Anda di halaman 1dari 27

UNIVERSITAS PANCASILA

PROGRAM MAGISTER ILMU KEFARMASIAN

Makalah

IDENTIFIKASI DAN ANALISIS RANTAI MIKOTOKSIN

Judul Jurnal: Identifikasi Kontaminasi Aflatoksin pada Rempah-


Rempah yang Dijual di Sentra Pasar di Kabupaten Jember

Dosen : Dr. apt. Yunahara Farida, M.Si.

Oleh :

Rizky Dastyawiguna
5422220028

JAKARTA

2023

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb. Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada saya sehingga dapat menyelesaikan tugas mata
kuliah Uji Mutu Bahan Alam yang berjudul “Identifikasi dan Analisa Rantai Mikotoksin”.
Penulis menyadari bahwa dalam proses Penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
baik materi maupun cara penyusunannya. Namun demikian, penulis telah berupaya dengan
kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat diselesaikan dengan baik. Oleh
karena itu, masukan, saran, kritik, dan usul yang sifatnya untuk perbaikan dari berbagai pihak
khususnya Bapak/Ibu sangat diharapkan untuk penyempurnaan makalah ini.

Jakarta, Juli 2023

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... 2


DAFTAR ISI.............................................................................................................................. 3
DAFTAR TABEL ...................................................................................................................... 5
BAB I ......................................................................................................................................... 6
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 6
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 6
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................................... 7
1.3 Tujuan Penulisan ...................................................................................................... 7
BAB II........................................................................................................................................ 8
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................................ 8
2.1 Mikotoksin ...................................................................................................................... 8
2.1.1. Definisi Mikotoksin ............................................................................................. 8
2.1.2 Jenis-Jenis Mikotoksin Yang Utama ................................................................... 8
2.2 Jenis Cendawan Penghasil Mikotoksin Pada Komoditas Pertanian ................ 10
2.3 Jenis Dan Batas Maksimum Cemaran Mikotoksin Dalam Pangan Olahan
(PERBPOM No8 tahun 2018) ........................................................................................... 11
BAB III .................................................................................................................................... 14
BAHAN, ALAT DAN CARA KERJA ................................................................................... 14
3.1 Bahan yang Digunakan........................................................................................... 14
3.2 Alat yang Digunakan .............................................................................................. 14
3.3 Cara Kerja ............................................................................................................... 14
3.3.1 Penyiapan Sampel .............................................................................................. 14
3.3.2 Standarisasi Simplisia ........................................................................................ 14
3.3.3 Preparasi Larutan Standar .................................................................................. 14
3.3.4 Derivatisasi Standar dan Sampel ....................................................................... 15
BAB IV .................................................................................................................................... 16
PEMBAHASAN ...................................................................................................................... 16
4.1 Alur Penelitian ......................................................................................................... 16
4.2 Hasil Analisa ............................................................................................................ 17
BAB V ..................................................................................................................................... 23
KESIMPULAN DAN SARAN................................................................................................ 23

3
5.1 Kesimpulan .............................................................................................................. 23
5.2 Saran......................................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 24

4
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Jenis cendawan penghasil mikotoksin pada komoditas pertanian dan efek
sampingnya ……………………………………………..……………………………........…12
Tabel 2. Batas Maksimum Aflatoksin Pada Pangan………....…………...…………….……12
Tabel 3. Batas Maksimum Deoksinivalenol (DON) Pada Pangan……………………..…….13
Tabel 3. Batas Maksimum Fumonisin Pada Pangan ……………………………….………..13
Tabel 4. Batas Maksimum Fumonisin Pada Pangan………………………………….……...13
Tabel 5. Batas Maksimum Okratoksin A (OTA) Pada Pangan…………………….………...13
Tabel 6. Batas Maksimum Patulin Pada Pangan……………………………….…………….14
Tabel 7. Data pengukuran suhu dan kelembaban udara di pasar tradisional dan
supermarket di kabupaten jember…………………………………………………………….18
Tabel 8. Hasil Uji Analisis Aflatoksin B1, B2, G1, G2…………………………………..….20

5
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahan pangan yang tersedia secara alami pada dasarnya aman untuk dikonsumsi,
namun sering kali dalam proses pengelolaannya kurang tepat sehingga dapat
menghasilkan produk yang berbahaya bagi kesehatan. Timbulnya masalah keamanan
pangan tersebut dapat disebabkan oleh adanya perubahan iklim[1]. Iklim yang tidak
menentu dapat mendukung tumbuhnya mikroba yang dapat mencemari produk pangan
selama proses pengelolaan atau pasca panen. Selain itu, penyimpanan dan proses
pengeringan yang tidak tepat dapat menyebabkan peningkatan pertumbuhan spesies
jamur Aspergillus dalam bumbu dan rempah-rempah [2]. Rempah-rempah sebagian besar
diproduksi di negara-negara yang memiliki kelembaban tinggi, kondisi ini merupakan
lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan jamur [3]. Indonesia terletak di daerah
khatulistiwa yang memiliki iklim tropis, sehingga komoditas pangan sangat rentan untuk
terkontaminasi mikotoksin [4]. Mikotoksin berdampak serius bagi kesehatan manusia
baik yang akut maupun kronis [5]. Terdapat 2 jenis mikotoksin yang menjadi perhatian
utama, yaitu aflatoksin dan okratoksin. Aflatoksin merupakan jenis mikotoksin yang
paling berbahaya bagi kesehatan masyarakat, seperti halnya adanya kejadian luar biasa
(KLB) fatal aflatoksikosis sebagai akibat penanganan bahan pangan pasca panen yang tidak
memadai telah dilaporkan oleh beberapa negara beriklim tropis [6]. Konsumsi makanan
yang terkontaminasi aflatoksin dengan dosis tinggi dapat menyebabkan aflatoksikosis akut
dan dapat menimbulkan manifestasi hepatotoksik atau pada kasus kronis dapat terjadi
mengakibatkan kematian akibat fulminant liver failure [7]. Aflatoksin B1 diduga dapat
menyebabkan kanker dengan cara menginduksi Deoxyribonucleic Acid (DNA) yang
mengarah pada perubahan sel target yang kemudian dapat merusak untaian DNA, sehingga
dapat menyebabkan timbulnya kanker [8]. Kanker yang terjadi pada manusia disebabkan
oleh gen p53 (protein 53) yang bermutasi, yang mana gen p53 ini merupakan “the
guardian of genome” dan memiliki peran dalam menjaga sel dari mutasi genetik akibat
kerusakan DNA, seperti terjadinya mutasi transversi dalam kodon 249 guanin (G) ke
timin (T) yang menyebabkan terjadinya Hepatocelular Carcinoma (HCC) sebesar 50%
[9]. Kasus aflatoksikosis akut terjadi di Kenya pada tahun 2004 dengan jumlah kasus

