Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

PRE-EKLAMPSIA BERAT (PEB)

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas stase Maternitas

Dosen Pengampu : Rina Nuraeni, S.Kep. Ners, M.Kes

Disusun Oleh :

Rima Iryanti

21149011035

SEKOLAH TINGGI (STIKes) YPIB MAJALENGKA

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

2021

1
LAPORAN PENDAHULUAN

Pre Eklamsi Berat (PEB)

A. Konsep Dasar Penyakit

1. Definisi / pengertian

Manuaba (1998) mendefinisikan bahwa preeklampsia (toksemia gravidarum) adalah

tekanan darah tinggi yang disertai dengan proteinuria (protein dalam air kemih) atau edema

(penimbunan cairan), yang terjadi pada kehamilan 20 minggu sampai akhir minggu pertama setelah

persalinan.

Selain itu, Mansjoer (2000) mendefinisikan bahwa preeclampsia adalah timbulnya

hipertensi disertai proteinuria dan edema akibat kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau

segera setelah persalinan.

Menurut kamus saku kedokteran Dorland, preeklampsia adalah toksemia pada kehamilan

lanjut yang ditandai oleh hipertensi, edema, dan proteinuria.

2. Penyebab / Faktor predisposisi

Penyebab preeklampsia sampai sekarang belum diketahui. Tetapi ada teori yang dapat

menjelaskan tentang penyebab preeklamsia, sehingga kelainan ini sering dikenal sebagai the

diseases of theory. Adapun teori-teori tersebut antara lain : 

a. Peran Prostasiklin dan Tromboksan.

Pengeluaran hormon ini memunculkan efek “perlawanan” pada tubuh. Pembuluh-pembuluh

darah menjadi menciut, terutama pembuluh darah kecil, akibatnya tekanan darah meningkat.

Organ-organ pun akan kekurangan zat asam. Pada keadaan yang lebih parah, bisa

terjadi penimbunan zat pembeku darah yang ikut menyumbat pembuluh darah pada

jaringan-jaringan vital.

b. Peran faktor imunologis.

Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan tidak timbul lagi pada kehamilan

berikutnya. Hal ini dapat diterangkan bahwa pada kehamilan pertama pembentukan

blocking antibodies terhadap antigen plasenta tidak sempurna, yang semakin sempurna

pada kehamilan berikutnya.

c. Aktivasi system komplemen pada pre-eklampsi/eklampsia.

d. Peran faktor genetik/familial Beberapa bukti yang menunjukkan peran faktor genetik pada

2
kejadian pre-eklampsi/eklampsia antara lain:

a) Pre-eklampsia hanya terjadi pada manusia.

b) Terdapatnya kecenderungan meningkatnya frekuensi pre- eklampsi/eklampsia pada

anak-anak dari ibu yang menderita pre- eklampsi/eklampsia.

c) Kecendrungan meningkatnya frekuensi pre-eklampsi/eklampsia pada anak dan

cucu ibu hamil dengan riwayat pre-eklampsi/eklampsia dan bukan pada ipar

mereka.

e. Peran renin-angiotensin-aldosteron system (RAAS) (Ong Tjandra, 2008)

3. Faktor Risiko

Melalui pendekatan safe motherhood terdapat peran determinan yang dapat mempengaruhi

terjadinya komplikasi kehamilan seperti preeklampsia/eklampsia yang menjadi

faktor utama yang menyebabkan angka kematian ibu tinggi disamping perdarahan dan infeksi

persalinan. Determinan tersebut dapat dilihat melalui determinan proksi/dekat (proximate

determinants), determinan antara (intermediate determinants), dan determinan kontekstual

(contextual determinants).

1) Determinan proksi/dekat

Wanita yang hamil memiliki risiko untuk mengalami komplikasi preeklampsia berat,

sedangkan wanita yang tidak hamil tidak memiliki risiko tersebut.

2) Determinan intermediat

Yang berperan dalam determinan intermediat antara lain:

a. Status reproduksi.

1) Faktor usia

Usia 20  –  30 tahun adalah periode paling aman untuk hamil/melahirkan, akan

tetapi di negara berkembang sekitar 10% -20% bayi dilahirkan dari ibu remaja yang

sedikit lebih besar dari anak-anak. Padahal dari suatu penelitian ditemukan bahwa dua

tahun setelah menstruasi yang pertama, seorang wanita masih mungkin mencapai

pertumbuhan panggul antara 2 – 7 % dan tinggi badan 1%. Dampak dari usia yang

kurang, dari hasil penelitian di Nigeria, wanita usia 15 tahun mempunyai angka

3
kematian ibu 7 kali lebih besar dari wanita berusia 20 – 24 tahun. Faktor usia

berpengaruh terhadap terjadinya preeklampsia/eklampsia. Usia wanita

remaja pada kehamilan pertama atau nulipara umur belasan tahun (usia muda kurang

dari 20 tahun) memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami

preeklampsia/eklampsia.

Hubungan peningkatan usia terhadap preeklampsia dan eklampsia adalah sama

dan meningkat lagi pada wanita hamil yang berusia di atas 35 tahun.

2) Paritas

Telah terbukti bahwa persalinan kedua dan ketiga adalah persalinan yang paling

aman. Pada The New England Journal of Medicine tercatat bahwa pada kehamilan

pertama risiko terjadi preeklampsia 3,9% , kehamilan kedua 1,7% , dan kehamilan

ketiga 1,8%.

3) Kehamilan ganda

Preeklampsia dan eklampsia 3 kali lebih sering terjadi pada kehamilan ganda.

Dari 105 kasus kembar dua didapat 28,6% preeklampsia dan satu kematian

ibu karena eklampsia. Dari hasil pada kehamilan tunggal, dan sebagai faktor

penyebabnya ialah dislensia uterus. Dari penelitian Agung Supriandono dan Sulchan

Sofoewan menyebutkan bahwa 8 (4%) kasus preeklampsia berat mempunyai jumlah

janin lebih dari satu, sedangkan pada kelompok kontrol, 2 (1,2%) kasus mempunyai

jumlah janin lebih dari satu.

