Anda di halaman 1dari 56

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Paham Konstruktivis

Kehirarkian dalam materi matematika sangat berpengaruh dalam belajar

matematika. Siswa yang belajar suatu konsep X akan mengalami kesulitan bila belum

mengetahui atau memahami konsep Y yang menjadi pengetahuan prasyaratnya. Hal

ini berarti bahwa suatu materi prasyarat menjadi tumpu untuk pemahaman materi

berikutnya. Pemahaman terhadap suatu materi tertentu oleh siswa selama ini

dibangun melalui kegiatan pembelajaran dengan pola-pola yang pada dasarnya

kurang melibatkan keaktifan siswa dalam belajar. Kegiatan pembelajaran berpusat

pada guru. Gurulah yang aktif, sedangkan siswanya tidak. Pola kegiatan pembelajaran

semacam ini sudah saatnya perlu mendapat perhatian untuk perbaikan sehingga

menjadi suatu pola kegiatan pembelajaran yang melibatkan keaktifan siswa. Hal ini

lebih dikenal dengan pembelajaran yang berpusat pada siswa (student oriented

learning).

Kegiatan pembelajaran dengan acuan berpusat pada siswa melibatkan siswa

dalam belajar. Hal ini lebih khusus lagi jika siswa diarahkan untuk membangun

pengetahuan mereka tentang suatu materi matematika tertentu. Siswa membangun

sendiri skemanya serta membangun konsep-konsep melalui pengalaman-

pengalamannya. Pengalaman-pengalaman tersebut diperoleh melalui keterlibatan

siswa dengan lingkungannya. Sehingga, peran guru berubah hanya sebagai fasilitator,

13
14

bukan pemberi informasi. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip dalam

konstruktivisme, antara lain :

1. Pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif.


2. Tekanan dalam proses belajar terletak pada siswa.
3. Mengajar adalah membantu siswa belajar.
4. Tekanan dalam belajar lebih pada proses bukan pada hasil akhir.
5. Kurikulum menekankan partisipasi siswa.
6. Guru adalah fasilitator (Suparno, 2001:73)

Dalam teori konstruktivisme, yang sangat penting, bahwa dalam kegiatan

pembelajaran siswalah yang harus mendapatkan perhatian sepenuhnya. Siswalah

yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan guru ataupun orang

lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajar mereka. Penekanan

belajar dengan kondisi siswa yang aktif perlu dikembangkan dan dilaksanakan secara

ekstensif. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk mandiri

dalam kehidupan mereka. Mereka akan terbantu menjadi orang yang kritis

menganalisis suatu hal karena mereka berpikir dan bukan meniru.

Proses mandiri dalam berpikir perlu dibantu oleh guru. Anggapan bahwa

siswa tidak tahu apa-apa sehingga guru secara langsung mentransfer pengetahuan

tanpa melibatkan siswa adalah sangat tidak cocok dengan prinsip-prinsip

konstruktivisme. Transfer isi pengetahuan yang tidak melibatkan kegiatan dan

penilaian dari siswa, hanya akan menjadikan siswa tidak kreatif dan lebih pasif. Guru

perlu menyadari bahwa siswa juga telah memiliki pemikiran sendiri. Inilah yang

perlu dibantu perkembangannya.


15

Menurut Parkay (dalam Ratumanan, 2002:89) konstruktivisme memandang

bahwa dalam belajar siswa secara aktif mengkonstruksikan pengetahuan mereka

sendiri. Selain itu, membandingkan informasi baru dengan pemahaman sebelumnya

dan menggunakannya untuk menghasilkan pemahaman baru. Belajar merupakan

kerja mental yang aktif, tidak hanya menerima pengajaran secara pasif. Dalam kerja

ini orang lain (guru) mempunyai peranan penting dengan memberikan dukungan,

tantangan, pemikiran, dan penyaji materi, tetapi siswalah yang merupakan kunci

untuk belajar.

B. Pembelajaran kooperatif

Motivasi belajar siswa akan meningkat bila ada reevaluasi antara kebutuhan

pribadi dengan situasi belajar yang berlangsung (Direktorat SLTP, 2000:6). Ada

berbagai kebutuhan yang terkait dengan kegiatan belajar, di antaranya kebutuhan rasa

aman. Menurut hasil penelitian Feldhusen dan Klausmeier (dalam Direktorat SLTP,

2000:7) bahwa suasana belajar yang penuh persaingan (kompetitif) menyebabkan

para siswa menggunakan sebagian besar energinya untuk menunjang dan

mempertahankan keamanan psikologis mereka.

Persaingan dan rasa aman mempengaruhi siswa dengan kadar yang bervariasi

berdasarkan kemampuannya dalam belajar. Siswa yang memiliki kemampuan tinggi

umumnya lebih dapat menilai ancaman yang timbul dari situasi persaingan. Siswa

yang berkemampuan sedang (sebagian besar siswa berada pada level ini) dan siswa

yang berkemampuan rendah menjadi semakin cemas sehingga kurang bebas


16

berhubungan dengan guru, materi pelajaran, dan situasi belajar. Kebutuhan rasa aman

hanya mungkin dipenuhi jika ada suasana belajar kooperatif yang memungkinkan

siswa saling menolong dan saling memberi dorongan moril. Oleh karena itu, guru

hendaknya menciptakan suasana belajar di kelas yang kooperatif.

Pembelajaran kooperatif adalah suatu strategi pembelajaran dengan

penekanan pada aspek sosial dalam pembelajaran dan menggunakan kelompok-

kelompok kecil yang terdiri dari 4 - 6 siswa yang heterogen untuk bersama-sama

saling membutuhkan dalam menyelesaikan tugas dan mencapai tujuan belajar, juga

dalam memperoleh penghargaan. Lingkup penyelesaian tugas bukan saja dalam hal

menjawab pertanyaan-pertanyaan, tetapi lebih dari itu siswa bernalar berdasarkan

pengetahuan yang dimilikinya dalam pemahaman atas materi yang dipelajarinya.

Berarti pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang didasarkan pada

paham konstruktivis. Dengan cakupan demikian memberikan peluang pelaksanaan

kegiatan pembelajaran yang melibatkan keaktifan siswa dalam membangun

pengetahuannya. Sehingga pembelajaran kooperatif merupakan salah satu alternatif

strategi pembelajaran yang dapat membuka fenomena baru dalam kegiatan

pembelajaran baik bagi guru maupun siswa. Keaktifan siswa dalam kegiatan

pembelajaran akan membawa suatu perasaan baru bagi siswa yang akan merasa

sangat dihargai keberadaannya. Hal ini disebabkan siswa merasa terlibat di dalam

memahami pengetahuan dari materi yang dipelajarinya. Dengan demikian

pembelajaran kooperatif menjadi suatu strategi pembelajaran yang dapat memotivasi

belajar siswa.
17

Pembelajaran kooperatif menekankan pada kerja secara kolaboratif. Tentunya

berhubungan dengan kelompok. Kelompok yang dibentuk hanya berkisar 4 – 5 orang,

berarti kelompok yang dibentuk adalah kelompok kecil. Tujuan dibentuk kelompok

kecil adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat secara aktif dalam

proses berpikir dan kegiatan belajar.

Kita juga mengenal kelompok belajar dalam pembelajaran konvensional yang

diarahkan pada penggunaan metode diskusi. Tetapi kelompok belajar tersebut

berbeda dengan kelompok belajar kooperatif. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada

tabel 2.1 berikut ini :

Tabel 2.1. Perbedaan Kelompok Belajar Kooperatif dengan


Kelompok Belajar Konvensional
Kelompok Belajar Kooperatif Kelompok Belajar Konvensional

Adanya saling ketergantungan positif, saling Guru sering membiarkan adanya siswa yang
membantu, dan saling memberikan motivasi mendominasi kelompok atau menggantungkan
sehingga ada interaksi promotif. diri pada kelompok.
Adanya akuntabilitas individual yang mengukur Akuntabilitas individual sering diabaikan
penguasaan materi pelajaran tiap anggota sehingga tugas-tugas sering diborong oleh salah
kelompok, dan kelompok diberi umpan balik seorang anggota kelompok sedangkan anggota
tentang hasil belajar para anggotanya sehingga kelompok lainnya hanya "mendompleng"
dapat saling mengetahui siapa yang memerlukan keberhasilan "pemborong".
bantuan dan siapa yang dapat memberikan
bantuan.
Kelompok belajar heterogen, baik dalam Kelompok belajar biasanya homogen.
kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, etnik,
dan sebagainya sehingga dapat saling mengetahui
siapa yang memerlukan bantuan dan siapa yang
memberikan bantuan.
Pimpinan kelompok dipilih secara demokratis Pemimpin kelompok sering ditentukan oleh guru
18

Kelompok Belajar Kooperatif Kelompok Belajar Konvensional


atau bergilir untuk memberikan pengalaman atau kelompok dibiarkan untuk memilih
memimpin bagi para anggota kelompok pemimpinnya dengan cara masing-masing.
Keterampilan sosial yang diperlukan dalam kerja Keterampilan sosial sering tidak secara langsung
gotong-royong seperti kepemimpinan, diajarkan.
kemampuan berkomunikasi, mempercayai orang
lain, dan mengelola konflik secara langsung
diajarkan.
Pada saat belajar kooperatif sedang berlangsung Pemantauan melalui onservasi dan intervensi
guru terus melakukan pemantauan melalui sering tidak dilakukan oleh guru pada saat belajar
observasi dan melakukan intervensi jika terjadi kelompok sedang berlangsung.
masalah dalam kerja sama antar anggota
kelompok.
Guru memperhatikan secara proses kelompok Guru sering tidak memperhatikan proses
yang terjadi dalam kelompok-kelompok belajar. kelompok yang terjadi dalam kelompok-
kelompok belajar.
Penekanan tidak hanya pada penyelesaian tugas Penekanan sering hanya pada penyelesaian tugas.
tetapi juga hubungan interpersonal (hubungan
antar pribadi yang saling menghargai)
(Depdikbud, 2000:90)

Selain siswa belajar secara berkelompok dalam pembelajaran kooperatif

(seperti telah diuraikan di atas) terdapat beberapa ciri dari pembelajaran kooperatif

yaitu :

a. Setiap anggota memiliki peran.


b. Terjadi hubungan interaksi langsung di antara para siswa.
c. Setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan juga
anggota sekelompoknya.
d. Guru membantu para siswa untuk mengembangkan keterampilan
interpersonal kelompok.
e. Guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan
(Carin, 1993:63).
19

Suatu strategi pembelajaran memiliki kelebihan dan kekurangan. Demikian

pula dengan pembelajaran kooperatif. Kelebihan dari pembelajaran kooperatif

menurut Hill & Hill (1993: 1-6) di antaranya sebagai berikut :

1. Meningkatkan prestasi siswa.


2. Memperdalam pemahaman siswa.
3. Menyenangkan siswa.
4. Mengembangkan sikap positif siswa.
5. Mengembangkan sikap kepemimpinan.
6. Mengembangkan sikap menghargai diri sendiri.
7. Mengembangkan rasa saling memiliki.
8. Mengembangkan keterampilan untuk masa depan.