6
317 orang keracunan dan 125 orang meninggal dunia, akibat mengkonsumsi jagung yang
tercemar aflatoksin dengan kadar tinggi, serta pada tahun 2013, Rumania, Serbia, dan
Kroasia melaporkan kejadian kontaminasi aflatoksin pada susu secara nasional [10]. Hasil
penelitian dari 350 sampel jagung di pasaran, 192 sampel terkontaminasi aflatoksin > 20
ppb, 121 sampel > 100 ppb dan 24 sampel dengan kadar aflatoksin > 1000 ppb [11]. Hasil
penelitian lain kontaminasi aflatoksin yang terdeteksi pada kacang tanah yang dijual di
Pasar Tradisional dan pedagang pengumpul terdeteksi lebih dari 10 ppb bahkan
sebagian terdeteksi lebih dari 3000 ppb [12]. Beberapa negara memiliki regulasi untuk
penetapan batasan maksimum kandungan aflatoksin. Negara Eropa menetapkan toleransi
maksimum kandungan aflatoksin total pada rempah-rempah sebesar 10 mg/kg dan
aflatoksin B1 sebesar 5 mg/kg. Indonesia memiliki regulasi Peraturan Badan Pengawas
Obat dan Makanan (BPOM) Nomor 8 Tahun 2018 sebagai dasar dalam penentuan batas
maksimum aflatoksin pada rempah-rempah yaitu aflatoksin total sebesar 20 mg/kg dan
aflatoksin B1 sebesar 15 mg/kg. Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, peneliti ingin
melakukan penelitian terkait dengan kontaminasi aflatoksin pada rempah-rempah yang
dijual di pasar tradisional dan supermarket di Kabupaten Jember.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah rempah-rempah yang dijual di sentra pasar di kabupaten jember terkontaminasi
mikotoksin?
2. Apakah kontaminasi mikotoksin dalam rempah-rempah yang dijual di sentra pasar di
kabupaten jember masih memenuhi syarat BPOM?
3. Jenis mikotoksin apa yang terkandung pada rempah-rempah yang dijual di sentra pasar
di kabupaten jember

1.3 Tujuan Penulisan

1. Mengetahui dan menganalisis kontaminasi mikotoksin pada empah-rempah yang dijual


di sentra pasar di kabupaten jember.
2. Mengetahui dan menganalisis kontaminasi mikotoksin dalam rempah-rempah yang
dijual di sentra pasar di kabupaten jember terhadap batas yang syaratkan oleh BPOM.
3. Mengetahui dan menganalisis jenis mikotoksin apa yang terkandung pada rempah-
rempah yang dijual di sentra pasar di kabupaten jember

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mikotoksin
2.1.1. Definisi Mikotoksin
Mikotoksin adalah metabolit sekunder yang diproduksi oleh beberapa
cendawan yang termasuk golongan genus Aspergillus, Penicillium, Fusarium dan
Alternaria. Jenis Aspergillus dan Penicillium dikenal sebagai mikroba kontaminan
pada makanan selama pengeringan atau penyimpanan, sedangkan Fusarium dan
Alternaria dapat memproduksi mikotoksin sebelum dan langsung setelah panen
[13].
2.1.2 Jenis-Jenis Mikotoksin Yang Utama
Saat ini telah dikenal 300 jenis mikotoksin [14], lima jenis di antaranya
sangat berpotensi menyebabkan penyakit baik pada manusia maupun hewan,
yaitu aflatoksin, okratoksin A, zearalenon, trikotesena (deoksini-valenol, toksin
T2) dan fumonisin. Sekitar 25-50% komoditas pertanian terkontaminasi kelima jenis
mikotoksin tersebut.
• Aflatoksin
Aflatoksin berasal dari singkatan Aspergillus flavus toxin. Toksin ini pertama
kali diketahui berasal dari cendawan Aspergillus flavus yang berhasil diisolasi pada
tahun 1960 di England. Yang menyebabkan kematian lebih dari 100.000 ekor turkey,
dikenal sebagai “Turkey X Disease”. A. flavus, penghasil utama aflatoksin umumnya
hanya memproduksi aflatoksin B1 dan B2 (AFB1 dan AFB2). Sedangkan A.
parasiticus memproduksi AFB1, AFB2, AFG1, dan AFG2 [15]. A. flavus dan A.
parasiticus ini tumbuh pada kisaran suhu 10-120C sampai 42-430C dengan suhu
optimum 32-330C dan pH optimum 6. Di antara keempat jenis aflatoksin tersebut
AFB1 memiliki efek toksik yang paling tinggi. Mikotoksin ini bersifat karsinogenik,
hepatatoksik, mutagenik, tremogenik dan sitotoksik [16], sehingga menjadi perhatian
badan kesehatan dunia (WHO) dan dikategorikan sebagai karsinogenik gol 1A. Selain
itu, aflatoksin juga bersifat immunosuppresif yang dapat menurunkan sistem
kekebalan tubuh. Di Indonesia, aflatoksin merupakan mikotoksin yang sering
ditemukan pada produk-produk pertanian dan hasil olahan [17]. Selain itu, residu
aflatoksin dan metabolitnya juga ditemukan pada produk peternak seperti susu [18],