4) Faktor genetika

Terdapat bukti bahwa pre-eklampsia merupakan penyakit yang diturunkan,

penyakit ini lebih sering ditemukan pada anak wanita dari ibu penderita pre-eklampsia.

b. Status kesehatan

a) Riwayat preeklampsia

Hasil penelitian Agung Supriandono dan Sulchan Sofoewan menyebutkan bahwa

terdapat 83 (50,9%) kasus preeklampsia mempunyai riwayat preeklapmsia, sedangkan

pada kelompok kontrol terdapat 12 (7,3%) mempunyia riwayat preeklampsia berat.

b) Riwayat hipertensi

Salah satu faktor predisposisi terjadinya pre-eklampsia atau eklampsia adalah adanya

riwayat hipertensi kronis, atau penyakit vaskuler hipertensi sebelumnya, atau

hipertensi esensial. Sebagian besar kehamilan dengan hipertensi esensial berlangsung

normal sampai cukup bulan. Pada kira-kira sepertiga diantara para wanita, menderita

4
tekanan darah tinggi setelah kehamilan 30 minggu tanpa disertai gejala lain. Kira-kira

20% menunjukkan kenaikan yang lebih mencolok dan dapat disertai satu

gejala preeklampsia atau lebih, seperti edema, proteinuria, nyeri kepala, nyeri

epigastrium, muntah, gangguan visus (supperimposed preeklampsia), bahkan

dapat timbul eklampsia dan perdarahan otak.

c) Riwayat penderita diabetus militus

Hasil penelitian Agung Supriandono dan Sulchan sofoewan menyebutkan bahwa

dalam pemeriksaan kadar gula darah sewaktu lebih dari 140 mg % terdapat 23 (14,1%)

kasus preeklampsia, sedangkan pada kelompok kontrol (bukan preeklampsia) terdapat

9 (5,3%).

d) Status gizi

Kegemukan disamping menyebabkan kolesterol tinggi dalam darah juga

menyebabkan kerja jantung lebih berat, oleh karena jumlah darah yang berada dalam

badan sekitar 15% dari berat badan, maka makin gemuk seorang makin banyak pula

jumlah darah yang terdapat di dalam tubuh yang berarti makin berat pula

fungsi pemompaan jantung.

e) Stres/cemas

Meskipun dalam beberapa teori tidak pernah disinggung kaitannya dengan kejadian

preeklampsia, namun pada teori stres yang terjadi dalam waktu panjang dapat

mengakibatkan gangguan seperti tekanan darah.

Manifestasi fisiologi dari stres diantaranya meningkatnya tekanan darah berhubungan

dengan:

- Kontriksi pembuluh darah reservoar seperti kulit, ginjal dan organ lain.

- Sekresi urin meningkat sebagai efek dari norepinefrin.

- Retensi air dan garam meningkat akibat produksi

mineralokortikoid sebagai akibat meningkatnya volume darah.

- Curah jantung meningkat.

c. Perilaku sehat

1. Pemeriksaan antenatal

Preeklapmsia dan eklampsia merupakan komplikasi kehamilan berkelanjutan,

oleh karena itu melalui antenatal care yang bertujuan untuk mencegah

perkembangan preeklampsia, atau setidaknya dapat mendeteksi diagnosa dini sehingga

dapat mengurangi kejadian kesakitan. Pada tingkat

5
permulaan preeklampsia tidak memberikan gejala-gejala yang dapat dirasakan oleh

pasien sendiri, maka diagnosa dini hanya dapat dibuat dengan antepartum care. Jika

calon ibu melakukan kunjungan setiap minggu ke klinik prenatal selama

4-6 minggu terakhir kehamilannya, ada kesempatan untuk melekukan tes proteinuri,

mengukur tekanan darah, dan memeriksa tanda-tanda udema. Setelah diketahui

diagnosa dini perlu segera dilakukan penanganan untuk mencegah masuk ke dalam

eklampsia.

2. Penggunaan alat kontrasepsi

Pelayanan KB mampu mencegah kehamilan yang tidak diinginkan, sehingga

menpunyai kontribusi cukup besar terhadap kematian ibu terkomplikasi, namun

perkiraan kontribusi pelayanan KB terhadap kematian yang disebabkan oleh

komplikasi obstetri lainnya, antra lain eklampsia yaitu 20%.

3) Determinan kontekstual

a) Tingkat pendidikan

Teori pendidikan mengatakan bahwa pendidikan adalah suatu kegiatan atau

usaha untuk meningkatkan kepribadian, sehingga proses perubahan

perilaku menuju kepada kedewasaan dan penyempurnaan kehidupan

manusia. Semakin banyak pendidikan yang didapat seseorang, maka

kedewasaannya semakin matang, mereka dengan mudah untuk menerima dan

memahami suatu informasi yang positif. Kaitannya dengan masalah kesehatan,

dari buku safe motherhood menyebutkan bahwa wanita yang mempunyai

pendidikan lebih tinggi cenderung lebih menperhatikan kesehatan dirinya. Hasil

penelitian Agung Supriandono dan Sulchan Sofoewan menyebutkan bahwa 80

(49,7%) kasus preeklampsia berat mempunyai pendidikan kurang dari 12 tahun.

b) Faktor sosial ekonomi

Hal ini sering disampaikan bahwa kehidupan sosial

ekonomi berhubungan dengan angka kenaikan preeclampsia. Beberapa ahli

menyimpulkan bahwa wanita dengan keadaan sosial ekonomi yang lebih baik

akan lebih jarang menderita preeklampsia, bahkan setelah faktor ras turut

dipertimbangkan. Tanpa mempedulikan hal tersebut, preeklampsia yang

diderita oleh wanita dari kelarga mampu tetap saja bisa menjadi berat dan

membahayakan nyawa seperti halnya eklampsia yang diderita wanita remaja di

daerah kumuh.