Menurut Slavin (dalam Ratumanan, 2002:110-111) keuntungan lain yang

diperoleh dari penerapan pembelajaran kooperatif, di antaranya adalah :

1. Siswa bekerja sama dalam mencapai tujuan dengan menjunjung tinggi


norma-norma kelompok.
2. Siswa aktif membantu dan memotivasi semangat untuk berhasil
bersama.
3. Aktif berperan sebagai tutor sebaya untuk lebih meningkatkan
keberhasilan kelompok.
4. Interaksi antar siswa seiring dengan peningkatan kemampuan mereka
dalam berpendapat.

Selain keuntungan dan kelebihan yang telah diuraikan di atas pembelajaran

kooperatif memiliki keunggulan sehingga sangat penting untuk diterapkan. Alasan

penting ini ditujukan terutama bagi efek pembelajaran tersebut bagi siswa yang

berdampak positif. Hal ini diuraikan oleh Johnson & Johnson (1994:30) bahwa

“Research indicates, however, that cooperative learning should be used whenever

teachers want students to learn more, like school better, like each other better, have

higher self-esteem, and learn more effective social skills”.


20

Selain kelebihan tersebut pembelajaran kooperatif juga memiliki kekurangan-

kekurangan, menurut Dees (1991:411) di antaranya yaitu :

1. Membutuhkan waktu yang lebih lama untuk siswa sehingga sulit


mencapai target kurikulum.
2. Membutuhkan waktu yang lama untuk guru sehingga pada umumnya
guru tidak mau menggunakan pembelajaran kooperatif.
3. Membutuhkan kemampuan khusus guru sehingga tidak semua guru
dapat melakukan atau menggunakan pembelajaran kooperatif.
4. Menuntut sifat tertentu dari siswa, misalnya sifat suka bekerja sama.

Walaupun kelemahan-kelemahan tersebut melekat pada pembelajaran

kooperatif, tetapi dapat diminimalkan dengan beberapa tindakan alternatif. Untuk

kelemahan yang pertama dan kedua, dalam pembelajaran kooperatif digunakan LKS

yang memungkinkan siswa dapat bekerja secara efektif dan efisien. Bagi guru,

penggunaan LKS dapat mengurangi dominasi guru dalam menjelaskan materi. Berarti

alokasi waktu yang digunakan untuk menjelaskan dapat dikurangi. Selain itu,

pengelolaan kelas ke arah siswa aktif dengan segera dapat diwujudkan. Selain itu

pembagian kelompok dilakukan sebelum kegiatan pembelajaran dan guru telah

menata kelas sesuai dengan kelompok yang ada. Dengan demikian terjadi

penghematan waktu yang dibutuhkan. Sedangkan untuk kelemahan ketiga, pada

dasarnya guru dapat dilatih terlebih dahulu, sehingga guru telah memiliki kemampuan

yang diharapkan. Demikian pula untuk kelemahan keempat, dengan digunakannya

pendekatan psikologis, pembelajaran kooperatif akan membentuk sifat-sifat tertentu

yang diinginkan sekaligus dapat dilatih. Hal ini didukung dengan pemberian motivasi

dan tantangan tugas serta tanggung jawab yang dibebankan kepada tiap kelompok

melalui kerja sama anggota-anggotanya.


21

Guru hendaknya jangan mengasumsikan bahwa siswa menguasai

keterampilan-keterampilan sosial atau kelompok untuk bekerja secara kooperatif.

Siswa mungkin tidak mengetahui bagaimana saling berinteraksi, bagaimana

mengembangkan rencana kerja kooperatif, bagaimana mengkoordinasi sumbangan-

sumbangan dari berbagai kelompok, atau bagaimana menilai kemajuan kelompok

dalam tugas-tugas tertentu. Untuk menjadikan pembelajaran kooperatif berlangsung

sesuai dengan harapan, guru perlu mengajarkan keterampilan-keterampilan kooperatif

yang diperlukan.

Ada tiga tingkatan keterampilan kooperatif yang dapat dilatihkan menurut

Lungdren (dalam Widada, 1999:32) yaitu keterampilan kooperatif tingkat awal,

keterampilan kooperatif tingkat menengah, dan keterampilan kooperatif tingkat

mahir. Tetapi dalam tesis ini hanya diambil beberapa dari masing-masing tingkatan

tersebut yang dianggap sangat penting, yaitu :

1. Keterampilan kooperatif tingkat awal:

a. Menggunakan kesepakatan dan menghargai kontribusi.

Memiliki kesepakatan yang dijadikan komitmen dalam meningkatkan

hubungan kerja kelompok. Saat anggota mengajukan pendapat, ide, atau suatu

jawaban patut diperhatikan atau dikerjakan oleh anggota lain dalam kelompok

setelah disepakati. Implikasinya, dalam kelompok akan menghasilkan

perasaan kebersamaan dalam kelompok tersebut. Merasa satu dalam

kelompok.
22

b. Mendorong partisipasi.

Mendorong partisipasi berarti memotivasi semua anggota kelompok untuk

memberikan kontribusi terhadap tugas kelompok. Jika satu atau dua anggota

tidak berpartisipasi atau hanya memberikan sedikit kontribusi, maka tugas dari

kelompok tersebut tidak akan terselesaikan tepat pada waktunya atau hasilnya

kurang memuaskan.

c. Mengambil giliran dan berbagi tugas.

Menggantikan seseorang yang mengemban tugas tertentu dan mengambil

tanggung jawab tertentu dalam kelompok. Implikasinya, setiap anggota

kelompok akan tumbuh rasa sebagai anggota kelompok kerja untuk mencapai

suatu tujuan bersama.

d. Berada dalam tugas dan kelompok.

Meneruskan tugas yang menjadi tanggung jawabnya, sehingga akan

terselesaikan pada waktunya dengan ketelitian yang lebih baik dan kreatif.

Berada dalam kelompok berarti tetap dalam kelompok selama kegiatan

berlangsung. Implikasinya, kelompok akan lebih bangga terhadap peningkatan

efisiensi dan efektifitas dalam mempersiapkan dan menyelesaikan tugas-tugas

yang diberikan.

2. Keterampilan kooperatif tingkat menengah:

a. Mendengarkan dengan aktif.

Jika mendengar dengan aktif maka siswa akan mampu menggunakan pesan

fisik dan lisan, sehingga pembicara akan tahu bahwa orang lain secara giat
23

sedang menyerap informasi. Pengertian dari suatu konsep akan meningkat dan

hasil kelompok akan menunjukkan tingkat pemikiran dan komunikasi yang

tinggi. Sebagai implikasinya, perasaan bangga bagi siswa yang memberikan

partisipasi akan merasa bahwa apa yang mereka sumbangkan itu berharga,

paling tidak ia akan merasa dihargai pendapatnya.

b. Bertanya.

Maksud dari bertanya adalah meminta atau menanyakan suatu informasi atau

penjelasan lebih lanjut. Dengan bertanya sesorang yang sedang tidak aktif

dapat dimotivasi untuk ikut serta, termasuk anggota kelompok yang pemalu.

Dari hal ini berarti memperbaiki kemampuan komunikasi, juga interaksi.

c. Menafsirkan.

Menafsirkan berarti menyatakan kembali informasi dengan kalimat berbeda.

Ini akan menimbulkan pemahaman yang lebih, sebab apa yang diperoleh

diungkapkan dengan cara yang berbeda.

d. Memeriksa ketepatan.

Membandingkan jawaban dan memastikan bahwa jawaban itu benar.

Pekerjaan akan cenderung bebas dari kesalahan dan kekurang tepatan.

Pemahaman akan berkembang. Hal ini berakibat siswa menjadi kritis dan

hasil kelompok akan lebih baik.

3. Keterampilan kooperatif tingkat mahir:

Mengelaborasi, maksudnya adalah mampu memperluas konsep, kesimpulan, dan

pendapat-pendapat yang berhubungan dengan topik tertentu. Keterampilan ini


24

penting karena akan menghasilkan pemahaman yang lebih dalam dan prestasi yang

lebih tinggi.

Semua keterampilan kooperatif tersebut (tidak langsung keseluruhan)

dilatihkan guru dalam kegiatan pembelajaran, tetapi dapat dipilih sedikit demi sedikit

yang dianggap sesuai dengan kepentingan hingga mencapai harapan dan seluruh

keterampilan kooperatif.

C. Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD

Pembelajaran kooperatif yang sering digunakan ada beberapa tipe, di

antaranya yaitu kooperatif tipe STAD (Student Teams Achievement Division),

kooperatif tipe Jigsaw, koopertif tipe GI (Group Investigation), dan kooperatif tipe

The Structural Approach (pendekatan struktural). Pada tipe Jigsaw setiap anggota

kelompok bertanggung jawab untuk menentukan materi pelajaran yang ditugaskan

kepadanya. Anggota dari kelompok lain yang memperoleh tugas topik yang sama

berkumpul (sebagai kelompok ahli) dan berdiskusi. Kemudian masing-masing

anggota kelompok ahli mengajarkan materi tersebut kepada teman sekelompoknya.

Untuk tipe GI memerlukan norma dan struktur yang lebih rumit, juga memerlukan

mengajar siswa keterampilan komunikasi dan proses kelompok yang baik. Siswa

memilih topik untuk diselidiki, melakukan penyelidikan yang mendalam atas topik

tersebut. Selanjutnya mereka menyiapkan dan mempresentasekan laporannya kepada

seluruh kelas. Pada tipe The Structural Approach guru mengajukan pertanyaan atau

isu yang berhubungan dengan pelajaran kemudian siswa dmnta untuk memikirkannya
25

secara mandiri untuk beberapa saat. Setelah itu secara berpasangan dengan siswa lain

mendiskusikan apa yang telah dipikirkannya secara mandiri tadi. Selanjutnya hasil

diskusi ini siswa diminta untuk berbagi dengan seluruh kelas melalui presentase

hingga seperempat dari seluruh pasangan mendapat kesempatan untuk memberikan

laporan. Sedangkan pada tipe STAD guru menyajikan informasi (dapat berupa

penyajian materi baik dengan ceramah, demonstrasi, atau bahan bacaan), dilanjutkan

siswa bekerja menyelesaikan tugas yang diberikan dalam kelompoknya masing-

masing, hasil pekerjaan dipresentasekan oleh beberapa siswa mewakili kelompoknya.

Guru kemudian mengevaluasi hasil belajar tersebut. Dari uraian tersebut tampak

bahwa di antara tipe tersebut, STAD merupakan yang paling sederhana, sehingga

sangat cocok bagi guru yang baru memulai menerapkan pembelajaran dalam kegiatan

pembelajaran di kelas.

Pembelajaran kooperatif tipe STAD merupakan bentuk yang paling sederhana

dibanding tiga tipe lainnya maksudnya bahwa pembelajaran kooperatif tipe STAD

masih memuat pembelajaran konvensional yaitu pada fase 2 berlangsung (penyajian

informasi). Dominasi guru masih tampak. Bagi guru maupun siswa yang terbiasa

dengan pembelajaran konvensional akan memudahkannya dalam mencoba

menggunakan pembelajaran kooperatif dalam kegiatan pembelajarannya. Masalah

kemampuan mengkomunikasikan hasil kerja atau hasil diskusi bertahap dilatihkan

pada siswa-siswa tertentu yang mewakili kelompoknya kemudian berikutnya giliran

siswa lainnya lagi. Sehingga, dengan demikian perlahan-lahan guru maupun siswa

akan terbiasa menggunakan pembelajaran kooperatif. Lebih lanjut dapat


26

dikembangkan penggunaan pembelajaran kooperatif tipe lain yang membutuhkan

keterampilan yang lebih tinggi.

