Anda di halaman 1dari 24

Makalah Pendidikan Agama Islam “Marifatullah”

Disusun Oleh :
Oky Jumadil Tsaniyah (M18010004)

PROGRAM S1 ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MADANI
YOGYAKARTA
TA 2021/2022
BAB I

PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG

Ma’rifat berasal dari kata `arafa, yu’rifu, irfan, berarti: mengetahui, mengenal,1
atau pengetahuan Ilahi. Orang yang mempunyai ma’rifat disebut arif. Menurut
terminologi, ma’rifat berarti mengenal dan mengetahui berbagai ilmu secara rinci, atau
diartikan juga sebagai pengetahuan atau pengalaman secara langsung atas Realitas
Mutlak Tuhan. Dimana sering digunakan untuk menunjukan salah satu maqam
(tingkatan) atau hal (kondisi psikologis) dalam tasawuf. Oleh karena itu, dalam wacana
sufistik, ma’rifat diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari.
Dalam tasawuf, upaya penghayatan ma’rifat kepada Allah Subhahu Wa Ta’ala
(ma’rifatullah) menjadi tujuan utama dan sekaligus menjadi inti ajaran tasawuf.
Ma’rifat merupakan pengetahuan yang objeknya bukan hal-hal yang bersifat
eksoteris (zahiri), tetapi lebih mendalam terhadap penekanan aspek esoteris (batiniyyah)
dengan memahami rahasia-Nya. Maka pemahaman ini berwujud penghayatan atau
pengalaman kejiwaan. Sehingga tidak sembarang orang bisa mendapatkannya,
pengetahuan ini lebih tinggi nilai hakikatnya dari yang biasa didapati orang-orang pada
umumnya dan didalamnya tidak terdapat keraguan sedikitpun.

II. RUMUSAN MASALAH


1. Sebutkan jenis-jenis dari Ma’rifat?
2. Jelaskan hal-hal mengenai Ma’rifatulloh?
3. Jelaskan hal-hal mengenai Ma’rifatul Rosul?
4. Jelaskan hal-hal mengenai Ma’rifatul Kitab?
5. Jelaskan hal-hal mengenai Ma’rifatusy Syahadatain?
6. Jelaskan hal-hal mengenai Ma’rifatul Insan?

III. TUJUAN
1. Untuk menyelesaikan tugas Pendidikan Agama Islam.
2. Untuk memberikan informasi seputar jenis-jenis Ma’rifat.
3. Untuk lebih mengenalkan Agama Islam kepada pembaca.
BAB II

PEMBAHASAN

I. Jenis-jenis Ma’rifat
Ma’rifat terdiri dari:
1. Ma’rifatulloh
2. Ma’rifatulRosul
3. Ma’rifatul Kitab
4. Ma’rifatusy Syahadatain
5. Ma’rifatul Insan

II. Ma’rifatulloh
Ma’rifatullah (mengenal Allah) bukanlah mengenali dzat Allah, karena hal ini
tidak mungkin terjangkau oleh kapasitas manusia yang terbatas. Sebab bagaimana
mungkin manusia yang terbatas ini mengenali sesuatu yang tidak terbatas?. Segelas susu
yang dibikin seseorang tidak akan pernah mengetahui seperti apakah orang yang telah
membuatnya menjadi segelas susu.
Menurut Ibn Al Qayyim : Ma’rifatullah yang dimaksudkan oleh ahlul ma’rifah
(orang-orang yang mengenali Allah) adalah ilmu yang membuat seseorang melakukan
apa yang menjadi kewajiban bagi dirinya dan konsekuensi pengenalannya”.
Ma’rifatullah tidak dimaknai dengan arti harfiah semata, namun ma’riaftullah dimaknai
dengan pengenalan terhadap jalan yang mengantarkan manusia dekat dengan Allah,
mengenalkan rintangan dan gangguan yang ada dalam perjalanan mendekatkan diri
kepada Allah.

 CIRI-CIRI DALAM MA’RIFATULLAH


Seseorang dianggap ma’rifatullah (mengenal Allah) jika ia telah mengenali,
1. Asma (nama) Alloh
2. Sifat Alloh, dan
3. af’al (perbuatan) Allah, yang terlihat dalam ciptaan dan tersebar dalam
kehidupan alam.

Mengenal Alloh merupakan perkara fitrah bagi semua manusia yang berada di dunia
ini. Ilmu tentang mengenal Alloh merupa-kan ilmu yang paling agung dan mulia. Tak
ada ilmu yang sebanding dan setara dengannya. Ia merupakan pondasi dan dasar segala
ilmu. Imam Ibnul Qoyyim mengatakan, “Kemuliaan sebuah ilmu mengikuti kemuliaan
objek yang dipela-jarinya.”. Dan tentunya, tidak diragukan lagi bahwa pengetahuan yang
paling mulia, paling agung dan paling utama adalah pengetahuan tentang Alloh di mana
tiada ilah (sesembahan) yang berhak disembah kecuali Dia semata, Robb semesta alam.
Ilmu tentang Alloh adalah pokok dan sumber segala ilmu. Maka barangsiapa mengenal
Alloh , dia akan mengenal yang selain-Nya dan barangsiapa yang jahil tentang Robb-nya,
niscaya ia akan lebih jahil terhadap yang selainnya.

 Hakikat Ma’rifatulloh

Ibnul Qoyyim berkata, “Mengenal Alloh ada dua macam;

Pertama, ma’rifatu iqrar (mengenal Alloh dalam bentuk pengakuan). Hal ini terjadi
pada semua manusia, baik orang yang berbuat baik dan jahat ataupun orang yang taat dan
bermaksiat.

Kedua, mengenal Alloh yang mengandung konsekuensi tumbuhnya rasa malu, cinta,
keterkaitan hati, kerinduan jiwa, rasa takut, kembali, dan lari dari mahluk menuju kepada-
Nya.

 Bentuk Ma’rifatulloh
Ibnu Qoyyim mengklasifikasikan manusia yang mengenal Alloh dalam dua
kategori:
a) Kategori pertama adalah manusia secara umum, baik orang yang memiliki
akidah dan moralitas yang lurus ataupun menyimpang. Tingkat ma’rifat
kepada Alloh semacam ini meru-pakan tingkatan dasar. Sehingga, tidak
menghantarkan manusia untuk mewujudkan peribadatan kepada Alloh
secara sempurna dan totalitas.
b) Kategori kedua adalah manusia secara khusus, yaitu orang-orang yang
beriman dan bertakwa kepada Alloh . Mereka mengenal Alloh dengan
sebenar-benarnya. Dengan demikian, mampu melahirkan amal peribadatan
hati dan anggota badannya. Mereka mengenal Alloh bahwa Dia-lah Dzat
yang menyiksa dengan siksaan yang pedih. Oleh karena itu, mereka takut
untuk berbuat maksiat kepada-Nya sedikitpun. Apabila ada keinginan dan
tekad untuk berbuat maksiat, maka mereka segera mengingat Alloh dan
segera beristigfar serta bertaubat kepada –Nya.
 URGENSI MA’RIFATULLAH
a. Ma’rifatullah adalah puncak kesadaran yang akan menentukan perjalanan hidup
manusia selanjutnya. Karena ma’rifatullah akan menjelaskan tujuan hidup
manusia yang sesungguhnya. Ketiadaan ma’rifatullah membuat banyak orang
hidup tanpa tujuan yang jelas, bahkan menjalani hidupnya sebagaimana makhluk
hidup lain (binatang ternak). QS.47:12
b. Ma’rifatullah adalah asas (landasan) perjalanan ruhiyyah (spiritual) manusia
secara keseluruhan. Seorang yang mengenali Allah akan merasakan kehidupan
yang lapang. Ia hidup dalam rentangan panjang antara bersyukur dan bersabar.
Sabda Nabi : Amat m engherankan urusan seorang mukmin itu, dan tidak terdapat
pada siapapun selain mukmin, jika ditimpa musibah ia bersabar, dan jika diberi
karunia ia bersyukur” (HR.Muslim)
Orang yang mengenali Allah akan selalu berusaha dan bekerja untuk
mendapatkan ridha Allah, tidak untuk memuaskan nafsu dan keinginan
syahwatnya.
c. Dari Ma’rifatullah inilah manusia terdorong untuk mengenali para nabi dan rasul,
untuk mempelajari cara terbaik mendekatkan diri kepada Allah. Karena para Nabi
dan Rasul-lah orang-orang yang diakui sangat mengenal dan dekat dengan Allah.
d. Dari Ma’rifatullah ini manusia akan mengenali kehidupan di luar alam materi,
seperti Malaikat, jin dan ruh.
e. Dari Ma’rifatullah inilah manusia mengetahui perjalanan hidupnya, dan bahkan
akhir dari kehidupan ini menuju kepada kehidupan Barzahiyyah (alam kubur) dan
kehidupan akherat.

