Anda di halaman 1dari 4

PENDIDIKAN PANCASILA

Disusun Oleh:

Kelompok/ Kelas : 1 (Satu)/ 2ID04


Nama/ NPM : 1. Afif Zulfan / 30420059
2. Fachrul Rafiana Rizky Hanafie / 30420428
3. Indra Lesmana / 30420586
4. Intan Wulandari / 30420589
5. Karmellucya Sinombili / 30420639
6. Rayhan Andhika Putera / 31420066

JURUSAN TEKNIK INDUSTRI


FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS GUNADARMA
DEPOK
2021
UU CIPTA KERJA DAN PELANGGARANNYA TERHADAP PANCASILA
DAN UUD 45

UUD 1945 resmi berlaku sebagai konstitusi negara Indonesia sejak 18 Agustus 1945 dan
Pancasila berlaku sebagai pilar filosofis negara Indonesia. Konstitusi negara berfungsi sebagai
prinsip-prinsip fundamental yang dianut suatu negara dengan dipandu oleh pilar filosofis agar
hak tiap warga negara terpenuhi, berbagai aspek bernegara merujuk kepada konstitusi dasar
termasuk salah satunya adalah hukum atau peraturan negara. Menurut M. Solly Lubis, yang dima
ksud dengan peraturan negara (staatsregelings) adalah peraturan-peraturan tertulis yang diterbitk
an oleh instansi resmi, baik dalam pengertian lembaga maupun dalam pengertian pejabat tertent
u. Salah satu bentuk peraturan negara adalah undang-undang.
Undang-undang sebagai peraturan negara harus menjunjung nilai-nilai yang terkandung
dalam pilar filosofis negara serta merujuk konstitusi. Jika suatu peraturan negara melanggar dua
hal tersebut maka peraturan tersebut dapat dianggap tidak konstitusional. Essay ini akan
membahas bagaimana UU Cipta Kerja melanggar berbagai nilai yang terkandung dalam
Pancasila dan UUD 1945
UU Cipta Kerja adalah serangkaian peraturan negara yang mendefinisikan berbagai aspek
dalam kegiatan pekerjaan, pekerja, pemilik usaha/modal, dan berbagai macam aspek keburuhan
lainnya. Pada praktisnya, UU Cipta Kerja banyak menggantikan atau meredefinisikan peraturan-
peraturan yang terkandung dalam UU Ketenagakerjaan. Pasal-pasal yang ditimpa oleh UU Cipta
Kerja menuai banyak kontroversi karena dianggap berpihak berat kepada pemegang usaha/modal
dan memperburuk hak-hak pekerja, mengancam kesejahteraan lingkungan, dan tidak
konstitusional. Essay ini akan berfokus pada aspek hukum keburuhan yang disentuh oleh UU
Cipta Kerja dan diklasifikan menurut beberapa aspek hukum keburuhan yang disentuh oleh
peraturan ini.
Sistem kerja kontrak merupakan salah satu aspek hukum keburuhan yang disentuh. UU
Cipta Kerja pasal 81 angka 15 mengubah ketentuan UU Ketenagakerjaan Pasal 59. Pada UU
Ketenagakerjaan kerja kontrak didefinisikan sebagai suatu perjanjian kerja waktu tertentu
(PKWT) yang batas waktu penyelesaiannya adalah tiga tahun, jika lebih dari itu maka pekerja
kontrak harus dimasukkan sebagai karyawan tetap. UU Cipta Kerja merubah definisi PKWT
sebagai suatu pekerjaan yang “tidak terlalu lama”. Definisi baru ini mengaburkan batasan jelas
dari PKWT dan meletakkan definisi “tidak terlalu lama” dalam perjanjian yang berat berpihak
kepada pemilik usaha/modal. Menurut kami, definisi ini akan semakin memperparah praktek
mengontrak pekerja tanpa memberikan status pekerja tetap yang sudah marak dilakukan bahkan
dengan definisi pada UU Ketenagakerjaan. UU Ciptaker memberikan ruang bagi pemilik
usaha/modal untuk mendefinisikan “tidak terlalu lama” sesuai dengan kepentingan mereka dalam
posisi dimana pekerja tidak mendapat jaminan hukum untuk menawar perjanjian. Adanya hukum
yang mendefinisikan secara rancu batas kuasa pemilik usaha/modal tanpa mendukung pekerja
secara hukum untuk berunding secara langsung melanggar sila 4 dan 5 dari Pancasila.
Outsourcing merupakan aspek lain yang disentuh secara tidak langsung dalam UU Cipta
Kerja dimana UU tersebut mempengaruhi hukum seputar outsourcing dengan menghapus