8
telur [18], dan daging ayam [19]. 80 di antara 81 orang pasien (66 orang pria dan 15
orang wanita) menderita kanker hati karena mengkonsumsi oncom, tempe, kacang
goreng, bumbu kacang, kecap dan ikan asin [20]. AFB1, AFG1, dan AFM1 terdeteksi
pada contoh liver dari 58% pasien tersebut dengan konsentrasi di atas 400 µg/kg.
Kadar aflatoksin yang menyebabkan kematian pada manusia adalah 10 – 20 mg [21].
• Okratoksin
Okratoksin, terutama Okratoksin A (OA) diketahui sebagai penyebab
keracunan ginjal pada manusia maupun hewan, dan juga diduga bersifat karsinogenik.
Okratoksin A ini pertama kali diisolasi pada tahun 1965 dari kapang Aspergillus
ochraceus. Secara alami A. ochraceus terdapat pada tanaman yang mati atau busuk,
juga pada biji-bijian, kacang-kacangan dan buahbuahan. Selain A.ochraceus, OA juga
dapat dihasilkan oleh Penicillium viridicatum [22] yang terdapat pada biji-bijian di
daerah beriklim sedang (temperate), seperti pada gandum di Eropa bagian utara.
P.viridicatum tumbuh pada suhu antara 0 – 310 C dengan suhu optimal pada 200C
dan pH optimum 6 – 7. A.ochraceus tumbuh pada suhu antara 8 – 370C. Saat ini
diketahui sedikitnya 3 macam Okratoksin, yaitu Okratoksin A (OA), Okratoksin B
(OB), dan Okratoksin C (OC). OA adalah yang paling toksik dan paling banyak
ditemukan di alam. Okratoksin dapat menyebabkan keracunan pada liver dan ginjal
[15].
• Zearalenon
Zearalenon adalah toksin estrogenik yang dihasilkan oleh cendawan Fusarium
graminearum, F. tricinctum, dan F. moniliforme. Cendawan ini tumbuh pada suhu
optimum 20 – 250C dan kelembaban 40 – 60 %. Zearalenon pertama kali diisolasi
pada tahun 1962. Mikotoksin ini cukup stabil dan tahan terhadap suhu tinggi. Hingga
saat ini paling sedikit terdapat 6 macam turunan zearalenon, di antaranya α-zearalenon
yang memiliki aktivitas estrogenik 3 kali lipat daripada senyawa induknya. Senyawa
turunan lainnya adalah 6,8-dihidroksizearalenon, 8-hidroksizearalenon, 3-
hidroksizearalenon, 7- dehidrozearalenon, dan 5- formilzearalenon. Komoditas yang
banyak tercemar zearalenon adalah jagung, gandum, kacang kedelai, beras dan serelia
lainnya.
• Trikotesena
Mikotoksin golongan trikotesena dihasilkan oleh cendawan Fusarium spp.,
Trichoderma, Myrothecium, Trichothecium dan Stachybotrys. Mikotoksin

9
golongan ini dicirikan dengan adanya inti terpen pada senyawa tersebut. Toksin
yang dihasilkan oleh cendawan-cendawan tersebut di antaranya adalah toksin T-2
yang merupakan jenis trikotesena paling toksik. Toksin ini menyebabkan iritasi
kulit dan juga diketahui bersifat teratogenik. Selain toksin T-2, trikotesena lainnya
seperti deoksinivalenol, nivalenol dapat menyebabkan emesis dan muntah-muntah.
Toxin ini ditemukan pada produk cereal di Turkey (Omurtag dan Yazicioglu, 2006).
• Fumonisin
Fumonisin termasuk kelompok toksin fusarium yang dihasilkan oleh cendawan
Fusarium spp., terutama F. moniliforme dan F. proliferatum. Mikotoksin ini relatif
baru diketahui tahun 1850 di US dan pertama kali diisolasi dari F. moniliforme pada
tahun 1988 (Desjardins dan Hohn, 1997). Selain F. moniliforme dan F. proliferatum,
terdapat pula cendawan lain yang juga mampu memproduksi fumonisin, yaitu F.
nygamai, F. anthophilum, F. diamini dan F. napiforme. F. moniliforme tumbuh pada
suhu optimal antara 22,5 – 27,50 C dengan suhu maksimum 32 - 370C. Cendawan
Fusarium ini tumbuh dan tersebar di berbagai negara di dunia, terutama negara
beriklim tropis dan sub tropis. Komoditas pertanian yang sering dicemari cendawan
ini adalah jagung, gandum, sorgum dan berbagai produk pertanian lainnya.
Keberadaan cendawan penghasil fumonisin dan kontaminasi fumonisin pada komoditi
pertanian, terutama jagung di Indonesia telah dilaporkan oleh Miller et al. (1993),
Trisiwi (1996), Ali et al., 1998 dan Maryam (2000b). Meskipun kontaminasi
fumonisin pada hewan dan manusia belum mendapat perhatian di Indonesia, namun
keberadaannya perlu diwaspadai mengingat mikotoksin ini banyak ditemukan
bersama-sama dengan aflatoksin sehingga dapat meningkatkan toksisitas kedua
mikotoksin tersebut (Maryam, 2000a). Toxin fumonisin ditemukan pada beberapa
tanaman obat dan teh herbal yang tersebar di pasar Turkey [23].
2.2 Jenis Cendawan Penghasil Mikotoksin Pada Komoditas Pertanian
Beberapa genus cendawan penghasil mikotoksin di antaranya adalah
Aspergillus (cendawan penyimpanan), Penicillium (cendawan penyimpanan),
Fusarium (cendawan lapangan), Alternaria (patogen tanaman), dan Stachybotrys
(cendawan ruangan).
Sejumlah genus cendawan penghasil miko-toksin pada komoditas
pertanian serta efek sam-pingnya sebagaimana dikemukakan oleh Hussein dan
Brasel , Richard Streit [24,25,26]. Disajikan pada Tabel 1.

10
Jenis cendawan penghasil Jenis Komoditas pertanian Efek samping utama
mikotoksin mikotoksin yang diinfeksi
Aspergillus flavus Aflatoksin Gandum, Penurunan kinerja makan,
Aspergillus parasiticus barley/jelai, jagung, kerusakan organ akut, karsinogen,
kacang-kacangan dan kematian mendadak
Fusarium sp. Deoksinivalenol Gandum, jelai, oat, Kinerja makan terganggu dan
jagung penekan kekebalan
Fusarium sp. Zearalenon Jagung, gandum, Toksisitas sedikit akut dan dapat
jelai, sorgum, merusak sel pada seluruh bagian
gandum hitam tubuh terutama pada organ
Fusarium proliferatum Fumonisin Jagung, sorgum, Karsinogen pada manusia, edema
Fusarium verticillioides padi paru pada babi, dan
leukoencephalomalacia/pelunakan
otak pada kuda
Aspergillus ochraceus Okratoksin A Jagung, kismis, jelai, Kerusakan ginjal dan hati,
Penicillium viridicatum kedelai, kopi penekanan kekebalan, dan
kelainan bentuk bayi
Fusarium sporotrichioides T-2/HT-2 Jagung, gandum, Penghambatan sintesis protein,
Fusarium poae jelai, oat, padi, dan gangguan sintesis DNA dan
gandum hitam RNA
Tabel 1. Jenis cendawan penghasil mikotoksin pada komoditas pertanian dan efek sampingnya.
2.3 Jenis Dan Batas Maksimum Cemaran Mikotoksin Dalam Pangan Olahan
(PERBPOM No8 tahun 2018)
• Aflatoksin
No. Jenis Pangan Batas Maksimum (ppb atau
µg/kg)
B1 M1 Total
(B1+B2+G1+G2)
1 Produk olahan kacang tanah 15 - 20
2 Rempah-rempah dalam bentuk utuh maupun 15 - 20
bubuk
3 Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) 0,5 - -
berbasis serealia dan pangan untuk kebutuhan
medis khusus untuk bayi dan anak
4 Produk olahan jagung 15 - 20
5 Produk olahan kacang-kacangan selain - - 15 (sebagai
kacang tanah bahan baku
10 (dalam bentuk
produk siap
konsumsi)
6 Susu dan produk olahannya (yang termasuk - 0,5* -
kategori pangan 01.1-01.8)
7 Formula bayu; formula lanjutan; formula - 0,03* -
pertumbuhan; formula untuk keperluan medis
khusus; pangan untuk ibu hamil dan/atau ibu
menyusui berbasis susu
Tabel 2. Batas Maksimum Aflatoksin Pada (*Pangan Produk dalam bentuk siap konsumsi)

