Disusun Oleh :
Oky Jumadil Tsaniyah (M18010004)
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Ma’rifat berasal dari kata `arafa, yu’rifu, irfan, berarti: mengetahui, mengenal,1
atau pengetahuan Ilahi. Orang yang mempunyai ma’rifat disebut arif. Menurut
terminologi, ma’rifat berarti mengenal dan mengetahui berbagai ilmu secara rinci, atau
diartikan juga sebagai pengetahuan atau pengalaman secara langsung atas Realitas
Mutlak Tuhan. Dimana sering digunakan untuk menunjukan salah satu maqam
(tingkatan) atau hal (kondisi psikologis) dalam tasawuf. Oleh karena itu, dalam wacana
sufistik, ma’rifat diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari.
Dalam tasawuf, upaya penghayatan ma’rifat kepada Allah Subhahu Wa Ta’ala
(ma’rifatullah) menjadi tujuan utama dan sekaligus menjadi inti ajaran tasawuf.
Ma’rifat merupakan pengetahuan yang objeknya bukan hal-hal yang bersifat
eksoteris (zahiri), tetapi lebih mendalam terhadap penekanan aspek esoteris (batiniyyah)
dengan memahami rahasia-Nya. Maka pemahaman ini berwujud penghayatan atau
pengalaman kejiwaan. Sehingga tidak sembarang orang bisa mendapatkannya,
pengetahuan ini lebih tinggi nilai hakikatnya dari yang biasa didapati orang-orang pada
umumnya dan didalamnya tidak terdapat keraguan sedikitpun.
III. TUJUAN
1. Untuk menyelesaikan tugas Pendidikan Agama Islam.
2. Untuk memberikan informasi seputar jenis-jenis Ma’rifat.
3. Untuk lebih mengenalkan Agama Islam kepada pembaca.
BAB II
PEMBAHASAN
I. Jenis-jenis Ma’rifat
Ma’rifat terdiri dari:
1. Ma’rifatulloh
2. Ma’rifatulRosul
3. Ma’rifatul Kitab
4. Ma’rifatusy Syahadatain
5. Ma’rifatul Insan
II. Ma’rifatulloh
Ma’rifatullah (mengenal Allah) bukanlah mengenali dzat Allah, karena hal ini
tidak mungkin terjangkau oleh kapasitas manusia yang terbatas. Sebab bagaimana
mungkin manusia yang terbatas ini mengenali sesuatu yang tidak terbatas?. Segelas susu
yang dibikin seseorang tidak akan pernah mengetahui seperti apakah orang yang telah
membuatnya menjadi segelas susu.
Menurut Ibn Al Qayyim : Ma’rifatullah yang dimaksudkan oleh ahlul ma’rifah
(orang-orang yang mengenali Allah) adalah ilmu yang membuat seseorang melakukan
apa yang menjadi kewajiban bagi dirinya dan konsekuensi pengenalannya”.
Ma’rifatullah tidak dimaknai dengan arti harfiah semata, namun ma’riaftullah dimaknai
dengan pengenalan terhadap jalan yang mengantarkan manusia dekat dengan Allah,
mengenalkan rintangan dan gangguan yang ada dalam perjalanan mendekatkan diri
kepada Allah.
Mengenal Alloh merupakan perkara fitrah bagi semua manusia yang berada di dunia
ini. Ilmu tentang mengenal Alloh merupa-kan ilmu yang paling agung dan mulia. Tak
ada ilmu yang sebanding dan setara dengannya. Ia merupakan pondasi dan dasar segala
ilmu. Imam Ibnul Qoyyim mengatakan, “Kemuliaan sebuah ilmu mengikuti kemuliaan
objek yang dipela-jarinya.”. Dan tentunya, tidak diragukan lagi bahwa pengetahuan yang
paling mulia, paling agung dan paling utama adalah pengetahuan tentang Alloh di mana
tiada ilah (sesembahan) yang berhak disembah kecuali Dia semata, Robb semesta alam.
Ilmu tentang Alloh adalah pokok dan sumber segala ilmu. Maka barangsiapa mengenal
Alloh , dia akan mengenal yang selain-Nya dan barangsiapa yang jahil tentang Robb-nya,
niscaya ia akan lebih jahil terhadap yang selainnya.
