Anda di halaman 1dari 7

Nama : Mitia Talia

Nim. : 32722001D19058
Kelas : 2b D3 Keperawatan
RESUME

A. Tindakan
Tindakan pembedahan laparatomi dilakukan pada pasien dengan gangguan sistem
pencernaan salah satunya peforasi gaster. Perforasi gaster adalah bocornya organ tubuh
yaitu lambung kedalam rongga peritoneum. Berdasarkan hasil pengkajian didapatkan
diagnosa keperawatan yaitu, preoperasi: nyeri akut dan ansietas, intraoperatif: resiko
hipovolemia, postoperasi: resiko hipotermia perioperatif dan resiko syok. Intervensi yang
dilakukan yaitu: preoperasi: memberikan kenyamanan pada pasien dan menganjurkan
relaksasi nafas dalam, sikap caring perawat, dukungan spiritual.
Intraoperasi: memberikan cairan parentral dan memantau status hemodinamik pasien.
Postoperasi: monitor TTV dan gejala hipotermi. Evaluasi dari setiap diagnosa yang
muncul untuk preoperasi dengan nyeri akut dan ansietas dihentikan karena nyeri akut
berkurang dan ansietas pasien hilang.
Pada tahap intra operasi resiko hipovolemia tidak terjadi karena balance cairan +191cc.
Serta pada diagnosa post operasi resiko hipotermia dan risiko syok tidak terjadi.

B. Definisi

Perforasi gastrointestinal merupakan suatu bentuk penetrasi yang komplek dari


lambung, usus halus, usus besar, akibat dari bocornya isi dari usus ke dalam rongga perut.
Perforasi dari usus mengakibatkan secara potensial untuk terjadinya kontaminasi
bakteridalam rongga perut berkembang menjadi suatu peritonitis kimia yang di sebabkan
karna kebocoran asam lambung ke dalam rongga perut. Perforasi dalam bentuk apapun
yang mengenai saluran cerna merupakan suatu kasus kegawatan bedah. Perforasi pada
saluran cerna sering di sebabkan oleh penyakitpenyakit seperti ulkus gaster, appendicitis,
keganasan pada saluran cerna, atau trauma. (Maulana, Aries. 2017).
C. Etiologi
a. Perforasi Non-Trauma, Misalnya :
 Akibat volvulus gaster karna overdistensi dan iskemia
 Adanya factor predisposisi : termasuk ulkus peptic.
 Perforasi oleh malignasi intra abdomen atau limfoma.
 Benda asing (misalnya jarum pentul) dapat menyebabkan perforasi esophagus,
 gaster, atau usus, dengan infeksi antra abdomen, peritonitis, dan sepsis.

b. Perforasi Trauma (Tajam atau Tumpul), misalnya :

 Trauma iatrogenik setelah pemasangan, pipa nasogastric saat endoskopi.


 Luka penetrasi ke dada bagian bawah atau abdomen (misalnya tusukan pisau)
 Trauma tumpul pada gester : trauma seperti ini lebih umum pada anak dari pada
dewasa

D. Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala perforasi gaster adalah :

a. Kesakitan hebat pada perut dan kram diperut.


b. Nyeri di daerah epigastrium.
c. Hipertermi
d. Takikardi
e. Hipotensi
f. Biasanya tampak letargik karna syok toksik.

E. Anatomi Gaster
Lambung terletak oblik dari kiri ke kanan menyilang di abdomen atas tepat di
bawah diafragma. Dalam keadaan kosong lambung menyerupai tabung bentuk J, dan bila
penuh, berbentuk seperti buah pir yang besar. Kapasitas normal lambung adalah 1 sampai
2 liter. Secara anatomis lambung terbagi atas fundus, korpus, dan antrum-pilorikum atau
pilorus. Sebelah kanan atas lambung terdapat cekungan kurvatura minor, dan bagian kiri
bawah lambung terdapat kurvatura mayor. Spingter pada kedua ujung lambung mengatur
pengeluaran dan pemasukan yang terjadi. Spingter kardia atau spingter esofagus bawah,
mengalirkan makanan masuk ke dalam lambung dan mencegah refluks isi lambung
memasuki esophagus kembali. Daerah lambung tempat pembukaan spingter kardia
dikenal dengan nama daerah kardia. Di saat spingter pilorikum terminal berelaksasi,
makanan masuk ke dalam duodenum, dan ketika berkontraksi spingter ini akan mencegah
terjadinya aliran balik isi usus ke dalam lambung (Haile T debas, R Sjamsuhidajat).
Spingter pilorus memiliki arti klinis yang penting karena dapat mengalami stenosis
(penyempitan pilorus yang menyumbat) sebagai penyulit penyakit ulkus peptikum
(Sjamsuhidajat. 2004). Lambung tersusun atas empat lapisan. Tunika serosa atau lapisan
luar merupakan bagian dari peritonium viseralis. Dua lapisan peritonium viseralis
menyatu pada kurvatura minor lambung dan duodenum kemudian terus memanjang ke
hati, membentuk omentum minus. Lipatan peritonium yang keluar dari satu organ
menuju ke organ lain disebut sebagai ligamentum. Jadi omentum minus (disebut juga
ligamentum hepatogastrikum atau hepatoduodenalis) menyokong lambung sepanjang
kurvatura minor sampai ke hati. Pada kurvatura mayor, peritonium terus ke bawah
membentuk omentum majus, yang menutupi usus halus dari depan seperti sebuah apron
besar. Sakus omentum minus adalah tempat yang sering terjadi penimbunan cairan
(pseudokista pankreatikum) akibat penyulit pankreatitis akut. Tidak seperti daerah
saluran cerna lain, bagian muskularis tersusun atas tiga lapis dan bukan dua lapis otot
polos: lapisan longitudinal di bagian luar, lapisan sirkular di tengah, dan lapisan oblik di
bagian dalam. Susunan serabut otot yang unik ini memungkinkan berbagai macam
kombinasi kontraksi yang diperlukan untuk memecah makanan menjadi partikel - partikel
yang kecil, mengaduk dan mencampur makanan tersebut dengan cairan lambung, dan
mendorongnya ke arah duodenum( zollinger’s, Mainggot’s, R sjamsuhidajat)

