Anda di halaman 1dari 30

Perbandingan PP 27 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan

Barang Milik Negara/Daerah dengan PP 6 Tahun 2006


dan PP 38 Tahun 2008

Oleh:
Amela Erliana Crhistine (9D Reguler | 05)
134060018014

Dikerjakan untuk memenuhi Ujian Tengah Semester


Mata Kuliah Seminar Manajemen Kekayaan Negara

Sekolah Tinggi Akuntansi Negara


DAFTAR ISI
Pendahuluan........................................................................................................................................... 1
Latar Belakang Penerbitan PP Nomor 27 Tahun 2014 .......................................................................... 1
Perbedaan PP Nomor 27 Tahun 2014 dengan PP Nomor 6 Tahun 2006 dan PP Nomor 38 Tahun
2008........................................................................................................................................................ 2
MATRIKS PERBEDAAN NOMOR 27 TAHUN 2014 DENGAN PP NOMOR 6 TAHUN 2006 DAN
PP NOMOR 38 TAHUN 2008 ........................................................................................................... 2
ANALISIS PERBEDAAN PP NOMOR 27 TAHUN 2014 DENGAN PP NOMOR 6 TAHUN 2006
DAN PP NOMOR 38 TAHUN 2008 .................................................................................................10
A. Perubahan-Perubahan Pada Definisi Istilah-Istilah Dalam Pengelolaan BMN/D (Pasal 1)
10
B. Perubahan Pada Ruang Lingkup Pengelolaan BMN/D (pasal 3) ...................................... 11
C. Perubahan Atas Wewenang dan Tanggung Jawab Pejabat Pengelolaan BMN/D ............ 12
D. Perubahan Pada Ketentuan Perencanaan Kebutuhan dan Penganggaran ....................... 14
E. Perubahan Pada Ketentuan Pengadaan BMN/D ...............................................................16
F. Perubahan Pada Ketentuan Penggunaan BMN/D .............................................................16
G. Perubahan Pada Ketentuan Pemanfaatan BMN/D ...........................................................19
H. Perubahan Pada Ketentuan Pengamanan dan Pemeliharaan BMN/D ............................ 23
I. Perubahan Pada Ketentuan Penilaian BMN/D ................................................................. 24
J. Perubahan Pada Ketentuan Pemindahtanganan BMN/D ................................................ 24
K. Perubahan Pada Ketentuan Pemusnahan BMN/D ........................................................... 25
L. Perubahan Pada Ketentuan Penghapusan BMN/D .......................................................... 26
M. Perubahan Pada Ketentuan Penatausahaan BMN/D ....................................................... 26
N. Perubahan Pada Ketentuan Pembinaan, Pengawasan, dan Pengendalian...................... 26
O. Ketentuan Mengenai Pengelolaan BMN oleh Badan Layanan Umum ............................ 27
P. Ketentuan Mengenai BMN/D Berupa Rumah Negara ..................................................... 27
Q. Ketentuan Mengenai Ganti Rugi dan Sanksi .................................................................... 27
R. Ketentuan Lain-Lain, Peralihan dan Penutup .................................................................. 28
PENDAHULUAN
Sebagaimana tertuang dalam pasal 1 Undang- undang Nomor 17 Tahun 2003, keuangan
negara tidak hanya mencakup hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang,
tetapi juga segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan
milik negara sehubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Berdasarkan
pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa Barang Milik Negara merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari Keuangan Negara, maka diperlukan dasar hukum yang mengatur
mengenai pengelolaan barang milik negara.

Perlu waktu tiga tahun untuk merumuskan dan mengesahkan kebijakan mengenai
pengelolaan barang milik negara ke dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006. PP
Nomor 6 Tahun 2006 mengatur pengelolaan BMN/D yang meliputi proses perencanaan,
penganggaran, pengadaan, pemeliharaan, pengendalian, dan pertanggungjawaban.
Dengan terbitnya peraturan ini, diharapkan pengelolaan aset negara dapat dilakukan
secara professional dan modern dengan mengedepankan prinsip good governance
sehingga mampu meningkatkan kepercayaan pengelolaan keuangan negara dari
masyarakat. Akan tetapi, tata cara pengelolaan BMN/D yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah tersebut belum sepenuhnya dapat secara efektif dilaksanakan oleh
kementerian/lembaga dan pemerintah daerah. Oleh karena itu, Kementerian Keuangan
c.q. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara menerbitkan PP Nomor 27 tahun 2014 sebagai
pengganti PP Nomor 6 tahun 2006 yang pernah direvisi sebelumnya melalui PP Nomor 38
tahun 2008.

LATAR BELAKANG PENERBITAN PP NOMOR 27 TAHUN


2014
PP Nomor 6 Tahun 2006 maupun PP Nomor 38 Tahun 2008 masih memiliki banyak
kekurangan, di antaranya adalah belum adanya aturan khusus mengenai pengelolaan
BMN/D yang meliputi sewa BMN/D, kerja sama pemanfaatan, maupun BMN yang terletak
di luar negeri dalam PP tersebut. Selain itu, terdapat multitafsir atas aturan dalam PP
1

Nomor 6 Tahun 2006, terutama dalam hal yang terkait Badan Layanan Umum dan
Penerimaan Negara Bukan Pajak. Dapat dikatakan bahwa PP Nomor 6 Tahun 2006
sebagaimana yang telah direvisi dengan PP Nomor 38 Tahun 2008 tidak sesuai dengan
dinamika pengelolaan BMN/D sekarang. Oleh karena itu diperlukan penyempurnaan atas
peraturan tentang pengelolaan BMN/D. Hal ini juga didukung oleh temuan pemeriksaan
BPK serta adanya kasus-kasus kecurangan terkait pengelolaan BMN/D.

Berdasarkan latar belakang tersebut, pemerintah menerbitkan PP Nomor 27 Tahun 2014


untuk menggantikan PP Nomor 6 Tahun 2006 dan PP Nomor 38 Tahun 2008. Pada PP
Nomor 27 Tahun 2014, pemerintah melakukan beberapa penyempurnaan atas peraturan
sebelumnya. Pokok-pokok penyempurnaan tersebut adalah:

1. Penyempurnaan Siklus Pengelolaan BMN/D


2. Harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan lain
3. Penguatan dasar hukum pengaturan
4. Penyederhanaan birokrasi
5. Pengembangan manajemen aset negara
6. Penyelesaian kasus yang telah terlanjur terjadi

Dengan perubahan tersebut, diharapkan PP Nomor 27 Tahun 2014 mampu mengakomodir


dinamika pengelolaan BMN/D; meminimalisir multitafsir atas pengelolaan BMN/D;
mempertegas hak, kewajiban, tanggung jawab, & kewenangan Pengguna dan Pengelola;
harmonisasi dengan peraturan terkait

PERBEDAAN PP NOMOR 27 TAHUN 2014 DENGAN PP


NOMOR 6 TAHUN 2006 DAN PP NOMOR 38 TAHUN 2008
MATRIKS PERBEDAAN NOMOR 27 TAHUN 2014 DENGAN PP NOMOR 6 TAHUN
2006 DAN PP NOMOR 38 TAHUN 2008

