Hastuti & Hernawati
Hastuti & Hernawati
net/publication/341252645
CITATIONS READS
0 542
1 author:
Nurlaela Rizkianti
Universitas Pembangunan Jaya
4 PUBLICATIONS 0 CITATIONS
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Nurlaela Rizkianti on 08 May 2020.
Disusun Oleh :
Nurlaela Rizkianti
2017031024
Mata Kuliah:
Konstruksi Alat Ukur Psikologi
TANGERANG SELATAN
2020
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Pelecehan seksual (Sexual harassment) masih sering terjadi pada kaum perempuan di
Indonesia, hal ini tentu membuat ketakutan dan ketidak nyamanan bagi kaum perempuan untuk
bisa beraktivitas dengan bebas. Walaupun tidak semua kasus pelecehan seksual korbannya
adalah kaum perempuan dan pelaku pelecehan seksual adalah laki-laki. Tetapi pada
kenyataannya saat ini kaum perempuanlah yang lebih rentan terkena pelecehan seksual, kaum
perempuan yang mengalami/ atau menjadi korban dari perilaku pelecehan seksual terkadang
sulit untuk mengungkapkan isi hatinya/ atau ketidak sukaan atas sikap yang diterimanya dari
lawan jenis. Menurut Hastuti dan Hernawati dalam (Iskandar, 2010) mendefinisikan
pelecehan seksual terhadap perempuan sebagai perilaku seksual yang dilakukan oleh laki-laki
terhadap perempuan karena laki-laki menganggap perempuan sebagai objek hasrat seksualnya.
Perilaku seksual tersebut tidak diharapkan perempuan dan menyinggung perasaan perempuan.
Gelfand, Fitzgerald, & Drasgow dalam (Rusyidi et al., 2019) mendefinisikan secara umum
pelecehan seksual merujuk pada perilaku yang ditandai dengan komentar-komentar seksual
yang tidak diinginkan dan tidak pantas atau pendekatan-pendekatan fisik berorientasi seksual
yang dilakukan di tempat/ atau situasi kerja, profesional atau sosial lainnya. Sumarni dan
Setyowati dalam (Hidayatulloh, 2019) juga mendefinisikan pelecehan seksual sebagai sikap
dan perilaku yang mengarah pada perilaku seksual yang tidak disenangi oleh sasarannya.
Menurut Meyer dalam (Kurnianingsih, 2003) secara umum ada tiga aspek dalam
mendefinisikan pelecehan seksual yaitu aspek perilaku (apakah hal itu merupakan proposisi
seksual), aspek situasional (apakah ada perbedaan di mana atau kapan perilaku tersebut
muncul) dan aspek legalitas (dalam keadaan bagaimana perilaku tersebut dinyatakan ilegal).
Bentuk umum dari pelecehan seksual adalah verbal dan godaan secara fisik, Farley dalam
(Kurnianingsih, 2003) mendefinisikan pelecehan seksual berdasarkan aspek perilaku yaitu
rayuan seksual yang tidak dikehendaki penerimanya, di mana rayuan tersebut muncul dalam
beragam bentuk baik yang halus, kasar, terbuka, fisik maupun verbal dan bersifat searah.
Seperti pendapat diatas (Hidayatulloh, 2019) juga mendefinisikan pelecehan seksual memiliki
aspek yang sangat luas, yakni dimulai dari pandangan, simbol-simbol lewat bibir, gerakan
badan, tangan, siulan nakal, pandangan yang menelanjangi, mencolek-colek, menunjukkan
gambar-gambar porno, mencuri mencium, meraba, meremas bagian tubuh tertentu, bahkan
sampai memperkosa.
