Anda di halaman 1dari 15

TUGAS KULIAH

EPIDOMOLOGI PENYAKIT DAN KESMAVET

Dosen Pengampu: drh. Made Sriasih, M.Agr.Sc, Ph.D

TELAAH JURNAL

Oleh:

NAMA : KHAIRIL ANWAR

NIM : I2D020002

SEMESTER : 1 (Satu)

MAGISTER MANAJEMEN SUMBER DAYA PETERNAKAN

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM
2020
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL............................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................. ii
TELAAH JURNAL 1................................................................................................ 1
TELAAH JURNAL 2................................................................................................ 7
TELAAH JURNAL 3................................................................................................ 11

ii
TELAAH JURNAL 1

Judul Perkembangan Teknologi Reverse Transcriptase-Polymerase


Chain Reaction dalam Mengidentifikasi Avian Influenza dan
Newcastle Diseases
Penulis Dyah Ayu Hewajuli dan Dharmayanti NLPI

Reviwer KHAIRIL ANWAR (I2D020002)

Publikasi/ Jurnal Wartazoa

Tahun 2014

Volume 24

Nomor 1

Hasil Telaah Jurnal 1


Latar Belakang Penyakit flu burung (avian influenza) merupakan penyakit
yang sangat berbahaya yang disebabkan oleh virus influenza tipe
A yang termasuk famili Orthomyxoviridae. Penyakit flu burung
menyebabkab kematian yang tinggi pada peternakan unggas serta
bersifat zoonosis (menular dari hewan ke manusia). Sedangkan
penyakit ND (Newcastle Diseases) adalah salah satu penyakit
infeksious yang disebabkan oleh virus avian paramyxovirus
serotipe 1 (APMV 1) dan sangat berbahaya bagi peternakan
unggas.
Identifikasi virus dapat dilakukan dengan berbagai teknik
pengujian, baik secara konvensional maupun secara molekuler.
Penggunaan teknologi sebagai alat deteksi dan identifikasi virus
secara cepat dan sensitif telah dikembangkan dan tersedia secara
komersial. Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan gold
standar untuk mendeteksi keberadaan agen penyakit. PCR dapat
digunakan untuk mengamplifikasi DNA atau RNA. Untuk
mengamplifikasi RNA, proses PCR didahului dengan reverse
transcriptase untuk mengubah molekul RNA menjadi
complementary DNA (cDNA). Molekul cDNA tersebut kemudian

1
digunakan sebagai cetakan dalam proses PCR. Proses PCR untuk
mengubah RNA menjadi cDNA disebut dengan Reverse
Transciptase-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR).
Sensitivitas dan spesifisitas RT-PCR konvensional dan real
time dapat ditingkatkan dengan modifikasi pengujian tersebut
seperti multiplex RT-PCR konvensional maupun real time dan
nested RT-PCR. Modifikasi pengujian ini telah banyak diterapkan
untuk mengidentifikasi genom virus di lapangan seperti Avian
Influenza (AI) dan Newcastle Diseases (ND).

Teori yang Penulis menggunakan teori utama mengenai konsep dasar


Digunakan
dalam Polymerase Chain Reaction (PCR) yang dibedakan menjadi
dua yaitu PCR konvensional dan Real Time. Penulis menjelaskan
bahwa kedua metode PCR ini dibedakan pada analisis hasilnya.
Pada PCR konvensional, analisis hasil amplifikasi fragmen DNA
dilakukan dengan visualisasi pada agar elektroforesis, sedangkan
pada real time PCR, hasil amplifikasi DNA dapat dideteksi dan
diukur pada setiap siklusnya karena menggunakan probe DNA
fluoresen.
Reaksi PCR konvensional biasanya menggunakan satu
pasang primer oligonukleotida untuk mengamplifikasi bagian
tertentu dari genom agen infeksi serta dilakukan pada suatu
tabung. Panjang basa DNA primer umumnya 15-25 nukleotida dan
mempunyai 50-60% kandungan Guanine ditambah Cytocine.
Primer yang digunakan dalam PCR ada dua yaitu oligonukleotida
yang mempunyai sekuen yang identik dengan salah satu rantai
DNA cetakan pada ujung 5’-fosfat dan oligonukleotida yang
kedua identik dengan sekuen pada ujung 3’-OH rantai DNA
cetakan yang lain. Enzim polimerase adalah enzim yang mampu
menggabungkan DNA cetakan tunggal, membentuk untaian
molekul DNA yang panjang.
Sedangkan pada Real Time PCR, Prinsip kerja PCR real
time adalah mendeteksi dan mengkuantifikasi reporter fluoresen.

