Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH BIOTEKNOLOGI

ANTIBIOTIK DAN ANTIBODI MONOKLONAL

Disusun Untuk Memenuhi Mata Kuliah Bioteknologi


Oleh Ibu Diani Fatmawati S.Pd, M. Pd

Disusun Oleh :
Kelompok 7 / Pendidikan Biologi VI-B
Eka Fathimatuz Zahroh (201310070311038)
Nur Afifah (201310070311091)
Nahdiana Arifah (201410070311059)
Mohammad Hainur Rasyid (201410070311080)
Samsul Arifin (201410070311150)
Bagus Kristiya Ardi (201310070311189)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
MALANG, 2017

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT sebab atas limpahan
rahmat serta karunia-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat pada
waktunya. Shalawat dan salam tidak lupa haturkan kepada Nabi Muhammad SWT
yang telah menjadi suri tauladan dalam kehidupan kita, sehingga penyusun dapat
menyelesaikan makalah Bioteknologi yang berjudul Antibiotik dan Antibodi
Monoklonal. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada :
1. Diani Fatmawati S.Pd., M.Pd. selaku dosen pemgampu matakuliah
Bioteknologi,
2. Semua pihak yang telah memberikan semangat serta bantuan kepada kami
untuk dapat menyelesaikan makalah bioteknologi ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak pula kekurangan baik dari segi penulisan maupun isinya. Oleh
karena itu, penulis sangat membutuhkan saran dan kritik yang bersifat
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Malang, 16 April 2017

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
...............................................................................................................................
i
KATA PENGANTAR
...............................................................................................................................
ii
DAFTAR ISI
...............................................................................................................................
iii
DAFTAR TABEL
...............................................................................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR
...............................................................................................................................
v
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1
1.1 Latar Belakang.....................................................................................1
1.2 Rumusan Makalah...............................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan..................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................3
2.1 Antibiotik............................................................................................3
2.2 Prinsip Imonoasai, Antigen, Antibodi dan Antibodi Monoklonal......4
2.3 Metode-Metode Imunologi.................................................................12
2.4 Peran Antibodi dan Antigen................................................................21
BAB III PENUTUP...............................................................................................22
3.1 Kesimpulan.........................................................................................22
3.2 Saran...................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................23

3
DAFTAR TABEL

Tabel 1: Perbedaan Sifat Antibodi Poliklonal dan Monoklonal


...............................................................................................................................
8
Tabel 2: Teknik yang Digunakan untuk Memisahkan Fraksi Bebas dan Terikat
dalam Teknik Immunoassay
.................................................................................................................
8

4
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1: Rantai Sulfida


...............................................................................................................................
7
Gambar 2: Produksi Antibodi Monoklonal
.................................................................................................................
9
Gambar 3: Tahapan pada ELISA Kompetitif Langsung
...............................................................................................................................
13
Gambar 4: Tahapan pada ELISA Kompetitif Tidak Langsung
.................................................................................................................
14
Gambar 5: Kurva Kalibrasi Radioimmunoassay
...............................................................................................................................
16
Gambar 6: Enzyme Multiplied Immunoassay Technique
.................................................................................................................
22

5
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bioteknologi pada saat ini telah menjadi salah satu simbol kemajuan
perkembangan dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Banyak sekali negara-
negara menggantungkan banyak harapan pada bioteknologi. Perkembangan yang
pesat pada bioteknologi khususnya dibidang kesehatan dengan ditemukannya
vaksin, antibiotik, interferon, antibodi monoklonal, dan pengobatan melalui terapi
gen dan lain sebagainya.
Definisi bioteknologi merupakan terapan biologi yang melibatkan disiplin
ilmu mikrobiologi, biokimia, genetika, dan biologi molekuler. Bioteknologi secara
klasik atau konvensional adalah teknologi yang memanfaatkan agen hayati atau
bagian-bagiannya untuk menghasilkan barang dan jasa dalam skala industri untuk
memenuhi kebutuhan manusia. Sedangkan jika ditinjau secara modern,
bioteknologi adalah pemanfaatan agen hayati atau bagian-bagian yang sudah
direkayasa secara in vitro untuk menghasilkan barang dan jasa pada skala industri.
Bioteknologi molekuler berubah sangat pesat, industri bioteknologi modern
harus dapat memantau perkembangan disiplin ilmu terkait, sehingga selalu dapat
mengoptimalkan proses-proses industrinya. Di masa depan, tak dapat dielakkan
lagi bahwa bioteknologi molekuler akan menjadi metode baku untuk
mengembangkan suatu sistem hidup dengan fungsi atau kemampuan baru dalam
memproduksi suatu barang atau jasa. Oleh karena itu, perkembangan industri
bioteknologi akan selalu tergantung pada penelitian dasar yang serius dan tepat
sasaran (Suwanto, 2010).
Pada perkembangan antibodi banyak digunakan sebagai alat deteksi di bidang
klinis dan biomedisinal. Deteksi ini dapat berupa deteksi protein ata deteksi
mikroorganisme. Sebagai contoh penentuan golongan darah, penentuan jumlah
mikroorganisme menggunakan ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay).
Antibodi merupakan protein yang dihasilkan tubuh karena adanya kontak dengan
antigen (Tizart 2000, Baratawidjaja 2004).

1
Pengembangan teknik pembuatan antibodi monoklonal yang ditemukan oleh
Kohler dan Milstein tahun 1975, ini termasuk wawasan baru dibidang kedokteran.
Antibodi monoklonal diperoleh dari sumber tunggal atau sel klon yang hanya
mengenal satu jenis antigen, karena hanya mengenal satu jenis antigen terntu
maka antibodi monoklonal dapat dimanfaatkan sebagai pemeriksaan dan terapi
misalnya terapi kanker. Antibodi monoklonal itu sendiri merupakan antibodi yang
dihasilkan oleh klon dari sel tunggal hasil fusi sel limfosit B dengan sel mieloma
yang memiliki homogenitas, affinitas dan spesifitas tinggi (Rittenburg, 1990).

