-Undang No. 32/2004 berada di bawah
pemerintah kabupaten/kota.
Undang-Undang Nomor 32/2004 menetapkan bahwa
desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat
setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional
dan berada di daerah kabupaten. Perhatikan kata mengatur
dan mengurus yang dicetak tebal di atas Mengatur artinya
kewenangan membuat kebijakan yang bersifat mengatur
(policy regulation), sedangkan mengurus artinya kewenangan
membuat aturan pelaksanaan (policy implementation).
Kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan
mengatur dan mengurus kepentingannya sendiri berarti
kesatuan masyarakat hukum tersebut mempunyai otonomi
karena ia berwenang membuat kebijakan yang bersifat
mengatur dan sekaligus juga berwenang membuat aturan
pelaksanaannya. Dengan demikian, desa mempunyai
otonomi. Hanya saja, otonomi desa bukan otonomi formal
seperti yang dimiliki pemerintah provinsi dan
kabupaten/kota, tapi otonomi berdasarkan asal-usul dan
adat istiadat. Otonomi berdasarkan asal-usul dan adat
164
istiadat setempat adalah otonomi yang telah dimiliki sejak
dulu kala dan telah menjadi adat istiadat yang melekat
dalam masyarakat desa yang bersangkutan.
Otonomi yang dimiliki pemerintah provinsi dan
kabupaten/kota adalah otonomi formal/resmi. Artinya,
kewenangan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota
untuk mengatur dan mengurus urusan masyarakat setempat
(memiliki otonomi) berasal dari peraturan perundang-
undangan formal. Oleh karena itu, urusan-urusan yang
akhirnya menjadi kewenangannya ditentukan oleh
peraturan perundang-undangan. Sedangkan otonomi yang
dimiliki desa adalah otonomi berdasarkan asal- usul dan
adat istidat. Artinya, otonomi desa bukan berasal dan akibat
dari pengaturan perundang-undangan tapi berasal dari asal
usul dan adat istiadat desa sendiri yang dikembangkan,
dipelihara, dipertahankan masyarakat setempat dari dulu
sampai sekarang; dengan kata lain, urusan-urusan yang
secara adat diatur dan diurus diakui undang-undang. Jadi,
undang-undang hanya mengakui urusan-urusan yang
diatur dan diurus oleh desa tersebut, bukan mengatur
seperti urusan-urusan yang dimiliki kabupaten/kota dan
provinsi.
Contoh urusan-urusan yang dimiliki kabupaten/kota:
a. Urusan pendidikan dan kebudayaan;
b. Urusan pengairan;
c. Urusan pertanian;
d. Urusan kesehatan, dan lain-lain.
165
4. Empat Tipe Desa
Berdasarkan sejarah pertumbuhan desa tersebut
setidaknya ada empat tipe desa di Indonesai sejak awal
pertumbuhannya sampai sekarang.
a. Desa Adat (self-governing community). Desa adat
merupakan bentuk desa asli dan tertua di Indonesia.
Konsep "otonomi asli" merujuk pada pengertian desa
adat ini. Desa adat mengatur dan mengelola dirinya
sendiri dengan kekayaan yang dimiliki tanpa campur
tangan negara. Desa adat tidak menjalankan tugas-tugas
administratif yang diberikan negara. Saat ini contoh desa
adat adalah Desa Pakraman di Bali. Desa adat inilah
yang kemudian diakui keberadaannya dalam ordonansi
pemerintah colonial Belanda dalam IGO, IGOB, dan
Desa-Ordonnanntie
b. Desa Administrasi (local state government) adalah desa
yang merupakan satuan wilayah administrasi, yaitu
satuan pemerintahan terendah untuk memberikan
pelayanan administrasi dari pemerintah pusat. Desa
administrasi dibentuk oleh negara dan merupakan
kepanjangan Negara untuk menjalankan tugas-tugas
administrasi yang diberikan negara. Desa administrasi
secara substansial tidak mempunyai otonomi dan
demokrasi.
c. Desa di bawah UU No. 5/1979 adalah lebih merupakan
desa administrasi semacam ini meskipun diberi hak
otonomi. Desa yang benar-benar sebagai desa
administrasi adalah semua desa yang berubah menjadi
kelurahan.
d. Desa Otonom sebagai local self-government. Desa
otonom adalah desa yang dibentuk berdasarkan asas
desentralisasi dengan undang-undang. Desa otonom
mempunyai kewenangan yang jelas karena diatur dalam
undang- undang pembentukannya. Oleh karena itu, desa
otonom mempunyai kewenangan penuh mengatur dan
mengurus urusan rumah tangganya sendiri. Desa
166
otonom mendapat transfer kewenangan yang jelas dari
pemerintah pusat, berhak membentuk lembaga
pemerintahan sendiri, mempunyai badan pembuat
kebijakan desa, berwenang membuat peraturan desa dan
juga memperoleh desentralisasi keuangan dari negara.
Desapraja di bawah UU No. 19/1965 adalah contoh desa
otonom ini.
167
BAB 11
PERATURAN DESA, PERATURAN KEPALA
DESA, DAN KEPUTUSAN KEPALA DESA
168
Dalam penyusunan peraturan desa, rancangan peraturan
desa dapat di prakarsai oleh pemerintah desa dan dapat berasal
dari usul inisiatif BPD . Jika berasal dari pemerintah desa maka
kepala desa yang menyiapkan rancangan Perdes tersebut. Jika
berasal dari BPD, maka BPD-lah yang menyiapkan semuanya.
Terhadap rancangan Perdes baik yang berasal dari pemerintah
desa maupun dari BPD, masyarakat berhak memberikan
masukan baik secara tertulis maupun lisan. Selanjutnya
rancangan peraturan desa dibahas secara bersama oleh
pemerintah desadan BPD. Rancangan desa yang berasal dari
pemerintah desa dapat ditarik kembali sebelum dibahas
sebelum BPD.
Untuk rancangan peraturan desa tentang anggaran
pendapatan dan belanja desa, pungutan dan penataan ruang
yang telah disetujui bersama dengan BPD sebelum di tetapkan
bersama kepala desa paling lama 3 hari disampaikan oleh
kepala desa kepada bupati/walikota untuk di evaluasi. Hasil
evaluasi disampaikan oleh bupati/ wali kota kepada kepala
desa paling lama 20 (dua puluh) hari sejak rancangan peraturan
desa iti diterima. Apabila bupati/walikota belum memberikan
hasil evaluasi rancangan anggaran pendapatan dan belanja
desa tersebut kepada kepala desa dapat menetapkan rancangan
peraturan desa tentang anggaran pendapatan dan belanja desa
(APBDesa) menjadi peraturan desa. Evaluasi rancangan
peraturan desa tentang anggaran dan pendapatan belanja
sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 dapat didelegasikan
kepada camat.
Rancangan peraturan desa yang telah disetujui bersama
oleh kepala desa dan BPD disampaikan oleh pimpinan BPD
kepada kepala desa untuk ditetapkan menjadi peraturan desa.
Penyampaian perancangan peraturan desa dilakukan dalam
jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak
tanggal persetujuan bersama.