2
Sinyal fluoresen akan meningkat seiring dengan bertambahnya
amplifikasi DNA PCR dalam reaksi. Reaksi selama fase
eksponensial dapat dipantau dengan mencatat jumlah emisi
fluoresen pada setiap siklus. Semakin tinggi tingkat ekspresi target
gen, maka deteksi emisi fluoresen semakin cepat terjadi.
Penggunaan teknologi probe novel fluoresensi dapat
meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas PCR real time. Terdapat
tiga tipe metode PCR real time yang sering digunakan untuk
deteksi asam nukleat dalam mikrobiologi klinik, yaitu TaqMan
probe, molecular beacon dan Fluorescence Resonance Energy
Transfer (FRET) probe hibridisasi.

Materi dan Pada jurnal ini tidak dijelaskan secara rinci mengenai materi
Metode
dan metode yang digunakan, penulis tidak membuat sub-bab
khusus untuk membahas tentang materi dan metode. Walaupun
demikian, setelah ditelaah lebih lanjut, maka dapat diketahui
materi dan metode yang digunakan.
Deteksi virus avian influenza menggunakan sampel yang
diambil dari jaringan dan swab kloaka unggas, sedangkan untuk
pemeriksaan virus New Catle Disease, sampel yang digunakan
diambil dari usapan trakea dan orofaring. Untuk memperoleh RNA
sebagai cetakan (template) pada proses RT-PCR, sampel harus
diisolasi atau diekstraksi terlebih dahulu sehingga diperoleh RNA
yang digunakan sebagai template untuk proses RT-PCR.
RT-PCR (Reverse Transcriptase-Polymerase Chain
Reaction) dimulai dengan proses reverse transcriptase (RT) atau
transkripsi balik dari RNA-DNA yang berlangsung pada suhu 42-
55 ºC. Proses PCR dibagi menjadi tiga yaitu: 1) Denaturasi
cetakan cDNA beruntai ganda pada suhu 90 ºC sehingga menjadi
cetakan untai tunggal, 2) Annealing, proses penempelan primer
pada cetakan yang berlangsung pada suhu 50-60 ºC, suhu dimana
primer dapat melekat pada cetakan disebut dengan melting
temperature (Tm), dan 3) Ekstensi fragmen DNA oleh enzim

3
polimerase untuk menghasilkan kopi DNA baru yang berlangsung
pada suhu 70-78 ºC. Hasil PCR konvensional divisualisasikan
pada gel elektroforesis, sedangkan pada real time PCR, hasil
amplifikasi DNA dapat dideteksi dan diukur pada setiap siklusnya
karena menggunakan probe DNA fluoresen.
Hasil dan 1. Aplikasi dan Modifikasi Reverse Transcriptase-Polymerase
Pembahasan Chain Reaction untuk Deteksi Genom Avian Influenza
Desain primer yang spesifik untuk identifikasi subtipe
virus AI berdasarkan pada sekuen gen HA yang konsisten
diperoleh dengan menggunakan informasi sekuen asam amino
dari gen HA dengan variasi antara 20-74% untuk subtipe yang
berbeda dan variasi hanya 0-9% untuk subtipe yang sama.
Shankar et al. (2009) telah berhasil mengidentifikasi virus AI
dengan RT-PCR menggunakan set primer yang spesifik
terhadap gen Nukleoprotein (NP) dan HA (H5, H7 dan H9).
Sekuen primer yang digunakan berdasarkan Lee et al. (2001)
yang menghasilkan amplikon sebesar 488 bp untuk subtipe H9.
Hasil yang diperoleh pada jurnal ini menunjukan bahwa
penggunaan RT-PCR untuk mendeteksi genom virus avian
influenza mampu menghasilkan band positif dengan ukuran
330 bp dengan primer NP (nucleoprotein) dan divisualisasikan
dengan gel elektroforesis. Penggunaan primer gen HA
(hemaaglutinin) pada RT-PCR untuk mendeteksi genom virus
avian influenza mampu menghasilkan band positif dengan
ukuran sebesar 545 bp yang divisualisasikan pada gel
elektroforesis.
Sampel jaringan dan swab kloaka biasanya mengandung
beberapa penghambat PCR sehingga dapat menurunkan
sensitivitas pengujian rRT-PCR virus AI. Untuk
menghilangkan keberadaan zat penghambat PCR, maka
prosedur alternatif pada ekstraksi RNA virus AI sangat
diperlukan. Modifikasi penambahan lyopiliz dalam reagen rRT-