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, adapun rumusan masalah
dalam proses penulisan makalah ini adalah :
a. Apakah pengertian antibiotik dan antibodi?
b. Apa saja penggolongan antibiotik?
c. Bagaimana prinsip antibodi dan antibodi monoklonal?
d. Apakah metode imunologi dalam antibodi?
e. Bagaimana peran antibodi dan antigen?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan rumusan masalah diatas, adapun tujuan dari penulisan makalah
ini adalah :
a. Untuk mengetahui pengertian dari antibiotik dan antibodi.
b. Untuk mengetahui penggolongan antibiotik.
c. Untuk menjelaskan prinsip antibody dan antibodi monoklonal.
d. Untuk mengetahui metode imunologi dalam antibodi.
e. Untuk mengetahui peran antibodi dan antigen.
f.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Antibiotik
Antibiotik merupakan substansi yang dihasilkan oleh organisme hidup yang
dalan konsentrasi rendah dapat menghambat atau membunuh organisme lain
(Zahner, 1972 dalam Hasim, 2003). Antibiotik mempunyai nilai tinggi terutama di
bidang kesehatan karena berguna dalam mengobati berbagai penyakit infeksi.
Selain mempunya arti pentig dalam kesehatan manusia, antibiotik juga berguna
dalam bidang kedokteran hewan untuk mengobati penyakit infeksi dan untuk
meningkatkan pertumbuhan hewan ternak. Anti=biotik diaplikasikan juga di
bidang pertanian untuk meningkatkan hasil-hasil pertanian.
Menurut Rostinawati (2009) antibiotik dikelompokkan kedalam beberapa
bagian, yaitu:
1. Berdasarkan struktur kimia
Berdasarkan stuktur kimianya antibiotik terbagi atas :
a. Antibiotik _-laktam, yang terdiri dari dua kelompok, yaitu kelompok
penisilin (ampisilin, amoksilin dan lain-lain) dan kelompok sefalosporin
(sefalotin, sefaliridin dan lain-lain).
b. Aminoglikosida, terdiri dari streptomisin, kanamisin, gentamisin,
neomisin, tobramisin, framisetin, paromomisin.
c. Kloramfenikol, terdiri dari kloramfenikol dan tiamfenikol
d. Tetrasiklin, terdiri dari tetrasiklin, oksitetrasiklin, klortetrasiklin,
doksisiklin, minosiklin.
e. Makrolida dan antibiotik yang berdekatan, terdiri dari eritromisin,
klindamisin, sinergistin.
f. Rifampisin, yaitu rifampisin.
g. Polipeptida siklik, yaitu basitrasin.
h. Antibiotik polien, terdiri dari nistatin dan amfoterisin.
i. Antibiotik lain, terdiri dari griseofulvin dan vankomisin.

2. Berdasarkan mekanisme kerja


Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibiotik dikelompokkan dala lima
kelompok, yaitu :

3
a. Menghambat sintesis dinding sel bakteri sehingga menghilangkan
kemampuan berkembang biak dan menimbulkan lisis. Contoh : penisilin
dan sefalosporin.
b. Mengganggu keutuhan membran sel, mempengaruhi permeabilitas
sehingga menimbulkan kebocoran dan kehilangan senyawa intraselular.
Contoh : nistatin.
c. Menghambat sintesis protein sel bakteri, contoh : tetrasiklin, kloramfenikol
dan eritromisin.
d. Menghambat metabolisme sel bakteri, contoh : sulfonamid.
e. Menghambat sintesis asam nukleat, contoh : rifampisin dan golongan
kuinolon.
3. Berdasarkan daya kerja
Berdasarkan daya kerjanya, antibiotik dibagi dalam dua kelompok, yaitu :
a. Bakteriostatik, yaitu menghambat pertumbuhan dan perkembangan
bakteri.
b. Bakterisid, yaitu membunuh bakteri secara langsung.
4. Berdasarkan spektrum kerja
Berdasarkan spektrum kerjanya, antibiotik terbagi atas :
a. Spektrum sempit, bekerja terhadap beberapa jenis bakteri saja.
Contoh : penisilin hanya bekerja terhadap bakteri gram positif dan
gentamisin hanya bekerja terhadap bakteri gram negatif.
b. Spektrum luas, bekerja terhadap lebih banyak bakteri, baik gram negatif
maupun gram positif serta jamur. Contoh : tetrasiklin dan kloramfenikol.

2.2 Prinsip Imonoasai, Antigen, Antibodi dan Antibodi Monoklonal


2.2.1 Prinsip Imunoasai
Sifat antibodi yang dapat mengikat antigen spesifik di dalam tubuh
merupakan dasar dari metode analisis secara imunoasai karena reaksi ini juga
dapat terjadi di luar tubuh. Dalam hal ini, antigen dapat merupakan agen penyakit,
cemaran mikroba, senyawa kimia atau kontaminan alami seperti mikotoksin.
Antibodi yang digunakan dapat berupa antibodi poliklonal atau monoklonal.
Prinsip analisis secara imunoasai berdasarkan reaksi antigen dengan antibodi
spesifik terhadap antigen tersebut yang membentuk kompleks antigen-antibodi
(Barna-Vetro. 2002).

Berdasarkan interaksi antigen-antibodi, imunoasai dapat dibagi menjadi dua


kategori yaitu berdasarkan interaksi primer dan interaksi sekunder. Pengukuran

4
imunoasai berdasarkan interaksi primer dapat dilakukan secara langsung,
sedangkan yang berdasar pada interaksi sekunder, dilakukan secara tidak
langsung. Pada umumnya, pengukuran imunoasai berdasarkan interaksi primer,
contohnya pengukuran melalui radioimunoasa (RIA) dan ELISA (Rittenburg
1990).

2.2.2 Antigen
Antigen atau imunogen adalah bahan yang dapat memicu pembentukan
respon imun atau bahan yang dapat bereaksi dengan antibodi. Secara fungsional,
antigen dibedakan menjadi imunogen dan hapten. Imunogen umumnya
merupakan suatu protein yang memiliki ukuran molekul yang besar, sedangkan
hapten merupakan senyawa kimia dengan ukuran kecil, tidak bersifat imunogenik
sehingga tidak dapat mengaktifkan sel B untuk memproduksi antibodi. Agar dapat
memicu pembentukan antibodi, suatu hapten harus dikonjugasikan dengan
molekul besar yang disebut molekul pembawa. Molekul pembawa umumnya
protein yang bersifat multivalen dan imunogenik, contohnya keyhole limpet
hemocyanin (KLH), tiroglobulin, ovalbumin dan imunoglobulin ayam (Rittenburg.
1990). Hapten dikenal oleh sel B sedangkan molekul pembawa oleh sel T. Hapten
membentuk epitop pada permukaan molekul pembawa yang dikenali oleh sistem
imun sehingga merangsang pembentukan antibodi. Daerah ini dapat bereaksi
secara spesifik dengan reseptor antigen (Baratawidjaja 2004). Di antara senyawa
hapten yaitu kontaminan pada bahan pangan dan pakan seperti mikotoksin,
pestisida, antibiotik dan senyawa lain dengan bobot molekul rendah.

