Anda di halaman 1dari 89

GAMBARAN KEBERADAAN FORMALIN DALAMKIKIL SAPI YANG

DIJUAL DI PASAR KOTA PALEMBANG TAHUN 2016

KARYA TULIS ILMIAH

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh


GelarAhli MadyaAnalis Kesehatan

Oleh :
ELVITA RAHMAYANTI
NIM. PO.71.34.0.13.010

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBANG
JURUSAN ANALIS KESEHATAN
PALEMBANG2016
HALAMAN PERSETUJUAN
ii
H
iii
HALAMAN PERSEMBAHAN

Motto:
 Sesungguhnya bersama kesukaran itu ada keringanan. Karena itu bila kau
sudah selesai (mengerjakan yang lain). Dan berharaplah kepada Tuhanmu.
(Q.S Al Insyirah : 6-8)
 Jadilah seperti karang di lautan yang selalu kuat meskipun terus dihantam
ombak dan lakukanlah hal yang bermanfaat untuk pribadi dan orang lain,
karena hidup tidak abadi.

Atas izin Allah SWT Karya Tulis Ilmiah ini saya persembahkan untuk :
 Orang tua yang ku sayangi ayahanda Abdur Rahman dan ibunda Meta
Masita, terima kasih atas doa, semangat, motivasi dan bantuan berupa
materil dan moril.
 Dosen pembimbingku, Pak Erwin Edyansyah dan Pak Abdul Mutholib,
yang telah bersabar membimbing dari awal hingga akhir dalam
menyelesaikan karya tulis ini. Mohon maaf karena telah sering
menyusahkan.
 Keluarga keduaku Marlita Zu, Cheria opung, mama ucok Marisa, Elza,
Dina dan sahabatku Maulana, bersama kalian membuatku mengerti bahwa
keluarga tak mesti memiliki hubungan darah untuk sebuah tali
persahabatan.
 Untuk adek-adekku muti, maila, putri, radna, caca dan mella terima kasih
atas segala bantuan dan motivasinya selama ini.
 Almamaterku, Poltekkes Kemenkes Palembang Jurusan Analis Kesehatan.

iv
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBANG
JURUSAN ANALIS KESEHATAN
Karya Tulis Ilmiah, Juni 2016

ELVITA RAHMAYANTI
NIM PO.71.34.0.13.010

GAMBARAN KEBERADAAN FORMALIN DALAM KIKIL SAPI YANG


DIJUAL DI PASAR KOTA PALEMBANG TAHUN 2016
xiv + 50 halaman, 10 tabel, 5 gambar, 9 lampiran

ABSTRAK

Kikil adalah bagian kulit sapi yang memiliki kandungan protein yang cukup
tinggi. Bentuk dan strukturnya berupa kolagen yang mengandung 30% protein.
Tingginya kadar air dan protein pada kikil menyebabkan kikil menjadi media
yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme, sehingga akan cepat mengalami
kerusakan. Hal ini menyebabkan beberapa produsen kikil melakukan upaya
penambahan pengawet seperti formalin yang dilarang penggunaannya dalam
bahan makanan sesuai dengan Permenkes RI No. 033 tahun 2012. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran keberadaan formalin dalam kikil
sapi yang dijual di Pasar Kota Palembang Tahun 2016. Jenis penelitian ini
bersifat deskriptif. Hasil yang didapat di uji berdasarkan tabel distribusi. Sampel
dipilih dengan teknik simple random sampling. Jumlah sampel sebanyak 16
sampel yang terdiri dari 10 sampel di pasar tradisional dan 6 sampel di pasar
modern. Metode pemeriksaan yang digunakan adalah metode asam kromatofat
(kualitatif). Dari hasil penelitian didapatkan 7 sampel (43,7 %) kikil sapi positif
mengandung formalin dan 9 sampel (56,3 %) kikil sapi negatif mengandung
formalin. Dari uji organoleptik (uji tekstur, bau dan warna) ada 10 sampel (62,5
%) dalam organoleptik fisik baik, dan 6 sampel (37,5 %) dalam organoleptik tidak
baik. 9 sampel (56,3 %) kikil dijual dengan harga < Rp 40.000/ kg, dan 7 sampel
(43,7 %) dengan harga ≥ Rp 40.000/ kg. Bagi masyarakat agar lebih
memperhatikan keadaan fisik kikil sapi yang dipilih untuk dikonsumsi.Bagi
instansi terkait dapat mengawasi penggunaan pengawet dalam makanan,
khusunya penggunaan formalin dalam kikil sapi, dan bagi pedagang agar tidak
menambahkan formalin dalam kikil sapi.

Kata kunci : asam kromatofat, formalin, kikil sapi


Kepustakaan : 55(1980-2015)

v
MINISTRY OF HEALTH OF REPUBLIC OF INDONESIA
HEALTH POLYTECHNIC OF PALEMBANG
MEDICAL LABORATORY TECHNOLOGY
Scientific Paper, June 2016

ELVITA RAHMAYANTI
NIM PO.71.34.0.13.010

THE PRESENCE OF FORMALIN IN CATTLE KIKIL SOLD IN THE


MARKET IN PALEMBANG IN 2016
xiv + 50 pages, 10 tables, 5 figures, 9 appendices

ABSTRACT

Kikil is the cow body parts has a protein content high enough. Form and structure
of collagen contains 30% protein. The form and structure in the form of collagen
that contains 30% protein. High levels of water and proteins in kikil cause kikil be
a good medium for the growth of microorganisms, so it will be quickly damaged.
This has led some manufacturers make efforts kikil adding preservatives such as
formalin although it is prohibitted to use for food according to Permenkes No. 033
in 2012. The purpose of this research was to determine the presence of formalin in
kikil cattle sold in Palembang. This research was descriptive study. The result
were presented in the form of distribution tables. The sample were choosen using
simple random sampling. 16 samples consisting of 10 samples in Traditional
Markets and 6 samples in the Modern Market. The method used as qualitative test
was cromatophic acid. From the results of the research, it was obtained that 7
samples (43.7%) kikil was positive formalin, and 9 samples (56.3%) kikil was
negative formalin. Organoleptic test showed that 10 samples (62.5%) were in
good condition, and 6 samples (37.5%) were in poor condition. Based on the
price of kikil in kilogram, 9 samples (56.3%) were sold for <Rp. 40,000, and 7
samples (43.7%) were ≥ Rp 40,000. To public, it was expected to pay more
attention kikil they went to consume from their organoleptic properties (Test the
texture, smell and color), and for local govermentit is hoped to supervise the use
of presentative in food, especially the use of formalin in kikil, and to traders in
order not to add formalin in kikil.

Keywords : formalin, kikil, cromatophic acid


Reference : 55 (1980-2015)

vi
vii
KATA PENGANTAR

Assalaamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah

denganjudul "Gambaran Keberadaan Formalin dalamKikil Sapi yang Dijual

Di Pasar Kota Palembang Tahun 2016 ". Sholawat dan salam tak lupa penulis

sanjungkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga

dan para sahabatnya yang telah membawa petunjuk bagi umat-Nya.

Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini, penulis menyampaikan ucapan

terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, baik secara langsung

maupun tidak langsung, bimbingan dan arahan dari dosen-dosen pembimbing

sehingga penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini berjalan dengan lancar. Untuk itu

pada kesempatan ini juga penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada:

1. drg. Nur Adiba Hanum M.Kes selaku direktur Politeknik Kesehatan

Kementerian Kesehatan Palembang.

2. Diah Navianti, AMAK, S.Pd, M.Kes selaku Ketua Jurusan Analis Kesehatan

Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Palembang.

3. Erwin Edyansyah, AMAK, SKM, M.Scselaku Pembimbing I yang telah

memberi masukan, motivasi, serta bimbingan dan pengarahan selama proses

penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.

viii
4. Abdul Mutholib, AMAK, ST, MT selaku Pembimbing II yang telah memberi

motivasi, masukan, arahan dan bimbingan selama proses penyusunan Karya

Tulis Ilmiah ini.

5. Nurhayati, AMAK, S.Pd, M.Kes selaku Penguji I yang telah memberi

masukan, motivasi, serta bimbingan dan pengarahan selama proses

penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.

6. Witi Karwiti, AMAK, SKM, MPH selaku penguji II yang telah memberi

motivasi, masukan, arahan dan bimbingan selama proses penyusunan Karya

Tulis Ilmiah ini.

7. Ardiya Garini, AMAK, SKM, M.Kes selaku Pembimbing Akademik yang

telah banyak memberikan motivasi, arahan, nasehat, dan bantuan dalam

menempuh pendidikan di Analis Kesehatan.

8. Seluruh dosen dan staf pengajar di Analis Kesehatan yang telah memberikan

ilmu dan bimbingan dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.

Atas segala kekurangan yang terdapat dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah

ini, penulis mengharapkan informasi, saran dan kritik yang membangun dari

pembaca.

Palembang,Juni 2016

Penulis

ix
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL .................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN .................................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................ iv
ABSTRAK .................................................................................................. v
PERNYATAAN .......................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ................................................................................ viii
DAFTAR ISI............................................................................................... x
DAFTAR TABEL ...................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xiv

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................... 4
1.3 Pertanyaan Penelitian .......................................................... 4
1.4 Tujuan Penelitian ................................................................. 5
1.4.1 Tujuan Umum............................................................. 5
1.4.2 Tujuan Khusus ............................................................ 5
1.5 Manfaat Penelitian ............................................................... 6
1.5.1 Bagi Masyarakat ......................................................... 6
1.5.2 Bagi Peneliti ............................................................... 6
1.5.3 Bagi Institusi Pendidikan............................................ 6
1.6 Ruang Lingkup .................................................................... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Bahan Tambahan Pangan .................................................... 8
2.1.1 Pengertian Bahan Tambahan Pangan ........................ 8
2.1.2 Tujuan Bahan Tambahan Pangan .............................. 9
2.1.3 Bahan Tambahan Pangan yang Diizinkan ................. 10
2.1.4 Bahan Tambahan Pangan yang Tidak Diizinkan ..... 11
2.1.5Pengawet ..................................................................... 12
2.2. Formalin .............................................................................. 14
2.2.1Pengertian Formalin .................................................... 14
2.2.2Toksisitas Formalin ..................................................... 15
2.2.3Dampak Formalin bagi Kesehatan ............................. 17
2.2.4Metabolisme Formalin dalam Tubuh .......................... 18
2.3Kikil Sapi ................................................................................ 20
2.3.1 Pengertian Kikil Sapi................................................. 20
2.3.2 Komposisi Zat Gizi pada Kikil ................................. 21
2.3.3 Penyajian Kikil......................................................... 22
2.3.4 Pengawetan Kikil ...................................................... 23
2.4 Karakteristik Organoleptik Kikil ......................................... 26

x
2.5 Harga Kikil .......................................................................... 27
2.6 Lokasi Penjualan Kikil ........................................................ 28
2.7 Keberadaan Formalin pada Kikil......................................... 29
2.8 Degradasi Formalin pada Kikil ........................................... 32
2.9 Metode Pemeriksaan ........................................................... 33
2.10 Kerangka Konsep ................................................................ 33
2.11 Definisi Operasional ............................................................ 34

BAB III METODE PENELITIAN


3.1 Jenis Penelitian .................................................................... 35
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................... 35
3.2.1 Lokasi Penelitian ....................................................... 35
3.2.2 Waktu Penelitian ....................................................... 35
3.3 Populasi dan Sampel ........................................................... 35
3.3.1 Populasi ..................................................................... 35
3.3.2 Sampel ....................................................................... 35
3.4 Teknik Sampling .................................................................. 36
3.5 Metode Pemeriksaan dan Prinsip Pemeriksaan .................... 36
3.5.1 Metode Pemeriksaan .................................................. 36
3.5.2 Prinsip Pemeriksaan ................................................... 36
3.6 Alur Pemeriksaan ................................................................. 36
3.7 Interpretasi Hasil .................................................................. 37
3.8 Analisis Data ........................................................................ 37

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Hasil Penelitian...................................................................... 38
4.2 Pembahasan .......................................................................... 41

BAB V SIMPULAN DAN SARAN


5.1 Simpulan ............................................................................... 48
5.2 Saran ..................................................................................... 49

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

xi
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 Pemajanan Formaldehid dan Efeknya Terhadap Kesehatan ............... 16

2.2 Kandungan Unsur Gizi dalam Kikil.................................................... 22

2.3 Syarat Mutu Kulit Sapi Berdasarkan SNI ........................................... 27

4.1 Distribusi Frekuensi Keberadaan Formalin dalam Kikil Sapi yang


Dijual di Pasar Kota Palembang Tahun 2016 ..................................... 39

4.2 Distribusi Frekuensi Organoleptik Kikil Sapi Yang Dijual Di Pasar


Kota Palembang Tahun 2016 .............................................................. 39

4.3 Distribusi Frekuensi Harga Kikil Sapi yang Dijual Di Pasar Kota
Palembang Tahun 2016 ....................................................................... 40

4.4 Distribusi Frekuensi Lokasi Penjualan Kikil Sapi yang Dijual Di Pasar
Kota Palembang Tahun 2016 .............................................................. 40

4.5 Distribusi Frekuensi Keberadaan Formalin dalam Kikil Sapi yang


Dijual Di Pasar Kota Palembang Tahun 2016 Berdasarkan
Organoleptik Kikil Sapi ...................................................................... 41

4.6 Distribusi Frekuensi Keberadaan Formalin dalam Kikil Sapi yang


Dijual Di Pasar Kota Palembang Tahun 2016 Berdasarkan Harga
Kikil Sapi ............................................................................................ 41

4.7 Distribusi Frekuensi Keberadaan Formalin dalam Kikil Sapi yang


Dijual Di Pasar Kota Palembang Tahun 2016 Berdasarkan Lokasi
Penjualan KikilSapi ............................................................................ 42

xii
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Struktur Kimia Formalin .....................................................................14

2.2 Metabolisme Formalin di dalam Tubuh .............................................. 20

2.3 Kikil Sapi ............................................................................................ 21

2.4 Kerangka Konsep ................................................................................ 34

3.5 Alur pemeriksaan ................................................................................ 37

xiii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Bahan yang Dilarang Digunakan sebagai BTP

2. Format Checklist Keadaan Organoleptik Kikil Sapi

3. Prosedur Kerja Perhitungan Harga Kikil Sapi per Kg

4. Prosedur Kerja Pemeriksaan Laboratorium dengan Uji Asam Kromatofat

5. Surat Izin Penelitian

6. Surat Selesai Penelitian

7. Hasil Penelitian

8. Agenda Bimbingan Penyusunan Karya Tulis Ilmiah

9. Dokumentasi Penelitian

10. Profil Penulis

xiv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia membutuhkan bahan makanan untuk kelangsungan hidupnya.