PP Nomor 6 Tahun 2006 sebagaimana dirubah dalam PP Nomor 38 Tahun 2008 terdiri dari
86 pasal yang dikelompokkan menjadi 16 (enam belas) Bab, sementara PP Nomor 27 Tahun
2014 terdiri dari 111 pasal yang dikelompokkan menjadi 19 (sembilan belas) Bab.
2
PP Nomor 27 Tahun 2014 mengatur secara khusus dan lebih rinci mengenai Pemusnahan, pengelolaan BMN oleh Badan
Layanan Umum, serta BMN berupa Rumah Negara dalam bab tersendiri. Selain itu juga terdapat beberapa pasal yang
mengalami perbedaan karena adanya penyempurnaan aturan pada PP Nomor 27 Tahun 2014. Berikut ini matriks
perbandingan sistematika PP Nomor 27 Tahun 2014 dengan PP Nomor 6 Tahun 2006 sebagaimana dirubah dalam PP Nomor
38 Tahun 2008:
PP Nomor 27 Tahun 2014 PP Nomor 6 Tahun 2006 - PP Nomor
38 Tahun 2008
Keterangan
Jumlah Jumlah
BAB/Bagian BAB/Bagian
Pasal Pasal
I. KETENTUAN UMUM 3 I. KETENTUAN UMUM 3  Terdapat penyempurnaan pada beberapa
definisi
 Terdapat beberapa tambahan definisi
terkait BMN/D
 Terdapat perbedaan pada ruang lingkup
BMN/D (Pasal 3 ayat (2))
II. PEJABAT PENGELOLAAN II. PEJABAT PENGELOLAAN
BARANG MILIK BARANG MILIK
NEGARA/DAERAH NEGARA/DAERAH
Bagian 1: Pengelola Barang 2 Bagian 1: Pengelola Barang 2  Terdapat perubahan atas wewenang dan
tanggung jawab pengelola barang
 Terdapat penyederhanaan birokrasi di

3
mana pengelola barang diizinkan
mendelegasikan wewenang kepada
pengguna barang/kuasa pengguna barang
Bagian 2: Pengguna 3 Bagian 2: Pengguna 3 Terdapat perubahan wewenang dan tanggung
Barang/Kuasa Pengguna Barang/Kuasa Pengguna jawab Pengguna Barang/Kuasa Pengguna
Barang Barang Barang
III. PERENCANAAN 3 III. PERENCANAAN 2  Terdapat perluasan ruang lingkup
KEBUTUHAN DAN KEBUTUHAN DAN perencanaan
PENGANGGARAN PENGANGGARAN  Sinkroninasi dengan mekanisme
perencanaan dan penganggaran
 Penyederhanaan lingkup pengaturan dan
birokrasi
IV. PENGADAAN 2 IV. PENGADAAN 2 Tidak ada perbedaan berarti
V. PENGGUNAAN 12 V. PENGGUNAAN 6  Terdapat penyederhanaan lingkup
penetapan status penggunaan
 Terdapat penyederhanaan birokrasi
terkait dasar penetapan status
penggunaan
 Terdapat eskalasi aturan PMK ke PP
mengenai pengalihan status penggunaan
dan penggunaan sementara
 Terdapat pengaturan mengenai BMN/D
yang tidak digunakan (BMN Idle)

4
VI. PEMANFAATAN
Bagian 1: Kriteria 1 Bagian 1: Kriteria 1 Terdapat diversifikasi pelaksana pemanfaatan
Pemanfaatan Pemanfaatan BMN/D
Bagian 2: Bentuk 1 Bagian 2: Bentuk 1 Terdapat terdapat penambahan mekanisme
Pemanfaatan Pemanfaatan pemanfaatan, yaitu Kerja Sama Penyediaan
Infrastruktur
Bagian 3: Sewa 2 Bagian 3: Sewa 2  Penambahan aturan mengenai bentuk
sewa untuk infrastruktur
 Terdapat penambahan aturan mengenai
penyetoran uang sewa ke kas negara
Bagian 4: Pinjam Pakai 1 Bagian 4: Pinjam Pakai 1 Terdapat perubahan jangka waktu pinjam
pakai dari 2 tahun menjadi 5 tahun dan hanya
bisa diperpanjang 1 kali
Bagian 5: Kerja Sama 3 Bagian 5: Kerja Sama 3  Terdapat perubahan aturan dalam hal
Pemanfaatan Pemanfaatan penetapan mitra KSP
 Terdapat tambahan aturan mengenai
jangka waktu pembagian kontribusi dan
larangan bagi mitra KSP
 Terdapat perubahan dalam hal aturan
tentang biaya persiapan dan pelaksanaan
KSP

5
 Terdapat tambahan mengenai kerja sama
pemanfaatan berupa penyediaan
infrastruktur
Bagian 6: Bangun Guna 4 Bagian 6: Bangun Guna 4  Terdapat perubahan aturan dalam hal
Serah atau Bangun Serah Serah atau Bangun Serah penetapan mitra BSG/BGS
Guna Guna  Terdapat perubahan dalam hal aturan
tentang biaya persiapan dan pelaksanaan
BSG/BGS
 Ditentukan persentase minimal hasil
BSG/BGS yang harus langsung digunakan
pemerintah
 Terdapat penegasan bahwa hasil Bangun
Serah Guna yang diserahkan kepada
Pengelola Barang ditetapkan sebagai
BMN/D
Bagian 7: Kerja Sama 2 - - PP 6 tahun 2006 dan PP 38 tahun 2008 tidak
Penyediaan Infrastruktur mengatur khusus hal ini
Bagian 8: Tender 2 - - PP 6 tahun 2006 dan PP 38 tahun 2008 tidak
mengatur khusus hal ini
VII. PENGAMANAN DAN VII. PENGAMANAN DAN
PEMELIHARAAN PEMELIHARAAN

6
Bagian 1: Pengamanan 4 Bagian 1: Pengamanan 3 Terdapat pasal tambahan yang menjadi dasar
hukum mengenai implementasi asuransi
BMN/D
Bagian 2: Pemeliharaan 2 Bagian 2: Pemeliharaan 2 Terdapat ketentuan tambahan mengenai
biaya pemeliharaan BMN/D yang
pemanfaatannya dilakukan oleh Pihak Lain
VIII. PENILAIAN 6 VIII. PENILAIAN 4 Terdapat ketentuan mengenai penilaian
kembali dalam ‘kondisi tertentu’
IX. PEMINDAHTANGANAN X. PEMINDAHTANGANAN Pada PP 6 tahun 2006 Bab Pemindahtanganan
diatur setelah Bab Penghapusan
Bagian 1: Umum 1 Tidak ada perubahan berarti
Bagian 2: Bentuk-Bentuk
Bagian 2: Persetujuan 5 6
dan Persetujuan
Pemindahtanganan
Bagian 3: Penjualan 4 Bagian 2: Penjualan 3  Terdapat penyederhanaan birokrasi dalam
hal subjek pelaksana penjualan BMN/D
 Pemberian dasar perhitungan nilai limit
penjualan BMN secara lelang
Bagian 4: Tukar Menukar 4 Bagian 3: Tukar Menukar 4 Diperbolehkan tukar menukar dengan
pemerintah negara lain (BMN) dan
pemerintah daerah lain (BMD)
Bagian 5: Hibah 4 Bagian 4: Hibah 4 Terdapat perluasan pertimbangan hibah

