Anda di halaman 1dari 5

C.

Rekonsilisasi Pendidikan Islam dan Barat


Guru Versus Orangtua
Sesungguhnya guru dan orangtua sama-sama bertanggung jawab
atas pendidikan anak, kendati ada sejumlah perbedaan. Misalnya, guru
mendidik anak dalam ruang formal (sekolah) dan nonformal (pesantren),
sedangkan orangtua mendidik anak dalam ruang informal (keluarga dan
masyarakat). Oleh sebab itu, keduanya perlu bekerja sama secara harmonis
agar anak berkembang secara optimal. Misalnya, guru mendidikkan tata
cara mendirikan sholat dengan benar, sedangkan peran orangtua
mengontrol agar anak dapat mendirikan sholat secara istiqomah.
Sebagai pendidik diruang formal dan nonformal, guru dapat
mengemban setidaknya tujuh fungsi berikut.
1. Murobbi, mendidik dengan telaten layaknya petani. Tugasnya adalah
“mengairi” (mengajar), “memupuk” (melatih) hingga “menjaga
tanaman dari hama” (menjaga), agar menghasilkan panen yang
bermutu (lulusan berkualitas).
2. Muzakki, mendidik dengan prinsip melayani bagaikan pegawai.
Tugasnya adalah memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan dan hak-hak
peserta didik agar dapat tumbuh dengan baik. Utamanya rela
“berkotor-kotor” demi membersihkan peserta didik dari “noda-noda
jiwa”. Seperti malas, ramai dikelas, suka menyontek, bertutur kata
kotor, menjalin hubungan dengan lawan jenis, dan berbagai jenis
pelanggaran norma lainnya.
3. Mu’allim, pandai layaknya ilmuwan. Tugasnya adalah mendidik
dengan memadukan teori dan praktik, serta memicu rasa ingin tahu
(corius) pada diri peserta didik. Artinya, guru mampu mengajarkan
ilmu dengan jelas, sehingga mudah dipahami; mempraktikkan ilmu
secara aktual sehingga dapat diteladani; serta memotivasi dan
menginspirasi peserta didik agar rajin belajar dan memiliki rasa ingin
tahu yang tinggi.
4. Mudarris, gigih layaknya pengusaha. Dalam hal ini, aneka hambatan
dan rintangan yang menghadang pendidikan, meniscayakan guru
memiliki sifat gigih layaknya pengusaha. Pengusaha sukses identik
dengan mentalitas gigih. Tanpa kegigihan, sulit bagi pengusaha untuk
meraih sukses. Kegigihan guru ditunjukkan dengan etos kerja keras
dan penuh kesabaran ketika menghadapi lika-liku pendidikan. Para
rasul Ulul ‘Azmi (Nabi Nuh as., Nabi Ibrahim as., Nabi Musa as,. Nabi
‘Isa as., dan Nabi Muhammad Saw.) adalah contoh nyata figur
pendidikan yang memiliki etos kerja keras sekaligus sabar.
5. Mursyid, tegas layaknya polisi, utamanya menjelaskan posisi “benar”
dan “salah”; “baik” dan “buruk”; “halal” dan “haram”. Termasuk juga
memberikan apresiasi dan penghargaan (reward; al-targhib) kepada
peserta didik yang menaati aturan, serta memberikan peringatan
hukuman (pinishment; al-tarhib) kepada peserta didik yang
melanggar aturan. Lebih dari itu guru model mursyid ini memadukan
sisi “kelembutan” dengan “ketegasan” secara proporsional.
6. Mu’addib, menarik layaknya seniman. Dalam hal ini, guru mampu
menarik perhatian peserta didik melalui “seni mrngajar” yang
ditampilkan. Untuk itu, guru perlu memiliki sikap yang estetis (indah)
sekaligus etis (terpuji). Guru yang bertutur kata lemah lembut dan
berperilaku rendah hati (tawadhu’) dengan mudah menarik perhatian
peserta didik.
7. Ustadz, profesional layaknya manajer. Dalam hal ini, guru berupaya
memenuhi kode etik sebagai guru. Misalkan menguasai kompetensi
pedagogis, sehingga pendidikan yang disampaikan tidak hanya
sekedar menarik, melainkan juga efektif. Lebih dari itu, guru
membiasakan diri menggunakan pendekatan ilmiah dalam
menyelesaikan problem-problem pendidikan, bukan menggunakan
pendekatan spritual an sich.
Sebagai pendidik diruang informal, orangtua perlu menerapkan
pola asuh yang terbaik. Secara teoritis, pola asuh orangtua dalam keluarga
terbagi menjadi empat sebagai berikut.
1. Otoriter, pola asuh ini memiliki kehangatan rendah dan kontrol tinggi.
Orangtua otoriter bagaikan sipir penjara yang dapat mengontrol
tahanan agar tidak melarikan diri dari penjara, namun sulit baginya
untuk menjalin relasi penuh kasih sayang dengan para tahanan.
Misalnya, orangtua memaksa anak untuk belajar dan kursus ini-itu,
padahal si anak sama sekali tidak berminat atau tidak berbakat