Hakikat Ma’rifatulloh
Pertama, ma’rifatu iqrar (mengenal Alloh dalam bentuk pengakuan). Hal ini terjadi
pada semua manusia, baik orang yang berbuat baik dan jahat ataupun orang yang taat dan
bermaksiat.
Kedua, mengenal Alloh yang mengandung konsekuensi tumbuhnya rasa malu, cinta,
keterkaitan hati, kerinduan jiwa, rasa takut, kembali, dan lari dari mahluk menuju kepada-
Nya.
Bentuk Ma’rifatulloh
Ibnu Qoyyim mengklasifikasikan manusia yang mengenal Alloh dalam dua
kategori:
a) Kategori pertama adalah manusia secara umum, baik orang yang memiliki
akidah dan moralitas yang lurus ataupun menyimpang. Tingkat ma’rifat
kepada Alloh semacam ini meru-pakan tingkatan dasar. Sehingga, tidak
menghantarkan manusia untuk mewujudkan peribadatan kepada Alloh
secara sempurna dan totalitas.
b) Kategori kedua adalah manusia secara khusus, yaitu orang-orang yang
beriman dan bertakwa kepada Alloh . Mereka mengenal Alloh dengan
sebenar-benarnya. Dengan demikian, mampu melahirkan amal peribadatan
hati dan anggota badannya. Mereka mengenal Alloh bahwa Dia-lah Dzat
yang menyiksa dengan siksaan yang pedih. Oleh karena itu, mereka takut
untuk berbuat maksiat kepada-Nya sedikitpun. Apabila ada keinginan dan
tekad untuk berbuat maksiat, maka mereka segera mengingat Alloh dan
segera beristigfar serta bertaubat kepada –Nya.
URGENSI MA’RIFATULLAH
a. Ma’rifatullah adalah puncak kesadaran yang akan menentukan perjalanan hidup
manusia selanjutnya. Karena ma’rifatullah akan menjelaskan tujuan hidup
manusia yang sesungguhnya. Ketiadaan ma’rifatullah membuat banyak orang
hidup tanpa tujuan yang jelas, bahkan menjalani hidupnya sebagaimana makhluk
hidup lain (binatang ternak). QS.47:12
b. Ma’rifatullah adalah asas (landasan) perjalanan ruhiyyah (spiritual) manusia
secara keseluruhan. Seorang yang mengenali Allah akan merasakan kehidupan
yang lapang. Ia hidup dalam rentangan panjang antara bersyukur dan bersabar.
Sabda Nabi : Amat m engherankan urusan seorang mukmin itu, dan tidak terdapat
pada siapapun selain mukmin, jika ditimpa musibah ia bersabar, dan jika diberi
karunia ia bersyukur” (HR.Muslim)
Orang yang mengenali Allah akan selalu berusaha dan bekerja untuk
mendapatkan ridha Allah, tidak untuk memuaskan nafsu dan keinginan
syahwatnya.
c. Dari Ma’rifatullah inilah manusia terdorong untuk mengenali para nabi dan rasul,
untuk mempelajari cara terbaik mendekatkan diri kepada Allah. Karena para Nabi
dan Rasul-lah orang-orang yang diakui sangat mengenal dan dekat dengan Allah.
d. Dari Ma’rifatullah ini manusia akan mengenali kehidupan di luar alam materi,
seperti Malaikat, jin dan ruh.
e. Dari Ma’rifatullah inilah manusia mengetahui perjalanan hidupnya, dan bahkan
akhir dari kehidupan ini menuju kepada kehidupan Barzahiyyah (alam kubur) dan
kehidupan akherat.