Peraturan desa disampaikan oleh kepala desa kepada
bupati/walikota melalui camat sebagai bahan pembinanaan
dan pembahasan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah di
169
tetapkan. Peraturan desa dan peraturan pelaksanaanya wajib
disebarluaskan kepada masyarkat oleh pemerintah desa.
Produk hukum desa selain peraturan desa dan peraturan
kepala desa adalah keputusan kepala desa. Keputusan kepala
desa adalah produk hukum desa yang dibuat oleh kepala desa
untuk mengesahkan sebuah perbuatan pemerintahan misalnya
SK tentang pengangkatan perangkat desa, SK tentang
pembentukan dan penanggulangan banjir, SK tentang panitia
pembangunan balai desa, dan lain-lain.
2. Teknik Penyusunan
Kerangka struktur peraturan desa, peraturan kepala
desa, dan keputusan kepala desa terdiri dari :
a. Penamaan/judul;
b. Pembukaan;
c. Batang tubuh;
d. Penutup; dan
e. Lampiran (bila diperlukan).
170
Uraian dari masing-masing kerangka peraturan desa,
peraturan kepala desa dan keputusan kepala desa, sebagai
berikut :
a. Penamaan/ judul
1) Setiap peraturan desa, peraturan kepala desa, dan
keputusan kepala desa mempunyai penamaan/judul ;
2) Penamaan/judul peraturan desa, peraturan kepala
desa dan keputusan kepala desa memuat keterangan
mengenai jenis, nomor, tahun, dan tentang nama
peraturan atau keputusan yang diatur;
3) Nama peraturan desa, peraturan kepala desa dan
keputusan kepala desa dibuat singkat dan
mencerminkan isi peraturan desa, peraturan kepala
desa dan peraturan kepala desa.
4) Judul ditulis dengan huruf kapital tanpa diakhiri
tanda baca Contoh penulisan penamaan judul :
a) Jenis peraturan desa
b. Pembukaan
1) Pembukaan pada peraturan desa terdiri atas:
a) Frasa “Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa” ;
b) Jabatan pembentuk peraturan desa ;
c) Konsiderans;
d) Dasar hukum;
171
e) Frasa “Dengan persetujuan bersama Badan
Permusyawarat Desa dan Kepala Desa”
f) Memutuskan; dan
g) Menetapkan.
2) Pembukaan pada Peraturan Kepala Desa terdiri atas :
a) Frasa “Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa” ;
b) Jabatan pembentuk peraturan kepala desa;
c) Konsiderans;
d) Dasar hukum;
e) Memutuskan; dan
f) Menetapkan.
3) Pembukaan pada Keputusan Kepala Desa terdiri atas:
a) Farsa “Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa”;
b) Jabatan pembentuk keputusan kepala desa;
c) Konsiderans;
d) Dasar hukum; dan
e) Memutuskan;
Penjelasan :
1) Frasa “ Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa”:
Kata frasa yang berbunyi “Dengan Rahmat
Tuhan Yang Maha Esa” merupakan kata yang harus
dituliskan dalam Peraturan Desa, Peraturan Kepala
Desa, dan Keputusan Kepala Desa. Cara penulisan
seluruhnya huruf kapital dan tidak diakhiri tanda
baca.
Contoh :
2) Jabatan
Jabatan pembentuk Peraturan Desa, Peraturan
Kepala Desa dan Keputusan Kepala Desa, ditulis
dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca
koma (,). Contoh :
KEPALA DESA CIMANGGIS,
172
3) Konsiderans
Konsideran harus diawali dengan kata
“Menimbang”, yang memuat uraian singkat
mengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi latar
belakang, alasan-alasan serta landasan yuridis,
filosofis, sosiologis, dan politis dibentuknya Peratura
Desa, Peraturan Kepala Desa, dan Keputusan Kepala
Desa. Jika konsiderans terdiri dari atas lebih satu
pokok pikiran, maka tiap-tiap pokok pikiran
dirumuskan pengertian; tiap-tiap pokok pikiran
diawali dengan huruf a,b,c, dst, dan diakhiri dengan
tanda titik koma (;).
Contoh :
4) Dasar hukum
a) Dasar hukum diawali dengan kata “Mengingat”,
yang harus memuat dasar hukum bagi pembuatan
produk hukum. Pada bagian ini perlu dimuat
pula peraturan perundang-undangan yang
memerintahkan dibentuknya Peraturan Desa,
Peraturan Kepala Desa dan Keputusan Kepala
Desa atau yang mempunyai kaitan langsung
dengan materi yang akan diatur;
b) Dasar hukum dapat dibagi 2, yaitu:
(1) Landasan yuridis kewenangan membuat
Peraturan Desa, Peraturan Kepala Desa, dan
Keputusan Kepala Desa; dan
(2) Landasan yuridis materi yang diatur;
c) Yang dapat dipakai sebagai dasar hukum
hanyalah jenis peraturan perundang-undangan
yang tingkat derajatnya lebih tinggi atau sama
dengan produk hukum yang dibuat;
173
Catatan: Keputusan yang bersifat penetapan,
instruksi, dan surat edaran tidak dapat
dipakai sebagai dasar hukum karena
tidak termasuk jenis peraturan
perundang-undangan.
d) Dasar hukum dirumuskan secara kronologis
sesuai dengan hirarki peraturan perundang-
undangan; atau apabila peraturan perundang-
undangan tersebut sama tingkatannya, maka
dituliskan berdasarkan urutan tahun
pembentukannya; atau apabila peraturan
perundang-undangan tersebut dibentuk pada
tahun yang sama, maka dituliskan berdasarkan
nomor urutan pembuatan peraturan perundang-
undangan tersebut;
e) Penulisan dasar hukum harus lengkap dengan
Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia, Lembaran
Daerah, dan Tambahan Lembaran Daerah (kalau
ada);
f) Jika dasar hukum lebih dari satu peraturan
perundang-undangan, maka tiap dasar hukum
diawali dengan angka arab 1,2,S, dst dan diakhiri
dengan tanda baca titik koma(;)
Contoh penulisan dasar hukum:
Mengingat:
1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 53,Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4389);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005
tentang Desa (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 158. Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4546);
3. Peraturan Menteri... Nomor... Tahun... tentang
4. Peraturan Daerah ... Nomor... Tahun... tentang ...
(Lembaran Daerah Tahun... Nomor... , Tambahan
Lembaran Daerah Nomor...).
174
5) Frasa "Dengan persetujuan bersama Badan
Permusyawaratan Desa dan Kepala Desa" merupakan
kalimat yang harus dicantumkan dalam peraturan desa,
dan cara penulisannya dilakukan sebagai berikut:
a) Ditulis sebelum kata MEMUTUSKAN;
b) Pada kata "Dengan Persetujuan Bersama", hanya
huruf awalnya ditulis dengan huruf kapital;
c) Kata "antara" dan "dan" ditulis dengan huruf kecil;
dan
d) Kata "Badan Permusyawaratan Desa dan Kepala
Desa" seluruhnya ditulis dengan huruf kapital.
Contoh:
Dengan Persetujuan Bersama
BADAN PERMUSYAWARATAN DESA CIMANGGIS
dan
KEPALA DESA CIMANGGIS
6) Memutuskan
Kata "Memutuskan" ditulis dengan huruf kapital, dan
diakhiri dengan tanda titik dua (:).