11
• Deoksinivalenol (DON)
No Jenis Pangan Batas
Maksimum
(ppb atau
µg/kg)
1
Produk olahan jagung dan gandum 1000
2
Produk olahan terigu siap konsumsi; antara lain pastri, roti, 1000
biskuit, makanan ringan, snack sereal, sereal sarapan
3 Pasta dan mi serta produk sejenisnya 1000
4 MP-ASI berbasis terigu 200
Tabel 3.Batas Maksimum Deoksinivalenol (DON) Pada Pangan

• Fumonisin
No Jenis Pangan Batas
Maksimum
(ppb atau
µg/kg)
1
Produk olahan jagung antara lain sereal sarapan berbasis 800
jagung, snack berbasis jagung
2 Produk olahan jagung dalam bentuk tepung 2000
3 MP-ASI berbasis jagung 200
Tabel 4. Batas Maksimum Fumonisin Pada Pangan

• Okratoksin A (OTA)
No Jenis Pangan Batas
Maksimum
(ppb atau
µg/kg)
1
Produk serealia antara lain wheat, barley, rye, grain, brown 5
rice
2 Produk olahan serealia siap konsumsi 3
3 Kopi bubuk, Kopi sangrai 5
4 Kopi instan 10
5 Anggur (dalam bentuk jus atau sari buah) 2
6 Anggur (dalam bentuk buah kering) 10
7 MP-ASI berbahan dasar serealia 0,5
8 Bir 0,2
9 Wine 2
Tabel 5. Batas Maksimum Okratoksin A (OTA) Pada Pangan
• Patulin
No Jenis Pangan Batas
Maksimum
(ppb atau
µg/kg)
1 Produk olahan apel antara lain apel dalam kaleng, sari 50
buah/jus apel, nektar apel
2 Minuman beralkohol berbasis apel 50

12
3 Puree apel untuk bayi dan anak 10
Tabel 6. Batas Maksimum Patulin Pada Pangan

13
BAB III

BAHAN, ALAT DAN CARA KERJA

3.1 Bahan yang Digunakan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini rempah-rempah (bawang merah,


merica, dan kunyit) berupa biji dan rimpang, metanol, asetonitril, aquadest, dan standart
aflatoksin

3.2 Alat yang Digunakan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: cawan petri,
aluminium foil, syringe plastik, timbangan analitik, botol timbang, oven, desilator,
kertas saring, immunoaffinity column, vial amber 2 ml, vortex, milipore 45μm,
ultrasonic, corong, filter microfiber, kaca arloji, pipet serologi 10 mL dan 25 mL,
gelas ukur, erlenmeyer 250 mL, tabung sentrifuge 50 mL, pipet eppendorf 100 μL.
Kolom C-18 Lichrosper (250 mm x 4.0 mm) dengan ukuran partikel 5 μm, alat HPLC,
detektor UV-Vis

3.3 Cara Kerja

3.3.1 Penyiapan Sampel

Sampel ditimbang sebanyak 100 gram kemudian dilakukan ekstraksi


menggunakan extraction solvent

3.3.2 Standarisasi Simplisia

Standarisasi simplisia dilakukan uji organoleptis makroskopik dan


mikroskopik, uji kadar sari larut air, uji kadar sari larut etanol, dan susut
pengeringan sesuai dengan Farmakope Herbal Indonesia.
3.3.3 Preparasi Larutan Standar

Ditimbang dengan teliti sampel merica sebanyak 5 gram, sampel bawang


merah sebanyak 25 gram dan sampel kunyit sebanyak 25 gram serta serbuk
NaCl ± 5 gram dimasukkan ke dalam blender, dan ditambahkan metanol 70%
sebanyak 125 mL. Kemudian diblender dengan kecepatan tinggi selama 2
menit. Larutan disaring menggunakan kertas saring, lalu filtrat dipipet
sebanyak 15 mL dan diencerkan dengan aquabidest sebanyak 30 mL, lalu

14
dikocok sampai homogen. Sebanyak 15 mL filtrat dimasukkan ke dalam
immunoaffinity column dengan kecepatan 1 tetes per detik, dan dimasukkan
aquabidest sebanyak 10 mL ke immunoaffinity column dengan kecepatan 2
tetes per detik. Setelah semua cairan turun didorong dengan menggunakan
syringe hingga keluar udara dan cairan yang ditampung dibuang. Kemudian
dimasukkan metanol sebanyak 1 mL ke immunoaffinity column dan
tetesannya ditampung di dalam vial amber

3.3.4 Derivatisasi Standar dan Sampel

Standar dan sampel sebanyak 1 mL didalam vial amber diuapkan dengan


gas nitrogen sampai kering. Kemudian setelah kering ditambahkan 100
μL Trifluoroacetic Acid (TFA) dan divortex selama 30 detik, serta diinkubasi
selama 15 menit pada suhu ruang, lalu ditambahkan campuran acetonitril-
aquabidest sebanyak 900 μL (1:9) dan divortex kembali selama 30 detik. Fase
gerak yang terdiri dari air, asetonitril, dan metanol diinjeksikan ke kolom C-18
dengan laju aliran 1 mL per menit dan volume sampel yang diinjeksi sebanyak
100 μL, untuk selanjutnya dilakukan analisis.