4
PCR untuk deteksi gen M virus AI menunjukkan hasil yang
lebih sensitif dibandingkan dengan reagen konvensioal.
2. Aplikasi dan Modifikasi Reverse Transcriptase-Polymerase
Chain Reaction untuk Deteksi Genom New Castle Disease
Modifikasi pengembangan RT-PCR telah berhasil
dilakukan dengan menggunakan primer umum untuk
mendeteksi semua tipe virus ND. Hasil yang ditampilkan pada
jurnal ini menunjukkan bahwa RT-PCR standar menggunakan
sampel orofaring mampu menghasilkan amplikon sebesar 365
bp, sedangkan sampel usapan kloaka tidak mampu
menghasilkan amplikon di 365 bp. Sampel usapan kloakan
menunjukkan hasil positif dengan ukuran amplikon sebesar 216
bp setelah diuji dengan RT-PCR nested.
Sensitivitas RT-PCR dapat ditingkatkan dengan
pengembangan modifikasi RT-PCR nested. Pada RT-PCR
nested, PCR tahap kedua (second-round) dilakukan dengan
menggunakan primer yang berbeda untuk mengamplifikasi
sekuen nukleotida pada bagian gen tertentu yang sulit
teramplifikasi pada saat RT-PCR tahap pertama (first-round).
Sensitivitas RT-PCR nested sampai 100 kali lebih tinggi jika
dibandingkan dengan RT-PCR standar (first-round). Metode
ini menggunakan dua pasang primer. Sepasang primer pertama
untuk RT-PCR tahap pertama dan sepasang primer kedua
untuk RT-PCR tahap kedua. Adi et al. (2008) melaporkan
primer yang digunakan untuk mengamplifikasi target gen
phospho protein (P), matrix protein (M), hemagglutinin-
neuraminidase protein (HN) dan fusion protein (F) dengan RT-
PCR tahap pertama tidak mampu menghasilkan amplikon
sepanjang 1500 bp dengan jelas tetapi primer ini mampu
menghasilkan amplikon sepanjang 500 bp dengan jelas setelah
melalui RT-PCR tahap kedua (RT-PCR nested).
Kesimpulan Metode RT-PCR mempunyai sensitivitas dan spesifisitas

5
yang tinggi, resiko kontaminasi silang rendah, serta mampu
mendeteksi sampel dalam jumlah banyak dalam waktu yang
singkat. Penulis pada jurnal ini, penulis telah mampu
membuktikan bahwa modifikasi RT-PCR dapat meningkatkan
sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi genom virus AI dan ND.

Kelebihan 1. Jurnal ini mengulas tentang teknologi PCR yang menjadi gold
standard dalam mendeteksi penyakit.
2. Isi jurnal secara keseluruhan menarik untuk dibaca karena
menggunakan bahasa yang jelas dan mudah dimengerti,
terutama dalam menjelaskan istilah-istilah dalam PCR.