SARANA MA’RIFATULLAH
Sarana yang mengantarkan seseorang pada ma’rifatullah adalah :
a. Akal sehat
Akal sehat yang merenungkan ciptaan Allah. Banyak sekali ayat-ayat Al
Qur’an yang menjelaskan pengaruh perenungan makhluk (ciptaan) terhadap
pengenalan al Khaliq (pencipta) seperti firman Allah : Katakanlah “Perhatikanlah
apa yang ada di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul
yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS 10:101,
atau QS 3: 190-191). Sabda Nabi : “Berfikirlah tentang ciptaan Allah dan
janganlah kamu berfikir tentang Allah, karena kamu tidak akan mampu” HR. Abu
Nu’aim.
b. Para Rasul
Para Rasul yang membawa kitab-kitab yang berisi penjelasan sejelas-
jelasnya tentang ma’rifatullah dan konsekuensi-konsekuensinya. Mereka inilah
yang diakui sebagai orang yang paling mengenali Allah. Firman Allah :
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-
bukti nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca
(keadilan ) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan..” (QS. 57:25)
c. Mengenali asma (nama) dan sifat Allah disertai dengan perenungan makna dan
pengaruhnya bagi kehidupan ini menjadi sarana untuk mengenali Allah.
Cara inilah yang telah Allah gunakan untuk memperkenalkan diri kepada
makhluk-Nya. Dengan asma dan sifat ini terbuka jendela bagi manusia untuk
mengenali Allah lebih dekat lagi. Asma dan sifat Allah akan menggerakkan dan
membuka hati manusia untuk menyaksikan dengan seksama pancaran cahaya
Allah. Firman Allah : “Katakanlah : Serulah Allah atau serulah Ar Rahman.
Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asma’ al husna
(nama-nama yang terbaik)” (QS. 17:110). Asma’ al husna inilah yang Allah
perintahkan pada kita untuk menggunakannya dalam berdoa. Firman Allah :
“Hanya milik Allah asma al husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan
menyebut asma al husna itu…” (QS. 7:180)
Inilah sarana efektif yang Allah ajarkan kepada umat manusia untuk mengenali
Allah Subhahu Wa Ta’ala (ma’rifatullah). Dan ma’rifatullah ini tidak akan realistis
sebelum seseorang mampu menegakkan tiga tingkatan tauhid, yaitu : tauhid rububiyyah,
tauhid asma dan sifat. Kedua tauhid ini sering disebut dengan tauhid al ma’rifah wa al
itsbat ( mengenal dan menetapkan) kemudian tauhid yang ketiga yaitu tauhid uluhiyyah
yang merupakan tauhid thalab (perintah) yang harus dilakukan.
III. Ma’rifatur Rosul
Ciri-ciri Rasulullah :
1. Memiliki sifat-sifat asasiyah. Sifat asasiyah ini terdiri dari sidiq, amanah, tabligh dan
fathanah. Sifat ini harus dimiliki oleh setiap rasul yang mengemban atau membawa
risalah dari Allah SWT.
4. Berita kenabian. Setiap rasul senantiasa membawa perintah Allah untuk mengajak
umatnya ke jalan yang baik. Perihal kerasulan mereka pun Allah beritahukan. Dalam
al-Qur’an Allah berfirman (QS. 7 : 158): “Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya
aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan
langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang
menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul Nya,
Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya
(kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk“.
5. Adanya hasil dari da’wah yang dilakukannya. Hal ini dapat kita lihat, pada hasil
da’wah Rasulullah Shallallahu `alaihi Wa Sallam yang dari segi kualitas, mereka
memiliki keimanan yang sangat kokoh, tidak tergoyahkan oleh apapun juga.
Kemudian dari segi kuantitas, jumlah mereka demikian banyaknya, tersebar ke
seluruh pelosok jazirah Arab, bahkan melewati jazirah Arab.
Sifat-sifat Rasulullah :
1. Manusia sempurna.
Allah berfirman (QS. 5 : 67): “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan
kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu,
berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari
(gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-
orang yang kafir.”
3. Benar.
Allah berfirman (QS. 53 : 3-4): “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al
Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah
wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
4. Cerdas.
5. Amanah.
6. Menyampaikan.
Allah berfirman (QS. 5 : 67): “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan
kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu,
berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari
(gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-
orang yang kafir.”
Dalam konteks diri kita sebagai umat Nabi Muhammad Saw, maka setiap kita
tentu saja harus mengenal beliau agar kita bisa meneladaninya, tapi upaya mengenal
ini bukanlah sekedar mempelajarinya secara kronologis dari sebelum lahir hingga
wafatnya, tapi juga harus dapat mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa yang
terjadi, inilah hakikatnya memahami sirah Nabawiyah.