Contoh :
Kata MEMUTUSKAN diletakkan di tengah margin.
7) Menetapkan
Kata "menetapkan:" dicantumkan sesudah kata
MEMUTUSKAN, yang disejajarkan ke bawah dengan
kata "Menimbang" dan "Mengingat". Huruf awal kata
"Menetapkan" ditulis dengan huruf kapital dan
diakhiri dengan tanda baca titik dua (:).
Contoh :
MEMUTUSKAN
Menetapkan: ............................................................. dst.
176
Catatan :
Contoh pembukaan Peraturan Desa, Peraturan Kepala
Desa, dan Keputusan Kepala Desa secara keseluruhan
dapat dirumuskan sebagai berikut:
1) Peraturan Desa
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
KEPALA DESA CIMANGGIS
Menimbang : a. ................................................................ ;
b. ................................................................ ;
c ................................................................. dst;
Meningat : 1. ................................................................ ;
2. ...................................................... .......... ;
3. ................................................................ dst;
177
3) Keputusan Kepala Desa
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
KEPALA DESA CIMANGGIS,
Menimbang : a. ........................................................ ;
b. ........................................................ ;
c ......................................................... dst;
Mengingat : 1. ....................................................... ;
2. .........................................................;
3. ....................................................... dst;
c. Batang Tubuh
Batang tubuh memuat semua materi yang
dirumuskan dalam pasal-pasal atau diktum-diktum.
Batang tubuh yang dirumuskan dlam pasal-pasal adalah
jenis Peraturan Desa dan Kepala Desa yang bersifat
mengatur(Reggiling), sedangkan jenis Keputusan Kepala
Desa yang bersifat penetapan (besehikking), batang
tubuhnya dirumuskan dalam diktum-diktum. Uraian
masing-masing batang tubuh, sebagai berikut :
1) Batang tubuh Peraturan Desa
a) Batang tubuh Peraturan Desa
(1) Ketentuan umum;
(2) Materi yang diatur;
(3) Ketentuan peralihan(kalau ada); dan
(4) Ketentuan penutup.
b) Pengelompokkan materi dalam bab, bagian, dan
paragraf tidak merupakan keharusan. Jika
Peraturan Desa mempunyai materi yang ruang
lingkupnya sangat luas dan mempunyai banyak
178
pasal, maka pasal-pasal tersebut dapat
dikelompokkan menadi bab, bagian dan paragraf
dilakukan atas dasar kesamaan kategori atau
kesatuan lingkup isi materi yang diatur.
Urutan penggunaan kelompok adalah;
(1) Bab dengan pasal-pasal, tanpa bagian dan
paragraf;
(2) Bab dengan bagian dan pasal-pasal tanpa
paragraf;
(3) Bab dengan bagian dan paragraf yang terdiri
atas pasal-pasal.
c) Tata cara penulisan bab, bagian, paragraf, pasal
dan ayat ditulis sebagai berikut :
(1) Bab diberi nomor urut dengan angka romawi
dan judul bab ditulis dengan huruf kapital.
Contoh :
BAB I
KETENTUAN UMUM
179
Contoh :
Bagian Kedua
( ... ... ... Judul Bagian .................... )
Paragraf Kesatu (Judul Paragraf)
180
Kartu tanda iuran pedagang sekurang-kurangnya
harus memuat nama pedagang, jenis dagangan, besar
iuran, alamat pedagang.
Isi pasal ini dapat lebih mudah dipahami dan jika
dirumuskan sebagai berikut :
Kartu tanda iuran sekurang-kurangnya harus
memuat :
1) Nama pedagang
2) Jenis dagangan
3) Besar iuran
4) Alamat pedagang
181
2) Jika suatu rincian memerlukan perincian yang lebih
lanjut, maka perincian itu ditandai dengan angka 1, 2,
dan seterusnya.
a. ;
b. ; dan
c. ;
1. ...................................;
2. ; dan
3......................................;
a) .........................;
b) ; dan
c) ;
1) ...............................;
2) ................................ ; dan
3) ...............................;
Pasal 1
( Isi pasal 1 ) BAB II
( Judul Bab ) Pasal ...
( Isi Pasal )
BAB III
(Judul Bab) Bagian Kesatu ( Judul Bagian )
Pasal ....
182
Penjelasan masing-masing kelompok batang tubuh
adalah:
1) Ketentuan umum
Ketentuan umum diletakkan dalm bab kesatu
atau dalam pasal pertama jika tidak ada
pengelompokkan dalam bab.
Ketentuan umum berisi :
a) Batasan dari pengertian;
b) Singkatan atau akronim yang digunakan dalam
peraturan desa; dan
c) Hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku
bagi pasal-pasal berikutnya.
183
2) Ketentuan materi yang akan diatur
Materi yang diatur adaalah semua objek yang
diatur secara sistematik sesuai dengan luas lingkup
dan pendekatan yang digunakan. Materi yang diatur
harus memperhatikan dasar-dasar dan kaidah-kaidah
yang ada seperti :
a) Landasan hukum materi yang diatur, artinya
proses penyusunan materi Peraturan Desa harus
memperhatikan dasar hukumnya;
b) Landasan filosofis, artnya alasan yang mendasari
diterbitkannya Peraturan Desa.
c) Landasan sosiologis, maksudnya agar peraturan
desa yanag diterbitkan jangan sampai
bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup
ditengah masyarkat misalnya adat-istiadat, agama.
d) Landasan politis maksudnya agr peraturan desa
yang diterbtkan berjalan sesuai dengan tujuan
tanpa menimbulkan gejolak ditengah-tengah
masyarakat.
e) Tata cara penulisan materi yang diatur adalah:
(1) Materi yang diatur ditempatkan langsung
setelah bab ketentuan umum atau pasal-pasal
ketentuan umum jika tidak ada
pengelompokkan dalam bab;
(2) Dihindari adanya Bab tentang Ketentuan lain-
lain. Materi yang akan dijadikan materi
Ketentuan lain-lain hendaknya ditempatkan
dalam kelompok materi yang diatur dengan
judul yang sesuai dengan materi tersebut.
184
3) Ketentuan Peralihan
Ketentuan peralihan timbul sebagai cara
mempertemukan antara asas mengenai akibat
kehadiran peraturan baru dengan keadaan sebelum
peraturan baru itu berlaku. Pada asasnya, pada saat
peraturan baru berlaku semua peraturan lama beserta
akibat-akibatnya menjadi tidak berlaku. Kalau asas ini
diterapkan tanpa memperhitungkan keadaan yang
sudah berlaku maka dapat timbul kekacauan hukum,
ketidakpastian hukum, atau kesewenang-wenangan
hukum. Untuk menampung akibat berlakunya
peraturan baru terhadap peraturan yang lama,
diadakan ketentuan atau aturan peralihan. Dengan
demikian Ketentuan peralihan berfungsi :
a) Menghindari kemungkinan terjadinya kekosongan
hukum (rechtsvacuum);
b) Menjamin kepastian hukum (rechtszekerheid)
c) Menjamin perlindungan hukum
(rechtsbeseherming) bagi rakyat atau kelompok
tertentu atau orang tertentu.