 SARANA MA’RIFATULLAH
Sarana yang mengantarkan seseorang pada ma’rifatullah adalah :
a. Akal sehat
Akal sehat yang merenungkan ciptaan Allah. Banyak sekali ayat-ayat Al
Qur’an yang menjelaskan pengaruh perenungan makhluk (ciptaan) terhadap
pengenalan al Khaliq (pencipta) seperti firman Allah : Katakanlah “Perhatikanlah
apa yang ada di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul
yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS 10:101,
atau QS 3: 190-191). Sabda Nabi : “Berfikirlah tentang ciptaan Allah dan
janganlah kamu berfikir tentang Allah, karena kamu tidak akan mampu” HR. Abu
Nu’aim.
b. Para Rasul
Para Rasul yang membawa kitab-kitab yang berisi penjelasan sejelas-
jelasnya tentang ma’rifatullah dan konsekuensi-konsekuensinya. Mereka inilah
yang diakui sebagai orang yang paling mengenali Allah. Firman Allah :
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-
bukti nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca
(keadilan ) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan..” (QS. 57:25)
c. Mengenali asma (nama) dan sifat Allah disertai dengan perenungan makna dan
pengaruhnya bagi kehidupan ini menjadi sarana untuk mengenali Allah.
Cara inilah yang telah Allah gunakan untuk memperkenalkan diri kepada
makhluk-Nya. Dengan asma dan sifat ini terbuka jendela bagi manusia untuk
mengenali Allah lebih dekat lagi. Asma dan sifat Allah akan menggerakkan dan
membuka hati manusia untuk menyaksikan dengan seksama pancaran cahaya
Allah. Firman Allah : “Katakanlah : Serulah Allah atau serulah Ar Rahman.
Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asma’ al husna
(nama-nama yang terbaik)” (QS. 17:110). Asma’ al husna inilah yang Allah
perintahkan pada kita untuk menggunakannya dalam berdoa. Firman Allah :
“Hanya milik Allah asma al husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan
menyebut asma al husna itu…” (QS. 7:180)
Inilah sarana efektif yang Allah ajarkan kepada umat manusia untuk mengenali
Allah Subhahu Wa Ta’ala (ma’rifatullah). Dan ma’rifatullah ini tidak akan realistis
sebelum seseorang mampu menegakkan tiga tingkatan tauhid, yaitu : tauhid rububiyyah,
tauhid asma dan sifat. Kedua tauhid ini sering disebut dengan tauhid al ma’rifah wa al
itsbat ( mengenal dan menetapkan) kemudian tauhid yang ketiga yaitu tauhid uluhiyyah
yang merupakan tauhid thalab (perintah) yang harus dilakukan.
III. Ma’rifatur Rosul

Pengertian Ma’rifatur rasul yaitu mengetahui bahwasanya Muhammad adalah


rasul Allah; penyampai ajaran dari Allah, beliau jujur (benar) di dalam menyampaikan
ajarannya baik dalam masalah Iijab (mewajibkan suatu perkara), Tahrim
(mengharamkan suatu perkara) dan dalam mengabarkan tentang peristiwa yang terjadi
pada masa lampau dan yang akan terjadi di masa mendatang di dunia, di alam barzakh
dan alam akherat.

 Ciri-ciri Rasulullah :

1. Memiliki sifat-sifat asasiyah. Sifat asasiyah ini terdiri dari sidiq, amanah, tabligh dan
fathanah. Sifat ini harus dimiliki oleh setiap rasul yang mengemban atau membawa
risalah dari Allah SWT.

2. Memiliki mu’jizat. Salah satu contohnya adalah mu’jizat Rasulullah Shallallahu


`alaihi Wa Sallam ketika membelah bulan. Allah berfirman dalam (QS. 54 : 1 – 2):
“Telah dekat (datangnya) saat itu dan telah terbelah bulan. Dan jika mereka (orang-
orang musyrikin) melihat sesuatu tanda (mu`jizat), mereka berpaling dan berkata:
“(Ini adalah) sihir yang terus menerus“.

3. Berita kedatangannya. Dalam al-Qur’an Allah mengatakan (QS. 61 : 6): “Dan


(ingatlah) ketika Isa Putra Maryam berkata: “Hai Bani Israil, sesungguhnya aku
adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu
Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan
datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)“. Maka tatkala rasul itu
datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata:
“Ini adalah sihir yang nyata“.

4. Berita kenabian. Setiap rasul senantiasa membawa perintah Allah untuk mengajak
umatnya ke jalan yang baik. Perihal kerasulan mereka pun Allah beritahukan. Dalam
al-Qur’an Allah berfirman (QS. 7 : 158): “Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya
aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan
langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang
menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul Nya,
Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya
(kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk“.

5. Adanya hasil dari da’wah yang dilakukannya. Hal ini dapat kita lihat, pada hasil
da’wah Rasulullah Shallallahu `alaihi Wa Sallam yang dari segi kualitas, mereka
memiliki keimanan yang sangat kokoh, tidak tergoyahkan oleh apapun juga.
Kemudian dari segi kuantitas, jumlah mereka demikian banyaknya, tersebar ke
seluruh pelosok jazirah Arab, bahkan melewati jazirah Arab.

 Sifat-sifat Rasulullah :

1. Manusia sempurna.

Allah berfirman (QS. 14 : 11): “Rasul-rasul mereka berkata kepada mereka:


“Kami tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, akan tetapi Allah memberi
karunia kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Dan tidak
patut bagi kami mendatangkan suatu bukti kepada kamu melainkan dengan izin
Allah. Dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang mukmin
bertawakkal.”

2. Terpelihara dari kesalahan.

Allah berfirman (QS. 5 : 67): “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan
kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu,
berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari
(gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-
orang yang kafir.”

3. Benar.

Allah berfirman (QS. 53 : 3-4): “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al
Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah
wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”

4. Cerdas.

Allah berfirman (QS. 48 : 27): “Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada


Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa
sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam
keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu
tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia
memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat.”