Dalam prioritas kebutuhan, makanan bergizi merupakan kebutuhan pokok yang

keberadaannya mutlak diperlukan. Makanan yang dikonsumsi memiliki

kandungan nutrisi yang berbeda tergantung dari asal makanan tersebut. Bahan

makanan yang berasal dari hewan lebih banyak mengandung protein. Makanan

yang sehat dilihat dari komposisi nutrisi, harus mengandung semua nutrisi yang

diperlukan tubuh. Selain itu, jumlah nutrisi yang terkandung harus cukup untuk

memenuhi kebutuhan tubuh. (1)

Untuk pertumbuhan, perkembangan tubuh dan untuk memperoleh energi

agar manusia dapat melakukan kegiatan fisiknya sehari-hari, maka tubuh manusia

harus terpenuhi kebutuhan zat-zat makanan atau zat-zat gizinya. Zat-zat makanan

yang diperlukan itu dapat dikelompokkan menjadi 6 macam, yaitu air, protein,

lemak, vitamin, mineral, dan karbohidrat. (2)

Protein terdiri dari unsur C, H, O, N, S dan P, diperoleh melalui tumbuh-

tumbuhan (protein nabati) dan melalui hewan (protein hewani). Kualitas protein

pada makanan dinilai dari jumlah asam amino yang mudah dicerna dan diserap

tubuh. Makanan dengan kualitas protein tertinggi adalah makanan yang dapat

menyediakan asam amino esensial yang diperlukan tubuh manusia,contoh

makanan yang memiliki protein adalah daging sapi. (2,3)

Daging sapi memiliki kandungan protein paling tinggi dibandingkan

dengan jenis daging lainnya. Sapi merupakan salah satu ternak yang secara

1
2

Nasional telah ditetapkan sebagai komoditas unggulan. Hal ini disebabkan karena

sapi merupakan sumber daging yang paling dapat diandalkan, konsumennya luas,

dan hasil olahannya beragam Sapi adalah hewan yang semua bagian tubuhnya

dapat dimanfaatkan. Adapun bagian-bagian dari sapi yaitu daging, susu, jeroan,

(isi perut), dan kulit.(4,1)

Berdasarkan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan,

populasi sapi potong secara Nasional di Indonesia sebanyak 15.494.288 sapi, dan

di Sumatera Selatan sebanyak 261.515 sapi potong. Populasi daging sapi ini

sejalan dengan produksi kulit sapi di Indonesia. Kulit pada tubuh sapi digunakan

dalam industri penyamakan kulit, sedangkan pemanfaatan kulit sapi pada daerah

kepala, ekor, dan kaki masih kurang. (5)

Salah satu cara dalam memanfaatkan kulit pada bagian kaki sapi (kikil)

yaitu dapat diolah menjadi bahan pangan yang bergizi. Kikil mempunyai

kandungan protein yang cukup tinggi. Bentuk dan struktur kikil berupa kolagen

yang mengandung 30% protein. Tingginya kadar air dan protein pada kulit

menyebabkan kulit merupakan media yang baik untuk pertumbuhan

mikroorganisme. Hal ini menyebabkan adanya upaya pengawetan yang dilakukan

pedagang agar kikil tidak cepat busuk.(6,7)

Upaya pengawetan perlu dilakukan agar pangan aman dan layak

dikonsumsi. Pengawetan dilakukan dengan pendinginan, penambahan zat kimia.

iradiasi, dll. Usaha pengawetan diatur oleh undang-undang yaitu SK Menkes RI

No. 722 tahun 1988 yang menegaskan bahwa pengawetan makanan diperbolehkan

asal memenuhi peraturan yang ditetapkan. Pada peraturan tersebut juga

8
3

dinyatakan bahwa penggunaan formalin di dalam makanan dilarang karena

pertimbangan faktor keamanan dan kesehatan konsumen.(8,9)

Formalin adalah nama dagang dari larutan formaldehida dalam air dengan

kadar 36-40%. Formalin juga mengandung alkohol (metanol) sebanyak 10-15%

yang befungsi sebagai stabilisator supaya formaldehidanya tidak mengalami

polimerisasi.(9)

Pemakaian formaldehida pada makanan dapat menyebabkan keracunan

pada tubuh manusia, dengan gejala sukar menelan, mual, sakit perut yang akut

disertai muntah-muntah, timbulnya depresi susunan syaraf dan gangguan

peredaran darah. Konsumsi formalin pada dosis tinggi dapat mengakibatkan

konvulsi (kejang-kejang), haematuria (kencing darah) dan haematomesis (muntah

darah) yang berakhir dengan kematian. Injeksi formalin dengan dosis 100 gram

dapat mengakibatkan kematian dalam jangka waktu 3 jam. (9,10)

Berdasarkan Penelitian Saptarini, Wardati, dan Supriatna menyatakan

bahwa didapatkan hasil, empat dari sembilan sampel tahu yang dijual di Pasar

Tradisional mengandungformalin dengan persentase sebanyak 44,44%,

sedangkan55,56% tidak mengandung formalin.(11)

Penelitian Faradila, Alioes dan Elmatris melakukan pengamatan terhadap

bakso yang dijual di kota Padang menunjukkan bahwa 20 sampel dari 42 sampel

yang diidentifikasi dilaboratorium positif mengandung formalin. Bedasarkan hasil

yang didapat, disimpulkan bahwa hampir separuh bakso yang dijual di Kota

Padang mengandung formalin. (12)

Hal ini merupakan masalah keamanan pangan di tingkat industri rumah


4

tangga. Pelaku-pelaku bisnis tidak memperhatikan keselamatan konsumen karena

prinsip dagang yang dipegang adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya

dengan biaya produksi minimal. Formalin ditambahkan ke berbagai bahan pangan

seperti tahu, mie basah, bakso dan kikil. (13)

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) DKI Jakarta menemukan

kikil berformalin di enam pabrik rumahan di daerah Kalideres, Jakarta Barat.

Kemudian, BPOM menemukan dua pabrik kikil yang menggunakan bahan kimia

hidrogen peroksida (H2O2), sulfur nitrat dan formalin di Kelurahan Parakanyasak,

Tasikmalaya, Jawa.(14,15)

Adapun kikil sapi yang menggunakan bahan kimia berupa formalin yaitu

bewarna putih pucat, memiliki tekstur yang kaku dan berbau zat kimia. Kikil yang

dijual di pasar tradisional dan pasar modern dengan harga lebih murah dicurigai

memiliki kandungan formalin. Keadaan fisik kikil yang mudah busuk membuat

pedagang melakukan upaya penambahan bahan kimia berupa formalin karena

pengawet alami berupa garam nitrit memiliki harga yang relatif mahal. (4)

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti telah melakukan penelitian

yang berjudul “Gambaran Keberadaan Formalin dalam Kikil Sapi yang dijual di

Pasar Kota Palembang Tahun 2016 ”.

1.2 Rumusan masalah

Masih ditemukannya formalin sebagai pengawet pada kikil sapi.

1.3 Pertanyaan penelitian

1. Bagaimana distribusi frekuensi keberadaan formalin dalam kikil yang


5

dijual di Pasar Kota Palembang tahun 2016?

2. Bagaimana distribusi frekuensi keberadaan formalin dalam kikil yang

dijual di Pasar Kota Palembang tahun 2016 berdasarkan organoleptik

kikil?

3. Bagaimana distribusi frekuensi keberadaan formalin dalam kikil yang

dijual di Pasar Kota Palembang tahun 2016 berdasarkan harga kikil?

4. Bagaimana distribusi frekuensi keberadaan formalin dalam kikil yang

dijual di Pasar Kota Palembang tahun 2016 berdasarkan lokasi penjualan

kikil?

1.4 Tujuan Penelitian

1.4 1. Tujuan umum

Diketahuinya gambaran keberadaan formalin dalam kikil sapi yang dijual

di Pasar Kota Palembang Tahun 2016.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Diketahuinya distribusi frekuensi keberadaan formalin dalam kikil sapi

yang dijual di Pasar Kota Palembang tahun 2016.

2. Diketahuinya distribusi frekuensi keberadaan formalin dalam kikil sapi

yang dijual di Pasar Kota Palembang tahun 2016 berdasarkan

organoleptik kikil.

3. Diketahuinya distribusi frekuensi keberadaan formalin dalam kikil sapi

yang dijual di Pasar Kota Palembang tahun 2016 berdasarkan harga kikil.
6

4. Diketahuinya distribusi frekuensi keberadaan formalin dalam kikil sapi

yang dijual di Pasar Kota Palembang tahun 2016 berdasarkan lokasi

penjualan kikil.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Bagi Peneliti

Sebagai sarana menerapkan ilmu yang diperoleh selama mengikuti

perkuliahan dan menambah wawasan dalam bidang toksikologi terutama uji

keberadaan formalin dalam kikil sapi yang dijual di Pasar Kota Palembang Tahun

2016.

1.5.2 Bagi Instansi Pendidikan

Sebagai referensi untuk bahan pendidikan khususnya dalam bidang

Toksikologi bagi mahasiswa Analis Kesehatan Poltekkes Palembang.

1.5.3 Bagi Masyarakat

Sebagai informasi kepada masyarakat mengenai adanya formalin dalam

kikil sapi dan dampaknya bagi kesehatan serta dapat meningkatkan kesadaran

masyarakat untuk lebih cerdas dalam memilih kikil sapi yang akan dikonsumsi.

1.5.4 Bagi Pemerintah

Dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi pemerintah untuk memberikan

perhatian lebih terhadap keamanan dan kesehatan produksi kikil sapi sehingga

dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dalam hal

pengawasan bidang makanan.


7

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mencakup di bidang toksikologi yang bertujuan untuk

mengetahui gambaran keberadaan formalin dalam kikil sapi yang dijual di Kota

Palembang tahun 2016. Jenis penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu peneliti hanya

melakukan deskripsi atau menggambarkan ada atau tidaknya keberadaan formalin

dalam kikil sapiyang dijual di Pasar Kota Palembang. Penelitian dilaksanakan

pada tanggal 19-21 April tahun 2016 di Laboratorium Kimia Terapan Jurusan

Analis Kesehatan Poltekkes Kemenkes Palembang.

Peneliti melakukan observasi (mengamati secara langsung), dengan

sampel yang diteliti adalah kikil sapi yang dijual di Pasar Kota Palembang dengan

jumlah sampel sebanyak 16 sampel. Sampel diambil secara simple random

sampling di Pasar Kota Palembang. Metode Pemeriksaan yang digunakan untuk

menganalisa keberadaan formalin dalam kikil sapi adalah metode Asam

Kromatofat (kualitatif).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bahan Tambahan Pangan

2.1.1 Pengertian Bahan Tambahan Pangan (BTP)

Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah zat yang sengaja ditambahkan ke

dalam bahan pangan untuk memberi sifat atau karakter yang dikehendaki seperti

warna, aroma, tekstur, stabilitas, atau resistensi terhadap kerusakan oleh

mikroorganisme. BTP berupa campuran bahan alami yang ditambahkan untuk

mempengaruhi bentuk pangan antara lain bahan pewarna, pengawet, penyedap

rasa, anti gumpal, pemucat dan pengental. (16)

Bahan tambahan pangan atau ‘food additive’ yang digunakan harus

mempunyai sifat-sifat sebagai berikut: dapat mempertahankan nilai gizi makanan

tersebut, tidak mengurangi zat-zat essensial dalam makanan, dan menarik bagi

konsumen. Tetapi, ada beberapa penggunaan zat tambahan pangan telah dilarang

atau diberi label deklarasi karena bahaya toksiknya. (17,18)

Di dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No.722/Menkes/Per/IX/88

dijelaskan juga bahwa BTP adalah bahan yang tidak digunakan sebagai makanan

dan bukan merupakan ingredient khas makanan, mempunyai atau tidak

mempunyai nilai gizi yang sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud

teknologi pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan,

pengemasan, penyimpanan atau pengangkutan makanan untuk menghasilkan

suatu komponen atau mempengaruhi sifat khas makanan tersebut. (17)

8
9

2.1.2 Tujuan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP)

Tujuan penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah agar produk

olahan yang dihasilkan mempunyai tampilan menarik, rasa yang enak, konsistensi

yang bagus dan tidak mudah rusak. Secara khusus tujuan penggunaan bahan

tambahan pangan adalah untuk mengawetkan makanan dengan mencegah

pertumbuhan mikroba perusak pangan atau mencegah terjadinya reaksi kimia

yang dapat menurunkan mutu pangan, membentuk makanan menjadi lebih baik,

renyah, enak dimulut, memberikan warna dan aroma yang lebih menarik,

meningkatkan kualitas pangan serta menghemat biaya. (17,18)

Bahan tambahan pangan boleh ditambahkan ke dalam bahan olahan pangan

dengan tujuan sebagai berikut: 1) Mempertahankan konsistensi produk;

2)meningkatkan atau mempertahankan nilai gizi; 3) Mempertahankan kelezatan

dan kesehatan pangan; 4) Mengembangkan atau mengatur tingkat keasaman dan

basa pada bahan pangan dan; 5) Menguatkan rasa atau mendapatkan warna yang

diinginkan. BTP boleh dipergunakan dalam produksi pangan yang mudah rusak.

Namun, penggunannya harus sesuai dengan peraturan yang ada. (19)

Untuk meningkatkan kualitas produk pangan perlu diadakan pengaturan

dan pengawasan agar konsumen mendapatkan jaminan keamanan. Codex

Alimentarius Commission (CAC) yang merupakan suatu badan di bawah naungan

Food and Agriculture Organization (FAO) dan World Health Organization

(WHO) yang bertugas menangani standar bahan pangan menyebutkan bahwa

bahan tambahan pangan adalah bahan yang tidak lazim dikonsumsi sebagai

makanan, ada yang memiliki nilai gizi dan ada yang tidak memiliki nilai gizi yang

secara sengaja dicampurkan pada proses pengolahan makanan. Pada tahun 1971,
10

Joint Expert Committee on Food Additives (JECFA) bagian dari WHO telah

mengevaluasi standar bahan tambahan pangan dan melarang penggunaannya

dengan dosis yang tidak tepat karena dapat membahayakan kesehatan. (20)

2.1.3 Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang Diizinkan

Bahan tambahan pangan sering digunakan dalam proses pengolahan

makanan. Namun, banyak masalah yang timbul karena produsen menggunakan

bahan tambahan pangan yang berbahaya bagi kesehatan serta melebihi dari dosis

yang diizinkan dalam industri agar tidak menimbulkan masalah kesehatan.

