Oleh
Widya Ningtyas
NIM 152310101305
UNIVERSITAS JEMBER
2018
BAB 1. PENDAHULUAN
Sistem persarafan terdiri dari sel-sel saraf yang disebut neuron dan jaringan
penunjang yang disebut neuroglia . Tersusun membentuk sistem saraf pusat (SSP)
dan sistem saraf tepi (SST). SSP terdiri atas otak dan medula spinalis sedangkan
sistem saraf tepi merupakan susunan saraf diluar SSP yang membawa pesan ke
dan dari sistem saraf pusat. Sistem persarafan berfungsi dalam mempertahankan
kelangsungan hidup melalui berbagai mekanisme sehingga tubuh tetap mencapai
keseimbangan. Stimulasi yang diterima oleh tubuh baik yang bersumber dari
lingkungan internal maupun eksternal menyebabkan berbagai perubahan dan
menuntut tubuh dapat mengadaptasi sehingga tubuh tetap seimbang. Upaya tubuh
dalam mengadaptasi perubahan berlangsung melalui kegiatan saraf yang dikenal
sebagai kegiatan refleks. Bila tubuh tidak mampu mengadaptasinya maka akan
terjadi kondisi yang tidak seimbang atau sakit.
Fungsi Saraf
1. Menerima informasi (rangsangan) dari dalam maupun dari luar tubuh
melalui saraf sensori . Saraf sensori disebut juga Afferent Sensory Pathway.
2. Mengkomunikasikan informasi antara sistem saraf perifer dan sistem saraf
pusat.
3. Mengolah informasi yang diterima baik ditingkat medula spinalis maupun di
otak untuk selanjutnya menentukan jawaban atau respon.
4. Mengantarkan jawaban secara cepat melalui saraf motorik ke organ-organ
tubuh sebagai kontrol atau modifikasi dari tindakan. Saraf motorik disebut juga
Efferent Motorik Pathway.
1.2 Definisi
1.3 Epidemiologi
1.4 Etiologi
Clostridium tetani merupakan basil berbentuk batang bersifat anaerob,
membentuk spora (tahan panas), gram positif, mengeluarkan eksotoksin yang
bersifat neurotoksin (yang efeknya mengurangi aktivitas kenali SSP), patogenesis
bersimbiosis dengan mikroorganisme piogenik (pyogenic).
Basil ini banyak ditemukan pada kotoran kuda, usus kuda dan tanah yang
dipupuk kotoran kuda. Penyakit tetanus banyak terdapat pada luka dalam, luka
tusuk, luka dengan jaringan mati (corpus alienum) karena merupakan kondisi
yang baik untuk polferasi kuman anaerob. Luka dengan infeksi piogenik di mana
bakteri piogenik mengonsumsi eksogen pada luka sehingga suasana menjadi
anaerob yang penting bagi tumbuhnya basil tetanus. (Batticaca F.2008)
1.5 Klasifikasi
2. Cephalic Tetanus
Cephalic tetanus Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa
inkubasi berkisar 1–2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti
dilaporkan di India ), luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda
asing dalam rongga hidung
Terpapar kuman
Clostridium
Eksotoksin
Menempel pada
Tonus otot Mengenai saraf simpatis
cerebral ganglioside
Hipoksia berat
(Batticaca F.2008.)
1. Masa inkubasi Clostridium tetani adalah 4-21 hari. Semakin lama masa
inkubasi, maka prognosisnya semakin baik. Masa inkubasi tergantung dari
jumlah bakteri, virulensi dan jarak tempat masuknya kuman (port d’entre)
dengan SSP. Semakin dekat luka dengan SSP maka prognosisnya akan
semakin serius dan semakin jelek. Misalnya, luka di telapak kaki dan
leherbila sama-sama terserang basil tetanus, yang lebih baik prognosisnya
adalah luka yang di kaki.
2. Timbulnya gejala biasanya mendadak, didahului dengan ketegangan otot
terutama pada rahang dan leher.
3. Sulit membuka mulut (trismus)
4. Kaku kuduk
5. Badan kaku dengan epistotanus, tungkai dalam mengalami ekstensi, lengan
kaku dan mengepal
6. Kejang tonik
7. Kesadaran biasanya tetap baik
8. Asfiksia dan sianosis akibat kontraksi otot, retensi urin bahkan dapat terjadi
fraktur kolumna vertebralis (pada anak) akibat kontraksi otot yang sangat
kuat
9. Demam ringan (biasanya pada stadium akhir)
(Batticaca F.2008)
1. Anamnesis
a. Lokasi luka
b. Penyebab luka (pernah kena karat, jatuh, kecelakaan kendaraan
bermotor, dan jatuh di jalan dekat kotoran kuda, berkelahi dekat
kandang kuda, hobi yang berhubungan dengan kuda dan kotoran
kuda).
c. Luka sebelumnya (ada otitis media, karies gigi)
d. Pernah diberi ATS/Toxoid dan semacamnya
2. Amati gejala-gejala yang tampak (misalnya sakit saat menelan, sulit
bernapas, sulit atau tidak dapat berkemih dan lainnya.