Kekurangan 1. Hasil gambar yang ditampilkan hanya berupa hasil visualisasi


RT-PCR konvensional pada gel elektroforesis, sedangkan hasil
Real Time RT-PCR tidak ditampilkan, padahal penulis jurnal
ini banyak sekali membahas tentang Real Time RT-PCR.
2. Kesalahan penulisan pada halaman ke-25, bagian kanan, baris
kedua: amplikon di 356 bp → seharusnya ditulis 365 bp,
karena dari kalimat sebelumnya penulis mencoba
membandingkan hasil RT-PCR antara sampel orofaring dengan
sampel usapan kloaka.
3. Kesalahan penulisan pada halaman ke-27, bagian kiri, baris
kedua: spesifitas → seharusnya ditulis spesifisitas

TELAAH JURNAL 2

Judul Perbandingan Sensitivitas dan Spesifisitas Uji Pewarnaan

6
Seller’s dan Fluorescent Antibody Technique (FAT) dalam
Mendiagnosa Penyakit Rabies pada Anjing di Bali

Penulis Steven Yohanes Bogia, I Made Kardena, I Made Sukada dan


Ketut Eli Supartika

Publikasi/Jurnal Indonesia Medicus Veterinus

Tahun 2012

Volume 1

Nomor 1

Hal. 12-21

ISSN 2301-7848

Hasil Telaah Jurnal 2

Latar Belakang Diagnosa rabies secara laboratorium didasarkan atas


penemuan badan Negri pada pengamatan histopatologi spesiemen
otak penderita, ataupun penemuan antigen virus dari isolasi. Badan
Negri merupakan temuan yang bersifat patognomonis pada kasus
rabies. Akan tetapi, keberadaan badan Negri pada kasus positif
rabies hanya sekitar 71%. Pewarnaan Seller’s untuk melihat
keberadaan badan Negri menjadi uji standar untuk mendiagnosa
rabies pada kebanyakan Laboratorium. Metode ini tergolong
cukup sederhana dan ekonomis, tetapi memiliki sensitivitas yag
rendah.
Uji Fluorescent Antibody Technique (FAT) memiliki
beberapa keunggulan dibandingkan dengan pewarnaan Seller’s,
salah satunya adalah hasil yang diperoleh memiliki tingkat
keakuratan yang tinggi. Uji FAT juga dapat mendeteksi virus
rabies yang berasal dari preparat kelenjar ludah. Keunggulan
lainnya adalah tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi serta
pemeriksaan dapat dilakukan secara cepat dimana hasil uji
diperoleh dalam waktu kurang lebih 2 jam.

7
Penulisan jurnal ini bertujuan untuk membandingkan tingkat
sensitivitas dan spesifisitas dari pewarnaan Seller’s dan uji
Fluorescent Antibody Technique (FAT) dalam mendiagnosis
penyakit rabies pada anjing di Bali.

Metode Sampel yang digunakan berupa spesimen otak anjing bagian


Penelitian hipokampus sebayak 109 anjing dari berbagai wilaya di Bali tahun
2008-2009. Terdapat 39 ekor anjing menunjukan gejala klinis
rabies da 70 ekor tidak menunjukan gejala klinis sehingga tidak
dicurigai terinfeksi rabies.
Segera setelah eliminasi dan nekropsi dilakukan, setiap
spesimen otak dibuat preparat sentuh dan diwarnai dengan
pewarnaan Seller’s serta diuji keberadaan antigennya
menggunakan uji FAT. Keberadaan badan Negri ditentukan pada
uji pewarnaan Seller’s dan ada atau tidaknya antigen ditandai
dengan warna hijau berpendar pada uji FAT. Hasil ditabulasi dan
dianalisis dengan metode tabel 2 × 2 untuk dapat menghitung
sensitivitas dan spesifisitas dari masing-masing uji yag diadaptasi
dari formulasi menurut Robertson (2008).

Hasil yang Sensitivitas dan spesifisitas pada uji pewarnaan Seller’s


Diperoleh untuk mendiagnosis penyakit rabies pada anjing diperoleh masing-
masing 64,10% dan 98,57%. Sedangkan uji FAT menghasilkan
sensitivitas sebesar 97,43% dan spesifisitas 100%.

