Anda di halaman 1dari 11

EPIDEMIOLOGI HIV/AIDS DAN

UPAYA PENANGGULANGANNYA

Aziz Munizar
Andhalia
Asti Puspita
Bangun Saputra
Dewi Agustin
Kurnia Sari
Trimitha

X.6
KATA PENGANTAR

Rasa syukur yang dalam kami sampaikan ke hadiran Tuhan Yang


Maha Pemurah, karena berkat kemurahanNya makalah ini dapat kami
selesaikan sesuai yang diharapkan.Dalam makalah ini kami membahas
“EPIDEMIOLOGI HIV/AIDS DAN UPAYA
PENANGGULANGANNYA”.

Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman


masalah epidemic HIV/AIDS dan upaya penanggulangannya.

Demikian makalah ini saya buat semoga bermanfaat dan berguna


untuk memperdalam pengetahuan kita.

EPIDEMIOLOGI HIV/AIDS DAN


UPAYA PENANGGULANGANNYA
PENDAHULUAN
Untuk mencapai kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk diperlukan suatu
Pembangunan kesehatan yang pada hakekatnya merupakan penyelenggaraan upaya kesehatan
oleh bangsa Indonesia agar dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal.
Kegiatan pembangunan kesehatan yang semula dititik beratkan pada upaya
penyembuhan penderita secara berangsur-angsur berkembang ke arah pelayanan kesehatan
paripurna yang meliputi upaya-upaya peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan (preventif),
penyembuhan (kuratif) serta pemulihan (rehabilitatif) yang bersifat menyeluruh, terpadu dan
berkesinambungan.
Upaya kesehatan termaksud dipengaruhi oleh faktor lingkungan sosial budaya termasuk
ekonomi, lingkungan fisik dan biologis yang bersifat dinamis dan kompleks. Dewasa ini sebagai
akibat sampingan dari globalisasi disegala bidang keadaan sosial budaya di masyarakat Indonesia
telah dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan barat, khususnya di
daerah pariwisata dan daerah perkotaan.
Indonesia merupakan salah satu negara yang banyak dikunjungi oleh wisatawan
mancanegara. Meningkatnya kunjungan wisatawan mancanegara akan ikut meningkatkan industri
pariwisata yang telah dianggap sebagai suatu lahan yang diharapkan akan berperan dalam
mendapatkan devisa untuk pembangunan.
Bersama dengan ini berbagai usaha yang ada kaitannya dengan bidang pariwisata ini
mendapat peluang untuk berkembang, seperti : jasa, angkutan, hotel, tempat penginapan,
restoran, industri, kerajinan, hiburan dan kesenian serta termasuk hiburan seksual walaupun
dikelola secara gelap-gelapan namun nyata bila diamati secara seksama.
Berkembangnya kegiatan prostitusi merupakan konsekuensi logis dari berkembangnya
industri pariwisata. Hal ini disebabkan karena adanya pandangan keliru yang menganggap bahwa
kegiatan seksual pada umumnya tidak hanya ditujukan untuk mendapat keturunan semata-mata,
tetapi juga dianggap sebagai prokreasi (memperoleh kenikmatan dan kesenangan) serta hiburan
bagi pemenuhan kebutuhan biologis manusia.
Meningkatnya kegiatan prostitusi secara luas mengakibatkan meningkatnya berbagai
kasus penyakit yang ditularkan akibat hubungan seksual (PMS). Salah satu PMS yang paling
berbahaya dan sangat ditakuti adalah apa yang disebut dengan Acquired Immuno Deficiency
Syndroma (AIDS). Aids adalah kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh virus HIV
(Human Immunodeficiency Virus) yang mengakibatkan rusaknya atau menurunnya sistem
kekebalan tubuh terhadap berbagai penyakit.
Virus HIV berkembang sangat cepat, sehingga dalam kurun waktu yang singkat telah
menjadi pandemi. Berkembangnya tempat-tempat hiburan seksual, praktek prostitusi yang
semakin meluas merupakan salah satu faktor penyebaran virus HIV. Begitu juga prilaku seksual
yang berganti-ganti pasangan merupakan cara penularan AIDS yang potensial.
Kelompok masyarakat yang diduga mempunyai prilaku yang cenderung berisiko tinggi
AIDS, yaitu kelompok WTS, waria, pramuria, panti pijat, pramuria bar/diskotik, homoseks, orang