Secara umum manfaat yang bisa kita petik hikmahnya dalam mengkaji dan
memahami sirah nabawiyah, adalah:
1. Memahami pribadi Rasulullah saw. sebagai utusan Allah (fahmu syakhshiyah ar-
rasul).
Dengan mengkaji sirah kita dapat memahami celah kehidupan Rasulullah saw.
sebagai individu maupun sebagai utusan Allah swt. Sehingga, kita tidak keliru
mengenal pribadinya sebagaimana kaum orientalis memandang pribadi Nabi
Muhammad saw. sebagai pribadi manusia biasa. “Hai nabi, sesungguhnya kami
mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan,
Dan untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya
yang menerangi. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang mukmin
bahwa sesungguhnya bagi mereka karunia yang besar dari Allah.” (Al-Ahzab: 45-
47).
Contoh teladan merupakan sesuatu yang penting dalam hidup ini sebagai patokan
atau model ideal. Model hidup tersebut akan mudah kita dapati dalam kajian sirah
nabawiyah yang menguraikan kepribadian Rasulullah saw. yang penuh pesona dalam
semua sisi. “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan)
hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab: 21).
Mengkaji sirah dapat membantu kita untuk memahami kronologis ayat-ayat yang
diturunkan Allah swt. Karena, banyak ayat baru dapat kita mengerti maksudnya
setelah mengetahui peristiwa-peristiwa yang pernah dialami Rasulullah saw. atau
sikap Rasulullah atas sebuah kejadian. Melalui kajian sirah nabawiyah itu kita dapat
menyelami maksud dan suasana saat diturunkan suatu ayat.
6. Menambah keimanan dan komitmen pada ajaran Islam (tazwidul iman wal intima’i
lil islam).
Sebagai salah satu ilmu Islam, diharapkan kajian sirah ini dapat menambah
kualitas iman. Dengan mempelajari secara intens perjalanan hidup Rasulullah,
diharapkan keyakinan dan komitmen akan nilai-nilai islam orang-orang yang
mempelajarinya semakin kuat. Bahkan, mereka mau mengikuti jejak dakwah
Rasulullah SAW.
Firman Allah yang mengandung mukjizat, yang diturunkan kepada Nabi dan
Rasul terakhir, dengan perantara Malaikat Jibril, yang tertulis dalam mushhaf, yang
disampaikan kepada kita secara mutawatir, yang membacanya dianggap sebagai ibadah,
yang dimulai dari surat al-Fatihah dan ditutup dengan surat an-Naas.
Interaksi yang dengan Al-Qur’an adalah salah satu ciri dari orang-orang
yang bertakwa, sebagaimana dikatakan oleh sebagian Ulama, bahwa esensi
daripada takwa yang sesungguhnya adalah senantiasa berupaya untuk
mengamalkan Al-Qur’an.
Namun apabila melihat fenomena yang berkembang di masyarakat,
ternyata sebagian masyarakat, bahkan kitapun terkadang melakukannya, Al-
Qur’an tidak lagi dijadikan sebagai sahabat dalam kesehariannya. Al-Qur’an tidak
lagi dijadikan lagi sebagai teman untuk bercengkrama bersama, Al-Qur’an tidak
lagi dijadikan obat kegalauan hatinya, padahal ia adalah sebagai kisah yang
menyenangkan, sebagai sya’ir yang indah untuk dinikmati dan sekaligus sebagai
acuan dalam hidup dan kehidupan, sebagaimana telah dicontohkan oleh Baginda
Rasulullah Shallallahu `alaihi Wa Sallam beserta para sahabatnya.
Hadis riwayat al-Nasa’i, Hakim dan Baihaki dari Ibnu Abbas ra.
Beliau berkata: Al-Qur’an itu diturunkan secara sekaligus ke langit dunia
pada malam Qadar, kemudian setelah itu diturunkan sedikit demi sedikit
selama dua puluh tahun.