Peraturan tentang Bahan Tambahan Pangan yang diizinkan penambahannya diatur

dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033 tahun 2012

tentang Bahan Tambahan Pangan, terdiri dari golongan sebagai berikut: (17,19)

1. Antibuih (Antifoaming Agent)


2. Antikempal (Anticaking Agent)
3. Antioksidan (Antioxidant)
4. Bahan pengkarbonasi (Carbonating Agent)
5. Garam pengemulsi (Emulsifying Salt)
6. Gas untuk kemasan (Packaging Gas)
7. Humektan (Humectant)
8. Pelapis (Glazing Agent)
9. Pemanis (Sweetener)
10. Pembawa (Carrier)
11. Pembentuk gel (Gelling Agent)
12. Pembuih (Foaming Agent)
13. Pengatur keasaman (Acidity Regulator)
14. Pengawet (Preservative)
15. Pengembang (Raising Agent)
16. Pengemulsi (Emulsifier)
17. Pengental (Thickener)
11

18. Pengeras (Firming Agent)


19. Penguat rasa (Flavour Enhancer)
20. Peningkat volume (Bulking Agent)
21. Penstabil (Stabilizer)
22. Peretensi warna (Colour Retention Agent)
23. Perisa (Flavouring)
24. Perlakuan tepung (Flour Treatment Agent)
25. Pewarna (Colour)
26. Propelan (Propellant)
27. Sekuestran (Sequestrant)

2.1.4 Bahan Tambahan Pangan ( BTP) yang Tidak Diizinkan

Bahan tambahan pangan digunakan berpengaruh terhadap kualitas suatu

makanan. Peredaran dan penggunaannya memerlukan pengawasan. Pemerintah

yang berkompeten dalam hal ini karena berkaitan dengan keamanan makanan

yang dilarang penggunaannya. Sebagaimana diatur oleh Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia nomor 033 tahun 2012 tentang bahan tambahan

Pangan yang tidak diizinkan adalah sebagai berikut: (19,21)

1. Asam Borat dan senyawanya (Boric acid)

2. Asam salisilat dan garamnya (Salicylic acid dan its salt)

3. Dietilpirokarbonat (Diethylopyrocarbonate, DEPC)

4. Dulsin (Dulcin)

5. Formalin (Formaldehid)

6. Kalium bromate (Potassium bromate)

7. Kalium Klorat (Potassium chlorate)

8. Kloramfenikol (Chloramphenicol)

9. Minyak nabati yang dibrominasi (Brominated vegetable oils)


12

10. Nitrofurazon (Nitrofurazone)

11. Dulkamara (Dulcamara)

12. Kokain (Cocaine)

13. Nitrobenzen (Nitrobenzene)

14. Sinamil Antranilat (Cinnamyl anthranilate)

15. Dihidrosafrol (Dihydrosafrole)

16. Biji Tonka (Tonka bean)

17. Minyak Kalamus (Calamus oil)

18. Minyak Tansi (Tansy oil)

19. Minyak sassafras (Sasafras oil).

2.1.5 Pengawet

Bahan pengawet adalah zat yang ditambahkan untuk memperpanjang

shelf-life (umur simpan) makanan yang mencegah oksidasi dan menghambat

pertumbuhan mikroba. Bahan pengawet sangat diperlukan untuk menjaga bahan

pangan agar tidak cepat rusak dalam jangka waktu tertentu. Kerusakan bahan

pangan dapat menimbulkan kerugian ekonomis, penyakit, infeksi dan racun.

Henner dan Marton mengatakan bahwa bahan pengawet yang dikonsumsi akan

berakumulasi di dalam tubuh yang dapat menyebabkan rasa kantuk, lemas, cepat

lelah, dan dapat menimbulkan sakit kepala berkelanjutan. (22)

Mengkonsumsi bahan pengawet untuk jangka panjang dapat merusak

pertumbuhan sel tubuh, yang dapat mengakibatkan terkena penyakit berbahaya.

Namun, walaupun di perbolehkan penggunaanya harus dengan aturan yang ada.

Bahan pengawet dikelompokkan menjadi dua yaitu bahan pengawet anorganik

dan organik adalah sebagai berikut: (23)


13

1. Pengawet anorganik

Jenis bahan pengawet anorganik yang digunakan adalah sulfit dalam

bentuk gas SO2, garam Na, K sulfit, bisulfit, dan metabisulfit.

2. Pengawet organik

Bahan pengawet organik yang digunakan adalah asam sorbat, asam

propianat, asam benzoat, asam asetat, dan asam sitrat.

Tujuan bahan pengawet adalah agar bahan pangan yang dihasilkan dapat

mempertahankan kualitas dalam jangka waktu yang lebih lama sehingga dapat

mengurangi risiko kerusakan dan membuat bahan pangan tampak lebih segar.

Peraturan tentang Bahan Tambahan Pangan yang diizinkan penambahannya

dalam bahan makanan telah diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia nomor 036 tahun 2013 tentang bahan tambahan pangan, Jenis bahan

pengawet yang diizinkan dalam pangan terdiri atas: (20,23)

1. Asam sorbat dan garamnya (Sorbic acid and its salts)

2. Asam benzoat dan garamnya (Benzoic acid and its salts)

3. Etil para-hidroksibenzoat (Ethyl para-hydroxybenzoate)

4. Metil para-hidroksibenzoat (Methyl para-hydroxybenzoate)

5. Sulfit (Sulphites)

6. Nisin (Nisin)

7. Nitrit (Nitrites)

8. Nitrat (Nitrates)

9. Asam propionat dan garamnya (Propionic acid and its salts) dan

10. Lisozim hidroklorida (Lysozyme hydrochloride).


14

2.2 Formalin

2.2.1 Pengertian Formalin

Formalin memiliki karakteristik tidak bewarna, bau yang menusuk dan

mempunyai berat jenis 1,081 kg/L dalam suhu 20 dengan Rumus Molekul

CH2O. Formaldehida bersifat iritan mudah larut dalam air sampai kadar 55 %,

sangat reaktif dalam suasana alkalis, serta bersifat sebagai zat pereduksi yang

kuat, mudah menguap karena titik didihnya yang rendah yaitu -21 . (22,24)

Gambar 2.1 Struktur Kimia Formalin


Sumber : Harrington, J. M. & Gill, F. S. 2005

Formalin dikenal sebagai bahan pembunuh hama (desinfektan) dan banyak

digunakan dalam industri. Formalin yang diperdagangkan memiliki nama

berbeda-beda yaitu Formol, Methylene aldehyde, Paraforin, Morbicid,

Oxomethane, Polyoxymethylene glycols, Methanal, Formoform, Superlysoform,

Formaldehyde, dan Formalith. (20)

Formalin digunakan sebagai bahan perekat kayu, desinfektan peralatan

rumah sakit dan sebagai pengawet mayat. Formalin sangat berbahaya jika

terhirup, mengenai kulit, dan tertelan. Akibat yang ditimbulkan berupa luka bakar

pada kulit, iritasi pada saluran pernafasan, reaksi alegi, dan dapat menimbulkan

kanker pada manusia. Bila tertelan formalin sebanyak 30 mililiter atau sekitar 2

sendok makan akan menyebabkan kematian. (25)


15

2.2.2 Toksisitas Formalin

Formalin adalah bahan kimia yang bersifat karsinogenik. Zat karsinogen

bekerja memicu perubahan genetik tertentu dalam suatu sel,

sehinggamenyebabkan pembentukan neoplasma dan mengubah menjadi kanker.


(24)

Menurut International Programme on Chemical Safety (IPCS), lembaga

khusus dari tiga organisasi di PBB, yaitu ILO, UNEP, dan WHO, yang

mengkhususkan pada keselamatan penggunaan bahan kimiawi, secara umum

ambang batas aman formalin di dalam tubuh adalah 1 miligram per liter. Bila

formalin masuk ke tubuh melebihi ambang batas tersebut, maka dapat

mengakibatkan gangguan pada organ dan sistem tubuh manusia. (25)

Karena kecilnya molekul ini memudahkan absorpsi dan distribusinya ke

dalam sel tubuh. Gugus karbonil yang dimilikinya sangat aktif, dapat bereaksi

dengan gugus –NH2 dari protein yang ada pada tubuh membentuk senyawa yang

mengendap. (24)

Menurut Munro dan Krewski mengusulkan bahwa karsinogen harus

digolongkan menurut beberapa kriteria biologi. Kemudian, Squire merancang

suatu sistem peringkat untuk mengevaluasi karsinogen yang akan dinilai menurut

kriteria berikut : (22)

1. Jumlah spesies yang dipengaruhi.

2. Jumlah jenis neoplasma yang secara histogenetik berbeda pada satu

spesies atau lebih.

3. Inside neoplasma (seperti dalam kelompok perlakuan) spontan dalam

kelompok pembanding.
16

4. Hubungan dosis-respon (dosis oral kumulatif setara dengan per kilogram

berat badan per hari selama 2 tahun).

5. Keganasan dari neoplasma yang diinduksi.

6. Genotoksisitas yang diukur dalam sederetan uji yang tepat toksik.

Karsinogen menunjukkan hubungan dosis dan respon, sehingga dapat

dinilai secara matematis. Hubungan dosis dan efek dicantumkan dalam tabel

sebagai berikut: (27)

Tabel 2.1
Pemajanan Formaldehid dan Efeknya Terhadap Kesehatan

Konsentrasi Respon Tubuh Referensi


(ppm)
Iritasi mata (lakrimasi, konjungtiva)
0.01 Jarang terdeteksi Schuck (1966)
0.30 Respon sedikit, masih dapat ditoleransi Rader (1977)
0.50 Respon sedang Bourne dan seferian
(1959)
Lang dkk (2008)
0.80 Respon berat Wayne dkk (1977)
1.7 - 2.0 Ditandai dengan mata yang berkedip Bender dkk (1983)
Iritasi saluran pernafasan atas (sekresi hidung, iritasi tenggerokan)
0.03 Tidak memberikan efek Weber, Tschopp dkk
(1977)
0.25 – 1.39 Iritasi sedang Kerfoot dan mooney
(1975)
Schoenberg dan Mitchell
(1975)
Anderson dan molhave
(1983)
Lang dkk (2008)
1.7 – 2.1 Iritasi tenggerokan yang significant Weber, tschopp dkk
(1977)
3.1 Iritasi parah, tidak dapat ditoleransi Kane dan alarie (1977)
Ambang bau
0.05 Ambang bau Petterson dan rehn (1977)
0.17 Terdeteksi oleh 50 % terpapar Petterson dan rehn (1977)
1.5 Terdeteksi oleh semua subjek Petterson dan rehn (1977)
Sumber : Morton lippman
17

Menurut The International Agency for Research on Cancer (IARC), zat

kimia bersifat karsinogenik terhadap manusia dan hewan percobaan dievaluasi

terlebih dulu dengan kriteria dan studi epidemologi dapat dikelompokkan menjadi

beberapa kelompok, yaitu: (28)

1. Kelompok 1 : Bersifat karsinogenik terhadap manusia, situasi pajanan

yang bersifat karsinogenik terhadap manusia.

2. Kelompok 2A : Sangat mungkin bersifat karsinogenik terhadap manusia.

3. Kelompok 2B : Kemungkinan bersifat karsinogenik terhadap manusia,

terbatasnya bukti pada manusia dan hewan.

4. Kelompok 3 : Tidak bisa diklasifikasikan karena pada manusia bukti

sangat terbatas.

5. Kelompok 4 : Terbukti tidak bersifat karsinogen terhadap manusia.

Berdasarkan pengelompokkan zat kimia yang bersifat karsinogenik, IARC

menyimpulkan bahwa formalin termasuk ke dalam kelompok 1 karena bersifat

karsinogen terhadap manusia, sedangkan menurut American Conference of

Governmental Industrial Hygiene (ACGIH) menyimpulkan bahwa formalin

adalah zat yang bersifat karsinogen dan diklasifikasikan dalam kelompok 2A yaitu

dicurigai sangat mungkin bersifat karsinogenik. (28)

2.2.3 Dampak Formalin bagi Kesehatan

Formalin diketahui sebagai zat beracun yang bersifat karsinogen

(menyebabkan kanker), mutagen (menyebabkan perubahan sel, jaringan tubuh),

korosif dan iritatif. Orang yang terpajan formalin, baik yang terjadi akibat pajanan

akut (jangka waktu pendek) atau pajanan kronik (jangka waktu lama) dapat

menyebabkan gangguan pada bagian yang terpajan. (26)


18

Pengaruh pajanan jangka pendek akibat terhirup formalin pada konsentrasi

rendah, yaitu dapat menyebabkan iritasi hidung dan gangguan pernafasan. Pada

konsentrasi 50 ppm dapat menyebabkan kerusakan paru-paru. Jika terkena mata

dapat menyebabkan penglihatan kabur, lakrimasi hingga kebutaan. (29)

Pengaruh pajanan jangka panjang terhadap formalin Jika terhirup dapat

menyebakan kongesti saluran napas, kanker hidung dan nasofaring. Paparan

bahan melalui kontak kulit dapat menimbulkan ruam pada kulit dan dapat

menyebabkan dermatitis. Formalin yang tertelan dalam jangka waktu yang

panjang dapat menyebabkan iritasi saluran cerna, nyeri lambung dan kerusakan

ginjal. Jika sampai tertelan maka orang tersebut harus segera minum air dalam

jumlah banyak dan segera diminta untuk memuntahkan isi lambungnya. (24,30)

Adapun pengaruh lain pajanan formalin jangka panjang yaitu dapat

mengakibatkan gangguan syaraf berupa susah tidur, mudah lupa, sulit

berkonsentrasi dan dapat merusak syaraf tubuh (neurotoksik). Pada wanita akan

menyebabkan gangguan menstruasi dan infertilitas (kemandulan). (24)

2.2.4 Metabolisme Formalin dalam Tubuh

Menurut International relations public association (IRPA), Formalin

tergolong toksik (beracun), karsinogenik (memicu sel kanker), dan alergenik

(memicu alergi). Formalin yang masuk ke dalam tubuh dalam jumlah yang sedikit

akan terjadi resistensi yang menyebabkan sebagian zat kimia akan direduksi

dalam bentuk kotoran, urine, dan keringat. Akan tetapi, hal ini tergantung pada

keseimbangan fungsi tubuh dan daya tahan (imuno system) seseorang. Sedangkan,

sisa zat yang tidak bisa terurai akan terakumulasi sebagai bahan yang tidak

bermanfaat yang bersifat toksik. Formalin dengan kadar yang tinggi dapat
19

bereaksi dengan hampir semua zat dalam sel, sehingga menekan fungsi sel dan

mengakibatkan kematian sel. (31)

