Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

DENGAN TETANUS DI RUANG ANGGREK

RSD BALUNG JEMBER

Oleh

Widya Ningtyas

NIM 152310101305

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS JEMBER

2018
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Anatomi Fisiologi

Sistem persarafan terdiri dari sel-sel saraf yang disebut neuron dan jaringan
penunjang yang disebut neuroglia . Tersusun membentuk sistem saraf pusat (SSP)
dan sistem saraf tepi (SST). SSP terdiri atas otak dan medula spinalis sedangkan
sistem saraf tepi merupakan susunan saraf diluar SSP yang membawa pesan ke
dan dari sistem saraf pusat. Sistem persarafan berfungsi dalam mempertahankan
kelangsungan hidup melalui berbagai mekanisme sehingga tubuh tetap mencapai
keseimbangan. Stimulasi yang diterima oleh tubuh baik yang bersumber dari
lingkungan internal maupun eksternal menyebabkan berbagai perubahan dan
menuntut tubuh dapat  mengadaptasi sehingga tubuh tetap seimbang. Upaya tubuh
dalam mengadaptasi perubahan berlangsung melalui kegiatan saraf yang dikenal 
sebagai kegiatan refleks. Bila tubuh tidak mampu mengadaptasinya maka akan
terjadi kondisi yang  tidak seimbang atau sakit.
Fungsi Saraf
1.      Menerima informasi (rangsangan) dari dalam maupun dari luar tubuh
melalui saraf sensori . Saraf sensori disebut juga Afferent Sensory Pathway.
2.      Mengkomunikasikan informasi antara sistem saraf perifer dan sistem saraf
pusat.
3.      Mengolah informasi yang diterima baik ditingkat medula spinalis maupun di
otak untuk selanjutnya menentukan jawaban  atau respon.
4.      Mengantarkan jawaban secara cepat melalui saraf motorik ke organ-organ
tubuh sebagai kontrol atau modifikasi dari tindakan. Saraf motorik disebut juga
Efferent Motorik Pathway.

Medula spinalis merupakan perpanjangan medula oblongata ke arah kaudal di


dalam kanalis vertebralis mulai setinggi cornu vertebralis cervicalis I memanjang
hingga setinggi cornu vertebralis lumbalis I - II. Terdiri dari 31 segmen yang
setiap segmennya terdiri dari satu pasang saraf spinal. Dari medula spinalis bagian
cervical keluar 8 pasang , dari bagian thorakal 12 pasang, dari bagian lumbal 5
pasang dan dari bagian sakral 5 pasang serta dari coxigeus keluar 1 pasang saraf
spinalis.
Salah satu fungsi medula spinalis sebagai sistem saraf pusat adalah sebagai pusat
refleks. Fungsi tersebut diselenggarakan oleh substansia grisea medula spinalis.
Refleks adalah jawaban individu terhadap rangsang, melindungi tubuh terhadap
pelbagai perubahan yang terjadi baik dilingkungan internal maupun di lingkungan
eksternal. Kegiatan refleks  terjadi melalui suatu jalur tertentu yang disebut
lengkung refleks

Fungsi medula spinalis


1.      Pusat gerakan otot tubuh terbesar yaitu dikornu motorik atau kornu ventralis.
2.      Mengurus kegiatan refleks spinalis dan refleks tungkai
3.      Menghantarkan rangsangan koordinasi otot dan sendi menuju cerebellum
4.      Mengadakan komunikasi antara otak dengan semua bagian tubuh.

1.2 Definisi

Tetanus (lokjaw) adalah penyakit yang ditimbulkan oleh infeksi Clostridium


tetani, ditandai oleh spasme otot yang tidak terkendali akibat kerja neurotoksin
kuat, yaitu tetanospasmin, yang dihasilkan bakteri ini. Penyakit ini sering kali
fatal, terutama pada umur sangat muda atau sangat lanjut dan dapat dicegah
dengan imunisasi. Penyakit ini terjadi terutama di negara berkembang pada
neonatus, anak, dan dewasa muda. Tetapi masih ditemukan di Amerika Serikat,
khusunya pada orang dewasa di atas umur 50 tahun yang tidak diimunisasi atau
diimunisasi tetapi tidak adekuat. (Sylvia YM.2009)

