Adp Final Asuransi
Adp Final Asuransi
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kita sebagai manusia tak seorangpun mengetahui tentang apa yang akan terjadi di
masa datang secara sempurna walaupun menggunakan berbagai alat analisis. Hal ini
disebabkan karena di masa datang penuh dengan ketidakpastian. Jadi wajar jika
terjadinya sesuatu di masa datang hanya dapat direkayasa semata.Resiko di masa datang
dapat terjadi terhadap kehidupan seseorang misalnya kematian, sakit atau dipecat dari
pekerjaan. Dalam bisnis yang dihadapi dapat berupa resiko kebakaran, kerusakan atau
kehilangan. Setiap resiko yang akan dihadapi harus ditanggulangi, sehingga tidak
menimbulkan kerugian yang lebih besar lagi. Maka diperlukan perusahaan yang mau
menanggung resiko tersebut yaitu perusahaan asuransi. Di bidang bisnis inilah asuransi
semakin berkembang, terutama dalam hal perlindungan terhadap barang-barang
perdagangannya. Namun, perkembangan ini tidak sejalan dengan kesesuaian praktik
asuransi terhadap syariah. Meskipun demikian, dengan banyaknya kajian terhadap
praktik perekonomian dalam perspektif hukum Islam, asuransi mulai diselaraskan dengan
ketentuan-ketentuan syariah. Oleh karena itu muncullah Asuransi Syariah.
Sementara itu tentang usaha perasuransian sebagaimana diatur dalam Undang-
undang Nomor 2 Tahun 1992 belum memberikan dasar hukum bagi eksistensi usaha
perasuransian berdasarkan prinsip syariah. Hal ini misalnya saja dapat dilihat dari definisi
asuransi sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1 angka (1) dalam Undang-undang
Nomor 2 Tahun 1992, yaitu sebagai berikut:
“Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan
mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi
asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian,
kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum
kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu
peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan
atas meninggal atau hidupnya seseorang tertanggung”.
Dalam definisi mengenai asuransi tersebut masih terlihat adanya unsur yang dilarang
dalam Islam, yaitu unsur ketidakpastian (gharar) berupa memberikan penggantian kepada
tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan
atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita
tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti.
Sementara itu Islam menekankan bahwa setiap transaksi keuangan yang dilakukan
tidak boleh mengandung unsur yang dilarang, yaitu unsur perjudian (maisyir), unsur
ketidakpastian (gharar), unsur riba, unsur suap-menyuap (ryswah), dan unsur bathil.
Kelima unsur itu lebih dikenal dengan singkatan MAGHRIB. Dengan melihat definisi
mengenai asuransi yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa adanya belum
sesuai dengan prinsip-prinsip yang ada di dalam Islam, karena di dalamnya paling tidak
terdapat dua unsur yang dilarang dalam Islam yaitu unsur maisyir dan unsur gharar.
Untuk itu sementara orang Islam masih ragu, atau bahkan tidak mau mengikuti program
asuransi kerugian atau asuransi jiwa, karena di samping adanya kecenderungan hanya
1
menguntungkan salah satu pihak yakni perusahaan asuransi, juga karena di dalamnya
mengandung unsur-unsur yang diharamkan dalam Islam. Dengan demikian konsekuensi
yang timbul dengan mengikuti program asuransi konvensional bersifat ganda yakni dunia
dan akhirat yang sama-sama tidak menguntungkan.
Praktik usaha perasuransian yang mendasarkan pada prinsip syariah saat ini
berpedoman pada fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI) dan secara teknis
pengaturan ada di dalam beberapa Keputusan Menteri Keuangan (KMK) yang di
samping berlaku bagi usaha perasuransian konvensional, juga berlaku bagi usaha
perasuransian berdasarkan prinsip syariah. Adapun beberapa KMK dimaksud yaitu KMK
No. 422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi, KMK No. 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, serta KMK No. 426/KMK.06/2003
tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang permasalahan di atas masalah yang ada dapat
dirumuskan sebagai berikut:
“Bagaimana fungsi Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian dalam rangka untuk mengakselerasi perkembangan bisnis asuransi
umum syariah di Indonesia?”
2
BAB II
PEMBAHASAN
1. Al-Quran
c. Firman Allah tentang perintah untuk saling tolong menolong dalam perbuatan positif :
….dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada
Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. Al-Maidah [5] : 2).
3
2. Sunnah Nabi Muhammad SAW.
4
keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar tebusan tawanan dengan cara
yang adil diantara mukminin.
