Anda di halaman 1dari 28

ARTIKEL ILMIAH

STRES PANAS PADA UNGGAS

Tugas Mata Kuliah Ilmu Produksi Ternak Lanjutan

Oleh:

NAMA : KHAIRIL ANWAR

NIM : I2D020002

SEMESTER : 1 (Satu)

MAGISTER MANAJEMEN SUMBER DAYA PETERNAKAN

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS MATARAM
MATARAM
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah S.W.T yang telah melimpahkan Rahmat dan
Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan artikel ilmiah atau paper
yang berjudul “Stres Panas Pada Unggas”. Artikel ini membahas tentang stres panas,
dampak dan solusi untuk mengatasinya pada ternak unggas yang dilengkapi dengan
referensi dari buku, jurnal, proseding, dan sumber-sumber lainnya. Artikel ini disusun
untuk melengkapi tugas pada Mata Kuliah Ilmu Produksi Ternak Lanjutan pada
Program Pasca Sarjana, Fakultas Peternakan, Universitas Mataram. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Moh. Hasil Tamsil, M.Si selaku dosen pengampu Mata Kuliah
Ilmu Produksi Ternak Lanjutan.
2. Sahabat-sahabat saya yang selalu memberikan dukungan dan motivasi.
3. Teman-teman Mahasiswa Magister Manajemen Sumber Daya Peternakan angkatan
2020.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penulisan artikel
ilmiah ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik yang bersifat konstruktif untuk
perbaikan dan kesempurnaan artikel ini kedepannya.

Mataram, 20 November 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL...................................................................................... i
KATA PENGANTAR....................................................................................... ii
DAFTAR ISI...................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL.............................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang............................................................................... 1
1.2. Tujuan ........................................................................................... 3
1.3. Kegunaan ...................................................................................... 3
BAB II KAJIA PUSTAKA............................................................................... 4
2.1. Ternak Unggas............................................................................... 4
2.2. Suhu dan Kelembaban Kandang ................................................... 5
2.3. Stres dan Mekanisme Pembuangan Panas pada Ternak Unggas... 6
BAB III PEMBAHASAN................................................................................. 7
3.1. Pengaruh Stres Panas terhadap Tingkah Laku dan Fisiologis
Ternak Unggas............................................................................... 7
3.2. Respon Hormonal Ternak Unggas Terhadap Stres........................ 10
3.3. Metabolisme, Stres Oksidatif dan Peroksidasi Lemak pada
Unggas yang Mengalami Stres Panas............................................ 11
3.4. Dampak Stres Panas pada Sistem Imun......................................... 14
3.5. Heat Shock Protein ....................................................................... 15
3.6. Dampak Stres Panas Terhadap Produktivitas Ternak Unggas....... 16
3.7. Solusi Mengatasi Stres Panas pada Unggas................................... 18
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 20
4.1. Kesimpulan ................................................................................... 20
4.2. Saran.............................................................................................. 20
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 21

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Pengaruh Suhu yang Berbeda Pada ayam Broiler Umur 3 Minggu........ 7
Tabel 2. Level CO2, HCO3, Natrium (Na) dan Kalium (K) pada ayam broiler
strain Hubbard Umur 35 Hari.................................................................. 9
Tabel 3. Level Haematokrit dan Komponen Leukosit pada Ayam Broiler yang
Terpapar Stres......................................................................................... 10
Tabel 4. Konsentrasi Hormon Kortikosteron pada Ayam Broiler......................... 11
Tabel 5. Kadar Glukosa dan Total Protein pada Ayam Broiler............................ 12
Tabel 6. Aktivitas Enzim Oksidatif dan Malondialdehyde (MDA) pada Ayam
Broiler Strain Ross.................................................................................. 14
Tabel 7. Pengaruh suhu pemeliharaan terhadap performa hidup ayam broiler..... 16
Tabel 8. Pengaruh stres panas terhadap produksi telur......................................... 17
Tabel 9. Pengaruh vitamin C dan E terhadap aktivitas enzim antioksidan dan
MDA pada plasma darah ayam broiler.................................................. 19
Tabel 10. Pengaruh suplementasi vitamin E pada ayam petelur (dosis 45 IU/kg) 19

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Industri peternakan unggas mengalami perkembangan yang signifikan dari
tahun ke tahun. Perkembangan usaha ternak unggas di Indonesia dapat dilihat
dengan meningkatnya populasi ternak unggas di Indonesia. Populasi ayam ras
petelur di Indonesia mengalami pertumbuhan sebesar 3,28% dalam kurun waktu
2013-2017 (Widaningsih et al., 2017), sedangkan ayam ras pedaging meningkat
sebesar 7,86% dalam kurun waktu 2009-2018 (Chafid et al., 2018). Sektor
peternakan unggas menjadi salah satu pilar penting sebagai penyedia pangan untuk
memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat Indonesia. Daging dan telur ayam
merupakan hasil produk utama ternak unggas yang banyak memberikan konstribusi
dalam pemenuhan kebutuhan protein masyarakat Indonesia. Tetapi, pemeliharaan
ternak unggas di wilayah tropis dengan iklim yang panas menyebabkan terjadinya
stress pada unggas karena suhu lingkungan berada diatas suhu normal yang
dibutuhkan (upper critical temperatur).
Suhu rata-rata lingkungan di beberapa wilayah di Indonesia terbilang cukup
tinggi bagi ternak unggas, khususnya pada musim kemarau. Zulkifli et al. (2018)
melaporkan bahwa suhu lingkungan di daerah tropis pada waktu siang hari dapat
mencapai 34 ºC yang dapat memicu cekaman stress pada ternak unggas. Hal ini
menyebabkan terjadinya penimbunanan panas dan stress oksidatif sehingga akan
menimbulkan radikal bebas yang berlebihan (Miller et al., 1993).
Timbulnya stress pada ternak unggas tidak hanya disebabkani oleh pengaruh
luar seperti suhu lingkungan, tetapi juga disebabkan karena kondisi fisik ternak
unggas yang tertutup oleh bulu, tidak memiliki kelenjar keringat dan tergolong
hewan yang berdarah panas (homeothermic). Hal inilah yang menyebabkan unggas
kesulitan untuk membuang panas tubuhnya ke lingkungan. Moberg (2000)
mendefiniskan stres sebagai respon biologis yang dapat menimbulkan ancaman dan
mengganggu homeostasis pada hewan. Lara dan Rostagno (2013) menjelaskan
lebih lanjut bahwa stres adalah respon atau rangsangan yang merugikan pada ternak
yang sulit untuk dipahami karena ternak yang stres menunjukan respon yang tidak
seperti biasanya. Sedangkan menurut Selye (1976) stres adalah respon tubuh yang

1
tidak spesifik terhadap suatu gangguan. Sedangkan stressor dapat didefinisikan
sebagai agen yang menghasilkan stres setiap saat. Jadi, stres merupakan suatu
reaksi dari ternak yang merupakan respon biologis terhadap suatu rangsangan yang
mengganggu keseimbangan fisiologis normal atau homeostasis.
Dampak yang ditimbulkan akibat suhu panas terhadap industri peternakan
unggas telah mengambil banyak perhatian peternak di Indonesia. Altan et al. (2003)
menjelaskan bahwa stress panas menyebabkan kerugian ekonomi karena dapat
menurukan produktivitas ternak dan meningkatkan angka kematian. Zulkifli et al.,
(2018) menjelaskan lebih lanjut bahwa suhu panas yang tinggi pada lingkungan di
siang hari dapat mengakibatkan terjadinya penimbunan panas dalam tubuh ternak,
bahkan dapat menyebabkan penurunan pertumbuhan dan efisiensi penggunaan
pakan pada ternak unggas. Stress panas menyebabkan terjadinya
ketidakseimbangan antara aliran energi di dalam tubuh ternak unggas karena panas
tersebut sulit dibuang ke lingkungan. Kondisi stres yang dibiar berlanjut
menyebabkan dampak buruk bagi ternak misalnya penurunan produksi telur,
penurunan laju pertumuhan, melemahnya sistem imun, munculnya berbagai
penyakit (Zulkifli et al., 2018) dan kematian pada ternak (Altan et al. 2000).
Ternak unggas yang mengalami stres panas menunjukan tanda-tanda
seperti: banyak minum, konsumsi pakan rendah, mengembangkan sayapnya dan
mengalami panting. Menurunnya produktivitas ternak unggas yang mengalami
stres berkaitan dengan rendahnya konsumsi pakan yang selanjutnya menyebabkan
retensi nitrogen berkurang dan berlanjut ke penurunan daya cerna protein dan
beberapa asam amino penting (Tabiri et al., 2000). Puthpongsiriporn et al. (2001)
menjelaskan bahwa stres panas dapat menstimulasi pelepasan hormon kortikosteron
dan katekolamin dan menginisiasi terjadinya peroksidasi lemak di dalam membran
sel, termasuk membran sel limfosit T dan B. Peroksidasi lemak merupakan
kerusakan oksidatif dari minyak dan lemak yang mengandung ikatan karbon
rangkap. Pada tingkat molekuler, stres pada ternak unggas ditandai dengan
meningkatnya Heat Shock Protein 70 (HSP 70). HSP 70 merupakan kelompok
protein yang ditranslasi paling cepat dari HSP 70 mRNA pada kondisi stres. HSP
70 berfungsi sebagai protein pelindung molekul tertentu sehingga tidak mengalami
kerusakan (Yu et al. 2008).