7
Bagian 6: Penyertaan Modal 5 Bagian 5: Penyertaan Modal 5 Tidak ada perubahan berarti
Pemerintah Pusat/Daerah Pemerintah Pusat/Daerah
X. PEMUSNAHAN 4 - - Pada PP Nomor 6 Tahun 2006, ketentuan
mengenai pemusnahan diuraikan secara
sekilas pada Bab Penghapusan
XI. PENGHAPUSAN 4 IX. PENGHAPUSAN 4 Terdapat penyederhanaan birokrasi
XII. PENATAUSAHAAN XI. PENATAUSAHAAN
Bagian 1: Pembukuan 1 Bagian 1: Pembukuan 1 Terdapat beberapa perubahan terkait
ketentuan pembukuan BMN/D
Bagian 2: Inventarisasi 2 Bagian 2: Inventarisasi 2 Tidak ada perubahan berarti
Bagian 3: Pelaporan 3 Bagian 3: Pelaporan 3 Tidak ada perubahan berarti
XIII. PEMBINAAN, XII. PEMBINAAN,
PENGAWASAN, DAN PENGAWASAN, DAN
PENGENDALIAN PENGENDALIAN
Bagian 1: Pembinaan 1 Bagian 1: Pembinaan 1 Tidak ada perubahan berarti
Bagian 2: Pengawasan dan 5 Bagian 2: Pengawasan dan 3 Terdapat tambahan ketentuan penetapan
Pengendalian Pengendalian indikator kinerja di bidang pengelolaan
Barang Milik Negara pada unit yang
membidangi pengelolaan Barang Milik Negara
oleh Pengguna Barang.

8
XIV. PENGELOLAAN BMN/D 2 - - Tidak diatur secara spesifik dalam PP Nomor
OLEH BADAN LAYANAN 6 Tahun 2006
UMUM
XV. BMN/D BERUPA RUMAH 1 - - Tidak diatur secara spesifik dalam PP Nomor
NEGARA 6 Tahun 2006
XVI. GANTI RUGI DAN 1 XIV. GANTI RUGI DAN 1 Pada PP 6 Tahun 2006 bab ganti rugi dan saksi
SANKSI SANKSI terletak setelah bab ketentuan lain-lain
XVII. KETENTUAN LAIN- 6 XIII. KETENTUAN LAIN-LAIN 4
LAIN
Perbedaan terjadi karena menyesuaikan isi
XVIII. KETENTUAN 3 XV. KETENTUAN 1
peraturan dengan peraturan sebelumnya
PERALIHAN PERALIHAN
XIX. KETENTUAN PENUTUP 3 XVI. KETENTUAN PENUTUP 3

9
ANALISIS PERBEDAAN PP NOMOR 27 TAHUN 2014 DENGAN PP NOMOR 6
TAHUN 2006 DAN PP NOMOR 38 TAHUN 2008

Dari matrik di atas, terlihat bahwa perubahan pada peraturan pengelolaan BMN/D
dilakukan untuk menyederhanakan rantai birokrasi sehingga tercapai efisiensi pengelolaan
BMN/D. Selain itu, PP Nomor 27 Tahun 2014 juga menambahkan beberapa ketentuan yang
sebelumnya tak diatur dalam PP Nomor 6 Tahun 2006 maupun PP 38 Tahun 2008.
Perubahan juga dilakukan untuk menghindari adanya multitafsir ataupun
ketidaksinkronan dengan aturan-aturan lain.

Terdapat beberapa perubahan yang menurut menulis menarik untuk dikaji lebih dalam.
Berikut ini hasil analisis penulis atas beberapa perubahan yang tertuang dalam PP Nomor
27 Tahun 2014:

A. Perubahan-Perubahan Pada Definisi Istilah-Istilah Dalam Pengelolaan BMN/D

Analisis

1. Terdapat tambahan penjelasan mengenai definisi Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur.


Hal ini memang selayaknya dilakukan mengingat pada PP 27 Tahun 2014 ditambahkan
satu mekanisme pemanfaatan BMN/D yaitu Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur
sehingga diperlukan definisi yang jelas untuk menghindari perbedaan persepsi.
2. Terdapat tambahan penjelasan menganai definisi Pemusnahan. Hal ini memang
selayaknya dilakukan mengingat pada PP 27 Tahun 2014 ditambahkan satu tahapan
dalam siklus pengelolaan BMN/D sehingga diperlukan definisi yang jelas untuk
menghindari perbedaan persepsi.
3. Terdapat tambahan penjelasan mengenai definisi Daftar Barang Pengguna dan Daftar
Barang Kuasa Pengguna. Sebenarnya perubahan ini tidak terlalu prinsipil dan bersifat
sebagai informasi tambahan. Akan tetapi, dengan mencantumkan definisi kedua istilah
tersebut dapat mencegah kebingungan bagi pembaca mengingat penggunaan istilah
Daftar Barang Pengguna dan Daftar Barang Kuasa Pengguna banyak digunakan dalam
10

PP 27 Tahun 2014 ini.


4. Terdapat perubahan pada beberapa definisi, yaitu pada istilah Penilai, Penilaian,
Pemanfaatan, dan Pemindahtanganan. Perubahan ini menyesuaikan dengan dinamika
pengelolaan BMN/D dan menghindari ketidasinkronan dengan peraturan lain. Oleh
karena itu, perubahan tersebut wajar dilakukan.
5. Definisi Kementerian Negara/Lembaga dipecah menjadi satu definisi tersendiri untuk
Kementerian Negara dan definisi yang lain untuk Lembaga. Hal ini wajar dilakukan
mengingat definisi Kementerian Negara/Lembaga pada PP 6 Tahun 2006 tidak jelas dan
dapat menimbulkan multitafsir.

Kesimpulan dan Saran

Pada PP 27 Tahun 2014 Bab VI mengenai Pemanfaatan, terdapat penjelasan tersendiri


mengenai tender pada Bagian 8. Selain itu penggunaan istilah tender juga cukup sering
digunakan dalam PP 27 Tahun 2014. Akan tetapi, tidak dijelaskan pengertian istilah tender
dalam Pasal 1 maupun Pasal lainnya. Kesimpulan dan Saran penulis, sebaiknya
ditambahkan definisi tender dalam perubahan atas PP 27 Tahun 2014 nantinya.