185
4) Ketentuan penutup
Ketentuan penutup merupakan bagian terakhir
Batang Tubuh Peraturan Desa, yang biasanya berisi
ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
a) Penunjukkan organ atau alat kelengkapan yang
diikutsertakan dalam melaksanakan peraturan
desa, yaitu berupa :
1. Pelaksanaan sesuatu bersifat menjalankan
(eksekutif) yaitu membujuk pejabat tertentu
yang diberi kewenangan umtuk melaksanakan
hal-hal tertentu;
2. Pelaksanaan sesuatu yang bersifat mengatur
(legislatif) yaitu pendelegasian kewenangan
untuk membuat peraturan pelaksanaan
(peraturan kepala desa).
b) Nama singkatan ( Citeer Titel)
c) Ketentuan tentang saat mulai berlakunya
peraturan desa dapat melalui cara-cara sebagai
berikut :
1. Penetapan mulai berlakunya Peraturan Desa
pada saat tanggal tertentu;
2. Saat mulai berlakunya Peraturan Desa tidak
harus sama untuk seluruhnya (untuk beberapa
bagian dapat berbeda).
d) Ketentuan tentang pengaru Peraturan desa yang
baru terhadap desa yang lain.
(1) Batang Tubuh Peraturan Kepala Desa dan
Keputusan Kepala Desa
(a) Peraturan kepala desa adalah bersifat
mengatur (Regelling)
• Batang tubuh peraturan kepala desa
memuat semua materi yang akan
dirumuskan dalam pasal-pasal.
186
• Pengelompokan dalam batang tubuh
terdiri atas:
Ketentuan umum;
Materi yang diatur;
Ketentuan peralihan (kalau ada):
Ketentuan penutup.
• Materi muatan Peraturan Kepala Desa
merupakan pelaksanaan dari Peraturan
Desa;
• Tata cara perumusan dan penulisan
materi muatan batang tubuh
Peraturan Kepala Desa, sama dengan
tata cara perumusan dan penulisan
materi muatan Peraturan Desa.
(b) Keputusan Kepala Desa adalah bersifat
penetapan (Beschiking).
• Batang tubuh Keputusan Kepala Desa
memuat semua materi muatan
keputusan yang dirumuskan dalam
diktum-diktum;
• Pengelompokan dalam batang tubuh
terdiri atas materi yang akan diatur.
Contoh:
KESATU : ………………………………………………
KEDUA : ….……………………………………………
e. Penjelasan
Adakalanya suatu Peraturan Desa atau Peraturan
Kepala Desa memerlukan penjelasan, baik penjelasan
umum maupun penjelasan pasal demi pasal. Pada bagian
penjelasan umum biasanya dimuat politik hukum
melatarbelakagi penerbitan Peraturan Desa atau
Peraturan Kepala Desa yang bersangkutan.
Pada bagian penjelasan pasal demi pasal
dijelaskan materi dari norma-norma yang terkandung
dalam setiap pasal di dalam batang tubuh.
1) Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penjelasan
adalah: Pembuat Peraturan Desa, Peraturan Kepala
Desa atau Keputusan Kepala Desa agar tidak
menyandarkan argumentasi pada penjelasan, tetapi
harus berusaha membuat Peraturan Desa, Peraturan
Kepala Desa atau Keputusan Kepala Desa yang dapat
meniadakan keragu-raguan dalam interpretasi;
a) Naskah penjelasan disusun (dibuat) bersama-sama
dengan 2. rancangan Peraturan Desa atau
Peraturan Kepala Desa yang bersangkutan;
b) Penjelasan berfungsi sebagai tafsiran atas materi
tertentu;
188
c) Penjelasan tidak dapat dipakai sebagai dasar
hukum untuk membuat peraturan lain;
d) Judul penjelasan sama dengan judul Peraturan
Desa dan Peraturan Kepala Desa, atau Keputusan
Kepala Desa yang bersangkutan;
e) Penjelasan terdiri atas penjelasan umum dan
penjelasan pasal yang pembagiannya dirinci
dengan angka romawi;
f) Penjelasan umum memuat uraian sistematis
mengenai latar belakang pemikiran, maksud dan
tujuan penyusunan serta pokok- pokok atau asas
yang dibuat dalam Peraturan Desa, Peraturan
Kepala Desa atau Keputusan Kepala Desa;
g) Bagian-bagian dari penjelasan umum dapat diberi
nomor dengan angka arab jika hal itu lebih
memberikan kejelasan;
h) Tidak boleh bertentangan dengan apa yang diatur
dalam materi Peraturan Desa atau Peraturan
Kepala Desa.
i) Tidak boleh memperluas atau menambah norma
yang sudah ada dalam batang tubuh;
j) Tidak boleh sekedar pengulangan semata-mata
dari materi Peraturan Desa, Peraturan Kepala
Desa, atau Keputusan Kepala Desa;
k) Tidak boleh memuat istilah atau pengertian yang
sudah dimuat dalam ketentuan umum;
l) Beberapa pasal yang tidak memerlukan penjelasan
dipisahkan dan diberi keterangan cukup jelas.
189
maupun perkataan angka, huruf, tanda baca, lampiran,
diktum dan lain-lainnya;
2. Mengganti suatu ketentuan dengan ketentuan lain, baik
yang berbentuk bab, bagian, paragraf, pasal, ayat maupun
perkataan angka, huruf, tanda baca, lampiran, diktum dan
lain-lainnya.
190
5. Dalam konsiderans menimbang Peraturan Desa, Peraturan
Kepala Desa, atau Keputusan Kepala Desa yang diubah
harus dikemukakan alasan- alasan atau pertimbangan-
pertimbangan mengapa peraturan yang lama perlu
diadakan perubahan;
6. Batang tubuh peraturan Desa, Peraturan Kepala Desa atau
Keputusan Kepala Desa yang diubah hanya ditulis dengan
angka romawi, di mana pasal-pasal tersebut dimuat
ketentuan sebagai berikut,
a. Pasal I memuat segala sesuatu perubahan dengan
diawali penyebutan Peraturan Desa, Peraturan Kepala
Desa atau Keputusan Desa yang diubah dan urutan
perubahan-perubahan tersebut hendaknya ditandai
dengan huruf besar A, B, C dan seterusnya,
b. Pasal II memuat ketentuan mengenai mulai berlakunya
Peraturan Desa, Peraturan Kepala Desa, Keputusan
Kepala Desa perubahan tersebut.
7. Apabila Peraturan Desa, Peraturan Kepala Desa atau
Keputusan Kepala Desa sudah mengalami perubahan
berulang kali, sebaiknya Peraturan Desa, Peraturan Kepala
Desa atau Keputusan Kepala Desa tersebut dicabut dan
diganti Peraturan Desa, Peraturan Kepala Desa, atau
Keputusan Kepala Desa yang baru;
8. Apabila pembuat Peraturan Desa, Peraturan Kepala Desa,
atau Keputusan Kepala Desa berniat mengubah secara
besar-besaran demi kepentingan pemakai, lebih baik apabila
dibentuk Peraturan Desa, Peraturan Kepala Desa atau
Keputusan Kepala Desa yang baru;
9. Cara-cara merumuskan perubahan Peraturan Desa,
Peraturan Kepala Desa, atau Keputusan Kepala Desa (dalam
Pasal I) adalah sebagai berikut:
10. Apabila suatu bab, bagian, pasal atau ayat akan dihapuskan,
angka satu nomor pasal itu hendaknya tetap dituliskan
tetapi tanpa isi; hanya dituliskan "dihapus".
