Reaksi alergi paling sering menyebabkan urtikaria yaitu melalui reaksi hipersensitivitas
tipe I (anafilaksis) misalnya pada alergi obat dan makanan
OBAT: penisilin dan derivatnya, sulfonamid, analgesik, aspirin dan obat anti-inflamasi
non-steroid lain, Angiotensin Converting Enzyme (ACE) inhibitor (umunya dihubungkan
dengan angiodema), narkotik (kodein dan morfin) dan alkohol.
Makanan: cokelat, makanan laut, telur, susu, kacang-kacangan, tomat, stroberi, keju dan
bawang. Sebagian kecil (<10%) urtikaria kronis disebabkan oleh food additives misalnya
ragi, salisilat, asam sitrat, asam benzoat, sulfit dan pewarna makanan
Infeksi dan infestasi: infeksi saluran napas atas terutama infeksi streptococcus. Infeksi
tonsil, gigi, sinus, kandung empedu, prostat, ginjal dan saluran kemih dapat menyebabkan
urtikaria akut maupun kronis. Infeksi virus dan infeksi jamur pada kulit dan kuku juga
termasuk keadaan yang dapat menimbulkan urtikaria. Infestasi parasit termasuk infestasi
cacing, giardia dan amuba perlu dipertimbangkan sebagai penyebab urtikaria di negara
berkembang.
proses inflamasi kronis akibat berbagai penyakit juga dapat menimbulkan urtikaria. Hal
tersebut dibuktikan pada gastritis, esofagitis refluks dan peradangan empedu.
Urtikaria kronis juga dapat berhubungan dengan penyakit sistemik dan keganasan,
misalnya keadaan hipertiroid atau hipotiroid, penyakit Hodgkin dan leukimia limfositik
kronik.
Berbagai rangsangan fisis juga dapat menimbulkan urtikaria, diantaranya suhu (panas dan
dingin), sinar matahari, radiasi dan tekanan mekanis (dermografisme dan delayed
pressure urticaria).
Patogenesis urtikaria yang dapat menyebabkan aktivasi sel mast dibedakan menjadi
imunologi dan non imunologi. Secara imunologi terjadi reaksi hipersensitivitas yang
diperantarai oleh antibodi dan atau sel T mengakibatkan aktivasi sel mast. Sedangkan pada
non imunologi, urtikaria terjadi karena aktivasi sel mast secara langsung oleh penyebab
misalnya obat anti inflamasi non-steroid, morfin, kodein, zat kontras. Aktivasi sel mast
merangsang pelepasan berbagai mediator inflamasi yaitu histamin, bradikinin, leukotrien C4,
prostaglandin D2 dan substansi vasoaktif lain. Substansi tersebut menyebabkan ekstravasasi
cairan ke dermis sehingga timbul lesi urtika. Pruritus intens yang dialami saat urtikaria
merupakan akibat pelepasan histamin ke dermis.
a. Pemeriksaan darah, urin dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya infeksi yang
tersembunyi, infestasi atau kelainan alat dalam.3
b. Pemeriksaan kadar igE total dan eosinofil untuk mencari kemungkinan kaitannya
dengan faktor atopi.3
c. Pemeriksaan gigi, THT dan usapan genitalia interna wanita untuk mencari fokus
infeksi.3
d. Uji tusuk kulit terhadap berbagai makanan dan inhalan3
e. Uji serum autolog dilakukan pada pasien urtikaria kronis untuk membuktikan adanya
urtikaria autoimun3
f. Uji dermografisme dan uji dengan es batu (ice cube test) untuk mencari penyebab
fisik. Pada pemeriksaan uji dermografisme terapi antihistamin harus dihentikan
setidaknya 2-3 hari dan terapi immunosupresi untuk 1 minggu3,8
g. Pemeriksaan histopatologis kulit perlu dilakukan bila terdapat kemungkinan urtikaria
sebagai gejala vaskulitis atau mastositosis. Pada pemeriksaan histopatologi urtikaria
didapatkan udem pada dermis atas dan tengah, disertai dilatasi venula postkapiler dan
pembuluh limfatik dermis atas.