3. Ijtihada.
a. Fatwa Sahabat
Praktik sahabat berkenaan dengan pembayaran hukuman (ganti rugi) pernah
dilaksanakan oleh Khalifah kedua, Umar bin Khattab. Pada suatu ketika Khalifah Umar
memrintahkan agar daftar (diwan) saudara-saudara muslim disusun perdistrik. “Orang-
orang yang namanya tercantum dalam diwan tersebut berhak menerima bantuan satu
sama lain dan harus menyumbang untuk pembayaran hukuman (ganti rugi) atas
pembunuhan (tidak disengaja) yang dilakukan oleh salah seorang anggota masyarakat
mereka. Umarlah orang yang pertama kali mengeluarkan perintah untuk
menyiapkandaftar secara professional perwilayah, dan orang-orang yang terdaftar
diwajibkan saling menggung beban.
b. Ijma
Para sahabat telah melakukan ittifaq (kesepakatan) dalam hal aqilah yang dilakukan
oleh Khalifah Umar bin Khattab. Adanya ijma atau kesepakatan ini tampak dengan tidak
adanya sahabat lain yang menentang pelaksanaan aqilah ini. Aqilah adalah iuran darah
yang dilakukan oleh keluarga dari pihak laki-laki (ashabah) dari si pembunuh ( orang
yang menyebabkan kematian orng lain secara tidak sewenang-wenang). Dalam hal ini,
kelompoklah yang menanggung pembayarannya karena si pembunuh merupakan anggota
dari kelompok tersebut. Dengan tidak adanya Sahabat yang menentang Kholifah Umar,
dapat disimpulkan bahwa telah terdapat ijmadi kalangan Sahabat Nabi SAW. mengenai
persoalan ini.
c. Qiyas
Yang dimaksud dengan qiyas adalah metode ijtihad dengan jalan menyamakan hukum
suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya di dalam Al-Quran dan As-Sunnah atau Al-
Hadis dengan hal lain yang hukumnya disebut dalam Al-Quran dan As-Sunah/Al-Hadis
karena persamaan illat (penyebab atau alasannya). Dalam kitab Fathul Bari, disebutkan
bahwa dengan datangnya Islam sistem aqilah diterima Rasulullah SAW. menjadi bagian
dari hukum Islam. Ide pokok dari aqilah adalah suku Arab zaman dahulu harus siap untuk
melakukan kontribusi finansialatas nama si pembunuh untuk membayar ahli waris
korban. Kesiapan untuk membayar kontribusi keuangan ini sama dengan pembayaran
premi pada praktik asuransi syariah saat ini. Jadi, jika dibandingkan permasalahan
asuransi syariah yang ada pada saat ini dapat di-qiyas-kan dengan sistem aqilahyang telah
diterima di masa Rasullah.
d. Istihsan
Istihsan adalah cara menentukan hukum dengan jalan menyimpang dari ketentuan
yang sudah ada demi keadilan dan kepentingan ssial. Dalam pandangan ahli ushul fiqh
adalah memandang sesuatu itu baik. Kebaikan dari kebiasaan aqilah di kalangan suku
Arab kuno terletak pada kenyataan bahwa sistem aqilah apat berdarah yang
berkelanjutan.
5
B. Lingkup Pengaturan Usaha Perasuransian Via Undang-undang Nomor 2
Tahun 1992
Bentuk hukum dari usaha perasuransian yang diperkenankan dalam kontek hukum
positif Indonesia terdiri Perusahaan Perseroan, Koperasi, dan Usaha Bersama (mutual).
Dengan demikian secara kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
juga tunduk pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
yang telah diganti dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas, serta Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, di
samping Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian.
Dengan melihat definisi di atas, maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa asuransi
termasuk dalam jenis perjanjian timbal balik, dimana masing-masing pihak yang ada
didalamnya yakni penanggung dan tertanggung memiliki hak dan kewajiban secara
timbal balik berupa prestasi tertentu. Untuk itu, maka berlakulah ketentuan yang ada
dalam Pasal 1338 dan 1320 KUHPerdata. Pasal 1338 KUHPerdata intinya menyatakan
bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku mengikat seperti undang-undang bagi
pihak-pihak yang mengadakannya dan padanya tidak boleh diputuskan secara sepihak,
serta harus dilaksanakan dengan penuh itikad baik. Perjanjian sah adalah perjanjian yang
memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana dapat dibaca dalam Pasal 1320
6
KUHPerdata, yaitu terdapat kesepakatan bebas antara kedua belah pihak, adanya
kecakapan bertindak secara hukum, adanya obyek tertentu yang diperjanjikan, dan
adanya suatu kausa/sebab yang halal.
