Anda di halaman 1dari 25

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil penelitian

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari data

yang telah dikumpulkan pada tanggal 17 Mei sampai dengan 17 Juni 2020 di

Ruang Rawat Bedah Wanita dan Ruang Rawat Bedah Pria di RSUD Meuraxa

Banda Aceh dengan jumlah responden sebanyak 36 orang. Maka hasil dari

pengolahan data dapat dilihat sebagai berikut:

5.1.1. Data Demografi

Gambaran data demografi dapat dilihat pada tabel distribusi

frekuensi di bawah ini:

Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi Data Demografi Responden di ruang
Rawat Bedah wanita dan pria RSUD Meuraxa Banda Aceh Tahun
2021 (n=36)

53
54

Data Demografi Frekuensi Persentase


(f) (%)
Usia Sumber
< 25 Tahun 2 5,6
: 25 – 35 Tahun 3 8,3 Data
36- 60 Tahun 31 86,1
Primer
Jumlah 36 100
Jenis Kelamin
Laki-laki 16 44,4
Perempuan 20 55,6
Jumlah 36 100
Pendidikan
SD 6 16,7
SMP 6 16,7
SMA 20 55,5
Perguruan Tinggi 4 11,1
Jumlah 36 36 100
Pekerjaan
PNS 1 2,8
Wiraswasta 12 33,3
Karyawan 5 13,9
Bertani 6 16,7
IRT 10 27,8
Mahasiswa 2 5,5

Jumlah 36 100
Tipe Pembedahan
Fr. Pelvis 4 11,1
Fr. Femur 6 16,7
Fr. Tibia 10 27,8
Fr. Fibula 10 27,8
Fr. Ankle 3 8,3
Fr. Metatarsal 3 8,3

Jumlah 36 100
(Diolah, 2021)

Berdasarkan tabel 5.1 dapat disimpulkan bahwa responden paling

banyak dalam kategori umur berada pada umur 36 – 60 tahun dengan jumlah

responden sebanyak 31 responden atau (86,1 %), berdasarkan jenis kelamin yang

paling banyak menjadi responden adalah responden perempuan yaitu mencapai 20


55

responden atau (55,6), selanjutnya berdasarkan tingkat pendidikan yang

paling banyak menjadi responden adalah responden dengan tingkat

pendidikan tamat SMA yaitu mencapai 20 responden atau (55,6%),

selanjutnya berdasarkan pekerjaan yang paling banyak menjadi responden

adalah responden dengan jenis pekerjaan wiraswata yaitu sebanyak 12 atau

(33,3%), Selanjutnya berdasarkan tipe pembedahan yang paling banyak

menjadi responden adalah responden dengan tipe pembedahan fraktur tibia

dan fibula yaitu masing masing sebanyak 10 responden atau (27,8%).

5.1.2 Analisa univariat

Data faktor faktor mobilisasi dini dalam penelitian ini dikategorikan

kedalam 5 kategori yaitu kategori kondisi kesehatan yang meliputi suhu,

tekanan darah, pernafasan, hb, tingkat nyeri. Setelah itu kategori gaya hidup,

dukungan sosial, pengetahuan. Untuk data hasil penelitian responden dapat

dilihat pada tabel 5.2 di bawah ini:

Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Berdasarkan Faktor Kondisi kesehatan
responden diruang Rawat Bedah Wanita dan Pria RSUD Meuraxa
Banda Aceh 2021

Kondisi Kesehatan Frekuensi Persentase


(f) (%)
Suhu
Normal 23 63,9
Abnormal 13 36,1

Tekanan Darah
Normal 19 52,8
Abnormal 17 47,2
56

Kondisi Kesehatan Frekuensi Persentase


(f) (%)
Pernafasan
Normal 28 77,8
Abnormal 8 22,2
Hemoglobin/ Hb
Normal 24 66,7
Abnormal 12 33,3
Tingkat nyeri
Tidak nyeri 0 0
Nyeri ringan 0 0
Nyeri sedang 16 44,4
Nyeri berat 20 55,6
Nyeri sangat berat 0 0

Jumlah 36 100
Sumber: Data Primer,Diolah (2021)

