Laporan Pendahuluan Tuberkulosis Paru-1
Laporan Pendahuluan Tuberkulosis Paru-1
A. LANDASAN TEORI
1. Pengertian
Tuberkulosis (TB) merupakan airborne infection yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis, pada umumnya menyerang bagian paru dengan cara
penularannya secara inhalasi/droplet (yaitu pada saat orang yang terinfeksi batuk, bersin,
berbicara, bernyanyi atau bernafas) serta ditandai oleh beberapa gejala saat fase aktif (Centers
of Disease Control’s Noon Conference, Javis dalam McLafferty, 2013; Gough, 2011; Gordon
dan Mwandumba dalam Mc Lafferty, 2013; WHO, 2013). Gejala yang timbul pada penderita
TB pada saat bakteri tersebut aktif, dimana pada orang yang sehat (memiliki sistem imun yang
baik) infeksi Mycobacterium tuberculosis tidak menimbulkan gelaja apapun, namun pada
orang yang positif terinfeksi TB paru biasanya ditandai dengan batuk (disertai sputum atau
darah), haemoptosis, susah nafas, letargi, malaise, nyeri dada, kelemahan, hilang berat badan,
demam dan berkeringat di malam hari (WHO, 2018; Health Protection Agency dalam Gough,
2015). Apabila terdapat gejala tersebut pada satu penderita yang mengindikasikan TB, maka
dapat dilakukan pemeriksaan X-Ray dan kultur sputum (Jarvis dalam McLafferty, 2018).
Penyakit tuberkulosis dapat menyerang manusia mulai dari usia anak sampai dewasa
dengan perbandingan yang hampir sama antara laki- laki dan perempuan. Penyakit ini
biasanya banyak ditemukan pada penderita yang tinggal di daerah dengan tingkat kepadatan
tinggi sehingga masuknya cahaya matahari kedalam rumah sangat minim. Tuberkulosis pada
anak dapat terjadi di usia berapa pun, namun, usia paling umum adalah antara 1-4 tahun.
Angka kejadian (prevalensi) TB paru-paru pada usia 5-12 tahun cukup rendah, kemudian
meningkat setelah usia remaja dimana TB paru-paru menyerupai kasus pada penderita dewasa
(sering disertai kavitas pada paru-paru) (Somantri, 2017).
2. Etiologi
Robinson, dkk (2014) menyatakan bahwa TB paru disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis yang dapat ditularkan ketika seseorang penderita penyakit paru
aktif mengeluarkan organisme.Individu yang rentan menghirup droplet dan menjadi terinfeksi.
Bakteria di transmisikan ke alveoli dan memperbanyak diri.Reaksi inflamasi menghasilkan
eksudat di alveoli dan bronkopneumonia, granuloma, dan jaringan fibrosa. Ketika seseorang
penderita TB paru batuk, bersin, atau berbicara, maka secara tak sengaja keluarlah droplet
nuklei dan jatuh ke tanah, lantai, atau tempat lainnya. Akibat terkena sinar matahari atau suhu
udara yang panas, droplet atau nuklei tadi menguap. Menguapnya droplet bakteri ke udara
dibantu dengan pergerakan angin akan membuat bakteri tuberkulosis yang terkandung dalam
droplet nuklei terbang ke udara. Apabila bakteri ini terhirup oleh orang sehat, maka orang itu
berpotensi terkena bakteri tuberkulosis (Muttaqin Arif, 2015).
Smeltzer&Bare (2015) menyakan bahwa Individu yang beresiko tinggi untuk tertular
virus Tuberkulosis adalah:
a. Mereka yang kontak dekat dengan seseorang yang mempunyai TB aktif.
b. Individu imunnosupresif (termasuk lansia, pasien dengan kanker, mereka yang dalam
terapi kortikosteroid, atau mereka yang terinfeksi dengan HIV).
c. Pengguna obat-obat IV dan alkhoholik.
d. Individu tanpa perawatan kesehatan yang adekuat (tunawisma; tahanan; etnik dan ras
minoritas, terutama anak-anak di bawah usia 15 tahun dan dewasa muda antara yang
berusia 15 sampai 44 tahun).
e. Dengan gangguan medis yang sudah ada sebelumnya (misalkan diabetes, gagal ginjal
kronis, silikosis, penyimpangan gizi).
f. Individu yang tinggal didaerah yang perumahan sub standar kumuh.
g. Pekerjaan (misalkan tenaga kesehatan, terutama yang melakukan aktivitas yang beresiko
tinggi.
3. Klasifikasi TB Paru
TB paru diklasifikasikan menurut Wahid & Imam tahun 2013 halaman 161 yaitu:
a. Pembagian secara patologis
1) Tuberculosis primer (childhood tuberculosis)
2) Tuberculosis post primer (adult tuberculosis).