Contoh:
191
D. BAB V Pasal dihapus
1. Apabila di antara dua pasal akan disisipkan suatu pasal
baru yang tidak merupakan suatu penggantian dari suatu
pasal yang telah dihapuskan. itu, maka pasal baru itu tidak
boleh ditempatkan pada tempat pasal yang dihapuskan.
Dalam penulisannya pasal baru itu ditempatkan di
antara kedua pasal tersebut dan diberi nomor sesuai dengan
pasal yang terdahulu dan ditambahkan dengan huruf A
(Kapital).
Contoh : Apabila di antara Pasal 14 dan Pasal 15 akan
disisipkan pasal baru, maka pasal baru itu
dituliskan dengan Pasal 14A.
2. Apabila di antara dua ayat akan disisipkan ayat baru, maka
ayat baru tersebut ditempatkan di antara kedua ayat yang
ada dan diberi nomor sesuai dengan ayat yang terdahulu
dengan menambahkan huruf a. Contoh:
Apabila di antara ayat (1) dan ayat (2) akan disisipkan
ayat baru, maka diletakkan diantara ayat (1) dan ayat (2)
dan dituliskan ayat (la).
3. Apabila terdapat suatu perubahan mengenai peristilahan
yang mempunyai kesatuan makna, maka diusahakan
perubahannya tidak menimbulkan suatu pengertian baru.
Contoh : Jika istilah "wilayah Dusun Kempul" akan diubah
menjadi "wilayah Dusun Mertaina", maka
janganlah hanya mengubah perkataan "Kempul"
menjadi "Mertaina", tetapi seyogyanya perubahan
tersebut dilakukan sebagai berikut: "wilayah
Dusun Kempul" diganti dengan "wilayah Dusun
Mertaina"
192
atau Keputusan Kepala Desa yang baru. Bentuk luar
(kenvorm) dari Peraturan Desa, atau Peraturan Kepala Desa
atau Keputusan Kepala Desa yang baru ini sama seperti
lazimnya pada Peraturan Desa, Peraturan Kepala Desa
dan Keputusan Kepala Desa lainnya. Dalam pencabutan
dengan penggantian ini, ketentuan pencabutan tersebut
dapat diletakkan di depan (dalam pembukaan).
Contoh:
Menimbang : a. bahwa tidak sesuai dengan perkembangan
keadaan, sehingga perlu diganti;
b. bahwa berdasarkan pertimbang sebagaimana
dimaksud pada huruf a perlu menetapkan .....
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN DESA TENTANG
ANGGARAN PENDAPATAN DAN
BELANJA DESA.
194
BAB 12
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
TERHADAP PEMERINTAHAN DESA
195
lembaga peradilan. Pengawasan dari warga desa sendiri terkait
dengan penyelenggaraan pemerintahan desa berkenaan
dengan pelaksanaan kebijakan desa yang dituangkan dalam
peraturan desa. Pengawasan dari pers dan LSM menyangkut
semua kegiatan pemerintahan desa. Sedangkan pengawasan
dari lembaga peradilan berkenanaan dengan ketaatan
pemerintah desa, kepala desa, perangkat desa, dan anggota
BPD terhadap peraturan perundang-undangan yang sah.
Pengawasan peradilan terhadap kepala desa, perangkat desa,
dan anggota BPD difokuskan pada ada tidaknya tindak pidana
korupsi. Terhadap kepala desa sebagai pejabat negara juga
dilakukan pengawasan oleh peradilan tata usaha Negara dari
ada tidaknya praktik maladministrasi.
Pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten/kota, dan camat selaku tangan panjang bupati/wali
kota wajib membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan
lembaga kemasyarakatan desa. Pembinaan pemerintah pusat
meliputi :
1. Memberikan pedoman dan standar pelaksanaan urusan
pemerintahan desa dan lembaga kemasyarakatan;
2. Memberikan pedoman tentang bantuan pembiayaan dari
pemerintah, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota
kepada desa;
3. Memberikan pedoman pendidikan dan pelatihan;
4. Memberikan pedoman penyusunan perencanaan
pembangunan partisipatif;
5. Memberikan pedoman dan standar tanda jabatan, pakaian
dinas dan atribut bagi kepala desa serta perangkat desa;
6. Memberikan bimbingan, supervise dan konsultasi
pelaksanaan pemerintahan desa dan lembaga
kemasyarakatan;
7. Memberikan penghargaan atas prestasi yang dilaksanakan
dalam penyelenggaraan pemerintahan desa dan lembaga
kemasyarakatan;
8. Menetapkan bantuan keuangan langsung kepada desa;
196
9. Melakukan pendidikan dan pelatihan tertentu kepada
aparatur pemerintah daerah yang bertugas membina
pemerintahan desa;
10. Melakukan penelitian tentang penyelenggaraan
pemerintahan desa pada desa-desa tertentu;
11. Melakukan upaya-upaya percepatan atau akselerasi
pembangunan perdesaan; dan Pembinaan-pembinaan
lainnya yang diperlukan.
197
4. Memberikan pedoman teknis pelaksanaan dan
pengembangan lembaga kemasyarakatan;
5. Memberikan pedoman penyusunan perencanaan
pembangunan partisipatif;
6. Melakukan penelitina tentang penyelenggaraan
pemerintahan desa;
7. Melakukan evaluasi dan pengawasan peraturan desa;
8. Menetapkan pembiayaan alokasi dana perimbangan untuk
desa;
9. Mengawasi pengelolaan keuangan desa dan
pendayagunaan asset desa;
10. Melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan
pemerintahan desa dan lembaga kemasyarakatan;
11. Memfasilitasi keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat,
nilai adat istiadat, lembaga adat beserta hak-hak
tradisionalnya dalam pelaksanaan pemerintahan desa;
12. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi
pemerintah desa dan lembaga kemasyarakatan;
13. Menetapkan pakaian dan atribut lainnya bagi kepala desa,
perangkat desa dan BPD sesuai dengan kondisi dan sosial
budaya masyarakat setempat;
14. Memberikan penghargaan atas prestasi yang dilaksanakan
dalam penyelenggaraan pemerintahan desa dan lembaga
kemasyarakatan;
15. Memberikan sanksi atas penyimpangan yang dilakukan
oleh kepala desa sebagaimana diatur dalam peraturan
perundangundangan;
16. Melakukan upaya-upaya percepatan atau akselerasi
pembangunan perdesaan.