1.3 Epidemiologi

Di negara yang telah maju seperti Amerika Serikat,tetanus sudah sangat


jarang dijumpai, karena imunisasi aktif telah dilaksanakan dengan baik disamping
sanitasi lingkungan yang bersih, akan tetapi di negara sedang berkembang
termasuk Indonesia penyakit ini masih banyak dijumpai, hal inidisebabkan karena
tingkat kebersihan masih sangat kurang, mudah terjadi kontaminasi, perawatan
luka kurang diperhatikan, kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya
kebersihan dan kekebalan terhadap tetanus. Penyakit ini dapat mengenai semua
umur. Di Amerika Serikat pada tahun 1915 dilaporkan bahwa kasus tetanus yang
terbanyak pada umur 1:5 tahun, sesuai dengan yang dilaporkan di Manado (1987)
dan surabaya (1987) ternyata insiden tertinggi pada anak di atas umur 5 tahun.
Perkiraan angka kejadian umur rata–rata pertahun sangat meningkat sesuai
kelompok umur, peningkatan 7 kali lipat pada kelompok umur 5–19 tahun dan20–
29 tahun, sedangkan peningkatan 9 kali lipat pada kelompok umur 30–39 tahun
dan umur lebih 60 tahun. Beberapa peneliti melaporkan bahwa angka kejadian
lebih banyak dijumpa pada anak laki–laki; dengan perbandingan 3:1

1.4 Etiologi
Clostridium tetani merupakan basil berbentuk batang bersifat anaerob,
membentuk spora (tahan panas), gram positif, mengeluarkan eksotoksin yang
bersifat neurotoksin (yang efeknya mengurangi aktivitas kenali SSP), patogenesis
bersimbiosis dengan mikroorganisme piogenik (pyogenic).

Basil ini banyak ditemukan pada kotoran kuda, usus kuda dan tanah yang
dipupuk kotoran kuda. Penyakit tetanus banyak terdapat pada luka dalam, luka
tusuk, luka dengan jaringan mati (corpus alienum) karena merupakan kondisi
yang baik untuk polferasi kuman anaerob. Luka dengan infeksi piogenik di mana
bakteri piogenik mengonsumsi eksogen pada luka sehingga suasana menjadi
anaerob yang penting bagi tumbuhnya basil tetanus. (Batticaca F.2008)

1.5 Klasifikasi

Ada tiga bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni


1. Localited tetanus (TetanusLokal )
Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada daerah
tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis,dan fixator). Hal inilah merupakan
tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa bertahan
dalam beberapa bulan tanpa progressif dan biasanya menghilang secara bertahap.
Lokal tetanus ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi dalam bentuk
yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisa juga lokal tetanus ini
dijumpai sebagai prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal
ini terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis antitoksin.

2. Cephalic Tetanus

Cephalic tetanus Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa
inkubasi berkisar 1–2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti
dilaporkan di India ), luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda
asing dalam rongga hidung

3. Generalized tetanus (Tctanus umum)


Generalized Tetanus Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan
komplikasi yang tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul
secara diam-diam. Trismus merupakan gejala utama yang sering dijumpai ( 50
%), yang disebabkan oleh kekakuan otot-otot masseter, bersamaandengan
kekakuan otot leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan
menelan. Gejala lain berupa Risus Sardonicus (Sardonic grin) yakni spasme otot-
otot muka,opistotonus ( kekakuan otot punggung),kejang dinding perut. Spasme
dari laring dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas,
sianose asfiksia. Bisa terjadi disuria dan retensi urine, kompressi fraktur dan
pendarahan didalam otot. Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi
begitupun bisa mencapai 40 C. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi,
tekanan darah tidak stabil dan dijumpai takhikardia, penderita biasanya
meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis
1.6 Patofisiologi