Berdasarkan hasil penelitian tabel 5.2 didapatkan bahwa distribusi

tertinggi kondisi kesehatan diantaranya suhu responden dengan kategori

normal, yaitu sebanyak 23 responden dengan persentase (63,9%), selanjutnya

tekanan darah responden dengan kategori normal, yaitu sebanyak 19

responden dengan persentase (52,8%), selanjutnya pernafasan responden

dengan kategori normal, yaitu sebanyak 28 responden dengan persentase

(77,8%), selanjutnya hemoglobin responden dengan kategori normal, yaitu

sebanyak 24 responden dengan persentase (66,7%), sedangkan tingkat nyeri

distribusi tertinggi dengan kategori nyeri berat, yaitu sebanyak 20 reponden

dengan persentase (55,6%).

Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi Berdasarkan Faktor Gaya Hidup Responden
Diruang Rawat Bedah Wanita dan Pria RSUD Meuraxa Banda Aceh
2021

Faktor Gaya Hidup Frekuensi (f) Persentase (%)


57

Baik 15 41,7
Kurang baik 21 58,3
Jumlah 36 100
Sumber: Data Primer (Diolah, 2021)

Berdasarkan hasil penelitian tabel 5.3 didapatkan bahwa distribusi

tertinggi gaya hidup responden adalah kategori kurang baik yaitu sebanyak

21 responden dengan persentase (58,3%), dan kemudian dilanjutkan dengan

distribusi terendah Kategori normal yaitu sebanyak 15 responden dengan

persentase (41,7%).

Tabel 5.4
Distribusi Frekuensi Berdasarkan Faktor Dukungan Sosial
Responden Diruang Rawat Bedah Wanita dan Pria RSUD Meuraxa
Banda Aceh 2021

Faktor Dukungan Frekuensi(f) Persentase(%)


sosial
Baik 22 61,1
Kurang baik 14 38,9

Jumlah 36 100
Sumber: Data Primer (Diolah, 2021)

Berdasarkan hasil penelitian tabel 5.4 didapatkan bahwa distribusi

tertinggi Faktor Dukungan sosial responden adalah kategori baik, yaitu

sebanyak 22 responden dengan persentase (61,1%), dan kemudian dilanjutkan

dengan distribusi terendah kategori kurang baik yaitu sebanyak 14 responden

dengan persentase (38,9%).


58

Tabel 5.5
Distribusi Frekuensi Berdasarkan Faktor Pengetahuan Responden
Diruang Rawat Bedah Wanita dan Pria RSUD Meuraxa Banda Aceh
2021

Faktor Pengetahuan Frekuensi (f) Persentase(%)


Baik 16 44,4
Kurang Baik 20 55,6
Jumlah 36 100
Sumber: Data Primer (Diolah, 2021)
Berdasarkan hasil penelitian tabel 5.5 didapatkan bahwa distribusi

tertinggi berdasarkan Faktor Pengetahuan responden adalah kategori kurang

baik, yaitu sebanyak 20 responden dengan persentase (55,6), dan kemudian

dilanjutkan dengan distribusi terendah kategori baik yaitu sebanyak 16

responden (44,4%).

Tabel 5.6
Distribusi Frekuensi Berdasarkan Tingkat Mobilisasi Dini Responden
Diruang Rawat Bedah Wanita dan Pria RSUD Meuraxa Banda Aceh
Tahun 2021

Tingkat Mobilisasi dini Frekuensi Persentase (%)


(f)
Mandiri 0 0
Diawasi 0 0
Dibantu minimal 0 0
Sedang 0 0
Maksimal 19 52,8
Gagal 17 47,2
Tidak Diuji 0 0
Jumla 36 100
h
Sumber : Data primer (Diolah, 2021)
Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa sebagian besar

responden setelah menjalani operasi Fraktur di RSUD Meuraxa mengalami


59

hambatan dalam melakukan mobilisasi dini dengan tingkat mobilisasi dini

yaitu maksimal sebanyak 19 responden dengan persentase (52,8%). Dan

yang mengalami tingkat mobilisasi dini dengan gagal sebanyak 17 responden

dengan persentase (47,2%).

5.1.3 Analisa bivariat

Analisa bivariat yaitu analisis yang digunakan untuk menerangkan

keeratan hubungan antara dua variabel. Adapun analisis yang digunakan yaitu

uji Chi square. Dikatakan signifikan apabila ada pengaruh yang bermakna,

jika p-value ≤ 0,05), maka Ha diterima dan jika p-value > 0,05 maka Ha

ditolak.