Dr. Abdullah Nasih ‘Ulwan mengatakan, bahwa untuk salah satu upaya
dalam meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan adalah dengan cara
interaksi yang baik bersama Al-Qur’an (mendengarkan, membaca, mentadaburi
dan mengamalkannya).
Al-Qur’an adalah sumber ketenangan hati juga sebagai obat bagi penyakit
yang ada di dalamnya. Ketika kita membaca Al-Qur’an, berarti kita sedang
mengingat dan berkomunikasi dengan Allah SUBHAHU WA TA’ALA ketika
kita sedang berkomunikasi dengan Allah, maka sudah barang tentu melalui
firman-firman-Nya dalam Al-Qur’an yang kita baca sambil ditadabburi, kita akan
mendapatkan nilai-nilai akhlakul karimah yang akan menjadikan kualitas amal
kita semakin baik.
Dengan kualitas amal yang semakin baik, maka kualitas iman pun akan
semakin meningkat; karena dengan ketaatan atau amal shalih lah keimanan ini
akan terus meningkat.
Dalam kehidupan para sahabat, kita dapat melihat betapa mereka memiliki
semngat untuk berinteraksi dengan Al-Qur’an, baik mendengarkan, membaca,
menghafal, mentadabburi bahkan mengamalkannya. Kita mengetahui dari sejarah
kehidupan mereka, bahwa apabila diajarkan kepada mereka sepuluh ayat dari AL-
Qur’an, mereka tidak ditambah lagi kecuali setelah mengamalkan sepuluh ayat
tersebut.
Kita juga tahu, bahwa mereka untuk setiap bulannya tidak kurang dari tiga
kali untuk mengkhatamkan Al-Qur’an, dan mereka juga sangat bersemangat
untuk membaguskan bacaan Al-Qur’an. Maka Rasulullah Shallallahu `alaihi Wa
Sallam sebagai satu-satunya suri tauladan bagi kita yang telah diikuti terlebih
dahulu oleh para sahabat, cukuplah bagi kita sebagai acuan utama bagaimana
seharuskah kita berinteraksi dengan al-Qur’an dalam rangka meningkatkan
keimanan dengan al-Qur’an.
D. Keutamaan Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah mukjizat yang abadi
ف َواَل ٌم
ٌ ْ‚ف َح‚ رٌ ِف َولَ ِك ْن َأل
ٌ ْب هَّللا ِ فَلَ‚هُ بِ‚ ِه َح َس‚نَةٌ َو ْال َح َس‚نَةُ بِ َع ْش‚ ِر َأ ْمثَالِهَ‚ا اَل َأقُ‚و ُل الم َح‚ ر
ِ َم ْن قَ َرَأ َحرْ فًا ِم ْن ِكتَا
ف ٌ ْف َو ِمي ٌم َحر
ٌ ْ َحر.
Barangsiapa yang membaca satu huruf dari al-Qur’an, maka ia akan memperoleh
satu kebaikan, dan satu kebaikan itu dilipatgandakan menjadi sepuluh kebaikan.
Aku tidak mengatakan bahwa Alif Lam Mim itu satu huruf, melainkan Alif satu
hufuf, Lam satu huruf, dan Mim satu huruf.”(HR. Tirmidzi dari Ibnu Mas’ud)
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu dan
penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta
rahmat bagi orang-orang yang beriman. (QS. Yunus (10) :57)
Kitab yang dipelihara
ك الَّ ِذي نز َل ْالفُرْ قَانَ َعلَى َع ْب ِد ِه لِيَ ُكونَ لِ ْل َعالَ ِمينَ نَ ِذيرًا َ َتَب.
َ ار
Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (yaitu al-Qur’an) kepada
hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam. (QS. Al-
Furqaan (25) : 1)
Dikisahkan, bahwa Abdullah bin Amer r.a dia seorang yang sudah hafal
Al-Qur’an, pada suatu ketika ia berkata kepada Rasulullah SAW,”Aku adalah
seorang yang sudah hafal Al-Qur’an, maka aku mampu menyelesaikan bacaan Al-
Qur’an selama satu malam.” Mendengar hal itu Rasulullah Shallallahu `alaihi Wa
Sallam berkata kepadanya,”Aku hawatir, seandainya kamu menyelesaikan bacaan
Al-Qur’an dalam satu malam, kamu akan merasa bosan, maka dari itu, cukuplah
bagi kamu menyelesaikan bacaan Al-Qur’an itu satu kali dalam sebulan.”