F. Patofisologi
Dalam keadaan normal, lambung relatif bersih dari bakteri dan mikroorganisme
lain karena kadar asam intraluminalnya yang tinggi. Kebanyakan orang yang mengalami
trauma abdominal memiliki fungsi gaster normal dan tidak berada dalam resiko
kontaminasi bakteri setelah perforasi gaster. Namun, mereka yang sebelumnya sudah
memiliki masalah gaster beresiko terhadap kontaminasi peritoneal dengan perforasi
gaster. Kebocoran cairan asam lambung ke rongga peritoneal sering berakibat peritonitis
kimia yang dalam. Jika kebocoran tidak ditutup dan partikel makanan mencapai rongga
peritoneal, peritonitis kimia bertahap menjadi peritonitis bakterial. Pasien mungkin bebas
gejala untuk beberapa jam antara peritonitis kimia awal sampai peritonitis bacterial
kemudian. Adanya bakteri di rongga peritoneal merangsang influks sel-sel inflamasi akut
(Sjamsuhidajat. 2004). Omentum dan organ dalam cenderung untuk melokalisasi tempat
inflamasi, membentuk flegmon (ini biasanya terjadi pada perforasi usus besar). Hipoksia
yang diakibatkan di area memfasilitasi pertumbuhan bakteri anaerob dan menyebabkan
pelemahan aktivitas bakterisid dari granulosit, yang mengarah pada peningkatan aktivitas
fagosit granulosit, degradasi sel, hipertonisitas cairan membentuk abses, efek osmotik,
mengalirnya lebih (Sjamsuhidajat. 2004).

G. Penatalaksanaan
Penderita yang lambungnya mengalami perforasi harus diperbaiki keadaan
umumnya sebelum operasi. Pemberian cairan dan koreksi elektrolit, pemasangan pipa
nasogastrik, dan pemberian antibiotik mutlak diberikan. Jika gejala dan tanda-tanda
peritonitis umum tidak ada, kebijakan nonoperatif mungkin digunakan dengan terapi
antibiotik langsung terhadap bakteri gram-negatif dan anaerob (Maulana, Aries. 2017).

H. Pemeriksaan diagnostik / Penunjang


Sejalan dengan penemuan klinis, metode tambahan yang dapat dilakukan adalah:
a. Foto polos abdomen pada posisi berdiri.
b. Ultrasonografi
Ultrasonografi adalah metode awal untuk kebanyakan kondisi akut abdomen.
Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi cairan bebas dengan berbagai densitas,
yang pada kasus ini adalah sangat tidak homogen karena terdapat kandungan
lambung.
c. CT-scan
CT scan abdomen adalah metode yang jauh lebih sensitif untuk mendeteksi udara
setelah perforasi, bahkan jika udara tampak seperti gelembung dan saat pada foto
rontgen murni dinyatakan negatif. Oleh karena itu, CT scan sangat efisien untuk
deteksi dini perforasi gaster