Formalin ditemukan dalam biosintesis beberapa asam amino, purin, dan

timidin. Formalin yang masuk ke dalam tubuh akan dipecah menjadi Asam

formiat yang dibantu oleh enzim formaldehyde dehydrogenase yaitu enzim utama

dalam metabolisme formalin. Jika formalin tidak di metabolisme oleh enzim ini

maka terjadi reaksi silang antara protein dan rantai tunggal DNA. Kemudian,

asam formiat diubah menjadi karbon dioksida (CO2) melalui proses oksidasi hal

ini untuk membatasi pemecahan langsung formalin pada metabolisme. Formalin

dikeluarkan di udara dalam bentuk karbon dioksida, sedangkan formalin didalam

urin dalam bentuk asam formiat. (32,33)

Formalin yang masuk kedalam tubuh dimetabolisme menjadi asam formiat

untuk diubah menjadi karbon dioksida dan air. Namun, pada manusia enzim

khusus untuk oksidasi formaldehid menjadi formiat tidak terdapat di mata

sehingga pajanan akan menyebabkan formalin menumpuk dalam mata. Karena zat

ini secara lokal bersifat destruktif, maka pajanan yang berlangsung dalam jangka

panjang akan menimbulkan kebutaan. (22)

Untuk mengetahui tingkat terpajan formalin didalam darah dan jaringan

yaitu dengan mengukur produksi eksogen lebih rendah dibandingkan produksi

endogen. Hal ini menunjukkan tidak adanya gangguan setelah pajanan. Jika satu-

karbon C terpajan zat radioaktif, maka formalin akan cepat bergabung dengan

enzim lain dan di metabolisme di dalam tubuh. Adapun metabolisme formalin

yang masuk ke dalam tubuh dapat dilihat dalam gambar sebagai berikut. (34)
20

Sumber Penyaluran

Eksogen yang Metabolisme


terpapar 1 karbon
(Terhiru.
termakan)
Bereaksi Sekresi
Metabolisme formalin dengan
benda asing protein dan
asam nukleat CO2
Metabolisme
asam amino
(kolin, glisin, Asam formiat
serin)

Gambar 2.2 Metabolisme Formalin di dalam Tubuh


Sumber: John, B . Sullivan, Jr. Gary & R. Krieger. 2001

2.3 Kikil Sapi

2.3.1 Pengertian Kikil Sapi

Kulit kaki sapi atau kikil adalah kulit daging sapi di bagian kaki yang

biasa digunakan sebagai bahan dasar makanan terutama di Asia. Kikil sapi

ditemukan diberbagai jenis hidangan nusantara seperti sate, sup, soto, oseng, mie

dan lain sebagainya. Kikil terdiri dari kolagen beserta keratin dan elastin yang

berperan dalam membentuk struktur pada jaringan-jaringan guna menjaga

kekuatan dan elastisitas kulit. Kolagen adalah salah satu jenis protein yang

kandungan asam amino essensialnya kurang lengkap di bandingkan dengan

daging itu sendiridan sulit untuk dicerna tubuh. (35)

Sebelum sampai ke Pasar kikil mengalami proses terlebih dahulu. Proses

pengulitan kikil dilakukan dengan dua cara yaitu manual dan menggunakan alat

khusus. Proses pengulitan sapi dengan metode manual menggunakan katrol


21

sebagai penggantung sapi atau sapi dibiarkan tergeletak di lantai dan dikuliti

dengan pisau yang tajam secara hati-hati agar kulit tidak rusak. Sedangkan, proses

pengulitan sapi (skinning) dengan alat adalah dengan membuat irisan dari anus

sampai leher melewati bagian perut dan dada, dari arah kaki belakang dan kaki

depan menuju irisan tadi. Kulit dilepas dari arah ventral perut dan dada ke arah

dorsal dan punggung. Untuk mempercepat proses pengulitan digunakan mesin

penarik Hide Puller yang menarik dari arah hindshank ke arah leher dan

foreshank, selanjutnya ditimbang sebagai bobot kulit. Kemudian, kulit pada

bagian tubuh dipisah untuk disamak dan kulit pada bagian kaki untuk dijual

dipasar.(36)

Gambar 2.3 Kikil Sapi


Sumber : liputan6.com

2.3.2 Komposisi Zat Gizi pada Kikil

Zat gizi yang terkandung pada kikil adalah mineral, protein, kalsium dan

lain-lain. Kikil mengandung kolesterol dan serat yang cukup tinggi. Kadar

kolesterol per 100 gr kikil yaitu 23,9 miligram. Sedangkan, kadar serat per 100 gr

kikil yaitu 1,08 gram. Adapun kandungan gizi dalam kikil dapat dilihat pada tabel

dibawah ini: (37)


22

Tabel 2.2
Kandungan Unsur Gizi dalam Kikil
No Unsur gizi Kadar/500 gr bahan

1 Energi 151 kilokalori


2 Protein 1,8 gram
3 Karbohidrat 14,1 gram
4 Lemak 3,8 gram
5 Kalsium 210 miligram
6 Fosfor 250 miligram
7 Zat Besi 1 miligram
8 Air 60 gram
9 Kalium 354,62 miligram
10 Natrium 187,13 miligram
Sumber : Fakultas Kedokteran UI, 1992. (35)

Kikil juga mengandung selenium yang cukup tinggi. Hal ini berguna

sebagai antioksidan alami glutathione peroksidase yang berguna untuk mencegah

terjadinya resiko penyakit degeneratif. Konsumsi kikil berlebihan tidak

diperbolehkan karena mengandung banyak purin yang akan mengendap dalam

otot dan sendi dapat menyebabkan radang sendi dan asam urat ditandai dengan

rasa ngilu dan mudah letih. (36)

2.3.3 Penyajian Kikil

Kikil merupakan bahan pangan yang dapat diolah menjadi makanan

bergizi. Penyajian kikil berbeda-beda ditiap daerah. Kikil merupakan makanan

khas tradisional di provinsi Jawa di Kota Malang dan Lamongan kikil disajikan

dalam bentuk sate, soto, dan rawon. Di daerah lain, kikil masak dalam bentuk

gulai, sop dan bumbu kuning. Proses pengolahan kikil memerlukan waktu

pemasakan yang lama karena kolagen pada kikil yang dimasak akan berubah
23

menjadi gelatin, hal ini membuat kikil agar lebih empuk. Namun, beberapa orang

tidak menyukai kikil karena baunya yang menyengat. (38,39)

Kikil dapat di jumpai di Pasar Tradisonal maupun di Supermarket. Kikil

ada yang dijual masih bersama dengan tulangnya dan ada pula yang sudah

dilepas, sehingga terlihat seperti lembaran-lembaran kulit yang menggulung.

Untuk kikil yang sudah dipisahkan dari tulangnya, ukurannya beragam, ada yang

masih berupa lembaran besar dan ada pula yang sudah dipotong kotak kecil-kecil.
(40)

Kikil yang dijual masih bersama tulangnya, biasanya akan lebih mudah

dijumpai di pasar tradisional, sementara di supermarket dijual dalam kondisi

sudah direbus dan dipotong menjadi lembaran-lembaran kecil. Kikil yang dijual

tersebut merupakan kikil sapi karena ukurannya yang relatif lebih besar sehingga

dinilai lebih enak bila diolah menjadi makanan yang diinginkan. (41)

2.3.4 Pengawetan Kikil

Kulit segar (kulit baru ditanggalkan dari hewannya) yang disimpan tanpa

proses pengawetan akan cepat mengalami kerusakan. Kulit segar memiliki sifat

mudah busuk karena merupakan media yang baik untuk tumbuh dan berkembang

biaknya mikroorganisme. (37)

Pengawetan kulit sapi diperlukan karena dengan pengawetan dapat

diperoleh hasil dan nilai tambah hasil pemotongan ternak sapi. Kulit sapi yang

baru selesai dikuliti, hanya dapat bertahan selama 12 jam setelah pengulitan. Bila

tidak segera memperoleh penanganan, kulit sapi akan terkontaminasi dengan

mikroorganisme, dan membusuk. Untuk menghindari kerusakan kulit sapi, dan

bisa memasarkannya sebagai bahan baku pangan, kulit sapi harus diawetkan. (42)
24

Sebelum diawetkan, kulit sapi hasil pengulitan harus dibersihkan dari

daging, lemak, noda darah, dan kotoran yang menempel. Kulit sapi dibersihkan

dengan pisau tumpul atau dikikir, agar kulit tidak rusak. Jika sudah bersih kulit

sapi dijemur dalam keadaan terbentang dengan alat perentang yang dibuat dari

kayu. Posisi yang paling baik untuk penjemuran dengan sinar matahari ini, adalah

posisi sudut 45 . (42)

Untuk menjaga kualitas kulit, sebaiknya penjemuran hanya dilakukan

antara pukul 09.00 – 11.00, dan pukul 15.00 – 17.00, serta diangin-anginkan

antara pukul 11.00 – 15.00 pada tempat yang teduh. (41)

Maksud penjemuran adalah untuk mengurangi kadar air, sampai yang

tersisa hanya sekitar 7 – 15 %. Setelah pengeringan kulit sapi dirasa cukup, baru

dilakukan perendaman dalam larutan garam selama 36 jam. Adapun nilai

kejenuhan adalah 20 BE atau ratio 100 liter air dengan 50 kg garam. Dalam

peredaman selama 36 jam, kepekatan harus terkontrol dengan baik atau harus

dipetahankan standar 20 BE. Selesai perendaman dalam larutan air garam, kulit

sapi bisa diangkat dan dibentangkan pada lantai yang miring untuk menuntaskan

sisa-sisa air. Saat penjemuran jangan sekali-kali diperas, karena akan berdampak

buruk terhadap kualitas kulit. (43,44)

Setelah melalui proses tahapan tersebut, ada dua cara selanjutnya yang

perlu dilakukan, yakni: (43)

a. Cara penggaraman kering

Bila penuntasan air dianggap cukup, bagian daging pada kulit ditaburi

garam sebanyak 10 persen dari berat kulit sapi, dan kemudian didiamkan sampai
25

2-3 jam. Pekerjaan yang terakhir adalah penjemuran kulit sapi dengan alat

perentang sampai cukup kering.

b. Cara penggaraman basah

Bila penuntasan air dianggap cukup, kulit dibentangkan dan bagian daging

pada kulit ditaburi garam 30 persen dari berat kulit basah lalu didiamkan sampai

beberapa hari hingga air tuntas sempurna.

Penggaraman kulit tidak dikerjakan dengan garam dapur (NaCl)

sebagaimana penggaraman ikan atau penggaraman bahan pangan lain, tetapi

menggunakan jenis garam saltpeter (garam sendawa). Ada beberapa jenis garam

saltpeter : Sodium Nitrit (NaNO2), Sodium Nitrat (NaNO3), Potassium Nitrit

(KNO2) dan Potassium Nitrat (KNO3). Selain dengan garam saltpeter, pada

penggaraman daging sering digunakan bahan-bahan lain: gula, garam, garam

fosfat, askorbat dan bumbu. (42,44)

Penambahan garam pada kikil dengan konsentrasi 10% - 15% akan

menimbulkan asam laktat dalam keadaan anerobik, maka pertumbuhan

mikroorganisme perusak dapat dihambat. Namun, penambahan garam yang tinggi

dapat meningkatkan dan menurunkan kelarutan protein di dalam kikil. Pengaruh

garam dalam meningkatkan kelarutan protein disebut efek salting in. Sedangkan,

pengaruh garam dalam menurunkan kelarutan protein disebut efek salting out.

Kikil yang mengalami proses penggaraman mempunyai daya simpan yang tinggi

karena garam berfungsi menghambat atau menghentikan reaksi autolisis dan

membunuh bakteri yang terdapat di dalam kikil. Garam menyerap air di dalam

kikil sehingga proses metabolisme bakteri terganggu. Setelah digaram lalu kikil di

jemur di bawah sinar matahari langsung sampai kering. (45)


26

Proses pengeringan ini dilakukan untuk membantu menurunkan kadar

cairan di dalam tubuh bakteri. Jika bakteri kekurangan cairan dan proses

metabolisme terganggu maka bakteri akan mati. Proses penetrasi garam sesuai

dengan ketebalan bahan makanan, semakin tebal bahan makanan maka semakin

lambat penetrasi dan memerlukan jumlah garam yang banyak, tetapi sebaliknya

jika semakin tipis maka proses penetrasi akan semakin cepat. Setelah kikil kering

sempurna maka kikil dapat dijual dipasaran. Kikil yang telah dikeringkan ini

dapat berupa krecek kikil atau diolah menjadi kerupuk rambak kulit. Kerupuk

Rambak ini biasa dikenal dengan kerupuk jangek di daerah Sumatera Barat. (46,47)

2.4 Karakteristik Organoleptik Kikil

Organoleptik kikil dapat dibedakan menjadi kikil yang baik dan tidak baik.

Uji organoleptik adalah pengujian tekstur, warna dan bau pada produk makanan

dengan menggunakan panca indera manusia sebagai alat ukur utama dalam

mengetahui dan menilai adanya kelainan-kelainan pada produk makanan tersebut.