terpenjara, penerima transfusi darah serta keluarga dari penderita HIV positif.
Di Indonesia penyebaran AIDS sebagian besar “Imported Cases” yaitu dibawa oleh
penderita yang datang dari luar negeri, melalui hubungan seksual.
AIDS belum ada obatnya, juga belum ada vaksin yang mencegah serangan virus HIV.
Orang yang terinfeksi virus HIV akan berpotensi sebagai pembawa dan penular virus HIV selama
hidupnya walaupun orang tersebut tidak merasa sakit dan tampak sehat.
Mengingat besarnya masalah yang dapat ditimbulkan oleh penyebaran virus HIV/AIDS
ini, maka pemerintah dalam hal ini Depkes RI telah melakukan berbagai upaya untuk menekan
penularan HIV/AIDS. Upaya tersebut diantaranya melalui kegiatan pemeriksaan sampel darah
secara rutin kepada mereka yang berisiko tinggi mengidap HIV/AIDS, melaksanakan kegiatan
penyuluhan serta menyebarluaskan informasi tentang AIDS, penularan dan pencegahannya
seperti pemakaian kondom bagi mereka yang terlibat dengan prilaku hubungan seksual bebas.

1. DEFINISI AIDS.

AIDS adalah kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh virus HIV (Human
Immunodeficiency Virus) yang mengakibatkan rusaknya/menurunnya sistem kekebalan tubuh
terhadap berbagai penyakit.
Apabila HIV ini masuk ke dalam peredaran darah seseorang, maka HIV tersebut
menyerap sel-sel darah putih. Sel-sel darah putih ini adalah bagian dari sistem kekebalan tubuh
yang berfungsi melindungi tubuh dari serangan penyakit. HIV secara berangsur-angsur merusak
sel darah putih hingga tidak bisa berfungsi dengan baik.

2. SEJARAH AIDS

Penyakit ini pertama kali timbul di Afrika, Haiti, dan Amerika Serikat pada tahun 1978.
Pada tahun 1979 pertama kali dilaporkan adanya kasus-kasus Sarkoma Kaposi dan penyakitpenyakit
infeksi yang jarang terjadi di Eropa, penyakit ini menyerang orang-orang Afrika yang
bermukim di Eropa. Sampai saat ini belum disadari oleh para ilmuwan bahwa kasus-kasus
tersebut adalah AIDS.
Sindrom yang kini telah menyebar ke seluruh dunia ini pertama kali dilaporkan oleh
Gotlieb dan kawan-kawan di Los Angeles pada tahun 1981. Orang yang terinfeksi virus HIV akan
berpotensi sebagai pembawa dan penular virus selama hidupnya walaupun orang tersebut tidak
merasa sakit dan tampak sehat.
Dalam tahun yang sama yaitu pada tahun 1981 Amerika Serikat melaporkan adanya
kasus Sarkoma Kapusi dan penyakit infeksi yang jarang terjadi di kalangan homoseksual. Hal ini
menimbulkan dugaan yang kuat bahwa transmisi penyakit ini terjadi melalui hubungan seksual.
Pada tahun 1982 CDC-USA (Centers for Disease Control) Amerika Serikat untuk
pertamakali membuat defenisi kasus AIDS. Sejak tahun 1982 dilakukan surveilans terhadap
kasus-kasus AIDS.
Pada tahun 1982 –1983 mulai diketahui adanya transmisi diluar jalur hubungan seksual,
yaitu melalui transfusi darah, penggunaan jarum suntik secara bersama oleh para
penyalahgunaan narkotik dan obat-obat terlarang. Pada tahun ini juga Luc Montagnier dari
Pasteur Institute, Paris Institute menemukan bahwa penyebab kelainan ini adalah LAV
(Lymphadenopathy Associated Virus).
Pada tahun 1984 diketahui adanya transmisi heteroseksual di Afrika dan pada tahun yang
sama diketahui bahwa HIV menyerang sel limfosit T penolong. Pada tahun itu juga Gallo dkk dari
National Institute of Health, Bethesda, Amerika Serikat menemukan HTLV III (Human T Cell