5. Amanah.

Allah berfirman (QS. 69 : 44-46): “Seandainya dia (Muhammad) mengada-


adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami. Niscaya benar-benar kami pegang
dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali
jantungnya.”

6. Menyampaikan.

Allah berfirman (QS. 5 : 67): “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan
kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu,
berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari
(gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-
orang yang kafir.”

7. Komitmen yang sempurna.

Allah berfirman (QS. 17 : 73): “Dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan


kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain
secara bohong terhadap Kami; dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil
kamu jadi sahabat yang setia.”

 Hikmah Mempelajari Sirah Nabawiyah :

Dalam konteks diri kita sebagai umat Nabi Muhammad Saw, maka setiap kita
tentu saja harus mengenal beliau agar kita bisa meneladaninya, tapi upaya mengenal
ini bukanlah sekedar mempelajarinya secara kronologis dari sebelum lahir hingga
wafatnya, tapi juga harus dapat mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa yang
terjadi, inilah hakikatnya memahami sirah Nabawiyah.

Secara umum manfaat yang bisa kita petik hikmahnya dalam mengkaji dan
memahami sirah nabawiyah, adalah:

1. Memahami pribadi Rasulullah saw. sebagai utusan Allah (fahmu syakhshiyah ar-
rasul).

Dengan mengkaji sirah kita dapat memahami celah kehidupan Rasulullah saw.
sebagai individu maupun sebagai utusan Allah swt. Sehingga, kita tidak keliru
mengenal pribadinya sebagaimana kaum orientalis memandang pribadi Nabi
Muhammad saw. sebagai pribadi manusia biasa. “Hai nabi, sesungguhnya kami
mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan,
Dan untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya
yang menerangi. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang mukmin
bahwa sesungguhnya bagi mereka karunia yang besar dari Allah.” (Al-Ahzab: 45-
47).

2. Mengetahui contoh teladan terbaik dalam menjalani kehidupan ini (ma’rifatush


shurati lil mutsulil a’la).

Contoh teladan merupakan sesuatu yang penting dalam hidup ini sebagai patokan
atau model ideal. Model hidup tersebut akan mudah kita dapati dalam kajian sirah
nabawiyah yang menguraikan kepribadian Rasulullah saw. yang penuh pesona dalam
semua sisi. “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan)
hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab: 21).

3. Dapat memahami turunnya ayat-ayat Allah swt. (al-fahmu ‘an-nuzuli aayatillah).

Mengkaji sirah dapat membantu kita untuk memahami kronologis ayat-ayat yang
diturunkan Allah swt. Karena, banyak ayat baru dapat kita mengerti maksudnya
setelah mengetahui peristiwa-peristiwa yang pernah dialami Rasulullah saw. atau
sikap Rasulullah atas sebuah kejadian. Melalui kajian sirah nabawiyah itu kita dapat
menyelami maksud dan suasana saat diturunkan suatu ayat.

4. Memahami metodologi dakwah dan tarbiyah (fahmu uslubid da’wah wat-tarbiyah).

Kajian sirah juga dapat memperkaya pemahaman dan pengetahuan tentang


metodologi pembinaan dan dakwah yang sangat berguna bagi para dai. Rasulullah
saw. dalam hidupnya telah berhasil mengarahkan manusia memperoleh kejayaan
dengan metode yang beragam yang dapat dipakai dalam rumusan dakwah dan
tarbiyah.

5. Mengetahui peradaban umat Islam masa lalu (ma’rifatul hadharatil islamiyatil


madliyah).

Sirah nabawiyah juga dapat menambah khazanah tsaqafah Islamiyah tentang


peradaban masa lalu kaum muslimin dalam berbagai aspek. Sebagai gambaran
konkret dari sejumlah prinsip dasar Islam yang pernah dialami generasi masa lalu.
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya
ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang
beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Ali Imran:
110).

6. Menambah keimanan dan komitmen pada ajaran Islam (tazwidul iman wal intima’i
lil islam).

Sebagai salah satu ilmu Islam, diharapkan kajian sirah ini dapat menambah
kualitas iman. Dengan mempelajari secara intens perjalanan hidup Rasulullah,
diharapkan keyakinan dan komitmen akan nilai-nilai islam orang-orang yang
mempelajarinya semakin kuat. Bahkan, mereka mau mengikuti jejak dakwah
Rasulullah SAW.

IV. Ma’rifatul Kitab


 Secara Etimologi
Ditinjau dari segi kebahasaan, Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti
“bacaan” atau “sesuatu yang dibaca berulang-ulang”. Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata
benda (masdar) dari kata kerja qara’a yang artinya membaca. Konsep pemakaian kata ini
dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur’an sendiri yakni pada ayat 17 dan 18
Surah Al-Qiyamah yang artinya:
“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan (menetapkan)
bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,) jika Kami telah
membacakannya, hendaklah kamu ikuti {amalkan} bacaannya”.(75:17-75:18)
 Secara Termonologis

Firman Allah yang mengandung mukjizat, yang diturunkan kepada Nabi dan
Rasul terakhir, dengan perantara Malaikat Jibril, yang tertulis dalam mushhaf, yang
disampaikan kepada kita secara mutawatir, yang membacanya dianggap sebagai ibadah,
yang dimulai dari surat al-Fatihah dan ditutup dengan surat an-Naas.

 Nama-nama lain Al-Qur’an


Dalam Al-Qur’an sendiri terdapat beberapa ayat yang menyertakan nama lain
yang digunakan untuk merujuk kepada Al-Qur’an itu sendiri. Berikut adalah nama-nama
tersebut dan ayat yang mencantumkannya:

1. Al-Kitab, QS(2:2),QS (44:2)


2. Al-Furqan (pembeda benar salah) QS(25:1)
3. Adz-Dzikr (pemberi peringatan) QS(15:9)
4. Al-Mau’idhah (pelajaran/nasehat) QS(10:57)
5. Al-Hukm (peraturan/hukum) QS(13:37)
6. Al-Hikmah (kebijaksanaan) QS(17:39)
7. Asy-Syifa’ (obat/penyembuh) QS(10:57), QS(17:82)
8. Al-Huda (petunjuk) QS(72:13), QS(9:33)
9. At-Tanzil (yang diturunkan) QS(26:192)
10. Ar-Rahmat (karunia) QS(27:77)
11. Ar-Ruh (ruh) QS(42:52)
12. Al-Bayan (penerang) QS(3:138)
13. Al-Kalam (ucapan/firman) QS(9:6)
14. Al-Busyra (kabar gembira) QS(16:102)
15. An-Nur (cahaya) QS(4:174)
16. Al-Basha’ir (pedoman) QS(45:20)
17. Al-Balagh (penyampaian/kabar) QS(14:52)
18. Al-Qaul (perkataan/ucapan) QS(28:51)
 Fungsi Al Qur’an
1. Kitab Berita dan Kabar
2. Kitab Hukum dan Perundang-undangan (QS. 5:49-50)
3. Kitab Jihad
4. Kitab Tarbiyah
5. Pedoman Hidup
6. Kitab Ilmu Pengetahuan (QS. 96:1-5)
 Hakikat Al Qur’an
A. Al-Qur’an telah Ditinggalkan

Untuk bisa mencapai derajat orang yang bertakwa yang sesungguhnya,


maka umat Islam, baik secara individu maupun kelompok dituntut harus
senantiasa berinteraksi dengan Al-Qur’an, sebab ia akan selalu menunjukkan
kepada jalan yang benar.