Abdullah menjawab,Wahai Rasulullah! Biarkanlah aku menyelesaikan bacaan Al-
Qur’an seperti itu (dalam satu malam); karena aku masih kuat dan masih muda.
Rasulullah Shallallahu `alaihi Wa Sallam bersabda,”Selesaikanlan olehmu bacaan
Al-Qur’an pada setiap sepuluh hari.” Jawab Abdullah,”Biarkanlah aku
menyelesaikannya dalam satu malam; karena aku masih kuat dan masih muda, ia
tetap dalam pendiriannya. Dari kisah tersebut, kita bisa melihat betapa Abdullah
bin Amer memiliki semangat untuk senantiasa dekat dengan Al-Qur’an, sehingga
ia tetap berisi keras untuk menyelesaikan bacaan Al-Qur’an dalam satu malam,
meskipun Rasulullah Shallallahu `alaihi Wa Sallam telah memberikan rukhshah
untuk menyelesaikan bacaan Al-Qur’an tidak dalam satu malam.
V. Ma’rifatusy Syahadatain
Makna Syahadat
(a) Makna Syahadat Tauhid : “َش َه ُد أنْ الَّ ِإلَهَ ِإالَّ هللا ْ “أ
Maka arti syahadat Tauhid ini adalah : “ Aku senantiasa bersaksi,
menyatakan, mengakui, bersumpah bahwa tidak ada “ilah” yang berhak di sembah
selain Allah.”
(b) Makna Syahadat Rosul : ِس ْو ُل هللا
ُ ش َه ُد أنَّ ُم َح َّمدًا َّرْ أ
Berarti : “ Aku senantiasa bersaksi, menyatakan, mengakui, bersumpah
bahwa Muhammad itu adalah utusan Allah.”
Haqiqat Makna Syahadah
Syahadah dalam makna haqiqi adalah kecenderungan, kecintaan dan
keridho’an kepada :
o Allah sebagai Robb. () هللا َربًّا. Q.S. 6/162-164.
o Islam sebagai Diin. (سالَ َم ِد ْينًا ْ ) إ. Q.S. 5/3.
o Muhammad sebagi Nabi dan Rosul / Uswatun hasanah. ( ًس ْوال ُ ) ُم َح َّم ٌد نَبِيًّا َو َر. Q.S.
33/21.
a) Syahadat dalam makna “ Taklifi ”
Adalah : Awal mula seseorang di bebani tanggung jawab untuk melaksanakan
hukum-hukum Allah ( Mukallaf )
b) Syahadat dalam makna “Sababi”.
Adalah : Syahadah menjadi bukti seseorang menerima da’wah Islam.
c) Makna kalimat tauhid “َ“الَّ ِإلَهَ ِإالَّ هللا
Tidak ada yang berhak di sembah, di ibadahi, dihambakan dengan sebenar-
benarnya kecuali Allah. QS. 51/56, 98/5.
Tidak ada yang ta’ati kecuali kepada Allah SWT. QS. 4/59, 64
Tidak ada yang di cintai kecuali Allah. QS. 2/165
Tidak ada yang memberikan ketenangan kecuali Allah. QS. 13/28.
Tidak ada pemimpin, penolong, kecuali Allah. QS. 5/57.
Tidak ada hukum kecuali hukum Allah SWT. QS. 5/44-45, 47 & 50.
Tidak ada Raja kecuali Allah SWT. QS. 114/2, 1/4
Rukun Syahadat
o An-Nafyu ( ) النَّ ْف ُي: Penafian atau peniadaan yang terletak pada kalimat “ َ “ الَ ِإلَ‚هyaitu
meniadakan segala ilah, pengabdian, penghambaan, perbudakan dll.