2
Stres panas telah menimbulkan dampak buruk bagi ternak unggas yang
menyebabkan menurunnya produktivitas ternak sehingga merugikan secara
ekonomi. Pemahaman dan pengontrolan kondisi lingkungan merupakan sesuatu
yang sangat penting untuk memperoleh keberhasilan pemeliharaan ternak unggas.
Oleh karena itu, objek yang dibahas dalam artikel ilmiah ini berkaitan dengan ilmu
pengetahuan terbaru dan bukti-bukti yang tersedia serta literatur ilmiah yang
menjelaskan tentang dampak stres dan solusi yang dapat diterapkan untuk
mengatasi stres panas pada ternak unggas.
1.2. Tujuan

Tujuan dari penulisan artikel ilmiah ini adalah sebagai berikut:


1. Mengkaji tentang dampak stres panas pada ternak unggas berdasarkan literatur
ilmiah dan bukti-bukti yang terserdia.
2. Memaparkan solusi untuk mengatasi stres panas pada ternak unggas
1.3. Kegunaan
Kegunaa dari penulisan artikel ilmiah ini adalah sebagai berikut:
1. Memberikan informasi kepada peneliti berikutnya terkait dengan dampak stres
pada ternak unggas dan cara mengatasinya.
2. Memberikan pengetahuan kepada peternak dan masyarakat pada umumnya
tentang dampak stres dan cara mengatasinya.

3
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1. Ternak Unggas


Unggas merupakan kelompok hewan yang tergolong kelas aves (burung)
yang banyak dimanfaatkan oleh manusia untuk menghasilkan daging dan telur.
Blakely dan Blade (1994) menjelaskan ciri-ciri unggas secara umum yaitu:
mempunyai dua kaki, dua sayap, mempunyai paruh dan berkembang biak dengan
cara bertelur. Selain itu, unggas memiliki bulu yang menutupi hampir seluruh
tubuhnya, tidak memiliki kelenjar keringat dan tergolong hewan yang berdarah
panas (homeothermic). Pemeliharaan ternak unggas memiliki keistimewaan
dibandingkan dengan ternak lainnya yaitu siklus produksi yang relatif lebih singkat
sehingga dapat menghasilkan pangan bergizi untuk memenuhi kebutuhan manusia
(Yuwanta, 2004). Ada beberapa jenis ternak unggas yang banyak dipelihara oleh
manusia yaitu ayam, itik, entok, kalkun, merpati dan puyuh.
Ayam (Gallus sp.) merupakan salah satu ternak unggas yang sudah banyak
dipelihara secara komersial oleh masyarakat. Di Indonesia, ayam dapat dibedakan
menjadi ayam buras (bukan ras) dan ayam ras. Ayam buras yang merupakan ayam
asli Indonesia dan lebih dikenal dengan sebutan ayam kampung, sedangkan ayam
ras adalah jenis ayam-ayam unggul impor yang telah dimuliabiakan untuk tujuan
produksi tertentu (Kartasudjana dan Suprijatna, 2010). Ayam ras dibedakan
menjadi dua macam yaitu ayam petelur dan ayam pedaging yang biasanya
dipelihara dalam jumlah yang besar (industri). Walaupun ayam ras lebih unggul
dalam produktivitas dibandingkan dengan ayam kampung, ayam ras lebih rentan
terkena stres pada lingkungan dengan iklim yang panas. Untuk itu, pemeliharaan
ayam ras membutuhkan rekayasa mikroklimat kandang untuk agar produktivitas
yang tinggi. Sedangkan ayam kampung mempunyai kelebihan pada daya adaptasi
tinggi karena mampu menyesuaikan diri dengan berbagai situasi, kondisi
lingkungan, dan perubahan iklim serta cuaca setempat (Rasyaf, 1998).
Itik (Anas Domesticus) merupakan salah satu unggas air (waterfowls) yang
dikenal juga dengan nama lain itik dalam bahasa Jawa. Secara keseluruhan tubuh
itik berlekuk dan lebar, memiliki leher yang relatif panjang, meskipun tidak
sepanjang leher angsa. Bentuk tubuh itik umumnya bervariasi dan bulat. Paruhnya

4
berbentuk lebar dan mengandung lamella yang berfungsi untuk menyaring
makanan. Sayap itik sangat kuat dan sedikit agak pendek, ketika terbang itik
membutuhkan kepakan berkelanjutan sehingga membutuhkan otot sayap yang kuat.
(Srigandono, 1997).
Entok (Cairina moschata) merupakan jenis unggas yang memiliki
kekerabatan yang sangat dekat dengan itik. Entok juga termasuk unggas air yang
berasal dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Entok dan itik merupakan
ternak unggas yang sama-sama termasuk family anatidae. Karakteristik warna bulu
entok biasanya dominan hitam dan putih, entok memiliki tonjolan kulit berwarna
merah dan hitam disekitar mata dan wajah. Paruh entok lebih mirip dengan paruh
itik, yaitu lebar dan ujung bulat dan berwarna putih kemerahan, kaki entok gemuk
pendek yang memiliki selaput antara digitti, ekor entok agak memipih datar dan
lebar (Simanjuntak, 2002).
2.2. Suhu dan Kelembaban Kandang
Suhu dan kelembaban kandang pada ternak unggas memiliki pengaruh yang
cukup besar terhadap produktivitas ternak unggas (Sugito dan Delima, 2009).
Apabila kondisi ini tidak terpenuhi, maka ternak unggas tidak dapat berproduksi
sesuai dengan potensi yang dimilikinya secara genetik. Ternak unggas merupakan
hewan berdarah panas (homeothermic) yang mempunyai suhu tubuh normal
berkisar antara 40,5-41,5 ºC (Etches et al., 2008). Peningkatan suhu lingkungan
menyebabkan ternak unggas kesulitan memngeluarkan panas tubuhnya dan
membuangnya ke lingkungan. Hal ini menyebabkan terakumulasinya panas di
dalam tubuh ternak unggas yang selanjutnya menjadi salah satu pemicu terjadinya
stres panas (heat stress).
Pemeliharaan ternak unggas pada kondisi suhu dan kelembaban optimal
yang sesuai dengan kebutuhan sehingga dapat berproduksi dengan semestinya
disebut dengan comfort zone. Ayam broiler (pedaging) membutuhkan suhu 32,2-35
ºC pada fase starter (Anita dan Widagdo, 2011), ayam broiler muda membutuhkan
suhu 20-25 ºC dan ayam broiler fase finisher membutuhkan suhu < 20 ºC.
Kelembaban optimal yang dibutuhkan ayam broiler berkisar antara 60-70% (Broiler
Manual Management, 2014). Pada Ayam petelur fase starter, suhu optimal yang
dibutuhkan berkisar antara 32-36 ºC (1-7 hari), 28-31 ºC (8-21 hari) dan 21 ºC