Adanya asuransi atau pertanggungan yang diatur secara khusus dalam KUHD,
maka berlakulah asas lex specialis derogat lege generalis. Berlakunya asas ini secara
tegas tercantum dalam Pasal 1 KUHD yang intinya menyatakan bahwa sepanjang tidak
diatur secara khusus dalam kitab undang-undang ini, maka berlakulah ketentuan yang
ada dalam KUHPerdata.
a. Bidang Usaha, Jenis Usaha, Ruang Lingkup Usaha, serta Bentuk Hukum Usaha
Perasuransian;
b. Obyek Asuransi;
c. Kepemilikan dan Perizinan Usaha Perasuransian;
d. Pembinaan dan Pengawasan;
e. Kepailitan dan Likuidasi; dan
f. Ketentuan Pidana.
Kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 2 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992
disebutkan bahwa usaha perasuransian merupakan kegiatan usaha yang bergerak di
bidang:
a. Usaha asuransi, yaitu usaha jasa keuangan yang dengan menghimpun dana
masyarakat melalui pengumpulan premi asuransi memberikan perlindungan kepada
anggota masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap kemungkinan timbulnya
kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup atau
meninggalnya seseorang.
Adapun jenis usaha perasuransian meliputi usaha asuransi yang terdiri dari:
Pertama, usaha asuransi kerugian yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko
atas kerugian, kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang
timbul dari peristiwa yang tidak pasti; Kedua, usaha asuransi jiwa yang memberikan jasa
dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang
yang dipertanggungkan; Ketiga, usaha reasuransi yang memberikan jasa dalam
7
pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi Kerugian
dan atau Perusahaan Asuransi Jiwa.
Sedangkan jenis usaha penunjang asuransi terdiri dari: Pertama, usaha pialang
asuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam penutupan asuransi dan penanganan
penyelesaian ganti rugi asuransi dengan bertindak untuk kepentingan tertanggung;
Kedua, usaha pialang reasuransi yang memberikan jasa keperantaraan penempatan
reasuransi dan penanganan penyelesaian ganti rugi reasuransi dengan bertindak untuk
kepentingan perusahaan asuransi; Ketiga, usaha penilai kerugian asuransi yang
memberikan jasa penilaian terhadap kerugian pada obyek asuransi yang
dipertanggungkan; Keempat usaha konsultan aktuaria yang memberikan jasa konsultan
aktuaria; dan Kelima, usaha agen asuransi yang memberikan jasa keperantaraan dalam
rangka pemasaran jasa asuransi untuk dan atas nama penanggung.
Dengan demikian tujuan asuransi yang secara implisit diatur dalam Undang-undang
Nomor 2 Tahun 1992 pada prinsipnya berupa pengalihan risiko, pembayaran ganti
kerugian, pembayaran santunan, dan untuk kesejahteraan anggota.
Konsep pengalihan risiko (transfer of risk) inilah yang juga dianggap tidak sesuai
untuk diterapkan dalam asuransi syariah yang menghendaki adanya pembagian risiko
(sharing of risk). Untuk itu dapat dikatakan bahwa pengaturan asuransi umum syariah
melalui undang-undang ini dirasakan belum tepat dan belum sesuai dengan yang
seharusnya, sehingga adanya amandemen terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1992 tentang Usaha Perasuransian merupakan sautu keniscayaan untuk memajukan usaha
perasuransian di Indonesia, khususnya usaha perasuransian yang berdasarkan prinsip
syariah.
8
C. Regulasi Terhadap Bisnis Asuransi Umum Syariah di Indonesia Saat Ini
1. Sejarah Singkat
Perkembangan berikutnya dari asuransi syariah juga cukup signifikan yaitu dengan
munculnya beberapa perusahaan asuransi konvensional yang membuka layanan asuransi
syariah melalui mekanisme Islamic Window. Perusahaan asuransi umum yang membuka
layanan syariah melalui mekanisme Islamic Window ini antara lain adalah PT Asuransi
Umum Bumiputeramuda 1967.
9
Perasuransian. Undang-undang ini tidak memadahi jika dijadikan sebagai dasar hukum
bagi usaha perasuransian yang berdasarkan prinsip syariah, kecuali dari segi
kelembagaannya.