Interaksi yang dengan Al-Qur’an adalah salah satu ciri dari orang-orang
yang bertakwa, sebagaimana dikatakan oleh sebagian Ulama, bahwa esensi
daripada takwa yang sesungguhnya adalah senantiasa berupaya untuk
mengamalkan Al-Qur’an.
Namun apabila melihat fenomena yang berkembang di masyarakat,
ternyata sebagian masyarakat, bahkan kitapun terkadang melakukannya, Al-
Qur’an tidak lagi dijadikan sebagai sahabat dalam kesehariannya. Al-Qur’an tidak
lagi dijadikan lagi sebagai teman untuk bercengkrama bersama, Al-Qur’an tidak
lagi dijadikan obat kegalauan hatinya, padahal ia adalah sebagai kisah yang
menyenangkan, sebagai sya’ir yang indah untuk dinikmati dan sekaligus sebagai
acuan dalam hidup dan kehidupan, sebagaimana telah dicontohkan oleh Baginda
Rasulullah Shallallahu `alaihi Wa Sallam beserta para sahabatnya.

Realita sebagian masyarakat ini, padahal mereka sebagai Muslim, adalah


realita yang sangat menyedihkan dan menghawatirkan untuk masa depan umat
ini, sekaligus menunjukkan bahwa mereka telah menjauhkan al-Qur’an dari
kehidupannya. AlQur’an hanya dijadikan sebagai pajangan di lemari buku untuk
melengkapi buku-buku yang lainnya, atau Al-Qur’an hanya dibuka seminggu
sekali setiap malam jum’at, atau bahkan sebagian dari mereka dekat dengan Al-
Qur’an hanya ketika ada yang meninggal. Dan masih banyak lagi realita yang
lainnya yang menunjukkan bahwa al-Qur’an sudah benar-benar dijauhkan dari
kehidupan mereka.

Rasulullah Shallallahu `alaihi Wa Sallam pernah mengadukan keadaan


sebagian umatnya yang meninggalkan Al-Qur’an sebagaimana disinyalir dalam
firman Allah SUBHAHU WA TA’ALA “Berkatalah Rasul:”Ya Rabbku,
sesungguhnya kaumku telah menjadikan al-Qur’an ini sesuatu yang diacuhkan”.
(QS. Al-Furqan (25) : 30)”

Yang termasuk kategori meninggalkan Al-Qur’an sebagaimana ditegaskan


dalam tafsir Ibnu Katsir adalah, tidak mau mendengarkan, tidak membacanya,
tidak mau mentadaburi dan tidak mengamalkannya. Dengan demikian, maka
interaksi dengan al-Qur’an yang sesungguhnya yang harus dilakukan oleh umat
Islam adalah diawali dengan semangat untuk selalu mendengarkan ayat-ayat
Allah, kemudian diikuti dengan upaya keras untuk meningkatkan interaksi
tersebut dengan membaca, mentadaburi kemudian mengamalkannya.

B. Turunnya Al-Qur’an (Nuzulul Qur’an)

Allah Subhahu Wa Ta’ala telah memuliakan umat Islam dengan


menurunkan Al-Qur’an yang luar biasa, ia sebagai kitab penutup dari kitab-kitab
samawi yang menjadi undang-undang kehidupan, pemecah segala persoalan,
sebagai tanda keagungan dan keluhuran umat pilihan (khaira ummah) untuk bisa
mengemban tugas risalah samawiyyah yang paling mulia, di mana Allah
memuliakannya dengan bekal kitab yang mulia.
Turunnya Al-Qur’an merupakan bukti kesempurnaan ikatan risalah
samawiyyah yang dibawa melalui perantaraan Malaikat Jibril a.s yang
memantapkannya ke dalam lubuk hati Rasulullah SAW. Dia menyampaikannya
sebagai wahyu dari Rabbul A’la, Allah SWT. Hal tersebut ditegaskan dalam
firman Allah SUBHAHU WA TA’ALA

“Dan sesungguhnya Al Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan


semesta alam. Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al Amin (Jibril). Ke dalam hatimu
(Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang
memberi peringatan. Dengan bahasa Arab yang jelas.”

 Al-Qur’an diturunkan melalui tiga tahapan, yaitu :


1. Tahap pertama ( At-Tanazzulul Awwalu ),
Al-Qur’an diturunkan atau ditempatkan di Lauh Mahfudh, yakni
suatu tempat di mana manusia tidak bisa mengetahuinya secara pasti. Hal
ini sebagaimana diisyaratkan dalam QS Al-Buruj : 21-22.
Artinya : Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Qur’an yang mulia,
yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh.
Penjelasan mengenai sejak kapan Al-Qur’an ditempatkan di Lauh
Mahfudh, dan bagaimana caranya adalah merupakan hal-hal gaib yang
menjadi bagian keimanan dan tidak ada yang mampu mengetahuinya
selain dari Allah swt. Dalam konteks ini Al-Qur’an diturunkan secara
sekaligus maupun secara keseluruhan. Hal ini di dasarkan pada dua
argumentasi.
Pertama: Karena lahirnya nash pada ayat 21-22 surah al-Buruj
tersebut tidak menunjukkan arti berangsur-angsur. Kedua: karena
rahasia/hikmah diturunkannya Al-Qur’an secara berangsur-angsur tidak
cocok untuk tanazul tahap pertama tersebut. Dengan demikian turunnnya
Al-Qur’an pada tahap awal, yaitu di Lauh Fahfudz dapat dikatakan secara
sekaligus dan tidak berangsur-angsur.
2. Tahap kedua (At-Tanazzulu Ats-Tsani),

Al-Qur’an turun dari Lauh Mahfudh ke Baitul `Izzah di Sama’ al-


Dunya (langit dunia), yakni setelah Al-Qur’an berada di Lauh Mahfudh,
kitab Al-Qur’an itu turun ke Baitul `Izzah di langit dunia atau langit
terdekat dengan bumi ini. Banyak isyarat maupun penjelasannya dari ayat-
ayat Al-Qur’an maupun hadits Nabi SAW. antara lain sebagai berikut
dalam Surat Ad-Dukhan ayat 1-6 :
“Artinya: Ha-Mim. Demi Kitab (Al Qur’an) yang menjelaskan,
sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi
dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu
dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar
dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Yang mengutus rasul-rasul,
sebagai rahmat dari Tuhanmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS Ad-Dukhan 1-6).”
Hadis riwayat Hakim dari Sa`id Ibn Jubair dari Ibnu Abbas dari
Nabi Muhammad Shallallahu `alaihi Wa Sallam bersabda: Al-Qur’an itu
dipisahkan dari pembuatannya lalu diletakkan di Baitul Izzah dari langit
dunia, kemudian mulailah Malaikat Jibril menurunkannya kepada Nabi
Muhammad saw.

Hadis riwayat al-Nasa’i, Hakim dan Baihaki dari Ibnu Abbas ra.
Beliau berkata: Al-Qur’an itu diturunkan secara sekaligus ke langit dunia
pada malam Qadar, kemudian setelah itu diturunkan sedikit demi sedikit
selama dua puluh tahun.