3. Pemeriksaan laboratorium
a. Biasanya terdapat leukositosis ringan
b. Kadang-kadang terjadi peningkatan TIK
c. Pada pemeriksaan bakteriologis (kultur jaringan) di daerah luka
ditemukan Clostridium tetani
1. Imunisasi aktif dengan pemberian DPT, booster dose (untuk balita). Jika
terjadi luka lagi, booster ulang.
2. Imunisasi pasif, pemberian ATS profilaksis 1500-4500 UI (dapat
bertahan 7-10 hari). Pemberian imunisasi ini sering menyebabkan syok
anafilaksis sehingga harus dilakukan skin test terlebih dahulu. Jika pada
lokasi skin test tidak terjadi kemerahan, gatal dan pembengkakak maka
imunisasi dapat diinjeksikan, anak-anak diberikan setengah dosis (750-
1250 UI) HyperTest 250 UI dan dosis untuk anak-anak diberikan
setengahnya (125 UI) bila tidak tahan ATS.
3. Pencegahan pada luka, toiletisasi (pembersih luka) memakai pehidrol
(hidrogen peroksida—H2O2), debridemen, bilas dengan NaCl dan jahit
4. Injeksi penisilin (terhadap basil anaerob dan hasil simbiosis)
Tujuan terapi ini berupa megeliminasi kuman tetani, menetralisirkan
peredarantoksin, mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pemafasan
sampai pulih. Dan tujuan tersebut dapat diperinci sbb :
3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap
penderita
2.1 Pengkajian
1. Biodata/Identitas
Biodata klien mencakup nama, umur, jenis kelamin. Biodata dipertanyakan untuk
mengetahui status sosial anak meliputi nama, umur, agama, suku/bangsa,
pendidikan, pekerjaan, penghasilan, alamat.
2. Keluhan utama kejang
Riwayat Penyakit (Darto Suharso, 2000)
3. Riwayat penyakit yang diderita sekarang tanpa kejang ditanyakan :
Apakah disertai demam ?
Dengan mengetahui ada tidaknya demam yang menyertai kejang, maka diketahui
apakah infeksi memegang peranan dalam terjadinya bangkitan kejang. Jarak
antara timbulnya kejang dengan demam, Lama serangan, lama bangkitan kejang
kita dapat mengetahui kemungkinan respon terhadap prognosa dan pengobatan.
Pola serangan Perlu diusahakan agar diperoleh gambaran lengkap mengenai pola
serangan apakah bersifat umum, fokal, tonik, klonik ?
Apakah serangan berupa kontraksi sejenak tanpa hilang kesadaran seperti epilepsi
mioklonik ?
Apakah serangan berupa tonus otot hilang sejenak disertai gangguan kesadaran
seperti epilepsi akinetik ?
Apakah serangan dengan kepala dan tubuh mengadakan flexi sementara tangan
naik sepanjang kepala, seperti pada spasme infantile ?
Pada kejang demam sederhana kejang ini bersifat umum.
Frekuensi serangan
Apakah penderita mengalami kejang sebelumnya, umur berapa kejang terjadi
untuk pertama kali, dan berapa frekuensi kejang per tahun. Prognosa makin
kurang baik apabila kejang timbul pertama kali pada umur muda dan bangkitan
kejang sering timbul.
Keadaan sebelum, selama dan sesudah serangan
Sebelum kejang perlu ditanyakan adakah rangsangan tertentu yang dapat
menimbulkan kejang, misalnya lapar, lelah, muntah, sakit kepala dan lain-lain.
Dimana kejang dimulai dan bagaimana menjalarnya. Sesudah kejang perlu
ditanyakan apakah penderita segera sadar, tertidur, kesadaran menurun, ada
paralise, dan sebagainya ?
1. B1 (Breathing)
Inspeksi: apakah klien batuk, produksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot
bantu nafas dan peningkatan frekuensi pernafasan.
2. B 2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan syok hipolemik. Tekanan
darah normal, peningkatan heart rate, adanya anemis karena hancurnya eritrosit
3. B3 (Brain)
a. Tingkat kesadaran
Compos mentis, pada keadaan lanjut mengalami penurunan menjadi letargi,
stupor dan semikomatosa.
b. Fungsi serebri
Mengalami perubahan pada gaya bicara, ekspresi wajah dan aktivitas motorik.
d. Sistem motorik
Kekuatan otot menurun, kontrol keseimbangan dan koordinasi mengalami
perubahan.
e. Pemeriksaan refleks
Refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau periosteum derajat
refleks pada respon normal.
f. Gerakan involunter
Tidak ditemukan tremor, Tic, dan distonia. Namun dalam keadaan tertentu terjadi
kejang umum, yang berhubungan sekunder akibat area fokal kortikal yang peka
4. B 4 (Bladder)
Penurunan volume haluaran urine berhubungan dengan penurunan perfusi dan
penurunan curah jantung ke ginjal.
5. B 5 (Bowel)
Mual muntah karena peningkatan asam lambung, nutrisi kurang karena anoreksia
dan adanya kejang (kaku dinding perut / perut papan. Sulit BAB karena spasme
otot.
6. B 6 (Bone)
Gangguan mobilitas dan aktivitas sehari-hari karena adanya kejang umum.
2.4 Evaluasi