B. Perubahan Pada Ruang Lingkup Pengelolaan BMN/D (pasal 3)

Analisis

PP 6/2006 jo. PP 38/2008 PP 27/2014

Ruang lingkup pengelolaan BMN meliputi: Ruang lingkup pengelolaan BMN meliputi:
a.Perencanaan Kebutuhan dan a.Perencanaan Kebutuhan dan
Penganggaran penganggaran;
b. Pengadaan b. pengadaan;
c. Penggunaan c. Penggunaan;
d. Pemanfaatan d. Pemanfaatan;
e. Pengamanan dan Pemeliharaan e. pengamanan dan pemeliharaan;
f. Penilaian f. Penilaian;
g. Penghapusan g. Pemindahtanganan;
h. Pemindahtanganan h. Pemusnahan;
i. Penatausahaan i. Penghapusan;
j. Pembinaan, Pengawasan dan Pengendalian j. Penatausahaan; dan
k.Pembinaan, pengawasan dan
pengendalian.
11
1. Pada PP 6 Tahun 2006, ketentuan mengenai pemusnahan BMN/D diatur dalam Bab
mengenai Penghapusan. Hal ini tidak relevan karena penghapusan tidak hanya terjadi
akibat pemusnahan, tetapi juga dapat disebabkan oleh adanya pemindahtanganan.
Oleh karena itu memang seharusnya ketentuan mengenai pemusnahan dijadikan bab
tersendiri dalam PP 27 Tahun 2014 sebagaimana ketentuan mengenai
pemindahtanganan.
2. Pada PP 6 Tahun 2006, bab mengenai Pemindahtanganan terletak setelah Bab
Penghapusan, sementara dalam PP 27 Tahun 2014 bab mengenai Pemindahtanganan
dan Pemusnahan terletak setelah Bab Penghapusan. Perubahan ini memang seharusnya
dilakukan mengingat proses penghapusan idealnya terjadi setelah adanya pemusnahan
atau pemindahtanganan.

Kesimpulan dan Saran

Penulsi setuju dengan perubahan tersebut.

C. Perubahan Atas Wewenang dan Tanggung Jawab Pejabat Pengelolaan BMN/D

Analisis

1. Terdapat perubahan wewenang pengelola BMN yang semula memberi keputusan


menjadi memberi persetujuan atas usulan pemindahtanganan; pemanfaatan; serta
pemusnahan dan penghapusan BMN. Selain untuk menyederhanakan birokrasi, hal ini
juga memang seharusnya dilakukan mengingat pengguna/kuasa pengguna barang
lebih mengetahui mengenai kondisi BMN yang berada di dalam wewenangnya. Oleh
karena itu, peran Pengelola Barang, dalam hal ini Menteri Keuangan, memang
sebaiknya sebatas memberi persetujuan bukan memberi keputusan.
2. PP 27 Tahun 2014 membolehkan Pengelola Barang untuk mendelegasikan kewenangan
dan tanggung jawab tertentu kepada Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang. Jenis
kewenangan dan tanggung jawab yang dapat didelegasikan dan tata cara
pendelegasiannya diatur lebih lanjut dalam PMK atau peraturan perundang-undangan
12

mengenai BMN. Ketentuan ini menguatkan dasar hukum mengenai pendelegasian


wewenang dan tanggung jawab yang dimiliki Pengelola Barang. Menurut penulis, hal
ini merupakan salah satu langkah untuk menyederhanakan birokrasi dan mencapai
efisiensi pengelolaan BMN/D.
3. Terdapat tambahan kewenangan dan tanggung jawab Gubernur/Bupati/Walikota
selaku pemegang kekuasaan pengelolaan BMD, yaitu Menetapkan pejabat yang
mengurus dan menyimpan BMD. Kewenangan ini semula dimiliki Sekretaris Daerah
sebagai pengelola BMD. Menurut penulis, pergeseran kewenangan ini tidak terlalu
signifikan dan hanya bersifat formal.
4. Terdapat tambahan kewenangan dan tanggung jawab Kepala Daerah, yaitu menyetujui
usul Pemanfaatan BMD dalam bentuk Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur. Perubahan
ini wajar dilakukan mengingat PP 27 Tahun 2014 juga mengatur mengenai KSPI.
5. Terdapat tambahan kewenangan dan tanggung jawab Pengguna BMN, yaitu
mengajukan usul Pemanfaatan BMN serta usul Pemusnahan dan Penghapusan BMN
kepada Pengelola Barang. Tidak lagi dibedakan antara tanah dan bangunan dengan
selain tanah dan bangunan untuk beberapa poin pasal sebagaimana pada PP 6 Tahun
2006. Perubahan ini menyempurnakan aturan mengenai wewenang dan tanggung
jawab Pengguna BMN. Selain itu dengan tidak dibedakannya BMN tanah bangunan
dengan selain tanah bangunan memberi keleluasaan pada pengguna barang dalam
mengelola BMN.
6. PP 27 Tahun 2014 membolehkan Pengguna Barang untuk mendelegasikan kewenangan
dan tanggung jawab tertentu kepada Kuasa Pengguna Barang. Jenis kewenangan dan
tanggung jawab yang dapat didelegasikan dan tata cara pendelegasiannya diatur
peraturan perundang-undangan mengenai BMN. Ketentuan ini menguatkan dasar
hukum mengenai pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang dimiliki
Pengguna Barang. Menurut penulis, hal ini merupakan salah satu langkah untuk
menyederhanakan birokrasi dan mencapai efisiensi pengelolaan BMN/D, tapi tentu saja
diperlukan peraturan turunan yang mengatur masalah ini secara lebih rinci.
13
Kesimpulan dan Saran

Pendelegasian kewenangan dan tanggung jawab Pengelola Barang kepada Pengguna


Barang/Kuasa Pengguna Barang memang seharusnya dilakukan demi efisiensi birokrasi.
Akan tetapi, masih diperlukan aturan pendukung yang mengatur secara lebih rinci
mekanisme pendelegasian wewenang tersebut. Perlu diperhatikan bahwa peraturan
tersebut harus jelas dan tidak multitafsir serta memberi batasan yang jelas mengenai
wewenang dan tanggung jawab mana yang boleh didelegasikan untuk mencegah adanya
kewenangan dan tanggung jawab yang terlalu besar atau terlalu kecil pada pejabat
pengelola BMN/D. Jangan sampai pendelegasian wewenang tersebut justru melemahkan
pengawasan dan pengendalian di bidang pengelolaan BMN/D.

D. Perubahan Pada Ketentuan Perencanaan Kebutuhan dan Penganggaran

Analisis

1. Dalam PP 27 Tahun 2014, Perencanaan Kebutuhan Barang Milik Negara/Daerah


disusun dengan memperhatikan kebutuhan pelaksanaan tugas dan fungsi
Kementerian/Lembaga/satuan kerja perangkat daerah serta ketersediaan Barang
Milik Negara/Daerah yang ada. Perubahan ini memang harus dilakukan untuk
mempertegas bahwa perencanaan kebutuhan dan penganggaran BMN/D haruslah
memperhatikan kebutuhan pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan
pemeritahan. Apabila perubahan ini tidak dibuat dan perencanaan disusun hanya
dengan memperhatikan ketersediaan sebagaimana diatur dalam PP 6 Tahun 2006 maka
dapat timbul multitafsir yang dapat memicu ketidakefektifan dan ketidakefisienan
pengelolaan BMN/D.
2. PP 27 Tahun 2014 merinci ruang lingkup perencanaan kebutuhan yaitu meliputi
perencanaan pengadaan, pemeliharaan, pemanfaatan, pemindahtanganan, dan
penghapusan BMN/D. Hal ini juga telah seharusnya dilakukan untuk mencegah
penafsiran perencanaan kebutuhan BMN/D hanya sebatas perencanaan pengadaan.
Ketentuan ini sesuai dengan prinsip manajemen aset, perencanaan aset harus
14

mencakup perencanaan atas seluruh siklus hidup aset.