Lymphotropic Virus Type III) sebagai penyebabkan kelainan ini. Pada tahun 1985 ditemukan
antigen untuk melakukan tes Elisa, pada tahun itu juga diketahui bahwa HIV juga menyerang sel
otak. Pada tahun 1986 International Committee on Taxonomy of Virus memutuskan nama
penyebab penyakit AIDS adalah HIV sebagai pengganti LAV dan HLTV.
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) atau SIDA (Syndrom Imuno Deficiency
Akuisita) adalah sebuah penyakit yang dengan cepat menyebar keseluruhan dunia (pandemi).
Di Indonesia pertama kali mengetahui adanya kasus AIDS pada bulan April tahun 1987,
pada seorang warganegara Belanda yang meninggal di RSUP Sanglah Bali akibat infeksi sekunder
pada paru-paru, sampai pada tahun 1990 penyakit ini masih belum mengkhawatirkan, namun
sejak awal tahun 1991telah mulai adanya peningkatan kasus HIV/AIDS menjadi dua kali lipat
(doubling time) kurang dari setahun, bahkan mengalami peningkatan kasus secara ekponensial.
Depkes RI melaporkan bahwa sampai pada tahun 1996 kasus HIV/AIDS tercatat
sebanyak 501 orang (119 kasus AIDS dan 382 HIV +) yang menyebar di 19 Propinsi.
Perkembangan kasus HIV/AIDS di Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 1 : Perkembangan masalah HIV/AIDS di Indonesia Desember 1993 - 1995 dan
1996

Variabel S/d Des 1993 S/d Des 1995 S/d Des 1996
N = 193 N = 213 N = 501
AIDS 49 (25 %) 55 (26 %) 119 (24 %)
HIV 144 (75 %) 158 (74 %) 382 (56 %)
Penularan seksual 133 (70 %) 164 (77 %) 411 (82 %)
Pengidap WNI 88 (46 %) 117 (55 %) 333 (67 %)
Umur 20 – 39 tahun 136 (70 %) 155 (73 %) 238 (48 %)
Wanita 27 (14 %) 43 (20 %) 144 (29 %)

Sumber : Gde Muninjaya (1998).

3. GEJALA.

Terdapat 4 stadium penyakit AIDS yaitu :


a. Stadium awal infeksi HIV, menunjukkan gejala-gejala seperti : demam, kelelahan, nyeri
sendi, pembesaran kelenjar getah bening. Gejala-gejala ini menyerupai
influenza/monokleosis.
b. Stadium tanpa gejala, yaitu stadium dimana penderita nampak sehat, namun dapat
merupakan sumber penularan infeksi HIV.
c. Stadium ARC (AIDS Related Complex), memperlihatkan gejala-gejala seperti : demam
lebih dari 38o C secara berkala/terus-menerus, menurunnya berat badan lebih dari 10%
dalam waktu 3 bulan, pembesaran kelenjar getah bening, diare/mencret secara
berkala/terus-menerus dalam waktu yang lama tanpa sebab yang jelas, kelemahan tubuh
yang menurunkan aktifitas fisik, berkeringat pada waktu malam hari.
d. Stadium AIDS, akan menunjukkan gejala-gejala seperti : gejala klinis utama yaitu
terdapatnya kanker kulit yang disebut sarkoma kaposi, kanker kelenjar getah bening,
infeksi penyakit penyerta misalnya : pneumonia yang disebabkan oleh pneumocytis
carinii, TBC, peradangan otak/selaput otak.