5
untuk ayam petelur yang berumur lebih dari 7 minggu, sedangkan ayam petelur
fase layer membutuhkan suhu kandang sekitar 18 ºC. Selain itu, ayam petelur
secara umum membutuhkan kelembaban berkisar 55-65% (Hy-line, 2010).
Suhu dan kelembaban kandang dapat diatur dengan memodifikasi kondisi di
dalam kandang. Beberapa peternak mengatasi permasalahan stres panas pada
unggas dengan membangun kandang tertutup (closed house) yang seluruh kondisi
di dalam kandang dapat diatur sesuai dengan kebutuhan, tetapi karena biaya
pembuatan kandang closed house cukup tinggi, beberapa peternak yang lain
memilih untuk membangun kandang di daerah dengan suhu udara yang relatif
rendah.
2.3. Stres Panas dan Mekanisme Pembuangan Panas pada Unggas
Pada saat ternak unggas mulai mengalami stres dengan menunjukan tanda-
tanda penurunan konsumsi pakan, sehingga konsumsi air minum meningkat dan
bobot badan turun (Budiarta et al., 2014). Ternak unggas yang terpapar stres akan
berusaha untuk mengembalikan kondisi tubuhnya seperti semula. Proses ini disebut
dengan homeostatis yang merupakan bagian dari proses dan mekanisme otomatis
yang dilakukan ternak unggas untuk mempertahankan kondisi konstan agar
tubuhnya dapat berfungsi dengan normal.
Upaya mengeluarkan panas dari dalam tubuhnya yang dilakukan ternak
unggas dibedakan menjadi sensible heat loss dan insensible heat loss. Sensible heat
loss merupakan upaya mengurangi panas tubuh dengan cara pertukaran panas dari
tubuh ternak ke lingkungan yang terdiri dari konveksi, konduksi dan radiasi.
Sedangkan insensible heat loss yaitu proses pembuangan panas melalui panting
(Bird et al., 2003).

6
BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Pengaruh Stres Panas terhadap Tingkah Laku dan Fisiologis Ternak Unggas
Stres merupakan respon atau rangsangan yang merugikan pada ternak yang
sulit untuk dipahami karena ternak yang stres menunjukan respon yang tidak seperti
biasanya (Lara dan Rostagno, 2013). Sedangkan menurut Selye (1976) stres adalah
respon tubuh yang tidak spesifik terhadap suatu gangguan. Stres yang disebabkan
oleh suhu panas sering sekali terjadi pada pemeliharaan ternak unggas apalagi pada
musim kemarau dengan suhu rata-rata pada siang hari mencapai 34 ºC (Zulkifli et
al. 2018).
Stres panas menyebabkan terjadinya perubahan tingkah laku ternak unggas
yang merupakan sebuah upaya untuk mengembalikan kondisi normal tubuhnya
(homeostasis). Ternak unggas berusaha membuang panas yang berlebihan untuk
menyeimbangkan jumlah panas yang ada di dalam tubuhnya. Pengaturan suhu
tubuh ternak unggas disebut dengan termoregulasi. Mack et al. (2013) melaporkan
bahwa ternak unggas yang mengalami stres memiliki tanda-tanda pada prilakunya
yaitu sedikit menghabiskan waktu untuk makan, banyak minum, panting,
mengembangkan sayapnya, sedikit bergerak dan lebih banyak berdiam diri pada
lantai kandang.
Tabel 1. Pengaruh Suhu yang Berbeda Pada ayam Broiler Umur 3 Minggu
Konsumsi Frekuensi Frekuensi
Suhu
Suhu (ºC) Pakan minum panting
Rektal (ºC)
(g/ek/hari) (kali/menit) (kali/menit)
Rendah (25-27 ºC) 40,0822 50,705 52,50 136,25
Sedang (28-33 ºC) 41,0700 49,004 91,88 393,13
Tinggi (34-37 ºC) 41,4575 42,670 109,38 505,00
Sumber: Sulistyoningsih (2004)
Tabel 1 menjelaskan bahwa suhu rektal pada ayam broiler mengalami
peningkatan seiring dengan suhu kandang tempat dipeliharanya, ayam broiler yang
dipelihara pada suhu tinggi memiliki suhu rektal 41,4575 ºC. Altan et al. (2003)
melaporkan bahwa terjadi peningkatan suhu rektal pada ayam broiler dari 40,19 ºC
menjadi 41,58 ºC yang disebabkan oleh stres panas.

7
Hal ini membuktikan bahwa stres panas menyebabkan penimbunan panas di
dalam tubuh ternak unggas. Konsumsi pakan mengalami penurunan seiring dengan
semakin bertambahnya suhu kandang. Ximenes et al. (2018) melaporkan bahwa
konsumsi pakan ayam broiler yang dipelihara pada suhu tinggi lebih rendah
dibandingkan dengan ayam broiler yang dipelihara pada suhu rendah. Yunianto
(1999) juga menjelaskan bahwa terjadi penurunan konsumsi pakan sebesar 9,98%
dalam kondisi cekaman panas. Rendahnya konsumsi pakan berbanding terbalik
dengan konsumsi air minum pada ternak unggas yang terpapar stres panas. Ayam
broiler yang dipelihara pada suhu rendah minum sebanyak 52,50 kali/menit
sedangkan ayam broiler yang dipelihara pada suhu tinggi minum sebanyak 109,38
kali/menit. Tingginya konsumsi air pada ayam broiler bertujuan untuk
mengembalikan suhu tubuhnya menjadi normal. Tamzil (2014) melaporkan bahwa
ternak unggas yang terpapar stres panas (suhu 40,0 ºC selama 1,5 jam)
mengkonsumsi air minum sebanyak 80,65 ± 0,77 mL/ekor/menit dibandingkan
dengan kontrol (suhu 29,3 ºC) sebesar 60,82 ± 0,84 mL/ekor/menit.
Perubahan tingkah laku ternak unggas karena stres panas merupakan upaya
untuk mengatur suhu tubuh (thermoregulasi) untuk kembali ke suhu normal. Secara
garis besar proses pembuangan panas pada ternak dibedakan menjadi dua yaitu:
sensible heat loss dan insensible heat loss. Proses pengeluaran panas secara
sensible heat loss meliputi 1) radiasi yaitu proses pelepasan kelebihan panas tubuh
secara langsung dari seluruh permukaan tubuh ke udara sekitar yang dilakukan
dengan cara melebarkan sayapnya, 2) konduksi yaitu pelepasan panas tubuh dengan
melakukan kontak langsung dengan benda-benda padat yang suhunya lebih rendah
misalnya menempelkan tubuhnya pada lantai kandang dan 3) konveksi yaitu
pelepasan panas melalui perpindahan fluida misalnya frekuensi konsumsi air pada
unggas.
Apabila pelepasan panas secara sensible heat loss tidak berhasil, maka
selanjutnya ternak unggas melepaskan panas tubuhnya dengan cara panting
(insensible heat loss). Panting menjadi pilihan terbaik bagi ternak unggas untuk
melepaskan panas jika suhu lingkungan terlalu tinggi. Ternak unggas memiliki
mekanisme tambahan untuk meningkatkan pertukaran udara pada tubuhnya dengan
lingkungan karena adanya kantong udara (air sacs). Kantong udara sangat berguna

8
selama proses panting karena dapat meningkatkan sirkulasi udara untuk membawa
panas dari dalam tubuhnya dan dibuang di lingkungan (Lara dan Rostagno, 2013).
Frekuensi panting pada ayam broiler meningkat drastis pada saat suhu lingkungan
naik yaitu dari 136,25 kali/menit (suhu rendah) menjadi 505 kali/menit (suhu
tinggi). Tamzil et al. (2013) melaporkan bahwa panting pada ayam kampong pada
suhu 40,0 ºC selama 1,5 jam mencapai 1057,28 ± 47,86 kali/menit. Panting pada
unggas dijelaskan pada Gambar 1.