ِ اppَ ) اِْإل ْثب: Penetapan / pengkuhan yang terletak pada kalimat “ َ “ ِإالَّ هللاyaitu
o Al-Itsbat (ت
mengukuhkan dan menetapkan bahwa Allah saja yang di ibadahi, di sembah dan di
abdikan
VI. Ma’rifatul Insan
Manusia adalah makhluk Allah yang diciptakan dari tanah kering yang hina namun
Allah memberikan potensi kepada manusia yaitu potensi akal, pendengaran, penglihatan,
dan hati. Hal itulah yang membedakan manusia dengan binatang. Akal digunakan
manusia untuk berpikir mengenai yang benar dan yang bathil (salah), sedangkan hati
diciptakan untuk merasakan cinta dan kasih sayang yang telah Allah Subhahu Wa Ta’ala
berikan kepada setiap manusia. Pendengaran dan Penglihatan merupakan alat yang
dibutuhkan oleh manusia untuk mengetahui tanda-tanda kebesaran Allah Swt. Manusia
dalam bahasa arab adalah Insan. Dalam kajian kali ini mari kita mengenal lebih dalam
tentang manusia yang disebut dengan Ma’rifatul Insan.
Ma’rifatul insan ada 3 definisi, yaitu ;
1. Hidroqu Jajibun, artinya mengenal dan memahami manusia sampai kedalamnya
tidak hanya mengetahui kulitnya saja tetapi isi didalam kulitnya.
2. Pemahaman yang sudah menempel didalam diri tidak akan bisa untuk dilepas
sampai ajal menjemputnya atau sesuatu yang tidak pernah berubah dan tetap
berkomitmen hanya itulah yang diyakininya. Seperti halnya mati itu terjadi jika
nyawa/ruh dicabut dari jasadnya oleh malaikat Izrail aras izin Allah Subhahu Wa
Ta’ala semua orang meyakini bahwa itu adalah mati.
3. Keyakinan yang kita dapat dan kita pahami akan menjadi realita dalam kehidupan.
Pertama, manusia adalah makhluqun -makhluk ciptaan /hasil kreasi Allah Ta’ala-.
Ia diciptakan oleh-Nya ‘alal fitrah (berada di atas fitrah ). Sebagaimana disebutkan
dalam firman-Nya, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak
ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Rum, 30: 30)
Manusia diciptakan ‘alal fithrah maksudnya adalah diciptakan oleh Allah Ta’ala
berada dalam kecenderungan kepada kebenaran dan patuh kepada-Nya. Sebagian ulama
mengatakan bahwa arti fitrah adalah “Islam”. Hal ini dikatakan oleh Abu Hurairah, Ibnu
Syihab, dan lain-lain. Pendapat tersebut dianut oleh kebanyakan ahli tafsir.
Manusia juga diciptakan oleh Allah Ta’ala dalam keadaan dhaif (lemah).
Kelemahannya terutama dalam menghadapi godaan hawa nafsunya. Kadangkala
mereka mengalami lemah ‘azam (tekad), lemah iman dan lemah kesabaran.
Manusia juga diciptakan oleh Allah Ta’ala dalam keadaan jahil (bodoh). Allah
Ta’ala mengungkapkan kondisi manusia ini dengan firman-Nya, “Sesungguhnya
Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka
semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia
itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS. Al-Ahzaab, 33: 72)
Manusia juga diciptakan oleh Allah Ta’ala dalam keadaan faqir (butuh/berkehendak)
kepada pemberian-Nya. “Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah;
dan Allah Dia- lah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.”
(QS. Fathir, 35: 15)
Kedua, manusia adalah makhluk yang mukarramun (dimuliakan). Allah Ta’ala
memuliakan anak-anak Adam karena nafkhur ruhi -telah ditiupkan ruh ciptaan Allah
Ta’ala kepadanya-. Dia berfirman, “Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan
ke dalamnya ruh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.” (QS. As-Sajdah, 32: 9)
Keempat, manusia adalah makhluk yang mukhayyarun -diberi pilihan oleh Allah
Ta’ala apakah memilih al-iman atau al-kufru–. Allah Ta’ala telah menunjukkan kepada
manusia jalan kebaikan dan jalan kejahatan. Dan telah diberikan-Nya pula kepada
mereka akal untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, sehingga ia
dapat memilih yang baik untuk dikerjakannya, dan yang buruk untuk ditinggalkan.