Tabel 5.7
Hubungan Faktor Kondisi Kesehatan meliputi Mobilisasi dini
Responden Diruang Rawat Bedah Pria dan wanita
RSUD Meuraxa Banda Aceh 2021

Mobilisasi dini
Kondisi Maksimal Gagal α p
kesehatan n % n %
Suhu
Normal 11 47,8% 12 52,2% 0,05 0,657
Abnormal 8 61,5% 5 38,5%
Tekanan
Darah
Normal 9 47,4% 10 52,6% 0,05 0,724
Abnormal 10 58,8% 7 41,2%
Pernafasan
Normal 14 50,0% 14 50,0% 0,05 0,823
Abnormal 5 62,5% 3 37,5%
Hemoglobin
/ Hb
60

Normal 16 66,7% 8 33,3% 0,05 0,045


Abnormal 3 25,0% 9 75,0%
Tingkat
Nyeri
Normal 13 81,3% 3 18,8% 0,05 0,006
Abnormal 6 30,0% 14 70,0%
Sumber : Data primer Diolah, (2021)

Berdasarkan analisa data pada tabel diatas diketahui dari 36

responden pada faktor kondisi kesehatan yaitu suhu, nilai tertinggi tingkat

mobilisasi dini pada suhu adalah normal dengan kategori gagal yaitu 12

(52,2%), pada suhu abnormal berkategori maksimal 8 (61,8%).

Berdasarkan hasil pengujian diatas menunjukkan bahwa tingkat

signifikansi hasil pengujian sebesar p-value = 0,657 atau lebih besar dari

tingkat signifikannya yang telah ditetapkan yaitu α = 0,05. Dengan demikian

dapat disimpulkan bahwa Ha ditolak, berarti tidak ada hubungan bermakna

antar faktor kondisi kesehatan yaitu suhu terhadap mobilisasi dini pada

pasien post operasi fraktur ekstremitas bawah di ruang rawat bedah wanita

dan pria di RSUD Meuraxa Kota Banda Aceh.

Berdasarkan analisa data pada tabel diatas diketahui dari 36

responden pada faktor kondisi kesehatan yaitu tekanan darah, nilai tertinggi

tingkat mobilisasi dini pada tekanan darah adalah normal dengan kategori

yaitu 10 (52,6%), pada tekanan darah yaitu abnormal berkategori maksimal

10 (58,8%).

Berdasarkan hasil pengujian diatas menunjukkan bahwa tingkat

signifikansi hasil pengujian sebesar p-value = 0,724 atau lebih besar dari

tingkat signifikannya yang telah ditetapkan yaitu α = 0,05. Dengan demikian


61

dapat disimpulkan bahwa Ha ditolak, berarti tidak ada hubungan bermakna

antar faktor kondisi kesehatan yaitu tekanan darah terhadap mobilisasi dini

pada pasien post operasi fraktur ekstremitas bawah di ruang rawat bedah

wanita dan pria di RSUD Meuraxa Kota Banda Aceh.

Berdasarkan analisa data pada tabel diatas diketahui dari 36

responden pada faktor kondisi kesehatan yaitu pernafasan, nilai tertinggi

tingkat mobilisasi dini pada pernafasan adalah normal dengan kategori

maksimal dan gagal yaitu 14 (50,0%), pada pernafasan abnormal dengan

kategori maksimal 5 (62,5%).

Berdasarkan hasil pengujian diatas menunjukkan bahwa tingkat

signifikansi hasil pengujian sebesar p-value = 0,823 atau lebih besar dari

tingkat signifikannya yang telah ditetapkan yaitu α = 0,05. Dengan demikian

dapat disimpulkan bahwa Ha ditolak, berarti tidak ada hubungan bermakna

antar faktor kondisi kesehatan yaitu pernafasan terhadap mobilisasi dini

pada pasien post operasi fraktur ekstremitas bawah di ruang rawat bedah

wanita dan pria di RSUD Meuraxa Kota Banda Aceh.