(a) (b)
Gambar 1. a) panting pada ayam broiler, b) panting pada ayam petelur

Proses pengeluaran panas melalui panting dapat mengeluarkan sebagian


besar panas dalam tubuh ternak unggas. Terjadinya panting secara terus-menerus
dapat menekan level karbon dioksida (CO2) tetapi meningkatkan pH darah (Lara
dan Rostagno, 2013). Berikut ini level CO2, HCO3, Natrium (Na) dan Kalium (K)
pada ayam broiler strain Hubbard dijelaskan pada Tabel 2.
Tabel 2. Level CO2, HCO3, Natrium (Na) dan Kalium (K) pada ayam broiler strain
Hubbard Umur 35 Hari
PCO2 Na
Perlakuan HCO3 (meq/l) K (meq/l)
(mm Hg) (meq/l)
Kontrol 43,12 ± 1,70 21,46 ± 0,50 146,1 ± 2,13 8,75 ± 0,55
Stres (38 ºC) 41,03 ± 2,30 18,78 ± 0,68 141,0 ± 2,89 8,41 ± 0,75
Sumber: Altan et al. (2000)
Meningkatnya frekuensi panting menyebabkan terjadinya penurunan CO2,
HCO3- dan peningkatan pH di dalam darah yang selanjutnya menyebabkan alkalosis
(Odam et al., 1982). Kondisi ini menghambat ketersediaan bikarbonat di dalam
darah untuk mineralisasi kerabang telur karena level kalsium bebas di dalam darah
juga semakin sedikit. Fenomena ini secara langsung berpengaruh pada produksi

9
telur dan kualitas kerabang telur yang dihasilkan pada pemeliharaan ayam petelur
(Lara dan Rostagno, 2013). Stres panas pada ternak unggas juga mempengaruhi
keseimbangan mineral dan konsentrasi plasma. Hal ini terbukti dengan adanya
penurunan Natrium dan Kalium pada darah (Altan et al. 2000). Natrium dan
Kalium memiliki peranan yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan
elektrolit di dalam sel.
Respon fisiologis pada ternak unggas yang mengalami stres juga dapat
digambarkan dengan kondisi hematologi yang diamati berdasarkan parameter di
dalam darah (Prayitno dan Sugiharto, 2015). Berikut ini kondisi hematologi ternak
unggas yang mengalami stres.
Tabel 3. Level Haematokrit dan Komponen Leukosit pada Ayam Broiler yang
Terpapar Stres
Perlakuan
Parameter
Normal Stres Panas
Temperatur rektal (ºC) 40,12 ± 0,07 41,64 ± 0,07
Haematokrit (%) 33,52 ± 0,94 32,17 ± 0,81
Limfosit (%) 74,40 ± 0,84 64,03 ± 0,84
Heterofil (%) 17,60 ± 0,45 26,20 ± 0,45
H/L rasio (%) 0,23 ± 0,01 0,40 ± 0,01
Eosinofil (%) 3,53 ± 0,23 2,93 ± 0,23
Basofil (%) 2,66 ± 0,27 4,80 ± 0,27
Monosit (%) 1,73 ± 0,19 1,80 ± 0,19
Sumber: Altan et al. (2003)
Stres panas mempengaruhi semua komponen limfosit kecuali monosit dan
eosinofil. Stres panas menyebabkan penurunan jumlah limfosit dan peningkatan
proporsi heterofil sehingga H/L rasio meningkat dari 0,23% menjadi 0,40%.
Perubahan rasio antara heterofil dan limfosit erat kaitannya dengan peningkatan
sekresi homon stres oleh kelenjar adrenal misalnya kortikosteron (Prayitno dan
Sugiharto, 2015). Selain itu, basofil mengalami peningkatan yang merupakan suatu
tanda fisiologis ternak unggas mengalami stres pada suhu 38 ºC selama 3 jam pada
umur 35-36 hari (Altan et al. 2003).

3.2. Respon Hormonal Ternak Unggas Terhadap Stres


Ternak unggas yang terkena stres akan mengaktifkan dua mekanisme respon
fisiologis (Keeling dan Jensen, 2002) yaitu: 1) Respon pertama adalah

10
mengaktifkan sistem saraf otonom yang mengakibatkan peningkatan denyut
jantung, tekanan darah, penurunan aktivitas sistem pencernaan dan peningkatan
sekresi hormon katekolamin (adrenalin dan noradrenalin) dari adrenal korteks, 2)
Respon kedua adalah terjadinya peningkatan sekresi hormon adrenocorticotrophic
hormone (ACTH) dari kelenjar hipofise yang diatur oleh hormon corticotrophin
releasing hormone/CHR yang menstimulasi terjadinya sekresi hormon
kortikosteroid misalnya kortisol dan kortikosteron dari kelenjar adrenal korteks
(Prayitno dan Sugiharto, 2015).
Kortikosteron merupakan hormon utama yang banyak dihasilkan ketika
ternak unggas mengalami stres selain epinefrin dan norepinefrin. Keberadaan
hormon kortikosteron dengan konsentrasi yang tinggi pada aliran darah unggas
dapat dijadikan sebagai indikator stres (Halverson, 2001). Garriga et al. (2006)
menjelaskan bahwa suhu lingkungan yang tinggi mengubah aktivitas sistem
neuroendokrin pada unggas yang menyebabkan aktivasi hypothalamic-pituitary-
adrenal (HPA) axis dan meningkatkan konsentrasi kortikosteron. Interpretasi stres
menggunakan indikator level kortikosteron pada darah unggas harus dilakukan
dangan hati-hati karena meningkatnya kortikosteron tidak hanya terjadi ketika
ternak unggas mengalami stres, tetapi pada saat unggas dipuasakan ternyata
konsentrasi kortikosteron di dalam tubuhnya juga meningkat. Prayitno dan
Sugiharto (2015) menjelaskan bahwa kortikosteron bertanggung jawab untuk
meningkatkan proses perombakan cadangan energi di dalam tubuh dengan cara
memperbanyak proses glikolisis, lipolisis dan glukoneogenesis (Ewing et al. 1999).
Tabel 4. Konsentrasi Hormon Kortikosteron pada Ayam Broiler
Perlakuan Kortikosteron (ng/mL)
Kontrol 6,22 ± 0,34
Stres Panas 6,36 ± 0,43
Sumber: Houshmand et al. (2012)
3.3. Metabolisme, Stres Oksidatif dan Peroksidasi Lemak pada Unggas yang
Mengalami Stres Panas.
Metabolisme merupakan serangkaian reaksi kimia yang terjadi di dalam sel
organisme hidup yang bertujuan untuk menyesuikan energi yang dibutuhkan untuk
proses hidupnya atau membentuk energi baru. Suhu tubuh dan aktivitas
metabolisme diatur oleh beberapa hormon penting yaitu thyroid, triiodothyronine

11
(T3), thyroxin (T4) dan keseimbangannya. Beberapa hasil penelitian menunjukan
bahwa konsentrasi dari T3 mengalami penurunan pada unggas yang terpapar stres
panas (Mack et al. 2013). Hormon thyroxin dan adrenalin mengalami penurunan
ketika terjadi peningkatan suhu lingkungan (Etches et al. 2008), padahal kedua
hormon ini juga memiliki peran penting dalam melakukan proses thermoregulasi
(pengaturan suhu tubuh) (Tamzil, 2014).
Kadar glukosa dan total protein dalam darah ayam broiler yang dipelihara
pada suhu berbeda akan dijelaskan pada Tabel 5.
Tabel 5. Kadar Glukosa dan Total Protein pada Ayam Broiler

Suhu (ºC) Kadar Glukosa (mg/dL) Total Protein (g/dL)

Group A (28-32 ºC) 261,65 ± 5,37 4,01 ± 0,13


Group B (35-40 ºC) 286,65 ± 7,14 3,57 ± 0,11
Group C (40-45 ºC) 305,95 ± 3,23 3,33 ± 0,10
Sumber: Khan et al. (2002)
Stres panas mempengaruhi konsentrasi glukosa dan protein di dalam aliran
darah ternak unggas. Pada suhu tinggi, kadar glukosa mengalami peningkatan yang
signifikan berbanding terbalik dengan total protein yang semakin turun. Kondisi ini
terjadi karena mekanisme tubuh ternak berusaha mengembalikan suhu tubuhnya
menjadi normal sehingga membutuhkan banyak energi untuk mempercepat denyut
jantung, meningkatkan laju pernapasan dan sirkulasi darah perifer. Akibatnya, laju
metabolisme basal menjadi naik yang ditandai dengan kadar glukosa yang tinggi
pada ayam broiler yang dipelihara pada suhu 40-45 ºC.
Metabolisme basal pada ternak unggas yang mengalami stres tetap
meningkat walaupun asupan pakan berkurang. Pada kondisi ini, ternak unggas
merombak sumber energi yang ada di dalam tubuhnya untuk diubah menjadi
glukosa. Proses perombakan energi dari bahan yang bukan karbohidrat disebut
dengan glukoneogenesis. Rendahnya total protein pada darah kemungkinan
disebabkan karena proses glukoneogenesis yaitu protein tersebut dimanfaatkan
sebagai sumber energi. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh Prayitno dan
Sugiharto (2015) bahwa konsentrasi kortikosteron mengalami peningkatan pada
unggas yang mengalami stres panas, kortikosteron adalah hormon yang dapat