198
3. Memfasilitasi pengelolaan keuangan desa dan
pendayagunaan aset desa;
4. Memfasilitasi pelaksanaan urusan otonomi daerah
kabupaten/kota yang diserahkan kepada desa;
5. Memfasilitasi penerapan dan penegakan peraturan
perundang- undangan;
6. Memfasilitasi pelaksanaan tugas kepala desa dan perangkat
desa;
7. Memfasilitasi upaya penyelenggaraan ketenteraman dan
ketertiban umum;
8. Memfasilitasi pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewajiban
lembaga kemasyarakatan;
9. Memfasilitasi penyusunan perencanaan pembangunan
partisipatif;
10. Memfasilitasi kerja sama antardesa dan kerja sama desa
dengan pihak ketiga;
11. Memfasilitasi pelaksanaan pemberdayaan masyarakat desa;
12. Memfasilitasi kerja sama antarlembaga kemasyarakatan dan
kerja sama lembaga kemasyarakatan dengan pihak ketiga;
13. Memfasilitasi bantuan teknis dan pendampingan kepada
lembaga kemasyarakatan; dan
14. Memfasilitasi koordinasi unit kerja pemerintahan dalam
pengembangan lembaga kemasyarakatan.
199
b. urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada
desa;
c. tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi,
dan pemerintah kabupaten/kota; dan
d. urusan pemerintahan lainnya yang diperoleh peraturan
perundang-undangan diserahkan kepada desa.
200
Karena kepala desa dipilih oleh warga dengan tugas
utama mengurusi urusan warganya maka dia harus membuat
kebijakan desa yang pro warga, bukan pro pemilik modal atau
pro camat/bupat/ wali kota. Kebijakan desa dituangkan dalam
peraturan desa. Peraturan desa yang paling utama adalah
peraturan desa tentang APBDesa. Dalam APBDesa penyusunan
program pelayanan dan pembangunan desa disertai
pembiayaan dalam satu tahun. Kepala desa bersama dengan
BPD harus menyusun APBDesa yang output-nya adalah
member nilai tambah bagi kesejahteraan adalah peningkatan
nilai manfaat dan dampak dari barang dan jasa yang
dilaksanakan. Misal, jalan, jembatan, saluran air, gorong-
gorong, dam-dam, jaringan irigasi, TK dan SD, pos siskamling,
lapangan dan sarana olah raga, dan penerangan jalan menjadi
lebih baik; pelayanan sutar keterangan dari desa seperti KTP,
SIM, sertifikat tanah, pajak, keterangan sehat, Jamkesmas,
keterangan miskin, dan lain-lain menjadi lebih mudah dan
cepat; kondisi keamanan dan ketenteraman masyarakat
menjadi lebih aman, tenteram, dan tertib karena tidak terjadi
pencurian, perampokan, perjudian, perbuatan mabuk akibat
minum minuman keras, prostitusi, pemerasan, penipuan,
konflik antarwarga yang menyebabkan luka dan/atau
kematian, kebakaran rumah, dan perusakan harta benda.
Warga desa berhak melakukan pengawasan atas
kebijakan desa yang dibuat oleh kepala desa dan BPD tersebut.
Jika kebijakan desa tidak pro rakyat, maka warga desa dengan
baik-baik melalui BPD dan tokoh-tokoh masyarakat minta agar
kebijakan desa yang tidak pro rakyat tersebut diperbaiki.
Pengawasan warga desa juga dilakukan pada saat kebijakan
desa dilaksanakan. Meskipun kebijakan desa yang dibuat
sudah pro rakyat, tapi jika tidak mendapat pengawasan
pelaksanaannya bisa menyimpang. Oleh karena itu, warga desa
juga berhak melakukan pengawasan atas pelaksanaan
kebijakan desa. Jika dalam melaksanakan kebijakan desa,
kepala desa melakukan penyimpangan dan penyalahgunaan
wewenang, warga desa dapat menyampaikannya kepada BPD
201
secara baik-baik. BPD lalu segera melakukan rapat pleno untuk
membahas masukan warga desa tersebut dan kemudian
menyampaikan rekomendasi kepada kepala desa agar
melaksanakan kebijakan desa sebagaimana mestinya. Jika
kepala desa tidak memperhatikan masukan dan rekomendasi
BPD, BPD dapat menyampaikannya kepada bupati/wali kota
melalui camat untuk rekomendasi yang berkenaan dengan
penyelenggaraan administrasi pemerintahan dan kepada
penegak hukum untuk rekomendasi yang berkenaan dengan
adanya dugaan tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan
wewnang.
Di depan telah dijelaskan bahwa salah satu fungsi
pemerintahan desa adalah memberikan pelayanan public.
Dalam UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik,
penyelenggaraan public harus berasaskan:
a) kepentingan umum;
b) kepastian hukum;
c) kesamaan hak;
d) keseimbangan hak dan kewajiban;
e) keprofesionalan;
f) partisipatif;
g) persamaan perlakuan/ tidak diskriminatif;
h) keterbukaan;
i) akuntabilitas;
j) fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan;
k) ketepatan waktu; dan
l) kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.
202
4. Mendapat advokasi, perlindungan, dan/atau pemenuhan
pelayanan;
5. Memberitahukan kepada pimpinan penyelenggara untuk
memperbaiki pelayanan apabila pelayanan yang diberikan
tidak sesuai dngan standar pelayanan;
6. Memberitahukan kepada pelaksana untuk memperbaiki
pelayanan apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai
dengan standar pelayanan;
7. Mengadukan pelaksanaan yang melakukan penyimpangan
standar pelayanan dan/atau tidak memperbaiki pelayanan
kepada penyelenggara dan ombudsman;
8. Mengadukan penyelenggara yang melakukan
penyimpangan standar pelayanan dan/atau tidak
memperbaiki pelayanan kepada pembina penyelenggara
dan ombudsman;
9. Mendapat pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas
dan tujuan pelayanan.
203
paling lambat 14 (empat belas) hari sejak diputuskan. Dalam
hal pengadu menuntut ganti rugi, keputusan tersebut memuat
jumlah ganti rugi dan batas waktu pembayarannya. Atas
keputusan yang juga memuat ganti, penyelenggara wajib
menyediakan anggaran guna membayar ganti rugi.
204
Masyarakat dapat menggugat penyelenggara atau
pelaksana melalui peradilan tata usaha negara apabila
pelayanan yang diberikan menimbulkan kerugian di bidang
tata usaha negara.
205
Warga desa dapat mengadukan penyelenggara layanan
publik di desa kepada Ombudsman jika penyelenggara
melakukan tindakan maladministrasi. Maladministrasi adalah
perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui
wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari
yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian
atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan
pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara
dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil
dan/atau immaterial bagi masyarakat dan orang perseorangan.
Ombudsman wajib menerima dan berwenang
memproses pengaduan dari masyarakat mengenai
penyelenggaraan pelayanan publik. Ombudsman wajib
menyelesaikan pengaduan masyarakat dengan cara melakukan
pemeriksaan materi laporan pengaduan. Ombudsman
membuat rekomendasi setelah melakukan pemeriksaan dan
menyampaikan rekomendasi tersebut kepada atasan
penyelenggara. Terlapor dan atasan terlapor wajib
melaksanakan rekomendasi Ombudsman. Atasan terlapor
wajib menyampaikan laporan kepada Ombudsman tentang
pelaksanaan rekomendasi yang telah dilakukannya disertai
hasil pemeriksaannya dalam waktu paling lambat 60 (enam
puluh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya rekomendasi.