3. Tahap ketiga (At-Tanazzulu Ats-tsaalistu),


Al-Qur’an turun dari Baitul-Izzah di langit dunia langsung kepada
Nabi Muhammad SAW., yakni setelah wahyu Kitab Al-Qur’an itu
pertama kalinya di tempatkan di Lauh Mahfudh, lalu keduanya diturunkan
ke Baitul Izzah di langit dunia, kemudian pada tahap ketiga Al-Qur’an
disampaikan langsung kepada Nabi Muhammad Shallallahu `alaihi Wa
Sallam dengan melalui perantaraan Malaikat Jibril. Dalam hal ini antara
lain tersebut dalam QS Asy-Syu`ara’ : 193-194, Al-Furqan :32 sebagai
berikut:
Artinya : Ia (Al-Qur’an) itu dibawa turun oleh Ar-Ruh al-Amin
(Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang
di antara orang-orang yang memberi peringatan (Asy-Syu`ara’: 193-
194).
Artinya : Berkatalah orang-orang kafir, mengapa Al-Qur’an itu
tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja. Demikianlah supaya Kami
perbuat hatimu dengannya dan Kami (menurunkan) dan membacakannya
kelompok demi kelompok (Al-Furqan ayat 32).

Menurut As-Suyûthi berdasarkan tiga laporan dari Abdullâh bin ‘Abbâs,


dalam riwayat al-Hakim, al-Bayhaqi dan an-Nasa’i, telah menyatakan, bahwa al-
Qur’an telah diturunkan melalui dua tahap:

o Pertama, al-Qur`an diturunkan dari Lauh Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah.

Pertama kali Al-Qur`an diturunkan dari Lauh Mahfuzh ke Baitul


’Izzah dengan sekaligus pada malam Lailatul Qadar, dan ini merupakan
pemberitahuan kepada alam tingkat tinggi yang terdiri dari Malaikat akan
kemuliaan umat Nabi Muhammad SAW. Terkait turunnya al-Qur’an
secara sekaligus, Allah Subhahu Wa Ta’ala berfirman,

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan


yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda
(antara yang hak dan yang bathil) ..” (QS. Al-Baqarah (2) :185)

Dan firman-Nya,”Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur’an)


pada malam kemuliaan. (QS. 97:1)”

“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi


dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. (QS. Ad-Dukhan
(44) :3)”

o Kedua, Al Qur’an diturunkan dari Baitul ‘Izzah ke hati Rasulullah

Ketiga ayat di atas tidak bertentangan, karena malam yang


diberkahi adalah malam lailatul qadar dalam bulan Ramadhan. Tetapi,
zhahir ayat-ayat tersebut bertentangan dengan kejadian nyata dalam
kehidupan Rasulullah SAW, di mana al-Qur’an turun kepadanya pertama
kali pada bulan Ramadhan dan selama 23 tahun kenabian Muhammad
SAW, yang diturunkan melalui malaikat jibril .

C. Meningkatkan Keimanan dengan Al-Qur’an

Dr. Abdullah Nasih ‘Ulwan mengatakan, bahwa untuk salah satu upaya
dalam meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan adalah dengan cara
interaksi yang baik bersama Al-Qur’an (mendengarkan, membaca, mentadaburi
dan mengamalkannya).

Al-Qur’an adalah sumber ketenangan hati juga sebagai obat bagi penyakit
yang ada di dalamnya. Ketika kita membaca Al-Qur’an, berarti kita sedang
mengingat dan berkomunikasi dengan Allah SUBHAHU WA TA’ALA ketika
kita sedang berkomunikasi dengan Allah, maka sudah barang tentu melalui
firman-firman-Nya dalam Al-Qur’an yang kita baca sambil ditadabburi, kita akan
mendapatkan nilai-nilai akhlakul karimah yang akan menjadikan kualitas amal
kita semakin baik.

Dengan kualitas amal yang semakin baik, maka kualitas iman pun akan
semakin meningkat; karena dengan ketaatan atau amal shalih lah keimanan ini
akan terus meningkat.
Dalam kehidupan para sahabat, kita dapat melihat betapa mereka memiliki
semngat untuk berinteraksi dengan Al-Qur’an, baik mendengarkan, membaca,
menghafal, mentadabburi bahkan mengamalkannya. Kita mengetahui dari sejarah
kehidupan mereka, bahwa apabila diajarkan kepada mereka sepuluh ayat dari AL-
Qur’an, mereka tidak ditambah lagi kecuali setelah mengamalkan sepuluh ayat
tersebut.

Kita juga tahu, bahwa mereka untuk setiap bulannya tidak kurang dari tiga
kali untuk mengkhatamkan Al-Qur’an, dan mereka juga sangat bersemangat
untuk membaguskan bacaan Al-Qur’an. Maka Rasulullah Shallallahu `alaihi Wa
Sallam sebagai satu-satunya suri tauladan bagi kita yang telah diikuti terlebih
dahulu oleh para sahabat, cukuplah bagi kita sebagai acuan utama bagaimana
seharuskah kita berinteraksi dengan al-Qur’an dalam rangka meningkatkan
keimanan dengan al-Qur’an.

D. Keutamaan Al-Qur’an
 Al-Qur’an adalah mukjizat yang abadi

‫ْض ظَ ِهيرًا‬ ُ ‫آن ال يَْأتُونَ بِ ِم ْثلِ ِه َولَوْ َكانَ بَ ْع‬


ٍ ‫ضهُ ْم لِبَع‬ ِ ْ‫ت اإل ْنسُ َو ْال ِج ُّن َعلَى َأ ْن يَْأتُوا بِ ِم ْث ِل هَ َذا ْالقُر‬
ِ ‫قُلْ لَِئ ِن اجْ تَ َم َع‬.

Katakanlah:”Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang


serupa al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa
dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang
lain. (QS. Al-Israa` (17) : 88)

 Bernilai ibadah bagi siapa yang membacanya

‫ف َواَل ٌم‬
ٌ ْ‫‚ف َح‚ ر‬ٌ ِ‫ف َولَ ِك ْن َأل‬
ٌ ْ‫ب هَّللا ِ فَلَ‚هُ بِ‚ ِه َح َس‚نَةٌ َو ْال َح َس‚نَةُ بِ َع ْش‚ ِر َأ ْمثَالِهَ‚ا اَل َأقُ‚و ُل الم َح‚ ر‬
ِ ‫َم ْن قَ َرَأ َحرْ فًا ِم ْن ِكتَا‬
‫ف‬ ٌ ْ‫ف َو ِمي ٌم َحر‬
ٌ ْ‫ َحر‬.

Barangsiapa yang membaca satu huruf dari al-Qur’an, maka ia akan memperoleh
satu kebaikan, dan satu kebaikan itu dilipatgandakan menjadi sepuluh kebaikan.
Aku tidak mengatakan bahwa Alif Lam Mim itu satu huruf, melainkan Alif satu
hufuf, Lam satu huruf, dan Mim satu huruf.”(HR. Tirmidzi dari Ibnu Mas’ud)

 Sebagai penawar (obat) penyakit hati

َ‫ُور َوهُدًى َو َرحْ َمةٌ لِ ْل ُمْؤ ِمنِين‬


ِ ‫يَا َأيُّهَا النَّاسُ قَ ْد َجا َء ْت ُك ْم َموْ ِعظَةٌ ِم ْن َربِّ ُك ْم َو ِشفَا ٌء لِ َما فِي الصُّ د‬.

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu dan
penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta
rahmat bagi orang-orang yang beriman. (QS. Yunus (10) :57)
 Kitab yang dipelihara

ْ ُ‫ِإنَّا نَحْ ن‬.