Tetanus disebabkan oleh eksotoksin Clostridium tetani, bakteri bersifat


obligat anaerob. Bakteri ini terdapat di mana-mana, mampu bertahan di berbagai
lingkungan ekstrim dalam periode lama karena sporanya sangat kuat. Clostridium
tetani telah diisolasi dari tanah, debu jalan, feses manusia dan binatang. Bakteri
tersebut biasanya memasuki tubuh setelah kontaminasi pada abrasi kulit, luka
tusuk minor, atau ujung potongan umbilikus pada neonatus; pada 20% kasus,
mungkin tidak ditemukan tempat masuknya. Bakteri juga dapat masuk melalui
ulkus kulit, abses, gangren, luka bakar, infeksi gigi, tindik telinga, injeksi atau
setelah pembedahan abdominal/pelvis, persalinan dan aborsi. Jika organisme ini
berada pada lingkungan anaerob yang sesuai untuk pertumbuhan sporanya, akan
berkembang biak dan menghasilkan toksin tetanospasmin dan tetanolysin.
Tetanospasmin adalah neurotoksin poten yang bertanggungjawab terhadap
manifestasi klinis tetanus, sedang-kan tetanolysin sedikit memiliki efek klinis.

Terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan penyebaran toksin ke


susunan saraf pusat: (1) Toksin diabsorpsi di neuromuscular junction, kemudian
bermigrasi melalui jaringan perineural ke susunan saraf pusat, (2) Toksin melalui
pembuluh limfe dan darah ke susunan saraf pusat. Masih belum jelas mana yang
lebih penting, mungkin keduanya terlibat. Pada mekanisme pertama, toksin yang
berikatan pada neuromuscular junction lebih memilih menyebar melalui saraf

motorik, selanjutnya secara transinaptik ke saraf motorik dan otonom yang


berdekatan, kemudian ditransport secara retrograd menuju sistem saraf pusat.
Tetanospasmin yang merupakan zinc-dependentendopeptidase memecah vesicle-
associated membrane protein II (VAMP II atau synaptobrevin) pada suatu ikatan
peptida tunggal. Molekul ini penting untuk pelepasan neurotransmiter di sinaps,
sehingga pemecahan ini mengganggu transmisi sinaps. Toksin awalnya
mempengaruhi jalur inhibisi, mencegah pelepasan glisin dan γ-amino butyric acid
(GABA). Pada saat interneuron menghambat motor neuron alpha juga terkena
pengaruhnya, terjadi kegagalan menghambat refleks motorik sehingga muncul
aktivitas saraf motorik tak terkendali, mengakibatkan peningkatan tonus dan
rigiditas otot berupa spasme otot yang tiba-tiba dan potensial merusak. Hal ini
merupakan karakteristik tetanus. Otot wajah terkena paling awal karena jalur
axonalnya pendek, sedangkan neuron-neuron simpatis terkena paling akhir,
mungkin akibat aksi toksin di batang otak. Pada tetanus berat, gagalnya
penghambatan aktivitas otonom menyebabkan hilangnya kontrol otonom,
aktivitas simpatis yang berlebihan dan peningkatan kadar katekolamin. Ikatan
neuronal toksin sifatnya irreversibel, pemulihan membutuhkan tumbuhnya
terminal saraf yang baru, sehingga memanjangkan durasi (Laksmi K S, 2014)
1.7 Pathway

Terpapar kuman
Clostridium

Eksotoksin

Pengangkatan toksin melewati saraf


motorik

Ganglion sumsum Otak Saraf otonom


tulang belakang

Menempel pada
Tonus otot Mengenai saraf simpatis
cerebral ganglioside

Menjadi kaku Kekakuan dan kejang khas


pada tetanus
Keringat berlebihan
Hipertermi

Hilangnya kesimbangan Hipotermi


tonus otot Aritmia
Takikardi
Kekakuan otot

Hipoksia berat

Sistem Sistem O2 di otak


pencernaan pernafasan
Kesadaran

Gangguan eliminasi Ketidakefektifan bersihan


jalan nafas Hipoksemia
Ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan Gangguan komunikasi Gangguan perfusi
tubuh verbal jaringan
Kurangnya
pengetahuan
ortu
1.8 Manifestasi klinis

(Batticaca F.2008.)