4. PENULARAN AIDS.

HIV dapat ditularkan melalui :


A. Hubungan seksual (homoseksual ataupun heteroseksual) dengan seorang yang mengidap
HIV.
B. Transfusi darah yang tercemar HIV.
C. Melalui alat suntik, alat tusuk lainnya (akupuntur, tindik, tato) bekas dipakai orang yang
mengidap HIV.
D. Pemindahan HIV dari ibu hamil yang mengidap HIV kepada janin yang dikandungnya.
5. EPIDEMIOLOGI HIV/AIDS

Saat ini diperkirakan ada 5 – 10 juta orang pengidap HIV (Human Immuno Deficeincy
Virus) yang belum menunjukkan gejala apapun tetapi potensial sebagai sumber penularan. Di
samping itu telah dilaporkan adanya lebih kurang 100.000 orang penderita AIDS dan 300.000 –
500.000 orang penderita ARC (AIDS Related Complex) sampai 1 Maret 1989 telah dilaporkan
141.000 kasus AIDS ke WHO oleh 145 negara. AIDS adalah suatu penyakit yang sangat
berbahaya karena mempunyai Case Fatality Rate 100 % dalam 5 tahun, artinya dalam waktu 5
tahun setelah diagnosis AIDS ditegakkan, semua penderita akan meninggal. Pada populasi
normal Adult Mortality Rate adalah 50/10.000 bila seroprevalensi infeksi HIV adalah 10 % maka
dalam 5 tahun mendatang Adult Mortality Rate ini akan meningkat dua kali menjadi 100/10.000.
Berdasarkan data yang dikumpulkan sampai 3 Maret 1998, infeksi HIV/AIDS telah
menyebar di 22 propinsi yaitu Daerah Istimewa Aceh 1 penderita, Sumatera Utara 25 penderita,
Sumatera Barat 1 penderita, Riau 70 penderita, Sumatera Selatan 26 penderita, DKI Jakarta 181
penderita, Jawa Barat 19 penderita, Jawa Tengah 14 penderita, DI Yogyakarta 5 penderita, Jawa
Timur 43 penderita, Kalimantan Barat 4 penderita, Kalimantan Tengah 4 penderita, Kalimantan
Selatan 3 penderita, Kalimantan Timur 8 penderita, Sulawesi Utara 3 penderita, Sulawesi Selatan
4 pnederita, Bali 43 penderita, NTB 2 penderita, NTT 1 penderita, Maluku 16 penderita, Irian Jaya
137 penderita, Timor-Timor 1 penderita.
Distribusi umur penderita AIDS di AS, Eropa dan Afrika tidak berbeda jauh, kelompok
terbesar berada pada umur 30 – 39 tahun, dan menurun pada kelompok umur yang lebih besar
dan lebih kecil. Hal ini membuktikan bahwa transmisi seksual baik homo maupun heteroseksual
merupakan pola transmisi utama. Mengingat masa inkubasi AIDS yang berkisar dari 5 tahun ke
atas, maka infeksi terbesar terjadi pada kelompok umur muda/seksual paling aktif yaitu 20 – 30
tahun.
Rasio jenis kelamin pria, wanita di negara pola I adalah 10 – 15 : 1 karena sebagian
besar penderita adalah kaum homoseksual, sedangkan di negara-negara pola II, rasio ini adalah
1 : 1. Perbandingan antara penderita dari daerah urban (perkotaan) dan rural (pedesaan)
umumnya lebih tinggi di daerah urban, karena di kota lebih banyak dilakukan promiskuitas
(hubungan seksual dengan banyak mitra seksual), maka kelompok masyarakat berisiko tinggi
adalah kelompok masyarakat yang melakukan promiskuitas, yaitu kaum homoseksual termasuk
kelompok biseksual, heteroseksual, dan penyalahguna narkotik suntik, serta penerima transfusi
darah termasuk penderita hemofili dan penyakit-penyakit darah, anak dan bayi yang lahir dari ibu
pengidap HIV.
Kelompok homoseksual (termausk biseksual) kelompok ini termasuk kelompok terbesar
pengidap HIV di Amerika Serikat. Prevalensi infeksi HIV dikalangan ini terus meningkat dengan
pesat. Di San Fransisco pada tahun 1978, hanya 4 % kaum homoseksual diperkirakan mengidap

