Guru Versus Orangtua Sesungguhnya guru dan orangtua sama-sama bertanggung jawab atas pendidikan anak, kendati ada sejumlah perbedaan. Misalnya, guru mendidik anak dalam ruang formal (sekolah) dan nonformal (pesantren), sedangkan orangtua mendidik anak dalam ruang informal (keluarga dan masyarakat). Oleh sebab itu, keduanya perlu bekerja sama secara harmonis agar anak berkembang secara optimal. Misalnya, guru mendidikkan tata cara mendirikan sholat dengan benar, sedangkan peran orangtua mengontrol agar anak dapat mendirikan sholat secara istiqomah. Sebagai pendidik diruang formal dan nonformal, guru dapat mengemban setidaknya tujuh fungsi berikut. 1. Murobbi, mendidik dengan telaten layaknya petani. Tugasnya adalah “mengairi” (mengajar), “memupuk” (melatih) hingga “menjaga tanaman dari hama” (menjaga), agar menghasilkan panen yang bermutu (lulusan berkualitas). 2. Muzakki, mendidik dengan prinsip melayani bagaikan pegawai. Tugasnya adalah memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan dan hak-hak peserta didik agar dapat tumbuh dengan baik. Utamanya rela “berkotor-kotor” demi membersihkan peserta didik dari “noda-noda jiwa”. Seperti malas, ramai dikelas, suka menyontek, bertutur kata kotor, menjalin hubungan dengan lawan jenis, dan berbagai jenis pelanggaran norma lainnya. 3. Mu’allim, pandai layaknya ilmuwan. Tugasnya adalah mendidik dengan memadukan teori dan praktik, serta memicu rasa ingin tahu (corius) pada diri peserta didik. Artinya, guru mampu mengajarkan ilmu dengan jelas, sehingga mudah dipahami; mempraktikkan ilmu secara aktual sehingga dapat diteladani; serta memotivasi dan menginspirasi peserta didik agar rajin belajar dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. 4. Mudarris, gigih layaknya pengusaha. Dalam hal ini, aneka hambatan dan rintangan yang menghadang pendidikan, meniscayakan guru memiliki sifat gigih layaknya pengusaha. Pengusaha sukses identik dengan mentalitas gigih. Tanpa kegigihan, sulit bagi pengusaha untuk meraih sukses. Kegigihan guru ditunjukkan dengan etos kerja keras dan penuh kesabaran ketika menghadapi lika-liku pendidikan. Para rasul Ulul ‘Azmi (Nabi Nuh as., Nabi Ibrahim as., Nabi Musa as,. Nabi ‘Isa as., dan Nabi Muhammad Saw.) adalah contoh nyata figur pendidikan yang memiliki etos kerja keras sekaligus sabar. 5. Mursyid, tegas layaknya polisi, utamanya menjelaskan posisi “benar” dan “salah”; “baik” dan “buruk”; “halal” dan “haram”. Termasuk juga memberikan apresiasi dan penghargaan (reward; al-targhib) kepada peserta didik yang menaati aturan, serta memberikan peringatan hukuman (pinishment; al-tarhib) kepada peserta didik yang melanggar aturan. Lebih dari itu guru model mursyid ini memadukan sisi “kelembutan” dengan “ketegasan” secara proporsional. 6. Mu’addib, menarik layaknya seniman. Dalam hal ini, guru mampu menarik perhatian peserta didik melalui “seni mrngajar” yang ditampilkan. Untuk itu, guru perlu memiliki sikap yang estetis (indah) sekaligus etis (terpuji). Guru yang bertutur kata lemah lembut dan berperilaku rendah hati (tawadhu’) dengan mudah menarik perhatian peserta didik. 7. Ustadz, profesional layaknya manajer. Dalam hal ini, guru berupaya memenuhi kode etik sebagai guru. Misalkan menguasai kompetensi pedagogis, sehingga pendidikan yang disampaikan tidak hanya sekedar menarik, melainkan juga efektif. Lebih dari itu, guru membiasakan diri menggunakan pendekatan ilmiah dalam menyelesaikan problem-problem pendidikan, bukan menggunakan pendekatan spritual an sich. Sebagai pendidik diruang informal, orangtua perlu menerapkan pola asuh yang terbaik. Secara teoritis, pola asuh orangtua dalam keluarga terbagi menjadi empat sebagai berikut. 1. Otoriter, pola asuh ini memiliki kehangatan rendah dan kontrol tinggi. Orangtua otoriter bagaikan sipir penjara yang dapat mengontrol tahanan agar tidak melarikan diri dari penjara, namun sulit baginya untuk menjalin relasi penuh kasih sayang dengan para tahanan. Misalnya, orangtua memaksa anak untuk belajar dan kursus ini-itu, padahal si anak sama sekali tidak berminat atau tidak berbakat didalamnya. 