Berdasarkan analisa data pada tabel diatas diketahui dari 36

responden pada faktor kondisi kesehatan yaitu hemoglobin, nilai tertinggi

tingkat mobilisasi dini pada hemoglobin adalah normal dengan kategori

maksimal yaitu 16 (66,7%), pada hemoglobin abnormal dengan kategori

gagal 9 (75,0%).

Berdasarkan hasil pengujian diatas menunjukkan bahwa tingkat

signifikansi hasil pengujian sebesar p-value = 0,045 atau lebih kecil dari
62

tingkat signifikannya yang telah ditetapkan yaitu α = 0,05. Dengan demikian

dapat disimpulkan bahwa Ha diterima, berarti ada hubungan bermakna antar

faktor kondisi kesehatan yaitu hemoglobin terhadap mobilisasi dini pada

pasien post operasi fraktur ekstremitas bawah di ruang rawat bedah wanita

dan pria di RSUD Meuraxa Kota Banda Aceh.

Berdasarkan analisa data pada tabel diatas diketahui dari 36

responden pada faktor kondisi kesehatan yaitu tingkat nyeri, nilai tertinggi

tingkat mobilisasi dini pada tingkat nyeri adalah tingkat nyeri sedang

dengan kategori maksimal yaitu 13 (81,3%), dan berat dengan kategori

gagal 14 (70,0%).

Berdasarkan hasil pengujian diatas menunjukkan bahwa tingkat

signifikansi hasil pengujian sebesar p-value = 0,006 atau lebih kecil dari

tingkat signifikannya yang telah ditetapkan yaitu α = 0,05. Dengan demikian

dapat disimpulkan bahwa Ha diterima, berarti ada hubungan bermakna antar

faktor kondisi kesehatan yaitu tingkat nyeri terhadap mobilisasi dini pada

pasien post operasi fraktur ekstremitas bawah di ruang rawat bedah wanita

dan pria di RSUD Meuraxa Kota Banda Aceh.

Tabel 5.8
Hubungan Faktor gaya hidup dengan Mobilisasi dini Responden Diruang
Rawat Bedah Pria dan wanita RSUD Meuraxa Banda Aceh 2021

Mobilisasi dini
Gaya Maksimal Gagal
hidup
n % N % α p
Baik 13 86,7% 2 13,3% 0,05 0,002
Kurang 6 28,6% 15 71,4%
Total 19 52,8% 17 47,2%
63

Sumber : Data primer Diolah, (2021)


Berdasarkan analisa data pada tabel diatas diketahui dari 36

responden pada faktor gaya hidup, nilai tertinggi yaitu tingkat mobilisasi

dini pada gaya hidup adalah baik dengan kategori maksimal yaitu 13

(81,3%), dan gaya hidup yang kurang baik dengan kategori gagal yaitu 15

(71,4%).

Berdasarkan hasil pengujian diatas menunjukkan bahwa tingkat

signifikansi hasil pengujian sebesar p-value = 0,002 atau lebih kecil dari

tingkat signifikannya yang telah ditetapkan yaitu α = 0,05. Dengan demikian

dapat disimpulkan bahwa Ha diterima, berarti ada hubungan bermakna antar

faktor gaya hidup terhadap mobilisasi dini pada pasien post operasi fraktur

ekstremitas bawah di ruang rawat bedah wanita dan pria di RSUD Meuraxa

Kota Banda Aceh.

Tabel 5.9
Hubungan Faktor dukungan sosial dengan Mobilisasi dini Responden
Diruang Rawat Bedah Pria dan wanita RSUD Meuraxa Banda Aceh 2021

Mobilisasi dini
Dukungan Maksimal Gagal
sosial
n % n % α p
Baik 12 54,5% 10 45,5% 0,05 1.000
kurang 7 50,0% 7 50,0%
Total 19 52,8% 17 47,2%
Sumber : Data primer Diolah, (2021)
Berdasarkan analisa data pada tabel diatas diketahui dari 36

responden pada faktor dukungan sosial, nilai tertinggi yaitu tingkat

mobilisasi dini pada dukungan sosial adalah baik dengan kategori maksimal
64

yaitu 12 (54,5%), pada dukungan sosial yang kurang baik dengan kategori

maksimal dan gagal 7 (50,0%).