Untuk itu regulasi bagi bisnis asuransi umum berdasarkan prinsip syariah, dasar
pijakan awalnya berupa fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-
MUI), dan kemudian setelah itu muncullah peraturan perundang-undangan berupa
Keputusan Menteri Keuangan (KMK), serta lebih teknis lagi berupa Keputusan
Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan (DJLK) dimana di dalamnya telah memasukkan
nilai-nilai syariah.
Secara umum perihal asuransi syariah ini mempunyai dua fungsi yaitu fungsi bisnis
(tijarah) dan fungsi sosial (tabarru’). Untuk fungsi tijarah, maka para pihak dapat
menerapkan akad mudharabah musytarakah dan akad wakalah bil ujrah, sedangkan
untuk fungsi tabarru’ para pihak dapat menerapkan akad akad tabarru’ yang merupakan
akad yang harus melekat pada semua produk asuransi. Adapun pengertian tabarru’
sendiri adalah akad yang dilakukan dalam bentuk hibah dengan tujuan kebajikan dan
tolong menolong antar peserta, bukan untuk tujuan komersial an sich.
Akad atau perjanjian yang menjadi dasar bagi setiap transaksi, termasuk dalam
asuransi atau yang lazim disebut dengan polis dalam hal ini harus disesuaikan dengan
prinsip-prinsip syariah. Untuk itu maka dalam pembuatan polis asuransi dapat
menerapkan akad-akad tradisional Islam, baik itu akad tijarah maupun akad tabarru.
10
422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi dan KMK No. 426/KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. KMK inilah yang menjadi dasar dalam
pendirian asuransi syariah sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 3 KMK No.
426/KMK.06/2003 yang menyebutkan bahwa: “Setiap pihak dapat melakukan usaha
asuransi atau usaha reasuransi berdasarkan prinsip syariah....”
Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi syariah tercantum dalam Pasal 3-4
mengenai persyaratan dan tatacara memperoleh izin usaha perusahaan asuransi dan
perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah. Kemudian Pasal 33 mengenai pembukaan
kantor cabang dengan prinsip syariah dari perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi
dengan prinsip syariah.
Cara melakukan usaha asuransi atau reasuransi berdasarkan Prinsip Syariah dapat
dilakukan dengan melalui beberapa cara. Hal ini tertuang dalam Pasal 3 KMK No.
426/KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi, yaitu sebagai berikut:
c. Pendirian kantor cabang baru dengan Prinsip Syariah dari Perusahaan Asuransi
dengan prinsip konvensional atau Perusahaan Asuransi dengan prinsip
konvensional; atau
11
dengan prinsip konvensional menjadi kantor cabang dengan Prinsip Syariah dari
Perusahaan Reasuransi dengan prinsip konvensional.
Berdasarkan ketentuan di atas, secara ringkas dapat dikatakan bahwa setiap orang
dapat mendirikan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi melalui tiga macam
cara, yaitu:
a. Pendirian baru
c. Islamic Windows, yaitu dengan pendirian kantor cabang baru dengan prinsip syariah
di Perusahaan Asuransi/Perusahaan Reasuransi Konvensional, atau melalui konversi
cabang konvensional ke cabang syariah
Di samping itu dalam rangka pendirian atau konversi Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah harus pula menyampaikan:
a. Bukti pendukung bahwa tenaga ahli yang dipekerjakan memiliki keahlian di bidang
asuransi dan atau ekonomi syariah;
c. Bukti pengesahan Dewan Pengawas Syariah Perusahaan atas produk asuransi yang
akan dipasarkan yang sekurang-kurangnya meliputi:
1) dasar perhitungan tarif premi, cadangan premi, dan asset share atau profit testing
bagi Perusahaan Asuransi Jiwa;
2) dasar perhitungan tarif premi, cadangan premi, dan proyeksi underwriting bagi
Perusahaan Asuransi Kerugian;
12
3) cara pemasaran;
f. Bukti pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) bagi konversi
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf b.