Pembahasan Sensitivitas dan spesifisitas adalah tingkat validitas yang


digunakan untuk mengukur kemampuan suatu uji diagnostik
penyakit tertentu. Sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dari
suatu uji diagnosis penyakit menunjukan tingkat validitas yang
tinggi.
Uji Seller’s memiliki tingkat sensitivitas yang relatif rendah.
Hasil penelitian menunjukan bahwa uji Seller’s memiliki
sensitivitas 64,10% dan spesifisitas 98,57%. Dari 109 sampel yang
diuji, diperoleh 1 sampel yang menunjukan hasil positif palsu dan

8
14 sampel menunjukan hasil negatif palsu.
Infeksi virus rabies menginduksi terbentuknya formasi dari
badan inklusi sitoplasmik yang disebut badan Negri yang
ditemukan di dalam sitoplasma saraf yang terinfeksi (Lahaye et al.
2009). Badan Negri berbentuk bulat sampai oval, eosinofilik dan
memiliki struktur internal (Butts et al. 1984). Hasil negatif palsu
pada uji pewarnaan Seller’s dapat muncul pada kasus rabies
dimana hewa yang terinfeksi mati terlebih dahulu sebelum virus
sampai ke otak. Sedangkan hasil positif palsu muncul apabila
hewan yang terjangkit rabies diberikan vaksin inaktif sehingga
pada uji Seller’s ditemukan badan Negri. Hasil positif palsu juga
muncul pada anjing yang menderita distemper karena penyakit ini
menghasilkan badan inklusi yang bentuk dan warnanya dapat
menyerupai badan Negri yang terwarnai oleh pewarnaan Seller’s.
Uji FAT memperoleh sensitivitas dan spesifisitas yaitu
masing-masing 97,43% dan 100%. Dari 109 sampel, hanya
diperoleh 1 sampel yang menunjukan hasil negatif palsu. Hasil
negatif palsu kemungkinan disebakan karena sampel mengandung
virus yang telah inaktif. Dean da Abelseth (1973) melaporkan
bahwa sensitivitas dan spesifisitas pada uji FAT mencapai 98-
100%.

Kesimpulan Tingkat sensitivitas dan spesifisitas dari uji FAT yang


digunakan untuk mendiagnosis penyakit rabies pada anjing di Bali
lebih tinggi dibandingkan dengan pewarnaan Seller’s.

Kelebihan 1. Bahasa yang digunakan dalam jurnal ini cukup lugas, jelas
dan mudah dimengerti.
2. Sampel yag digunakan cukup banyak untuk mengkonfirmasi
tingkat sensitivitas dan spesifisitas pada uji FAT dan
pewarnaan Seller’s sehingga validitas data yang diperoleh
terjamin.
3. Pembahasan pada jurnal ini menurut saya cukup menarik

9
untuk dibaca, terutama dalam menjelaskan mengapa bisa
terjadi hasil positif palsu atau negatif palsu.
4. Hasil yang dicapai pada penelitian ini sudah mampu
menjawab tujuan penelitian yaitu membandingkan sensitivitas
dan spesifisitas uji pewarnaan Seller’s dan Uji FAT yang
dimana diperoleh hasil sensitivitas dan spesifisitas lebih
tinggi pada uji FAT.

Kekurangan 1. Metode pewarnaan Seller’s tidak dijelaskan lebih detail


terutama bahan yang digunakan serta langkah-langkahnya
begitu juga dengan uji FAT.
2. Terjadi kesalahan penulisan data hasil penelitian pada
“Pembahasan” yaitu pada halaman 17, paragraf kedua, baris
ke 4. Hasil negatif palsu pewarnaan Seller’s seharusnya 14
sampel seperti pada tabel 1, tetapi ditulis 13 sampel dengan
hasil negatif palsu.