Berdasarkan epitopnya antigen terbagi atas empat jenis, yaitu (1)


Unideterminan univalen, antigen yang hanya memiliki satu jenis epitop pada tiap
molekulnya (hapten); (2) Unideterminan multivalen, antigen yang memiliki lebih
dari dua epitop yang sama pada satu molekulnya ; (3) Multideterminan univalen:
antigen yang memiliki beberapa epitop yang berbeda, tetapi masing-masing hanya
satu pada tiap molekulnya (protein); Multideterminan multivalen: antigen yang
memiliki beberapa epitop berbeda yang masing-masing terdiri dari dua atau lebih
pada tiap molekulnya. Contohnya antigen dengan bobot molekul besar dan
kompleks secara kimiawi, seperti polimer protein. Berdasarkan spesifitasnya,
antigen dibagi menjadi lima kelompok, yaitu (1) Heteroantigen, umum dimiliki

5
oleh berbagai spesies; (2) Xenoantigen, yang hanya dimiliki spesies tertentu; (3)
Alloantigen (isoantigen), antigen spesifik yang hanya dimiliki individu tertentu
dalam suatu spesies; dan (4) Antigen yang hanya dimiliki organ tertentu dan (5)
Autoantigen, yang dimiliki oleh tubuh sendiri. Sedangkan menurut
ketergantungannya terhadap sel T, antigen terbagi atas T-dependent, memerlukan
bantuan sel T untuk dikenali sebelum menimbulkan respon antibodi (seluler), dan
T independent yang dapat menstimulasi sel B untuk memproduksi antibodi tanpa
bantuan sel T (humoral) (Baratawidjaja 2004).

Imunogenitas suatu antigen ditentukan oleh berbagai faktor, terutama


ukuran dan strukturnya. Senyawa yang berukuran besar dengan struktur kompleks
dan bermolekul besar jika masuk ke dalam tubuh akan segera menimbulkan
respon pada sistem imun, seperti protein dengan bobot molekul lebih dari 40.000
dan polisakarida kompleks dari mikroba (Baratawidjaja 1991). Sedangkan
senyawa dengan ukuran dan bobot molekul rendah seperti fumonisin jika masuk
ke dalam tubuh tidak dapat menimbulkan respon imun secara langsung (hapten),
sehingga untuk membutuhkan protein pembawa untuk dapat dijadikan sebagai
antigen.

2.2.3 Antibodi
Antibodi adalah protein yang dihasilkan oleh sel limfosit B sebagai respon
terhadap tubuh karena adanya kontak dengan antigen (Tizard 2000;Baratawidjaja
2004). Antibodi disebut juga dengan imunoglobulin (Ig) karena terdiri dari protein
globular. Antibodi yang terdapat dalam tubuh hewan dan manusia terbagi dalam
lima kelompok yaitu IgG, IgA, IgE, IgM, dan IgD. IgG merupakan imunoglobulin
terbanyak mencapai 80% di dalam serum dan sering digunakan untuk analisis
secara imunoasai (Rittenburg 1990). Antibodi memiliki berat molekul 145.000
950.000 dengan struktur dasar menyerupai huruf Y dan empat rantai polipeptida
yang terdiri dari dua rantai berat (heavy chain) dan rantai ringan (light chain)
yang setara, dimana satu dengan yang lainnya dihubungkan oleh rantai disulfida
(Gambar 1). Rantai ringan terdiri atas lambda dan kappa yang disusun oleh 220-
230 asam amino. Sedangkan rantai berat terdiri atas 450-600 asam amino,
sehingga berat dan panjangnya dua atau tiga kali rantai ringan (Pelczar & Chan
1988; Tizard 2000). Daereah variabel memiliki dua domain; fragmen Fab yaitu

6
fragmen yang mempunyai daerah pengikatan antigen dan fragmen Fc yang dapat
mengkristal dan berperan dalam regulasi kekebalan. Daerah variabel terdiri dari
daerah hipervariabel (HV) dan daerah framework (FR) (Harlow & Lane 1988).
Daerah hipervariabel merupakan daerah pengikatan antigen (antigen-binding
sites) yang disebut paratop atau disebut juga daerah penentu komplemen
(complementary-determining regions, CDRs) yang masing-masing terdiri dari 6-
10 asam amino (Tizard 2000). Daerah ini berperan penting dalam reaksi antigen-
antibodi yang menjadi dasar analisis secara imunoasai.

Gambar 1: Rantai Sulfida

Sumber : (Maryam, 2007)

2.2.4 Antibodi Monoklonal


Antibodi monoklonal adalah antibodi yang dihasilkan oleh klon dari sel
tunggal hasil fusi sel limfosit B dengan sel mieloma yang memiliki homogenitas,
affinitas dan spesifitas tinggi (Rittenburg, 1990). Menurut Bintan (2010) teknik
untuk produksi antibodi monoklonal dikembangkan oleh Kohler dan Milstein
pada tahun 1970-an, yang kemudian memperluas potensi antibodi sebagai
senyawa analitik dan terapeutik. Antibodi monoklonal dihasilkan dari oleh klon
sel-sel yang semuanya dihasilkan dari satu jenis limfosit. Sel limfosit diperoleh

7
dari limpa mencit yang diimunisasi secara berulang dengan antigen tertentu,
sehingga dihasilkan sel hiperimun yang membawa sifat-sifat genetik sel induknya
untuk memproduksi antibodi. Setiap limfosit memungkinkan hanya menghasilkan
imunoglobin tunggal, dan karenanya antibodi yang dihasilkan oleh klon sel
identik sangat dibatasi pada antigen yang berikatan, dan membuat pereaksi
tersebut sangat spesifik. Perbedaan yang mendasar antara antibodi poliklonal dan
antibodi monoklonal yaitu pada spesifitas dan afinitasnya. Perbandingan sifat
antara keduanya ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1: Perbedaan sifat antibodi poliklonal dan monoklonal
Karakteristik Antibodi Poliklonal Antibodi monoklonal
Jumlah Terbatas dan bervariasi Tidak terbatas
Homogenitas Campuran antiodi Homogen
Afinitas Tinggi Tinggi
Spesifitas Rendah Tinggi
Kebutuhan antigen Dibutuhkan antigen murni Antigen tidak murni/campuran
untuk produksi antisera
spesifik
Sumber: Post Harvest Technology Institute (1999)
2.2.5 Produksi Antibodi Monoklonal
Prinsip dasar dalam produksi antibodi monoklonal diawali dengan imunisasi
hewan (biasanya tikus) secara konvensional. Setelah sistem imun tikus
mengasilkan antibodi, limfosit dipisahkan dari limfa tikus, dan dilakukan fusi
secara in vitro dengan sel-sel kanker meiloma yang tidak mempunyai enzim
HGPRT (hipoksantin guanin fosforibosil transferase) dalam medium HAT
(hipoksantin aminopterin timidin). Fusi dilakukan dengan menggunakan fusogen,
biasanya polietilen glikol dan hasil fusi dikenal dengan nama hibridoma. Suspensi
sel diencerkan dan didistribusikan diantara sejumlah besar subkultur supaya
tercapai distribusi yang non-spesifik, tetapi bila difusikan dengan limfosit yang
telah distimulasi dengan antigen yang diinjeksikan, maka akan menghasilkan
immunoglobulin yang dibuat berdasarkan informasi genetik dari limfosit
(Bintang, 2010).
Gambar 2: Produksi Antibodi Monoklonal