peraturan yang sebelumnya telah ditetapkan. UU Cipta Kerja menghapuskan amanat putusan
Mahkamah Konstitusi 27/PUU-IX/2011 yang tercantum dalam UU Ketenagakerjaan. Peraturan
tersebut tadinya mendefinisikan peralihan hubungan kerja seorang pekerja outsource dari vendor
pekerja ke perusahaan yang mengontrak. Hal ini mengakibatkan batasan kriteria pekerja
outsource tidak ada sehingga pekerja outsource bisa dipekerjakan tanpa batasan yang jelas tanpa
kesempatan menjadi pekerja tetap. Kasus ini juga bersinggungan dengan rancunya definisi kerja
kontrak yang disebutkan sebelumnya sehingga jelas dianggap tidak konstitusional karena alasan
yang sama.
Waktu kerja juga disentuh oleh UU Cipta Kerja. Jam kerja sektor formal didefinisikan
dengan batasan maksimal jam lembur untuk seharinya dan seminggunya. UU Ketenagakerjaan
mendefinisikan batasan lembur pada tiga jam dalam sehari dan 14 jam dalam seminggu,
sementara UU Cipta Kerja mendefinisikan batasan lembur pada 4 jam dalam sehari dan 18 jam
dalam seminggu. Walaupun peraturan ini terkesan memberikan fleksibilitas, peraturan ini lebih
riskan eksploitatif karena tidak ada jumlah minimal pengupahan lembur. Menurut PP Nomor 78
Tahun 2015 tentang Pengupahan, dasar perhitungan upah lembur sepenuhnya didasarkan pada
mekanisme pasar. Menurut kami peraturan ini tidak konstitusional karena melanggar sila 2, 4
dan 5, dimana pekerja tidak mendapatkan jaminan hukum untuk konsistensi naiknya pengupahan
lembur yang sesuai dengan usaha lembur lebih yang dikeluarkan dari perluasan jam lembur.
Pemilik usaha/modal memiliki jaminan hukum jelas untuk menurunkan pengupahan lembur
sehingga upah lembur 3 jam dan 4 jam tidak berbeda contohnya, namun pekerja tidak memiliki
jaminan hukum jika ingin merundingkan perjanjian tersebut.
Hak cuti dan istirahat dipengaruhi UU Ciptaker dengan berbagai mekanisme peraturan.
Pasal 81 dalam UU Cipta Kerja mendefinisikan banyak hal seputar cuti salah satunya hak cuti
dalam sepekan. UU Ciptaker menyebutkan bahwa seorang pekerja hanya berhak memperoleh
libur satu hari dalam sepekan, menggantikan peraturan UU Ketenagakerjaan yang menjamin hak
pekerja untuk memperoleh 2 hari libur dalam sepekan. UU Cipta Kerja juga menghapuskan
peraturan dalam UU Ketenagakerjaan yang menjamin hak libur panjang selama 2 bulan bagi
pekerja yang telah bekerja minimal selama 6 tahun. Selain pendefinisian ulang hak libur dan cuti,
UU Cipta Kerja juga menyisipkan Pasal 154A dalam Pasal 81 angka 42 mengenai alasan
pemutusan kerja. Salah satu alasan pemutusan adalah cuti karena sakit berkepanjangan atau cacat
akibat kecelakaan kerja yang menyebabkan pekerja harus cuti selama 12 bulan. Pada UU
Ketenagakerjaan, pekerja yang mengalami musibah semacam itu berhak untuk menerima 2 kali
gaji bulanan jika mengalami pemutusan kerja, UU Cipta Kerja menghapus jaminan atas hak
tersebut. Menurut kami hal ini sangat tidak manusiawi, apalagi konstitusional. Pengurangan hak
libur yang disertakan dengan hilangnya jaminan hukum atas kesehatan dasar pekerja jelas tidak
manusiawi sehingga melanggar sila ke 2, 4 dan 5 lagi.
UU Cipta Kerja tidak bisa dianggap konstitusional menurut kelompok kami. Peraturan -
peraturan yang dijabarkan pada essay ini baru menyentuh aspek hukum keburuhan dari UU Cipta
Kerja dan sudah banyak peraturan yang jelas melanggar nilai-nilai Pancasila. Perkembangan
baru belakangan ini juga telah menunjukkan bagaimana UU Cipta Kerja adalah peraturan yang
tidak konstitusional dalam ranah legislatif. Mahkamah Konstitusi (MK) Indonesia telah
menetapkan UU Cipta Kerja sebagai Inkonstitusional Bersyarat, dimana UU Cipta Kerja harus
diperbaiki dalam jangka waktu dua tahun.
[fakta opini pendukung UU Ciptaker inkonstitusional]
[kesimpulan]

Anda mungkin juga menyukai