Berdasarkan hasil pengujian diatas menunjukkan bahwa tingkat

signifikansi hasil pengujian sebesar p-value = 1,000 atau lebih besar dari

tingkat signifikannya yang telah ditetapkan yaitu α = 0,05. Dengan demikian

dapat disimpulkan bahwa Ha ditolak, berarti tidak ada hubungan bermakna

antar faktor dukungan sosial terhadap mobilisasi dini pada pasien post

operasi fraktur ekstremitas bawah di ruang rawat bedah wanita dan pria di

RSUD Meuraxa Kota Banda Aceh.

Tabel 5.10
Hubungan Faktor Pengetahuan dengan Mobilisasi dini Responden
Diruang Rawat Bedah Pria dan wanita RSUD Meuraxa Banda Aceh 2021

Mobilisasi dini
Pengetahuan Maksimal Gagal
α p
n % n %
Baik 14 87,5% 2 12,5% 0,05 0,001
Kurang 5 25,0% 15 75,0%
Total 19 52,8% 17 47,2%
Sumber : Data primer Diolah, (2021)
Berdasarkan analisa data pada tabel diatas diketahui dari 36

responden pada faktor pengetahuan, nilai tertinggi yaitu tingkat mobilisasi

dini pada pengetahuan adalah baik dengan kategori maksimal yaitu 14

(87,5%), dan kurang dengan kategori gagal 15 (75,0%).

Berdasarkan hasil pengujian diatas menunjukkan bahwa tingkat

signifikansi hasil pengujian sebesar p-value = 0,001 atau lebih kecil dari

tingkat signifikannya yang telah ditetapkan yaitu α = 0,05. Dengan demikian

dapat disimpulkan bahwa Ha diterima, berarti ada hubungan bermakna antar


65

faktor pengetahuan terhadap mobilisasi dini pada pasien post operasi fraktur

ekstremitas bawah di ruang rawat bedah wanita dan pria di RSUD Meuraxa

Kota Banda Aceh.


66

5.2 Pembahasan

1. Hubungan Kondisi kesehatan dengan Mobilisasi dini Pada Pasien post

operasi Fraktur Ekstremitas Bawah

Berdasarkan hasi bivariat tabel 5.7 pada variabel faktor suhu dapat

dilihat bahwa dari 36 Responden di ruang rawat inap bedah pria dan

wanita, responden dengan kategori faktor kondisi kesehatan yaitu suhu, nilai

tertinggi tingkat mobilisasi dini pada suhu adalah normal dengan kategori

gagal yaitu 12 (52,2%), pada suhu abnormal berkategori maksimal 8

(61,8%). Dari hasil angka diatas dapat disimpulkan bahwa suhu yang

normal mengalami tingkat mobilisasi dini yang gagal.

Hasil uji chi square didapatkan nilai p = 0,429 (p <0,05) yang artinya

tidak ada hubungan yang signifikan antara faktor suhu dengan mobilisasi

dini pada pasien post fraktur ekstremitas bawah di ruang rawat inap bedah

wanita dan pria RSUD Meuraxa Banda Aceh.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Hernawily (2012) tentang

faktor yang berkontribusi pada pelaksanaan ambulasi dini pasien fraktur

ekstremitas bawah dengan hasil tidak terdapat hubungan antara suhu dengan

ambulasi dini post operasi dengan p-value = 0,341. Penelitian ini juga

sejalan dengan penelitian yang dilakukan Yanti (2009) bahwa tidak terdapat

pengaruh antara suhu dengan pelaksanaan ambulasi dini pasien paska

operasi fraktur ekstremitas bawah.

Hal ini diperkuat oleh teori yang dikemukakan oleh Hoeman (2001)

bahwa pasien yang lemah tidak akan mampu untuk melakukan latihan
67

ambulasi, karena ambulasi yang aman memerlukan keseimbangan dan

kekuatan yang cukup untuk menopang berat badan dan menjaga postur

tubuh.

Berdasarkan hasi bivariat tabel 5.8 pada variabel faktor kondisi

kesehatan yaitu tekanan darah, nilai tertinggi tingkat mobilisasi dini pada

tekanan darah adalah normal dengan kategori gagal yaitu 10 (52,6%), pada

tekanan darah yaitu abnormal berkategori maksimal 10 (58,8%).