Pembelajaran kooperatif tipe STAD merupakan salah satu tipe dalam

pembelajaran kooperatif, dengan menempatkan siswa dalam kelompok belajar yang

beranggotakan 4-5 orang yang heterogen menurut tingkat prestasi, jenis kelamin, dan

suku. Guru menyajikan materi pelajaran dan kemudian siswa bekerja di dalam tim

mereka untuk memastikan bahwa seluruh anggota kelompok telah menguasai materi

tersebut. Akhirnya, seluruh siswa diberi tes tentang materi itu. Pada saat tes siswa

tidak boleh saling membantu atau bekerja sama. Selanjutnya skor siswa dibandingkan

dengan rata-rata skor yang lalu mereka sendiri dan poin diberikan berdasarkan

seberapa jauh siswa menyamai kinerja yang lalu pula. Poin tiap anggota ini dijumlah

untuk mendapatkan skor tim, dan tim yang mencapai kriteria tertentu diberi sertifikat

atau ganjaran.

Perencanaan pembelajaran kooperatif disusun berdasarkan langkah-langkah

dalam pembelajaran kooperatif. Langkah-langkah tersebut adalah persiapan,

penyajian materi, kegiatan kelompok, tes hasil belajar, dan penghargaan kelompok.

Pembelajaran dimulai dengan penyampaian oleh guru tentang tujuan pembelajaran

dan memotivasi siswa dalam belajar. Termasuk di dalamnya penyajian informasi

yang biasanya disertai bahan bacaan atau secara verbal. Kemudian siswa

dikelompokkan dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari 4 - 5 orang. Selanjutnya

siswa bekerja dan belajar tentang materi yang dipelajarinya dengan menyelesaikan

tugas-tugas yang diberikan. Bimbingan diberikan guru jika dianggap perlu baik
27

kepada kelompok atau individu. Langkah berikutnya siswa dievaluasi, dapat melalui

tes individu atau kelompok (diwakili oleh anggotanya). Dan terakhir diupayakan guru

memberikan penghargaan kepada siswa dalam kelompok baik upaya maupun hasil

kerja mereka. Langkah-langkah tersebut (dalam bentuk fase-fase) diuraikan pada

Tabel 2.2 berikut ini.

Tabel 2.2. Langkah-Langkah Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD


Langkah-Langkah Kegiatan Guru
Fase-1
Menyampaikan tujuan belajar Guru menyampaikan semua tujuan pembelajaran yang
dan memotivasi siswa ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi
siswa belajar.
Fase-2
Menyajikan informasi Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan cara
demonstrasi atau melalui bahan bacaan.

Fase-3
Mengorganisasikan siswa ke Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana cara
dalam kelompok-kelompok membentuk kelompok-kelompok belajar dan
belajar membantu setiap kelompok agar melakukan transisi
secara efisien.
Fase-4
Membimbing kelompok Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada
bekerja dan belajar. saat mereka mengerjakan tugas mereka.

Fase-5
Evaluasi Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang
telah dipelajari atau tiap-tiap kelompok
mempresentasikan hasil kerjanya.

Fase-6
Memberikan penghargaan Guru menentukan cara-cara untuk menghargai baik
upaya maupun hasil belajar individu maupun
kelompok.
(Ibrahim, 2000:10)

Keenam langkah tersebut jika dilaksanakan maka akan terdapat siklus yang

tetap dalam kegiatan pembelajaran kooperatif tipe STAD ini. Seperti yang
28

dikemukakan oleh Slavin (1995:287) bahwa STAD terdiri dari suatu runtutan yang

tetap dalam kegiatan pembelajaran, yaitu :

a. Mengajar.

Guru menyajikan materi pelajaran. Penyajian materi ini dapat dengan verbal

langsung disampaikan oleh guru atau dapat pula melalui bahan bacaan/teks.

b. Kegiatan kelompok.

Siswa bekerjasama dalam kelompok masing-masing untuk menguasai materi

pelajaran atau menyelesaikan tugas.

c. Tes/kuis.

Siswa mengerjakan kuis atau penilaian lainnya secara individual.

d. Penghargaan kelompok.

Skor kelompok dihitung berdasarkan poin peningkatan kelompok, pemberian

sertifikat, laporan berkala kelas, atau papan buletin sebagai penghargaan skor

tertinggi kelompok.

Berdasarkan uraian di atas pembelajaran kooperatif tipe STAD memiliki

kelebihan (selain kelebihan pembelajaran kooperatif pada umumnya) lebih mudah

diterapkan di kelas bagi guru yang baru memulai menggunakan pembelajaran

kooperatif sebagai salah satu strategi pembelajarannya. Hal ini dimungkinkan karena

dalam langkah pembelajaran kooperatif tipe STAD masih memuat langkah

pembelajaran konvensional, yaitu guru menyajikan materi. Hal ini sekaligus menjadi

kelemahan pembelajaran kooperatif tipe STAD ini, karena dengan demikian dominasi

guru masih tampak dalam kegiatan pembelajaran. Namun kelemahan ini dapat
29

direduksi dengan cara guru menyajikan materi dalam bentuk bahan bacaan. Hal ini

berarti siswa menjadi lebih aktif . Namun pemberian bahan bacaan masih tetap harus

diikuti dengan pemberian penjelasan pada bagian-bagian tertentu. Dengan demikian

siswa yang baru memulai mengikuti pembelajaran koopertif akan tahap demi tahap

menyesuaikan diri dengan situasi siswa belajar aktif.

Hal penting lain yang harus diperhatikan dalam pembelajaran kooperatif tipe

STAD adalah penetapan kelompok beserta anggota-anggotanya. Penetapan anggota

kelompok kooperatif dibuat oleh guru sebelum memasuki kegiatan pembelajaran.

Pembentukan kelompok didasarkan pada nilai hasil pengukuran sebelumnya (rapor

atau tes materi sebelumnya) dengan merangking siswa. Urutan rangking kemudian

dibagi dalam empat bagian. Tiap kelompok terdiri dari empat atau lima orang

masing-masing dari ke empat bagian tersebut. Akhirnya, penyempurnaan anggota

kelompok dilakukan dengan menyeimbangkan jenis kelamin, etnik, dan lainnya.

Pembentukan kelompok ini dijelaskan oleh Slavin (1997: 287) sebagai berikut:

Assign students to teams of four or five members each. Four are


preferable; make five member teams only if the class is not divisible by
four. To assign the students, rank them from top to bottom on some
measure of academic performance (e.g. past grades, test scores) and
divide the ranked list into quarters placing any extra students in the
middle quarters. Then put one student from each quarter on each team,
making sure that the teams are well balanced in sex and ethnicity. Extra
(middle) students may become fifth members of teams.

Penyegaran kelompok yang telah dibentuk tersebut dilakukan melalui

pembentukan kelompok dengan formasi baru agar siswa dapat bekerjasama dengan
30

siswa lain (yang sebelumnya) bukan teman sekelompok. Hal ini dilakukan setelah 5

atau 6 minggu (Slavin, 1997:288).

Keberhasilan kelompok dapat dievaluasi dari kumpulan poin peningkatan

tiap kelompok yang disumbangkan oleh anggotanya. Poin peningkatan dihitung dari

hasil kuis. Kuis diberikan kepada siswa secara klasikal setelah mereka menyelesaikan

tugas kelompok. Pemberian kuis harus dengan alokasi waktu yang cukup bagi siswa

untuk dapat menyelesaikannya. Dalam pengerjaan atau penyelesaian soal kuis

yakinkan siswa agar bekerja secara individual. Kesempatan ini saatnya mereka

menunjukkan apa yang telah mereka pelajari.

Sebagai motivasi, berdasarkan hasil kuis siswa dan perhitungan poin

peningkatan kelompok, wujud penghargaan bagi kelompok dapat diberikan dengan

berbagai bentuk. Mungkin sertifikat, laporan berkala kelas, atau buletin pajang. Isi

semua bentuk tersebut menguraikan tentang prestasi kelompok. Prestasi tersebut

dapat diketahui dari hasil perhitungan skor peningkatan kelompok berdasarkan kuis

terdahulu. Berikut ini akan disajikan bagaimana menghitung skor peningkatan

kelompok dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Jigsaw.

Langkah 1
Menetapkan skor dasar Setiap siswa diberikan skor dasar berdasarkan skor kuis
yang lalu.
Langkah 2
Menentukan skor kuis terkini Siswa memperoleh skor untuk kuis yang berkaitan
dengan materi terkini.

Langkah 3
Menentukan skor peningkatan Setiap siswa memperoleh poin peningkatan kelompok
kelompok yang besarnya ditentukan apakah skor kuis terkini
mereka menyamai atau melampaui skor dasar mereka
dengan menggunakan skala yang diberikan di bawah ini.
31

Lebih dari 10 poin di bawah skor dasar 0 poin


10 poin hingga 1 poin di bawah skor dasar 10 poin
Skor dasar hingga 10 poin di atas skor dasar 20 poin
Lebih dari 10 poin di atas skor dasar 30 poin
Pekerjaan sempurna (tanpa memperhatikan skor dasar) 30 poin
(Arends, 1997:340)

Selain penentuan skor peningkatan kelompok dalam pembelajaran kooperatif

juga dihitung poin untuk penghargaan kelompok. Penentuan dan penghargaan

kelompok yang dimaksudkan dapat dilihat dari uraian berikut ini :

Langkah 1
Penentuan rata-rata skor Skor kelompok dihitung dengan menjumlahkan
kelompok skor peningkatan tiap-tiap angota kelompok
tersebut dan membagi dengan banyak anggota
dalam kelompok tersebut.
Langkah 2
Penghargaan atas presentase Tiap-tiap kelompok menerima suatu sertifikat
kelompok khusus berdasarkan pada sistem poin berikut ini
(Ibrahim, 2000:62)

Rata-rata kelompok ( ) Penghargaan


5 < £ 15 Tim baik
15 < £ 25 Tim hebat
25 < £ 30 Tim super (Ratumanan, 2002:115)

D. Teori Belajar yang Terkait

1. Teori Piaget

Menurut pandangan Piaget (dalam Dahar, 1988:180) struktur kognitif

(skemata) terbentuk pada saat seseorang berinteraksi dengan lingkungannya.

Perkembangan kognitif didasarkan pada dua fungsi, yakni organisasi dan adaptasi.

Organisasi memberikan pada seseorang kemampuan untuk mensistematikkan atau


32

mengorganisasi proses-proses fisik atau proses-proses psikologi menjadi sistem-

sistem yang teratur dan berhubungan dan atau struktur-struktur. Sedangkan cara

adaptasi terhadap lingkungan antara orang yang satu dengan lainnya berbeda.