Pada penelitian ini peneliti ingin melihat dari sudut pandang laki-laki pada sikap
terhadap perilaku pelecehan seksual. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran
sikap laki-laki terhadap perilaku pelecehan seksual, hal ini diurutkan berdasarkan pada derajat
keintiman pada sikap terhadap perilaku pelecehan seksual. Peneliti menggunakan alat ukur
skala Guttman dengan mengacu pada teori (Hidayatulloh, 2019). Peneliti menyajikan sepuluh
pernyataan yang disertai dengan dua pilihan yaitu “Setuju” dan “Tidak Setuju”.
Metode Penelitian
2.1. Partisipan
Pada partisipan penelitian ini berjumlah seratus (100) orang dengan kriteria partisipan
berjenis laki-laki, dengan rentang usia 20-35 tahun. Partisipan penelitian ini diminta kesediaan
waktunya untuk mengisi skala Guttman tentang sikap terhadap perilaku pelecehan seksual.
Partisipan berasal dari beragam profesi, seperti mahasiswa, karyawan, TNI, PNS, wirausaha.
3.1. Hasil
Dari table 3.1, diketahui ada seratus (100) partisipan berjenis laki-laki dengan rentang
usia 20-35 tahun. Sebesar 87% partisipan yang menyatakan kesetujuaannya bahwa laki-laki
boleh memandang tubuh lawan jenis (kaum perempuan) dari atas hingga bawah tanpa izin,
dapat dikatakan sebagai yang paling tidak intim. Sedangkan 5 partisipian dengan presentase
5% menyetujui bahwa memaksa lawan jenis (kaum perempuan) untuk melakukan hubungan
seksual tanpa izin (memperkosa) dapat dikatakan sebagai yang paling intim.
Tabel 3.1
Frekuensi Partisipan yang Setuju Pada Setiap Item
Laki-laki
(N = 100)
Pernyataan f %
1. Memberikan Flaying Kiss (Kiss 70 70,00
bye) tanpa izin
2. Memandang tubuhnya dari atas 87 87,00
hingga bawah tanpa izin
3. Memberikan tatapan secara sensual 53 53,00
(Nafsu) tanpa izin
4. Bersiul untuk menggoda tanpa izin 66 66,00
5. Menunjukkan gambar porno tanpa 39 39,00
izin
6. Mencolek bagian tubuhnya tanpa 40 40,00
izin
7. Meraba bagian tubuh (dada, 20 20,00
payudara, pinggul, paha) tanpa izin
8. Menciumnya dengan sengaja tanpa 27 27,00
izin
9. Memaksa melakukan hubungan 5 5,00
seksual (Memperkosa) tanpa izin
10. Meremas bagian tubuh (dada, 6 6,00
payudara, pinggul, paha) tanpa izin
Dari total partisipan, diperoleh CR = 0,952 dan CS = 0,7992 (table 3.2) sehingga skala
ini dapat dikatakan memenuhi sebagai skala Guttman. Kesimpulannya, terdapat keakuratan
sebesar 95% untuk memprediksikan urutan item hanya dengan melihat informasi berdasarkan
skor total pada partisipan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sepuluh situasi dari sikap
terhadap perilaku pelecehan seksual dapat diurutkan berdasarkan tingkat keintimannya.
Dengan melihat table 3.1, situasi dapat disusun sebagai berikut (dari yang paling intim) : laki-
laki setuju memaksa lawan jenis (kaum perempuan) untuk melakukan hubungan seksual tanpa
izin/ atau memperkosa (5%), meremas bagian tubuh seperti dada, payudara, pinggul, atau paha
tanpa izin (6%), meraba bagian tubuh seperti dada, payudara, pinggul, atau paha tanpa izin
(20%), menciumnya dengan sengaja tanpa izin (27%), menunjukkan gambar porno tanpa izin
(39%), mencolek bagian tubuhnya tanpa izin (40%), memberikan tatapan secara sensual/ atau
nafsu tanpa izin (53%), bersiul untuk menggoda tanpa izin (66%), memberikan flaying kiss/
atau kiss bye tanpa izin (70%), dan memandang tubuhnya dari atas hingga bawah tanpa izin
(87%).