8
Sumber: https://putradaritimur.blogspot.co.id.

Secara umum proses pembuatan antibodi monoklonal dapat dilakukan


dengan beberapa tahapan sebagai berikut:
1. Imunisasi
Imunisasi merupakan tahap awal produksi antibodi monoklonal. Tahap ini
dilakukan dengan menyuntikan dosis tertentu suatu antigen ke dalam tubuh
mencit untuk mengaktivasi sel-sel imun sehingga memproduksi antibodi. Hewan
yang digunakan untuk produksi antibodi monoklonal umumnya adalah mencit
BALB/c atau tikus LOU/c. Berbagai cara imunisasi dapat dilakukan seperti
intradermal, subkutan, intramuskuler, intraperitoneal, dan intravena tergantung
pada kecepatan eliminasi dan pencapaian tempat limfosit yang diperlukan.
2. Produksi (Fusi sel Limfa dengan sel Mieloma)
Setelah sistem imun tikus menghasilkan antibodi, limfosit dari limfa tikus,
dan dilakukan fusi in vitro dengan sel-sel mieloma yang kemudian menghasilkan
sel hibridoma. Sel yang berfusi tersebut menghasilkan sel hibrid yang disebut sel
hibridoma (Swacita, 2015). Cara penggabungan sel mielona dengan sel limfosit

9
spesifik disebut teknik hibridoma. Sel gabungan tersebut memiliki sifat gabungan
dari kedua sel asalnya, yaitu menghasilkan antibodi spesifik yang diturunkun dari
limfosit spesik dan mempunyai sifat dapat hidup terus menerus yang didapat dari
sel mieloma (Adria, 1998). Sel sel mieloma yang digunakan untuk produksi
antibiotik adalah sel mieloma yang tidak memiliki enzim HGPRT (hipoksantin
guanine fosforibosil transferase) atau TK (Timidin kinase) dan tidak
menghasilkan imunoglobin (Bintang, 2010). Dengan demikian, antibodi yang
dihasilkan oleh sel hibrid merupakan immunoglobulin yang murni berasal dari sel
limfosit mencit atau tikus yang diimunisasi.
Fusi sel dapat berlangsung dengan baik jika ada bahan pemicu yang
disebut fusogen. Polietilen glikol (PEG) merupakan fusogen yang paling banyak
digunakan. Mekanisme terjadinya fusi antara sel limfosit dengan sel mieloma
dengan menggunakan PEG yaitu melalui proses aglutinasi, pembengkakan dan
fusi membran sel. PEG yang digunakan untuk fusi umumnya memiliki bobot
molekul 600-6000 dengan kisaran konsentrasi 40 - 50% dalam medium bebas
serum atau PBS pH 7,2-8,0 (Harlow & Lane, 1988).
3. Seleksi dan Kultur Sel Fusi/Sel Hibrid
Sel fusi yang dihasilkan selanjutnya ditumbuhkan pada media seleksi
hipoksantin-aminopterin-timidin (HAT), dimana aminopterin berfungsi sebagai
penghambat sintesis asam nukleat dari prekursornya melalui sintesis purin dan
pirimidin. Oleh karena itu, sel mieloma yang tidak memiliki enzim HGPRT atau
TK maka sel tersebut tidak bertahan hidup, sedangkan sel yang terfusi dapat hidup
melalui jalur penyelamatan (salvage pathways) dengan memanfaatkan
hipoksantin dan timidin dalam medium sebagai prekursor asam nukleat. Sel fusi
ini tumbuh dengan baik dan berproliferasi untuk memproduksi imunoglobulin
yang murni berasal dari sel induknya. Setelah sel fusi dapat tumbuh dengan baik
dan semua sel yang tidak terfusi telah mati ( 21 hari), medium pertumbuhan
dapat diganti dengan hipoksantin-timidin (HT) (Zola, 1987).
Untuk memperoleh antibodi monoklonal yang berasal dari klon sel tunggal
dilakukan kloning melalui pengenceran bertahap sehingga dihasilkan sel hibrid
yang memiliki kemampuan mensekresi antibodi yang seragam. Sel hibrid ini
selanjutnya dikultur untuk produksi antibodi monoklonal skala laboratorium yang
dapat dilakukan dalam medium secara in vitro atau dalam asites mencit BALB/c
(in vivo) (Zola, 1987).

10
4. Skrining Antibodi
Tujuh hari setelah fusi, sel hibridoma dibiakan dalam media DMEM-HT
sampai muncul klon hibridoma yang menghasilkan antibodi terhadap antigen
yang diinginkan. Skrining klon hibridoma yang menghasilkan antibodi dilakukan
dengan ELISA menggunakan antigen yang diinginkan. Hibridoma yang terbukti
menghasilkan antibodi yang diinginkan kemudian diklon ulang untuk memperoleh
klon hibridoma yang dimulai dari satu sel sehingga antibodi yang diproduksinya
benar-benar monoklonal, yaitu hanya mengenali satu jenis epitop (Swacita, 2015).
Selanjutnya sel-sel yang telah terpilih ini dapat ditumbuhkan dalam medium
pembiakan atau disuntikkan ke dalam mencit atau tikus untuk menginduksi
miolema.
2.2.6 Manfaat Antibodi Monoklonal
Metode hibridoma untuk menghasilkan antibodi monoklonal telah membuka
pandangan baru dalam ilmu biologi dan kedokteran. Sejumlah besar antibodi yang
homogeny dengan spesifitas yang dibuat khusus dapat dibuat dengan mudah. Hal
ini memberikan pengertian tentang hubungan antara struktur antibodi dan
spesifitas. Lebih lanjut,antibodi monoklonal dapat digunakan sebagai pereaksi
analitik dan preparatif yang tepat. Sebagai contoh, suatu antibodi murni terhadap
antigen yang belum pernah diisolasi dapat diperoleh. Hal ini sangat berguna
khususnya dalam penelitian tentang protein permukaan sel (Stryer, 1996).
Antibodi monoklonal yang ditempelkan pada padat dapat dipakai sebagai
kolom afinitas untuk memurnikan protein-protein langka. Metode ini telah dipakai
untuk memurnikan interferon (Suatu protein antivirus) 5000 kali dari suatu
campuran kasar. Laboratorium-laboratorium klinik memakai antibodi monoklonal
pada berbagai pemeriksaan. Contohnya, deteksi di dalam darah isozim yang
biasanya hanya terdapat dijantung, menunjukkan adanya infrak otot jantung.
Transfusi darah telah dibuat menjadi lebih aman dengan adanya uji saring antibodi
dalam darah donor terhadap virus AIDS, hepatitis dan penyakit infeksi lainnya
(Stryer, 1996).