3) Pembagian secara aktivitas radiologis TB paru (koch pulmonum) aktif, non aktif dan
quiescent (bentuk aktif yang mulai menyembuh)
b. Pembagian secara radiologis (luas lesi)
1) Tuberkulosis minimal Terdapat sebagian kecil infiltrat nonkavitas pada satu paru
maupun kedua paru, tetapi jumlahnya tidak melebihi satu lobus paru.
2) Moderately advanced tuberculosis Ada kavitas dengan diameter tidak lebih dari 4 cm.
Jumlah infiltrat bayangan halus tidak lebih dari 1 bagian paru.Bila bayangan kasar
tidak lebih dari sepertiga bagian paru
3) Far advanced tuberculosis Terdapat infiltrat dan kavitas yang melebihi keadaan pada
moderately advanced tuberkulosis.
Klasifikasi TB paru dibuat berdasarkan gejala klinik, bakteriologik, radiologik, dan riwayat
pengobatan sebelumnya.Klasifikasi ini penting karena merupakan salah satu faktor determinan
untuk menentukan strategi terapi. Sesuai dengan program Gerdunas-TB (Gerakan Terpadu
Nasional Penanggulan Tuberkulosis) klasifikasi TB paru dibagi sebagai berikut
a. TB Paru BTA Positif dengan kriteria:
1) Dengan atau tanpa gejala klinik
2) BTA positif: mikroskopik positif 2 kali, mikroskopik positif 1 kali disokong biakan
positif satu kali atau disokong radiologik positif 1 kali.
3) Gambaran radiologik sesuai dengan TB paru
b. TB Paru BTA Negatif dengan kriteria:
1) Gejala klinik dan gambaran radiologik sesuai dengan TB paru aktif.
2) BTA negatif, biakan negatif tapi radiologik positif
c. Bekas TB Paru dengan kriteria:
1) Bakteriologik (mikroskopik dan biakan) negatif
2) Gejala klinik tidak ada atau ada gejala sisa akibat kelainan paru.
3) Radiologik menunjukkan gambaran lesi TB inaktif, menunjukkan serial foto yang
tidak berubah.
4) Ada riwayat pengobatan OAT yang lebih adekuat (lebih mendukung).
0 Tidak ada pajanan TB , Tidak terinfeksi Tidak ada riwayat terpajan, Reaksi
terhadap tes kulit tuberkulin negatif
1 Terpajan TB, Tidak ada bukti infeksi Riwayat terpajan, Reaksi tes kulit
tuberkulin negatif
2 Ada infeksi TB, Tidak timbul penyakit Reaksi tes kulit tuberkulin positif,
Pemeriksaan bakteri negatif (bila
dilakukan). Tidak ada bukti klinis,
bakteriologik, atau radiografik TB aktif
3 TB, aktif secara klinis Biakan M. Tuberculosis (bila dilakukan)
Sekarang terdapat bukti klinis
bakteriologik, atau radiografik penyakit
4 TB, tidak aktif secara klinis Riwayat episode TB, atau Ditemukan
radiografi yang abnormal atau tidak
berubah; reaksi tes kulit tuberkulin
positif; dan Tidak ada bukti klinis atau
radiografik penyakit sekarang
5 Tersangka TB Diagnosa ditunda; pasien seharusnya tidak
boleh berada di kelas ini lebih
dari 3 bulan
5. Diagnosis
Tuberkulosis Diagnosis TBC paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya
BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif
apabila sedikitnya dua dari tiga spesimen SPS BTA hasilnya positif. Bila hanya 1 spesimen
yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan
dahak SPS diulang.
a. Kalau hasil rontgen mendukung TBC, maka penderita didiagnosis sebagai penderita TBC
BTA positif.
b. Kalau hasil rontgen tidak mendukung TBC, maka pemeriksaan dahak SPS diulangi.
c. Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita TBC BTA positif.
d. Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen dada, untuk mendukung
TBC, didiagnosis TBC.
e. Bila hasil rontgen mendukung TBC, didiagnosis sebagai penderita TBC BTA negatif
rontgen positif
f. Bila hasil rontgen tidak mendukung TBC, penderita tersebut bukan TBC.