1. Masa inkubasi Clostridium tetani adalah 4-21 hari. Semakin lama masa
inkubasi, maka prognosisnya semakin baik. Masa inkubasi tergantung dari
jumlah bakteri, virulensi dan jarak tempat masuknya kuman (port d’entre)
dengan SSP. Semakin dekat luka dengan SSP maka prognosisnya akan
semakin serius dan semakin jelek. Misalnya, luka di telapak kaki dan
leherbila sama-sama terserang basil tetanus, yang lebih baik prognosisnya
adalah luka yang di kaki.
2. Timbulnya gejala biasanya mendadak, didahului dengan ketegangan otot
terutama pada rahang dan leher.
3. Sulit membuka mulut (trismus)
4. Kaku kuduk
5. Badan kaku dengan epistotanus, tungkai dalam mengalami ekstensi, lengan
kaku dan mengepal
6. Kejang tonik
7. Kesadaran biasanya tetap baik
8. Asfiksia dan sianosis akibat kontraksi otot, retensi urin bahkan dapat terjadi
fraktur kolumna vertebralis (pada anak) akibat kontraksi otot yang sangat
kuat
9. Demam ringan (biasanya pada stadium akhir)

1.9 Pemeriksaan penunjang

(Batticaca F.2008)

1. Anamnesis
a. Lokasi luka
b. Penyebab luka (pernah kena karat, jatuh, kecelakaan kendaraan
bermotor, dan jatuh di jalan dekat kotoran kuda, berkelahi dekat
kandang kuda, hobi yang berhubungan dengan kuda dan kotoran
kuda).
c. Luka sebelumnya (ada otitis media, karies gigi)
d. Pernah diberi ATS/Toxoid dan semacamnya
2. Amati gejala-gejala yang tampak (misalnya sakit saat menelan, sulit
bernapas, sulit atau tidak dapat berkemih dan lainnya.
3. Pemeriksaan laboratorium
a. Biasanya terdapat leukositosis ringan
b. Kadang-kadang terjadi peningkatan TIK
c. Pada pemeriksaan bakteriologis (kultur jaringan) di daerah luka
ditemukan Clostridium tetani

1.10 Penatalaksanaan farmakologi dan non farmakologi

(Batticaca F.2008) Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah sebagai


berikut:

1. Imunisasi aktif dengan pemberian DPT, booster dose (untuk balita). Jika
terjadi luka lagi, booster ulang.
2. Imunisasi pasif, pemberian ATS profilaksis 1500-4500 UI (dapat
bertahan 7-10 hari). Pemberian imunisasi ini sering menyebabkan syok
anafilaksis sehingga harus dilakukan skin test terlebih dahulu. Jika pada
lokasi skin test tidak terjadi kemerahan, gatal dan pembengkakak maka
imunisasi dapat diinjeksikan, anak-anak diberikan setengah dosis (750-
1250 UI) HyperTest 250 UI dan dosis untuk anak-anak diberikan
setengahnya (125 UI) bila tidak tahan ATS.
3. Pencegahan pada luka, toiletisasi (pembersih luka) memakai pehidrol
(hidrogen peroksida—H2O2), debridemen, bilas dengan NaCl dan jahit
4. Injeksi penisilin (terhadap basil anaerob dan hasil simbiosis)
Tujuan terapi ini berupa megeliminasi kuman tetani, menetralisirkan
peredarantoksin, mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pemafasan
sampai pulih. Dan tujuan tersebut dapat diperinci sbb :

1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa: membersihkan luka,


irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik), membuang benda asing
dalam luka serta kompres dengan H2O2 ,dalam hal ini penata laksanaan, terhadap
luka tersebut dilakukan 1 -2 jam setelah ATS dan pemberian Antibiotika. Sekitar
luka disuntik ATS.

2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan


membuka mulut dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan
personde atau parenteral.