12
meningkatkan aktivitas perombakan cadangan energi baik melalui glikolisis,
lipolisis dan glukoneogenesis (Ewing et al. 1999).
Stres oksidatif merupakan keadaan dimana jumlah radikal bebas di dalam
tubuh melebihi kapasitas tubuh untuk menetralkannya. Radikal bebas adalah
molekul yang mengandung oksigen dengan jumlah elektron yang tidak merata
sehingga dapat menyebabkan reaksi yang disebut oksidasi. Stres panas pada unggas
dapat memberikan dampak buruk terhadap struktur dan fisiologi sel, gangguan
proses transkripsi, pemrosesan RNA, translasi, metabolisme oksidatif, struktur dan
fungsi membran (Mager and de Kruijff, 1995; Iwagami, 1996). Altan et al. (2003)
menjelaskan bahwa sel menghasilkan sejumlah kecil radikal bebas atau reactive
oxygen species (ROS) ketika melaksanakan fungsi metabolisme normal. Walaupun
ROS dalam jumlah sedikit dibutuhkan pada banyak proses kimia di dalam tubuh
ternak unggas, akumulasi ROS dapat merusak makromolekul penting seperti lemak,
protein, karbohidrat dan DNA.
Kerusakan oksidatif dapat diminimalisir oleh antioksidan yang melindungi
sel dari radikal bebas dan melindungi sel dari akumulasi molekul-molekul
penyebab stres oksidatif (Altan et al. (2003). Untuk mengatasi bahaya stres
oksidatif ini, penggunaan bahan-bahan yang mengandung antioksidan sangat
direkomendasikan sekali, misalnya pemberian vitamin C atau vitamin E pada
unggas. Enzim-enzim antioksidan seperti superoxide dismutase (SOD), catalase
(CAT) dan glutathione peroxidase (GPx) memainkan peranan penting dalam
melindungi kerusakan sel dari efek berbahaya ROS. Selain kerusakan oksidatif,
stres panas juga dapat menyebabkan peningkatan peroksidasi lemak (lipid
peroxidation) (Altan et al. 2000).
Peroksidasi lemak merupakan kerusakan oksidatif dari lemak yang
mengandung ikatan karbon-karbon rangkap. Peroksidasi lemak diawali dengan
terpisahnya hidrogen dari polyunsaturated fatty acid yang disebabkan oleh radikal
bebas yang dihasilkan dari hidrogen peroksida (Bhuyan et al., 1986). Peroksidasi
lemak kaitannya dengan suhu panas pada sistem biologis juga pernah dilaporkan
oleh Zinchuk (1995) dan Iwagami (1996). Altan et al. (2000) menjelaskan bahwa
Malondialdehyde (MDA) adalah produk utama dari proses peroksidasi lemak dan
sering digunakan sebagai indikator terjadinya lipid peroksidasi. Stres oksidatif dan

13
peroksidasi lemak berdasarkan indikator aktivitas enzim oksidatif dan konsentrasi
dari Malondialdehyde (MDA) pada ayam broiler yang terpapar stres akan
dijelaskan pada Tabel 6.
Tabel 6. Aktivitas Enzim Oksidatif dan Malondialdehyde (MDA) pada Ayam
Broiler Strain Ross
CAT SOD GPx MDA
Perlakuan
(K/gHb) (U/gHb) (U/gHg) (nmol/mL)
Normal 349,93 ± 19,14 47,25 ± 3,87 15,84 ± 1,74 1,92 ± 0,11
Stres 553,65 ± 19,14 89,83 ± 4,24 34,71 ± 1,74 2,94 ± 0,11
Sumber: Altan et al. (2003)
3.4. Dampak Stres Panas pada Sistem Imun
Stres panas yang terjadi pada unggas menyebabkan terjadinya pelemahan
sistem imun sehingga ternak mudah terserang penyakit. Lara dan Rostagno (2013)
menjelaskan bahwa pengaturan respon imun oleh central nervous system (CNS)
diperantarai oleh jaringan kompleks yang bekerja secara bi-directionally atau dua
arah diantara saraf, endokrin dan sistem imun. Hypothalamic–pituitary–adrenal
(HPA) dan sympathetic–adrenal medullar (SAM) axes merupakan jalur utama yang
dapat mengubah respon imun. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya perbedaan
pada jumlah limfosit, monosit, makrofag dan granulosit antara ayam broiler pada
kondisi normal dan ayam broiler yang mengalami stres. Altan et al. (2003)
melaporkan jumlah limfosit pada ayam broiler pada kondisi normal skitar 74,4%,
sedangkan mengalami penurunan pada ayam broiler yang terpapar stres menjadi
64,03%. Houshmand et al. (2013) melaporkan bahwa ternak unggas yang
dipelihara pada kondisi normal memiliki titer antibodi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan ternak unggas yang dipelihara dengan kepadatan tinggi.
Respon antibodi terhadap antigen asing diketahui sebagai kriteria
pengukuran umum untuk mendeskripsikan status imunitas dari ternak unggas
(Heckert et al. 2002). Stres panas pada unggas dapat meningkatkan pelepasan
hormon stres (kortikosteron) yang dapat menghambat beberapa fungsi imun
misalnya: proliferasi limfosit, produksi sitokin dan immunoglobulin, produksi agen
anti-imflamasi dan sitotoksisitas (Munk et al. 1984; Houshmand et al. 2013).
Gomes et al. (2014) menjelaskan bahwa stres pada unggas mengakibatkan
penurunan aktivitas makrofag, konsentrasi immunoglobulin dan berat organ

14
penghasil sel-sel imun (bursa fabricius). Akhirnya, ternak unggas yang mengalmi
stres memiliki respon kekebalan yang rendah sehingga mudah terkena penyakit.
3.5. Heat Shock Protein
Heat shock protein (HSP) merupakan protein yang disintesis sebagai respon
dari stres fisik, kimia dan biologi termasuk stres panas (McCormick et al. 2003).
HSP merupakan protein yang sangat awet yang terdiri dari beberapa kelompok dan
ditemukan pada organisme hidup dengan ukuran berkisar 10-150 kDa (Lindquist
and Craig, 1988; Benjamin and McMillan, 1998). HSP diaktifkan ketika proses
fisiologis untuk mengembalikan kondisi normal tubuh tidak dapat berjalan dengan
baik. Murugesan et al. (2017) menjelaskan bahwa HSP bertindak sebagai pelindung
molekuler yang membantu dalam pelipatan dan perakitan protein pada saat unggas
mengalami stres. Selain itu, HSP dapat membantu untuk memulihkan keadaan asli
protein, mengatur degradasi protein dan translokasi melintasi membran (Hartl and
Hayer-Hartl, 2002).
Ekspresi mRNA HSP60, HSP70 dan HSP90 meningkat pada hati ayam
broiler setelah 2 jam terpapar stres panas. Selanjtunya ekspresi menurun kecuali
untuk HSP90 yang ekspresinya meningkat lagi pada 10 jam paparan panas (Yu et
al. 2008). Pemeriksaan ekspresi mRNA HSP tersebut dilakukan dengan
menggunakan teknik Real Time RT-PCR (Real Time Reverse Transcription
Polymerase Chain Reaction) yang mana mRNA akan ditranskripsi balik menjadi
cDNA dan diamplifikasi. Peningkatan ekspresi mRNA HSP pada ayam broiler
yang terpapar stres panas menandakan bahwa akan terjadi translasi heat shock
protein (HSP).
Letak dari HSP berhubungan dengan fungsi perlindungan dan pengawal
molekul lain. Hasil imunohistokimia menunjukan lokasi HSP60, HSP70 dan
HSP90 di otot jantung ayam broiler (Yu et al. 2008). HSP60 diekspresikan secara
utama pada sitoplasma sel miokardium atau sel otot jantung (Kervinen et al. 2003).
Yu et al. 2008 menjelaskan lebih lanjut bahwa HSP60 terletak pada miosit jantung
yang secara khusus kaya akan mitokondria yang menghasilkan jumlah ATP tinggi
untuk kontraksi jantung secara normal. Penipisan ATP mempunyai efek yang
merugikan bagi ternak unggas yang mengalami stres. Tekanan panas dan akumulasi
HSP60 selanjutnya menimbulkan efek hemat ATP (Kabakov and Gabai 1997).