Kulit sapi yang masih segar memiliki tekstur yang liat atau kenyal. Permukaan

kikil yang segar masih terdapat kulit ari sisa-sisa lemak daging sapi.Kikil segar

memiliki aroma amis khas daging sapi. Kemudian, kikil yang segar memiliki

warna cenderung transparan dan berwarna putih susu. (48,49)

Berdasarkan Peraturan SNI 01-3933-1995, standar mutu kulit sapi dapat

dilihat dari keadaan fisik, keutuhan, benda asing yang menempel, kadar air, asam

lemak bebas, cemaran logam, cemaran arsen, dan cemaran mikroba.Standar mutu

kulit sapi dapat dilihat pada tabel dibawah ini:(50)


27

Table 2.3
Syarat Mutu Kulit Sapi Berdasarkan SNI
No Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1 Keadaan:
a. Bau - Normal
b. Rasa - Khas
c. Warna - Normal
d. Tekstur - Kenyal
2 Keutuhan %b/b Min 95
3 Benda asing, serangga dan potongan- - Tidak boleh ada
potongannya
4 Air %b/b Maks. 8,0
5 Abu tanpa garam %b/b Maks. 1,0
6 Asam lemak bebas (dihitung sebagai %b/b Maks. 1,0
asam laurat)
7 Cemaran logam :
a. timbal (Pb) mg/kg Maks. 2,0
b. tembaga (Cu) mg/kg Maks. 20,0
c. seng (Zn) mg/kg Maks. 40,0
d. timah (Sn) mg/kg Maks. 40,0
e. raksa (Hg) mg/kg Maks. 0,003
8 Arsen mg/kg Maks. 1,0
9 Cemaran mikroba
a. aneka lempeng total koloni/kg Maks. 5 x 10
b. coliform APM/g 3,0
c. salmonella koloni/kg Negative
Sumber : Badan Standar Nasional, 1995

Sedangkan kikil yang sudah tidak baik akan terlihat kekuningan, orange

atau bahkan berwarna kecoklatan. Kikil yang bewarna putih mengkilat dicurigai

menggunakan bahan kimia seperti H2O2 danformalin. Kulit sapi yang tidak baik

memiliki tekstur yang kaku atau keras dan memiliki bau yang menyengat atau

bahkan tidak ada aroma khas sapi(48)

2.5 Harga Kikil

Kikil yang dijual di Pasar Tradisional lebih murah dibandingkan kikil yang

dijual di Pasar Modern. Karena kikil yang dijual di Pasar Modern sudah diolah
28

terlebih dahulu dan dijual dalam bentuk kikil rebus yang berbentuk lembaran

kotak-kotak. Kikil rebus ini dibungkus menggunakan plastik atau steroform. (49)

Kikil yang di pasarkan dijual dengan harga yang berbeda dengan volume

berbeda. Rata-rata harga kikil yang dijual di Pasar Tradisional seharga Rp. 30.000

hingga Rp 40.000 per kilo. Adapun kikil yang dijual di Pasar Modern seharga Rp.

90.000 per kilo kikil ini dijual beserta potongan tungkai kaki dan di pack dalam

kemasan steroform. Harga kikil tersebut berbeda dikarenakan tempat penjualan

yang berbeda. Kikil yang tidak habis terjual disimpan untuk dijual keesokan

harinya. Hal ini memungkinkan adanya penyimpangan dalam produksi kikil

dengan adanya penambahan zat-zat yang tidak diperbolehkan dalam makanan

seperti formalin dan H2O2. (49)

2.6 Lokasi Penjualan Kikil

Di pasar tradisional kikil dijual dalam bentuk mentah yang belum

mengalami proses. Oleh karena itu, kikil yang dijual masih bersama tungkai kaki,

tetapi ada pula kikil yang dijual telah mengalami proses pengulitan dan terpisah

dari tungkai. Kikil yang telah mengalami proses pengulitan dijual dalam bentuk

lembaran besar dan masih terdapat kotoran yang menempel. Kikil yang dijual

kurang higienis karena lokasi pasar yang kotor dan tempat meletakkan kikil

sembarangan serta kikil dibiarkan terbuka, memungkinkan adanya lalat dan

mikroorganisme yang menempel pada kikil. Hal ini dapat mempercepat proses

pembusukan kikil sehingga adanya penyimpangan yang dilakukan oleh pedagang

dengan penambahan bahan pengawet yang bertujuan agar masa pembusukan kikil
29

lebih lama. Pedagang yang berjualan jarang memperhatikan keamanan dan

kebersihan bahan makanan. (39,41)

Sedangkan kikil yang dijual di pasar modern lebih higienis, karena tempat

meletakkan kikil tidak sembarang dan di letakkan pada wadah bersekat kemudian

di pack dalam steroform sehingga terlihat lebih bersih dan rapih. Kikil yang telah

di pack dijual dalam bentuk beku bertujuan agar masa simpan kikil lebih lama.

Kikil yang dijual di pasar modern biasanya sudah dibersihkan dari darah dan

kotoran. Kemudian direbus terlebih dahulu dan dijual dalam bentuk lembaran-

lembaran kecil sehingga tidak memerlukan proses pemasakan yang lama (39)

2.7 Keberadaan Formalin dalam Kikil

Penanganan kikil setelah produksi oleh produsen merupakan upaya untuk

menghambat proses fermentasi (pembusukan), pengasaman, atau peruraian

terhadap makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme sehingga makanan tidak

mudah rusak atau menjadi busuk maka dilakukannya pengawetan. Pengawet

alami relatif lebih mahal maka pedagang banyak yang menggunakan pengawet

buatan baik diizinkan maupun tidak diizinkan oleh peraturan yang ada. (45)

Pengawet yang diizinkan untuk kikil adalah jenis garam Nitrit yang

penambahannya diperbolehkan dalam bahan pangan. Penambahan Nitrit sebanyak

156 mg/kg cukup efektif menghambat pembentukan Warmed – over flayor

(WOF) yaitu berubahnya warna aroma dan rasa yang tidak menyenangkan pada

kikil, karena masa pembusukan yang relatif cepat maka pedagang beralih

menggunakan pegawet lain dengan penggunaan yang sedikit tetapi dapat

mempertahankan kikil lebih lama. Namun jika penambahan Nitrit melebihi batas
30

maka garam ini berpotensi merangsang pertumbuhan sel kanker bila terjadi

interaksi Nitrit terhadap senyawa amina yang terdapat di dalam cairan pencernaan

atau makanan yang dimakan. (49)

Formalin merupakan merupakan bahan pengawet yang dilarang

penggunaanya tetapi masih banyak digunakan dalam bahan pangan. Hal ini

terbukti dari hasil uji kit formalin yang dilakukan oleh Dinas Perternakan

Perikanan dan Kelautan (Peperla) di Kabupaten Kebumen. Hasilnya positif

ditemukan sebanyak 30 kilogram kikil impor berformalin yang beredar di pasaran.

Kecurigaan petugas bertambah saat mengetahui kikil dijual Rp 13.000-14.000

/kilogram. Padahal, harga normalnya lebih dari Rp 50.000/kilogram. (50)

Kemudian dilanjutkan dengan penelitian dari Dinas Kelautan, Pertanian

dan Ketahanan Pangan (KPKP) Jakarta Utara. Penelitian dilakukan ke-10 pasar

yaitu Pasar Inpres Kelapa Gading Timur, Pasar Mandiri, Pasar Tugu, Pasar

Lontar, Pasar Sunter Podomoro, Pasar Sungai Bambu, Pasar Lokbin Rorotan,

Pasar Kalibaru, Pasar Muara Karang dan Pasar Pluit. Hasil uji Laboratorium

menyatakan tujuh sampel kikil dari enam pasar positif mengandung formalin. (51)

Penyimpangan ini terjadi karena formalin lebih tahan lama mengawetkan

kikil dibandingkan pengawet alami dan buatan yang hanya tahan bebarapa jam.

Kontaminasi bakteri dapat menyebabkan perubahan sifat pangan sehingga masa

pembusukan yang terlalu cepat dapat merugikan pihak pedagang. (52)

Maraknya penggunaan formalin pada bahan makanan merupakan berita

yang menghebohkan pada penghujung tahun 2005 dan awal tahun 2006.

Berdasarkan hasil uji laboratorium pada 761 sampel bahan makanan di beberapa

kota besar di Indonesia terdapat beberapa jenis makanan yang mengandung


31

formalin. Penggunaan formalin pada bahan pangan sebagai pengawet dan

pengenyal. Formalin pada kikil menyebabkan tekstur liat dan kaku, tanpa

penambahan formalin bahan pangan yang disimpan pada suhu kamar akan berbau

dan berlendir. Hal ini merupakan tanda kerusakan setelah satu hari diproduksi.

Dengan penggunaan formalin, kikil akan tahan hingga berhari-hari. (53)

Banyak produsen yang tidak menggunakan formalin ikut merasakan

dampaknya dengan pemberitaan formalin ini. Hasil pemeriksaan Badan POM

pada tahun 2006 akhir mengindikasi 14 daerah telah bebas formalin, antara lain

adalah Jambi, Padang, Bengkulu, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta,

Pontianak, Manado, Kendari, Ambon, Jayapura. Namun, pada tahun 2015

pemberitaan penggunaan formalin pada bahan pangan muncul kembali. (53)

Dalam rangka menyempurnakan bidang keamanan, mutu, dan gizi bahan

pangan, serta mencegah terjadinya masalah baru dalam pangan perlu diadakannya

perencaanaan jaminan mutu yang baik. Jaminan mutu merupakan tindakan

pencegahan terjadi kesalahan dengan cara bertindak tepat dan sesuai prosedur

yang ada. Hal ini dapat dilakukan oleh setiap pengelolah pangan baik yang berada

di dalam maupun di luar bidang produksi. Penerapan jaminan mutu pangan harus

di dukung oleh GMP(Good Manufacturing Food) dan HACCP(The Hazard

Analysis and Critical Control Point) sebagai sistem pengganti prosedur inspeksi

tradisional yang mendeteksi adanya cacat dan bahaya dalam suatu produk pangan

setelah produk diproses. Tujuannya agar kemanan pangan dan produksi makanan

dapat terjaga serta sesuai standar yang telah ditetapkan. (54)

GMP menetapkan kriteria (istilah umum, persyaratan bangunan dan

fasilitas lain, peralatan serta control terhadap proses produksi dan proses
32

pengolahan), standar (spesifikasi bahan baku dan produk, komposisi produk) dan

kondisi (parameter proses pengolahan) agar didapat produk mutu yang baik.

Sedangkan HACCP yaitu adanya pengawasan dan pengendalian keamanan

pangan melalui identifikasi, analisis, pemantauan terhadap titik-titik kritis pada

keseluruhan bahan yang digunakan dan tahapan proses pengolahan yang dicurigai

akan dapat menimbulkan bahaya bagi konsumen. (54)

2.8 Metode Pemeriksaan

Pemeriksaan formalin yang akan dilakukan adalah uji kualitatif yaitu

untuk mengetahui ada tidaknya formalin pada sampel yang akan diuji. Metode uji

kualitatif yang digunakan untuk mengidentifikasi formalin dalam sampel, ada dua

metode yaitu dengan uji AgNO3 dan asam kromatofat: (29)

1. Uji dengan AgNO3

Endapan putih dari perak format (HCO2Ag) dalam suasana netral

direduksi secara lambat pada suhu kamar dan lebih cepat lagi jika dipanaskan.

Endapan yang terbentuk atau untuk membedakannya dari asetat yang terbentuk

dengan larutan dilusi perak akan terbentuk cermin pada dinding tabung.

HCO2Na + AgNO3 HCO2Ag + NaNO3


2HCO2Ag 2Ag + HCO2H + CO2

2. Uji dengan Asam Kromatofat

Asam format direduksi menjadi formaldehid (HCOH) oleh magnesium

dan HCL dan Formaldehide diidentifikasi dari reaksinya dengan asam kromatofat

(C10H6Na2O8S2.2H2O) dalam asam sulfat pekat yang akan membentuk warna

violet pink. Untuk aldehid alifatik lainnya tidak membentuk warna violet pink.

H2SO4 + H2O H3O+ + HSO4-.


33

2.10 Kerangka Konsep

Organoleptik

Harga Formalin pada


kikil sapi

Lokasi penjualan

Gambar 2.4 Kerangka Konsep


34

2.11 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Cara ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala


Operasional Ukur
1. Formalin Zat kimia yang Uji Alat 1. Positif (+) Nominal
ditambahkan ke kualitatif destilasi dan
formalin
dalam kikil sebagai metode metode
bahan pengawet Asam Asam 2. Negatif (-)
kikil yang dilarang Kromatofat Kromatofat
Formalin
penambahannya
dalam makanan
berdasarkan
Permenkes RI No.
033 tahun 2012.

2. Organoleptik Keadaan fisik kikil Observasi Visual 1. Baik Nominal


berdasarkan tekstur, 2. Tidak Baik
bau, dan warna.

3. Harga Nilai nominal dari Observasi Interview 1.< Rp 40.000 Ordinal


kikil yang dijual di 2.≥ Rp 40.000
Pasar Kota
Palembang yang
diukur dalam Rupiah
dalam berat 1 kg.

4. Lokasi Tempat penjualan Observasi Visual 1. Pasar Nominal


penjualan kikil yang berada di Modern
Pasar Kota 2. Pasar
Palembang terletak Tradisional
di Pasar Modern
dan Pasar
Tradisional.
BAB III
METODE PENELITIAN

3. 1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah deskriptif, yaitu peneliti hanya

melakukan deskripsi atau menggambarkan ada atau tidaknya keberadaan formalin

pada kikil sapiyang dijual di Pasar Kota Palembang tahun 2016. (55)

3. 2 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1 Lokasi

Lokasi penelitian dilakukan di seluruh Pasar Tradisional dan Pasar

Modern di Kota Palembang. Lokasi penelitian terdiri dari 16 lokasi pengambilan

sampel. Pemeriksaan sampel dilakukan di Laboratorium Kimia Terapan Jurusan

Analis Kesehatan Poltekkes Kemenkes Palembang.

3.2.2 Waktu

Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2016 sampai bulan Juli

tahun 2016.

3. 3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kikil sapi yang dijual di Pasar

Tradisional dan Pasar Modern di Kota Palembang tahun 2016.

3.3.2 Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh total populasi kikil sapi yang

dijual Pasar Kota Palembang tahun 2016. Sampel pemeriksaan yang digunakan

35
36

adalah kikil yang diambil sebanyak 100-250 gram lalu diuji di laboratorium untuk

mengetahui ada tidaknya formalin.

3. 4 Teknik Sampling

Teknik sampling yang digunakan adalah simple random sampling, yaitu

setiap anggota atau unit dari polpulasi mempunyai kesempatan yang sama untu

diseleksi sebagai sampel. (55)

3.5 Metode dan Prinsip Pemeriksaan

3.5.1 Metode Pemeriksaan

Metode pemeriksaan yang digunakan adalah metode Asam Kromatofat.(29)

3.5.2 Prinsip Pemeriksaan

Sampel diasamkan dengan asam fosfat (H3PO4) 10 % kemudian didestilasi

pada suhu 60-80oC. Destilat tersebut direaksikan dengan Asam Kromatofat 0,5%

dalam asam sulfat 60 % pada suhu ±100 oC dalam penangas air. Adanya formalin

ditunjukkan dengan terbentuknya warna ungu pada hasil destilat sampel.(29)

3.6 Alur Pemeriksaan


Sampel kikil sapi

Dilihat organoleptik Pengolahan sampel


(keadaan fisik) kikil
Uji laboratorium dengan
Metode Asam
Baik Tidak Kromatofat
Baik

Positif (+) Negatif (-)


Formalin Formalin
Gambar 3.5 Alur Pemeriksaan
37

3.7 Interpertasi Hasil

Uji Kualitatif Formalin metode Asam Kromatofat

Positif (+) : Terbentuk destilat berwarna ungu

Negatif (-) : Tidak terbentuk destilat berwarna ungu

3.8 Analisis Data

Data-data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk tabel-tabel

(tabulasi).