Ombudsman dapat meminta keterangan terlapor
dan/atau atasannya dan melakukan pemeriksaan lapangan
untuk memastikan pelaksanaan rekomendasi. Dalam hal
terlapor dan atasan Terlapor tidak melaksanakan rekomendasi
atau hanya melaksanakan sebagian rekomendasi dengan alasan
yang tidak dapat diterima oleh Ombudsman, Ombudsman
dapat mempublikasikan atasan terlapor yang tidak
melaksanakan rekomendasi itu dan menyampaikan laporannya
kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan presiden.
206
BAB 13
ORGANISASI PEMERINTAH DAERAH
A. Pembentukan Daerah
Menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, dalam rangka pelaksanaan asas
desentralisasi dibentuk dan disusun Daerah Provinsi, Daerah
Kabupaten dan Daerah Kota yang berwenang mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Daerah dibentuk
berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi
Daerah, sosial-budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas
Daerah, dan pertimbangan lain yang memungkinkan
terselenggaranya Otonomi Daerah. Syarat-syarat pembentukan
Daerah, dan kriteria pemekaran Daerah, penghapusan dan
penggabungan Daerah ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah, yang dalam hal ini Peraturan Pemerintah Nomor
129 Tahun 2000 tentang persyaratan pembentukan dan kriteria
pemekaran, penghapusan dan penggabungan Daerah.
207
Sekretaris Daerah diwajibkan membantu Kepala Daerah
dalam menyusun kebijakan serta membina hubungan kerja
dengan Dinas, Lembaga Teknis, dan unit pelaksana lainnya.
Dinas Daerah adalah unsur pelaksana Pemerintah Daerah dan
Lembaga Teknis Daerah mempunyai tugas membantu Kepala
Daerah dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di
bidangnya.
C. Kepegawaian Daerah
Pemerintah pusat melaksanakan pembinaan manajemen
pegawai negeri sipil daerah dalam satu kesatuan
penyelenggaraan manajemen pegawai negeri sipil secara
nasional. Mana- Administrasi Pemerintahan Daerah dalam
Kajian dan Analisa jemen pegawai negeri sipil daerah meliputi
penetapan formasi, pengadaan, pengangkatan, pemindahan,
pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan,
kesejahteraan, hak dan kewajiban kedudukan hukum,
pengembangan kompetensi, dan pengendalian jumlah.
Pembinaan dan pengawasan manajemen pegawai negeri sipil
daerah dikoordinasikan pada tingkat nasional oleh Menteri
Dalam Negeri dan pada tingkat daerah oleh Gubernur.
208
Menjadi anggota partai politik f. Dipidana penjara g.
Dinyatakan hilang h. Keuzuran jasmani i. Mencapai batas usia
pensiun
209
BAB 14
REFORMASI KINERJA BIROKRASI
PEMERINTAHAN DAERAH DALAM
OTONOMI DAERAH
211
12. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009;
13. Keputusan Presiden Nomor 84/P/2009 tentang
Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II Periode 2009-
2014;
14. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010–
2014;
15. Keputusan Presiden Nomor 14 Tahun 2010 tentang
Pembentukan Komite Pengarah Reformasi Birokrasi
Nasional dan Tim Reformasi Birokrasi Nasional.
212
perubahannya, meliputi keseluruhan aspek yang memiliki
kemampuan dalam menjalankan tugas dan fungsi pokoknya
dari birokrasi (Labolo, 2015: 79). Oleh karena itu, reformasi
birokrasi menjadi sektor terpenting dalam pembangunan
pemerintah.
Reformasi birokrasi dan pemerintahan yang baik adalah
dua konsep yang saling terhubung diantara keduanya,
sehingga saling mempengaruhi untuk mencapai pelaksanaan
birokrasi dan pemerintahan yang baik di Indonesia. Kedua
konsep ini merupakan bagian terpenting dalam perbaikan
penyelenggaraan pemerintahan untuk kehidupan berbangsa
dan bernegara. Reformasi birokrasi merupakan langkah wujud
yang nyata untuk mencapai tujuan pemerintah dalam
pemberian pelayanan terhadap masyarakat. Pemerintah perlu
menata tata kelola pemerintahan dalam sistem
penyelenggaraan pemerintah agar tercapai reformasi birokrasi
yang efektif dan efesien.
Pelaksaan pemerintah yang baik menjadi tanggungjawab
bagi pemerintah dalam merumuskan setiap langkah-langkah
kebijakan yang diambil untuk melakukan perubahan dalam
system pemerintahan agar proses pelaksanaan mencapai
sasaran yang efektif dan efesien dalam pelaksanaan reformasi
birokrasi di Indonesia. Pelaksanaan reformasi birokrasi juga
harus didukung oleh terwujudnya prinsip tata kelola
pemerintahan yang baik seperti transparansi, akuntabilitas,
supermasi hukum, consensus, dan visi strategis. Birokrasi
adalah organisasi pemerintah yang kehadirannya diperlukan
dalam pelayanan bagi masyarakat. Birokrasi merupakan intansi
kelembagaan pemerintah yang mempunyai fungsi untuk
terciptanya pelayanan publik bagi kehidupan masyarakat
untuk mencapai kesejahtraan bagi masyarakat. Oleh karena itu,
pemerintah betul-betul mengupayakan agar kehidupan
masyarakat terjamin secara adil dan makmur.
Jan-Erik Lane menulis tentang “Introduction the concept
of bureaucracy” dalam bureaucracy and public choice (1987: 1-
31) menyebutkan bahwa untuk memahami birokrasi
213
pemerintah adalah dengan menciptakan administrasi yang
profesional. Dalam pendekatan sosiologis, birokrasi dipandang
sebagai bagian tipe organisasi pemerintah. Max Weber
menyebutkan ada beberapa tipe ideal birokrasi dalam berbagai
unsur, (Samin, 2011: 172: 182) antara lain sebagai berikut ;
Impersonal authority structure
Hierarchy level
Depends on formal rules
Merit system
Career availability
Clear division of employee division
Separation between personal and organizational affairs.
214
1. Modernisasi menajemen kepegawaian
2. Restrukturisasi, perubahan pada manajement, dan
organisasi
3. Terjadinya rekayasa pada proses administrasi pemerintah
4. Adanya anggaran berbasis pada kinerja, dan proses
perencanaan yang berpartisipatif.
5. Hubungan antara pemerintah dan masyarakat dalam
pembangunan pemerintah.
215
Reformasi birokrasi meliputi berbagai aspek baik internal
maupun eksternal. Dalam kajiannya, aspek internal diletakkan
kepada tiga kajian, pertama peningkatan kemampuan aparatur
pemerintah, modernisasi proses internal, dan debiroktratisasi
struktur internal birokrasi pemerintah.
Sejarah Pemerintahan Indonesia sudah menunjukan,
ketika birokrasi tidak netral maka telah membawa pada
kehancuran birokrasi dan kekacauan politk. Ketika kekuatan
dan kepentingan politik tumbuh bersama, maka sering kali
terjebak dengan korupsi, kolusi dan nepotisme, sehingga
membawa negara pada kehancuran ekonomi, politik, hukum,
dan sosial pada bangsa dan Negara Indonesia.