2.3 Metode-metode Imunologi


Imunologi adalah ilmu yang mempelajari tentang system kekebalan tubuh,
sedangkan antibodi adalah protein yang dihasilkan oleh manusia dan hewan

11
sebagai respons imun akibat masuknya senyawa asing dalam jaringan. Senyawa
asing ini disebut antigen atau imunogen, dan antibody yang dihasilkan mampu
mengikat antigen dan bereaksi dengan cara yang sesuai. Beberapa senyawa tidak
dapat menimbulkan respon imun bila berdiri sendiri, tetapi bila berikatan dengan
suatu protein dapat menyebabkan pembentukan antibodi (respons imun),
senyawa-senyawa ini disebut hapten.
Reaksi antigen-antibodi merupakan dasar bagi motode-metode analisis
kuantitatif dan semikuantitatif yang sangat bermanfaat, khususna pada bidang
mikrobiologi. Antibody telah digunakan dalam mengindetifikasi bakteri, dan
antibody sering diberi nama yang menggambarkan ciri-ciri yang ditunjukkan oleh
reaksi antibody dengan antigennya. Lisin adalah antibodi yang menyebabkan
kerusakan membrane, opsonim membuat antigen rentan terhadap fagositosis,
sedangkan aglutinin dan presipitin menyebabkan flokulasi antigen selular dan
antigen terlarut. Semula dikatakan bahwa antibodi yang menyebabkan pengaruh-
pengaruh berbeda mungkin memang berbeda satu sama lain, pada saat antibodi
yang sama dapat memiliki pengaruh yang berbeda tergantung pada kondisi
lingkungan dan keberadaan senyawa-senyawa lain.
2.3.1 Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
ELISA adalah teknik imunoasai yang menggunakan enzim sebagai label
untuk amplifikasi dan visualisasi reaksi primer ikatan antigen-antibodi. Pelabelan
dapat dilakukan pada antigen atau antibodi. Antibodi yang digunakan dalam
ELISA dapat berupa antibodi poliklonal atau antibodi monoklonal.
ELISA pertama kali diperkenalkan oleh Engvall dan Perlman pada tahun
1971. Hingga saat ini, ELISA merupakan teknik imunoasai yang paling banyak
digunakan karena enzim mudah ditangani, relatif murah dan stabil, dapat merubah
substrat tidak berwarna menjadi berwarna dengan sangat sensitif sehingga mudah
untuk menginterpretasikan hasil akhir. Prinsip ELISA yaitu berdasarkan pada
reaksi antigen dan antibodi spesifik dimana dengan adanya enzim konjugat akan
bereaksi dengan substrat untuk menghasilkan warna yang dapat dibaca pada alat
kolorimeter/spektrofotometer pada panjang gelombang tertentu.
2.3.1.1 ELISA Kompetitif Langsung

12
Konfigurasi ini digunakan untuk mengukur antigen dalam sampel. Dalam
ELISA kompetitif langsung ini antibodi dilapiskan pada pelat mikro sebagai fasa
padat, kemudian sampel dan antigen berlabel enzim (antigen-enzim konjugat )
ditambahkan secara bersamaan atau bertahap. Pada tahap ini, setiap antigen dalam
sampel akan berkompetisi dengan antigen-enzim konjugat untuk berikatan dengan
antibodi dan materi yang tidak terikat akan terlepas melalui pencucian. Dengan
penambahan substrat, ikatan antigen-enzim konjugat-antibodi akan memberikan
perubahan warna dari tidak berwarna menjadi berwarna yang dapat dibaca
panjang gelombang tertentu dengan menggunakan ELISA reader
(spektrofotometer). Dalam hal ini, perubahan warna yang terjadi berbanding
terbalik dengan konsentrasi antigen dalam sampel (analit) di mana semakin tinggi
konsentrasi antigen dalam sampel, intensitas warna akan semakin menurun.
(Gambar 3).

Gambar 3: Tahapan pada ELISA kompetitif langsung

2.3.1.2 ELISA Kompetitif Tidak Langsung


Konfigurasi ini digunakan untuk mengukur antibodi dalam sampel
(contohnya serum, supernatan, atau cairan asites). Dalam ELISA kompetitif tidak
langsung, pelat dilapisi dengan antigen. Antigen bermolekul rendah seperti FB1
tidak dapat melekat dengan baik pada permukaan fasa padat sehingga harus
dikonjugasikan dengan protein. Konjugat antigen-protein ini akan berikatan

13
dengan antibodi yang diuji. Pada ELISA kompetitif tidak langsung ini digunakan
antibodi sekunder yang spesifik terhadap kelas imunoglobulin (Ig) spesies hewan
yang digunakan (misalnya antibodi antimouse atau antirabbit IgG) yang
dikonjugasikan dengan enzim.
Pada aplikasinya, antibodi primer dan sampel/standar diinkubasi secara
bersamaan, kemudian dimasukkan ke dalam pelat mikro sebagai fasa padat yang
berisi antigen. Seperti halnya ELISA kompetitif langsung, kompetisi akan terjadi
antara antigen dalam sampel dengan untuk berikatan dengan antibodi. Setelah
pencucian, ditambahkan antibodi sekunder berlabel enzim. Adanya reaksi
kompleks antara antigen-antibodi akan memberikan warna setelah penambahan
substrat, yang dapat diukur dengan menggunakan ELISA reader
(Spektrofotometer) (Gambar 4).

Gambar 4: Tahapan pada ELISA kompetitif tidak langsung.