Adaptasi tersebut dilakukan melalui dua proses, yaitu asimilasi dan akomodasi.

Dalam proses asimilasi seorang menggunakan struktur atau kemampuan yang sudah

ada untuk menanggapi masalah yang dihadapi dalam lingkungannya. Dalam proses

akomodasi seorang memerlukan modifikasi struktur-struktur mental yang ada saat

merespon tantangan yang sedang dihadapi dalam lingkungannya.

Andaikata dengan proses asimilasi seorang tidak dapat mengadakan adaptasi

pada lingkungannya, terjadilah keadaaan ketidakseimbangan. Akibat

ketidakseimbangan tersebut terjadi akomodasi dan struktur-struktur yang ada

mengalami perubahan atau struktur baru timbul karenanya. Pertumbuhan intelektual

merupakan proses terus-menerus tentang keadaan ketidakseimbangan dan keadaan

seimbang. Tetapi, bila terjadi kembali keseimbangan, individu itu berada pada tingkat

intelektual yang tinggi dari sebelumnya.

Konstruktivisme tergambar dari uraian tersebut, bahwa perkembangan

intelektual adalah suatu proses yang dilakukan anak secara aktif membangun

pemahamannya dari hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungannya. Anak

secara aktif membangun pengetahuannya dengan terus-menerus melakukan

akomodasi dan asimilasi terhadap informasi-informasi baru yang diterimanya.

Pada saat guru memberikan informasi atau siswa saling memberikan

informasi bahkan bertukar informasi dengan temannya terjadi proses perkembangan


33

kognitif siswa. Setiap informasi yang mereka terima akan diasimilasi meliputi upaya

untuk memahami sesuatu hal baru dan mencocokkannya dengan apa yang telah

diketahui. Saat itu siswa mengintegrasikan persepsi, konsep, informasi baru ke

skema yang telah dimilikinya, sehingga pengertian dan skemanya berkembang.

Selanjutnya proses akomodasi, yaitu penyusunan kembali mental sebagai akibat

adanya pengalaman dan informasi baru tadi. Ini meliputi dua hal yaitu membentuk

skema baru yang cocok dengan informasi atau pengalaman baru dan memodifikasi

skema yang ada sehingga cocok dengan informasi atau pengalaman baru tersebut

(Ratumanan, 2002:35-36). Hal ini terus terjadi berulang-ulang sehingga struktur

kognitif siswa semakin kuat. Proses ini terjadi pada fase-2 saat guru memberikan

informasi atau pada fase-4 saat siswa bekerja dalam kelompok.

Dalam materi pembelajaran relasi, fungsi, dan grafiknya dibahas definisi

relasi, fungsi, dan korespondensi satu-satu. Definisi ini dibangun oleh siswa dari

situasi yang informal kemudian disempurnakan hingga menjadi definisi formal.

Selain itu, dalam materi ini juga terdapat rumus untuk menentukan banyak fungsi

yang mungkin dari himpunan A ke himpunan B. Penemuan kembali rumus tersebut

diharapkan dapat dicapai oleh siswa, sehingga pembelajaran seperti itu berarti

mengandung konstruktivisme.

Implikasi teori Piaget dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah :

a. Memusatkan perhatian pada proses berpikir anak, bukan sekedar pada hasilnya.

b. Menekankan pada pentingnya peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan

keterlibatannya secara aktif dalam pembelajaran. Dalam pembelajaran di kelas


34

pengetahuan jadi tidak mendapat penekanan melainkan anak didorong

menemukan sendiri melalui interaksi dengan lingkungannya.

c. Memaklumi adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan.

Sehingga guru harus melakukan upaya untuk mengatur kegiatan kelas dalam

bentuk individu-individu atau kelompok-kelompok kecil, atau bahkan secara

klasikal.

2. Teori Vygotsky

Vygotsky (dalam Slavin, 1994:49) menekankan pada hakekat sosiokultural

pembelajaran, yaitu siswa belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman

sebaya. Fungsi mental yang lebih tinggi muncul dalam percakapan atau kerja sama

antara individu (interaksi dengan orang dewasa atau teman sebaya) sebelum fungsi

yang lebih tinggi itu terserap ke dalam individu tersebut.

Dalam satu kelompok siswa saling memberikan informasi yang diperlukan

untuk penyelesaian tugas-tugas mereka dalam kelompok sebagai tanggung jawab

bersama. Dengan demikian saling ketergantungan positif akan tercipta. Saling

menghargai dan bekerja sama akan membentuk atau memperbaiki interaksi sosial ke

arah yang lebih baik. Pengembangan pemberian informasi dan interaksi sosial terjadi

sepanjang fase dalam pembelajaran kooperatif , kecuali saat mengerjakan kuis.

Daerah perkembangan terdekat (zone of proximal development) yang

diperkenalkan oleh Vygotsky merupakan suatu hasil kajian yang memuat bahwa

belajar terjadi jika anak (siswa) bekerja atau belajar menangani tugas-tugas yang
35

belum dipelajari tetapi tugas-tugas tersebut masih berada dalam daerah

perkembangan proksimal mereka. Daerah proksimal adalah tingkat perkembangan

sedikit di atas tingat perkembangan seseorang saat ini (Ratumanan, 2002:42).

Selanjutnya yang dimaksudkan dengan tugas-tugas di dalam daerah perkembangan

terdekat adalah tugas-tugas seorang anak (siswa) yang tidak dapat dikerjakan sendiri,

tetapi tugas tersebut dapat dikerjakan dengan bantuan teman sebaya atau orang

dewasa yang lebih berkompeten. Jadi dapat dikatakan bahwa komunikasi dan

kolaborasi antara individu sangat membantu proses belajar anak. Sehingga melalui

penerapan pembelajaran kooperatif siswa akan lebih mudah menemukan dan

memahami konsep-konsep atau prinsip-prinsip yang sulit karena mereka saling

mendiskusikan masalah-masalah yang mereka hadapi dengan temannya. Keterlibatan

teman yang pandai dalam kelompok atau orang dewasa (guru) dalam proses belajar

sedemikian hingga tahap demi tahap seorang siswa memperoleh keahlian melalui

interaksi tersebut menunjukkkan terjadinya proses pemagangan kognitif.

Ide lain Vygotsky adalah scaffolding, yaitu pemberian sejumlah besar bantuan

kepada siswa selama tahap awal pembelajaran dan kemudian siswa tersebut

mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia dapat

melakukannya. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, peringatan, atau dorongan

yang memungkinkan siswa dapat belajar mandiri.

Dalam pembelajaran kooperatif tentunya tidak terlepas peran guru untuk

memfasilitasi ataupun memberikan bantuan yang diperlukan untuk kelancaran kerja

siswa hingga mereka mencapai tujuan yang diinginkan dalam kegiatan pembelajaran
36

tersebut. Saat guru memberikan bantuan, bantuan berikutnya yang diberikan semakin

berkurang hingga pada kesempatan berikutnya siswa lebih bisa mandiri dalam

menghadapi masalahnya. Ini berarti guru melakukan scaffolding dari teori Vygotsky.

Tindakan semacam ini dapat teraplikasi pada fase 4 pada langkah-langkah

pembelajaran kooperatif.

Implikasi teori Vygotsky terhadap pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah

kemampuan mewujudkan tatanan pembelajaran kooperatif dengan dibentuk

kelompok-kelompok belajar yang mempunyai tingkat kemampuan yang berbeda dan

penekanan pada perancahan (scaffolding) dalam pembelajaran agar siswa memiliki

rasa tanggung jawab terhadap belajar. Selanjutnya perancahan merupakan suatu cara

untk membantu siswa dalam zona perkembangan terdekatnya saat guru memberikan

petunjuk atau saran secara bertahap.

E. Tinjauan Materi Relasi, Fungsi, dan Grafiknya

Berdasarkan kurikulum tahun 1994 mata pelajaran matematika, khususnya

kelas 2 semester ganjil, memuat materi tentang Relasi, Fungsi, dan Grafiknya. Materi

ini terdiri dari dua subpokok bahasan, yaitu subpokok bahasan relasi, dan subpokok

bahasan fungsi dan korespondensi satu-satu.

Subpokok bahasan relasi membahas pengertian relasi dan cara penyajian/

menyatakan relasi tersebut dalam bentuk diagram panah, diagram Cartesius, dan

himpunan pasangan terurut.


37

Relasi dari himpunan A ke himpunan B adalah pemasangan anggota

himpunan A ke anggota himpunan B dengan makna tertentu. Sebagai contoh

bagaimana menyatakan relasi dari himpunan A ke himpunan B dapat dilihat pada

uraian berikut ini.

Lima orang siswa masing-masing adalah Irma, Sinta, Anto, Feri, dan

Gunawan. Mereka menyebutkan makanan yang disukainya. Irma menyukai bakso

dan soto. Sinta menyukai mie goreng. Anto menyukai mie kuah dan bakso. Feri

menyukai soto. Gunawan menyukai bakso dan mie kuah. Dari keterangan tersebut

akan disajikan dalam bentuk diagram panah. Kumpulkan nama-nama siswa dalam

satu himpunan. Misalkan himpunan tersebut himpunan A. Kumpulkan pula jenis

makanan yang ada dalam satu himpunan lain. Misalkan himpunan tersebut adalah

himpunan B. Selanjutnya, tuliskan anggota himpunan A dalam sebuah kurva tertutup

sederhana. Setiap anggotanya ditandai satu noktah (titik tebal). Tuliskan pula anggota

himpunan B pada sebuah kurva tertutup sederhana lainnya dan setiap anggotanya

diberi satu noktah. Beri nama masing-masing kurva tersebut sesuai nama

himpunannya. Setiap hubungan yang terjadi dari anggota himpunan A ke anggota

himpunan B dihubungkan dengan anak panah pada noktahnya.

Bagaimanakah diagram panah yang menunjukkan relasi tersebut? Penyajian

informasi di atas (yaitu himpunan anak dan himpunan makanan) dalam bentuk

diagram panah ditunjukkan pada Gambar 2.1.

Relasi dari himpunan A ke himpunan B pada cerita di atas juga dapat

dinyatakan dengan diagram Cartesius. Diagram Cartesius merupakan diagram yang


38

Makanan favorit B
A

¨ bakso
Irma ¨
¨ soto
Sinta ¨
¨ mie
Anto ¨ goreng
Gunawan
¨ mie
¨ kuah
Feri ¨

Gambar 2.1 Diagram panah yang menunjukkan relasi


"makanan favorit" dari himpunan A ke himpunan B

mempunyai dua sumbu yang saling tegak lurus, yaitu sumbu mendatar (horisontal)

dan sumbu tegak (vertikal). Anggota-anggota himpunan A sebagai himpunan

pertama ditempatkan pada sumbu mendatar dan anggota-anggota himpunan B

sebagai himpunan kedua berada pada sumbu tegak. Setiap pasangan antara anggota

himpunan pertama yang berelasi dengan anggota himpunan kedua dinyatakan dengan

sebuah noktah. Noktah tersebut terletak tepat diperpotongan garis-garis yang tegak

lurus sumbu-sumbu melalui titik masing-masing pada anggota yang berelasi.