َ‫نزلنَا ال ِّذ ْك َر َوِإنَّا لَهُ لَ َحافِظُون‬

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami


benar-benar memeliharanya. (QS. Al-Hijr (15): 9)

 Kitab yang diturunkan untuk seluruh alam

‫ك الَّ ِذي نز َل ْالفُرْ قَانَ َعلَى َع ْب ِد ِه لِيَ ُكونَ لِ ْل َعالَ ِمينَ نَ ِذيرًا‬ َ َ‫تَب‬.
َ ‫ار‬

Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (yaitu al-Qur’an) kepada
hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam. (QS. Al-
Furqaan (25) : 1)

E. Kisah Teladan Seputar Ma’rifatul Qur`an

Dikisahkan, bahwa Abdullah bin Amer r.a dia seorang yang sudah hafal
Al-Qur’an, pada suatu ketika ia berkata kepada Rasulullah SAW,”Aku adalah
seorang yang sudah hafal Al-Qur’an, maka aku mampu menyelesaikan bacaan Al-
Qur’an selama satu malam.” Mendengar hal itu Rasulullah Shallallahu `alaihi Wa
Sallam berkata kepadanya,”Aku hawatir, seandainya kamu menyelesaikan bacaan
Al-Qur’an dalam satu malam, kamu akan merasa bosan, maka dari itu, cukuplah
bagi kamu menyelesaikan bacaan Al-Qur’an itu satu kali dalam sebulan.”
Abdullah menjawab,Wahai Rasulullah! Biarkanlah aku menyelesaikan bacaan Al-
Qur’an seperti itu (dalam satu malam); karena aku masih kuat dan masih muda.
Rasulullah Shallallahu `alaihi Wa Sallam bersabda,”Selesaikanlan olehmu bacaan
Al-Qur’an pada setiap sepuluh hari.” Jawab Abdullah,”Biarkanlah aku
menyelesaikannya dalam satu malam; karena aku masih kuat dan masih muda, ia
tetap dalam pendiriannya. Dari kisah tersebut, kita bisa melihat betapa Abdullah
bin Amer memiliki semangat untuk senantiasa dekat dengan Al-Qur’an, sehingga
ia tetap berisi keras untuk menyelesaikan bacaan Al-Qur’an dalam satu malam,
meskipun Rasulullah Shallallahu `alaihi Wa Sallam telah memberikan rukhshah
untuk menyelesaikan bacaan Al-Qur’an tidak dalam satu malam.

V. Ma’rifatusy Syahadatain
Makna Syahadat
(a) Makna Syahadat Tauhid : “َ‫ش َه ُد أنْ الَّ ِإلَهَ ِإالَّ هللا‬ ْ ‫“أ‬
Maka arti syahadat Tauhid ini adalah : “ Aku senantiasa bersaksi,
menyatakan, mengakui, bersumpah bahwa tidak ada “ilah” yang berhak di sembah
selain Allah.”
(b) Makna Syahadat Rosul : ِ‫س ْو ُل هللا‬
ُ ‫ش َه ُد أنَّ ُم َح َّمدًا َّر‬ْ ‫أ‬
Berarti : “ Aku senantiasa bersaksi, menyatakan, mengakui, bersumpah
bahwa Muhammad itu adalah utusan Allah.”
 Haqiqat Makna Syahadah
Syahadah dalam makna haqiqi adalah kecenderungan, kecintaan dan
keridho’an kepada :
o Allah sebagai Robb. (‫) هللا َربًّا‬. Q.S. 6/162-164.
o Islam sebagai Diin. (‫سالَ َم ِد ْينًا‬ ْ ‫) إ‬. Q.S. 5/3.
o Muhammad sebagi Nabi dan Rosul / Uswatun hasanah. ( ً‫س ْوال‬ ُ ‫) ُم َح َّم ٌد نَبِيًّا َو َر‬. Q.S.
33/21.
a) Syahadat dalam makna “ Taklifi ”
Adalah : Awal mula seseorang di bebani tanggung jawab untuk melaksanakan
hukum-hukum Allah ( Mukallaf )
b) Syahadat dalam makna “Sababi”.
Adalah : Syahadah menjadi bukti seseorang menerima da’wah Islam.
c) Makna kalimat tauhid “َ‫“الَّ ِإلَهَ ِإالَّ هللا‬
 Tidak ada yang berhak di sembah, di ibadahi, dihambakan dengan sebenar-
benarnya kecuali Allah. QS. 51/56, 98/5.
 Tidak ada yang ta’ati kecuali kepada Allah SWT. QS. 4/59, 64
 Tidak ada yang di cintai kecuali Allah. QS. 2/165
 Tidak ada yang memberikan ketenangan kecuali Allah. QS. 13/28.
 Tidak ada pemimpin, penolong, kecuali Allah. QS. 5/57.
 Tidak ada hukum kecuali hukum Allah SWT. QS. 5/44-45, 47 & 50.
 Tidak ada Raja kecuali Allah SWT. QS. 114/2, 1/4
 Rukun Syahadat
o An-Nafyu (‫ ) النَّ ْف ُي‬: Penafian atau peniadaan yang terletak pada kalimat “ َ‫ “ الَ ِإلَ‚ه‬yaitu
meniadakan segala ilah, pengabdian, penghambaan, perbudakan dll.
ِ ‫ا‬ppَ‫ ) اِْإل ْثب‬: Penetapan / pengkuhan yang terletak pada kalimat “ َ‫ “ ِإالَّ هللا‬yaitu
o Al-Itsbat (‫ت‬
mengukuhkan dan menetapkan bahwa Allah saja yang di ibadahi, di sembah dan di
abdikan
VI. Ma’rifatul Insan
Manusia adalah makhluk Allah yang diciptakan dari tanah kering yang hina namun
Allah memberikan potensi kepada manusia yaitu potensi akal, pendengaran, penglihatan,
dan hati. Hal itulah yang membedakan manusia dengan binatang. Akal digunakan
manusia untuk berpikir mengenai yang benar dan yang bathil (salah), sedangkan hati
diciptakan untuk merasakan cinta dan kasih sayang yang telah Allah Subhahu Wa Ta’ala
berikan kepada setiap manusia. Pendengaran dan Penglihatan merupakan alat yang
dibutuhkan oleh manusia untuk mengetahui tanda-tanda kebesaran Allah Swt. Manusia
dalam bahasa arab adalah Insan. Dalam kajian kali ini mari kita mengenal lebih dalam
tentang manusia yang disebut dengan Ma’rifatul Insan.
 Ma’rifatul insan ada 3 definisi, yaitu ;
1. Hidroqu Jajibun, artinya mengenal dan memahami manusia sampai kedalamnya
tidak hanya mengetahui kulitnya saja tetapi isi didalam kulitnya.

2. Pemahaman yang sudah menempel didalam diri tidak akan bisa untuk dilepas
sampai ajal menjemputnya atau sesuatu yang tidak pernah berubah dan tetap
berkomitmen hanya itulah yang diyakininya. Seperti halnya mati itu terjadi jika
nyawa/ruh dicabut dari jasadnya oleh malaikat Izrail aras izin Allah Subhahu Wa
Ta’ala semua orang meyakini bahwa itu adalah mati.