6
c) Pekerjaan

Aktifitas pekerjaan seseorang dapat mempengaruhi kerja otot dan peredaran

darah. Begitu juga bila terjadi pada seorang ibu hamil, dimana peredaran darah dalam

tubuh dapat terjadi perubahan seiring dengan bertambahnya usia kehamilan akibat

adanya tekanan dari pembesaran rahim. Semakin bertambahnya usia

kehamilan akan berdampak pada konsekuensi kerja jantung yang semakin bertambah

dalam rangka memenuhi kebutuhan selama proses kehamilan. Oleh karenanya

pekerjaan tetap dilakukan, asalkan tidak terlalu berat dan melelahkan seperti

pegawai kantor, administrasi perusahaan atau mengajar. Semuanya untuk

kelancaran peredaran darah dalam tubuh sehingga mempunyai harapan akan terhindar

dari preeklamsia (Rozikhan, 2007).

4. Gejala

Secara klinis, gejala-gejala preeklampsia adalah: 

a. Preeklampsia Ringan 

a) Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih yang diukur pada posisi berbaring terlentang;

atau kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih; atau kenaikan sistolik 30 mmHg atau

lebih. Cara pengukuran sekurang- kurangnya pada 2 kali pemeriksaan dengan jarak

periksa 1 jam, sebaiknya 6 jam. 

b) Edema umum, kaki, jari tangan, dan muka; atau kenaikan berat 1 kg atau lebih

per minggu. Terjadi pembengkakan di daerah kaki dan tungkai. 

c) Retensi cairan. 

d) Angka kadar protein urin yang tinggi (proteinuria kwantatif 0,3 gr atau lebih per liter;

kwalitatif 1 + atau 2 + pada urin kateter atau midstream). 

b. Preeklampsia Berat 

- Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih. 

- Proteinuria 5 gr atau lebih per liter. 

- Pembengkakan di seluruh tubuh. Pembengkakan ini terjadi akibat pembuluh

kapiler bocor, sehingga air yang merupakan bagian sel merembes dan masuk ke

dalam jaringan tubuh dan tertimbun di bagian tertentu. 

- Kenaikan berat badan lebih dari 1,36 kg setiap minggu selama trimester kedua, dan lebih

dari 0,45 kg setiap minggu pada trimester ketiga. 

- Oliguria, yaitu jumlah urin kurang dari 500 cc per 24 jam. 

7
- Sakit kepala. 

- Pandangan kabur. 

- Tidak dapat melihat cahaya yang terang. Kelelahan. 

- Mual/muntah. 

- Sedikit buang air kecil (BAK). 

- Sakit di perut bagian kanan atas. 

- Napas pendek dan cenderung mudah cedera. 

- Terdapat edema paru dan sianosis (Ari Widiastuti, 2010)

5. Klasifikasi 

Dibagi menjadi 2 golongan, yaitu sebagai berikut ;

a. Preeklampsia Ringan, bila disertai keadaan sebagai berikut:

- Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih yang diukur pada posisi berbaring terlentang;

atau kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih; atau kenaikan sistolik 30 mmHg atau

lebih .Cara pengukuran sekurang-kurangnya pada 2 kali pemeriksaan dengan jarak periksa

1 jam, sebaiknya 6 jam.

- Edema umum, kaki, jari tangan, dan muka; atau kenaikan berat 1 kg atau lebih per

minggu.

- Proteinuria kwantatif 0,3 gr atau lebih per liter; kwalitatif 1 + atau 2 + pada urin kateter

atau midstream. 

b. Preeklampsia Berat

- Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih.

- Proteinuria 5 gr atau lebih per liter.

- Oliguria, yaitu jumlah urin kurang dari 500 cc per 24 jam .

- Adanya gangguan serebral, gangguan visus, dan rasa nyeri pada epigastrium

- Terdapat edema paru dan sianosis.

6. Patofisiologi Preeklampsi

Pada preeklampsia terdapat penurunan aliran darah. Perubahan ini menyebabkan

prostaglandin plasenta menurun dan mengakibatkan iskemia uterus. Keadaan iskemia pada uterus

merangsang pelepasan bahan tropoblastik yaitu akibat hiperoksidase lemak dan pelepasan

renin uterus. Bahantropoblastik menyebabkan terjadinya endotheliosis menyebabkan pelepasan

tromboplastin. Tromboplastin yang dilepaskan mengakibatkan pelepasan tomboksan dan

aktivasi/agregasi trombosit deposisi fibrin. Pelepasan tromboksan akan menyebabkan terjadinya

8
vasospasme sedangkan aktivasi/agregasi trombosit deposisi fibrin akan menyebabkan

koagulasi intravaskular yang mengakibatkan perfusi darah menurun dan konsumtif koagulapati.

Konsumtif koagulapati mengakibatkan trombosit dan faktor pembekuan darah menurun

dan menyebabkan gangguan faal hemostasis. Renin uterus yang dikeluarkan akan mengalir

bersama darah sampai organ hati dan bersama-sama angiotensinogen menjadi angiotensi I dan

selanjutnya menjadi angiotensin II. Angiotensin II bersama tromboksan akan menyebabkan

terjadinya vasospasme. Vasospasme menyebabkan lumen arteriol menyempit. Lumen arteriol yang

menyempit menyebabkan lumen hanya dapat dilewati oleh satu sel darah merah. Tekanan

perifer akan meningkat agar oksigen mencukupi kebutuhan sehingga menyebabkan terjadinya

hipertensi. Selain menyebabkan vasospasme, angiotensin II akan merangsang glandula

suprarenal untuk mengeluarkan aldosteron. Vasospasme bersama dengan koagulasi intravaskular

akan menyebabkan gangguan perfusi darah dan gangguan multi organ (Manuaba, 1998).