Hasil uji chi square didapatkan nilai p = 0,492 (p <0,05) yang

artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara faktor tekanan darah

dengan mobilisasi dini pada pasien post fraktur ekstremitas bawah di

ruang rawat inap bedah wanita dan pria RSUD Meuraxa Banda Aceh.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Giat Wantoro, dkk (2020),

tentang analisis faktor-faktor yang mempengaruhi ambulasi dini post

ORIF pada pasien Fraktur Femur dengan hasil tidak ada hubungan yang

bermakna antara tekanan darah dengan terlaksananya ambulasi dini

dinyatakan dengan hasil statistik yaitu p-value = 0,301.

Tidak semua pasien setelah pembedahan dapat segera melakukan

mobilisasi dini, umumnya pasien melakukan mobilisasi dini, umumnya

pasien post operasi setelah 24 jam lebih memiliki untuk diam ditempat

tidur (bedrest). Hipotensi ortostatik sering menyebabkan pasien kurang

melakukan aktivitas seperti ambulasi dini. Pada penelitian ini sebagian

besar responden memiliki tekanan darah normal tetapi masih banyak yang

tidak mau melakukan mobilisasi dini.


68

Berdasarkan hasi bivariat tabel 5.9 pada variabel faktor kondisi

kesehatan yaitu pernafasan, mobilisasi dini pada pernafasan adalah normal

dengan kategori maksimal dan gagal yaitu 14 (50,0%), pada pernafasan

abnormal dengan kategori maksimal 5 (62,5%).

Hasil uji chi square didapatkan nilai p = 0,532 (p <0,05) yang

artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara faktor pernafasan

dengan mobilisasi dini pada pasien post fraktur ekstremitas bawah di

ruang rawat inap bedah wanita dan pria RSUD Meuraxa Banda Aceh.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Hernawily (2012) tentang

faktor yang berkontribusi pada pelaksanaan ambulasi dini pasien fraktur

ekstremitas bawah dengan hasil tidak terdapat hubungan antara pernafasan

dengan ambulasi dini post operasi dengan p-value = 0,342.

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan teori Kozier & Erb (1987)

menyatakan bahwa perubahan status kesehatan: penyakit dapat

mempengaruhi system musculoskletal dan system saraf berupa penurunan

koordinasi, perubahan tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya

kemampuan seseorang untuk melakukan aktivitas dan latihan.

Penelitian ini tidak sejalan dengan teori Sjamsuhidajat & Jong

(2005) menyatakan bahwa pasien menjadi ragu ragu untuk melakukan

batuk, nafas dalam, mengganti posisi, ambulasi untuk melakukan latihan

yang diperlukan.
69

Pada penelitian ini mayoritasnya responden memliki pernafasan

yang normal yang seharusnya memungkinkan untuk melakukan ambulasi

dini. Tidak dilakukan mobilisasi dini pada pasien, dimungkinkan karena

pasien masih dalam masa hospitalisasi, sehingga pasien cenderung sering

memilih untuk tetap di tempat tidur sepanjang hari, meskipun kondisi

mereka mungin membolehkan untuk melakukan mobilisasi dini.

Berdasarkan hasi bivariat tabel 5.10 pada variabel faktor hemoglobin

dapat dilihat bahwa dari 36 Responden di ruang rawat inap bedah pria dan

wanita, responden dengan kategori faktor kondisi kesehatan yaitu

hemoglobin, tingkat mobilisasi dini pada hemoglobin adalah normal dengan

kategori maksimal yaitu 16 (66,7%), pada hemoglobin abnormal dengan

kategori gagal 9 (75,0%).

Hasil uji chi square didapatkan nilai p = 0,018 (p <0,05) yang

artinya ada hubungan yang signifikan antara faktor hemoglobin dengan

mobilisasi dini pada pasien post fraktur ekstremitas bawah di ruang rawat

inap bedah wanita dan pria RSUD Meuraxa Banda Aceh.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yanti (2009) tentang

faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan ambulasi dini pasien paska

operasi fraktur ekstremitas bawah, dimana hasil penelitian menunjukan

ada pengaruh Hb dengan pelaksanaan ambulasi dini dengan p-value =

0,026.

