Anda di halaman 1dari 3

“Sirna ning hirup”

Filosofi sunda membagi kehidupan manusia menjadi hubungan. Hubungan manusia dengan
alam, hubungan manusia dengan tuhan dan hubungan manusia dengan manusia lainnya.
Filosofi sunda yang berkaitan dengan hubungan antar manusia adalah sirna ning hirup.
SIRNANING HIRUP adalah kesadaran tertinggi untuk mengaktualisasikan kualitas diri individual
yang hidup bersama dengan mahluk lain yang ada dalam filosofi masyarakat sunda. Sirna ning
hirup memiliki karakteristik dan sikap hidup untuk bisa hidup nyunda, nyantri dan nyakola.
Ungkapan yang sangat popular dalam hidup bermasyarakat yang menjadi karakter khas budaya
Sunda sirna ning hirup adalah “Silih asih, silih asah, silih asuh” yang memiliki arti saling
menyayangi, saling mempertajam diri, dan saling menjaga (Hasanah, Gustini, & Rohaniawati,
2016):

a. SILIH ASIH

Silih asih yang artinya saling menyayangi menggambarkan proses bermasyarakat yang
dilandasi kesetaraan, kemitraan dan silaturahmi. Makna silih asih, orientasi nilainya kepada
makna tingkah laku atau sikap individu yang memiliki rasa belas kasihan, tenggang rasa, simpati
terhadap kehidupan sekelilingnya atau memiliki rasa sosial yang tinggi. Tercermin dalam
ungkapan “ka cai kudu saleuwi ka darat kudu selebak” artinya adalah kebersamaan. “Ulah
pagiri-giri calik, ulah pagirang-girang tampian” artinya jangan ada permusuhan di antara
manusia. Sebab manusia itu harus “sareundeuk saigel, sabobot sapihanean, sabata
sarimbagan, artinya harus memiliki jiwa kebersamaan, gotong royong atau saling menolong.

b. SILIH ASAH

Silih asah artinya saling mempertajam diri menggambarkan proses saling mencerdaskan
akal fikiran untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia atau sesama. Silih asah
merupakan perwujudan komunikasi dan hubungan religius-sosial dengan landasan kasih sayang
Tuhan. Kasih sayang Tuhan tersebut diwujudkan dalam bentuk kasih sayang bagi segenap
hamba-Nya. Sikap religius ini pada akhirnya memunculkan semangat persamaan (egaliter)
dalam hidup bermasyarakat. Dalam budaya silih asih, semua manusia dipandang sejajar, tidak
ada yang lebih rendah atau lebih tinggi. Nilai dasar ini pada akhirnya melahirkan etos/watak
musyawarah, tolong-menolong atau bekerjasama, serta sikap untuk selalu berlaku adil. Watak
dan nilai-nilai moral yang demikianlah yang menciptakan keteraturan, kedinamisan, dan
keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat. Seperti tercermin dalam ungkapan “peso
mintul mun terus diasah tangtu bakal seukeut” artinya pisau tumpul kalau terus diasah akan
tajam juga; atau “cikarakak ninggang batu laun-laun jadi legok” artinya air tempias menimpa
batu lama-lama batunya akan berlubang. Dengan kata lain, sebodoh-bodohnya orang kalau
terus ditempa, suatu saat akan ada bekasnya dari hasil pembelajaran itu (Madjid, Abdulkarim,
& Iqbal, n.d.).

Sikap silih asah mencerminkan kehidupan bersama untuk saling mengembangkan nilai-
nilai kepribadian dan memperluas cakrawala pengetahuan. Budaya silih asah menghadirkan
masyarakat yang memiliki watak dan kegairahan mengembangkan ilmu pengetahuan, sehingga
mampu mewujudkan kehidupan yang merdeka dan disiplin. Masyarakat yang merdeka adalah
masyarakat yang tidak memiliki ketergantungan terhadap yang lain, sehingga tidak mudah
terekploitasi, tertindas, dan terjajah. Melalui sikap silih asah yang terdapat dalam masyarakat,
upaya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi akan mendapat panduan etis,
sehingga iptek tidak tampak angkuh. Bahkan sebaliknya, dengan balutan etika tersebut
keanggunan iptek menjadi semakin nampak, dan memicu kesadaran dan kerendahhatian
manusia untuk mengakui keterbatasannya di hadapan Tuhan yang Maha Mengetahui (Jaenudin
& Tahrir, 2019).