3. Pasal 9 ayat (3) PP 27 Tahun 2014 menjelaskan bahwa Perencanaan Kebutuhan
sebagaimana merupakan salah satu dasar bagi Kementerian/Lembaga/satuan kerja
perangkat daerah dalam pengusulan penyediaan anggaran untuk kebutuhan baru (new
initiative) dan angka dasar (baseline) serta penyusunan rencana kerja dan anggaran.
Jika dibandingkan dengan PP 6 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa perencanaan
kebutuhan barang milik negara/daerah disusun dalam rencana kerja dan anggaran,
maka ketentuan dalam PP 27 Tahun 2014 lebih tepat. Perencanaan Kebutuhan BMN/D
memang seharusnya dilakukan sebelum proses perencanaan anggaran dan menjadi
salah satu dasar pengusulan penyediaan anggaran, bukan saat proses perencanaan
anggaran berlangsung.
4. Terdapat penegasan bahwa Penetapan standar kebutuhan oleh Gubernur/Bupati/
Walikota harus dilakukan berdasarkan pedoman yang ditetapkan Menteri Dalam
Negeri dan Standar harga harus ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Penegasan ini dilakukan untuk menyamakan persepsi bahwa
penetapan standar kebutuhan dan standar harga haruslah sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang ada.

Kesimpulan dan Saran

Perubahan sebagaimana yang telah disebutkan dalam poin 1, 2, dan 3 telah


menyempurnakan kekurangan yang ada pada PP 6 Tahun 2006. Untuk ke depannya
diperlukan peningkatan dalam hal pembinaan dan pengawasan agar pelaksanaan
perencanaan kebutuhan dan penganggaran sesuai dengan yang diharapkan.

Sementara itu untuk poin 4, perlu dipastikan bahwa pemendagri ataupun peraturan
perundang-undangan yang mengatur standar kebutuhan dan standar harga terus
disempurnakan agar sesuai dengan prinsip efisiensi dan ekonomis namun tetap mengacu
pada kondisi yang sebenarnya.
15
E. Perubahan Pada Ketentuan Pengadaan BMN/D

Analisis

Tidak ada perubahan berarti pada pada Bab Pengadaan BMN/D. Proses pengadaan
memanglah sangat panjang dan rumit sehingga perlu penjelasan lebih detail dalam
peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mekanisme pengadaan
BMN/D.

Kesimpulan dan Saran

Sampai saat ini peraturan mengenai pengadaan barang dan jasa masih dipanjang sangat
rumit dan memiliki beberapa celah. Penulis berharap ke depannya peraturan tentang
pengadaan barang dan jasa lebih disempurnakan.

F. Perubahan Pada Ketentuan Penggunaan BMN/D

Analisis

1. Pada PP 6 Tahun 2006, penetapan status penggunaan barang berlaku untuk seluruh
BMN/D. Hal ini kemudian disederhanakan di PP 27 Tahun 2014 di mana terdapat
pengecualian Penetapan Status Penggunaan yang tidak dilakukan terhadap:
a. BMN/D berupa: barang persediaan; konstruksi dalam pengerjaan; atau barang
yang dari awal pengadaannya direncanakan untuk dihibahkan.
b. BMN yang berasal dari dana dekonsentrasi dan dana penunjang tugas
pembantuan, yang direncanakan untuk diserahkan;
c. BMN lainnya yang ditetapkan lebih lanjut oleh Pengelola Barang; atau
d. BMD lainnya yang ditetapkan lebih lanjut oleh Gubernur/Bupati/Walikota.

Hal ini bertujuan untuk menyederhanakan proses birokrasi. Seperti yang kita ketahui,
penggunaan barang persediaan sangatlah cepat sehingga apabilah harus melewati
proses penetapan terlebih dulu justru akan memperlambat proses penggunaan.
Sementara untuk barang dalam konstruksi dalam pengerjaan memang pada dasarnya
16

belum dapat digunakan sehingga tidak perlu penetapan. Sementara untuk BMN/D
yang dari awal direncanakan untuk dihibahkan atau diserahkan memang seharusnya
tidak boleh digunakan untuk kepentingan lain.

Perubahan ini memang terkesan menjelaskan apa yang sudah jelas. Tapi perli diingat,
bahwa terkadang dalam pelaksanaan pengelolaan BMN/D, pejabat pengelolaan
BMN/D dapat keliru menafsirkan maksud dari suatu peraturan. Oleh karena itu,
dengan penegasan atas jenis BMN/D yang tidak memerlukan penetapan penggunaan,
diharapkan kekeliruan itu tidak terjadi.

2. PP 27 Tahun 2014 menyederhanakan proses penetapan status penggunaan BMN/D


sebagai berikut:
a. Pengelola Barang dapat mendelegasikan penetapan status Penggunaan BMN
selain tanah/bangunan kepada Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang,
b. Gubernur/Bupati/Walikota dapat mendelegasikan penetapan status
Penggunaan atas Barang Milik Daerah selain tanah dan/atau bangunan dengan
kondisi tertentu kepada Pengelola Barang Milik Daerah
c. Dalam kondisi tertentu, Pengelola Barang dapat menetapkan status
Penggunaan Barang Milik Negara pada Pengguna Barang tanpa didahului
usulan dari Pengguna Barang

Penyederhanaan ini dapat memangkas rantai birokrasi yang panjang saat pengelola
barang menghadapi kondisi tertentu yang menuntut kesigapan. Sayangnya tidak
dijelaskan lebih lanjut mengenai ‘kondisi tertentu’ yang dimaksud dalam peraturan ini
sehingga masih multitafsir dan dapat memicu pelanggaran kepatuhan.