Gangguan multiorgan terjadi pada organ-organ tubuh diantaranya otak, darah, paru-paru,

hati/liver, renal dan plasenta. Pada otak akan dapat menyebabkan terjadinya edema serebri dan

selanjutnya terjadi peningkatan tekanan intrakranial. Tekanan intrakranial yang meningkat

menyebabkan terjadinya gangguan perfusi serebral, nyeri dan terjadinya kejang sehingga

menimbulkan diagnosa keperawatan risiko cedera. Pada darah akan terjadi endotheliosis

menyebabkan sel darah merah dan pembuluh darah pecah. Pecahnya pembuluh darah

akan menyebabkan terjadinya pendarahan, sedangkan sel darah merah yang pecah akan

menyebabkan terjadinya anemia hemolitik. Pada paru- paru, LADEP akan meningkat

menyebabkan terjadinya kongesti vena pulmonal, terjadi perpindahan cairan sehingga akan

mengakibatkan terjadinya oedema paru. Oedema paru akan menyebabkan terjadinya

kerusakan pertukaran gas. Pada hati, vasokontriksi pembuluh darah akan menyebabkan

gangguan kontraktilitas miokard sehingga menyebabkan payah jantung dan memunculkan diagnosa

keperawatan penurunan curah jantung. Pada ginjal,akibat pengaruh aldosteron, terjadi

peningkatan reabsorpsi natrium dan menyebabkan retensi cairan dan dapat menyebabkan terjadinya

edema sehingga dapat memunculkan diagnosa keperawatan kelebihan volume cairan. Selin itu,

vasospasme arteriol pada ginjal akan meyebabkan penurunan GFR dan permeabilitas terhadap

protein akan meningkat. Penurunan GFR tidak diimbangi dengan peningkatan reabsorpsi oleh

tubulus sehingga menyebabkan diuresis menurun sehingga menyebabkan terjadinya oligouri

dan anuri.

Oligouri atau anuri akan memunculkan diagnosa keperawatan gangguan eliminasi urin.

Permeabilitas terhadap protein yang meningkat akan menyebabkan banyak protein akan lolos dari

9
filtrasi glomerulus dan menyebabkan proteinuria. Pada mata, akan terjadi spasmus arteriola

selanjutnya menyebabkan oedem diskus optikus dan retina. Keadaan ini dapat menyebabkan

terjadinya diplopia dan memunculkan diagnosa keperawatan risiko cedera. Pada plasenta

penurunan perfusi akan menyebabkan hipoksia/anoksia sebagai pemicu timbulnya gangguan

pertumbuhan plasenta sehinga dapat berakibat terjadinya Intra Uterin Growth Retardation

serta memunculkan diagnosa keperawatan risiko gawat janin.

Hipertensi akan merangsang medula oblongata dan sistem saraf parasimpatis akan

meningkat. Peningkatan saraf simpatis mempengaruhi traktus gastrointestinal dan ekstrimitas. Pada

traktus gastrointestinal dapat menyebabkan terjadinya hipoksia duodenal dan penumpukan ion H

menyebabkan HCl meningkat sehingga dapat menyebabkan nyeri epigastrik. Selanjutnya akan

terjadi akumulasi gas yang meningkat, merangsang mual dan timbulnya muntah sehingga muncul

diagnosa keperawatan nausea. Pada ektrimitas dapat terjadi metabolisme anaerob menyebabkan

ATP diproduksi dalam jumlah yang sedikit yaitu 2 ATP dan pembentukan asam laktat.

Terbentuknya asam laktat dan sedikitnya ATP yang diproduksi akan menimbulkan keadaan cepat

lelah, lemah sehingga muncul diagnosa keperawatan intoleransi aktivitas. (Ari Widiastuti, 2010)

10
Gambar 1. Aliran darah pada kehamilan normal dan kehamilan dengan preeklampsia

7. Manifestasi Klinik  

Biasanya tanda-tanda preeklampsia timbul dalam urutan : pertambahan berat badan yang

berlebihan, diikuti edema, hipertensi, dan akhirnya proteinuria. Pada preeklampsia ringan tidak

ditemukan gejala – gejala subyektif. Pada pre eklampsia berat didapatkan sakit kepala di

daerah prontal, diplopia, penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, mual atau muntah.

Gejala  – gejala ini sering ditemukan pada preeklampsia yang meningkat dan merupakan

petunjuk bahwa eklampsia akan timbul.

8. Pemeriksaan Penunjang 

a. Uji diagnostik dasar

- Pengukuran tekanan darah

- Analisis protein dalam urin

- Urinalisis: ditemukan protein dalam urine.

- Pemeriksaan edema

- Pengukuran tinggi fundus uteri

- Pemeriksaan funduskopi

b. Uji laboratorium dasar

- Pemeriksaan darah lengkap dengan hapusan darah, umumnya terjadi:

11
- Penurunan hemoglobin (nilai rujukan atau kadar normal hemoglobin untuk

wanita hamil adalah 12-14 gr%)

- Hematokrit meningkat (nilai rujukan 37 – 43 vol%)

- Trombosit menurun (nilai rujukan 150 – 450 ribu/mm3)

 Pemeriksaan fungsi hati, biasanya ditemukan:

- Bilirubin meningkat ( N= < 1 mg/dl )

- LDH (laktat dehidrogenase) meningkat

- Aspartat aminotransferase (AST) > 60 ul.

- Serum Glutamat Pirufat Transaminase (SGPT) meningkat (N= 15- 45 u/ml)

- Serum Glutamat Oxaloacetic Transaminase (SGOT) meningkat (N= <31 u/l)

- Total protein serum menurun (N= 6,7-8,7 g/dl)

 Pemeriksaan fungsi ginjal (ureum dan kreatinin)

c. Uji untuk meramalkan hipertensi

- Roll-over test

- Pemeriksaan infus angiotensin

d. Radiologi

 Ultrasonografi

Dapat ditemukan retardasi pertumbuhan janin intra uterus. Pernafasan intrauterus lambat,

aktivitas janin lambat, dan volume cairan ketuban sedikit.

 Kardiotografi

Bisa ditemukan denyut jantung janin bayi lemah.(Manuaba, 1998)

9. Diagnosis 

Diagnosis ditegakkan berdasarkan :

 Gambaran klinik : pertambahan berat badan yang berlebihan, edema, hipertensi, dan timbul

proteinuria

 Gejala subyektif : sakit kepala didaerah fromtal, nyeri epigastrium; gangguan visus;

penglihatan kabur, skotoma, diplopia; mual dan muntah.