3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap
penderita

4. Oksigen, pernafasan buatan dan trachcostomi bila perlu.

5. Mengatur keseimbangan cairandanelektrolit


BAB 2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

2.1 Pengkajian
1. Biodata/Identitas
Biodata klien mencakup nama, umur, jenis kelamin. Biodata dipertanyakan untuk
mengetahui status sosial anak meliputi nama, umur, agama, suku/bangsa,
pendidikan, pekerjaan, penghasilan, alamat.
2. Keluhan utama kejang
Riwayat Penyakit (Darto Suharso, 2000)
3. Riwayat penyakit yang diderita sekarang tanpa kejang ditanyakan :
Apakah disertai demam ?
Dengan mengetahui ada tidaknya demam yang menyertai kejang, maka diketahui
apakah infeksi memegang peranan dalam terjadinya bangkitan kejang. Jarak
antara timbulnya kejang dengan demam, Lama serangan, lama bangkitan kejang
kita dapat mengetahui kemungkinan respon terhadap prognosa dan pengobatan.
Pola serangan Perlu diusahakan agar diperoleh gambaran lengkap mengenai pola
serangan apakah bersifat umum, fokal, tonik, klonik ?
Apakah serangan berupa kontraksi sejenak tanpa hilang kesadaran seperti epilepsi
mioklonik ?
Apakah serangan berupa tonus otot hilang sejenak disertai gangguan kesadaran
seperti epilepsi akinetik ?
Apakah serangan dengan kepala dan tubuh mengadakan flexi sementara tangan
naik sepanjang kepala, seperti pada spasme infantile ?
Pada kejang demam sederhana kejang ini bersifat umum.
Frekuensi serangan
Apakah penderita mengalami kejang sebelumnya, umur berapa kejang terjadi
untuk pertama kali, dan berapa frekuensi kejang per tahun. Prognosa makin
kurang baik apabila kejang timbul pertama kali pada umur muda dan bangkitan
kejang sering timbul.
Keadaan sebelum, selama dan sesudah serangan
Sebelum kejang perlu ditanyakan adakah rangsangan tertentu yang dapat
menimbulkan kejang, misalnya lapar, lelah, muntah, sakit kepala dan lain-lain.
Dimana kejang dimulai dan bagaimana menjalarnya. Sesudah kejang perlu
ditanyakan apakah penderita segera sadar, tertidur, kesadaran menurun, ada
paralise, dan sebagainya ?

5. Riwayat penyakit sekarang yang menyertai


Apakah muntah, diare, truma kepala, gagap bicara (khususnya pada penderita
epilepsi), gagal ginjal, kelainan jantung, DHF, ISPA, OMA, Morbili dan lain-lain.
6. Riwayat Penyakit Dahulu
Sebelum penderita mengalami serangan kejang ini ditanyakan apakah penderita
pernah mengalami kejang sebelumnya, umur berapa saat kejang terjadi untuk
pertama kali ?
Apakah ada riwayat trauma kepala, luka tusuk, lukakotor, adanya benda asing
dalam luka yang menyembuh , otitis media, dan cairies gigi, menunjang
berkembang biaknya kuman yang menghasilkan endotoksin.
7. Riwayat kesehatan keluarga.
Kebiasaan perawatan luka dengan menggunakan bahan yang kurang aseptik.
Riwayat sosial
Hubungan interaksi dengan keluarga dan pekrjaannya
Pola kebiasaan dan fungsi kesehatan
Ditanyakan keadaan sebelum dan selama sakit bagaimana ?
Pola kebiasaan dan fungsi ini meliputi :
1. Pola persepsi dan tatalaksanaan hidup sehat
Gaya hidup yang berkaitan dengan kesehatan, pengetahuan tentang kesehatan,
pencegahan dan kepatuhan pada setiap perawatan dan tindakan medis ?
Bagaimana pandangan terhadap penyakit yang diderita, pelayanan kesehatan yang
diberikan, tindakan apabila ada anggota keluarga yang sakit, penggunaan obat-
obatan pertolongan pertama.
2. Pola nutrisi
Untuk mengetahui asupan kebutuhan gizi Ditanyakan bagaimana kualitas dan
kuantitas dari makanan yang dikonsumsi oleh klien ?
Makanan apa saja yang disukai dan yang tidak ? Bagaimana selera makan anak ?
Berapa kali minum, jenis dan jumlahnya per hari ?
3. Pola Eliminasi :
BAK : ditanyakan frekuensinya, jumlahnya, secara makroskopis ditanyakan
bagaimana warna, bau, dan apakah terdapat darah ? Serta ditanyakan apakah
disertai nyeri saat kencing.
BAB : ditanyakan kapan waktu BAB, teratur atau tidak ? Bagaimana
konsistensinya lunak,keras,cair atau berlendir ?
4. Pola aktivitas dan latihan
5. Pola tidur/istirahat
Berapa jam sehari tidur ? Berangkat tidur jam berapa ? Bangun tidur jam berapa ?
Kebiasaan sebelum tidur, bagaimana dengan tidur siang ?

Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem (B1-B6) dengan fokus


pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan di hubungkan
dengan keluhan-keluhan dari klien.