c. SILIH ASUH

Silih asuh yang memiliki makna saling menjaga menggambarkan proses mendudukan
seseorang secara proporsional dan profesional berdasarkan moralitas, religi dan prestasi.
Makna silih asuh, orientasi nilainya adalah kasih sayang dalam tindakan yang nyata. Kepada
yang lebih tua harus lebih hormat, kepada sesama harus saling menjaga, kepada yang lebih
muda harus mampu mengayomi dan memberi contoh yang baik. Seperti tercermin dalam
ungkapan “kudu landung kandungan kedah laer aisan” artinya hidup harus mengayomi orang
lain selain mengoyomi diri sendiri. “Hirup ulah manggih tungtung, paeh ulah manggih beja”
artinya selamanya dikenang dalam kebaikan dan kalau meninggal tidak meninggalkan sifat
buruk (Miharja, 2015).

Pada akhirnya, sikap saling mengawasi, saling menyapa dan memberikan nasehat
menjadi hal penting dalam kehidupan bersama. Untuk itulah, budaya silih asuh dikembangkan.
Sikap saling memelihara dan melindungi dalam kehidupan bersama dapat menambah kekuatan
ikatan emosional yang telah berkembang melalui pola hidup silih asih tadi. Karena itulah, dalam
kehidupan kolektif orang Sunda, budaya konflik dan kerusuhan tidak banyak kita temui. Namun
begitu, pada saat ada upaya-upaya untuk merusak ketenangannya, mereka tidak segan-segan
untuk melakukan perlawanan. Budaya silih asuh merupakan pelembagaan konsep amar ma’ruf
nahi munkar, sebagai perwujudan akhlak Rabb al-‘âlamîn, Tuhan yang Maha Memelihara,
dalam karakteristik budaya religius masyarakat Sunda (Suyatman, 2019)

Filosofi hidup silih asah, silih asih, silih asuh ini dapat ditafsirkan kepada taksonomi Bloom
dalam buku Taxonomy of Education of Objectives, Cognitive Domain (1959). Konsep ini dapat
disejajarkan dengan ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Sebab silih asah itu orientasi
nilainya kepada peningkatan kualitas berpikir, mengasah kemampuan untuk mempertajam
pikiran dengan tempaan ilmu dan pengalaman menyentuh aspek kognitif. Silih asih menyentuh
aspek psikomotor atau tingkah laku, sementara silih asuh menyentuh aspek afektif atau
perasaan.

REFERENSI

Hasanah, A., Gustini, N., & Rohaniawati, D. (2016). Nilai Nilai Karakter Sunda (Internalisasi Nilai-
Nilai Karakter Sunda di Sekolah. Yogyakarta: Deepublish.

Jaenudin, U., & Tahrir. (2019). Studi Religiusitas, Budaya Sunda, dan Perilaku Moral pada
Masyarakat Kabupaten Bandung. 2(1), 1–8.

Madjid, M. A. S. R. V., Abdulkarim, A., & Iqbal, M. (n.d.). Peran nilai budaya sunda dalam pola
asuh orang tua bagi pembentukan karakter sosial anak.

Miharja, D. (2015). Sistem Kepercayaan Awal Masyarakat Sunda. Al-Adyan, X(1), 19–36.

Suyatman, U. (2019). SISTEM KEPERCAYAAN DAN KARAKTERISTIK MASYARAKAT SUNDA :


MEMAHAMI KEMBALI ISLAM TEH SUNDA , SUNDA TEH ISLAM. 16(2), 215–225.
https://doi.org/10.15575/al-tsaqafa.v16i2.5937

Anda mungkin juga menyukai