15
Ketika terjadi stres pada unggas, HSP berperan penting dalam menjaga integritas,
fungsi dan kapasitas mitokondria untuk pembentukan ATP yang merupakan faktor
penting dalam menentukan kelangsungan sel jantung yang mengalami kerusakan
akibat stres panas. Pendamping molekuler mempengaruhi beberapa komponen
seluler termasuk sitoskeleton yang terdiri dari mikrotubulus, mikrofilamen, dan
filamen menengah (Liang dan MacRae 1997). Aktin mikrofilamen dan intermediet
filamen dalam sel tumor otak tikus yang rusak oleh stres panas dikembalikan ke
normal setelah 8 jam pemulihan yang terkait dengan induksi HSP70 (Wang et al.
1998).
3.6. Dampak Stres Panas Terhadap Produktivitas Ternak Unggas
Stres panas pada unggas berdampak negatif terhadap produktivitasnya
sehingga dapat merugikan peternak secara ekonomi. Ternak yang terpapar stres
memiliki konsumsi pakan yang rendah sementara tubuhnya membutuhkan banyak
energi untuk mempercepat denyut jantung, panting, dan organ lainnya agar
tubuhnya kembali ke kondisi normal. Meningkatnya hormon kortikosteron
mempengaruhi proses perombakan energi cadangan tubuhnya sehingga
mempengaruhi pertumbuhannya. Soeharsono (1977) menejelaskan bahwa
pemeliharaan ayam broiler pada daerah yang memiliki suhu 32 ºC menyebabkan
penurunan bobot badan sebesar 22%. Sedangkan Austic (2000) menyatakan
pemeliharaan ayam broiler umur 3-5 minggu pada suhu diatas 30 ºC dapat
menyebabkan penurunan bobot badan sebesar 15-25%. Adanya variasi perbedaan
penurunan bobot badan pada ayam broiler yang terpapar stres panas tergantung
suhu cekaman, umur, jenis kelamin, jenis strain ayam dan jenis pakan yang
dikonsumsi (Sugito dan Delima, 2009). Dampak stres panas pada ayam broiler
disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Pengaruh suhu pemeliharaan terhadap performa hidup ayam broiler
Konsumsi FCR
Bobot Badan (g)
Perlakuan Pakan (g)
Mgg ke-4 Mgg ke-5 Mgg ke-6 Mgg ke-7 3-7 Mgg 3-7 Mgg
Kontrol (15 ºC) 1052 1570 2209 3000 4745 1,95
Suhu 22-28 ºC 1044 1572 2098 2700 4517 2,14
Suhu 34 ºC 1025 1483 1934 2400 4205 2,28
Sumber: Aksit et al. (2006)

16
Produktivitas pada ayam petelur dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk
stres panas yang mungkin menjadi salah satu tantangan pada pemeliharaan ayam
petelur. Penurunan konsumsi pakan pada ayam petelur menjadi titik awal yang
merugikan akibat stres panas, kondisi ini berdampak pada turunnya berat badan,
efisiensi pakan, produksi telur dan kualitas telur (Lara and Rostagno, 2013).
Penurunan konsumsi pakan menyebabkan penurunan protein dan kalsium yang
tersedia di dalam tubuh ayam petelur. Pengaruh stres panas terhadap produksi telur
pada ayam petelur akan disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Pengaruh stres panas terhadap produksi telur
Perlakuan

Parameter Suhu 23,9 ºC dan Suhu 23,9-35 ºC Suhu 35 ºC dan


RH 50% dan RH 15-50% RH 50%
(Kontrol) (Stres Panas)
Konsumsi Pakan 86,7 65,9 41,6
(g/ekor/hari)
Hen Day (HP) 87,4 82,5 56,2
Production (%)
Bobot Telur (g) 56,4 53,5 46,9

Bobot Kerabang 5,06 4,76 3,50


(g/butir)
Tebal Kerabang 34,8 33,9 28,3
(×0,01 mm)
Sumber: Mashaly et al. (2004)
Tabel 8. menunjukan terjadinya penurunan konsumsi pakan, produksi telur
harian (HP), bobot telur, bobot kerabang dan tebal kerabang telur yang disebabkan
oleh stres panas pada ayam petelur. Lara and Rostagno (2013) menjelaskan bahwa
stres panas pada ayam petelur dapat menurunkan konsumsi pakan sebesara 28,58
g/ekor/hari dan menurunkan produksi telur harian sebesar 28,8%. Star et al (2009)
melaporkan penurunan produksi telur harian sebesar 36,4% dan penurunan berat
telur 3,41% yang disebabkan stres panas pada ayam petelur. Stres panas juga
menyebabkan penurunan kualitas telur. Ebeid et al. (2012) melaporkan terjadinya
penurunan berat telur (-3,24%), tebal kerabang (-1,2%) dan berat kerabang (-
9,93%) yang disebabkan oleh stes panas pada ayam petelur.

17
3.7. Solusi Mengatasi Stres Panas pada Unggas
Stres panas berdampak sangat merugikan secara ekonomi karena
produktivitas ternak tidak optimal, bahkan dapat menyebabkan kematian pada
ternak unggas. Untuk mengatasi hal ini tentu dibutuhkan solusi yang tepat
diantaranya: melakukan seleksi, memodifikasi kondisi kandang dan memberikan
suplementasi vitamin dan asam amino pada ternak unggas. Penerapan solusi ini
tentu harus disesuaikan dengan kondisi ternak, kandang dan fasilitas lainnya yang
dibutuhkan.
Seleksi pada ternak unggas sudah banyak dilakukan untuk menghasilkan
ternak-ternak yang dinginkan, misalnya seleksi untuk mendapatkan ayam yang
memiliki daya adaptasi tinggi terhadap suhu lingkungan yang panas. Tamzil et al.
(2013) melaporkan bahwa ayam kampung dan ayam arab memiliki keragaman
genotipe pada HSP70 yang menyebabkan kedua ayam ini memiliki daya adaptasi
yang tinggi pada suhu panas atau toleran apabila dipelihara pada suhu lingkungan
yang tinggi. Informasi mengenai keragaman genotipe pada gen HSP70 yang
dilaporkan oleh Tamzil et al. (2013) memiliki kegunaan yang sangat berarti untuk
proses seleksi kedepannya agar mendapatkan ayam-ayam yang memiliki toleransi
pada suhu panas.
Stres panas juga dapat diatasi dengan memodifikasi kondisi kandang
sedemikian rupa sesuai dengan temperatur nyaman ternak (thermoneutral zone).
Penggunaan kandang jenis close house (tertutup) dapat meminimalisir pengaruh
suhu lingkungan terhadap ternak unggas yang ada di dalamnya sehingga dapat
berproduksi sesuai dengan potensi genetik yang dimilikinya. Selain itu,
pembangunan kandang pada daerah dingin dapat mengatasi cekaman stres panas
karena suhu lingkungan. Qurniawan et al. (2016) melaporkan bahwa pemeliharaan
ayam broiler pada daerah tinggi (suhu 25-30 ºC) menghasilkan bobot badan lebih
tinggi (3005 g/ekor) dibandingkan ayam broiler yang dipelihara pada daerah rendah
(27-32 ºC) yaitu 2770 g/ekor pada umur 42 hari.
Penggunaan bahan-bahan yang tergolong antioksidan dapat mengurangi
kerusakan seluler akibat cekaman stres panas pada unggas. Vitamin A, C dan E
merupakan senyawa antioksidan yang banyak digunakan untuk menangkal radikal
bebas. Bollengier-Lee et al. (1998) menyatakan bahwa stres dapat menyebabkan

18
produksi radikal bebas OH dan O2- yang dapat mengganggu aktivitas metabolisme
dan kerusakan sel. Radikal bebas yang dekat dengan DNA dapat menghasilkan
perubahan pada struktur molekuler yang berpotensi menyebabkan terjadinya mutasi
atau sitotoksisitas (Collins et al. 1994).
Vitamin E merupakan salah satu antioksidan yang sangat penting karena
dapat melindungi sel dan jaringan dari radikal bebas (Sahin and Kucuk, 2001),
sedangkan vitamin C adalah antioksidan yang memainkan peranan penting dalam
regenerasi vitamin E. Unggas dapat menghasilkan vitamin C dalam kondisi normal,
tetapi sintesin vitamin C tidak mampu mencukupi kebutuhan ketika unggas dalam
kondisi stres (Imik et al. 2012). Vitamin C dan E dapat meningkatkan aktivitas
enzim antioksidan dan menurunkan MDA (malondialdehyde) yang merupakan
produk utama dari peroksidasi lemak. Pengaruh vitamin C dan E terhadap enzim
antioksidan disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Pengaruh vitamin C dan E terhadap aktivitas enzim antioksidan dan MDA
pada plasma darah ayam broiler