HIV, 3 tahun kemudian angka ini bertambah menjadi 24 %, 8 tahun kemudian menjadi 80 % dan
pada saat ini telah menjadi 100 %. Di London pada tahun 1982, hanya 3,7 % kaum homoseksual
mengidap HIV, 3 tahun kemudian menjadi 21 % saat ini telah lebih dari 35 % sehingga
diperkirakan pada tahun 1990 menjadi 100 %.
Kelompok heteroseksual, kelompok ini di Afrika merupakan kelompok utama dimana
homoseksualitas tidak populer. Saat AIDS pertama kali dideteksi pada kaum homoseksual di
negara-negara maju, pola hubungan heteroseksual belum menjadi perhatian. Saat ini 4 % kasus
AIDS berasal dari kelompok ini. Jumlah ini terus meningkat sehingga diramalkan akan terjadi
epidemi AIDS kedua pada kaum heteroseksual.
Sebagai perbandingan keadaan di Amerika Serikat dan Afrika, maka dapat
diperbandingkan dari para penderita penyakit menular seksual heteroseksual yang berobat ke
rumah sakit, persentase penderita dengan infeksi HIV di AS adalah 0 – 3,4 %, sedangkan di
Afrika adalah 18 – 29 %. Demikian pula dengan sero-prevalensi HIV pada kaum laki-laki dan
wanita hamil di Amerika Serikat berkisar pada angka 2 %, sedangkan di Afrika sampai 18 %. Dari
data-data ini terlihat bahwa kelompok heteroseksual lebih menonjol di Afrika. Pernah ada
anggapan bahwa AIDS berasal dari pedalaman Afrika dengan pola penyebaran heteroseksual.
Dari penelitian akhir-akhir ini ternyata prevalensi di daerah urban tetap lebih besar
daripada di pedesaan sehingga anggapan tersebut adalah tidak benar. Prevalensi di kalangan
WTS di beberapa tempat di Afrika Barat adalah 20 – 88 % sedangkan di Eropa dan Amerika
Serikat berkisar antara 0 – 30 %.
Kelompok heteroseksual risiko tinggi ini di Indonesia adalah para WTS, para pramupijat,
pramuria bar dan club malam dan para pelanggannya. Kelompok penyalah guna narkotik suntik,
mereka ini menggunakan alat suntik bersama dan sering masih terdapat sisa darah di dalam
jarum atau alat suntik. Kelompok ini di Eropa meliputi 11 % dari semua kasus AIDS dan di
Amerika Serikat 25 % dari seluruh kasus AIDS.
Lingkungan biologis, sosial-ekonomi, budaya, agama sangat menentukan penyebaran
AIDS. Lingkungan biologis, adanya riwayat ulkus genitalis, herpes simpleks dan STS (Serum Test
for Syphilis) yang positif akan meningkatkan prevalensi infeksi HIV karena luka-luka ini menjadi
tempat masuknya HIV. Sel-sel limfosit T4/CD4 yang mempunyai reseptor untuk menangkap HIV
akan aktif mencari HIV di luka-luka tersebut dan selanjutnya memasukkan HIV tersebut ke dalam
peredaran darah.
Faktor biologis lainnya adalah penggunaan obat KB, pada para WTS di Nairobi terbukti
bahwa kelompok yang menggunakan obat KB mempunyai prevalensi HIV lebih tinggi. Hal ini
memerlukan penelitian lebih lanjut. Faktor sosial, ekonomi, budaya dan agama secara bersama
atau sendiri-sendiri sangat berpengaruh terhadap prilaku seksual masyarakat. Bila semua faktor
ini menimbulkan permissiveness di kalangan kelompok seksual aktif maka mereka mudah masuk
ke dalam keadaan promiskuitas.
Walaupun telah diketahui berbagai cara penularan HIV/AIDS, penularan secara seksual
adalah yang terbanyak, yaitu 83,3% dari 631 kasus yang dilaporkan. Indonesia dianggap rentan
terhadap epidemi HIV/AIDS karena banyak faktor yang mendorong antara lain : adanya prilaku
seksual yang berisiko (WTS), kemiskinan, banyaknya pelabuhan yang disinggahi orang asing.

6. UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN AIDS.

Pencegahan tentu saja harus dikaitkan dengan cara-cara penularan HIV seperti yang
sudah dikemukakan. Ada beberapa cara pencegahan HIV/AIDS, yaitu :
A. Pencegahan penularan melalui hubungan seksual, infeksi HIV terutama terjadi melalui
hubungan seksual, sehingga pencegahan AIDS perlu difokuskan pada hubungan seksual.
Untuk ini perlu dilakukan penyuluhan agar orang berperilaku seksual yang aman dan
bertanggung jawab, yakni : hanya mengadakan hubungan seksual dengan pasangan sendiri
(suami/isteri sendiri), kalau salah seorang pasangan anda sudah terinfeksi HIV, maka dalam
melakukan hubungan seksual perlu dipergunakan kondom secara benar, mempertebal iman
agar tidak terjerumus ke dalam hubungan-hubungan seksual di luar nikah.
B. Pencegahan Penularan Melalui Darah dapat berupa : pencegahan dengan cara memastikan
bahwa darah dan produk-produknya yang dipakai untuk transfusi tidak tercemar virus HIV,
jangan menerima donor darah dari orang yang berisiko tinggi tertular AIDS, gunakan alat-alat
kesehatan seperti jarum suntik, alat cukur, alat tusuk untuk tindik yang bersih dan suci hama.
C. Pencegahan penularan dari Ibu-Anak (Perinatal).
Ibu-ibu yang ternyata mengidap virus HIV/AIDS disarankan untuk tidak hamil.
Selain dari berbagai cara pencegahan yang telah diuraikan diatas, ada beberapa cara
pencegahan lain yang secara langsung maupun tidak langsung ikut mencegah penularan atau
penyebaran HIV/AIDS.
Kegiatan tersebut berupa kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) yang dalam
implementasinya berupa : konseling AIDS dan upaya mempromosikan kondomisasi, yang
ditujukan kepada keluarga dan seluruh masyarakat yang potensial tertular HIV/AIDS melalui
hubungan seksual yang dilakukannya.
Dengan cara ini keluarga dan masyarakat secara terus menerus akan mendapat
informasi yang baru (up to date) tentang HIV/AIDS sehingga keluarga akan lebih waspada dan
mampu mengembangkan langkah –langkahpraktis untuk melindungi anggota keluarganya
daripenularan HIV serta untuk mwngurangi tumbuhnya sikap yang menganggap bahwa
keluarganya sendiri tidak mungkin akan terinfeksi oleh virus AIDS ini.

DAFTAR PUSTAKA
1. Abednego, Hadi M, 1998. Kemitraan Dalam Pelaksanaan Strategi Nasional
Penanggulangan AIDS, Depkes RI, Jakarta,.
2. Admosuharto K, 1993. Epidemiologi AIDS dan Strategi Pemberantasan di Indonesia,
Media Litbangkes vol. III no. 4 Jakarta.
3. Departemen Kesehatan RI, 1989. AIDS Petunjuk untuk Petugas kesehatan, Jakarta.
4. Departemen kesehatan RI, 1992. Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta.
Ó2001 digitalized by USU digital libary
5. Djamin, SPH, 1992. Perubahan Perilaku dan Ketahanan Keluarga sebagai Pilar Utama
Pencegahan dan Pananggulangan AIDS, Media Litbangkes vol. VI no. 04 Jakarta.
6. Djauzi, S, Sihombing G, 1992. Pengumpulan Data dengan Diskusi Kelompok Terarah dan
Wawancara Mendalam pada Kelompok Risiko Tinggi AIDS di Jakarta, Majalah Kesehatan
Masyarakat Indonesia taun X, No. 7 Jakarta.
7. ----------, 1994. Aids dan Wanita suatu Tantangan kemanusiaan, Jakarta.
8. ----------,1994. Pedoman Penanggulangan AIDS di Rutan, Jakarta.
9. Hull, T.M. Endang S, 1997. Pelacuran di Indonesia Sejarah Perkembangannya, Jakarta.
10. Gde Muninjaya, 1997. AIDS di Indonesia. Masalah dan Kebijakan Penanggulangannya.
EGC. Jakarta.