15
BAB IV

PEMBAHASAN

Judul jurnal : Identifikasi Kontaminasi Aflatoksin pada Rempah-Rempah yang


Dijual di Sentra Pasar di Kabupaten Jember
Merupakan penelitian research untuk mengidentifikasi jumlah kontaminasi aflatoksin pada
rempah rempah yang dijual di sentra pasar di Kabupaten Jember. Tahap atau alur dalam
penelitian sebagai berikut:

4.1 Alur Penelitian

Penyiapan sampel

Sampel ditimbang sebanyak 100 gram kemudian dilakukan


Ekstraksi
ekstraksi menggunakan extraction solvent

Identifikasi - Preparasi Larutan Standar


Kontaminasi - Derivatisasi Standar dan Sampel
Aflatoksin

• Preparasi Larutan Standar

125 mL
5 g Sampel merica
methanol 70% Mixing
25 g sampel bawang merah Blender Saring
homogen
25 g kunyit + 5 g NaCl 30 mL
5 g NaCl aquabidest

15 mL filtrat dimasukkan kec:1


tetes per detik & aquabidest 10
mL kec: 2 tetes per detik

immunoaffinity
column

1 mL metanol

Vial Amber

16
• Derivatisasi Standar dan Sampel

Standar & Vortex


1 mL larutan standar dan
sampel 30 detik
sampel
Uapkan kering 100 μL TFA
dengan NO2

Inkubasi 15 min.
temp ruang

ditambahkan campuran
acetonitril-aquabidest sebanyak
900 μL (1:9)

Vortex

Fase gerak (air, asetonitril, dan


metanol) diinjeksikan ke kolom C-18
dengan laju aliran 1 mL per menit dan
volume sampel yang diinjeksi sebanyak
100 μL
4.2 Hasil Analisa
Data pengukuran suhu dan kelembaban udara di pasar tradisional danAnalisis HPLC
supermarket
di kabupaten jember

No Tempat Suhu (°C) Kelembaban Udara


(%)
1 Pasar X 23 70
2 Pasar Y 27 74
3 Pasar Z 26 84
4 Supermarket X 24 88
5 Supermarket Y 23 73
6 Supermarket Z 21 75
Tabel 7. Data pengukuran suhu dan kelembaban udara di pasar tradisional dan supermarket di
kabupaten jember

Berdasarkan tabel 7 diatas diketahui bahwa pengukuran suhu dengan menggunakan


termohigrometer diperoleh data suhu di pasar berada pada rentang 23-27°C dan kelembaban
udara 70-84%, serta suhu di supermarket berada pada rentang 21-24°C dan kelembaban udara

17
berkisar pada 73 – 88%. Berikut merupakan tabel hasil uji analisis aflatoksin sampel rempah-
rempah menggunakan instrumen HPLC dengan ketentuan: volume injek sebanyak 100 uL;
waktu retensi selama 30 menit; serta menggunakan panjang gelombang eksitasi 362 nm dan
emisi 455 nm. Berdasarkan 18 sampel yang dilakukan uji analisis aflatoksin B1, B2, G1, G2,
dan aflatoksin total dengan menggunakan standar LOQ (limit of quantification): 0,5 μg/kg,
diperoleh hasil pada sampel kode A2 terdeteksi aflatoksin B1 sebanyak 0,14 ppb, kode A3
sebanyak 1,55 ppb, kode B5 sebanyak 1,41 ppb, kode C1 sebanyak 0,64 ppb, kode C2 sebanyak
0,66 ppb, kode C3 sebanyak 0,67 ppb, kode C4 sebanyak 45,35 ppb, dan kode C5 sebanyak
0,79 ppb (Tabel 2). Dari keseluruhan sampel yang dilakukan uji analisis aflatoksin untuk
parameter aflatoksin B1, B2, G1, G2, dan aflatoksin total, diperoleh hasil yang paling tinggi
kontaminasi aflatoksin pada kode sampel C4, dengan jumlah aflatoksin total sebanyak 99,35
ppb.

Kode Sampel AFB1 AFB2 AFG1 AFG2 AF. Total


(ppb) (ppb) (ppb) (ppb) (ppb)
A1 tt tt 0,13 tt 0,13
A2 0,14 tt 0,13 Tt 0,13
A3 1,55 0,38 1,55 0,35 3,83
A4 tt tt tt tt tt
A5 tt tt tt tt tt
A6 tt tt tt tt tt
B1 tt tt tt tt tt
B2 tt tt tt tt tt
B3 tt tt tt tt tt
B4 tt tt tt tt tt
B5 1,41 0,37 1,47 0,32 3,57
B6 tt tt tt tt tt
C1 0,64 0,24 0,57 0,15 1,60
C2 0,66 0,19 0,69 tt 1,54
C3 0,67 tt tt tt 0,67
C4 45,35 2,08 50,74 1,18 99,35
C5 0,79 tt tt tt 0,79
C6 tt tt tt tt tt
Tabel 8. Hasil Uji Analisis Aflatoksin B1, B2, G1, G2

18
Ket: tt (tidak terdeteksi
Kode sampel: A (bawang merah), B (kunyit), C ( merica)
Sampel merica dengan kode C4 merupakan sampel rempah-rempah yang terdeteksi
aflatoksin paling tinggi yang diambil dari supermarket X di Kabupaten Jember. Produk merica
tersebut diolah dan dikemas oleh produsen PT.X pada tanggal 01 Oktober 2018 dan kadaluarsa
pada tanggal 01 April 2020 yang sudah memenuhi dan sesuai dengan HACCP dan GMP pada
kemasan bahan pangan, terdapat cemaran aflatoksin paling tinggi diduga dapat dikarenakan
suhu dan kelembaban di lingkungan tempat penyimpanan yang mendukung tumbuhnya jamur
genus Aspergillus, sehingga jamur tersebut dapat memproduksi aflatoksin yang cukup tinggi
pada saat fase logaritmik jamur, yang mana fase tersebut merupakan fase jamur sudah dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang kondusif, sehingga dapat mempercepat laju
pertumbuhan jamur Aspergillus yang tumbuh pada substrat yang sesuai. Selain itu, kemasan
produk sampel merica C4 dikemas dalam plastik yang tidak hampa udara, sehingga suhu dan
kelembaban udara di dalam kemasan juga dapat mempengaruhi tumbuhnya jamur Aspergillus.

Kontaminasi jamur pada merica tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga terjadi
hampir di beberapa negara produsen merica, karena sebagian besar masih menggunakan
pengolahannya dengan kondisi kebersihan yang kurang terjaga [27]. Hasil penelitian Tosun
dan Recep (2013), sampel lada hitam terdeteksi aflatoksin B1 sebanyak 27,6 μg/kg [28]. Hasil
penelitian Jacxsens et al (2016) menyebutkan bahwa dari sampel penelitiannya yaitu cabai dan
lada, pada sampel lada ditemukan pertumbuhan jamur jenis Aspergillus flavus, A. Parasiticus,
A. niger dan Penicillium spp, jamur tersebut dapat memproduksi aflatoksin [29]. Selain itu,
hasil analisis dari 120 sampel lada putih dan hitam di Malaysia, baik dalam bentuk butiran
ataupun bubuk yang diperoleh dari supermarket (bentuk kemasan) dan pasar (bentuk curah)
menunjukkan bahwa 47,5% terkontaminasi okratoksin A berkisar antara 0,15 – 13, 58 μg/g,
dimana 33,3% diantaranya mengandung okratoksin A melebihi batas maksimum (5 μg/g) yang
ditentukan oleh Malaysia [30]. Hasil penelitian Widowati, et al (2017) menunjukkan bahwa
dari semua sampel lada bubuk yang diidentifikasi terkontaminasi jamur xerofilik, yaitu jamur
Aspergillus candidas, A. ochraceus, A. fumigatus, Eurotium herbariorum, A. tamarii, E.
Chevalieri, A. penicilloides, A. niger dan A. oryzae [31].