TELAAH JURNAL 3

Judul Isolasi dan Uji Sensitivitas Bakteri Saluran Penapasan


Kambing PE Penderita Pneumonia

10
Penulis Yuriadi dan Ida Tjahajati

Publikasi/Jurnal J. Sain. Vet

Tahun 2002

Volume 20

Nomor 2

Hal. 1-6

Hasil Telaah Jurnal 3

Latar Belakang Pneumonia (radang paru-paru) merupakan salah satu


penyakit yang berbahaya pada kambing PE karena dapat berakibat
fatal jika terlambat ditangani. Pneumonia adalah istilah yang
digunakan untuk menunjukan terjadinya keradangan pada paru-
paru. Pneumonia dapat bersifat lobular (bronkopneumonia) dan
pneumonia lobar. Pneumonia dapat terjadi pada parenkim paru-
paru, bronkiolus, pleura, jaringan alveoli dan jaringan interstisial.
Pneumonia dapat terjadi secara akut dan kronis yang ditandai
dengan gangguan pernapasan dan adanya hipoksia.
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai agen penyakit
antara lain bakteri, virus, atau gabungan keduanya, jamur, parasit,
agen kimia dan agen fisik. Beberapa penelitian yang melaporkan
bahwa bakteri yang keberadaannya secara normal pada saluran
pernapasan yaitu Mycoplasma mycoides, P. multocida, P.
haemotilica, Klebsiella pneumonia, Bordetela bronchiseptica dan
Dermatophilus (Blood et al. 1989). Subroto (1994) menyebutkan
ada beberapa kuman penyebab pneumonia pada sapi yaitu P.
multocida, P. haemotilica,C. pyogenes, Streptococcus sp.,
Klebsiella pneumonia, Mycobacterium tuberculosis, F.
necrophorum dan Hemophylus somnus.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengisolasi bakteri
penyebab pneumonia dan menguji tingkat sensitivitas beberapa
antibiotik terhadap bakteri tersebut sehingga dapat diperoleh
informasi tentang antibiotik yang terbaik untuk digunakan dalam

11
pengobatan pneumonia.

Materi yang Penelitian ini menggunakan 12 ekor kambing PE yang


Digunakan menderita pneumonia. Alat dan bahan laboratorium digunakan
pada penelitian ini diantaranya media penguji, beberapa jenis
antibiotik untuk uji sensitivitas dan resistensi antibiotik.

Metode Sampel cairan diambil dengan swab steril dari trakea


kambing PE penderita penumonia. Sonde dipasang lewat saluran
pernapasan kemudian sampel diambil dengan swab steril melalui
sonde. Sampel yang diperoleh ditanam pada media untuk
menumbuhkan bakteri. Bakteri yang diperoleh diuji sensitivitas
dan resistensinya terhadap beberapa jenis antibiotik yaitu penisilin,
sterptomisin, ampisilin tetrasiklin dan neomisin.

Hasil dan Hasil isolasi bakteri pada jurnal ini diperoleh 16 isolat
Pembahasan bakteri (6 genus) yang berasal dari saluran pernapasan kambing
PE penderita pneumonia diantaranya: Streptococcus sp.,
Staphylococcus sp., Corynebacterium sp., Proteus sp.,
Haemophylus sp. dan Mycoplasma sp. Hasil uji sensitivitas
menunjukan bahwa persentase bakteri yang sensitif terhadap
antibiotik yaitu 37,5% (penisilin), 31,25% (streptomisin), 43,75%
(ampisilin), 81,25% (tetrasiklin) dan 100% (neomisin). Sedangkan
persentase bakteri yang resisten terhadap antibiotik adalah 62,5%
(penisilin), 68,75% (streptomisin), 56,25% (ampisilin), 18,75%
(tetrasiklin) dan 0% (neomisin).
Hasil tersebut menunjukan bahwa antibiotik yang paling
sensitif adalah neomisin dan yang kedua adalah tetrasiklin.
Tingginya sensitivitas kedua antibiotik tersebut disebabkan karena
jarang digunakan untuk penanganan penyakit pneumoniam pada
kaming PE, sehingga kedua jenis antibiotik ini direkomendasikan
untuk digunakan pada penanganan penumonia dengan mengikuti
standar dan prosedur yang baik.

Kesimpulan Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa

12
diperoleh 16 isolat bakteri penyebab penumonia pada kambing PE
yang diuji sensitivitas dan resistensinya terhadap antibiotik.
Antibiotik yang menunjukan senstivitas paling tinggi adalah
neomisin dan tetrasiklin dengan nilai masing-masing 100% dan
81,25%.

Kelebihan 1. Jurnal ini cukup menarik untuk dibaca karena menyediakan


informasi yang esensial dalam menangani penyakit
pneumonia, terutama jenis antibiotik yang dapat
direkomendasikan kepada peternak.
2. Bahasa yang digunakan dalam jurnal ini sudah bagus dan
mudah dimengerti.

Kekurangan 1. Tidak mencantumkan tujuan penelitian pada pendahuluan


terutama dibagian akhir pendahuluan (sebagai pengantar
untuk pembaca).
2. Tidak terdapat kesimpulan pada jurnal ini.

13

Anda mungkin juga menyukai