3. Terdapat penambahan ketentuan mengenai pengalihan BMN/D. Disebutkan dalam PP


27 Tahun 2014 bahwa BMN/D dapat dialihkan status penggunaannya dari Pengguna
Barang kepada Pengguna Barang lainnya untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi
berdasarkan persetujuan Pengelola Barang. Selain itu juga disebutkan bahwa BMN/D
yang telah ditetapkan status penggunaannya pada Pengguna Barang dapat digunakan
sementara oleh Pengguna Barang lainnya dalam jangka waktu tertentu tanpa harus
17
mengubah status Penggunaan BMN/D tersebut setelah terlebih dahulu mendapatkan
persetujuan Pengelola Barang/Gubernur/ Bupati/Walikota.
Perubahan ini sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
96/PMK.06/2007 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan,
Penghapusan, Dan Pemindah Tanganan Barang Milik Negara yang telah lebih dulu
terbit. Perubahan ini memang harus dilakukan agar terdapat kesesuaian antara PP
Pengelolaan BMN/D dengan PMK Nomor 96/PMK.06/2007. Memang tidak logis jika
PMK membolehkan pengalihan status penggunaan barang dan penggunaan sementara
oleh pengguna barang lain padahal ketentuan tersebut tidak disebutkan dalam PP yang
mendasarinya.
4. Terdapat pengecualian kewajiban penyerahan BMN/D berupa tanah atau bangunan
yang tidak digunakan apabila BMN/D tersebut telah direncanakan untuk digunakan
atau dimanfaatkan dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh Pengguna
Barang, untuk BMN, atau Gubernur/Bupati/Walikota, untuk BMD. Penulis setuju
dengan perubahan ini karena penyerahan barang yang telah direncanakan untuk
digunakan hanya akan buang-buang energi dan justru akan menghambat
penyelenggaraan tugas dan fungsi. Selain itu diharapkan perubahan ini dapat
mendorong optimalisasi utilisasi BMN/D.
5. Terdapat tambahan sanksi bagi pengguna barang yang tidak menyerahkan BMN yang
tidak digunakan, yaitu penundaan penyelesaian atas usulan Pemanfaatan,
Pemindahtanganan, atau Penghapusan BMN. Penulis setuju dengan hal ini karena
jika sanksi yang diberikan hanya berupa pembekuan dana pemeliharaan BMN berupa
tanah dan/atau bangunan tersebut maka kurang akan menimbulkan efek jera karena
pada dasarnya tanah dan/atau banguna tersebut memang telah tidak digunakan.
Sayangnya sanksi penundaan tersebut tidak berlaku dalam pengelolaan BMD.

Kesimpulan dan Saran

Penulis setuju dengan perubahan pada poin 1-5 tersebut di atas. Ke depannya diperlukan
18

peningkatan pengawasan dan pengendalian agar pelaksanaannya sesuai dengan aturan


yang berlaku. Khusus untuk pemberian sanksi terhadap pengguna barang yang tidak
menyerahkan BMN/D yang tidak digunakan, alangkah lebih baik jika sanksi penundaan
penyelesaian atas usulan Pemanfaatan, Pemindahtanganan, atau Penghapusan Barang
juga diterapkan dalam lingkup pengelolaan BMD.

G. Perubahan Pada Ketentuan Pemanfaatan BMN/D

Analisis

Bentuk Pemanfaatan

1. Terdapat bentuk pemanfaatan baru, yaitu: “Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur” yang
masa sewanya dapat lebih dari 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang. Hal ini telah
sesuai dengan dinamika pengelolaan BMN/D saat ini.

Sewa

2. Terdapat penambahan aturan mengenai jangka waktu penyewaan dan beKesimpulan


dan Saran sewa khususnya untuk sewa infrastuktur. Penambahan aturan ini sejalan
dengan dinamika pengelolaan BMN/D dan sesuai dengan Perpres 67/2005, 13/2010,
56/2011 dan 66/2013.
3. Terdapat batasan waktu penyetoran uang sewa yang harus dilakukan sekaligus secara
tunai paling lambat 2 (dua) hari kerja sebelum ditandatanganinya perjanjian sewa.
Ketentuan penyetoran uang sewa yang harus dilakukan sekaligus dapat dipahami
mengingat hal ini akan mempermudah proses pengawasan dan audit nantinya. Tapi
penulis merasa ketentuan penyetoran paling lambat 2 hari kerja sebelum
penandatanganan perjanjian dan harus dilakukan secara tunai kurang fleksibel karena
saat ini penyetoran PNBP ke kas negara dapat dilakukan secara elektronik serta untuk
memverifikasi masuk atau tidaknya setoran ke kas negara hanya butuh satu hari kerja.
Bahkan ke depannya, dengan penerapan SPAN dan MPN G2, proses verifikasi setoran
ke kas negara diharapkan dapat dilakukan secara real time.

Pinjam Pakai

4. Terdapat perubahan jangka waktu pinjam pakai dari 2 tahun menjadi 5 tahun dan hanya
19

bisa diperpanjang 1 kali. Dengan pembatasan tersebut, pemanfaatan BMN/D secara


pinjam pakai hanya bisa dilakukan maksimal selama 10 tahun. Menurut pandangan
penulis, pembatasan ini memang sebaiknya dilakukan karena jika pemerintah pusat
atau pemerintah daerah memanfaatkan BMN/D selama lebih dari 10 tahun itu artinya
perencanaan BMN/D di lingkup pemerintah pusat atau pemerintah daerah tersebut
kurang baik. Jika memang pemerintah pusat atau daerah tersebut membutuhkan
barang dalam jangka waktu lebih 10 tahu, pemerintah pusat atau daerah tersebut
sebaiknya melakukan proses pengadaan atau mekanisme pemanfaatan lainnya.

Kerja Sama Pemanfaatan

5. Batas minimal peserta tender, yang semula pada PP 6 tahun 2006 dinyatakan sekurang-
kurangnya lima peserta, dihilangkan. Penjelasan lebih lanjut terdapat pada bagian
mengenai Tender.
6. Terdapat penambahan aturan mengenai KSP dengan mekanisme penunjukan langsung
hanya dapat dilakukan oleh Pengguna Barang terhadap BUMN/D yang memiliki
bidang dan/atau wilayah kerja tertentu sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan transparansi dan keterbukaan dalam
proses penunjukan mitra. Apabila memang dibutuhkan bermitra dengan swasta maka
harus melalui proses tender.
7. Terdapat tambahan aturan mengenai jangka waktu dan pembagian kontribusi. Penentuan
jangka waktu KSP dilakukan untuk menghindari persepsi yang berbenturan dengan UU Nomor
5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Sedangkan aturan mengenai pembagian kontribusi bertujuan untuk memperjelas mekanisme
pembagian kontribusi agar ada keseragaman dalam pelaksanaannya serta mengdiverfikasi
bentuk kontribusi agar lebih flesibel.
8. Terdapat larangan bagi mitra KSP dilarang menjaminkan atau menggadaikan Barang
Milik Negara/Daerah yang menjadi objek Kerja Sama Pemanfaatan. Hal ini tenju saja
untuk mempertegas hak dan kewajiban mitra KSP serta menghindari adanya
permasalahan yang mungkin timbul di kemudian hari.
9. Ditegaskan bahwa semua biaya persiapan KSP yang terjadi setelah ditetapkannya
20

mitra KSP dan biaya pelaksanaan KSP menjadi beban mitra KSP. Selain untuk
mempertegas hak dan kewajiban mitra KSP, perubahan ini dilakukan untuk
memperjelas siapa yang wajib menanggung biaya persiapan dan pelaksanaan KSP
mengingat aturan yang tertuang pada PP 6 Tahun 2006 yang berbunyi “Semua biaya
berkenaan dengan persiapan dan pelaksanaan kerjasama pemanfaatan tidak dapat
dibebankan pada APBN/APBD” sangat rancu dan multitafsir.
10. Terdapat tambahan mengenai kerja sama pemanfaatan berupa penyediaan infrastruktur. Hal
ini telah sesuai dengan dinamika pengelolaan BMN/D mengingat pelaksanaan kerja sama
pemanfaatan telah berkembang ke BMN/D berupa infrastruktur.