I. Sepsis dan Early Goal-Directed Therapy (EGDT)


Secara definisi sepsis dibagi menjadi beberapa kondisi yaitu bakterimia atau
fungimia, infeksi, SIRS, sepsis, sepsis berat, syok sepsis, dan MODS (Birken dan Lena
2014). Sepsis berat adalah sepsis yang berkaitan dengan disfungsi organ, sedangkan syok
sepsis adalah sepsis dengan hipotensi berlanjut karena perfusi abnormal (Abdullah et al.
2015). Suatu penelitian tentang mikrobiologis menyebutkan bahwa sepsis dapat terjadi di
saluran pernapasan (21-68%), rongga intra abdominal (14-22%), dan saluran urin (14-
18%) (Gantner dan Mason 2015). Sepsis intra-abdominal adalah situasi yang paling
menantang dalam pembedahan. Hal ini biasanya muncul sebagai peritonitis. Perforasi
gastrointestinal disertai kebocoran isi makanan ke dalam kavitas peritoneum merupakan
kegawatdaruratan bedah yang dapat mengancam nyawa. Dilaporkan bahwa angka
mortalitas dalam 30 hari meningkat 12 kali lipat setelah pembedahan abdomen darurat di
Inggris, berkisar antara 3,6% dan 41,7%. Mortalitas yang rendah diperoleh apabila
pembedahan dilakukan oleh para ahli, bersifat multi- disiplin dan penderita mendapat
prioritas untuk perawatan di ICU setelah pembedahan. Faktor ahli bedah yang penting
adalah dalam pengambilan keputusan penanganan pembedahan untuk kasus akut
abdomen. Faktor penderita juga mempunyai nilai penting dimana kebanyakan penderita
berusia lebih dari 65 tahun dan memiliki ko-morbiditas penyakit yang berat dan
kompleks. Variasi inter-individu pola pelepasan mediator dan respon organ akhir
memainkan peran penting dalam menentukan respon fisiologis terhadap sepsis. Kunci
penting lain yang menentukan hasil akhir antara lain tingkat keparahan infeksi inisial,
waktu dimulainya terapi dan adekuasi penanganan, status generalis penderita serta
kemampuan penderita dalam menjalani proses ini (Weledji dan Cnicom, 2012).
J. Periode Praoperatif
Pengkajian praoperasi meliputi riwayat kesehatan/medis, riwayat psikososial,
pemeriksaan fisik, pengkajian kognitif, dan uji diagnostik. Bila pembedahan harus segera
dilakukan karena suatu cedera/trauma (seperti luka tembak, luka tusuk, kecelakaan serius,
atau jatuh yang parah), pengkajian praoperasi harus menyertakan perincian dari cedera
setepat mungkin. Pasien yang mengalami cedera berat biasanya dibawa ke ruang operasi
dari unit gawat darurat. Staf UGD memberikan informasi detail saat pemindahan.

K. Periode Intraoperatif
Tindakan keperawatan selama fase intra operasi berfokus pada kondisi emosional
dan juga faktor fisik, seperti keamanan, posisi tubuh, menjaga asepsis, dan mengontrol
kondisi ruang bedah. Pengkajian praoperasi membantu perawat merencanakan intervensi
selama fase ini. Perawat tetap bertindak sebagai penjaga pasien, mengantisipasi
komplikasi yang mungkin terjadi. Bila dokter bedah fokus melakukan tindakan bedah,
tim anestesi fokus pada pernapasan dan mempertahankan stabilitas fisiologis, perawat
bertanggung jawab dengan semua aktivitas lain yang berlangsung diruang operasi.

 Diagnosa Intraoperasi
Diagnosa yang sering muncul pada intra operasi adalah:
1. Risiko perdarahan berhubungan dengan tindakan pembedahan
2. Risiko hipovolemia dibuktikan dengan kehilangan cairan aktif
3. Risiko hipotermia berhubungan dengan suhu lingkungan rendah (SDKI, 2018)

L. Periode Pasca operatif


Periode pascaoperasi adalah periode ketiga sekaligus terakhir dari periode
perioperatif. Tindakan keperawatan tetap berperan penting untuk mengembalikan ke
fungsi optimalnya. Periode pascaoperasi dibagi menjadi tiga fase :
a. Periode awal setelah anestesi selesai. Pasien dimonitor ketat oleh perawat
pascaanestesi.
b. Waktu dari pemindahan dari post-anesthesia care unit (PACU) sampai hari pertama
atau kedua setelah operasi.
c. Fase pascaoperasi, waktu penyembuhan, yang berlangsung selama mingguan,
bulanan, atau bahkan tahunan setelah operasi.

Setelah pasien berada pada posisi yang aman dan telah dikatakan stabil, perawat
menerima laporan lisan dan detail tentang operasi dari tim pembedahan dengan
memperhatikan hal berikut :
a. Catatan
b. anestesi tentang obat intravena dan darah yang didapat selama pembedahan.
c. Komplikasi yang tidak dapat diatasi.
d. Temuan praoperasi yang penting.
e. Adanya selang atau drainase dan jenis penutupan luka.
f. Durasi pembedahan

 Diagnosa Pascaoperasi
Diagnosa yan gsering muncul pada post operasi:
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencidera fisik
2. Risiko hipotermi perioperatif berhubungan dengan terpapar suhu lingkungan rendah

Anda mungkin juga menyukai