6. Komplikasi
Komplikasi pada penderita TB Paru menurut (Alwi, 2017) adalah :
a. Komplikasi paru
atelektasis, hemoptisis, fibrosis, bronkiektasis, pneumotoraks, gagal napas
b. TB ekstra paru
pleuritis, efusi pleura, perikarditis, peritontis, tb kelenjar limfe, kor pulmoal
7. Cara Penularan
Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, pasien
menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk
dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan
dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah
percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat
bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Daya penularan seorang
pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat
kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor yang
memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam
udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Kemenkes RI, 2018)
8. Pengobatan
Pengobatan TB berupa pemberian obat antimikroba dalam jangka waktu lama. Obat-
obat ini juga dapat digunakan untuk mencegah timbulnya penyakit klinis pada seseorang yang
sudah terjangkit infeksi. Menurut ATS (Price, 2055), tiga prinsip dalam pengobatan TB yang
berdasarkan pada: (a) Regimen harus termasuk obat-obat multipel yang sensitif terhadap
mikroorganisme. (b) Obat-obatan harus diminum secara teratur; dan (c) Terapi obat harus
dilakukan terus menerus dalam waktu ang cukup untuk menghasilkan terapi yang paling
efektif dan paling aman dalam waktu yang paling singkat. Dan faktor penting untuk
keberhasilan pengobatan adalah ketaatan penderita dalam meminum regimen obat.
Menurut Connolly et al. (2015), penggunaan obat dengan jangka waktu yang lama ini
didasarkan pada sifat bakteri, dimana Mycobacterium Tuberculosis memiliki: antibiotic
indifference, biofilms, dormancy, latency, persisters, dan phenotypic antibiotic resistance.
Masing-masing sifat ini dijelaskan dibawah ini:
a. Antibiotic indifference adalah sub tipe resistensi bersifat fenotip terhadap antibiotik, yang
dikarenakan terjadi penurunan atau tidak adanya pertumbuhan bakteri pada koloni
bakteri. Umumnya merupakan respon terhadap kondisi lingkungan yang merugikan,
seperti adanya reaksi pertahanan host terhadap antibiotik.
b. Biofilms adalah pembungkus bakteri yang berbentuk multiseluler yang bertujuan untuk
mencegah antibiotik merusak gen bakteri.
c. Dormancy adalah kata lain dari saat tidak bereplikasi (nonreplicating).
Tujuannya untuk bisa menetap di dalam host, sehingga tidak dapat dikenali baik oleh
sistem imun maupun antibiotik. Karena pada saat tidak bereplikasi antibiotik tidak akan
bereaksi, dengan kata lain antibiotik dapat berfungsi ketika ada replikasi atau pergerakan
dari bakteri.Latency adalah infeksi Mycobacterium tuberculosis tanpa adanya gejala
secara klinis.
d. Persisters adalah kejadian dimana bakteri dapat meningkat dalam jumlah banyak dan
menurun atau bahkan tidak berkembang.
e. Phenotypic antibiotic resistance merupakan istilah umum untuk fenomena dimana
bakteri memiliki gen yang homogen dengan antibiotik sehingga antibiotik tidak sensitif
terhadap bakteri.
Pada dasarnya standar yang digunakan untuk pengobatan TB aktif membutuhkan waktu
selama 6 atau 9 bulan (CDC, 2012; Gough, 2011; WHO, 2015) dengan beberapa macam
farmakoterapi. Berikut 4 obat yang umum digunakan untuk pengobatan TB beserta dosisnya.
Reaksi peradangan
Limfosit T Makrofag Pnemunia akut
( reaksi hipersensitiv seluler )
(ghon )
Menyebar melalui
Dorman Hambatan replikasi basil kelenjar getah bening
Komplek primer
2) Pemeriksaan Diagnostik
a. Kultur sputum: Mikobakterium TB positif pada tahap akhir penyakit.
b. Tes Tuberkulin: Mantoux test reaksi positif (area indurasi 10-15 mm
terjadi 48-72 jam).
c. Poto torak: Infiltnasi lesi awal pada area paru atas; pada tahap dini tampak gambaran
bercak-bercak seperti awan dengan batas tidak jelas; pada kavitas bayangan, berupa
cincin; pada klasifikasi tampak
bayangan bercak-bercak padat dengan densitas tinggi.
d. Bronchografi: untuk melihat kerusakan paru
karena TB paru.
e. Darah: peningkatan leukosit dan Laju Endap Darah (LED).
f. Spirometri: penurunan fungsi paru dengan kapasitas vital menurun.
Brunner & Suddarth. 2012. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol 3. Jakarta:
EGC
Carpenito, L.J. 2015. Diagnosa Keperawatan, Aplikasi pada Praktik Klinis, edisi
6. Jakarta: EGC
Corwin, EJ. 2018. Buku Saku Patofisiologi, 3 Edisi Revisi. Jakarta: EGC
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis.Depkes RI : Jakarta.
Johnson, M., et all. 2015. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New
Jersey: Upper Saddle River
Mansjoer, A dkk. 2017. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius
Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second
Edition. New Jersey:Upper Saddle River
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam edisi ketiga. Balai Penerbit FKUI : Jakarta.
Santosa, Budi. 2017. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima
Medika
Tambayong, J. 2016. Patofisiologi untuk Keperawatan. EGC : Jakarta.