Anda di halaman 1dari 5

Nama : Semester :

NPM : Mata Kuliah :


Kelas : Program Studi :

A. Kelemahan dan kelebihan UU Hak Asasi Manusia No. 39 Tahun 1999

1. Pasal 1 Ayat (1)

Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang ini yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia
adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

Disini dijelaskan bahwa setiap makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki perlindungan
terhadap harkat dan martabatnya. Tetapi di dalam penerapannya tidak sesuai dengan apa
yang dirumuskan pada UU No 39 tahun 1999 tersebut. Masih banyak masyarakat
Indonesia yang tidak mendapat hak asasi manusia yang semestinya seperti rakyat-rakyat
yang tidak terpadang oleh pemerintah dan tertindas oleh jabatan. Mudah-mudahan, ini
semuanya akan mencerahkan masyarakat bahwa jabatan itu hakikatnya adalah
pemenuhan kewajiban dan bukannya penuntutan atau pemberian fasilitas semata-mata.

2. Pasal 41 ayat (1).

Pasal 41 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 menentukan bahwa, Setiap warga Negara
berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak serta untuk
perkembangan pribadinya secara utuh.

Disini terlihat jelas bahwa UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,yang
memiliki konsep peraturan yang sempurna didalamnya sangat menjanjikan bahwa setiap
warga Negara Republik Indonesia memiliki hak untuk Hidup layak yang dijamin oleh
Negara. Tetapi dalam peraturan dan penerapanya tidak lah sesuai dengan apa yang
dirumuskan dalam UU No 39 tahun 1999 tersebut, Masih banyaknya Kemiskinan dan
permasalahan-permasalahn social lainya yang menjadi momok bagi Negara ini.
Sebenarnya bukan salah UU melainkan oknum dan pemerintah yang kurang tanggap
yang tidak dibarengi dengan partisipasi Masyarakatnya. Seharusnya disini pemerintah
lebih memerhatikan permasalahan-permasalahan pada rakyat khususnya pada masalah
kemiskina, dikarenakan permasalahan tersebut sangat berpendaruh besar terhadap
Indonesia dan masyarakat lebih aktif.

3. Pasal 22 Ayat (1)

Pasal 22 ayat (I) UU No. 39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa “Setiap orang bebas
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaanya itu”. Jadi disini kita dapat menafsir bahwa tanpa danya aturan ini dan
tanpa agama ini manusia dapat berbuat kasar atau tanpa norma tak ubahnya seperti
hewan, karena agama lahir berdarkan keyakinan yang di dalamnya terdapat aturan atau
hukum untuk hidup sama-sama. Maka aturan ini sangat penting diterapkan di kehidupan
bermasyarakat agar masyarakat memahami arti dari toleransi tanpa adanya penindasan.

4. Pasal 9 Ayat (1)

Pasal 9 Ayat (1) UU Nomor 39 tahun 1999 Yaitu “setiap orang berhak untuk hidup,dan
mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf hidupnya”. Disini dapat kita lihat
bahwa Persamaan derajat dan hak hidup adalah hal pokok bagi setiap manusia. Hak ini
harus ada dan setara bagi setiapa manusia tanpa melihat perbedaan –perbedaan yang ada
di antara sesame manusia. Tidak ada seorang pun atau sekelompok manusia yang
hidupnya lebih di perioritaskan dari yang lain. Dengan demikian ,hak untuk hidup
tersebut  harus dilindungi baik oleh individu, masyarakat, maupun Negara.

Dengan adanya peraturan yang mengatur tentang persamaan derajat dan hak hidup
setiap manusia ini menjelaskan bahwa setiap manusia tidak adanya lagi perbedaan
dalam segi apapun itu, Namun seperti yang kita ketahui bahwa penerapannya tidak
sesuai dengan apa yang telah diatur Undang-undang, yang sering kita dengan di Negri
ini adanya perbedaan dalam penindakan hukum yang terjadi saat ini seperti pepatah
yang disebutkan “Tumpul keatas, runcing kebawah” Dengan itu agar sekiranya
pemerintah lebih tegas lagi terhadap peraturan dan penindakannya tanpa memandang
perbedaan sesuai yang telah diatur pada Pasal 9 Ayat (1) UU Nomor 39 tahun 1999.
B. Kelemahan dan kelebihan UU Perlindungan Saksi dan Korban No. 31 Tahun 2014
1. Pasal 1 Bulir (2)

Pasal 1 butir 2 menyebutkan bahwa Saksi Pelaku adalah tersangka, terdakwa, atau
terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak
pidana dalam kasus yang sama. Disini dapat kita lihat kebijakan pembentuk undang-
undang menganggap penting peran seorang saksi yang ada dalam rangkaian tindak
kejahatan, yang selama ini tidak dijabarkan secara rinci dalam UU PSK yang lama.