2.3.1.3 ELISA Penangkap Antibodi
Konfigurasi ini digunakan untuk mengukur antibodi spesifik dalam
sampel. Antigen dilapiskan pada fasa padat dan kemudian direaksikan dengan
sampel. Antibodi yang terdapat dalam sampel akan ditangkap oleh antigen yang
terdapat pada fasa padat. Materi sampel lainnya yang tidak terikat dihilangkan
dengan pencucian, selanjutnya ditambahkan antibodi anti Ig berlabel enzim untuk

14
menandai antibodi spesifik yang sudah ditangkap oleh antigen. Setelah pencucian
terakhir ditambahkan substrat. Intensitas warna yang dihasilkan mencerminkan
konsentrasi antibodi spesifik yang terdapat dalam sampel.
2.3.1.4 ELISA Sandwich Antibodi Ganda (Double Antibodi Sandwich
ELISA)
Konfigurasi ini sesuai untuk mengukur antigen bivalen atau polivalen.
Istilah sandwich digunakan karena analit (dalam sampel) berada di antara antibodi
pada fasa padat dan antibodi berlabel enzim (antibodi-enzim konjugat). Antibodi
primer dilapiskan pada permukaan fasa padat dan analit (standar/sampel)
ditambahkan. Setelah pencucian materi yang tidak terikat, kompleks
antigenantibodi yang sudah terbentuk ditambahkan antibodi primer berlabel enzim
yang akan menempal pada salah satu daerah pengikatan antigen yang masih
tersisa. Selanjutnya substrat ditambahkan setelah pencucian terakhir. Warna yang
terbentuk mencerminkan konsentrasi antigen yang terdapat dalam sampel.
2.3.2 Radioimmunoassay (RIA)
Teknik ini berdasarkan kompetisi antara antigen yang tidak berlabel
dengan sejumlah tertentu antigen sejenis yang telah dilabel, untuk direaksikan
dengan reseptor antibodi tertentu yang mengandung sejumlah antibodi dengan
tempat ikatan untuk antigen yang terbatas. Pada keadaan kesetimbangan dengan
antigen berlebih, akan terdapat antigen yang bebas dan antigen yang terikat pada
antibodi. Pada kondisi standar jumlah antigen berlabel yang berikatan pada
antibodi akan menurun, sedangkan antigen yang tidak berlabel dalam sampel akan
meningkat. Sebagai contoh, perhatikan reaksi di bawah ini :

4Ag* + 4Ab < ==== > 4Ag*Ab


4Ag + 4Ag* + 4Ab < ==== > 2Ag*Ab + 2AgAb + 2Ag* + 2Ag
12Ag + 4Ag* + 4Ab < ==== > Ag*Ab + 3AgAb + 3Ag* + 9Ag
Keterangan : 1. Ab adalah antibodi,
2. Ag adalah antigen yang tidak dilabel
3. Ag* adalah antigen berlabel
4. AgAb adalah kompleks antigen antibody.
Dengan menggunakan antigen tidak berlabel yang telah diketahui
jumlahnya dan antigen dengan jumlah tetap serta antigen berlabel, maka
banyaknya antigen berlabel yang diikat adalah fungsi keseluruhan antigen yang

15
ditambahkan sehingga diperoleh sebuah kurva kalibrasi (Gambar 5). kurva
kalibrasi ini dapat digunakan untuk menentukan jumlah antigen dalam sampel
dengan perlakuan yang sama.

Gambar 5: Kurva kalibrasi radioimmunoassay


Keuntungan Utama RIA
1) Dapat digunkana untuk menguji senyawa yang bersifat imunogenik, dapat
dalam bentuk murni maupun dilabel.
2) Memiliki kepekaan tinggi dan beberapa senyawa mungdin dapat dideteksi
pada tingkat pg cm-3.
3) Memiliki tingkat spesifitas yang tinggi.
4) Memiliki ketepatan yang sebanding dengan teknik fisiokimia dan uji
bioassay.
5) Secara otomatis, mengurangi pengerjaan manual dan pengolahan data,
untuk sampel dalam jumlah besar.
Kerugian Utama RIA
1) Peralatan dan pereaksi relative mahal.
125 131
2) Waktu paruh dari I dan I adalah 60 dan 8 hari, sehingga lebih sering
dilakukan pelabelan antisera.
3) Bahaya radiasi dari radio iodin, terutama selama pelabelan antisera yang
harus diulang secara teratur. Penggunaan RIA harus secara teratur
diperiksa kelenjar tiroidnya dan harus diistirahatkan bila tingkat aktivitas
radioaktifnya meningkat secara signifikan.
2.3.2.1 Label-label Luminescence

16
Beberapa tipe dari luminescence berbeda hanya pada sumber energi yang
digunakan untuk mengeksitasi molekul ke energi yang lebih tinggi. Radio
Luminescence terjadi saat energi disediakan dari partikel-partikel berenergi tinggi
pada chemiluminescence, energi dihasilkan dari reaksi kimia. Dalam
bioluminescence, eksitasi dilakukan oleh molekul biologi seperti enzim; pada
fluorescence photoluminescence, eksitasi dihasilkan dari energi cahaya. Teknik ini
telah digunakan dengan baik sebagai sistem label untuk immuno assay. Dalam
chemiluminescence immunoassay, antigen dilabel dengan molekul seperti luminol
atau ester akridinium yang mengemisikan cahaya dengan menghasilkan kuantum
yang tinggi pada oksidasi. Pilihan lain, antigen dapat dilabel dengan molekul
bioluminescence seperti luciferin yang mengemisikan cahaya bila dioksidasi
dengan enzim luciferase.
Immunoassay telah dikembangkan dengan menggunakan label-label
fotoluminesens seperti fluoresens dan rodomin, tetapi memiliki beberapa
kekurangan yang nyata. Sinyal background dapat dihasilkan oleh senyawa yang
ada dalam sample, yang dapat berfluoresensi bila dieksitasi dengan cahaya pada
panjang gelombang yang sesuai. Molekul biologi dapat juga menghamburkan
energy cahaya eksitasi sedemikian rupa, sehingga mengurangi efisiensi eksitasi.
Tiap pengaruh ini mempunyai kontribusi terhadap pembatasan penggunaan dari
lebel fluoresens dalam immunoassay.
Masalah dari background fluorescence telah ditanggulangi dengan
memperkenalkan time resolved fluerimetry. Tenik ini didasarkan pada
penggunaan fluorofor dengan long-lived fluorescence yang dapat diukur setelah
background fluorescence dihancurkan. Waktu menghancuran yang umum dari
background fluorescence sekitar 10ns, sedangkan long-lived fluophore seperti
kelat dari logam europium lantanida dan pembacaan dlakukan setelah emisi
background dihancurkan. Segera sesudah pengukuran diambil, fluorofor dapat
dipendarkan kembali, memungkinkan akumulasi sinyal dari label. Uji-uji
berdasarkan prinsip ini memperlihatkan sensitifitas dan ketepatan yang sama
dengan uji radioisotope.
2.3.2.2 Senyawa-senyawa Standar