Sampel kunyit dengan kode sampel B5 terdeteksi aflatoksin B1 sebanyak 1,41 ppb.
Sampel B5 merupakan sampel kunyit dari supermarket Y di kabupaten Jember. Tercemarnya
aflatoksin B1 pada sampel kunyit dengan kode sampel B5, dikarenakan sampel dikemas sejak
tanggal 18 Juni 2019 dalam wadah stirofoam dan terbungkus plastik wrap, kondisi suhu di

19
dalam kemasan dan suhu lingkungan tempat penyimpanan, serta cara penanganan pascapanen
yang dilakukan oleh petani yang kurang higienis juga dapat mempengaruhi tumbuhnya jamur
Aspergillus pada produk kunyit tersebut. Sampel kunyit yang diambil dari pasar tradisional
tidak ada yang terdeteksi aflatoksin karena kunyit disimpan dalam wadah terbuka sehingga ada
pergantian siklus udara serta perputaran siklus jual beli kunyit di pasar lebih cepat
dibandingkan di supermarket, sehingga kunyit yang tersimpan di pasar tidak dalam waktu yang
lama. Faktor lain yang dapat mempengaruhi tidak terdeteksinya aflatoksin pada sebagian besar
sampel kunyit, diduga dapat dikarenakan zat anti jamur yang terkandung di dalam kunyit,
sehingga jamur Aspergillus penghasil aflatoksin tidak dapat tumbuh. Kunyit mengandung
Curcuminoid dengan komposisi utama yang terkandung yaitu Curcumin Difureloylmethane
merupakan komponen bioaktif pada kunyit yang bersifat anti jamur dan bakteri, anti inflamasi,
antioksidan, anti kanker, anti protozoa, dan anti virus [32].

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ferreira, et al (2013) dalam


penghambatan pertumbuhan Aspergillus flavus dengan menggunakan minyak essensial
curcumin dari kunyit (Curcuma longa L.), dengan pemberian curcuminoid dari ekstrak kunyit
dengan konsentrasi 2000 ppm dapat menghambat pertumbuhan Aspergillus niger dan Fusarium
oxysporum [33]. Penelitian lain yang dilakukan oleh Dias, et al (2013), pemberian minyak
atsiri dari ekstrak kunyit dengan konsentrasi 0,5% mampu menghambat produksi aflatoksin
yang dihasilkan oleh jamur Aspergillus flavus sebesar 99,9% [34]. Dari 6 sampel bawang
merah yang diambil dari pasar tradisional dan supermarket, terdapat 2 sampel bawang merah
yang terdeteksi aflatoksin B1, yaitu kode sampel A2 sebanyak 0,14 ppb dan A3 sebanyak 1,55
ppb, kedua sampel tersebut merupakan sampel yang diambil dari pasar tradisional Y dan Z.
Adanya kontaminasi aflatoksin pada bawang merah tersebut dapat dikarenakan kondisi
lingkungan pasar dengan hasil pengukuran suhu di pasar Y mencapai 27°C dan di pasar Z suhu
mencapai 26°C, yang mana jamur Aspergillus dapat menghasilkan toksin maksimum pada
rentang suhu tersebut. Selain itu, kelembaban udara di pasar Y mencapai 74% dan di pasar Z
kelembaban udara 84%, sehingga menyebabkan jamur dari jenis Aspergillus tumbuh dan
menghasilkan metabolit sekunder yaitu aflatoksin. Bawang merah di pasar tersebut disimpan
di wadah terbuka (kotak kayu) yang tidak memiliki pori-pori atau lubang, serta volume ba
wang merah yang ditumpuk dalam wadah tersebut terlalu banyak sehingga sirkulasi udara tidak
lancar. Selain jamur jenis Aspergillus, jamur jenis Fusarium juga bersifat patogen pada bawang
merah dapat menyebabkan pembusukan [35]. Menurut Chatri (2016), menjelaskan bahwa
kelembaban udara dapat mempengaruhi tahap awal dari perkembangan spora dari patogen

20
terutama jamur, seperti jamur Phytophora palmivora, P. Infestans, Fusarium oxysporum,
Altenaria solani, dan Oidium caricae dapat berkembang dengan pesat pada kelembaban tinggi
[36].

Hasil penelitian pada sampel bawang merah dan kunyit dengan kontaminasi aflatoksin
B1 tidak melebihi batas maksimum cemaran aflatoksin pada rempah-rempah di Indonesia
BPOM RI, perlu dipertahankan dalam proses pengolahannya mulai dari penanaman,
perawatan, panen, dan pascapanen, serta distribusi dan penyimpanannya agar tetap terjaga
mutu dan kualitas dari rempah-rempah tersebut, dikarenakan bawang merah dan kunyit juga
merupakan salah satu bahan rempah-rempah yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat baik
sebagai bumbu masakan ataupun obat serta sangat rentan terjadi pembusukan apabila dalam
proses penyimpanan kurang tepat. Menurut Nguegwouo, et al., (2018) menjelaskan bahwa
sebagai upaya untuk mencegah risiko akibat paparan mikotoksin, perlu diperhatikan terkait
dengan adanya tanda cemaran mikotoksin pada rempahrempah, seperti perubahan warna dan
bau dari bahan rempah yang dapat dianggap sebagai penanda adanya pertumbuhan jamur serta
periode waktu penyimpanan, karena penyimpanan pada suhu kamar di daerah dengan iklim
tropis sangat cocok untuk pertumbuhan jamur [37].