Maka disini dapat ditafsirkan bahwa Penegak hukum membutuhkan kerja sama Saksi
Pelaku untuk mengungkap kejahatan secara maksimal. Oleh karena itu sikap keberanian
Saksi Pelaku tersebut diberikan apresiasi oleh penegak hukum massal berupa
peringanan hukuman serta bentuk perlindungan terkait hak-haknya sebagai saksi.

Dengan adanya peraturan tentang Perlindungan Saksi dan Korban ini diharapkan akan
membawa negara ini keluar dari persoalan-persoalan hukum yang berkepanjangan
seperti sulitnya memberantas korupsi, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan
terhadap perempuan, dan persoalan lainnya. Hal ini dapat dilihat masih ada dan
banyaknya kasus-kasus pidana maupun pelanggaran HAM yang tidak terungkap
maupun terselesaikan karena adanya ancaman dan upaya kriminalisasi terhadap saksi
ataupun keluarganya yang berakibat pada ketidaksiapan masyarakat/orang untuk
memberikan kesaksian kepada penegak hukum.

2. Pasal 29

Tata cara memperoleh perlindungan sebagai mana dimaksud dalam Pasal 5 sebagai
berikut;

a) Saksi dan/atau Korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri maupun atas
permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan secara tertulis kepada
LPSK,

b) LPSK segera melakukan pemeriksaan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud


pada huruf (a),
c) Keputusan LPSK diberikan secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari sejak
permohonan perlindungan diajukan.

Dsini dapat kita lihat pada Undang-undang tentang kekerasan dalam rumah tangga
dijelaskan tentang perlindungan sementara yang harus langsung dilakukan setelah ada
laporan di kepolisian, namun di UU LPSK tidak disebutkan adanya perlindungan
sementara sehingga untuk korban tindak pidana selain KDRT harus menunggu dengan
proses yang lama yakni untuk keputusan pemberian perlindungan saja harus menunggu
paling lambat 7 hari. Respon yang lambat ini tentunya akan membahayakan seorang
korban tindak pidana jika ia mendapat ancaman yang tidak bisa diprediksi waktu
dilakukannya ancaman tersebut oleh pelaku. Tersebarnya aturan tentang korban tindak
pidana dalam beberapa peraturan perundangan ini tentunya perlu untuk diseragamkan
menjadi suatu konsep utuh tentang perlindungan korban. Perlu adanya batasan-batasan
yang jelas dan skema yang jelas tentang aturan perlindungan korban tindak pidana.

3. Pasal 7 A ayat (1)

Pasal 7 A ayat (1) Korban tindak pidana berhak memperoleh Restitusi berupa; a) ganti
kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan, b) ganti kerugian yang
ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana;
dan/atau, c) penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis,

Disini dijelaskan pada Pasal ini maupun aturan pelaksanaannya yakni Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pemberian
Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban tidak dijelaskan
ketentuan apabila terdakwa tidak dapat memberikan ganti kerugian karena tidak
mampu, apakah bisa dilakukan pemaksaan agar dapatnya terdakwa melaksanakan
penetapan restitusi atau negara yang akan mengambil alih jika memang terdakwa tidak
mampu memenuhi kewajiban untuk memberikan restitusi. Ketidak jelasan ini nantinya
juga akan menimbulkan masalah dalam penerapannya, karena dimungkinkan pula ada
sebuah kasus dimana pelaku tindak pidana ini berasal dari kalangan yang tidak mampu
sehingga tidak bisa memberikan ganti kerugian kepada korbannya. Maka perlu adanya
perevisian ulang dengan memeprikan penjealsakn apabila terdakwah tidak dapat
mengganti kerugian penetapan resitusi.

Anda mungkin juga menyukai