1. B1 (Breathing)
Inspeksi: apakah klien batuk, produksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot
bantu nafas dan peningkatan frekuensi pernafasan.

Palpasi: taktil premitus seimbang kanan dan kiri.

Auskultasi:bunyi nafas tambahan seperti ronkhi karena peningkatan produksi


secret.

2. B 2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan syok hipolemik. Tekanan
darah normal, peningkatan heart rate, adanya anemis karena hancurnya eritrosit

3. B3 (Brain)
a. Tingkat kesadaran
Compos mentis, pada keadaan lanjut mengalami penurunan menjadi letargi,
stupor dan semikomatosa.

b. Fungsi serebri
Mengalami perubahan pada gaya bicara, ekspresi wajah dan aktivitas motorik.

c. Pemeriksaan saraf cranial

(1) Saraf I; tidak ada kelainan, fungsi penciuman normal.


(2) Saraf II; ketajaman penglihatan normal.
(3) Saraf III, IV dan VI ; dengan alasan yang tidak diketahui, klien
mengalami fotofobia atau sensitive berlebih pada cahaya.
(4) Saraf V; reflek masester meningkat. Mulut mecucu seperti mulut ikan
(gejala khas tetanus)
(5) Saraf VII; pengecapan normal, wajah simetris
(6) Saraf VIII; tidak ditemukan tuli konduktif dan persepsi.
(7) Saraf IX dan X ; kemampuan menelan kurang baik, kesukaran
membuka mulut (trismus).
(8) Saraf XI; didapatkan kaku kuduk. Ketegangan otot rahang dan leher
(mendadak)
(9) Saraf XII ;lidah simetris, indra pengecap normal

d. Sistem motorik
Kekuatan otot menurun, kontrol keseimbangan dan koordinasi mengalami
perubahan.

e. Pemeriksaan refleks
Refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau periosteum derajat
refleks pada respon normal.

f. Gerakan involunter
Tidak ditemukan tremor, Tic, dan distonia. Namun dalam keadaan tertentu terjadi
kejang umum, yang berhubungan sekunder akibat area fokal kortikal yang peka
4. B 4 (Bladder)
Penurunan volume haluaran urine berhubungan dengan penurunan perfusi dan
penurunan curah jantung ke ginjal.

5. B 5 (Bowel)
Mual muntah karena peningkatan asam lambung, nutrisi kurang karena anoreksia
dan adanya kejang (kaku dinding perut / perut papan. Sulit BAB karena spasme
otot.

6. B 6 (Bone)
Gangguan mobilitas dan aktivitas sehari-hari karena adanya kejang umum.

2.1 Diagnosa Keperawatan

1. Ketidak efektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan


sputum pada trakea dan spasme otot pernafasan.
2. Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan efek toksin
(bakterimia)
3. Kurangnya pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakit tetanus dan
penanggulangannya berhubungan dengan kurangnya informasi
2.3 Intervensi Keperawatan

NO DIAGNOSA TUJUAN DAN KRITERIA HASIL INTERVENSI


1 Ketidak efektifan Setelah dilakukan perawatan selama 3x24 3320 Terapi
bersihan jalan nafas jam, ketidakefektifan bersihan jalan nafas oksigen
berhubungan dapat teratasi dengan kriteria hasil : 1. Bersihkan
mulut, hidung
dengan (0405) Status Pernafasan dan sekresi
penumpukan Proses keluar masuknya udara ke paru-paru trakea dengan
tepat
sputum pada trakea serta pertukaran karbondioksida dan oksigen
2. Pertahankan
dan spasme otot di alveoli kepatenan
pernafasan Skala jalan nafas
3. Berikan
Awal Akhir tambahan
oksigen
Frekuensi 1 3 seperti yang
pernafasan diperintahkan
4. Monitor aliran
Irama 2 4 oksigen
pernafasan 5. Monitor posisi
Kedalaman 2 4 perangkat
inspirasi (alat)
pemberian
Suara 1 4 oksigen
auskultasi 6. Monitor
nafas peralatan
oksigen untuk
Kepatenan 3 5
memastikan
jalan nafas
bahwa alat
tersebut tidak
mengganggu
upaya pasien
untuk bernafas
7. Monitor
kerusakan
kulit terhadap
adanya
gesekan
perangkat
oksigen
2. Peningkatan suhu Setelah dilakukan perawatan selama 3x24 6480 Manajemen
tubuh (hipertermia) jam, masalah hipertermi dapat teratasi lingkungan
berhubungan dengan kriteria hasil : 1. Ciptakan
lingkungan
dengan efek toksin (1922) Kontrol Risiko: Hipertermia yang aman
(bakterimia) Indikator Skala Ket Skala bagi pasien
2. Singkirkan
Awal Akhir benda benda
yang
Monitor 1 3 1 : tidak berbahaya
lingkungan pernah dari
terkait faktor menunjukkan lingkungan
yang 3. Sediakan
2 : jarang tempat tidur
meningkatka
menunjukkan dan
n suhu tubuh
3 : kadang lingkungan
Modifikasi 2 4 yang bersih
kadang
lingkungan dan nyaman
menunjukkan
sekitar untuk 4. Singkirkan
mengontrol 4 : sering bahaya
suhu tubuh menunjukkan lingkungan
Modifikasi 2 4 5 : secara
intake cairan konsisten
sesuai menunjukkan
kebutuhan
Memakai 1 4
pakaian yang
sesuai untuk
melindungi
kulit