Bangun Guna Serah atau Bangun Serah Guna

11. Batas minimal peserta tender, yang semula pada PP 6 tahun 2006 dinyatakan sekurang-
kurangnya lima peserta, dihilangkan. Penjelasan lebih lanjut terdapat pada bagian
mengenai Tender.
12. Dalam jangka waktu pengoperasian, hasil BGS/BSG harus digunakan langsung untuk
penyelenggaraan fungsi Pemerintah Pusat/Daerah paling sedikit 10%. Menurut penulis,
penentuan batas minimal persentase dapat mencegah pelaksanaan BGS/BSG yang
merugikan pemerintah.
13. Ditegaskan bahwa semua biaya persiapan BGS/BSG yang terjadi setelah
ditetapkannya mitra BSG/BGS dan biaya pelaksanaan BGS/BSG menjadi beban
mitra BGS/BSG . Selain untuk mempertegas hak dan kewajiban mitra BGS/BSG ,
perubahan ini dilakukan untuk memperjelas siapa yang wajib menanggung biaya
persiapan dan pelaksanaan BGS/BSG mengingat aturan yang tertuang pada PP 6 Tahun
2006 yang berbunyi “Semua biaya berkenaan dengan persiapan dan pelaksanaan
BGS/BSG tidak dapat dibebankan pada APBN/APBD” sangat rancu dan multitafsir.
14. Terdapat penegasan bahwa hasil Bangun Serah Guna yang diserahkan kepada Pengelola Barang
ditetapkan sebagai BMN/D. Hal ini untuk memperjelas status dan menghindari kesalahan
penafsiran mengenai hasil BSG yang diserahkan kepada pengelola barang
21
Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur

Ketentuan mengenai KSPI sebelumnya tidak diatur dalam PP 6 Tahun 2006 ataupun PP 38
Tahun 2008. Menurut penulis, pengaturan ini telah sesuai dengan kebutuhan pengelolaan
BMN/D khususnya dalam hal infrastruktur.

Tender

Bagian ini khusus mengatur mengenai mekanisme pelaksanaan tender. Sebelumnya telah
disebutkan dalam Pasal 33 ayat (1) huruf b mengenai KSP dan Pasal 36 ayat (2) mengenai
BSG/BGS bahwa penetapan mitra dilaksankan dengan mekanisme tender. Sayangnya tidak
dijelaskan adanya pembatasan jumlah peserta tender dan tidak ada kalimat yang merujuk
terhadap pembahasan tender di bagian ini.

Sementara dari segi jumlah peserta, jumlah minimal peserta tender yang semula 5
berkurang menjadi 3. Penulis setuju dengan perubahan ini karena jumlah minimal 3
peserta masih dapat menjaga prinsip keadilan dalam proses tender namun dapat
menambah fleksibilitas dalam pelaksanaan tender.

Kesimpulan dan Saran

Secara garis besar, penulis menyetujui perubahan-perubahan yang terjadi dalam Bab
Pemanfaatan ini, kecuali dalam hal-hal berikut:

1. Ketentuan mengenau penyetoran uang sewa yang harus dilakukan sekaligus secara
tunai paling lambat 2 (dua) hari kerja sebelum ditandatanganinya perjanjian sewa
terlalu kaku. Sebaiknya dilakukan penyesuaian dengan membolehkan penyetoran uang
sewa ke kas negara secara elektronik dan batas waktu penyetoran paling lambat 1 (satu)
hari kerja karena sistem penerimaan negara saat ini telah memungkinkan hal tersebut.
2. Sebaiknya dalam Pasal 33 ayat (1) huruf b dan Pasal 36 ayat (2) yang membahas
mengenai tender ditambahkan keterangan bahwa jumlah peserta minimal pelaksanaan
tender adalah 3 peserta dan/atau untuk pelaksanaannya dilakuan sesuai dengan pasal
40 dan 41 peraturan pemerintah ini.
22
H. Perubahan Pada Ketentuan Pengamanan dan Pemeliharaan BMN/D

Analisis

1. Terdapat penambahan pasal yang berbunyi “Pengelola Barang dapat menetapkan


kebijakan asuransi dalam rangka pengamanan BMN tertentu dengan
mempertimbangkan kemampuan keuangan negara”. Pasal ini menjadi dasar hukum
atas implementasi asuransi dalam pengelolaan BMN/D. Hal ini sangat penting
mengingat asuransi merupakan salah satu alternatif dalam mitigasi risiko dan telah
sangat umum dalam penggunaannya dalam kebijakan manajemen aset.
2. Terdapat penegasan bahwa biaya pemeliharaan BMN/D yang pemanfaatannya
dilakukan oleh Pihak Lain ditanggung oleh pihak tersebut. Ketentuan ini sudah
selayaknya ditambahkan untuk menegaskan hak dan kewajiban pihak ketiga yang
memanfaatkan BMN/D serta menghindari kemungkinan kerugian negara akibat
kelalaian dalam perjanjian pemanfaatan BMN/D.

Kesimpulan dan Saran

Dasar hukum atas implementasi asuransi dalam BMN/D sangatlah penting mengingat
kebutuhan asuransi atas BMN/D pun semakin meningkat. Untuk itu diperlukan peraturan
turunan yang menguraikan lebih rinci mengenai mekanisme implementasi asuransi.
Penulis berharap atura tersebut disusun dengan benar-benar mempertimbangkan asas
efektifitas, efisiensi, dan ekonomi pengelolaan aset.

Sementara itu, penegasan atas siapa yang menanggung biaya pemeliharaan dalam hal
pemanfaatan BMN/D oleh pihak lain telah tepat, hanya perlu peningkatan dalam
pengawasan dan pengendalian terutama dalam hal pencairan dana dan
pertanggungjawabannya.
23
I. Perubahan Pada Ketentuan Penilaian BMN/D

Analisis

1. Terdapat beberapa perubahan teknis terkait istilah jenis penilai dan tujuan penilaian. Hal ini
dilakukan untuk mencapai kesamaan persepsi mengenai penilaian BMN/D serta harmonisasi
dengan peraturan lainnya.
2. Terdapat ketentuan mengenai penilaian kembali dalam kondisi tertentu yang dapat dilakukan
pengelola barang atas nilai BMN/D yang telah ditetapkan dalam neraca Pemerintah
Pusat/Daerah keputusan mengenai Penilaian kembali atas nilai BMN dilaksanakan berdasarkan
ketentuan Pemerintah yang berlaku secara nasional. Perubahan ini dilakukan dalam rangka
sinkronisasi kebijakan dengan Standar Akuntansi Pemerintah berbasis akrual

Kesimpulan dan Saran

Perubahan-perubahan yang terdapat dalam ketentuan mengenai Penilaian BMN/D memang


seharusnya dilakukan agar tercapai harmonisasi kebijakan dengan peraturan lain, khususnya
Standar Penilaian Indonesia dan Standar Akuntansi Pemerintah. Untuk penjelasan lebih rinci perlu
dibuat peraturan turunan dan petunjuk teknis penilaian. Selain itu juga perlu dikembangkan
pendidikan dan pelatihan terkait penilaian untuk mendapatkan tenaga ahli yang mahir dalam
penilaian aset.