 Gangguan serebral lainnya: refleks meningkat, dan tidak tenang

 Pemeriksaan: tekanan darah tinggi, refleks meningkat dan proteinuria pada

  pemeriksaan laboratorium

10. Pencegahan 

Pemeriksaan antenatal yang teratur dan teliti dapat menemukan tanda-tanda dini

12
preeklampsia, dan dalam hal itu harus dilakukan penanganan semestinya. Kita perlu lebih waspada

akan timbulnya preeklampsia dengan adanya faktor-faktor predisposisi seperti yang telah

diuraikan di atas. Walaupun timbulnya preeklamsia tidak dapat dicegah sepenuhnya, namun

frekuensinya dapat dikurangi dengan pemberian penerangan secukupnya dan

pelaksanaan pengawasannya yang baik pada wanita hamil. Penerangan tentang manfaat istirahat

dan diet berguna dalam pencegahan. Istirahat tidak selalu berarti berbaring di tempat tidur,

namun pekerjaan sehari-hari perlu dikurangi, dan dianjurkan lebih banyak duduk dan berbaring. Diet

tinggi protein dan rendah lemak, karbohidrat, garam dan penambahan berat badan yang tidak

berlebihan perlu dianjurkan. Mengenal secara dini preeklampsia dan segera merawat

penderita tanpa memberikan diuretika dan obat antihipertensif, memang merupakan kemajuan yang

penting dari pemeriksaan antenatal yang baik.

11. Penatalaksanaan 

Tujuan utama penanganan adalah :

a. Untuk mencegah terjadinya pre-eklamsi dan eklamsia

b. Hendaknya janin lahir hidup

c. Trauma pada janin seminimal mungkin.

a) Pre-eklamsi ringan

Pengobatan hanya bersifat simtomatis dan selain rawat inap, maka penderita dapat

dirawat jalan dengan skema periksa ulang yang lebih sering, misalnya 2 kali seminggu.

Penanganan pada penderita rawat jalan atau rawat inap adalah dengan istirahat

ditempat, diit rendah garam, dan berikan obat-obatan seperti valium tablet 5 mg dosis

3 kali sehari atau fenobarbital tablet 30 mg dengan dosis 3 kali 1 sehari. Diuretika

dan obat antihipertensi tidak dianjurkan, karena obat ini tidak begitu bermanfaat,

bahkan bisa menutupi tanda dan gejala pre-eklampsi berat. Bila gejala masih

menetap, penderita tetap dirawat inap.Monitor keadaan janin : kadar estriol urin,

lakukan aminoskopi, dan ultrasografi, dan sebagainya.Bila keadaan mengizinkan,

barulah dilakukan induksi partus pada usia kehamilan minggu 37 ke atas.

b) Pre-eklamsia berat

Pre-eklamsia berat pada kehamilan kurang dari 37 minggu

 Jika janin belum menunjukan tanda-tanda maturitas paru-paru dengan uji kocok

dan rasio L/S, maka penanganannya adalah sebagai berikut :

1. Berikan suntikan sulfas magnesikus dengan dosis 8 gr intramusuler kemudian

13
disusul dengan injeksi tambahan 4 gr intramuskuler setiap (selama tidak ada

kontraindikasi)

2. Jika ada perbaikan jalannya penyakit, pemberian sulfas magnesikus dapat

diteruskan lagi selama 24 jam sampai dicapai criteria pre- eklamsi ringan

(kecuali ada kontraindikasi)

3. Selanjutnya ibu dirawat, diperiksa, dan keadaan janin dimonitor, serta berat

badan ditimbang seperti pada pre-eklamsi ringan, sambil mengawasi

timbulnya lagi gejala

4. Jika dengan terapi di atas tidak ada perbaikan, dilakukan terminasi kehamilan

dengan induksi partus atau tindakan lain tergantung keadaan. Jika pada

pemeriksaan telah dijumpai tanda-tanda kematangan paru janin, maka

penatalaksanaan kasus sama seperti pada kehamilan diatas 37 minggu

c) Pre-eklamsi berat pada kehamilan diatas 37 minggu

 Penderita dirawat inap

1. Istirahat mutlak dan ditempatkan dalam kamar isolasi

2. Berikan diit rendah garam dan tinggi protein

3. Berikan suntikan sulfas magnesikus 8 gr intramuskuler, 4 gr di bokong

kanan dan 4 gr di bokong kiri

4. Suntikan dapat diulang dengan dosis 4 gr setiap 4 jam

5. Syarat pemberian MgSO4 adalah: reflex patella positif; dieresis 100 cc

dalam 4 jam terakhir; respirasi 16 kali per menit, dan harus tersedia

antidotumnya yaitu kalsium glukonas 10% dalam ampul 10 cc

6. Infus dekstrosa 5 % dan Ringer laktat

 Berikan obat anti hipertensi : injeksi katapres 1 ampul i.m. dan

selanjutnya dapat diberikan tablet katapres 3 kali ½ tablet atau 2 kali ½ tablet

sehari

 Diuretika tidak diberikan, kecuali bila terdapat edema umum, edema paru dan

kegagalan jantung kongerstif.Untuk itu dapat disuntikan 1 ampul intravena

Lasix

 Segera setelah pemberian sulfas magnesikus kedua, dilakukan induksi

partus dengan atau tanpa amniotomi.Untuk induksi dipakai oksitosin (pitosin

atau sintosinon) 10 satuan dalam infuse tetes

 Kala II harus dipersingkat dengan ekstrasi vakum atau forceps, jadi

14
ibu dilarang mengedan

 Jangan diberikan methergin postpartum, kecuali bila terjadi perdarahan yang

disebabkan atonia uteri

 Pemberian sulfas magnesikus, kalau tidak ada kontraindikasi,

kemudian diteruskan dengan dosis 4 gr setiap 4 jam dalam 24 jam postpartum

 Bila ada indikasi obstetric dilakukan seksio sesarea.