1. Univariat yaitu tabel distribusi frekuensi yang menjelaskan karakteristik

setiap variabel penelitian, yaitu distribusi frekuensi formalin dalam kikil,

organoleptik kikil, harga kikil, dan lokasi penjualan kikil.

2. Bivariat yaitu tabel distribusi frekuensi yang menjelaskan dua variabel

dependen dan independen, yaitu distribusi frekuensi kikil yang

mengandung formalin berdasarkan organoleptik kikil, harga kikil, dan

lokasi penjualan kikil.


BAB IV
HASIL PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap keberadaan formalin

dalam kikil sapi yang dijual di Pasar Kota Palembang tahun 2016, didapatkan

hasil sebagai berikut:

Tabel 4.1
Distribusi Frekuensi Keberadaan Formalin dalam Kikil Sapi yang Dijual di
Pasar Kota Palembang Tahun 2016

Formalin Jumlah %

Positif 7 43,7

Negatif 9 56,3

Total 16 100

Berdasarkan tabel 4.1 dari 16 sampel yang diperiksa, didapatkan sebanyak

7 sampel (43,7 %) positif mengandung formalin, dan 9 sampel (56,3 %) negatif

mengandung formalin.

Tabel 4.2
Distribusi Frekuensi Organoleptik Kikil Sapi yang Dijual Di Pasar Kota
Palembang Tahun 2016

Organoleptik Jumlah %

Baik 10 62,5

Tidak Baik 6 37,5

Total 16 100

38
39

Berdasakan tabel 4.2 dari 16 sampel yang di uji organoleptik, didapatkan

sebanyak 10 sampel (62,5 %) dengan organoleptik fisik baik, dan 6 (37,5 %)

sampel dalam organoleptik tidak baik.

Tabel 4.3
Distribusi Frekuensi Harga Kikil Sapi yang Dijual Di Pasar Kota
Palembang Tahun 2016

Harga Jumlah %

< Rp 40.000 9
56,3
≥ Rp 40.000 7
43,7
Total 16 100

Berdasarkan tabel 4.3 dari 16 sampel kikil sapi, didapatkan sebanyak

9 sampel (56,3 %) dengan harga < Rp 40.000, dan 7 sampel (43,7 %) dengan

harga ≥ Rp 40.000.

Tabel 4.4
Distribusi Frekuensi Lokasi Penjualan Kikil Sapi yang Dijual Di Pasar Kota
Palembang Tahun 2016

Lokasi Penjualan Jumlah %

Pasar Modern 6 37,5

Pasar Tradisional 10 62,5

Total 16 100

Berdasakan tabel 4.4 dari 16 sampel yang dijual di Pasar Kota Palembang,

didapatkan sebanyak 6 sampel (37,5 %) yang dijual di Pasar Modern kota

Palembang, dan 10 sampel (62,5 %) yang dijual di Pasar Tradisional kota

Palembang.
40

Tabel 4.5
Distribusi frekuensi keberadaan formalin dalam kikil sapi yang dijual di
Pasar Kota Palembang Tahun 2016 berdasarkan organoleptik kikil sapi

Formalin
Organoleptik Jumlah
Positif Negatif
kikil sapi
N % n % N %
Baik 1 10 9 90 10 100

Tidak Baik 6 100 0 0 6 100


Total 7 43,7 9 56,3 16 100

Berdasarkan tabel 4.5 didapatkan hasil dari 10 sampel kikil sapi dalam

organoleptik fisik baik, sebanyak 1 sampel (10 %) positif mengandung formalin,

dan 9 sampel (90 %) negatif mengandung formalin, sedangkan dari 6 sampel

dalam organoleptik fisik tidak baik, semuanya positif mengandung formalin.

Tabel 4.6
Distribusi Frekuensi Keberadaan Formalin dalam Kikil Sapi yang Dijual Di
Pasar Kota Palembang Tahun 2016 Berdasarkan Harga Kikil Sapi

Formalin
Jumlah
Harga kikil sapi Positif Negatif
N % n % N %
< Rp 40.000 5 55,6 4 44,4 9 100

≥ Rp 40.000 2 28,6 5 71,4 7 100

Total 7 43,7 9 56,3 16 100

Berdasarkan tabel 4.6 didapatkan hasil dari 9 sampel dengan harga kikil

sapi < Rp 40.000, sebanyak 5 sampel (55,6 %) positif mengandung formalin, dan

4 sampel (44,4 %) negatif mengandung formalin, sedangkan 7 sampel ≥ Rp

40.000, sebanyak 2 sampel (28,6 %) positif mengandung formalin, dan 5 sampel

(71,4 %) negatif mengandung formalin.


41

Tabel 4.7
Distribusi Frekuensi Keberadaan Formalin dalam Kikil Sapi yang Dijual Di
Pasar Kota Palembang Tahun 2016 Berdasarkan Lokasi Penjualan Kikil
Sapi

lokasi penjualan Formalin Jumlah


kikil sapi Positif Negatif
N % n % N %
Pasar Modern 1 16,7 5 83,3 6 100

Pasar Tradisional 6 60 4 40 10 100

Total 7 43,7 9 56,3 16 100

Berdasarkan tabel 4.7 didapatkan 6 sampel kikil sapi yang dijual di Pasar

Modern, sebanyak 1 sampel (16,7 %) positif mengandung formalin, dan 5 sampel

(83,3 %) negatif mengandung formalin, sedangkan 10 sampel kikil sapi yang

dijual di Pasar Tradisional, sebanyak 6 sampel (60 %) positif mengandung

formalin, dan 4 sampel (40 %) negatif mengandung formalin.

4.2 Pembahasan

4.2.1 Keterbatasan Penelitian

Pada penelitian ini, terdapat kelemahan dalam hal persiapan sampel.

Beberapa kelemahan tersebut antara lain, peneliti melakukan observasi

(mengamati secara langsung) dalam hal penentuan lokasi pengambilan sampel,

namun saat penelitian ketika dilakukan pengambilan sampel ternyata berbeda

dengan hasil observasi awal yang telah dilakukan. Hal ini dikarenakan ada

beberapa lokasi pengambilan sampel yang tidak lagi menjual kikil sapi tersebut.

Lalu, jarak antar lokasi pengambilan sampel cukup jauh, dan waktu sampel di jual

di masyarakat biasanya memiliki rentan waktu antara jam 6-8 pagi, tetapi ada
42

pula yang menjual dimulai pukul 9 pagi. Jarak dan waktu penjualan ini

menyebabkan kesulitan bagi peneliti untuk mengumpulkan sampel secara

keseluruhan, sehingga peneliti melibatkan banyak orang dalam hal pembelian

sampel dapat diperoleh secara maksimal.

Disamping itu, ada perbedaan perlakuan setiap penjual terhadap kikil yang

diproduksinya. Ada beberapa sampel yang diletakkan dalam styrofoam bertutup

plastik ataupun di biarkan terbuka diatas meja penjual saat dijajakan. Hal ini

sebenarnya tidak mempengaruhi keberadaan formalin dalam kikil tersebut, namun

hal ini akan berpengaruh pada hasil uji organoleptik yang menunjang keberadaan

formalin dalam kikil sapi.

Pada saat penelitian, reagen asam kromatofat yang akan digunakan harus

dibuat baru setiap saat akan digunakan. Hal ini dilakukan karena untuk

meminimalisasi terjadinya kerusakan reagen yang dapat menyebabkan hasil

positif palsu pada saat pembacaan hasil.

4.2.2 Distribusi Frekuensi Keberadaan Formalin dalam Kikil Sapi yang


Dijual Di Pasar Kota Palembang Tahun 2016

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap 16 sampel kikil

sapi dengan melakukan uji kualitatif formalin dengan metode asam kromatofat,

ditemukan 7 sampel (43,7 %) yang positif mengandung formalin atau terdeteksi

kandungan formalin.

Menurut Permenkes RI nomor 033 tahun 2012 tentang bahan tambahan

pangan, terdapat bahan tambahan pangan yang dilarang penggunaanya, salah

satunya yaitu formalin.(19,21)


43

Masih ditemukannya keberadaan formalin dalam kikil sapi yang dijual di

Pasar Modern dan Pasar Tradisional di Kota Palembang tahun 2016 menunjukkan

bahwa masih kurangnya pengetahuan pedagang terhadap penggunaan formalin

yang tidak boleh ditambahkan dalam makanan. Selain itu, masih banyak

peredaran makanan dan minuman yang dijual menggunakan tambahan zat

berbahaya. Hal ini membuktikan lemahnya pengawasan dan pengendalian

keamanan pangan yang menjadi tanggung jawab pemerintah. (51,54)

Formalin yang ditambahkan ke dalam makanan dapat mempertahankan

kualitas bahan pangan dalam jangka waktu yang lebih lama sehingga dapat

mengurangi resiko kerusakan dan membuat bahan pangan tampak lebih segar.

Formalin bersifat karsinogen (menyebabkan kanker), mutagen (menyebabkan

perubahan fungsi sel dan jaringan), dan iritatif. Sehingga mengkonsumsi dalam

waktu yang lama akan menimbulkan iritasi saluran cerna dan kerusakan ginjal

serta pada kadar yang tinggi dapat menyebabkan kematian. (20,23)

Adapun beberapa faktor pendukung menambahkan formalin ke dalam

kikil sapi, kurangnya pengetahuan, keahlian, dan kemampuan teknologi dalam

mengawetkan kikil sapi. Selain itu, formalin yang ditambahkan ke dalam

makanan akan lebih tahan lama dibandingkan bahan pengawet buatan seperti

garam nitrit yang hanya tahan beberapa jam. Karena pembusukan makanan yang

terlalu cepat dapat merugikan pihak pedagang.(52)

4.2.3 Distribusi Frekuensi Keberadaan Formalin Pada Kikil Sapi Yang


Dijual Di Pasar Kota Palembang Tahun 2016 Berdasarkan
Organoleptik Kikil Sapi

Berdasarkan tabel 4.5 didapatkan hasil dari 10 sampel kikil sapi dalam
44

keadaan fisik baik, sebanyak 1 sampel (10 %) positif mengandung formalin, dan

9 sampel (90 %) negatif mengandung formalin, sedangkan dari 6 sampel dalam

keadaan fisik tidak baik, semuanya positif mengandung formalin.

Organoleptik kikil sapi dapat dibedakan menjadi kikil sapi yang baik dan

tidak baik. Uji organoleptik adalah pengujian tekstur, bau, dan warna suatu

produk makanan dengan menggunakan panca indera manusia sebagai alat utama

untuk mengetahui dan menilai adanya kelainan-kelainan pada produk makanan

tersebut. Pengujian ini melibatkan beberapa panelis untuk menilai keadaan fisik

dari kikil tersebut dengan mempertimbangkan tesktur, bau, dan warna dari kikil

sapi.

Kikil sapi yang baik memiliki tekstur yang kenyal dengan permukaan kikil

terdapat kulit ari sisa-sisa lemak daging sapi, memiliki aroma amis khas daging

sapi dan warna cenderung transparan yaitu berwarna putih cerah. Sedangkan kikil

yang tidak baik akan berwarna putih mengkilat dengan tekstur yang kaku dan

tidak memiliki aroma khas sapi. Berdasarkan kriteria tersebut panelis dapat

menilai organoleptik kikil sapi yang baik dan tidak baik.(47,48)

Setelah sampel kikil yang diuji secara organoleptik didapatkan dari 10

sampel kikil sapi berwarna putih cerah, memiliki aroma khas sapi, dan memiliki

tekstur yang kenyal memenuhi kriteria organoleptik baik. Hasil yang didapat

ternyata ada 1 sampel positif mengandung formalin. Namun, saat di uji

organoleptik larutan ungu yang terbentuk tidak terlalu mencolok akan tetapi masih

tergolong positif karena larutan berwarna ungu yang terbentuk melebihi kontrol

negatif. Sedangkan dari 6 sampel yang diuji organoleptik didapatkan warna putih

pucat dengan tekstur yang kaku dan tidak memiliki aroma khas sapi memenuhi
45

kriteria organoleptik tidak baik. Setelah di uji kualitatif menggunakan asam

kromatofat didapatkan dari 6 sampel semuanya positif mengandung formalin.

Formalin pada kikil menyebabkan tekstur liat dan kaku, tanpa penambahan

formalin bahan pangan yang disimpan pada suhu kamar akan berbau dan

berlendir. Hal ini merupakan tanda kerusakan setelah satu hari diproduksi.

Dengan penggunaan formalin, kikil akan tahan hingga berhari-hari. (53)

4.2.4 Distribusi Frekuensi Keberadaan Formalin Pada Kikil Sapi Yang


Dijual Di Pasar Kota Palembang Tahun 2016 Berdasarkan Harga
Kikil Sapi

Berdasarkan tabel 4.6 didapatkan hasil dari 9 sampel dengan harga kikil

sapi < Rp 40.000, sebanyak 5 sampel (55,6 %) positif mengandung formalin, dan

4 sampel (44,4 %) negatif mengandung formalin, sedangkan 7 sampel ≥ Rp

40.000, sebanyak 2 sampel (28,6 %) positif mengandung formalin, dan 5 sampel

(71,4 %) negatif mengandung formalin.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Dinas Pertenakan Perikanan dan

Kelautan (Paperla) yang menyatakan bahwa ditemukan kandungan formalin pada

kikil sapi yang biasa dijual dengan harga murah yaitu Rp 13.000-14.000/ Kg.(50)

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, ditemukan formalin dalam

kikil sapi yang dijual dengan harga < Rp 40.000 dan ≥ Rp 40.000 , menguatkan

adanya penyimpangan dalam produksi kikil sapi yang tidak tergantung pada

harga. Hal ini dibuktikan dari 1 sampel kikil yang dijual dengan harga ≥ Rp

40.000 ternyata positif mengandung formalin.

Pada penelitian kali ini ditemukan 5 sampel yang dijual dengan harga

murah yaitu < Rp 40.000 . Hal ini membuktikan bahwa harga kikil sapi yang
46

lebih murah cenderung mengandung formalin karena penambahan formalin dalam

kikil dapat mengawetkan kikil hingga berhari-hari sehingga pedagang tidak

merugi. Sedangkan kikil yang tidak meggunakan formalin akan memiliki masa

pembusukan yang lebih cepat dengan harga jual yang relatif lebih mahal.