2. Permisif, pola asuh ini memiliki kehangatan tinggi dan kontrol rendah. Orangtua permisif bagaikan seorang sahabat yang memberi kebebasan penuh kepada sahabatnya, namun tidak mampu menolak keinginan sahabatnya tersebut. Sehingga relasinya penuh kasih sayang, namun minim kontrol. Misalnya, orangtua yang memanjakan anaknya dengan memberi aneka gadget, tanpa memedulikan efek buruknya bagi perkembangan anak. 3. Pengabaian, pola asuh ini memiliki kehangatan rendah dan kontrol rendah. Orangtua yang abai bagaikan “hantu”, yaitu keberadaanya dianggap tidak ada ( ). Misalnya, orangtua yang terlampau sibuk bekerja dan tidak peduli sama sekali dengan kebutuhan fisik maupun psikis anaknya, sehingga anaknya menjadi terlantar. 4. Otoritatif, pola asuh ini memiliki kehangatan tinggi dan kontrol tinggi. Orangtua otoritatif bagaikan seorang wasit sepak bola yang adil. Dia berbaur dengan para pemain dan memberi ruang kebebasan yang luas bagi para pemain, sehingga mereka dapat bermain dengan penuh antusias dan sukacita. Namun, wasit akan memberikan “kartu kuning” bahkan “kartu merah” apabila pemain tersebut melakukan pelanggaran. Misalnya, orangtua yang menyuruh anaknya untuk belajar di pesantren, diawali penjelasan tentang nilai positif pesantren, lalu mengajukan sejumlah alternatif pesantren yang dapat dimasuki sehingga tugas anak adalah menentukan yang dirasa cocok, sesuai dengan seleranya. Dari empat pola asuh di atas, penulis memandang bahwa pola otoritatif merupakan pola asuh yang terbaik, dikarenakan terjadi win- win solution yang mempertemukan kepentingan orangtua dengan anak. Pola otoritatif juga bersifat bebas, namun terbatas sehingga tidak liar. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa secara faktual, selalu ada keluarga yang lebih memilih menerapkan pola otoriter, permisif hingga pengabaian dikarenakan selera pribadi maupun tuntutan sutuasi dan kondisi yang mengitari. D. Realisasi Maqashid Syariah Sebagai tumpuan harapan pendidikan islam, sudah wajar jika pendidik dalam pendidikan islam, memenuhi realisasi seluruh Maqashid Syariah Hifzh al-Din (religius) terealisasikan pada kompetensi sepribadian yang meliputi akhlak terpuji, terutama dalam konteks ibadah kepada Allah Swt. Apalagi dalam pendidikan islam, pendidik tidak sekadar mengajarkan ilmu, melainkan juga harus menjadi teladan bagi peserta didik. Terutama dalam hal menjaga nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari. Hifzh al-Nafz (fisik-psikis) terealisasikan pada tugas dan kewajiban pendidik yang menuntut kesiapan fisik dan psikis. Misalnya, pendidik yang harus mengajar sejak pagi sampai sore, tentu saja menguras energi fisik dan psikis. Oleh karena itu, salah satu prasyarat menjadi pendidik masa kini adalah sehat jasmani dan rohani. Hifzh al-‘Aql (intelektual) terealisasiikan pada kompetensi pedagogis yang mengharuskan pendidik untuk menguasai sejumlah ilmu pengetahuan terkait pendidikan dan pembelajaran, dalam rangka menciptakan pembelajaran efektif dan meningkatkan kualitas diri sebagai pendidik. Hifzh al-Nasl (sosial) terealisasikan pada kompetensi sosial yang mengharuskan pendidik untuk aktif menjalin relasi sosial dengan pihak-pihak yang berkepentngan dengan pendidikan dan pengajaran. Misalnya, peserta didik, wali murid, tenaga pendidik, tenaga kependidikan, masyarakat, dan stakeholders. Hifzh al-mal (ekonomi) terealisasikan pada kompetensi profesional yang mengharuskan pendidik untuk senantiasa meningkatkan (upgrade) dan menyegarkan (update) kompetensi, terutama melalui jalur-jalur pelatihan maupun pendidikan yang tentu saja membutuhkan dukungan finansial. Di sisi lain, Hifzh al-Mal terealisasikan pada posisi pendidik sebagai tenaga profesional yang berhak menerima gaji, untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sehari- hari. Hifzh al-‘irdh (prestasi) terealisasikan pada pendidik yang berhasil memenuhi keempat kompetensi pendidik, bahkan melampaui standar keempat kompetensi tersebut, sehingga layak dilabeli sebagai excellent teacher, great teacher, guru inspiratif atau al-mu’allim al- mitsal.