12. Komplikasi 

Tergantung pada derajat preeklampsi yang dialami. Namun yang termasuk komplikasi antara lain:

 Pada Ibu

a. Eklapmsi

b. Solusio plasenta

c. Pendarahan subkapsula hepar

d. Kelainan pembekuan darah ( DIC )

e. Sindrom HELPP ( hemolisis, elevated, liver,enzymes dan low platelet count )

f. Ablasio retin

g. Gagal jantung hingga syok dan kematian.

 Pada Janin

a. Terhambatnya pertumbuhan dalam uterus

b. Prematur

c. Asfiksia neonatorum

d. Kematian dalam uterus

e. Peningkatan angka kematian dan kesakitan perinatal

B. Konsep Dasar Asuhan Kepewaratan

1. Pengkajian

a. Data subyektif :

a) Umur biasanya sering terjadi pada primi gravida , < 20 tahun atau > 35 tahun

b) Riwayat kesehatan ibu sekarang : terjadi peningkatan tensi, oedema, pusing, nyeri

epigastrium, mual muntah, penglihatan kabur

c) Riwayat kesehatan ibu sebelumnya : penyakit ginjal, anemia, vaskuler esensial,

hipertensi kronik, DM

d) Riwayat kehamilan: riwayat kehamilan ganda, mola hidatidosa, hidramnion serta riwayat

kehamilan dengan pre eklamsia atau eklamsia sebelumnya

15
e) Pola nutrisi : jenis makanan yang dikonsumsi baik makanan pokok maupun selingan

f) Psikososial spiritual : Emosi yang tidak stabil dapat menyebabkan kecemasan, oleh

karenanya perlu kesiapan moril untuk menghadapi resikonya.

b. Data Obyektif :

a) Inspeksi: edema yang tidak hilang dalam kurun waktu 24 jam, pucat, anemis, tampak meringis,

tampak distensi vena jugularis, klien tampak lemah.

b) Palpasi: untuk mengetahui TFU, letak janin, lokasi edema, terjadi peningkatan denyut

nadi teraba cepat dan lemah, CRT > 2 detik, akral teraba dingin, teraba distensi vena

jugularis.

c) Auskultasi: mendengarkan DJJ untuk mengetahui adanya fetal distress, penurunan peristaltik

usus, tekanan darah meningkat (160/110 mmHg)

d) Perkusi: untuk mengetahui refleks patella sebagai syarat pemberian magnesium sulfat (jika

refleks +)

2. Diagnosa Keperawatan

Pada umumnya diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan preeclampsia

diantaranya:

a. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan factor metabolic ditandai dengan Ph 7,25,

penurunan PaO2 45 mmHg, Peningkatan PaCo2 50 mmHg, penurunan saturasi O2 70%, RR

30X/menit, nafas cepat dan dalam.

b. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan retensi cairan dan garam ditandai dengan klein

mengeluhkan adanya odem terutama pada ekstremitas dan wajah.

c. PK Hipertensi

d. PK perdarahan

e. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penurunan suplai darah ke otak ditandai

dengan pasien mengeluh pusing.

f.  Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri kimia: asam lambung ditandai dengan klien

mengeluh nyeri pada epigastrium

g. Gangguan eliminasi urin (oliguria) berhubungan dengan kerusakan pada glomerulus akibat

spasme arteriol pada ginjal ditandai dengan klien mengalami oliguria

h. Konstipasi berhubungan dengan penurunan motilitas traktus gastrointestinalis

ditandai dengan pasien menyatakan sulit BAB selama beberapa hari, terasa ada penumpukkan

feses di perut bagian bawah, adanya tekanan pada rectum, penurunan bising usus (<5x/menit),

rectal terasa penuh, adanya distensi abdomen

16
2. Perencanaan

a. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan factor metabolic ditandai dengan Ph 7,25, penurunan

PaO2 45 mmHg, Peningkatan PaCo2 50mmHg, penurunan saturasi O2 70%, RR 30X/menit, nafas

cepat dan dalam.

Tujuan:

Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan pertukaran gas klien adekuat

dengan criteria hasil:

 Respiratory status: Gas Exchange 

- PaO2 normal 80-100 mmHg

- PaCO2 normal 35-45 mmHg

- Ph 7,35-7,45

- SatO2 95-100%

 Intervensi

1) Lakukan pemeriksaan AGD

Rasional: pemeriksaan AGD diperlukan untuk memantau adanya asidosis respiratorik

2) Lakukan pemeriksaan pulse oksimetri

Rasional: mengetahui satO2 klien

3) Pantau nilai Ph, PaO2, dan PCO2 melalui hasil laboratorium

Rasional: mengetahui adanya kelainan pada hasil analisa gas darah

4) Pantau adanya gejala gagal nafas

Rasional: Gagal nafas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk mempertahankan

oksigenasi darah normal (PaO2), eliminasi karbon dioksida (PaCO2) dan pH yang adekuat.

 Kolaborasi

Infus Bicarbonat

- Bila pH<7,0 atau bicarbonat < 12mEq/L

- Berikan 44-132 mEq dalam 500cc NaCl 0.9%, 30-80 tpm

- Pemberian Bicarbonat = [ 25 - HCO3 TERUKUR ] x BB x 0.4

Rasional: memperbaiki kedaan klien atau kelainan hasil analisa gas darah.

b. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan retensi cairan dan garam ditandai dengan klein

mengeluhkan adanya odem terutama pada ekstremitas dan wajah.