3. Keyakinan yang kita dapat dan kita pahami akan menjadi realita dalam kehidupan.

 Hal-hal yang harus di ma’rifatkan adalah;


a. Insan atau manusia
“Barang siapa yang mengenal dirinya maka diapun akan mengenal
Tuhannya” Al-Hadist. Dalam QS. Am-Naas ayat 1-6 menjelaskan bahwa Allah
Subhahu Wa Ta’ala adalah Tuhannya manusia, Tuhan yang disembah oleh
manusia dari kejahatan syaitan yang bersembunyi dan membisikkan kejahatan
dalam dada manusia dari golongan jin dan manusia. Allah Subhahu Wa Ta’ala
menciptakan manusia ke muka bumi bukan untuk main-main tetapi Allah
Subhahu Wa Ta’ala mempunyai prinsip dan manusia diciptakan ke dunia.
b. Prinsip Penciptaan Manusia
Dalam Al-Quran surat Maryam : 67 “Dan tidakkah manusia itu
memikirkan bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakannya dahulu, sedang ia
tidak ada sama sekali?”. Manusia ada, diadakan oleh Allah Subhahu Wa Ta’ala
atas Qudhrah dan Iradhah Allah Swt. Qudhrah artinya berkuasa, Allah adalah
penguasa yang sempurna karena kekuasaan Allah Subhahu Wa Ta’ala tidak
terbatas, Allah juga bisa melakukan sesuatu tanpa ada yang bisa menghalanginya
sedangkan Iradhah artinya berkehendak, Allah melakukan sesuatu sesuai dengan
kehendak-Nya tidak ada yang mempengaruhi dan tidak pula dengan keterpaksaan.
Dalam QS. Al-Araf : 54 “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang
telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di
atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan
cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-
masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah
hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” Allah menciptakan
manusia beserta isi alam ini maka hanya Allahlah yang mempunyai hak untuk
mengatur dan mengurus manusia.
c. Proses Penciptaan Manusia
Manusia yang ada di bumi ini merupakan dari satu enenk moyang yaitu
nabi Adam As. Manusia dilahirkan ke duina ada 2 cara yaitu secara alami dan
secara azali. Secara alami, manusia dilahirkan ke dunia ada sebab akibat dan
keturunannya yaitu dari nabi Adam dan Siti Hawa terlahirlah bani Adam. Hal ini
dijelaskan dala QS. Al-Mu’minun : 12-15, “Dan sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami
jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).
Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu
Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang
belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami
jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta
Yang Paling Baik. Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-
benar akan mati.”
Sedangkan secara Azali yaitu kelahiran manusia tanpa adanya proses
perpaduan antara laki-laki dan wanita, tidak ada penyebabnya namun kehendak
dari Allah Subhahu Wa Ta’ala lah terciptalah seorang anak manusia seperti
halnya terciptanya nabi Isa As dalam QS. Al-Imran : 59 bahwa nabi Isa diciptakan
seperti penciptaan Adam. Allah Subhahu Wa Ta’ala menciptakan Adam dari
tanah kemudian Allah Subhahu Wa Ta’ala berfirman kepadanya “Jadilah”
seorang manusia, maka jadilah dia”. Nabi Isa dilahirkan dari rahim seorang
wanita yang suci lagi beriman kepada Allah Subhahu Wa Ta’ala yaitu Maryam
(QS. Maryam : 1-36).
Setelah manusia lahir, manusia akan tumbuh menjadi anak-anakm remaja,
dewasam kemudian tua lalu meninggal. Dari proses manusia menjadi dewasa
lingkunganlah yang dapat mempengaruhi kedewasaannya. Lingkungan bisa
berasal dari keluarga, oramg tua, bahkan sahabat atau teman yang dikenalinya.
Dalam kehidupan yang nyata ini Allah Subhahu Wa Ta’ala menciptakan manusia
bersama dengan syaitan. Syaitan adalah musuh Allah yang nyata, sedangkan
teman sejati manusia yaitu manusia yang mempunyai komitmen yang sama hanya
Allahlah yang patut disembah dan meyakini Rasulullah Muhammad Shallallahu
`alaihi Wa Sallam adalah utusan Allah.
Hal ini dijelaskan dalam QS. Al-Mujaadalah : 22 dan Al Imran : 118,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman
kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak
henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa
yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa
yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah
Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.”

d. Tujuan Penciptaan Manusia


Dalam QS Adz-Zariyat : 56 “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. “ . Manusia diciptakan ke dunia
oleh Allah Subhahu Wa Ta’ala bertujuan untuk beribadah hanya kepada Allah
Swt. Fungsinya manusia diciptakan ke dunia adalah sebagai Khalifah hal ini
dijelaskan dalam QS. Al Baqarah : 30 “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman
kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah
di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau
dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui”.
Peran manusia di bumi ini adalah memikul amanat yang Allah Subhahu
Wa Ta’ala berikan yaitu menjalankan Al-Quran dan memenangkan agama Allah
terhadap semua agama yang ada di dunia ini, hal ini dijelaskan dalam Qs. Al-
Fath : 28, “Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan
agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah
Allah sebagai saksi.”

 Hakikat Ma’rifatul Insan

Pertama, manusia adalah makhluqun -makhluk ciptaan /hasil kreasi Allah Ta’ala-.
Ia diciptakan oleh-Nya ‘alal fitrah (berada di atas fitrah ). Sebagaimana disebutkan
dalam firman-Nya, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak
ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Rum, 30: 30)

Manusia diciptakan ‘alal fithrah maksudnya adalah diciptakan oleh Allah Ta’ala
berada dalam kecenderungan kepada kebenaran dan patuh kepada-Nya. Sebagian ulama
mengatakan bahwa arti fitrah adalah “Islam”. Hal ini dikatakan oleh Abu Hurairah, Ibnu
Syihab, dan lain-lain. Pendapat tersebut dianut oleh kebanyakan ahli tafsir.

 Manusia juga diciptakan oleh Allah Ta’ala dalam keadaan dhaif (lemah).
Kelemahannya terutama dalam menghadapi godaan hawa nafsunya. Kadangkala
mereka mengalami lemah ‘azam (tekad), lemah iman dan lemah kesabaran.
 Manusia juga diciptakan oleh Allah Ta’ala dalam keadaan jahil (bodoh). Allah
Ta’ala mengungkapkan kondisi manusia ini dengan firman-Nya, “Sesungguhnya
Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka
semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia
itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS. Al-Ahzaab, 33: 72)
 Manusia juga diciptakan oleh Allah Ta’ala dalam keadaan faqir (butuh/berkehendak)
kepada pemberian-Nya. “Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah;
dan Allah Dia- lah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.”
(QS. Fathir, 35: 15)
Kedua, manusia adalah makhluk yang mukarramun (dimuliakan). Allah Ta’ala
memuliakan anak-anak Adam karena nafkhur ruhi -telah ditiupkan ruh ciptaan Allah
Ta’ala kepadanya-. Dia berfirman, “Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan
ke dalamnya ruh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.” (QS. As-Sajdah, 32: 9)