Parameter Kontrol Vitamin C Vitamin E

Total antioxidant capacity (U/mL) 4,75 5,39 6,25


Superoxide dismutase (U/mL) 76,94 79,84 78,93
Glutathione peroxidase (U/mL) 391,45 500,40 557,50
Malondialdehyde (nmol/mL) 7,39 3,14 4,45
Sumber: El-Senousey et al. (2017)
Supelementasi vitamin E pada ayam petelur yang terpapar stres berpengaruh
baik terhadap produktivitas telurnya. Berikut ini disajikan konsumsi pakan, bobot
badan, produksi telur harian dan berat telur pada ayam petelur yang berikan vitamin
E.
Tabel 10. Pengaruh suplementasi vitamin E pada ayam petelur (dosis 45 IU/kg)
Parameter Pre-stres Stres
Konsumsi pakan (g/ekor/hari) 101,7 99,99
Bobot badan (kg) 1,615 1,656
Produksi telur harian (%) 93,4 88,4
Berat telur (g) 59,9 60,9
Sumber: Puthpongsiriporn et al. (2001)

19
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan
Stres panas pada ternak unggas menyebabkan terjadinya penurunan
produksi telur, penurunan laju pertumuhan, melemahnya sistem imun, munculnya
berbagai penyakit. Stres panas dapat diatasi dengan melakukan seleksi untuk
mendapatkan ayam yang tahan terhadap suhu tinggi, mengatur kondisi kandang
sesuai dengan temperatur nyaman ternak (thermoneutral zone) dan pemberian
senyawa antioksidan (vitamin C dan E) untuk mengurangi dampak buruk stres pada
unggas.
4.2. Saran
Penggunaan bahan-bahan alami yang mengandung vitamin C dan E perlu
dikaji atau diteliti lebih lanjut untuk mencegah dampak buruk stres panas pada
ternak unggas.

20
DAFTAR PUSTAKA

Aksit, M., S. Yalcin, S. Ozkan, K. Metin, D. Ozdemir. 2006. Effects of Temperature


During Rearing and Crating on Stress Parameters and Meat Quality of Broilers.
Poultry Science 85:1867–1874.
Altan, O., A. Pabuccuoglu, A. Altan, S. Konyalioglu and H. Bayraktar. 2003. Effect of
heat stress on oxidative stress, lipid peroxidation and some stress parameters in
broilers. British Poultry Science, 44:4, 545-550.
Altan, O., A. Altan, I. Oguz, A. Pabuccuoglu, S. Konyalioglu. 2000. Effects of heat
stress on growth, some blood variables dan lipid oxidation in broilers exposed to
high temperature at an early age. British Poultry Science. 41 (4): 489-493.
Anita dan Widagdo, W. 2011. Budidaya Ayam Broiler 28 Hari Panen. Pinang Merah
Publisher, Yogyakarta.
Austic, R.E. 2000. Feeding Poultry in Hot and Cold Climates. In MK Yousef, editor.
Stress Physiology in Livestock. Vol III, Poultry. Florida: CRC Pr.
Benjamin I. J. and D. R. McMillan. 1998. Stress heat shock proteins molecular
chaperones in cardiovascular biology and disease. Circ Res 83:117-132.
Blakely, J. dan D. H. Blade. 1994. Ilmu Peternakan. Edisi IV. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Bhuyan, K. C., D. K. Bhuyan, and S. M. Podos. 1986. Lipid peroxidation in cataract of
the human. Life Sciences, 38(16): 1463–1471.
Bird N. A., P. Hunton, W. D. Morrison, L. J. Weber. 2003. Heat stress in cage layer.
Ontario (Canada): Ministry of Agriculture and Food.
Bollengier-Lee, S., M. A. Mitchell, D. B. Utomo, P.E. V. Williams and C. C.
Whitehead. 1998. Influence of high dietary vitamin E supplementation on egg
production and plasma characteristics in hens subjected to heat stress. British
Poultry Science, 39:1, 106-112.
Budiarta, D. H., E. Sudjarwo, N. Cholis. 2014 Pengaruh kepadatan kandang terhadap
konsumsi pakan, pertambahan bobot badan dan konversi pakan ayam pedaging.
Jurnal Ternak Tropika. 2: 31-35.
Chafid, M., A. A. Susanti, Akbar, K. Kariyasa dan Suyati. 2018. Outlook Daging Ayam
Komoditas Pertanian Subsektor Peternakan. Pusat Data dan Sistem Informasi
Pertanian Sekretaris Jendral Kementrian Pertanian. Jakarta.
Collins, A., S. Duthie and M. Ross. 1994. Micronutrients and oxidative stress in the
aetiology of cancer. Proceedings of the Nutrition Society, 53: 67–75.
Ebeid, T.A., T. Suzuki and T. Sugiyama. High temperature influences eggshell quality
and calbindin-D28k localization of eggshell gland and all intestinal segments of
laying hens. Poult. Sci. 91, 2282–2287.
El-Senousey, H.K., B. Chen, J. Y. Wang, A. M. Atta, F. R. Mohamed and Q. H. Nie.
2017. Effects of dietary vitamin C, vitamin E, and alpha-lipoic acid
supplementation on the antioxidant defense system and immune-related gene
expression in broilers exposed to oxidative stress by dexamethasone. Poultry
Science, 0:1-9.
Etches R. J., T. M. John, A. M. Verrinder Gibbins. 2008. Behavioural, physiological,
neuroendocrine and molecular responses to heat stress. In: Daghir NJ, editor.
Poult Prod hot Clim. p. 49-69.

21
Ewing S. A., C. Donald, J. Lay, E. Von Borrel. 1999. Farm animal well-being: stress
physiology, animal behaviour and environmental design. Upper Saddle River
(New Jersey): Prentice Hall.
Garriga, C., R. R. Hunter, C. Amat, J. M. Planas, M. A. Mitchell, M. Moreto. 2006.
Heat stress increases apical glucose transport in the chicken jejunum. Am. J.
Physiol. Reg. Integ. Comp. Physiol. 290, R195–R201.
Gomes, A. V., W. M. Quinteiro-Filho, A. Ribeiro, V. Ferraz-de-Paula, M. L. Pinheiro,
E. Baskeville dan A. T. Akamine. 2014. Overcrowding Stress Decreases
Macrophage Activity and Increases Salmonella Enteritidis Invasion in Broiler
Chickens. Avian Pathol. 43:82-90.
Halverson, M. 2001. Farm Animal Health and Well-Being.
https://www.researchgate.net/publication/ [Diunduh 28 September 2020]
Hartl, F.U. and M. Hayer-Hartl. 2002. Molecular chaperones in the cytosol: from
nascent chain to folded protein. Science. 295, 1852-1858.
Heckert, R. A., I. Estevez, E. Russek-Cohen, and R. Pettit-Riley. 2002. Effects of
density and perch availability on the immune status of broilers. Poult. Sci.
81:451–457.
Houshmand, M., K. Azhar, I. Zulkifli, M. H. Bejo, A. Kamyab. 2012. Effects of
prebiotic, protein level, and stocking density on performance, immunity, and
stress indicators of broilers. Poultry Science. 91: 393-401.
Hy-Line International. 2010. Hy-Line Brown Intensive Systems Performance Standard.
Http://www.poultryhub.org/index.php/Feed_intake [Diunduh 28 September
2020].
Imik, H., H. Ozlu, R. Gumus, M. Aydemir Atasever, S. Urcar, and M. Atasever. 2012.
Effects of ascorbic acid and α-lipoic acid on performance and meat quality of
broilers subjected to heat stress. Br. Poult. Sci. 53:800–808.
Iwagami, Y. 1996. Changes in the ultrasonic of human cells related to certain biological
responses under hyperthermic culture conditions. Human Cell, 9: 353—366.
Jimian, Y., E. Bao, J. Yan and L. Lei. 2008. Expression and localization of Hsps in the
heart and blood vessel of heat-stressed broilers. Cell Stress and Chaperones: 13:
327-335.
Kabakov A. E., V. L. Gabai. 1997. Heat shock proteins and cytoprotection: ATP-
deprived mammalian cells. R.G. Landes Co., Austin.
Kartasudjana, R. dan E. Suprijatna. 2010. Manajemen Ternak Unggas. Cetakan Kedua,
Penebar Swadaya. Jakarta.
Keeling, L. dan P. Jensen. 2002. Behavioural Disturbances, Stress and Welfare. in the
Ethology of Domestic Animals: An Introductory Text. Ed. P. Jensen. CABI
Publishing, UK.
Khan, W. A., A. Khan, A. D. Anjum and Zia-Ur-Rehman. 2002. Effects of Induced
Heat Stress on some Biochemical Values in Broiler Chicks. Int. J. Agri. Biol. 4
(1): 74-75.
Lara L. J. and H. Rostagno. 2013. Impact of Heat Stress on Poultry Production.
Animals, 3, 356-369;doi:10.3390/ani3020356.
Liang P. and T. H. MacRae. 1997. Molecular chaperones and the cytoskeleton. J Cell
Sci 110:1431–1440.
Lindquist, S. and E. A. Craig. 1988. The heat shock proteins. Annu. Rev. Genet. 22,
631-677.