didalamnya.
2. Permisif, pola asuh ini memiliki kehangatan tinggi dan kontrol rendah.
Orangtua permisif bagaikan seorang sahabat yang memberi kebebasan
penuh kepada sahabatnya, namun tidak mampu menolak keinginan
sahabatnya tersebut. Sehingga relasinya penuh kasih sayang, namun
minim kontrol. Misalnya, orangtua yang memanjakan anaknya dengan
memberi aneka gadget, tanpa memedulikan efek buruknya bagi
perkembangan anak.
3. Pengabaian, pola asuh ini memiliki kehangatan rendah dan kontrol
rendah. Orangtua yang abai bagaikan “hantu”, yaitu keberadaanya
dianggap tidak ada ( ). Misalnya, orangtua yang terlampau sibuk
bekerja dan tidak peduli sama sekali dengan kebutuhan fisik maupun
psikis anaknya, sehingga anaknya menjadi terlantar.
4. Otoritatif, pola asuh ini memiliki kehangatan tinggi dan kontrol tinggi.
Orangtua otoritatif bagaikan seorang wasit sepak bola yang adil. Dia
berbaur dengan para pemain dan memberi ruang kebebasan yang luas
bagi para pemain, sehingga mereka dapat bermain dengan penuh
antusias dan sukacita. Namun, wasit akan memberikan “kartu kuning”
bahkan “kartu merah” apabila pemain tersebut melakukan
pelanggaran. Misalnya, orangtua yang menyuruh anaknya untuk
belajar di pesantren, diawali penjelasan tentang nilai positif pesantren,
lalu mengajukan sejumlah alternatif pesantren yang dapat dimasuki
sehingga tugas anak adalah menentukan yang dirasa cocok, sesuai
dengan seleranya.
Dari empat pola asuh di atas, penulis memandang bahwa pola
otoritatif merupakan pola asuh yang terbaik, dikarenakan terjadi win-
win solution yang mempertemukan kepentingan orangtua dengan
anak. Pola otoritatif juga bersifat bebas, namun terbatas sehingga
tidak liar. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa secara
faktual, selalu ada keluarga yang lebih memilih menerapkan pola
otoriter, permisif hingga pengabaian dikarenakan selera pribadi
maupun tuntutan sutuasi dan kondisi yang mengitari.
D. Realisasi Maqashid Syariah
Sebagai tumpuan harapan pendidikan islam, sudah wajar jika pendidik
dalam pendidikan islam, memenuhi realisasi seluruh Maqashid Syariah
Hifzh al-Din (religius) terealisasikan pada kompetensi
sepribadian yang meliputi akhlak terpuji, terutama dalam konteks
ibadah kepada Allah Swt. Apalagi dalam pendidikan islam, pendidik
tidak sekadar mengajarkan ilmu, melainkan juga harus menjadi
teladan bagi peserta didik. Terutama dalam hal menjaga nilai-nilai
agama dalam kehidupan sehari-hari.
Hifzh al-Nafz (fisik-psikis) terealisasikan pada tugas dan
kewajiban pendidik yang menuntut kesiapan fisik dan psikis. Misalnya,
pendidik yang harus mengajar sejak pagi sampai sore, tentu saja
menguras energi fisik dan psikis. Oleh karena itu, salah satu prasyarat
menjadi pendidik masa kini adalah sehat jasmani dan rohani.
Hifzh al-‘Aql (intelektual) terealisasiikan pada kompetensi
pedagogis yang mengharuskan pendidik untuk menguasai sejumlah
ilmu pengetahuan terkait pendidikan dan pembelajaran, dalam rangka
menciptakan pembelajaran efektif dan meningkatkan kualitas diri
sebagai pendidik.
Hifzh al-Nasl (sosial) terealisasikan pada kompetensi sosial
yang mengharuskan pendidik untuk aktif menjalin relasi sosial dengan
pihak-pihak yang berkepentngan dengan pendidikan dan pengajaran.
Misalnya, peserta didik, wali murid, tenaga pendidik, tenaga
kependidikan, masyarakat, dan stakeholders.
Hifzh al-mal (ekonomi) terealisasikan pada kompetensi
profesional yang mengharuskan pendidik untuk senantiasa
meningkatkan (upgrade) dan menyegarkan (update) kompetensi,
terutama melalui jalur-jalur pelatihan maupun pendidikan yang tentu
saja membutuhkan dukungan finansial. Di sisi lain, Hifzh al-Mal
terealisasikan pada posisi pendidik sebagai tenaga profesional yang
berhak menerima gaji, untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sehari-
hari.
Hifzh al-‘irdh (prestasi) terealisasikan pada pendidik yang
berhasil memenuhi keempat kompetensi pendidik, bahkan melampaui
standar keempat kompetensi tersebut, sehingga layak dilabeli sebagai
excellent teacher, great teacher, guru inspiratif atau al-mu’allim al-
mitsal.

Anda mungkin juga menyukai