3. Defisiensi Setelah dilakukan perawatan selama 3x24 Pendidikan


pengetahuan klien jam, masalah defisiensi pengetahuan dapat kesehatan
dan keluarga teratasi dengan kriteria hasil : 1. Tentukan
pengetahuan
tentang penyakit (1844) Pengetahuan manajemen akut kesehatan dan
tetanus dan Tingkat pemahaman yang disampaikan gaya hidup
perilaku saat
penanggulangannya tentang penyakit yang reversibel, pengobatan
danpencegahan komplikasi ini pada
berhubungan individu,
Indikator Skala Ket keluarga atau
dengan kurangnya
informasi Skala kelompok
sasaran
Awal Akhir 2. Bantu
individu,
Faktor 1 4 1 : tidak keluarga dan
faktor ada masyarakat
penyebab pengetahu untuk
dan faktor an memperjelas
yang keyakinan dan
2:
berkontrib nilai nilai
pengetahu
usi kesehatan
an
3. Libatkan
Manfaat 2 4 terbatas
individu,
manajeme
3: keluarga, dan
n penyakit
pengetahu kelompok
akut
an sedang dalam
Tanda dan 2 4 perencanaan
4:
gejala dan rencana
pengetahu
penyakit implementasi
an banyak
gaya hidup
Pilihan 1 4 atau
5:
pengobata modifikasi
pengetahu
n yang perilaku
an sangat
tersedia kesehatan
banyak
Strategi 3 5
untuk
mengelola
kenyaman
an

2.4 Evaluasi

Tahap evaluasi dalam proses keperawatan menyangkut pengumpulan data


subyektif dan obyektif yang akan menunjukkan apakah tujuan pelayanan
keperawatan sudah dicapai atau belum. Bila perlu langkah evaluasi ini merupakan
langkah awal dari identifikasi dan analisa masalah selanjutnya ( Santosa.NI,
1989;162).

2.5 Discharge Planning


1. Ajarkan dan motivasi untuk merawat luka secara adekuat.
2. Cegah terjadinya luka baru.
3. Apabila terjadi perlukaan segera ke pelayanan kesehatan.
4. Menjaga lingkungan dari benda-benda yang dapat melukai.
5. Hindari stress, jauhi penggunaan alat yang tidak steril (jarum suntik bekas,
pemotongan dan perawatan tali pusat).
6. Bila kejang pasien dijauhkan dari benda-benda yang berbahaya, dan cegah
agar lidah tidak tergigit (beri handuk untuk digigit).
DAFTAR PUSTAKA

Batticaca F.2008.Asuhan Keperawatan pada Klien dengan gangguan sistem


persarafan.Jakarta;Salemba Medika

Laksmi K S.2014.Penatalaksanaan Tetanus.Bali;


http://www.kalbemed.com/Portals/6/09_222CPD Penatalaksanaan
%20Tetanus.pdf

Sylvia YM.2009.Bakteri anaerob yang erat kaitannya dengan problem di klinik:


diagnosis dan penatalaksanaan.Jakarta;EGC

Anda mungkin juga menyukai