Tujuan:

Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ... x … jam diharapkan tercapai keseimbangan antara

asupan dan haluaran cairan, dengan kriteria hasil:

17
a) Fluid balance

- Tekanan darah normal (120/80 mmHg) (skala 5=not compromised) 

- Denyut nadi normal (60-100x/menit) (skala 5= not compromised)

- Tercapai keseimbangan intake dan output cairan (skala 5= not compromised) 

- Turgor kulit elastis (skala 5= not compromised) 

- Membran mukosa lembab (skala 5= not compromised) 

- Hematokrit normal (skala 5= not compromised) 

- Tidak ada asites (skala 5= none) 

- Tidak ada hipotensi orthostatik (skala 5= none) 

- Tidak ada distensi vena jugularis (skala 5= none) 

- Tidak ada edema perifer (skala 5= none) b.  Cardiopulmonary status

- Tekanan darah sistolik normal (120 mmHg) (skala 5= no deviation from normal range) 

- Tekanan darah diastolik normal (80 mmHg) (skala 5= no deviation  from normal range) 

- Respiratory rate normal (16-20x/mnt) (skala 5= no deviation from normal range) 

- Kedalaman dari inspirasi normal (skala 5= no deviation from normal range) 

- Haluaran urine seimbang dengan input (skala 5= no deviation from normal range) 

- Tidak terjadi intoleransi aktivitas (skala 5= none)

- Tidak ada sianosis (skala 5= none)

- Tidak ada edema perifer (skala 5= none)

Intervensi

1)    Fluid management

a. Timbang berat badan setiap hari.

 Rasional:  peningkatan berat badan dapat mengindikasikan terjadinya edema. 

b. Pertahankan keakuratan intake dan output.

 Rasional : untuk mempertahankan keseimbangan cairan tubuh.

c. Monitor hasil lab yang berhubungan dengan retensi cairan (peningkatan BUN,

peningkatan hematokrit, peningkatan osmolaritas urine)

 Rasional :  menunjukkan adanya retensi cairan dan dapat menunjukkan derajat edema

sehingga dapat menentukan intervensi selanjutnya.

d. Monitor tanda-tanda vital

18
Rasional : kelebihan volume cairan dapat menyebabkan perubahan tanda-tanda vital seperti

peningkatan TD, nadi, dan respirasi rate.

e. Monitor indikasi dari kelebihan volume cairan/retensi seperti peningkatan CVP,

edema, distensi vena jugularis.

 Rasional :  tanda-tanda seperti peningkatan CVP, edema, distensi vena jugularis dapat

mengindikasikan terjadinya kelebihan volume cairan.

f. Kaji lokasi dan faktor pemicu edema.

 Rasional: untuk mengetahui kondisi edema dan factor pemicunya sehingga dapat

memberikan intervensi selanjutnya.

2)    Fluid monitoring

a.   Monitor intake dan output tiap hari.

 Rasional :  untuk memantau cairan masuk dan keluar klien agar seimbang.

 b.  Monitor serum albumin dan total protein level.

 Rasional :  penurunan serum albumin dan level protein dapat menyebabkan retensi cairan

sehingga menimbulkan edema.

c.  Monitor serum dan osmolalitas urine.

 Rasional : retensi cairan dapat menyebabkan peningkatan osmolalitas serum dan

osmolaritas urine.

3)    Hypervolemia management

a.   Monitor perubahan pada edema perifer

 Rasional : untuk mengetahui status edema sehingga dapat menentukan intervensi

selanjutnya.

 b.  Elevasi tungkai yang mengalami edema

 Rasional : untuk melancarkan aliran darah balik dari tungkai sehingga mengurangi edema.

c.  Kolaborasi pemberian diet protein sedang-tinggi dan rendah garam.

 Rasional: diet rendah garam untuk mengurangi retensi cairan dan pemberian protein

untuk meningkatkan albumin darah sehingga mengurangi edema.

d.  Anjurkan klien untuk meningkatkan istirahat.

 Rasional : untuk mengurangi penekanan pada tungkai.

19
e. Lakukan kompresi pada bagian tubuh yang edema.

 Rasional : untuk mengurangi risiko peningkatan volume edema 3. PK Hipertensi

Tujuan:

Setelah diberikan asuhan keperawatan selama..............x 24 jam diharapkan perawat dapat

meminimalkan komplikasi dari hipertensi dengan kriteria hasil:

- TTV dalam batas normal (TD= 120/80 mmHg, suhu 36-37,5oC, nadi = 60-100 kali/menit,

RR= 12-20 x/menit)

- Tidak ada tanda-tanda komplikasi dari hipertensi seperti stroke.

Intervensi:

1)   Monitor tanda-tanda vital klien meliputi: TD, nadi, RR dan suhu.

Rasional : untuk mengetahui keadaan umum klien khususnya tekanan darah. Pemantauan

tekanan darah penting untuk deteksi dini komplikasi dari hipertensi.

2)   Anjurkan klien diet rendah natrium.

Rasional : kadar natrium yang tinggi akan menyebabkan terjadinya retensi air sehingga

meningkatkan osmolalitas darah yang pada

akhirnya akan semakin meningkatkan tekanan darah.

3)   Anjurkan klien mengonsumsi makanan yang dapat menurunkan tekanan darah, seperti melon,

mentimun, terong, kangkung.

Rasional: untuk menurunkan tekanan darah secara nonfarmakologik.

4)   Kolaborasi obat-obat antihipertensi sesuai indikasi:

Keadaan pre-eklamsia ringan : dengan pemberian preparat sedative seperti sodium amital

50 mg dan preparat sedative pada malam hari, Keadaan yang lebih berat : penyuntikan

sodium fenobarbital (200mg setiap 8 jam), sodium fenitoin (100 mg setiap 8 jam), dan

diazepam (10 mg setiap 6 hingga 8 jam) dapat dilakukan dengan pemberian tunggal atau

kombinasi.

Rasional : membantu vasodilatasi pembuluh darah sehingga menurunkan tekanan darah.