Tabel 3.2.
Coefficient of Reproducibility (CR) dan Coefficient of Scalability (CS) Skala
Partisipan CR CS
Laki-laki 0,952 0,7992
(N = 100)
Dari nilai CR = 0,952 dan CS = 0,7992 (table 3.2), dengan melihat table 3.2, dapat juga
dikatakan bahwa skor total dapat digunakan untuk memprediksi pola respon seseorang. Dalam
artian, jika sikap seseorang laki-laki setuju bahwa memaksa lawan jenis (kaum perempuan)
untuk melakukan hubungan seksual tanpa izin/ atau memperkosa boleh dilakukan, maka
sikapnya juga akan setuju pada laki-laki boleh meremas bagian tubuh perempuan seperti dada,
payudara, pinggul, atau paha tanpa izin boleh dilakukan dan jugaakan setuju pada situasi
lainnya terhadap perilaku pelecehan seksual yang tidak intim. Sedangkan partisipan yang
setuju pada sikap laki-laki boleh memberikan flying kiss/ atau kiss bye pada perempuan, maka
sikapnya akan setuju terhadap perilaku pelecehan seksual yang paling tidak intim adalah laki-
laki boleh memandang tubuh perempuan dari atas hingga bawah tanpa izin.
Kesimpulan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran urutan dari derajat keintiman sikap
terhadap perilaku pelecehan seksual. Pada penelitian ini peneliti melihat dari sudut pandang
laki-laki pada sikap terhadap perilaku pelecehan seksual. Dari hasil penyusunan skala Guttman
didapatkan nilai tertinggi sebesar 87% dari partisipan yang setuju jika memandang tubuh
perempuan dari atas hingga bawah tanpa izin merupakan yang paling tidak intim. Sedangkan
nilai terendah sebesar 5% dari partisipan yang setuju jika memaksa perempuan untuk
melakukan hubungan seksual tanpa izin/ atau memperkosa merupakan yang paling intim. Dari
hasil penyusunan ini dapat dikatakan sesuai berdasarkan teori urutan keintiman yang peneliti
jadikan salah satu acuan yaitu (Hidayatulloh, 2019) memaparkan tingkatan keintiman sikap
perilaka pelecehan seksual dari yang paling tidak intim hingga paling intim : (1) memandang
tubuhnya dari atas hingga bawah tanpa izin, (2) memberikan flaying kiss/ atau kiss bye tanpa
izin, (3) bersiul untuk menggoda tanpa izin, (4) memberikan tatapan secara sensual/ atau nafsu
tanpa izin, (5) mencolek bagian tubuhnya tanpa izin, (6) menunjukkan gambar porno tanpa
izin, (7) menciumnya dengan sengaja tanpa izin, (8) meraba bagian tubuh seperti dada,
payudara, pinggul, atau paha tanpa izin, (9) meremas bagian tubuh seperti dada, payudara,
pinggul, atau paha tanpa izin, (10) memaksa lawan jenis (kaum perempuan) untuk melakukan
hubungan seksual tanpa izin/ atau memperkosa.
Daftar Pustaka
Iskandar, Z. (2010). Hubungan antara sikap terhadap diskriminasi gender dengan pelecehan
sesksual pada mahasiswa. In Buletin Penelitian Sistem Kesehatan.
Rusyidi, B., Bintari, A., & Wibowo, H. (2019). Pengalaman dan pengetahuan tentang
pelecehan seksual: studi awal di kalangan mahasiswa perguruan tinggi (experience and
knowledge on sexual harassment: a preliminary study among Indonesian University
students). Share : Social Work Journal, 9(1), 1 of 12.
https://doi.org/10.24198/share.v9i1.21685
Yulianto, A. (2019). Penyusunan skala guttman untuk pengukuran psikologi (A. Yulianto (ed.);
Cetakan pe). Universitas Pembangunan Jaya.