17
Kuantitasi antigen didasarkan pada perbandingan respon antigen uji
dengan serangkaian larutan standar, dan tipe larutan standar tergantung pada uji
yang dikembangkan. Matriks larutan standar seharusnya sesuai dengan matriks
sampel (darah,urine,saliva,dan lain-lain) dan tentunya bebas antigen.
Segera setelah standar disiapkan dan pereaksi uji telah dioptimasi, kurva
standar dapat dibuat. Kurva tersebut biasanya digunakna untuk mengekspresikan
pengikatan antigen berlabel sebagai persen pengikatan dari standar nol (B/B o),
meskipun bukan satu-satunya cara mengekspresikan hasil akhir. Respon dari
sampel yang tidak diketahui sekarang dapat dicatat pada kurva, dan
konsentrasinya dapat dibaca dengan baik.
2.3.2.3 Pemisahan Ikatan dari Antigen Bebas
Semua dasar kuantitatif immunoassay kompetitif berdasarkan pada
pemisahan ikatan secara fisika, dan perbandingan relative dari setiap fraksi bebas
dapat diperkirakan agar reaktan tidak tersisa dalam larutan, berbagai teknik telah
dikembangkan untuk memisahkan rekatan-reaktan tersebut (Tabel 2).
Sebagian besar teknik pemisahan secara fisika untuk menghilangkan salah
satu dari fraksi-fraksi tersebut adalah dengan arang yang akan mengadsorpsi
dengan sangat kuat fraksi-fraksi bebas dan siap dihilangkan dengan sentrifogasi.
Penambahan dextran akan mengurangi kecenderungan arang untuk memutuskan
ikatan antigen dari kompleks. Pilihan lainnya adalah fraksi yang terikat dapat
dipresipitasi dengan menambah berbagai pengendap protein dengan konsentrasi
yang sesuai seperti alcohol, amonium sulfat, dan polietilen glikol (PEG).

Tabel 2: Teknik yang Digunakan Untuk Memisahkan Fraksi Bebas dan Terikat
dalam Immunoassay.
Prinsip Contoh
Adsorpsi Fraksi Bebas Arang berlapis dextran.
Resipitasi Fraksi Terikat Etanol, amonium sulfat, PEG
Imunologi Penggunaan antibodi kedua yang spesifik untuk antibodi primer
Penggunaan antibodi yang terletak pada plastic, tabung, bead, plat
Fase Padat mikrotiter (microplat).
Penggunaan antibodi yang terletak pada butiran magnet
Penggunaan sifat-sifat pengikatan spesifik lainnya: protein,
Pengikatan Spesifik
stafilokokus A, avidin-biotin.

18
Teknik yang digunakan secara luas melibatkan imunopresipitasi fraksi
yang terikat dengan menggunakan antibodi kedua, dan bereaksi dengan protein
dari antibodi pertama. Antibodi kedua ini dapat dihasilkan dengan imunisasi.
Lmunoglobulin dari spesies yang membangkitkan antibodi primer (misalnya
tikus) diinjeksikan kedalam spesies berbeda (misalnya kelinci). Prosedur
pemisahan tersebut sering kali disebut teknik antibodi ganda. Konsentrasi antibodi
kedua disesuaikan sedemikian rupa sehingga fraksi terikat yang dapat larut
dikonversi ke matriks yang tidak dapat larut, sehinggan dapat dipisahkan dengan
mudah dari antigen bebas melalui sentrifugasi. Untuk mempercepat pembentukan
matriks yang tidak dapat larut, dilakukan dengan menambah antibodi kedua yang
berkombinasi dengan presipitasi protein, seperti polietilen glikol atau amonium
sulfat.
Sistem fase padat yang telah dikembangkan berupa antibodi primer
ataupun sekunder, yang dapat dimobilisasi pada permukaan seperti plastik.
Antibodi dapat dilekatkan pada permukaan plastik, baik melalui adsorpsi
sederhana pada pH tinggi melalui ikatan kovalen. Berbagai bentuk telah
digunakan seperti tabung, bead, atau plat mikrotiter. Segera setelah kesetimbangan
tercapai, fraksi yang terlekat dapat dibebaskan dari fraksi yang tidak terikat
dengan dekantasi sederhana, dan meninggalkan antigen yang terikat pada fase
padat. Metode lainnya adalah dengan melekatkan antibodi pada partikel yang
bermagnet segera setelah tercapai reaksi sempurna. Senyawa yang terikat dapat
dipisahkan secara sederhana dari fraksi-fraksi bebas dengan meletakkan tabung di
atas daerah magnet yang kuat. Bila partikel-partikel telah berpindah ke dasar
tabung, maka fraksi bebas dapat didekantasi atau dipipet untuk memisahkannya.
Senyawa lain yang memperlihatkan pengikatan spesifik dapat digunakan
untuk memisahkan fraksi bebas dan terikat, saat pengikatan ke fase padat.
Kemampuan protein Staphylococcus untuk berikatan dengan fragmen Fc dari IgG
yang berlabel tertentu juga dapat digunakan. Selain itu, pengikatan yang kuat dari
vitamin biotin ke avidin tetravalen juga dapat dilakukan. Biotin dapat segera
digabungkan dengan molekul antibodi, selanjutnya ditangkap oleh fase padat
avidin. Kemungkinan lain adalah avidin dapat digunakan untuk memudahkan

19
penyambungan suatu ikatan antara antibodi yang dibiotinasi dengan fase padat
yang dibiotinasi juga.
2.3.3 Uji Homogen
Uji homogen tidak membutuhkan tahap pemisahan, tetapi uji ini dilakukan
untuk mengamati rasio antara antigen berlabel dan tak berlabel dengan antibodi.
Beberapa system telah dirancang untuk penyelesaiannya, dan tekniknya telah
dikembangkan terutama barmanfaat untuk pengukuran obat-obatan.
Sistem yang paling umum digunakan adalah enzyme multiplied
immunoassay (EMIT). rigtigile Meskipun teknik tersebut tidak melibatkan
pemisahan fraksi terikat dari fraksi bebas, namun merupakan sistem uji
kompetitif. Antigen dilabel dengan enzim sedemikian rupa sehingga aktivitas
katalitik enzim dipertahankan. Saat antigen berikatan dengan antibodi, enzim
menjadi terhambat, mungkin melalui perubahan konformasi yang terinduksi
ataupun melalui halaman pada situs aktif enzim (Gambar 6). Penghambatan ini
akan dikurangi oleh adanya antigen bebas dalam sampel uji yang bersaing untuk
situs pengikatan antibodi. Semakin banyak antigen yang tersedia, maka semakin
banyak aktifitas yang ditahan, serta semakin banyak produk warna yang dapat
dibentuk. Respon-respon dari sampel yang tidak diketahui dibandingkan terhadap
respon dari dosis standar antigen. Enzim lisosom, malat dehidrogenase, dan
glukosa 6-fostat dehidrogenase, semuanya telah digunakan untuk tujuan ini.
Enzim dehidrogenase sangat berguna dalam teknik ini, dengan mengukur adsorpsi
NADH pada panjang gelombang 340 nm.