4. PK Perdarahan

Tujuan :

20
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama...x 24 jam, perawat dapat meminimalkan

komplikasi yang terjadi dengan kriteria hasil:

- Nilai Ht dan Hb berada dalam batas normal

- Klien tidak mengalami episode perdarahan

- Tanda-tanda vital berada dalam batas normal (TD: 120


/80 mmHg, Nadi: 60 – 100 x / menit,

RR: 16 – 20 x / menit, Suhu: 36 - 370C ± 0,50C) Intervensi:

1) Kaji pasien untuk menemukan bukti-bukti perdarahan atau hemoragi

Rasional: Untuk mengetahui tingkat keparahan perdarahan pada klien sehingga dapat

menentukan intervensi selanjutnya

2) Pantau hasil lab b/d perdarahan

Rasional: Banyak komponen darah yang menurun pada hasil lab dapat membantu menentukan

intervensi selanjutnya

3)   Lindungi pasien terhadap cedera dan terjatuh

Rasional: Efek cedera terutama pada cedera tajam umumnya dapat mengakibatkan perdarahan

4)   Siapkan pasien secara fisik dan psikologis untuk menjalani bentuk terapi lain jika diperlukan

Rasional: Keadaan fisik dan psikologis yang baik akan mendukung terapi yang diberikan

pada klien sehingga mampu memberikan hasil yang maksimal

5)   Kolaborasi pemberian transfusi faktor VIII, IX sesuai indikasi

Rasional: Meningkatkan faktor koagulasi sehingga menurunkan perdarahan

5. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penurunan suplai darah ke otak ditandai

dengan pasien mengeluh pusing. 

Tujuan:

Setelah diberikan asuhan keperawatan selama x 24 jam diharapkan

tercapai keefekifan perfusi jaringan serebral, dengan kriteria hasil:

 Perfusi jaringan serebral:

- Tidak terjadi peningkatan tekanan intrakranial (skala 5 = no deviation  from normal

range) 

- Tekanan darah sistolik normal (120 mmHg) (skala 5 = no deviation  from normal range) 

21
- Tekanan darah diastolik normal (80 mmHg) (skala 5 = no deviation  from normal range) 

- Tidak ada sakit kepala (skala 5 = none) 

- Tidak ada gelisah (skala 5 = none) 

- Tidak ada agitasi (skala 5 = none) 

- Tidak ada syncope (skala 5 = none) 

- Tidak ada muntah (skala 5 = none) 

- Tidak ada gangguan kognisi (skala 5 = none) 

Intervensi :

1)   Cerebral Perfusion Promotion

a.   Pantau tingkat kerusakan perfusi jaringan serebral, seperti status neurologi dan adanya

penurunan kesadaran.

 Rasional: kegagalan perfusi jaringan serebral dapat mempengaruhi status neurologi dan

tingkat kesadaran klien.

 b.  Konsultasikan dengan dokter untuk menentukan posisi kepala yang tepat (0, 15, atau 30

derajat) dan monitor respon klien terhadap posisi tersebut.

 Rasional : posisi yang tepat dapat membantu memperlancar aliran darah ke otak sehingga

nutrisi dan O2 ke otak adekuat.

c.  Monitor status respirasi (pola, ritme, dan kedalaman respirasi; PO 2, PCO2, PH, dan level

bikarbonat)

 Rasional :  status respirasi dapat menjadi indikator keadekuatan perfusi oksigen ke otak.

d.  Monitor nilai lab untuk perubahan dalam oksigenasi

 Rasional : oksigenasi yang tidak adekuat dapat menurunkan perfusi oksigen ke otak.

2)   Oxygen Therapy

a.   Pertahankan kepatenan jalan nafas.

 Rasional: mempertahankan kepatenan jalan napas bertujuan untuk mencegah terputusnya

aliran oksigen ke otak sehingga mencegah terjadinya hipoksia jaringan otak.

22
 b.  Monitor aliran oksigen.

 Rasional: untuk mempertahankan masukan oksigen adekuat sesuai dengan kebutuhan.

c.  Monitor posisi kenyamanan klien (semifowler 15-350).

 Rasional:  posisi yang nyaman diperlukan untuk menjaga kontinuitas

masukan oksigen.

3)   Vital Signs Monitoring

a.   Monitor tanda-tanda vital

 Rasional:  memonitor tanda-tanda vital penting untuk mengetahui keadaan umum dan

status keefektifan perfusi jaringan.

 b.  Ukur tekanan darah ketika klien tidur, berbaring, sebelum dan sesudah berubah posisi.

 Rasional:  pengukuran tekanan darah pada berbagai posisi dibutuhkan untuk mengetahui

perubahan tekanan darah ortostatik.

c.  Ukur tekanan darah setelah klien mendapatkan medikasi/terapi.

 Rasional:  pengukuran tekanan darah setelah mendapatkan

terapi/medikasi penting untuk mengetahui keefektifan terapi.

d.  Ukur tekanan darah, nadi, dan respirasi sebelum, selama, dan setelah beraktivitas.

 Rasional:  mengetahui reaksi tubuh klien terhadap aktivitas sehingga dapat menentukan

intervensi selanjutnya.

23
DAFTAR PUSTAKA

Harnawati. 2008.  Askep Preeklampsi.

http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/04/28/askep-preeklamsi/.  [Akses: 17 April 2011]

Mansjoer, Arif, dkk. 2001.  Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia

Manuaba, Ida Bagus. 1998.  Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan Keluarga

 Berencana. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

Putri, Chriesa. 2009.  Kenalilah Gejala Pre

 Eklampsia. http://chriesaputri.blogspot.com/2009/04/kenalilah-gejala-pre-

eklampsia.html. [Akses: 17 April 2011]

Rozikhan. 2007. Faktor-Faktor Risiko Terjadinya Preeklampsia Berat di Rumah Sakit

 Dr. H. Soewondo Kendal. Program Magister Epidemiologi Universitas

Diponegoro Semarang. Pdf

Sudhaberata, Ketut. 2001.  Penanganan Preeklampsia berat dan Eklampsia. Cermin

 Dunia Kedokteran No. 133.

http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/10_PenangananPreeklampsiaBerat.pdf/1
0_PenangananPreeklampsiaBerat.html [Akses : 16 April 2011]

Tjandra,Ong. 2008.  Pre-eklampsia dan Eklampsia.

24
http://kuliahbidan.wordpress.com/2008/07/27/pre-eklampsia- eklampsia/. [Akses: 17 April 2011]

Widianto, Panca. 2009.  Pre-eklampsia dan Eklampsia.

http://widiantopanca.blogdetik.com/obgin/pre-eklampsia-dan- eklampsia/. [Akses: 17 April 2011]

Widiastuti, Ari. 2010.  Askep

25

Anda mungkin juga menyukai