Cara panen yang umumnya dilakukan oleh petani adalah dengan mengeringkan dijemur
terpapar sinar matahari secara langsung, tanpa menggunakan alas untuk tempat penjemuran.
Berdasarkan Permentan RI nomor: 73/Permentan/OT.140/7/2013, pada proses pengeringan
bahan rempah sebaiknya menggunakan alas dalam proses penjemuran untuk meminimalisir
adanya kontaminasi mikroba dari tanah dan terserapnya kandungan air tanah oleh bahan
rempah, sehingga dapat menyebabkan pembusukan dan diduga dapat tumbuh jamur. Setelah
kering, bahan rempah kemudian akan ditimbang dan dijual kepada tengkulak atau pengepul
untuk selanjutnya di jual. Sisa hasil panen yang tidak terjual disimpan di gudang penyimpanan
untuk digunakan sebagai bibit pada penanaman selanjutnya. Penanganan pasca panen
merupakan suatu tahapan budidaya pada tanaman rempah-rempah yang sudah mencukupi
umur panen meliputi panen, pengangkutan, sortasi, pengeringan, penyimpanan, pengolahan,
dan pemasaran. Penyimpanan bahan rempah yang dilakukan oleh petani dalam penanganan
pascapanen yaitu dengan cara disimpan di gudang. Pada umumnya, gudang yang digunakan
sebagai tempat

penyimpanan yaitu gudang dengan atap bertutup, beralas lantai, serta ventilasi udara
yang cukup untuk pertukaran udara di dalam gudang. Bawang merah disimpan dengan diikat

21
dan digantung di para-para gudang, untuk kunyit diletakkan langsung di atas lantai gudang,
dan untuk penyimpanan merica dibungkus dengan karung plastik dan disimpan di gudang.
Menurut Safitri dan Sri (2019), menjelaskan bahwa penyimpanan di gudang menjadi salah satu
proses pasca panen yang krusial karena sangat rentan terjadi pembusukan yang disebabkan
oleh fungi [38]

Menurut Kader & Hussein (2009), selain karena penyimpanan di gudang, kontaminasi
jamur pada rempahrempah dapat terjadi saat proses penanaman, selama panen, dan saat
pengangkutan pasca panen [39]. Dalam pengemasan yang dilakukan oleh petani masih secara
konvensional yaitu dengan menggunakan jaring plastik dan karung, dan pengangkutan
pascapanen bahan rempah diangkut dengan menggunakan kendaraan truk bak terbuka untuk
dijual dan didistribusikan kepada penjual di pasar dan tengkulak, dengan kondisi kebersihan
yang kurang diperhatikan. Selain itu, perubahan temperatur lingkungan dapat mempengaruhi
dari gen regulator dan produksi aflatoksin dari jenis jamur spesies Aspergillus flavus dan
Aspergillus parasiticus [40]. Suhu dan kelembaban udara yang terus meningkat dapat
meningkatkan pertumbuhan jamur dan bakteri patogen dapat tumbuh dengan baik [41].

22
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan
Suhu dan kelembaban udara memiliki peran untuk jamur spesies Aspergillus dapat
memproduksi aflatoksin pada bahan pangan, khususnya rempah-rempah. Berdasarkan hasil
pengujian terhadap 18 sampel, merica dengan kode sampel C4 terdeteksi aflatoksin B1 paling
tinggi sebanyak 45,35 ppb dan aflatoksin total sebanyak 99,3 ppb, melebihi batas maksimum
yang ditentukan oleh BPOM RI untuk aflatoksin B1 sebanyak 15 ppb dan aflatoksin total
sebanyak 20 ppb untuk rempah-rempah dalam bentuk utuh dan bubuk.

5.2 Saran
Saran yang dapat dilakukan bagi supermarket perlu ditingkatkan dalam monitoring
pengaturan suhu dan kelembaban udara di lingkungan tempat penyimpanan bahan rempah.
Bagi peneliti selanjutnya, dapat melakukan pengembangan penelitian untuk mengidentifikasi
kontaminasi mikotoksin lain seperti okratoksin, yangmana jenis mikotoksin tersebut juga
menjadi perhatian utama dalam bidang pertanian dan kesehatan. Serta untuk pengambilan
sampel penelitian, dengan mengidentifikasi adanya kontaminasi aflatoksin pada rempah yang
diambil secara langsung dari hasil panen, rempah yang berada di pasar dan supermarket serta
bahan rempah di rumah tangga

23
DAFTAR PUSTAKA
1. Peterson, R.R.M & Lima. (2011). Further mycotoxin effects from climate damage.
Journal of Food Research International. 44:2555 –2566.
2. Ozbey, F & Kabak . (2012). Natural Occurence of Aflatoxins and Ochratoxin A in
Spices. Journal of Food Control, 28(2): 354-361.
3. Pesavento, G., Ostuni, M., Calonico, C., Rossi, S., Capei R., LO Nostro A. (2016).
Mycotoxins and Aflatoxin Contamination in Myristica fragrans seeds (nutmeg) and
Capsicum annum (chilli) packaged in Italy and Commercialized wordwide. Journal
of Preventive Medical Hygiene, 57(2): E102-9.
4. Dwi, W.R.P dan Kiki Fibrianto. (2018). Rempah untuk Pangan dan Kesehatan.
Malang: UB Press.
5. Peterson, R.R.M & Lima. (2010). How will climate change affect mycotoxin in
food? Journal of Food Research International. 43: 1902-1914.
6. Hartono, A. (2005). Penyakit Bawaan Makanan: Fokus Untuk Pendidikan
Kesehatan. Jakarta: EGC.
7. Fung, F., & Clark, RF. (2004). Health effects of mycotoxins: a toxicological
overview. Journal Toxicology Clinic: 42: 217-234.
8. Sharma RA & Farmer PB. (2004). Biological Relevance of Adduct Detection to the
Chemoprevention of Cancer. Clinical Cancer Research. Vol. 10: 4901-4912.
9. Martin J & Dufour JF. (2008). Tumor Suppressor and Hepatocellular Carcinoma.
World Journal Gastroenterol 14: 1720-1733.
10. Kumar, P., Dipendra, KM., Madhu, K., Tapan, KM., and Sang, G.K. (2017).
Aflatoxins: A global concern for food safety, human health and their management.
Review: frontiers in Microbiology: January 2017. Vol.7. doi:
10.3389/fmicb.2016.02170.
11. Lewis, L. Onsongo M, Njapau H, Rogers HS, Luber G, Kieszak S. (2005). Aflatoxin
contamination of commercial maize products during an outbreak of acute
aflatoxicosis in Eastern and Central Kenya: Environmental Health Perspect.113:
1763-7.
12. Rahmianna, A.A dan Yusnawan. (2015). Monitoring of Aflatoxin Contamination
at Market Food Chain in East Java. Journal of Experimental Biology and
Agricurtural Sciences. August: 3(4).