Pelaksanaan reformasi birokrasi di Indoensia merupakan
birokrasi dengan pendekatan structural hirarki (tradisi weber)
yang melihat secara rasional. Pentingnya rasionalisasi birokrasi
akan berdampak kepada efektif dan efesien serta produktivitas
pelaksanaan birokrasi melalui pembagian kerja yang hirarki
dan horizontal yang seimbang, terukur dengan rasio, antara
volume atau beban kerja/tugas dengan jumlah sumberdaya,
dengan tatakerja yang formal dan pengawasan yang lebih
ketat. Perkembangan birokrasi di Indonesia terjadi secara
verital linear, yang artinya: kebijakan yang diambil oleh
pemerintah bersifat dari atas kebawah. Sedangkan
pertanggungjawabannya dari bawah keatas.
Dalam praktenya, birokrasi Indonesia juga masih
dipengaruhi oleh prilaku budaya feodalistik, tidak transparan
atau tertutup, sentralistik, dan juga dapat ditandai terkadang
dengan sikap arogansi para penguasa, anti kritik, tidak dapat
dikontrol secara efektif, sehingga dengan mudah tumbuhnya
praktek KKN dalam birokrasi pemerintah. Oleh sebab itu,
kondisi yang demikian akan mempengaruhi jalannya
pemerintahan yang baik dan pemerintahan yang bersih (clean
government). Ditingkat pusat, susunan kelembagaan
pemerintah masih menunjukan lembaga birokrasi yang besar
dan tidak efesien, sehingga masih menangani tugas dan fungsi
yang sama.
216
Ada beberapa masalah yang melekat pada birokrasi
(Samin, 2011:175-178) diantaranya yaitu: pertama, dalam
pelaksanaan birokrasi, tidak bisa dijalankan secara netral dan
taat asas 100%, dikarenakan birokrasi berisi manusia bukan
mesin. Mereka juga memiliki kepentingan pribadi seperti
keluarga, kerabat dan hal lain yang menyangkut kepentingan
mereka. Permasalahan seperti ini dapat diatasi oleh pemerintah
dengan cara pemerintah melakukan pengawasan yang ketat,
dan para pimpinan/ politisi harus bijaksana dalam mengawasi
kinerja pegawai.
Kedua, masalah yang sering terjadi dalam pemerintahan
adalah kinerja birokrasi dimana kadang-kadang tidak sesuai
dengan order yang mereka terima dari pemerintah. Artinya
kinerja birokrasi yang tidak dapat diukur. Oleh karena itu,
pemerintah harus mengupayakan indicator kinerja untuk
mengukur jalannya birokrasi secara efektif dan efesien,
sehingga kinerjanya tepat sasaran.
Ketiga, kebijakan yang dirancang atau dibuat oleh
pemerintah/ politisi setingkat kadaluarsa. Artinya, kebijakan
yang dibuat oleh pemerintah seringkali tidak tepat waktu/telat.
Akibat yang timbul dari itu berdampak pada sisi negatif.
Misalnya, terjadinya pristiwa bencana seperti gempa,
kebakaran, banjir dan lain-lainnya, maka jika para birokrasi
harus menunggu perintah dari politisi, kebijakan yang diambil
tidak bias dilaksanakan secara maksimal tanpa harus
menunggu berjam-jam setelah dilakukan sidang atau rapat.
Reformasi birokrasi merupakan system dan proses
adiministrasi pemerintah atau Negara. Reformasi birokrasi
administrasi pemerintah atau Negara pada hakikatnya ialah
transpormasi berbagai dimensi nilai yang terkandung dalam
konstitusi. Reformasi birokrasi merupakan jawaban atas
tuntutan tegaknya aparatur pemerintah yang bertanggung-
jawab atas pelaksanaan tugas, yang bebas dari praktek KKN.
Pentingnya pelaksanaan prinsip-prinsip good governance
dalam system pemerintahan, sehingga terciptnya manusia yang
217
berintegritas, baik dalam jajaran eksekutif, legislatif dan
yudikatif.
Pada dasarnya, pada pelaksanaan reformasi birokrasi
sangat membutuhkan langkah dalam pendayagunaan terhadap
system birokrasi, individu diluar birokrasi, lembaga Negara,
lembaga non Negara dan juga pada personelnya. Hal ini, dapat
dilaksanakan dengan segenap semangat yang memper-
juangkan konstitusi dan menerapakan prinsip-prinsip
pemerintahan yang baik. Untuk merestrukturisasi birokrasi
pemerintah dapat dikemukakan beberapa hal (Thoha, 2002)
sebagai berikut; (1) Lembaga pemerintah, baik dipusat maupun
di daerah yang dipimpin oleh pejabat politik harus dibedakan
antara pejabat politik dan pejabat karier birokrasi. (2)
Desentralisasi kewenangan, baik desentralisasi politik/
administrasi perlu dilakukan di dalam kelembagaan
pemerintah. (3) Pemerintah perlu segera melakukan
perampingan kelembagaan birokrasi. Supaya tidak
melebarnya/kelembaran tugas dan fungsi pada suatu lembaga
birokrasi.
218
E. Reinventing Government Sebagai Alternatif Pelaksanaan
Reformasi Birokrasi.
Ada sepuluh prinsip yang di ajukan wirausaha birokrasi
yang dalam penerapanya bias dilakukan secara komprensif dan
saling berinteraksi.
1. Tugas pemerintah adalah mengarahkan ,bukan hanya
mengayuh saja.
2. Pemerintah daerah harus mampu menyediakan beragam
pelayanan public,tetapi tidak harus terlibat secara langsung
dalam prosesnya.
3. Pemerintah milik masyarakat yaitu membuat masyarakat
memiliki pemerintah.
4. Pemerintah daerah sebaiknya memberi wewenang kepada
masyarakat sehingga mereka mampu menjadi masyarakat
yang mampu menolong dirirnya sendiri.
5. Pemerintah yang kompetitif yang artinya pemerintah
memiliki daya saing.
6. Kompetisis menghemat biaya sekaligus meningkatkan
kualitas pelayanan.
7. Pemerintah disetir oleh misi dan tujuan utamanya
8. Menjadikan pemerintah yang orientase hasil dengan titik
berat pada prestasi
9. Pada pemerintah tradisional bedarnya alokasi anggaran
pada suatu unit kerja di tentukan oleh maslah yang
dihadapi
10. Pemerintah beriontasi pada pelnggan bukan pada birokrasi.
219
Kontrol social terhadap kinerja organisasi public
merupakan bagan tidak terpisah dari kehidupan masyarakat
demokratis.kontrol social dapat efektif apabila dipenuhi sarat
sarat berikut.
1. Pemerintahan bersifat demokratis tidak otoriter dan represif
2. Telah terbangun kelas menengah yang cukup banyak
jumlahnya dan solit serta memiliki kepedulian social
3. Adanya peraturan perundangan – undangan yang jelas
mengenai mekanisme kontrol social sehingga tidak terjadi
anarki
4. Adanya kesadaran yang luas dari masyarakat mengenai hak
dan kewajiban sebagai warga Negara atau pun warga
masyarakat.
220
TENTANG PENULIS
221