Ketentuan lain yang harus diperhatikan kaitannya dengan usaha asuransi dengan
Prinsip Syariah dalam bentuk kantor cabang ialah adanya keharusan untuk melakukan
pemisahan kekayaan dan kewajiban usaha asuransi dengan Prinsip Syariah dari
kekayaan dan kewajiban usaha asuransi dengan prinsip konvensional. Hal ini berlaku
baik bagi Perusahaan Asuransi ataupun Perusahaan Reasuransi
Secara empiris mengenai produk yang ada di dalam asuransi syariah dapat dilihat
pada produk yang disediakan oleh PT. Asuransi Umum Bumiputeramuda 1967 Syariah,
yaitu:
13
a. Pengertian Asuransi
Ketentuan mengenai kegiatan asuransi (pertanggungan) dalam KUHPerdata diatur
dalam bab kelima belas tentang perjanjian untuk untungan, yaitu di
Menurut Undang-Undang No.2 Tahun 1992 Pasal 1 :
“Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih,
dengan mana pihak Penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima
premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian,
kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum
kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu
peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan
atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan”.
b. Pandangan Islam mengenai asuransi syari’ah terhadap peraturan yang berlaku pasal
1774 KUHPerdata. Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa perjanjian pertanggungan
dikelompokkan dalam kelompok perjanjian untung-untungan. Untuk asuransi Syari’ah,
pasal 1774 KUHPerdata ini tidak dapat dijadikan dasar hukum karena ada unsur judi
(maisir) yaitu adanya unsur untung-rugi yang digantungkan pada kejadian yang belum
tentu.
Efinisi asuransi dalam KUHD terdapat dalam Bab Kesembilan tentang asuransi
atau pertanggungan pada umumnya yaitu pasal 246 yang dapat disimpulkan perjajian
asuransi dipersamakan dengan perjanjian tukar menukar dengan pertimbangan untung
rugi. Berdasarkan pasal ini, bila tertanggung memutuskan perjanjian sebelum waktunya,
maka akan kehilangan seluruh atau sebagian besar premi yang telah dibayarkan. Pada
asuransi Syari’ah, perjanjian yang digunakan adalah tolong menolong bukan tukar
menukar.
e. Pembaharuan UU asuransi
Penyusunan Rancangan UU Asuransi merupakan kesempatan emas untuk
mendudukkan UU Asuransi sebagai ketentuan hukum yang akan mengisi kekosongan
14
dan kekurangan dalam KUH Perdata dan KUH Dagang yang entah kapan dapat
diperbaharui mengingat keduanya mengatur aspek yang lebih luas dari sebatas sektor
asuransi. Pembaruan UU Asuransi dapat memuat tujuan pertumbuhan dan pengembangan
usaha serta peningkatan daya saing industri asuransi nasional yang dikehendaki,
penyediaan jasa perlindungan asuransi yang komprehensif sesuai dengan kebutuhan
masyarakat, adanya praktik bisnis asuransi yang sehat yang memperhatikan hak dan
kepentingan semua pihak.
Sebagai contoh, penerapan asas keseimbangan kepentingan dalam
penyusunannya, akan mengawal landasan dasar nilai-nilai hukum yang akan memberikan
kekuatan ekstra menghadapi kemungkinan pergeseran dari tujuan awal. Keberadaan asas
ini akan melahirkan pembangunan daya saing yang berlandaskan visi dan misi yang
menjadi milik masyarakat.
Pembaruan perlu juga diarahkan untuk membentuk masyarakat yang menghargai
peranan perlindungan asuransi dan menjadikan asuransi sebagai bagian dari gaya hidup
mereka, membangun industri asuransi yang kokoh yang menguasai pasar dalam negeri
dan menjadi salah satu pelaku asuransi terkemuka di kawasan Asean.
Asuransi juga diharapkan mandiri dan berperan penting dalam perekonomian
nasional serta menjadikan Indonesia sebagai tujuan investasi asing yang menarik dalam
usaha perasuransian.
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Semoga dengan membaca makalah ini pembaca bisa dengan mudah mempelajari
bagaimana undang-undang nomor 2 tahun 1999 tentang Usaha Perasuransian dalam
rangka untuk mengakselerasi perkembangan bisnis asuransi umum syariah di Indonesia
dan kesinambungan dengan hukum islam yang berlaku di Indonesia dewasa ini.
Kami menyadari dalam penulisan makalah ini masiih banyak kesalahan dan
kekurangan, untuk itu kami sangat mengharapkan kritikan dan saran yang membangun
dari para pembaca, agar nantinya dapat menjadi masukan bagi kami untuk menjadi yang
lebih baik di waktu yang akan datang, Terima kasih.
16
DAFTAR PUSTAKA
Ghoffar Abdul, Fiqih, Pustaka al-Kautsar, Jakarta: 2006
Umam Khotibul, S.H, urgensi amandemen terhadap UU NO. 2 thn 1999 tentang usaha
perasuransian dalam rangka akselerasi perkembangan bisnis suransi umum syariah.
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, cet. 7, PT RajaGrafmdo Persada, Jakarta 1999,
17