Di dalam hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan,

َ ‚‚‚‫ع‚ لَ‚‚قَ‚‚‚ةً‚ ِم‚ ْث‬


‚‚‫ل‬ ‚ْ ‚ُ‫ن‚ ُأ م‚ِّ ِه‚ َأ ْ‚ر‚ بَ‚ ِع‚ ي‚ َ‚ن‚ يَ‚ ْ‚و‚ ًم‚‚‚ ا‚ ن‬
‚ُ ‚‚‚‫‚ ثُ‚‚م‚َّ يَ‚ ُك‬،‚‚ً‫‚ط‚ فَ‚‚‚ة‬
‚َ ‚‫و‚ن‬ ‚ِ ‚‫ط‬ْ ‚َ‫ج‚ َم‚‚‚ ع‚ُ‚ َخ‚ ْل‚ قُ‚‚‚ هُ‚ فِ‚ ي‚ ب‬
‚ْ ‚ُ‫ن‚ َأ َح‚‚‚ َ‚د‚ ُك‚ ْم‚ ي‬
َّ ‫ِإ‬
‚َ ‫‚ن‚ فُ‚ ُخ‚ فِ‚‚ي‚‚ ِه‚ ا‚ل‚‚رُّ‚ و‬
‚‫‚ح‬ ‚ْ ‚َ‫‚ فَ‚ ي‬، ‚‫‚‚ك‬ ْ ‫هَّللا‬
‚َ ‚َ‫س‚‚ ُل‚ ُ‚ ِإ لَ‚ ي‚ْ‚‚ ِ‚ه‚ ا‚ل‚ َم‚ ل‬ ‚ِ ‚‫‚ر‬ ‚ْ ‚ُ‫‚ ثُ‚‚م‚َّ ي‬، ‚‫ك‬ ْ
َ ‚‚‚ِ‫ض‚‚ َغ‚ ةً‚ ِم‚ ث‚‚‚ َل‚ َذ‚ ل‬‚ْ ‚‫‚ ثُ‚ م‚َّ يَ‚ ُك‚‚‚ و‚ ُ‚ن‚ ُم‬، ‚‫‚‚ك‬
‚َ ‚ِ‫َذ‚ ل‬
‫َأ‬
‚ٌ‫ج‚ لِ‚ ِه‚ َ‚و‚ َش‚ قِ‚ ٌّي‚ ْ‚و‚ َس‚ ِ‚ع‚ ي‚د‬ ‫َأ‬
‚َ ‚‫ع‚ َم‚ لِ‚ ِه‚ َ‚و‬ ‚َ ‚‫‚ه‚ َو‬ ‚ِ ‚ِ‫ب‚ ِر‚ ْ‚ز‚ ق‬ ِ ‚‫‚ بِ‚ َك‚ ْت‬: ‚‫ت‬ٍ ‚‫‚ع‚ َك‚ لِ‚ َم‚ ا‬ ‫َأ‬
‚ِ ‚َ‫َو‚ يُ‚ ْؤ َم‚ ُر‚ بِ‚ ْ‚ر‚ ب‬

“Sesungguhnya salah seorang dari kalian disempurnakan penciptaannya di perut


ibunya selama empat puluh hari dalam bentuk air mani, kemudian menjadi alaqah
(segumpal darah) selama itu pula, kemudian menjadi sepotong daging selama itu pula,
kemudian Allah mengirim malaikat kepadanya lalu malaikat tersebut meniupkan ruh ke
dalamnya dan diperintah dengan empat hal; menulis rezki, amal perbuatan, ajalnya,
dan ia orang celaka atau orang bahagia…” (HR. Bukhari dan Muslim)

Manusia pun dimuliakan karena telah diberi imtiyazat -berbagai keistimewaan-


oleh Allah Ta’ala. Allah Ta’ala telah memuliakan Adam dan anak cucunya dengan raut
muka yang indah, potongan yang serasi dan diberi akal, agar dapat menerima petunjuk,
untuk berbudaya dan berpikir guna mencari keperluan hidupnya, mengelola kekayaan
alam serta menciptakan alat pengangkut di darat, di lautan maupun di udara. Dan Allah
Ta’ala telah memberikan rezeki yang baik-baik kepada mereka itu, yang terdiri dari
makanan yang di dapat dari tumbuh-tumbuhan dan hewan. Allah Ta’ala telah
melebihkan mereka itu dengan kelebihan yang sempurna, dari kebanyakan makhluk
yang lain yang diciptakan-Nya.

Ketiga, manusia adalah makhluk yang mukallafun –dibebani tanggung jawab-. Di


pembahasan madah ta’riful insan telah diulas bahwa manusia diberi amanah ibadah dan
khilafah oleh Allah Ta’ala. Silahkan merujuk kembali ke pembahasan tersebut.

Keempat, manusia adalah makhluk yang mukhayyarun -diberi pilihan oleh Allah
Ta’ala apakah memilih al-iman atau al-kufru–. Allah Ta’ala telah menunjukkan kepada
manusia jalan kebaikan dan jalan kejahatan. Dan telah diberikan-Nya pula kepada
mereka akal untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, sehingga ia
dapat memilih yang baik untuk dikerjakannya, dan yang buruk untuk ditinggalkan.

Kelima, manusia adalah makhluk yang majziyun –mendapatkan balasan amal-.


Mereka yang beriman dan berbuat kebajikan akan mendapatkan balasan dari Allah
Ta’ala berupa al-jannah (surga), Sedangkan mereka yang ingkar akan mendapatkan
balasan dari Allah Ta’ala berupa an-nar (neraka).

Sebagaimana firman-Nya, “Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan


amal saleh, maka bagi mereka jannah tempat kediaman, sebagai pahala terhadap apa
yang mereka kerjakan. Dan adapun orang-orang yang fasik (kafir) maka tempat
mereka adalah jahannam. Setiap kali mereka hendak keluar daripadanya, mereka
dikembalikan ke dalamnya dan dikatakan kepada mereka: “Rasakanlah siksa neraka
yang dahulu kamu mendustakannya.” (QS. As-Sajdah, 32: 19-20)

 Sifat-sifat Dasar Manusia :

1. Manusia mempunyai sifat berkeluh kesah lagi kikir QS. Al-Maarij : 19

2. Manusia bersifat Dhoif 9lemah) QS. Annisa : 28

3. Manusia bersifat Ka’bad (susah payah)

Keistimewaan manusia ini penuh dengan konsekuensi yang menyertai misi


keberadaannya di muka bumi ini. Selain dikaruniai banyak kelebihan dan
keistimewaan , manusia juga dikaruniai banyak kelemahan yang merupakan sifat dasar
manusia, kelemahan itu antara lain:

 Tergesa – gesa (QS. Al Isra’ : 11, QS. Al Anbiya’ 21)


 Lemah (QS. An Nissa’: 28)
 Bodoh (QS.AL Ahzab : 72)
 Suka membantah (QS. Al Kahfi: 54)
 Kikir dan keluh kesah (QS. Al Ma’arij : 19, QS. Al Isra’ : 100)
 Ingkar (QS. Al ‘Aadiyaat : 6, QS. Al Hajj : 66, Ibrahiim (14) : 34, Az Zukhruf
(43) : 15
 Putus Asa (QS. Haa Mim Assajdah : 49, QS. Al Isra’ : 83)
 Berlebih – lebihan (QS. Yunus : 39)
 Lalai (QS Al A’raf :179)Susah payah (QS. Al Balad :4), dan seterusnya.

 Manusia diabagi menjadi 2 kelompok yaitu:


1. Pola hidup mu’min (mu’min sejati) balasannya adalah Syurga dijelaskan dalm
QS. Al baqarah : 107-108 dan QS Al Imran : 102-103, “Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan
janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu
(masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu
menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu
telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari
padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu
mendapat petunjuk.”
2. Pola hidup kafir dibagi mejadi munafik dan kafir balasan orang yang pola
hidupnya seperti ini adalah neraka, hal ini dijelaskan dalam QS. Al-Hajj : 11 dan
Al Baqarah : 165 “Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah
tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka
mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya
kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu
mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu
kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya
mereka menyesal).”

Anda mungkin juga menyukai