Gambar 6: Enzyme multiplied immunoassay technique (EMIT).


2.4 Peran Antibodi dan Antigen

20
Sistem imun adalah suatu sistem pertahanan yang terdiri dari sel, molekul
dan jaringan yang berperan untuk melawan infeksi yang ditimbulkan oleh
berbagai bahan dalam lingkungan hidup (Bratawidjaja, 2004). Di dalam tubuh
terdapat tiga jenis sel yang berperan penting dalam sistem imun yaitu limfosit, sel
plasma dan makrofag yang berasal dari sel progeni dalam sumsum tulang,
bersirkulasi dalam darah dan masuk ke dalam organ ketika diperlukan. Limfosit
memiliki kemampuan mengenali setiap antigen melalui permukaan reseptornya
yang spesifik. Ada dua jenis limfosit, yaitu limfosit B yang dapat mensekresi
antibodi spesifik dan limpfosit T yang tidak dapat menghasilkan antibodi namun
dapat berpoliferasi dan berdiferensiasi jika ada antigen dengan melepas senyawa
yang disebut limfokin. Dalam hal ini, fungsi sel T adalah membantu sel B untuk
mensintesis antibodi dengan mengatur respon imun. Sementara itu, peran
makrofag sangat penting dalam sistem imun spesifik. Sel ini menelan dan
mentransfer materi antigen tersebut pada sel T sehingga terjadi aktivasi sel T yang
kemudian diteruskan dengan aktivasi sel B (Bratawidjaja, 2004).
Sel imun spesifik terdiri atas humoral dan seluler. Sistem imun spesifik
humoral dihasilkan oleh sel B yang berproliferasi dengan antigen dan berkembang
menjadi sel plasma penghasil antibodi yang banyak dijumpai dalam serum. Sel
limfosit B terdiri dari sel B memori menjadi sel B plasma. Sel B memori untuk
membentuk kekebalan tubuh dalam jangka panjang. Sebagai contoh jika terdapat
antigen sama masuk kembali ke dalam tubuh maka sel memori akan segera
meningkatkan antibodi dan membentuk sel plasma dalam waktu cepat. Sel plasma
adalah sel B yang mampu menghasilkan antibodi dalam darah dan limfa.
Sel limfosit T berperan pada sistem imun spesifik seluler. Fungsi utama
sistem imun spesifik seluler adalah pertahanan terhadap bakteri intraseluler, virus,
jamur, dan parasit. Sel T terdiri dari beberapa subset dengan fungsi yang berbeda-
beda yaitu sel Th1, Th2 dan Tc atau T Sitotoksik. Th1 memiliki fungsi sebagai
pertahanan dalam melawan infeksi terutama oleh mikroba. Th2 berfungsi
merespon terhadap adanya reaksi dari antigen parasit. Dan T Sitoktoksik berfungsi
sebagai efektor untuk mengeliminasi antigen. Antibodi ini berperan penting dalam
sistem pertahanan terhadap virus, bakteri ekstraseluler dan menetralisir toksin
yang dihasilkannya. Antibodi merupakan molekul pertama yang diketahui terlibat

21
pada pengenalan antigen secara spesifik (Subowo, 1993). Sedangkan antigen
adalah bahan yang dapat memicu pembentukan respon imun atau bahan yang
dapat bereaksi dengan antibodi. Yang memiliki peran untuk mengaktivasi sel B
dalam memproduksi antibodi.

22
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pengertian Antibiotik, Antigen, Antibodi dan Antibodi Monoklonal.

Teknik teknik Imunologi

Manfaat Antibodi dan Antigen

3.2 Saran
Makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penyusun
menyarankan agar pembaca mencari lebih banyak literature lain yang membahas
mengenai judul dari makalah ini. Dengan adanya makalah ini semoga bisa
membantu menambah wawasan pengetahuan bagi pembaca khususnya.

23
DAFTAR PUSTAKA

Adria, P. M., Sadi, S. 1998. Pembuatan Antibodi Monoklonal terhada Salmonella


typhimurium dengan Teknik Hibridoma. Batam: Pusat Aplikasi Isotop dan
Radiasi.

Bintang, M. 2010. BIOKIMIA Teknik Penelitian. Jakarta: PT. Gelora Aksara.

Bratawidjaja, KG. 2004. Imunologi Dasar Edisi Keenam. Jakarta. Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Harlow, E., Lane, D. 1988. Antibodies: A Laboratory Manual. New York: Cold
Spring Harbor Laboratory.

Maryam, Romsyah. 2007. Produksi Antibodi Monoklonal Menggunakan


Konjugat Fumonisin B1-Ovalbumin Sebagai Antigen Untuk Deteksi
Fumonisin Secara Imunoasai. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor Bogor

Post Harvest Technology Institute. 1999. ELISA workshop: Simple test for
monitoring mycotoxins and pesticides in produce. University of Sydney, 9-
10.

Rittenburg, J. H and Smith, C. J. 1990. Fundamentals of immunoassay, In


Development and Application of Immunoassay for Food Analysis. J.H.
Rittenburg (Ed.). Elsevier Applied Science. London and New York, 29-57.

Rostinawati, Tina. (2009). Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Bunga Rosella


(Hibiscus Sabdariffa L.) Terhadap Escherichia Coli, Salmonella Typhi
Dan Staphylococcus Aureus Dengan Metode Difusi Agar.

Subowo. 1993. Imunobiologi. Bandung. Penerbit Angkasa.


Suwanto, Antonius. 2010. Bioteknologi Molekuler: Mengoptimalkan Manfaat
Keanekaan Hayati Melalui Teknologi DNA Rekombinan. Diktat
Bioteknologi. Jurusan Biologi, FMIPA : Institute Pertanian Bogor.

Stryer, L. 1996. Biokimia 4th Ed. New York: Freeman and Company.

24
Swacita, I. B. N. dkk. 2015. Produksi dan Karakterisasi Antibodi Monoklonal
Anti-Cysticercus cellulosae. Jurnal Veteriner September 2015. 16 (3): 325-
333.

Tizard IR. 2000. Veterinary Immunology: An Introduction. 6th Ed. W. B.


Saunders Company. A Harcourt Health Science Company. The Courtis
Center Independence Square West. Philadelphia, Pensylvania 19106, 69-
139

Zola, H. 1987. Monoclonal Antibodies: A Manual of Techniques. Florida: CRP


Press, Inc.

25

Anda mungkin juga menyukai