22
Mack, L.A., J. N. Felver-Gant, R. L. Dennis, H. W. Cheng. 2013. Genetic variation alter
production and behavioral responses following heat stress in 2 strains of laying
hens. Poult. Sci. 92, 285–294.
Mager, W.H. and A. J. De Kruijff. 1995. Stress-induced transcriptional activation.
Microbiological Reviews, 59: 506—531.
Mashaly, M. M., G. L. Hendricks, M. A. Kalama, A. E. Gehad, A. O. Abbas, P. H.
Patterson. 2004. Effect of Heat Stress on Production Parameters and Immune
Responses of Commercial Laying Hens. Poultry Science 83:889–894.
McCormick P. H., G. Chen, S. Tlerney, C. J. Kelly, D. J. Bouchier-Hayes. 2003.
Clinically relevant thermal preconditioning attenuates ischemia-reperfusion
injury. J Surg Res 109:24–30
Miller, J. K., E. B. Slebodzunska and F.C. Madsen. 1993. Oxidative Stres, Antioxidant,
and Animal Function. J. Dairy Sci.76: 2812-2823.
Moberg, G.P. 2000. Biological response to stress: Implications for animal walfare. In:
Moberg GP, Mench JA, editors. Biol Anim Stress. Oxfordshire, UK: CABI
Publishing. p.1-21.
Munck, A., P. M. Guyre, and N. J. Holbrook. 1984. Physiological functions of
glucocorticoids in stress and their relation to pharmacological actions. Endocr.
Rev. 5:25–44.
Murugesan, S., R. Ullengala and V. Amirthalingam. 2017. Heat Shock Protein and
thermal stress in chicken. https://www.researchgate.net/publication/323898457.
Odom, T.W., P. C. Harrison, B. Maine, W. G. Bottje. 1982. Changes in blood acid-base
balance and ionised calcium concentrations of SCWL hens during an acute heat
stress. Poultry Science, 61: 1519 (Abstr.).
Prayitno D. S. dan Sugiharto, 2015. Kesejahteraan dan Metode Penelitian Tingkah Laku
Unggas. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.
Puthpongsiriporn, U., S. E. Scheideler, J. L. Sell and M. M. Beck. 2001. Effects of
Vitamin E and C Supplementation on Performance, In Vitro Lymphocyte
Proliferation, and Antioxidant Status of Laying Hens during Heat Stress. Poultry
Science. 80: 1190-1200.
Qurniawan A., I. I. Arief, R. Afnan. 2016. Performans Produksi Ayam Pedaging pada
Lingkungan Pemeliharaan dengan Ketinggian yang Berbeda di Sulawesi
Selatan. Jurnal Veteriner. 17 (4): 622-633.
Rasyaf, M. 1998. Beternak Ayam Kampung. Penebar Swadaya. Jakarta
Sahin, K., and O. Kucuk. 2001. Effects of vitamin C and vitamin E on performance,
digestion of nutrients and carcass characteristics of Japanese quails reared under
chronic heat stress (34 ºC). J. Anim. Physiol. Anim. Nutr. 85:335–341.
Selye, H. 1976. Forty years of stress research: principal remaining problems and
misconceptions. Can. Med. Assoc. J. 1976, 115, 53–56.
Simanjuntak, L. 2002. Tiktok Pedaging Hasil Persilangan Itik dan Entok. Cetakan I
Penerbit : Agro Media Pustaka. Jakarta.
Soeharsono. 1977. Pengaruh temperatur lingkungan terhadap kebutuhan imbangan
kalori/protein ransum broiler. Di dalam: Seminar Pertama tentang Ilmu dan
Industri Perunggasan. Bogor, 30-31 Mei 1977. Bogor: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan. hlm 1- 10.
Srigandono, B. 1997. Ilmu Unggas Air. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Star, L., H. R. Juul-Madsen, E. Decuypere, M. G. Nieuwland, G. de Vries Reilingh, H.
van den Brand, B. Kemp, H. K. Parmentier. 2009. Effect of early life thermal

23
conditioning and immune challenge on thermotolerance and humoral immune
competence in adult laying hens. Poult. Sci. 2009, 88, 2253–2261.
Sugito dan M. Delima. 2009. Dampak Cekaman Panas Terhadap Pertambahan Bobot
Badan, Rasio Heterofil:Limfosit dan Suhu Tubuh Ayam Broiler. J. Ked. Hewan.
3 (1): 218-226.
Sulistyoningsih. 2004. Respon Fisiologis dan Tingkah Laku Ayam Broiler Periode
Starter Akibat Cekaman Temperatur dan Awal Pemberian Pakan yang Berbeda.
Tesis. Program Studi Magister Ilmu Ternak Program Pasca Sarjana Fakultas
Peternakan Universitas Diponegoro. Semarang.
Tabiri H. Y., K. Sato, K. Takashi, M. Toyomizu, Y. Akiba. 2000. Effect of acut heat
stress on plasma amino acid concentrations of broiler chickens. Japan Poult Sci.
37:86- 94.
Tamzil, M. H., R. R. Noor, P. S. Hardjosworo, W. Manalu, C. Sumantri. 2013.
Keragaman Gen Heat Shock Protein 70 pada Ayam Kampung, Ayam Arab, dan
Ayam Ras. Jurnal Veteriner. 14 (3): 317-326.
Tamzil, M. H., 2014. Stres Panas pada Unggas: Metabolisme, Akibat dan Upaya
Penanggulangannya. WARTAZOA. 24 (2): 57-66.
Wang T. T., A. S. Chiang, J. J. Chu, T. J. Cheng, T. M. Chen, Y. K. Lai. 1998.
Concomitant alterations in distribution of 70 kDa heat shock proteins,
cytoskeleton and organelles in heat shocked 9L cells. Int J Biochem Cell Biol
30:745–759
Widaningsih, R., Suwandi, A. A. Susanti, Akbar, V. S. Bonavira. 2017. Outlook Telur
Komoditas Pertanian Sub Sektor Peternakan. Pusat Data dan Sistem Informasi
Pertanian Sekretaris Jendral Kementrian Pertanian. Jakarta.
Ximenes, L., P. Trisunuwati, Muharlien. 2018. Performa produksi broiler starter akibat
cekaman panas dan perbedaan awal waktu pemberian pakan. Jurnal Ilmu-Ilmu
Peternakan. 28 (2): 158-167.
Yunianto, V. D. 1999. Pengaruh cekaman dingin dan panas terhadap percepatan
pembongkaran protein pada ayam broiler. Jurnal Pengembangan Peternakan
tropis. 24 (2), 90-96.
Yu, J., E. Bao, J. Yan, L. Lei. 2008. Expression and localization of Hsps in the heart and
blood vessel of heat-stressed broilers. Cell Stress and Chaperones. 13:327–335.
Yuwanta, T. 2004. Dasar Ternak Unggas. Penerbit: Kanisius. Yogyakarta.
Zinchuk, V. 1995. Correlation between hemoglobin oxygen affinity and activities of
lipid peroxidation during hyperthermia. Akademia Medyczna Im. J.
Marchleweskieqo W Biolymstoku, 40: 390–395.
Zulkifli, Nurliana dan Sugito. 2018. Efek pemberian jintan hitam (nigella sativa)
terhadap karkas ayam broiler yang dipapar stres panas. Prosiding Seminar
Nasional Biotik 2018. ISBN: 978-602-60401-9-0.

24

Anda mungkin juga menyukai