Penutup

Dari unsur host, agent, dan environment, pemutusan transmisi tidak bisa dilakukan pada
host karean belum adanya vaksin, dan juga tidak pada agent karean belum adanya obat
penangkalnya. Satu-satunya jalan adalah dengan mengubah environment yaitu dengan
mengubah prilaku seksual, kelompok seksual aktif (15-45 tahun) yang merupakan kelompok
terbesar pengidap HIV. Perubahan prilaku ini dilakukan denga melakukan penyuluhan kesehatan
dengan materi :
1. Jangka panjang adalah untuk mengurangi permissiveness dan promiskuitas.
2. Jangka pendek adalah meningkatkan kewaspadaan dini untuk mendeteksi penderita
AIDS/ARC dan program kondomisasi bagi kelompok risiko tinggi. Masalah ini dibicarakan oleh
pembicara lainnya.
A. Agent.
HIV yang termasuk retrovirus itu sangat mudah mengalami mutasi sehingga sulit untuk
membuat obat yang dapat membunuh virus tersebut. Akan tetapi percobaan-percobaan
sangat memberi harapan ke arah itu. Ditinjau dari sudut epidemiologi, jumlah HIV (agent)
pada seorang pengidap HIV juga sangat menentukan dalam penularan. Hal ini terbukti dari
penelitian terhadap 24 orang isteri yang suaminya menderita hemofilia dan sekaligus
pengidap HIV, ternyata hanya 4 orang isteri yang tertular. Keempat suami mereka itu
ternyata mempunyai jumlah sel limfosit T yang lebih rendah dibandingkan dengan 20 suami
lainnya. Penurunan jumlah sel limfosit T biasanya berbanding terbalik dengan jumlah HIV
(peningkatan jumlah HIV). Hal yang sama terbukti pada penularan transplasental, makin
rendah jumlah sel limfosit T seorang ibu pengidap HIV, maka makin besar kemungkinan
penularan HIV kepada janinnya. Sebagai kesimpulan dapat disebutkan bahwa daya tular
(infectivity) seseorang bergantung pada stadium penyakitnya, makin parah penyakitnya maka
makin rendah sel limfosit T nya, maka makin besar pula jumlah virus dalam darahnya
(viremia).
8. Kelompok Resiko Tinggi Tertular AIDS.
Semula diduga bahwa penyakit AIDS hanya merupakan penyakit yang menimpa
kelompok laki-laki “homoseks” yang biasa berhubungan sesama laki-lai. Sekarang diketahui
bahwa AIDS bisa menjangkiti siapa saja melalui berbagai penularan AIDS. Mereak yang termasuk
kelompok risiko tinggi tertular AIDS adalah :
a. Mereak yang mempunyai banyak pasangan seksual (homo dan heteroseksual) seperti
wanita/pria tuna susila dan pelanggannya, mucikari, kelompok homoseks, biseks dan
waria.
b. Penerima transfusi darah.
c. Bayi yang dilahirkan dari ibu penderita AIDS.
d. Pecandu narokotik suntik.
e. Pasangan dari pengidap AIDS.

Kelompok Resiko Tinggi (WTS)


Pelacuran/prostitusi/persundalan adalah peristiwa penyerahan tubuh oleh wanita kepada
laki-laki (lebih dari satu) dengan imbalan pembayaran yang disetubuhi sebagai pemuas nafsu
seks si pembayar yang dilakukan diluar pernikahan.
Pelacur/tunasusila/lonte/cabo/sundal atau kupu-kupu malam adalah umumnya wanita
(ada juga pria) yang pekerjaannya menjual diri kepada siapa saja/banyak laki-laki yang
membutuhkan hubungan seksual dengan bayaran.
Para pelacur biasanya mengelompok dan berkumpul dengan teman-temannya yang
berasal dari kampung atau desa yang sama. Hubungan mereak sangat terbatas dengan para
wanita lain yang dari desa atau kampung yang berbeda. Jadi umumnya pekerja seks di kompleks
pelacuran cenderung membentuk kelompok berdasarkan daerah asal. Kelompok ini sangat
berpengaruh dan memberi dukungan kuat secara psikologis kepada para pelacur yang tinggal di
dalam kompleks. Umumnya solidaritas di kalangan WTS cukup tinggi. Terutama dalam usaha
menolong teman seprofesi yang sedang mengalami kesulitan atau tidak mendapat tamu dalam
waktu yang relatif lama, misalnya seminggu. Begitu pula dalam pinjam pakaian, perhiasan,
sepatu, kosmetik dan uang.

Anda mungkin juga menyukai