B
Mie kuah · ·
Mie goreng ·
soto
· ·
bakso · · ·
A

Gambar 2.2 Diagram Cartesius yang menunjukkan relasi


"makanan favorit" dari himpunan A ke himpunan B
39

Bagaimanakah diagram Cartesius yang menunjukkan relasi tersebut?

Penyajiannya dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Jika diberikan dua himpunan, himpunan A dan B, maka dapat dibuat pasangan-

pasangan antara anggota himpunan A dan anggota himpunan B. Berdasarkan

keterangan di atas tentang lima orang siswa dan makanan yang disukainya, bahwa

A = {Irma, Sinta, Anto, Gunawan, Feri} dan B = { bakso, soto, mie goreng, mie

kuah}. Dari kedua himpunan tersebut dapat ditentukan relasi dari himpunan A ke

himpunan B. Berarti, pemasangan itu dari anggota himpunan A ke anggota himpunan

B. Penulisan suatu pasangan didahului oleh suatu anggota A diikuti tanda koma lalu

satu anggota B yang berelasi dengan anggota A tadi. Setiap pasangan ditulis di dalam

tanda kurung. Kumpulan pasangan-pasangan yang terjadi termuat dalam satu

himpunan yang disebut himpunan pasangan terurut.

Jika relasi A ® B (dibaca: dari A ke B), maka pasangan terurutnya

(… , … ). Jika relasi B ® A, maka pasangan terurutnya ( … , … ).


anggota anggota anggota anggota
himpunan A himpunan B himpunan B himpunan A

Sehingga pasangan terurut (Irma, bakso) tidak sama dengan (bakso, Irma). Pada

pasangan terurut (Irma, bakso) relasinya A ® B, sedangkan (bakso, Irma) relasinya

B ® A. Karena Irma Î A dan bakso Î B.

Berdasarkan keterangan tentang lima orang siswa dan makanan yang

disukainya merupakan suatu relasi, jika relasi tersebut dinyatakan dengan himpunan

pasangan terurut dapat ditulis sebagai berikut :


40

R = { (Irma, bakso), (Irma, soto), (Sinta, mie goreng), (Anto, bakso),


(Anto, mie kuah), (Gunawan, Bakso), (Gunawan, mie kuah),
(Feri, soto) }.

Pada subpokok bahasan fungsi dan korespondensi satu-satu dibahas

pengertian fungsi. Fungsi dari himpunan A ke himpunan B (relasi khusus) adalah

aturan yang memasangkan setiap anggota himpunan A dengan tepat satu anggota

himpunan B. Hal ini dinotasikan f : A ® B ( dibaca : fungsi f memetakan himpunan

A ke himpunan B). Himpunan elemen-elemen yang dipetakan dinamakan domain

(daerah asal). Dalam hal ini berarti himpunan A adalah domain fungsi f. Himpunan

elemen-elemen yang akan menjadi pasangan domain disebut kodomain (daerah

kawan). Dalam hal ini himpunan B merupakan kodomain fungsi f. Sedangkan

himpunan peta dari domain disebut range (daerah hasil) f.

Misalkan A = { -3, -2, -1, 0, 1, 2, 3, 4, 5 } dan B = { -7, -6, -5, …, 7 }.

Diberikan f : A ® B dengan aturan fungsi f(x) = x + 2, untuk setiap x Î A. Aturan

fungsi tersebut biasa disebut rumus fungsi. Penulisan f(x) = x + 2 juga dapat

dinyatakan dengan f : x ® x + 2. Karena fungsi juga merupakan relasi maka fungsi

dapat pula dinyatakan dalam bentuk diagram panah, diagram Cartesius (lebih rinci

dibahas pada grafik fungsi pada bidang Cartesius), dan himpunan pasangan terurut.

Penentuan banyak fungsi yang mungkin dari dua himpunan dibahas hanya

pada himpunan yang banyak anggotanya 1, 2, atau 3 saja. Lebih umum, misalkan ada

dua himpunan A dan B serta n(A) = a dan n(B) = b maka banyak fungsi yang

mungkin dari himpunan A ke himpunan B adalah b a. Dalam pencapaian perolehan


41

rumus tersebut oleh siswa, sebagai pengantar digunakan penyajian fungsi dalam

bentuk diagram panah. Kepada siswa diberikan dua himpunan yang masing-masing

A B A B A B

Gambar 2.3. Diagram panah yang menunjukkan semua


fungsi yang mungkin dari A ke B, dengan
n(A) =1 dan n(B) = 3
diketahui banyak anggotanya. Mereka ditugaskan menggambar fungsi yang terjadi

dalam bentuk diagram panah.

Contoh, diberikan dua himpunan A dan B, dan diketahui bahwa n(A) = 1 dan

n(B) = 3. Maka bentuk fungsi dari A ke B dalam bentuk diagram panah dapat dilihat

pada Gambar 2.3.

Sedangkan untuk fungsi dari B ke A dapat dilihat pada Gambar 2.4 berikut

ini :
B A
Gambar 2.4.
Diagram panah yang
menunjukkan fungsi
dari B ke A, dengan
n(A) = 1 dan n(B) = 3

Himpunan A dikatakan berkorespondensi satu-satu dengan himpunan B jika

setiap anggota A dipasangkan dengan tepat satu anggota B dan setiap anggota B
42

dipasangkan dengan tepat satu anggota A. Dengan demikian berarti banyak anggota

himpunan A sama dengan banyak anggota himpunan B.

Pembahasan untuk domain, kodomain, dan range suatu fungsi diawali dengan

definisi ketiga konsep ini. Uraian dibarengi dengan Gambar 2.5. Diagram panah pada

Gambar 2.5 menunjukkan fungsi dari himpunan A ke himpunan B, beserta petunjuk

tentang domain, kodomain, dan range.

A = {Dado, Felma, Kasni, Lusi} disebut Domain (daerah asal) fungsi tersebut.

B = {11, 12, 13, 14, 15} merupakan Kodomain (daerah kawan) fungsi tersebut.

A B
Berumur

Dado ·
· 11
Felma ·
· 12
· 13 Daerah hasil ( range )
Kasni ·
Lusi ·
· 14
· 15

Daerah asal ( domain Daerah kawan


) ( kodomain )
Gambar 2.5

Range (daerah hasil) fungsi tersebut adalah {12,13,15}. Perhatikan bahwa anggota

range fungsi tersebut merupakan anggota daerah kawan (kodomain) yang

dihubungkan/ dipasangkan dari anggota daerah asal (domain).

Uraian tentang notasi, aturan, dan nilai fungsi banyak menggunakan simbol-

simbol yang mungkin baru bagi siswa. Simbol-simbol yang dimaksudkan seperti,

f : A ® B dan f(x). Misalkan diketahui suatu fungsi dari himpunan A ke himpunan

B. Pernyataan tersebut dilambangkan/dinotasikan f : A ® B (dibaca : fungsi f


43

memetakan himpunan A ke himpunan B). Selain huruf f dapat pula digunakan huruf

lain seperti g, h, dan lainnya.

Misalkan diketahui A = { 1, 2, 3, 4, 5, 6 }, B = { 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 10, 12 },

dan f : A ® B. Dari A ke B dihubungkan dengan ketentuan 1® 2, 2 ® 4, 3 ® 6,

4 ® 8, 5 ® 10, 6 ® 12. Dalam bentuk diagram panah ditunjukkan pada Gambar

2.6.

Jika a Î A maka notasi untuk anggota B yang dipasangkan dengan a ditulis f(a)

(dibaca : ef a) dan selanjutnya f(a) disebut peta atau bayangan a di bawah f.

B Sebaliknya a disebut prapeta f(a). Peta suatu

A Dikalikan dua
anggota domain juga disebut nilai fungsi.

·1 Sehingga untuk fungsi yang diberikan di atas


1 ·2
·3 (diagram panah pada Gambar 2.6) dapat ditulis
·
·4
2· ·5
dalam bentuk :
3· ·6
f : 1 ® 2, f : 2 ® 4, f : 3 ® 6, f : 4 ® 8,
4· ·7
·8 f : 5 ® 10, f : 6 ® 12
5· · 10 ataupun dalam bentuk :
6· · 12
f(1) = 2, f(2) = 4, f(3) = 6, f(4) = 8, f(5) = 10,
f(6) = 12.
Gambar 2.6.

Sebagai contoh f : 2 ® 4, berarti 4 adalah peta/bayangan 2 atau 2 merupakan


prapeta 4. Sehingga 4 merupakan nilai fungsi f di 2, dan dapat ditulis f(2) = 4.
Pada fungsi tersebut bahwa setiap anggota domainnya dipasangkan ke petanya
dengan aturan tertentu. Aturan yang dimaksud untuk fungsi tersebut adalah :
44

1 ® 2, aturannya adalah f(1) = 2 = 1 ´ 2

2 ® 4, aturannya adalah f(2) = 4 = 2 ´ 2

3 ® 6, aturannya adalah f(3) = 6 = 3 ´ 2

4 ® 8, aturannya adalah f(4) = 8 = .. ´ 2

5 ® 10, aturannya adalah f(5) = 10 = ……….

6 ® 12, aturannya adalah f(6) = ……………..

Tampak bahwa pada fungsi tersebut setiap anggota domainnya dikalikan dua.

Sehingga untuk f : A ® B dan jika a Î A maka fungsi tersebut mempunyai aturan

yang dilambangkan/dinotasikan f : a ® 2a. Dalam bentuk rumus fungsi hal ini

dapat ditulis f(a) = 2a untuk a Î A .

Grafik fungsi dalam penyajiannya turut dibahas penampilan nilai-nilai fungsi

dalam bentuk tabel. Hal ini ditujukan untuk memperkaya pengetahuan siswa tentang

fungsi itu sendiri dan mudah untuk melihat pasangan terurut yang diperoleh.

Aplikasi materi relasi, fungsi, dan grafiknya langsung disajikan dalam

masalah yang akan diselesaikan oleh siswa. Materi yang dipelajari diawali dengan

suatu kejadian atau cerita dalam kehidupan sehari-hari yang dekat dengan kehidupan

siswa.

F. Perangkat Pembelajaran
45

Guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran memerlukan perangkat

pembelajaran. Perangkat pembelajaran yang dimaksudkan terdiri dari RP (Rencana

Pembelajaran), BS (Buku Siswa) beserta altenatif jawban soal latihannya, LKS

(Lembar Kegiatan Siswa) beserta alternatif jawaban, tes (kuis dan tes hasil belajar)

dan kisi-kisinya.

Secara umum tentang kriteria penyusunan perangkat pembelajaran disampaikan

oleh O’Meara dari beberapa aspek. Untuk menyusun perangkat pembelajaran harus

memperhatikan aspek-aspek format, bahasa, illustrasi, isi (materi) dan tujuan

pembelajaran (O’Meara, 2000).