24
13. Kabak, B; A.D.W. Dobson and I. Var. 2006. “Strategies to prevent mycotoxin
contamination of food and animal feed: a review”. Critical Reviews in Food Science
and Nutrition 46:593-619.
14. Cole, R.J. and Cox, R.H. 1981. Handbook of Toxic Fungal Metabolites. Academic
press, New York. p 1850
15. Desjardins, A.E. and T.M. Hohn. 1997. Mycotoxins in Plant Pathogenesis. MPMI
10 (2):147-152
16. Albright, D.M. 2001. Human health effects of airborne mycotoxin exposure in
fungi-contaminated indoor environments. American Society of Safety
Engineers:26- 28.
17. Muhilal and D.Karyadi. 1985. Aflatoxin in nuts and grains. Gizi Indonesia 10(1):
75-79
18. Maryam, R., Bahri, S., Zahari, P. 1994. Deteksi aflatoksin B1, M1 dan Aflatoksikol
dalam Telur dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. Prosiding Teknologi
Veteriner untuk Kesehatan Hewan dan Keamanan Pangan. Bogor, 22-24 Maret
1994
19. Maryam, R. 1996. Residu Aflatoksin dan Metabolitnya dalam daging dan Hati
Ayam. Prosiding Temu Ilmiah Nasional Bidang Veteriner, 236-339. Bogor, 12-13
Maret 1996.
20. Sudjadi, S., Machmud, M., Damardjati, D.S., Hidayat, A., Widowati, S., Widiati,
A. 1999. Aflatoxin research in Indonesia. Elimination of Aflatoxin Contamiation in
Peanut. Australian Centre for International Agricultural Research. Canberra. p.23-
25
21. Pitt, J.I. 2000. Toxigenic fungi: which are important? Med. Mycol. 38 (suppl.1):
17- 22
22. Kuiper-Goodman, T. 1996. Risk assessment of ochratoxin A: An update. Food.
Addit.Contam. 13 (Suppl): 553-557
23. Omurtag, G.Z. and D. Yazicioglu. 2006. A Review on fumonisin and trichothecene
mycotoxins in foods consumed in Turkey. The Bulletin of the Istanbul Technical
University Communicated 54 (4):39-44
24. Hussein, H.S. & Brasel, J.M. (2001) Toxicity, metabolism, and impact of
mycotoxins on humans and animals. Toxicology, 167 (2), 101–134. doi:
10.1016/s0300-483x(01)00471-1

25
25. Richard, J.L. (2007) Some major mycotoxins and their mycotoxicoses An
overview. International Journal of Food Microbiology, 119 (1–2), 3–10. doi:
10.1016/j.ijfoodmicro.2007.07.019
26. Streit, E., Schatzmayr, G., Tassis, P., Tzika, E., Marin, D., Taranu, I., Tabuc, C.,
Nicolau, A., Aprodu, I., Puel, O. & Oswald, I.P. (2012) Current situation of
mycotoxin contamination and co-occurrence in animal feed Focus on Europe.
Toxins, 4 (10), 788–809. doi: 10.3390/toxins4100788.Epub 2012 Oct 1
27. Syakir, M., Tatang Hidayat, dan Ria Maya. (2017). Karakteristik Mutu Lada Putih
Butiran dan Bubuk yang Dihasilkan melalui Pengolahan Semi Mekanis di Tingkat
Petani. Jurnal Penelitian Pascapanen Pertanian, Vol 14 No.3:134 – 143
28. Tosun, H dan Recep Arslan. (2013). Determination of Aflatoxin B1 Levels in
Organic Spice and Herbs. The Scientific World Journal volume 2013. Article ID
874093.http:/dx.doi.org/10.1155/2013/8 74093.
29. Jacxens,L., Pratheeb, Yogendrarajaha, dan Bruno De Meulenaer. (2016). Risk
Assesment of Mycotoxins and Predictive Mycology in Sri Lanka spices: chilli and
pepper. Procedia Food Science 6:326- 330
30. Jalili, MS., Jinap dan S Randu. (2010). Natural occurance of ochratoxin A
Contamination in Commercial Black and White Pepper Product. Mycopathologia
Journal, 170: 251 – 258.
31. Widowati, S., Kartinah W., dan Guruh Sri Pamungkas. (2017). Identifikasi Jamur
Kontaminan yang Bersifat Xerofilik pada Lada Bubuk. Jurnal Biomedika, Vol 10,
No 02, ISSN: 2302 – 1306.
32. Mubarak, Z., Basri A.G., Mutia. (2011). Daya Hambat Kunyit (Curcuma longa
linn) terhadap Pertumbuhan Candida Albicans. Cakradonya Dental Journal. p-
ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622- 4720.
33. Ferreira, FD., C. Kemmelmeter, C.C Arrotateia et al., (2013). Inhibitory effect of
the essential oil of Curcuma longa L. and curcumin on aflatoxin production by
Aspergillus flavus Link. Journal of Food Chemistry. Vol 136, no.2 pp. 789-793.
34. Dias, FF., Simone Aparecida GM., Francine Maery DF., Carla Cristina Arrotela,
Christiane Luciana da Costa, Celso Vataru Nakamura, dan Miguel Machinski
Junior. (2013). The Inhibitory Effects of Curcuma longa L. Essential Oil dan
Curcumin on Aspergillus flavus Link Growth and Morphology. Hindawi
Publishing Corporation. The Scientific World Journal. Vol. 2013.
35. Pawar, B., Mane S.B., Bhosale, S.B., Chavan, A., M., College, S.R, Jalna, D.,
Ambedkar, B. (2016). Allium cepa L. I Maharasdtra. Asian Journal of Science and
Technology, 07(08), 3387 – 3389.
36. Chatri, M. (2016). Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Jakarta: Kencana.
37. Nguegwouo, E., Lucien Etae Sone., Alex Tchuenchie, Hippolyte Moufa Tene.,
Emile Mounchigam., Nico Frederic Njayou, & Gabriel Medoua. (2018).
Ochratoxin A in black pepper, white pepper and clove sold in Yaounde
(Cameroon) markets: contamination levels and consumers practices increasing
health risk. International Journal of Food Contamination 5:1.DOI
10.1186/s40550-017-0063-9.
26
38. Safitri, R R dan Sri Sofiati Umami. (2019). Isolasi dan Identifikasi Fungi Pada
Pasca Panen Bawang Merah Allium ascalonicum L. var. Super Philip.
Biodidaktika: Jurnal Biologi dan Pembelajarannya Vol. 14 No. 1. p-ISSN: 1907-
087X; e-ISSN: 2527-4562
39. Kader, A.A & Hussein, A.M. (2009). Harvesting and Postharvest Handling of
Dates. Aleppo: ICARDA.
40. Schmidt-Heydt,M., Rufer, C.E., Abdel Hadi A., Magan, N., and Geisen, R.
(2010). The production of aflatoxin B1 or G1 by Aspergillus parasiticus at various
combinations of temperature and water activity is related to the ratio of aflS to
aflR expression. Journal of Mycotoxin Research. 26, 241–246. doi:
10.1007/s12550-010- 0062-7.
41. Parinesa, M & Ata Bahojb Almasi. (2015). Effect of climate on agriculture.
Biodiversity Journal. 6 (2): 633 -636

27

Anda mungkin juga menyukai