J. Perubahan Pada Ketentuan Pemindahtanganan BMN/D

Analisis

1. Terdapat penyederhanaan birokrasi dalam hal subjek pelaksana penjualan BMN/D. Pemisahan
subjek tidak lagi berdasarkan jenis BMN/D (tanah dan bangunan atau bukan), tapi berdasarkan
lingkup penguasaan barang. Menurut penulis pengelompokan ini lebih tepat serta lebih efisien
dalam pelaksanaannya.
2. Terdapat dasar perhitungan nilai limit penjualan BMN secara lelang yaitu dengan
memperhitungkan faktor penyesuaian. PP 6 Tahun 2006 tidak mengatur hal tersebut. Hal ini
sekedar penjelasan tambahan yang sebenarnya apabila tidak dicantumkan juga tidak terlalu
berpengaruh karena pada dasarnya masih diperlukan penjelasan mengenai faktor penyesuaian
24

dan mekanisme perhitungannya secara lebih rinci


3. Terdapat perluasan mitra tukar-menukar dengan diizinkannya melakukan tukar-menukar
dengan pemerintah negara lain. Dengan cakupan yang lebih luas ini diharapkan
pemindahtangan dalam bentuk tukar-menukar dapat lebih fleksibel
4. Terdapat perluasan pertimbangan hibah yang semula hanya mempertimbangkan kepentingan
sosial, keagamaan, kemanusiaan, dan penyelenggaraan pemerintahan negara/daerah, kini
ditambahkan pertimbangan kepentingan budaya, dan pendidikan yang bersifat non
komersial. Dengan perubahan ini diharapkan cakupan hibah BMN akan lebih luas dan
bermanfaat bagi masyarakat.

Kesimpulan dan Saran

Penyederhanaan birokrasi dalam hal subjek pelaksana penjualan telah tepat. Sementara untuk
ketentuan mengenai perhitungan nilai limit masih kurang jelas sehingga perlu diatur lebih lanjut
dalam peraturan turunannya.

Penulis juga setuju dengan perluasan mitra tukar-menukar dan cakupan hibah BMN/D. Dengan
perubahan tersebut, diharapkan pengelolaan BMN/D akan lebih fleksibel dan bermanfaat.

K. Perubahan Pada Ketentuan Pemusnahan BMN/D

Analisis

1. Sebelumnya pada PP 6 Tahun 2006, aturan mengenai pemusnahan digabungkan dalam


aturan mengenai penghapusan. Hal ini kurang tepat mengingat penghapusan BMN/D
tidak semata-mata akibat adanya pemusnahan.
2. Terdapat penjelasan mengenai cara-cara pemusnahan BMN/D, yaitu dengan cara
dibakar, dihancurkan, ditimbun, ditenggelamkan atau cara lain sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini sangat penting untuk mencapai
kesamaan persepsi tentang tindakan apa saja yang termasuk dalam kriteria
pemusnahan.

Kesimpulan dan Saran

Secara keseluruhan penulis setuju dengan penggolongan pemusnahan sebagai satu tahap
25

tersendiri serta perubahan-perubahan yang terjadi dalam aturan tentang pemusnahan.


L. Perubahan Pada Ketentuan Penghapusan BMN/D

Analisis

Terdapat beberapa perubahan terkait lingkup penerbitan SK Penghapusan dan dasar


penghapusan BMN/D. Perubahan ini dilakukan untuk menyederhanakan rantai birokrasi
agar tidak kaku dan lebih efisien

Kesimpulan dan Saran

Secara garis besar penulis menyetujui perubahan yang ada dalam bab ini.

M. Perubahan Pada Ketentuan Penatausahaan BMN/D

Analisis

Terdapat perubahan dalam ketentuan pembukuan BMN/D yaitu adanya penjelasan lebih rinci alur
penyusunan Daftar Barang Milik Negara/Daerah yang sebelumnya tidak dijelaskan dalam PP 6
tahun 2006. Dengan perubahan ini diharapkan tidak ada lagi kebingungan ataupun perbedaan
persepsi atas mekanisme pembukuan BMN/D.

Kesimpulan dan Saran

Secara garis besar penulis menyetujui perubahan yang ada dalam bab ini.

N. Perubahan Pada Ketentuan Pembinaan, Pengawasan, dan Pengendalian

Analisis

Terdapat tambahan ketentuan penetapan indikator kinerja di bidang pengelolaan Barang Milik
Negara pada unit yang membidangi pengelolaan Barang Milik Negara oleh Pengguna Barang
sebagai salah satu proses pengawasan dan pengendalian. Perubahan ini merupakan bentuk
harmonisasi dengan kebijakan terkait penilaian kinerja.

Kesimpulan dan Saran

Penulis menyetujui penambahan pasal sebagaimana tersebut di atas.


26
O. Ketentuan Mengenai Pengelolaan BMN oleh Badan Layanan Umum

Analisis

Pada PP 6 Tahun 2006 tidak ada bagian khusus yang mengatur mengenai pengelolaan
BMN/D oleh BLU. Ketentuan ini ditambahkan untuk memberi penegasan mengenai
mekanisme pengelolaan BMN/D pada BLU sekaligus sebagai bentuk harmonisasi dengan
kebijakan terkait BLU.

Kesimpulan dan Saran

Pengaturan mengenai pengelolaan BMN/D mengenai BLU ini sangat penting untuk
mempertegas aturan mengenai BLU sekaligus untuk menghindari ketidaksinkronan
dengan peraturan tentang BLU.

P. Ketentuan Mengenai BMN/D Berupa Rumah Negara

Analisis

Ketentuan mengenai BMN/D berupa rumah negara sebelumnya tidak diatur dalam PP 6 Tahun
2006. Hal ini menimbulkan ketidaksinkronan dengan aturan mengenai rumah negara. Rumah
negara itu sendiri merupakan bagian BMN/D akan tetapi mendapatkan perlakuan yang berbeda
dari BMN/D pada umumnya.

Kesimpulan dan Saran

Pembahasan ketentuan BMN/D secara khusus memang perlu disisipkan dalam peraturan
pemerintah ini agar tercapai harmonisasi dengan aturan tentang rumah negara.

Q. Ketentuan Mengenai Ganti Rugi dan Sanksi

Analisis

Pada PP 6 Tahun 2006 bab ganti rugi dan sanksi terletak setelah bab ketentuan lain-lain.
27
Kesimpulan dan Saran

Pemindahan letak Bab Ganti Rugi dan Sanksi memang selayaknya dilakukan agar
peraturan pemerintah ini tersusun secara sistematis dan berurutan serta sesuai dengan
aturan mengenai penyusunan peraturan perundang-undangan

R. Ketentuan Lain-Lain, Peralihan dan Penutup

Perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam tiga bab ini wajar terjadi mengingat adanya perbedaan-
perbedaan dalam isi PP 27 Tahun 2014 dengan PP yang mendahuluinya, yaitu PP 6 Tahun 2006 dan
PP 38 Tahun 2008 serta akibat perbedaan kondisi dan situasi saat peraturan ini diterbitkan.

28

Anda mungkin juga menyukai