Menurut O’Meara (2000), secara umum kriteria format yang baik untuk

perangkat pembelajaran (buku siswa, LKS, dan naskah tes; pen.) adalah sebagai

berikut:

a. Memiliki semua bagian yang teridentifikasi dengan jelas.


b. Dikelompokkan berdasarkan halaman dan latihan
c. Menarik minat siswa.
d. Menunjukkan keseimbangan antara teks dan illustrasi
e. Menarik secara visual
f. Menggunakan bentuk (jenis) huruf dan ukuran huruf yang sesuai
g. Menggunakan tata letak (spasi) yang diatur dengan baik.
h. Tepat/sesuai untuk ukuran fisik siswa.

Lebih lanjut O’ Meara (2000) mengemukakan kriteria umum bahasa yang baik

dalam suatu perangkat pembelajaran adalah sebagai berikut.

a. Menggunakan model (contoh) yang baik dan benar.


b. Sesuai dengan tahap-tahap perkembangan mental siswa.
c. Dapat mendorong siswa untuk membaca.
d. Mendefinisikan istilah-istilah teknis secara jelas.
e. Menggunakan struktur gramatikal yang sederhana dan jelas.
46

f. Menggunakan struktur kalimat yang sederhana dan jelas.


g. Memberikan petunjuk yang jelas
h. Menarik perhatian siswa.

Kriteria umum illustrasi yang baik dalam suatu perangkat pembelajaran,

menurut O’Meara (2000), adalah sebagai berikut.

a. Dapat mendukung pemahaman konsep siswa.


b. Terkait secara langsung dengan konsep yang diajarkan.
c. Menarik secara visual.
d. Jelas
e. Mudah dipahami.
f. Dapat digandakan/fotocopy.
g. Sesuai dengan keadaan setempat.
h. Menggunakan keseimbangan antara siswa yang putra dan putri.
Dari aspek konsep (isi), menurut O’Meara (2000), suatu konsep dalam

perangkat pembelajaran harus memenuhi hal-hal berikut ini.

a. Akurat (benar).
b. Dikelompokkan menurut bagian-bagian yang logis.
c. Topik-topiknya sesuai dengan GBPP.
d. Mencakup semua informasi yang diperlukan.
e. Dikaitkan dengan materi/konsep sebelumnya dan dalam satu rangkaian.
f. Menggunakan sumber-sumber yang tersedia yang mudah diproleh siswa.
g. Memotivasi siswa untuk belajar.
h. Menumbuhkan berpikir sistematik pada siswa.
i. Menggunakan contoh-contoh yang sesuai dengan keadaan setempat.
j. Menghindari stereo tipe (gender, etnik, religi, dan kelas sosial).

Sedangkan dari aspek tujuan yang baik suatu perangkat pembelajaran adalah

seperti yang dikemukakan O’Meara (2000) adalah sebagai berikut.

a. Sesuai dengan GBPP


b. Sesuai dengan tingkat perkembangan mental siswa
c. Dapat dicapai (dilaksanakan/didemontrasikan) siswa
d. Dikaitkan dengan dengan tujuan pembelajaran pada topik sebelumnya
e. Seimbang antara ketrampilan dan pengetahuan

1. Rencana Pembelajaran (RP)


47

Rencana pembelajaran merupakan panduan kegiatan guru dalam kegiatan

pembelajaran sekaligus uraian kegiatan siswa yang berhubungan dengan kegiatan

guru yang dimaksudkan. RP berisi tujuan pembelajaran, materi, metode

pembelajaran, skenario kegiatan guru dan siswa dalam kegiatan pembelajaran, dan

perkiraan alokasi waktu untuk setiap kegiatan. RP yang disusun mencakup alokasi

waktu 2  45 menit untuk setiap pertemuan (tatap muka). Pada materi relasi, fungsi,

dan grafiknya terdiri dari lima pertemuan sehingga rencana pembelajaran yang dibuat

sebanyak lima pula. Satu pertemuan digunakan untuk pelaksanaan tes hasil belajar.

Berkaitan dengan rencana pembelajaran (RP), lebih lanjut O’Meara (2000)

menyarankan agar rencana pembelajaran dapat digunakan secara praktis oleh guru

dan dapat dengan mudah diobservasi. Rencana pembelajaran (RP) memuat tujuan, isi

atau materi pembelajaran, metode pembelajaran, kegiatan pembelajaran, daftar

pustaka, dan penilaian. Rencana pembelajaran disusun dengan baik, terurut dan

didesain dengan baik.

2. Buku Siswa (BS)

Buku siswa merupakan buku yang digunakan oleh siswa dalam kegiatan

pembelajaran sebagai sumber informasi dan materi. Buku siswa memuat tujuan

pembelajaran, materi beserta uraiannya, dan soal-soal latihan, yang tentunya kriteria

secara umum sesuai dengan pendapat O’Meara (2000) di atas. Buku siswa yang

dikembangkan dalam penelitian ini hanya untuk materi relasi, fungsi, dan grafiknya.
48

3. Lembar Kegiatan Siswa (LKS)

Lembar kegiatan siswa (LKS) merupakan suatu rangkaian tugas yang telah

disusun dengan pertanyaan-pertanyaan yang memudahkan mereka

mengerjakan/menyelesaikannya sesuai dengan materi yang diajarkan. LKS berisi

aktivitas-aktivitas siswa untuk melengkapi penguatan-penguatan dan keterampilan

lebih lanjut pada topik-topik pelajaran. LKS terkait langsung dengan topik pelajaran

dan sebagai sarana bagi siswa mengaplikasikan pengetahuan dan ketrampilannya ke

dalam konteks yang sesuai. LKS yang digunakan sebanyak lima buah, tiap pertemuan

menggunakan satu LKS.

Fungsi LKS bagi siswa adalah untuk mempermudah pemahamannnya

terhadap materi pelajaran yang diberikan dan bertujuan untuk mengembangkan

kompetensi siswa. Ditinjau dari bentuk kegiatannya LKS dapat dibedakan atas dua

macam, yatu LKS eksperimen dan LKS non-eksperimen. LKS eksperimen adalah

lembar kegiatan siswa yang berisikan petunjuk dan pertanyaan yang harus

diselesaikan oleh siswa untuk menentukan suatu “development” dimana produk

menunjukkan pada hasil, sedangkan development menunjukkan pada proses

kreativitas anak didik (Rudiyanto 1997 dalam Hariati, 1999).

Menurut Rudiyanto (dalam Hariati, 1999) ada beberapa peraturan-peraturan

yang harus diperhatikan dalam menyusun dan membuat LKS, antara lain :

a. Syarat-syarat didaktik.

LKS sebagai salah satu bentuk sarana berlangsungnya proses pembelajaran harus

mengikuti asas-asas pembelajaran yang efektif, yaitu :


49

1) Tekanan pada proses untuk menemukan konsep-konsep sehingga LKS di


sini berfungsi sebagai petunjuk jalan bagi siswa untuk mencari tahu.
2) Tidak memperhatikan adanya perbedaan individual sehingga LKS yang
baik itu adalah yang dapat digunakan baik oleh siswa yang lamban,
sedang, maupun yang pandai.

b. Syarat-syarat konstruksi

Persyaratan konstruksi yang harus dipenuhi dalam penyusunan LKS adalah

syarat-syarat yang berkenaan dengan penggunaan bahasa, susunan kalimat,

kesederhanaan penggunaan kata-kata dan kejelasan yang pada hakekatnya

haruslah tepat guna dalam arti dapat dimengerti oleh siswa. Berkaitan dengan hal

tersebut ada beberapa hal yang harus diperhatian dalam menyusun dan membuat

LKS, yaitu :

1) Menggunakan bahas yang sesuai dengan tingkat kedewasaan (tingkat

perkembangan kognitif) siswa.

2) Menggunakan struktur kalimat atau kata-kata yang jelas.

3) Memiliki tata urutan pelajran yang sesuai dengan itngkat kemampuan

siswa, apabila konsep yang hendak dituju merupakan sesuatu yang

kompleks, dapat dipecah menjadi bagian-bagian yang lebih sederhana.

4) Menggunakan kalimat yang pendek dan sederhana.

5) Memiliki tujuan pembelajaran yang jelas serta manfaat dari pelajaran itu

sebagai sumber motivasi.

6) Mempunyai identitas untuk lebih memudahkan administasi, misalnya

nama, kelas, mata pelajaran, tanggal, dan sebaginya.


50

c. Syarat-syarat teknis

Penyusunan dan pembuatan LKS juga harus memenuhi syarat-syarat teknis

sebagai beriku :

1) Tulisan.

a) Menggunakan huruf cetak dan tidak menggunakan huruf

romawi/latin.

b) Menggunakan huruf tebal yang agak besar untuk topik, bukan garis

bawah.

c) Banyak kata dalam satu baris tidak lebih dari 10 kata.

2) Gambar.

Gambar harus dapat menyampaikan pesan/isi dari gambar tersebut secara

efektif terhadap pengguna LKS.

3) Penampilan.

Penampilan harus memiliki kombinasi antara gambar dan tulisan. Di

samping itu harus memperhatikan pada format dan syarat-syarat

penulisan yang sesuai dengan kurikulum. Menurut Wijaya (1988) dan

Hariati (1999) dalam menyusun LKS hendaknya memenuhi beberapa

komponen :

a) Topik yang dibahas.


b) Waktu yang tersedia untuk melakukan kegiatan.
c) Tujuan pembelajaran umum.
d) Tujuan pembelajaran khusus.
e) Rangkuman materi.
f) Alat pelajaran yang digunakan.
51

g) Prosedur kegiatan.
h) Pertanyaan-pertanyaan yang harus dikerjakan setelah melaksanakan
kegiatan.

Di samping itu LKS yang baik juga harus memenuhi kriteria kesahihan dan

keterhandalan format LKS. Menurut Abdul Aziz Abdullah dalam Hariati (1999)

mengatakan bahwa kesahihan, keterhandalan, dan kemantapan format LKS yang

digunakan dalam proses pembelajaran dapat ditinjau dari beberapa variabel, antara

lain :

1. Kemampuan LKS di dalam mengaktifkan siswa dalam belajar.

2. Kemampuan LKS dalam membelajarkan siswa secara kontinu dan ajeg.

3. Kemampuan LKS untuk meningkatkan pemahaman konsep dan

keterampilan.

4. Kemampuan LKS untuk ditinjau dari keterbatasan informasi.

5. Dampak pengunaan LKS dalam proses pembelajaran terhadap hasil

belajar.

6. Kemampuan LKS dalam mengintegrasikan informasi, latihan dan

umpan balik.

4. Tes dan Kisi-Kisinya

Tes merupakan suatu alat ukur yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang

setiap butir pertanyaan tersebut mempunyai jawaban atau ketentuan yang dianggap

benar. Secara umum ada dua bentuk tes, yaitu tes bentuk uraian (essay test) dan tes

berbentuk objektif (Objektive test). Tes yang dikembangkan dalam penelitian ini
52

bentuk uraian (essay test). Tes uraian adalah butir soal yang mengandung pertanyaan

atau tugas yang jawaban atau pengerjaan soal tersebut harus dilakukan dengan cara

mengekspresikan pikiran siswa. Ciri khas tes uraian ialah jawaban terhadap soal

tersebut tidak disediakan oleh orang yang mengkonstruksi butir soal, tetapi harus di

selesaikan oleh siswa. Penyusunan tes ini mengacu pada tes beracuan patokan (PAP),

yaitu tes yang disusun berpedoman pada tujuan pembelajaran khusus (TPK) yang

telah dirumuskan. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Grounlund (1995) yaitu (1)

tugas-tugas dan domain pembelajaran telah terdefinisikan dengan jelas, disamping itu

tujuan pembelajaran telah didefinisikan dengan jelas dalam istilah perilaku atau

kinerja yang dapat diamati, dan (2) perangkat pembelajaran dirancang dengan

mengacu pada ketuntasan belajar tertentu. Hal ini senada dikemukakan oleh

Suherman (1993), PAP orientasinya adalah tingkat kemampuan siswa terhadap materi

yang diteskan sehingga skor yang diperoleh mencerminkan persentase kemampuan

siswa.

Tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Kuis, merupakan tes harian yang digunakan untuk mengukur prestasi belajar

siswa yang dilaksanakan pada bagian penutup setiap kegiatan pembelajaran dan

hasilnya digunakan untuk menghitung sumbangan skor setiap individu sebagai

skor peningkatan kelompok.


53

2. Tes hasil belajar (THB), adalah tes yang digunakan untuk mengukur kemampuan

siswa setelah pokok bahasan relasi, fungsi, dan grafiknya selesai dipelajari. Tes

hasil belajar yang dikembangkan meliputi THB produk dengan jenjang ranah

kognitif dari C1 sampai C6 dalam taksonomi Bloom. Untuk penskoran hasil tes,

digunakan panduan penilaian evaluasi yang memuat kunci dan pedoman

penskoran setiap butir soal.

Menurut Hudojo (1988: 144) cara menilai hasil belajar matematika biasanya

menggunakan tes. Maksud tes yang utama adalah mengukur hasil belajar yang

dicapai oleh seseorang yang belajar matematika. Di samping itu tes juga

dipergunakan untuk menentukan seberapa jauh pemahaman terhadap materi yang

telah dipelajari.

Menurut Zainul dan Nasoetion ( 1997: 28-31) THB adalah salah satu alat ukur

yang paling banyak digunakan untuk menemukan keberhasilan seseorang dalam suatu

proses belajar mengajar atau untuk menentukan keberhasilan suatu program

pendidikan. Dasar-dasar penyusunan tes hasil belajar adalah sebagai berikut:

a. THB harus dapat mengukur apa yang dipelajari dalam proses belajar

mengajar sesuai dengan tujuan instruksional yang tercantum di dalam

kurikulum yang berlaku,

b. THB disusun sedemikian sehingga benar-benar mewakili bahan yang telah

dipelajari,
54

c. Pertanyaan THB hendaknya disesuaikan dengan aspek-aspek tingkat

belajar yang diharapkan,

d. THB hendaknya disusun sesuai dengan tujuan penggunaaan tes itu sendiri,

karena tes dapat disusun sesuai dengan kebutuhan.

Pretest dan postest

1) Pretest adalah tes yang diberikan sebelum pembelajaran dimulai, bertujuan untuk

mengetahui sejauh manakah siswa telah mengusai materi yang akan diberikan.

2) Postest adalah tes yang diberikan sesudah pembelajaran, tujuannya ialah untuk

mengetahui sejauh mana siswa telah mengusai bahan yang telah diajarkan.

Perbedaan kedua jenis tes ini akan ditentukan oleh proses belajar dan

mengajar, karena jika proses belajar dan mengajar baik maka akan terdapat perbedaan

yang besar antara postest dengan pretest. Supaya kedua hasil ini dapat dibandingkan

sudah tentu pertanyaan-pertanyaan pada pre test dibuat sama atau parallel dengan

pertanyaan pada postest.

Untuk kemudahan pemeriksaan maka disusun pula petunjuk pemeriksaan

guna kepentingan skor yang diperoleh oleh siswa atas jawaban suatu item soal.

Salah satu langkah penyusunan tes adalah menuliskan naskah soal. Hal-hal

yang harus diperhatikan dalam langkah ini oleh Arikunto (1991:201) dikemukakan

bahwa :

a. Bahasa yang digunakan harus sederhana dan mudah dipahami. Perlu


diingat bahwa kesalahan dalam memilih kalimat dapat berakibat tudak
validnya sebuah tes.
55

b. Suatu soal tidak boleh mengandung penafsiran ganda atau


membingungkan.
c. Cara memenggal kalimat atau meletakkan kata-kata perlu diperhatikan
agar tidak ditafsirkan salah.
d. Petunjuk mengerjakan. Walaupun kadang-kadang siswa telah biasa
melihat bentuk-bentuk soal yang dijumpai namun petunjuk
mengerjakan tiap kelompok soal merupakan hal yang penting.
Petunjuk ini dituliskan sedemikian rupa sehingga jelas dan siswa tidak
bekerja menyimpang dari yang dikehendaki oleh guru/pembuat soal.

G. Model Pengembangan Sistem dan Perangkat Pembelajaran.

Menurut Twelker (dalam Mudhoffir, 1990:33) bahwa pengembangan

pembelajaran adalah suatu cara yang sistematis dalam mengidentifikasi,

mengembangkan, dan mengevaluasi seperangkat materi dan strategi yang diarahkan

untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Dari pengembangan yang dilakukan hasil

yang diperoleh, di antaranya, yaitu perangkat pembelajaran.

Beberapa model yang dapat digunakan akan diuraikan berikut ini :

1. Model Dick dan Carrey

Pengembangan perangkat pembelajaran menurut Dick & Carey (dalam

Mudhoffir, 1990:33) terdiri dari tujuh langkah, yaitu :

a. Mengidentifikasi tujuan pembelajaran


Conduct Revise umum.
b. Mengadakan analisis pembelajaran
instruction insruction dan mengidentifikasi karakteristik
analisys
atau kemampuan awal siswa.
c. Merumuskan tujuan pembelajaran khusus.
d. Mengembangkan criterion reference test.
Develop Develop and Design
Identify e. Menegmbangkan
Write strategi pembelajaran.
criterion
Develop select
performance and
instructionalf. Memilih dan mengembangkan
refer enced sumber, alat, dan media
instruktional pembelajaran.. conduct
instructional
goals g. objectives
Melaksanakan evaluasi. strategy material
test items formative

Identify entry
behaviors
characteristic Design and
s conduct
summative
evaluation

Diagram 2.1. Prosedur pengembangan model Dick & Carey


(sumber Dick & Carey, 1990:3)
56

Prosedur pengembangan model Dick & Carey dapat dilihat pada diagram 2.1.
III. KEGIATAN
Kekurangan dari pengembangan model Dick & Carey BELAJAR
yaitu tidak adanya identifikasi
I. PERUMUSAN TUJUAN Merumuskan semua
Menggunakan sistem yang kemungkinan kegiatan belajar
materi dan analisis materi sehingga akan menyulitkan dalam
untuk mencapai penyusunan tujuan
tujuan.
operasional
Berbentuk hasil belajar Menetapkan kegiatan belajar
pembelajaranBerbentuk
dan perencanaan
tingkah lakupembelajaran. yang tidak perlu ditempuh.
Hanya ada satu tingkah laku Menetapkan kegiatan yang
akan ditempuh.

2. Model PPSI (Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional)

Model pengembangan PPSI dapat dilihat pada diagram 2.3. Hal-hal yang
IV. PENGEMBANGAN
dilakukan dalam setiap tahap pada model PROGRAM KEGIATAN
desain pembelajaran menurut PPSI adalah
Merumuskan materi pelajaran.
Menetapkan metode yang
sebagai berikut :
II. PENGEMBANGAN digunakan.
ALAT EVALUASI Memilih alat pelajaran dan
Menentukan jenis tes akan sumber yang dipakai.
digunakan untuk menilai tercapai Menyusun jadwal
tidaknya tujuan
Menyusun (item soal) untuk
menilai masing-masing tujuan.

V. PELAKSANAAN
Mengadakan pretest.
Menyampaikan materi pelajaran.
Mengadakan post test
Perbaikan.

Diagram 2.2. Model pengembangan pembelajaran PPSI


(sumber Mudhoffir, 1990:94)
57

Perumusan Tujuan

Merumuskan tujuan pembelajaran khusus yang memenuhi kriteria, yaitu :

menggunakan istilah yagng operasional, berbentukhasil belajar,berbentuk tingkah

laku, dan hanya memuat satujenis tingkah laku.

Pengembangan Alat Evaluasi

Menentukan jenis tes yang akan digunakan untuk menilai tercapai tidaknya

tujuan pembelajaran, dan merencanakan pertanyaan untuk nilai masing-masing

tujuan.
58

Kegiatan Belajar

Merumuskan semua kemungkinan kegiatan belajar untuk mencapai tujuan

pembelajaran, menetapkan kegiatan pembelajaran yang tidak perlu dilakukan, dan

menetapkan kegiatan yang akan ditempuh.

Pengembangan Program Kegiatan

Merumuskan materi pelajaran, menetapkan metode yang dipakai, menetapkan

alat pelajaran/buku yang dipakai,dan menyusun jadwal.

Pelaksanaan

Mengadakan pretes, menyampaikan materi pelajaran,mengadakan postes, dan

perbaikan.

Kekurangan pada pengembangan model ini yaitu tidak menggunakan

identifikasi topik serta analisis konsep, sehingga hal ini menyulitkan dalam

penyusunan tujuan pembelajaran khusus. Selain itu mengabaikan analisis

karakteristik siswa sehingga menyulitkan dalam penyusunan kegiatan pembelajaran

dan pemilihan materi pelajaran.

3. Model Kemp
59

Model pengembangan sistem pembelajaran menurut Kemp dapat dilihat pada

Diagram 2.3. Pengembangan sistem pembelajaran model Kemp memberikan

Planing
Revision

Instructional
Support Service

Problems

Instructional Leaner
Resources Characteristics

Summative Evaluation
Evaluation Task
Instruments Analisis

Instructional Instructional
Delivery Objectives

Instructional Content
Strategies Sequencing

Formative Evaluation

Project Management

Diagram 2.3. Model Pengembangan Pembelajaran menurut Kemp


(sumber Kemp, 1994 : 9)
bimbingan kepada para pemakainya untuk berpikir tentang masalah-masalah umum

dan tujuan-tujuan pengajaran.

Unsur-unsur pengembangan pembelajaran menurut Kemp terdiri atas :

1. Problema Pembelajaran (Instructional Problems)

Tujuan tahap ini adalah mengidentifikasi adanya kesenjangan antara tujuan

menurut kurikulum yang berlaku dengan fakta yang terjadi. Selanjutnya disusun
60

alternatif atau cara pembelajaran yang sesuai dalam upaya tujuan seperti yang

diharapkan dalam kurikulum.

2. Karakteristik Siswa (Leaner Characteristics)

Karakteristik yang dimaksud meliputi ciri, kemampuan, dan pengalaman baik

sebagai individu maupun sebgai kelompok. Data analisis siswa yang dipelukan

meliputi informasi akademik, karakeristik pribadi dan sosial, serta gaya belajar siswa.

Informasi pendidikan meliputi jenjang pendidikan dan mata pelajaran utama yang

telah dilaluinya, skor tes intelegensi, kursus khusus atau lanjutan yang telah

diselesaikan berhubungan dengan pokok bahasan yang akan dipelajari.