4.2.5 Distribusi Frekuensi Keberadaan Formalin Pada Kikil Sapi Yang


Dijual Di Pasar Kota Palembang Tahun 2016 Berdasarkan Lokasi
Penjualan Kikil Sapi

Berdasarkan tabel 4.7 didapatkan hasil dari 6 kikil sapi yang dijual di

Pasar Modern, sebanyak 1 sampel (16,7 %) positif mengandung formalin, dan 5

sampel (83,3 %) negatif mengandung formalin, sedangkan 10 sampel kikil sapi

yang dijual di Pasar Tradisional, sebanyak 6 sampel (60 %) positif mengandung

formalin, dan 4 sampel (40 %) negatif mengandung formalin.

Adapun lokasi pengambilan sampel adalah di Pasar Tradisional (Pasar

Perumnas, Pasar Sekip, Pasar KM 5, Pasar Cinde, Pasar Lemabang, Pasar Kuto,

Pasar 16 Ilir, Pasar 26 Ilir, Pasar Kenten Laut, Pasar Sukawinatan) dan di Pasar

Modern (Lotte Mart, PTC, Giant, Superindo, Carrefour, Hypermart).

Pada penelitian ini, hasil yang didapat dari 16 sampel terdapat 1 sampel

kikil sapi yang dijual di Pasar Modern positif mengandung formalin. Hal ini

membuktikan bahwa penambahan formalin tidak tergantung pada lokasi

penjualan. Karena kikil sapi yang dijual di Pasar Modern ternyata positif

mengandung formalin. Hal ini menguatkan adanya penyimpangan oleh produsen

atau pedagang dengan menambahkan zat -zat yang tidak diperbolehkan dalam

makanan.
47

Seharusnya pengawet seperti formalin dapat diganti dengan penambahan

garam atau nitrit pada kikil. Garam yang ditambahkan dengan konsentrasi

10-15 % akan menimbulkan asam laktat dalam keadaan anerobik dapat

menghambat pertumbuhan mikroorganisme perusak bahan pangan.Sehingga,

penambahan zat-zat berbahaya dapat dihindari agar makanan yang dikonsumsi

akan lebih aman dan terjaga kualitasnya. (45)


BAB V
SIMPULAN & SARAN

5.1 Simpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap 16 sampel kikil sapi

yang dijual di Kota Palembang tahun 2016 dapat disimpulkan bahwa :

1. Sebanyak 7 sampel (43,7 %) positif mengandung formalin dan 9 sampel

(56,3 %) negatif mengandung formalin.

2. Berdasarkan organoleptik, sampel kikil sapi dengan organoleptik fisik baik

sebanyak 10 sampel dengan hasil 1 sampel (10 %) positif mengandung

formalin, dan 9 sampel (90 %) negatif mengandung formalin, sedangkan

dari 6 sampel dalam organoleptik fisik tidak baik, semuanya positif

mengandung formalin.

3. Berdasarkan harga dari 9 sampel kikil sapi dengan harga < Rp 40.000,

sebanyak 5 sampel (55,6 %) positif mengandung formalin, dan 4 sampel

(44,4 %) negatif mengandung formalin, sedangkan 7 sampel ≥ Rp 40.000,

sebanyak 2 sampel (28,6 %) positif mengandung formalin, dan 5 sampel

(71,4 %) negatif mengandung formalin.

4. Berdasarkan lokasi penjualan dari 6 kikil sapi yang dijual di Pasar

Modern, sebanyak 1 sampel (16,7 %) positif mengandung formalin, dan 5

sampel (83,3 %) negatif mengandung formalin, sedangkan 10 sampel kikil

sapi yang dijual di Pasar Tradisional, sebanyak 6 sampel (60 %) positif

mengandung formalin, dan 4 sampel (40 %) negatif mengandung

formalin.

48
49

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan, maka penulis

menyarankan :

1. Dilakukan pengujian perendaman kikil sapi yang positif mengandung

formalin menggunakan larutan garam agar kikil sapi mengalami

penurunan kadar formalin.

2. Bagi masyarakat agar lebih memperhatikan kikil sapi yang dipilih untuk

dikonsumsi. Adapun hal yang dapat diperhatikan oleh masyarakat adalah

kikil sapi yang dibeli dilakukan uji organoleptik (uji tekstur, bau, dan

warna), apabila kikil sapi yang dibeli dalam keadaan kaku dengan bau zat

kimia dan berwarna putih pucat, maka patut dicurigai kikil yang dibeli

mengandung pengawet, seperti formalin yang dapat mengakibatkan

dampak buruk bagi kesehatan.

3. Bagi instansi terkait diharapkan untuk memberikan perhatian lebih

terhadap keamanan produksi kikil sapi sehingga penjual tidak melakukan

penggunaan bahan kimia yang dilarang seperti formalin.

4. Bagi produsen/pedagang diharapkan untuk tidak menambahkan zat-zat

berbahaya pada bahan makanan yang dijual seperti formalin dan lebih

memperhatikan kualitas dari bahan makanan yang dijajakan.


DAFTAR PUSTAKA

1. Komariah, S. Purnomo, D. 2005. Mengembangkan Kreativitas, Membidik


Peluang Aneka Olahan Daging Sapi Sehat, Bergizi, dan Lezat.
Agro Media Pustaka. Depok.

2. Marsetyo. Med. Kartasapoetra. 2003. Ilmu Gizi, Korelasi Gizi, Kesehatan


dan Produksi Kerja. Rineka Cipta. jakarta.

3. Kusnandar, F. 2011. Kimia Pangan Komponen Makro. Dian Rakyat.


Jakarta.

4. Guntoro, S. 2002. Membudidayakan Sapi Bali. Kanisisus. Yogyakarta.

5. Ditjennak. 2015. Populasi Sapi Potong Menurut Provinsi di Indonesia


Tahun 2015.
(http;//www.pertanian.go.id/ASEM2015NAK/Pop_SapiPotong_Prop_
2015. Web Resmi Kementrian Pertanian RI . Diakses tanggal 21
November 2015).

6. Ditjennak. 2015. Produksi Daging Sapi Menurut Provinsi di Indonesia


Tahun 2015.
(http://kesmavet.ditjennak.pertanian.go.id/index.php/berita/tulisan-
ilmiahpopuler/81-teknologi-pengolahan-dan-pemanfaatan-kulit-sapi.
Diakses tanggal 19 November 2015).

7. Earle, R. L. 1982. Satuan Operasi dalam Pengolahan Pangan. Sastra


Budaya. Bogor.

8. Depkes, Pengawetan Makanan dalam SK Menkes RI No. 722 tahun 1988.


(www.depkes.go.id. Web Resmi Departemen Kesehatan. Diakses
Tanggal 2 November 2015).

9. Tjay,T. H. Rahardja, K. 2007. Obat–Obat Penting: Khasiat, Penggunaan


dan Efek-Efek Sampingnya. Elex MediaKomputindo. Edisi ke 6.

10. Winarno. 2004. Keamanan Pangan Jilid 2. Brio Press. Bogor.

11. Saptarini, Wardati, dan Supriatna. 2011. Deteksi Formalin dalam Tahu di
Pasar TradisionalPurwakarta. (Web resmi Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/3435/4.%2M
EKAR%20SAPTARINI.pdf?sequence=1.Diakses tanggal 30 Januari
2016).
12. Faradila, Alioes dan Elmatris. 2014. Identifikasi Formalin pada Bakso yang
Dijual pada Beberapa Tempat di Kota Padang. (Web resmi
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/download/71/66. Diakses
tanggal 31 Januari 2016).

13. Republika. 2005. Hindarkan Pemakaian Legal Formalin untuk Pangan.


(http://www.republika.co.id Diakses tanggal 4 November).

14. Metro. 2015. Produksi Kikil yang Menggunakan Formalin di Kalideres


Jakarta.
(http://Metro.News.Viva.Co.Id/News/Read/601059PengakuanMeng-
ejutkanPenjual-Kikil-Berformalin. Diakses tanggal 5 November
2015).

15. Liputan6. 2015. Produksi Kikil yang Menggunakan Zat Kimia dan
Formalin di Tasikmalaya.
(http://News.Liputan6.Com/Read/2196720/Pabrik-Kikil-Berformalin-
diTasikmalaya-Tak-Berizin. Diakses tanggal 6 November
2015).

16. Deman, J. M. 1989. Principles of Food Chemistry. Van Nostrand Reinhold.


A Division Of Wadsworth. Penerjemah Padmawinata, Kosasih. Edisi
Kedua.ITB. Bandung.

17. Subroto, M. A. 2008. Real Food True Health. Agromedia Pustaka. Jakarta.

18. Praja, D. I. 2015. Zat Aditif Makanan: Manfaat dan Bahayanya.


Garudhawaca. Yogyakarta.

19. BPOM, 2013. Bahan Pengawet yang diizinkan Penggunaannya.


(www.pom.go.id. Web Resmi BPOM. Diakses tanggal 10 Desember
2015).

20. Suprapti, L. 2005. Teknologi Pengolahan Pangan. Kanisius. Yogyakarta.

21. Hidayati, D & Saparinto, C. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Kanisus.


Yogyakarta.

22. Frank C. Lu. 1995. Toksikologi Dasar Edisi 2: Asa, Organ Sasaran, dan
Penilaian Risiko. Universitas Indonesia.

23. Suyanti. 2010. Panduan Mengolah Dua Puluh Jenis Buah. Penebar
Swadaya. Depok.

24. Sari, R. W. 2008. Dangerous Junk Food. Niaga Swadaya. Yogyakarta.


25. Kristanti, H. 2010. Vitamin, Mineral dan Elektrolit. Citra Pustaka.
Yogyakarta.
26. Commite on Toxicology. 1980. Formaldehyde: an Assessment of its
Health Effects. National Academies. U.S.

27. Lippman. 2009. Environmental Toxicants: Human Exposures and Their


Health Effects. Wiley. Canada.

28. Jeyaratnam, J & Koh, D. 1996. Textbook of Occupational Medicine


Practice. World Scientific Publishing. USA.

29. BPPT. 2008. Formalin.


(Web Resmi Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologiwww.enviro.bppt.go.id. Diakses tanggal 12 Desember
2015).

30. Ray, S. D. 2014. Side Effect of Drugs Annual 36 FirstEdition. Elsevier.


USA.

31. Nova, F. 2009. Crisis Relations Public. Grasindo. Jakarta.

32. Sartono. 2001. Racun dan Keracunan. Widya Medika. Jakarta.

33. David M. Greenberg. Metabolic Pathways: Second Edition of Chemical


Pathways of Metabolism. Academic Press. California.

34. John B. Sullivan, Jr. Gary R. Krieger. 2001. Clinical Environmental Health
and Toxic Exposures Second Edition. Lippincott Williams &
Wilkins. USA.

35. Ambarini & Effendi, Y. H. 2008. Menu Sehari-Hari untuk Golongan


Darah O. Gramedia. Jakarta.

36. Pratana, M. & Nanit. 2008. 505 Masakan Nusantara Favorit. Gradien
Mediatama. Yogyakarta.

37. Indraswari, H. 2003. Teknologi Pengolahan Pangan Rambak Kulit Ikan.


Kanisius. Yogyakarta.

38. Redaksi Agromedia Pustaka. 2008. Tempat Makan Favorit di 6 Kota.


Agromedia Pustaka. Jakarta.

39. Djagal, W & Marseno. Pusat Kajian Makanan Tradisional. Universitas


Gadjah Mada.

40. Hadibroto, Kartohadiprodjo & Tobing. 2010. Koleksi 120 Resep Masakan
Sapi. Gramedia. Jakarta.
41. Lilly, T & Erwin. 2008. 100 PTM: Makanan Khas Daerah. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.

42. Yuyun, A. 2012. Panduan Sukses Berbisnis Bakso. Agromedia Pustaka.


Jakarta.

43. Murtidjo, B. A 1990. Sapi Potong. Kanisius. Yogyakarta.

44. Nugraheni, M. 2010. Diktat Pengetahuan Bahan Pangan. Universitas


Negeri Yogyakarta.(dokumen.tips/documents/diktat-kimia-
pangan.html. Diakses tanggal 12 Desember 2015).

45. Ayustaningwarno, F. 2014. Aplikasi Pengolahan Pangan. Deepublish.


Yogyakarta.

46. Muchtadi & Ayustaningwarno. 2010. Teknologi Proses Pengolahan


Pangan. Alfabeta. Bandung.

47. Afrianto, E. Liviawaty & Evi. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan.
Kanisius. Yokyakarta.

48. Tim Dapur Demedia. 2008. Aneka Jajanan Indonesia Popular. Agromedia.
Pustaka. Jakarta.

49. Badan Standar Nasional. 1995. Syarat Mutu Kulit SapiSNI 01-3933-1995.
(http://sisni.bsn.go.id/index.php?/sni_main/sni/detail_sni/4369.Web
Resmi BSN. Diakses tanggal 2 Januari 2016)

50. Pemerintah Kebumen, 2008. Beredar Kikil dan Kolang-Kaling


Berformalin.
(http://www.kebumenkab.go.id/index.php/public/news/detail/290.
Web Resmi Pemerintah Kabupaten Kebumen. Diakses tanggal 20
Desember 2015).

51. Pemprov Jakarta, 2015. Pasar di Jakarta Utara Belum Bebas dari
MakananBerbahaya..
(http://www.beritajakarta.com/read/12188/Pasar_di_Jakut_Belum_Beb
as_dari_Makanan_Berbahaya. Web Resmi Pemprov Jakarta Diakses
tanggal 18 Desember 2015).

52. Harrington, J. M. & Gill, F. S. 2005. Pocket Consultant Occupational


Health. Gramedia. Jakarta.

53. Yuyun, A. & Gunarsa, D. 2011. Cerdas Mengemas Produk Makanan dan
Minuman. Agromedia Pustaka. Jakarta.
54. Rooker, L. J. 2013. Food and Drink Good Manufacturing Practice. Willey
Blackwell. London.

55. Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta:


Jakarta.
LAMPIRAN 2

FORMAT CHECKLIST KEADAAN ORGANOLEPTIK


KIKIL SAPI PENELITIAN GAMBARAN KEBERADAAN FORMALIN
DALAM KIKIL YANG DIJUAL DI PASAR KOTA PALEMBANG TAHUN
2016

Kode Sampel :
Tanggal :
Lokasi Pengambilan :
Tabel Check List
Orang Ke-
Kode Keadaan
Nilai
Sampel Organoleptik
1 2 3 4 5 Skor

Tekstur

Bau

Warna

Jumlah
Keterangan :
a. Tekstur : 1 = Sangat kaku
2 = Kaku
3 = Sedikit kaku
4 = Kenyal
5 = Sangat kenyal
b. Bau : 1 = Sangat bau bahan kimia
2 = Bau bahan kimia
3 = Sedikit bau bahan kimia
4 = Bau khas sapi
5 = Sangat bau khas sapi
c. Warna : 1 = Sangat Putih Pucat
2 = Putih pucat
3 = Sedikit putih pucat
4 = Putih cerah
5 = Sangat putih cerah
Kesimpulan :
Baik bila skor = 10-15
 Organoleptik Kikil Sapi dikatakan baik apabila:
 Tekstur : Kenyal
 Bau : Khas sapi
 Warna : Putih cerah

Tidak Baik bila skor = 3-9


 Organoleptik Kikil Sapi dikatakan tidak baik apabila:
 Tekstur : Keras/ kaku
 Bau : Zat kimia formalin
 Warna : Putih pucat

Catatan :
 Kikil yang memiliki keadaan fisik baik apabila kriteria tekstur, bau dan
warna baik.
 Tiap kriteria dinyatakan baik apabila > 3 panelis menyatakan baik.
 Tiap kriteria dinyatakan tidak baik apabila > 3 panelis menyatakan tidak
baik.
LAMPIRAN 3

PROSEDUR KERJA PERHITUNGAN HARGA KIKIL SAPI PER 1 KG

Prinsip

Volume kikil sapi di timbang dengan neraca analitik, dihitung jumlah

volume, kemudian harga kikil sapi tiap1 Kg adalah harga kikil sapi (Rp) per

volume kikil sapi yang diukur (kg).

Peralatan

 Neraca analitik

 Kalkulator

 Data harga kikil sapi

 Gelas arloji

Bahan

Kikil sapi

Prosedur kerja

1. Masukkan kikil sapi ke dalam gelas arloji. Gelas arloji yang digunakan di

sesuaikan dengan volume kikil sapi tersebut.

2. Lalu hitung volume kikil sapi. Selanjutnya catat data dari volume kikil

sapi dari sampel 1-16.

3. Selanjutnya lakukan perhitungan dengan data harga kikil sapid an data

volume kikil sapi untuk mendapatkan harga kikil sapi per 1 kg.

Rumus perhitungan :

Harga kikil sapi tiap Kg = Harga kikil sapi (Rp)

Volume kikil (kg)


LAMPIRAN 4

PROSEDUR PEMERIKSAAN LABORATORIUM DENGAN UJI ASAM


KROMATOFAT
(Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-2894-1992)

1. Prinsip

Sampel diasamkan dengan asam fosfat 10%, kemudian di destilasi pada

suhu 60-80 ºC, hasil destilasi (destilat) tersebut direaksikan dengan asam

kromatofat pada suhu ± 100ºC dalam waterbath atau penangas air. Adanya

formalin dalam sampel ditunjukkan dengan terbentuknya warna ungu.

2. Peralatan

 Perangkat destilasi

 Gelas ukur 5 ml, 100 ml

 Pipet volume 1 ml

 Thermometer

 Tabung reaksi

 Rak tabung reaksi

 Penangas air (waterbath)

 Neraca teknis

 Batang pengaduk

 Glass wool

3. Bahan Dan Reagensia

 Kikil sapi
 Aquadest

 Asam Fosfat (H3PO4) 10%

 Asam Kromatofat 0,5% dalam asam sulfat 60%

4. Pembuatan Reagensia

a. Cara pembuatan Asam Fosfat (H3PO4) 10%

Keterangan : V1 = Volume asam fosfat yang diperlukan

C1 = Konsentrasi awal asam fosfat

V2 = Volume asam fosfat yang akan dibuat

C2 = Konsentrasi asam fosfat yang akan dibuat

Perhitungan :C1×V1 = C2× V2

Asam fosfat 10% 100 ml

C1×V1 = C2× V2

10 ×100 = 85 ×V2

1000/85 = V2

V2 = 11,7 ml

 Pipet asam fosfat 85% sebanyak 11,7 ml, masukkan dalam beaker glass

250 ml, homogenkan.

 Lalu masukkan ke dalam labu ukur 100 ml add kan aquadest hingga 100

ml, homogenkan.

 Beri etiket

b. Cara pembuatan asam sulfat 60 %

Keterangan : V1 = Volume asam sulfat yang diperlukan

C1 = Konsentrasi awal asam sulfat


V2 = Volume asam sulfat yang akan dibuat

C2 = Konsentrasi asam sulfat yang akan dibuat

Perhitungan :C1×V1 = C2× V2

Asam fosfat 60% 150 ml

C1×V1 = C2× V2

60 ×150 = 98 ×V2

9000/98 = V2

V2 = 91,8 ml

 Pipet asam sulfat 98% sebanyak 91,8 ml, masukkan dalam beaker glass

 Lalu tambahkan aquadest hingga 150 ml, homogenkan.

c. Asam kromatofat 0,5% dalam asam sulfat (H2SO4) 60 %

 Timbang asam kromatofat sebanyak 0,75 gr atau 750 mg.

 Tambahkan asam sulfat (H2SO4) 60 % sebanyak 150 ml.

 Larutkan dan homogenkan, kemudian di saring dengan glass wool.

Agar reagen asam kromatofat tidak mudah rusak, maka pembuatan reagen

disesuaikan dengan penggunaan. 100 mg atau 0,1 gr asam kromatofat dapat

dilarutkan dalam 20 ml asam sulfat (H2SO4) 60 %.

5. Prosedur Kerja

1. Persiapan sampel

 Sampel kikil ditimbang sebanyak 100 gr, masukkan kedalam labu

destilator.

 Tambahkan 100 ml aquadest dan asam kan dengan asam fosfat sebanyak 5

ml. Lakukan proses destilasi pada suhu 70º C.


 Dengan perlahan-lahan, sampel di destilasi hingga diperoleh destilasi

sebanyak ± 5 ml. saat proses destilasi selalu dikontrol suhu pada alat

destilasi dengan menggunakan termometer.

2. Proses analisa:

 Masukkan 1 ml larutan asam kromatofat (1,8 dihidroksinaftalen 3,6

disulfonat) yang dibuat segar ke dalam tabung reaksi dan tambahkan 1 ml

destilat.

 Lalu masukkan ke dalam waterbath atau penangas air yang mendidih

(100ºC) selama 15 menit.

 Amati perubahan yang terjadi. Adanya formalin ditunjukkan adanya warna

ungu terang sampai ungu tua pada larutan tersebut.

6. Kontrol Positif

a. Kontrol positif yang dibuat dengan perbandingan 20 x.

1. Masukkan 1 tetes formalin 35 % ke dalam tabung reaksi.

2. Lalu masukkan 19 tetes aquadest, perbandingan antara formalin dan

aquadest. Perbandingan antara formalin dan aquadest adalah 20 x.

3. Masukkan 5 ml larutan asam kromatofat (1,8 dihidroksinaftalen 3,6

disulfonat) yang dibuat segar ke dalam tabung reaksi.

4. Lalu masukkan ke dalam waterbath atau penangas air yang mendidih (100

ºC) selama 15 menit.

5. Hasil yang didapat akan terbentuk larutan berwarna ungu.


b. Kontrol positif yang ditambahkan ke dalam gerusan kikil dan di destilasi

seperti sampel.

1. Masukkan 100 gr Sampel kikil yang digerus ke dalam beaker glass,

larutkan dengan aquadest sebanyak 100 ml.

2. Lalu ditambahkan 10 tetes formaldehyde 35%.

3. Kontrol yang telah disiapkan dimasukkan ke dalam labu 250 ml dan

asamkan dengan asam fosfat sebanyak 5 ml.

4. Dengan perlahan-lahan, kontrol didestilai hingga diperoleh destilat

sebanyak ± 5 ml. saat proses destilasi selalu dikontrol suhu pada alat

destilasi dengan menggunakan termometer.

5. Masukkan 5 ml larutan asam kromatofat (1,8 dihidroksinaftalen 3,6

disulfonat) yang dibuat segar ke dalam tabung reaksi dan tambahkan 1 ml

destilat.

6. Lalu masukkan ke dalam waterbath atau penangas air yang mendidih (100

ºC) selama 15 menit.

7. Hasil yang didapat akan terbentuk larutan berwarna ungu.

7. Kontrol Negatif

1. Masukkan 1 ml aquadest ke dalam tabung reaksi

2. Masukkan 5 ml larutan asam kromatofat yang dibuat segar ke dalam

tabung reaksi.

3. lalu masukkan ke dalam waterbath atau penangas air yang mendidih (100

ºC) selama 15 menit.

4. Hasil yang didapat tidak terjadi perubahan warna.


8. Interpretasi Hasil

Positif : terbentuk destilat berwarna ungu

Negatif : tidak terbentuk destilat berwarna ungu


Hasil Uji Organoleptik Kikil Sapi yang Dijual Di Pasar Kota Palembang Tahun 2016
Kode Harga Kikil Lokasi Penjualan Uji Organoleptik Kikil Sapi
Ket
Sampel Sapi Kikil Sapi Tekstur Bau Warna
1 < Rp 40.000 Pasar KM 5 Sangat kenyal Sangat bau khas sapi Putih cerah Baik
2 < Rp 40.000 Pasar 26 Ilir Kenyal bau khas sapi Putih pucat Baik
3 ≥ Rp 40.000 Pasar Sekip Kaku Sedikit bau bahan kimia Sangat Putih pucat Tidak Baik
4 ≥ Rp 40.000 Lotte Mart Kenyal Sangat bau khas sapi Sangat putih cerah Baik
5 ≥ Rp 40.000 Superindo Kenyal bau khas sapi Sangat putih cerah Baik
6 < Rp 40.000 Pasar Perumnas Kaku Sedikit bau bahan kimia, tetapi amis Putih cerah Tidak Baik
7 ≥ Rp 40.000 PTC Sangat kaku Sediki bau bahan kimia Putih pucat Tidak Baik
8 ≥ Rp 40.000 Carrefour Kenyal bau khas sapi Putih cerah Baik
9 ≥ Rp 40.000 Hypermart Kenyal bau khas sapi Putih cerah Baik
10 < Rp 40.000 Pasar 16 Ilir Sangat kaku Bau bahan kimia Putih pucat Tidak Baik
11 < Rp 40.000 Pasar Kuto Kaku Sedikit bau bahan kimia, tetapi amis Putih pucat Tidak Baik
12 < Rp 40.000 Pasar Cinde Kaku Sedikit bau bahan kimia Putih pucat Tidak Baik
13 < Rp 40.000 Pasar Kenten Laut Kenyal bau khas sapi Putih cerah Baik
14 < Rp 40.000 Pasar Sukawinatan Kenyal bau khas sapi Putih cerah Baik
15 < Rp 40.000 Pasar Lemabang Kenyal bau khas sapi Sangat putih cerah Baik
16 ≥ Rp 40.000 Giant Sangat kenyal Sangat bau khas sapi Putih cerah Baik
Hasil Perhitungan Harga Kikil Sapi Per Kg Tentang Gambaran Keberadaan
Formalin dalam Kikil Sapi yang Dijual di Pasar Kota Palembang Tahun 2016

Kode Volume Harga/bungkus Harga/ 1 Harga


sampel /bungkus (Kg) (Kg) Kg < Rp 40.000 ≥ Rp 40.000
1 0,25 8.000 32.000 √
2 0,25 8.000 32.000 √
3 0,5 25.000 50.000 √
4 0,18 18.000 100.000 √
5 0,17 18.000 106.000 √
6 0,25 8.000 32.000 √
7 0,20 25.000 125.000 √
8 0,17 17.000 100.000 √
9 0,24 25.000 105.000 √
10 0,25 8.000 32.000 √
11 0,25 10.000 40.000 √
12 0,25 8.000 32.000 √
13 0,25 8.000 32.000 √
14 0,25 8.000 32.000 √
15 0,25 10.000 40.000 √
16 0,25 25.000 100.000 √
LAMPIRAN 9
DOKUMENTASI

Gambar 1. Sampel Kikil Sapi


Sumber: Dokumentasi pribadi Elvita Rahmayanti, tanggal 19-21 April 2016

Gambar 2. Alat Destilasi


Sumber: Dokumentasi pribadi Elvita Rahmayanti, tanggal 19 April 2016
Gambar 3. Reagensia
Sumber: Dokumentasi pribadi Elvita Rahmayanti, tanggal 20 April 2016

Gambar 4. Hasil destilat yang belum ditambah Asam Kromatofat


Sumber: Dokumentasi pribadi Elvita Rahmayanti, tanggal 20 April 2016

Gambar 5. Kontrol positif dan negatif formalin


Sumber: Dokumentasi pribadi Elvita Rahmayanti, tanggal 21 April 2016
Gambar 6. Hasil Positif Formalin
Sumber: Dokumentasi pribadi Elvita Rahmayanti, tanggal 20 April 2016

Gambar 7. Hasil Negatif Formalin


Sumber: Dokumentasi pribadi Elvita Rahmayanti, tanggal 21 April 2016
Gambar 8. Panelis saat melakukan uji organoleptik
Sumber: Dokumentasi pribadi Elvita Rahmayanti, tanggal 21 April 2016

Gambar 9. Sidang Karya Tulis Ilmiah


Sumber: Dokumentasi pribadi Elvita Rahmayanti, tanggal 23 Juni 2016
LAMPIRAN 10
PROFIL PENULIS

Nama : Elvita Rahmayanti

NIM : PO.71.34.0.13.010

Tempat, Tanggal Lahir : Palembang, 16 April 1996

Agama : Islam

Jenis Kelamin : Perempuan

Status Dalam Keluarga : Anak ke-1 dari 4 bersaudara

Alamat : Jl. Siaran Gg. Pahlawan 7 Blok 40 No. 25

RT/RW: 81/31 Sako Palembang.

No.Telepon : 089686247929

Pendidikan :

1. SD Negeri 115 Palembang 2007


2. SMP Negeri 14 Palembang 2010
3. SMA YPI Tunas Bangsa Palembang 2013
4. Politeknik Kesehatan Palembang Jurusan Analis Kesehatan Lulus Tahun
2016
Nama Orang Tua :
Ayah : Abdur Rahman
Ibu : Meta Masita
Alamat : Jl. Siaran Gg. Pahlawan 7 Blok 40 No. 25
RT/RW: 81/31 Sako Palembang.

Anda mungkin juga menyukai