3. Analisis Tugas (Task analysis)

Analisis tugas merupakan kumpulan prosedur untuk menentukan isi suatu

pengajaran. Analisis tugas digunakan untuk merinci isi mata pelajaran dalam bentuk

garis besar isi pokok bahasan yang mencakup pemahaman tentang tugas dalam

pembelajaran. Analisis tugas meliputi analisis isi pelajaran, analisis konsep, dan

analisis prosedural.

4. Merumuskan Tujuan Pembelajaran (Instructional Objectives)

Tujuan pembelajaran diperoleh dari hasil analisis pokok bahasan dan analisis

siswa, juga dari analisis tugas. Tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan berfungsi

sebagai alat untuk mendesaain kegiatan pembelajaran yang tepat, kerangka kerja

dalam, merencanakan cara mengevaluasi hasil belajar siswa, dan panduan siswa

dalam belajar.
61

5. Menyusun urutan Materi (Content Sequencing)

Isi pokok bahasan materi diurutkan berdasarkan urutan kegiatan siswa dengan

memperhatikan lima aspek, yaitu pengetahuan prasyarat, familiaritas, kesukaran,

minat, dan perkembangan siswa.

6. Strategi Pembelajaran (Instructional Strategis)

Pada tahap ini dilakukan pemilihan strategi pembelajaran yang sesuai dengan

tujuan. Kegiatan ini meliputi pemilihan model, metode, media atau sumber belajar

yang dipandang mampu memberikan pengalaman yang berguna untuk mencapai

tujuan.

7. Penyampaian Pembelajaran (Instructional Delivery)

Pemilihan metode penyampaian ditentukan berdasarkan tujuan dan

lingkungan belajar. Metode penyampaian pembelajaran dapat bersifat klasikal,

kelompok, atau individual.

8. Penyusunan Instrumen Evaluasi (Evaluation Instrument)

Instrumen evaluasi disusun berdasarkan tujuan pembelajaran khusus yang

telah dirumuskan.

9. Pemilihan Media atau Sumber Pembelajaran (Instructional Resources)

Keberhasilan pembelajaran sangat bergantung pada penggunaan sumber

belajar atau media yang dipilih. Sumber belajar yang tersedia dapat digolongkan

dalam beberapa kategori, misalnya benda-benda nyata, model, bahan dwimatra,

rekaman audio, gambar diam, gambar hidup, dan sebagainya.


62

10. Pelayanan Pendukung (Support Services)

Selama proses pengkajian kebutuhan pembelajaran sering muncul berbagai

kendala dalam program, seperti keterbatasan dana, waktu, perlengkapan yang

tersedia, ukuran ruangan, dan lain-lain. Hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam

kaitannya dengan berbagai bidang atau pelayanan penunjang adalah anggaran,

fasilitas, bahan, perlengkapan, pelayanan tenaga kerja, jadwal penyelesaian tahap

perencanaan dan pengembangan.

11. Evaluasi Formatif (Formatif Evaluation)

Evaluasi formatif merupakan bagian penting dalam proses perancangan yang

berfungsi untuk memberikan informasi kepada pengajar atau tim pengembang.

12. Revisi (Revision)

Kegiatan revisi dimaksudkan untuk mengevaluasi dan perbaikan rancangan

yang telah dibuat. Revisi dilakukan berdasarkan masukan dan penilaian yang

diperoleh dari kegiatan evaluasi baik evaluasi formatif maupun evaluasi sumatif.

Informas lain diperoleh dari hasil data dari instrumen evaluasi.

13. Evaluasi Sumatif (Summative Evaluation)

Evaluasi sumatif secara langsung mengukur tingkat pencapaian tuua-tujuan

utama pada akhir pemebalajaran.

Pada proses pengembangan sistem pembelajaran model Kemp tampak bahwa

urutan proses pengembangannya tidak kaku dan lebih fleksibel dalam melaksanakan

setiap komponen yang diperlukan.


63

4. Model Thiagarajan, Semmel dan Semmel.

Pengembangan perangkat model 4-D (model Thiagarajan) terdiri dari empat

tahap, yaitu pendefinisian (define), perancangan (design), pengembangan (develop),

dan pendesiminasian (dessiminate).

a. Tahap Pendefinisian (Define)

Pada tahap pendefinisian dilakukan penetapan dan pendefinisian kebutuhan-

kebutuhan pembelajaran berdasarkan hasil analisis tujuan dan batasan materi. Tahap

pendefinisian meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :

1) Analisis awal-akhir.

Kegiatan ini bertujuan untuk menetapkan masalah dasar yang menjadi dasar

dalam pengembangan perangkat pembelajaran, termasuk jalan keluar dari

masalah yang dihadapi melalui teori-teori belajar yang relevan.

2) Analisis siswa.

Pada bagian ini karakteristik siswa dirangkum dalam sebuah catatan sehingga

akan dicocokkan dengan rancangan dan pengembangan bahan pembelajaran.

Karakteristik yang dimaksudkan meliputi latar belakang tingkat perkembangan

kognitif dan pengetahuan siswa.

3) Analisis materi.

Analisis materi atau konsep bertujuan untuk mengidentifiksi konsep-konsep

utama yang akan dipelajari oleh siswa dan menyusunnya secara skematis dalam

peta konsep. Berdasarkan analisis konsep dapat dibuat peta konsep.


64

4) Analisis tugas

Tujuan analisis tugas adalah untuk mengidentifikasi tugas-tugas atau

keterampilan-keterampilan utama yang harus dimiliki siswa setelah melakukan

pembelajaran berdasarkan analisis konsep.

5) Spesifikasi tujuan pembelajaran

Spesifikasi tujuan pembelajaran dilakukan untuk merumuskan tujuan-tujuan

pembelajaran khusus, berdasarkan analisis tugas dan analisis materi.

b. Tahap Perancangan (Design)

Tahap perancangan bertujuan untuk merancang contoh (prototipe) perangkat

pembelajaran, pemilihan media, dan alat peraga yang memungkinkan, serta pemilihan

format (meliputi merancang isi, pemilihan strategi pembelajaran, dan sumber belajar).

Pada tahap ini dihasilkan rancangan awal perangkat pembelajaran.

c. Tahap Pengembangan (Develop)

Tujuan tahap pengembangan adalah untuk menghasilkan perangkat

pembelajaran yang telah direvisi.

d. Tahap Penyebaran (Dessiminate)

Pada tahap pendesiminasian ini dilakukan ujicoba berulang dilanjutkan

dengan revisi (penambahan atau penyesuaian) yang diperlukan guna penyempurnaan

hasil perangkat pembelajaran yang dikembangkan.


65

Front-end Learner Specification


analysis analysis objectives
Criterion-test
construction
Learner
analysis
Media
selection

Task Concept
analysis analysis
Format
selection

Specification
objectives Initial
design
Stage I: Define
Stage II: Design

Criterion- test Initial Developmental


construction design testing

Validation testing
Expert
appraisal

Packaging

Developmental
testing Diffusion and
adoption

Stage III: Develop Stage IV: Dessiminate

Diagram 2.4 Pengembangan Model 4 – D (Four D Model)


(Sumber: Thiagarajan, Semmel dan Semmel, 1974: 5-9)

Gambar 2.6 Pengembangan Model 4 – D (Four D Model)


(Sumber: Thiagarajan, Semmel dan Semmel, 1974: 5-9)
66

Pengembangan perangkat pembelajaran berdasarkan model pengembangan

Thiagarajan, Semmel & Semmel tersebut dapat dilihat pada Diagram 2.4.

Dari beberapa model pengembangan yang telah diuraikan di atas peneliti

memilih menggunakan model pengembangan Thigarajan, Semmel & Semmel

berdasarkan pertimbangan bahwa model pengembangan ini merupakan

pengembangan perangkat pembelajaran sedangkan model pengembangan yang lain di

atas lebih mengacu kepada pengembangan sistem pembelajaran. Walaupun di dalam

pengembangan sistem pembelajaran terdapat pengembangan perangkat dan dalam

penelitian ini hanya mengembangkan perangkat pembelajaran maka dipilih model

pengembangan oleh thiagarajan, Semmel & Semmel. Sehingga memudahkan untuk

melakukan proses pengembangan perangkat pembelajaran karena sistematiknya tahap

demi tahap tentang apa yang harus dilakukan cukup spesifik pada pengembangan

perangkat.

Dalam penelitian ini tahap keempat dari model pengembangan tersebut (tahap

disseminate) tidak dilakukan karena waktu yang terbatas dalam kepentingan

penelitian ini. Sehingga pengembangan perangkat pembelajaran dalam penelitian ini

hanya sampai pada tahap pengembangan (develop). Selain itu pada bagian-bagian

tertentu, dalam penelitian ini, dilakukan sedikit modifikasi diagram asal model

pengembangan Thiagarajan, Semmel & Semmel. Modifikasi dimaksudkan untuk

penyederhanaan dan pemudahan dalam menganalisis atau runtutan pelaksanaannya.

Modifikasi tersebut meliputi:


67

a. Analisis konsep diganti dengan analisis materi. Hal ini dilakukan karena hasil

analisis materi lebih detail dan lengkap dibanding hasil analisis konsep. Dalam

analisis materi selain memperoleh konsep-konsep yang akan diajarkan juga objek

matematika lainnya seperti prinsip atau aturan.

b. Analisis materi dilakukan terlebih dahulu sebelum analisis tugas. Hal ini

dilakukan terkait dengan karakteristik matematika sekolah yang dapat disusun

dalam pola hirarkis dari materi yang sederhana ke materi yang kompleks. Hal ini

berpengaruh terhadap tugas-tugas yang akan disusun. Sehingga tugas-tugas

tersebut disusun sedemikian hingga dari yang sederhana ke tugas yang kompleks

berdasarkan analisis materi tersebut.

c. Pada tahap pengembangan (develop) ditambahkan kegiatan simulasi, hal ini

dimaksudkan untuk mengevaluasi hasil rancangan yang ada (setelah direvisi)

dalam pelaksanaannya (tetapi hanya terbatas perangkat untuk satu pertemuan

saja). Pada kegiatan penilaian ahli, simulasi, ujicoba, dan analisis hasil ujicoba

jika dimungkinkan dilakukan bersiklus. Setiap setelah kegiatan tersebut

dilaksanakan hasilnya dianalisis. Hasil analisis ini digunakan sebagai acuan untuk

merevisi perangkat.

d. Pada tahap pengembangan (develop) dimasukkan ujian komprehensif sebagai

salah satu bagiannya (makalah komprehensif berisi tentang sebagian perangkat

yang dikembangkan), mengingat pelaksanaan ujian komprehensif dilaksanakan

setelah langkah ujicoba perangkat. Sehingga hasil ujian komprehensif berupa


68

saran dan kritik (tentang perangkat) menjadi bahan acuan untuk merevisi

perangkat yang dikembangkan.

Gambaran dari setiap langkah pengembangan perangkat dengan menggunakan

model pengembangan Thuagarajan, Semmel & Semmel dapat dilihat pada Diagram

3.1 yang diuraikan pada bab III.

Anda mungkin juga menyukai