Hal ini diperkuat oleh teori yang dikemukankan oleh Kozier (2010),

seseorang dengan nutrisi kurang, akan menyebabkan kelemahan dan


70

kelelahan otot yang berdampak pada penurunan aktivitas dan pergerakan.

Setiap orang dalam melakukan mobilisasi jelas memerlukan tenaga dan

energi, orang yang sedang sakit akan berbeda mobilitasnya dibandingkan

orang yang sehat. Pasien dengan anemia menunjukan adanya defisit atau

tidak adekuatnya nutrisi, sehingga sering mengalami atropi otot,

penurunan jaringan subkutan yang serius, dan gangguan keseimbangan

cairan dan elektrolit. Pasien juga akan mengalami defisiensi protein,

keseimbangan nitrogen dan tidak adekuatnya vitamin C sehingga

mempengaruhi kemampuan mobilisasi atau aktifitas.

Hal ini diperkuat oleh teori yang dikemukankan oleh Nagra, ett,all

(2016), trauma ataupun metode operasi pada fraktur yang menimbulkan

perdarahan akut dalam jumlah besar, bisa menimbulkan penurunan kadar

hemoglobin akibat ketidakmampuan tubuh memproduksi sel darah merah

yang cukup. Jadi pasien yang mengalami anemia penurunan Hb tidak akan

tahan melakukan ambulasi karena cepat lelah dan pusing. Ini juga sejalan

dengan pendapat Potter & Perry yang menyatakan bahwa seseorang yang

mengalami sakit kepala ringan, pusing, kelemahan, kelelahan, kehilangan

energi, dispnue dan hampir pingsan kurang mampu untuk melakukan

aktivitas seperti ambulasi Kozier (2010). kelelahan yang berlebihan bisa

menyebabkan pasien jatuh atau mengalami ketidak seimbangan pada saat

latihan.

Berdasarkan hasi bivariat tabel 5.11 pada variabel faktor tingkat

nyeri dapat dilihat bahwa dari 36 Responden di ruang rawat inap bedah
71

pria dan wanita, responden dengan kategori faktor kondisi kesehatan yaitu

tingkat nyeri , tingkat mobilisasi dini pada tingkat nyeri adalah tingkat

nyeri sedang dengan kategori maksimal yaitu 13 (81,3%), dan berat

dengan kategori gagal 14 (70,0%).

Hasil uji chi square didapatkan nilai p = 0,002 (p <0,05) yang

artinya ada hubungan yang signifikan antara faktor tingkat nyeri dengan

mobilisasi dini pada pasien post fraktur ekstremitas bawah di ruang rawat

inap bedah wanita dan pria RSUD Meuraxa Banda Aceh.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Giat Wantoro, dkk

(2020), tentang analisis faktor-faktor yang mempengaruhi ambulasi dini

post ORIF pada pasien Fraktur Femur dengan hasil ada hubungan yang

bermakna antara nyeri dengan terlaksananya ambulasi dini dinyatakan

dengan hasil statistik yaitu p-value = 0,001. Penelitian ini juga selaras

dengan hasil penelitian Yunilda (2017) ada hubungan antara nyeri dengan

pelaksanaan ambulasi dini p-value = 0,00.

Hal ini diperkuat oleh teori yang dikemukankan oleh Kozier, dkk

(2010) Masalah sering terjadi post operasi adalah ketika pasien merasa

terlalu sakit atau nyeri dan faktor lain yang menyebabkan mereka tidak

mau melakukan ambulasi dini dan memilih untuk istirahat di tempat tidur.

Beberapa pasien menyatakan bahwa nyerinya lebih ringan dibanding

sebelum pembedahan dan hanya memerlukan jumlah analgetik yang

sedikit saja, harus diupayakan segala usaha untuk mengurangi nyeri dan

ketidaknyamanan. Obat harus diberikan segera dalam interval yang


72

ditentukan bila awitan nyeri dapat diramalkan misalnya ½ jam sebelum

aktivitas terencana seperti pemindahan dan latihan ambulasi menurut

Brunner & Suddarth (2010).

Kebanyakan pasien merasa takut untuk bergerak setelah paska

operasi fraktur karena merasa nyeri pada luka bekas operasi dan luka

bekas trauma. Selanjutnya pasien yang mengalami nyeri post operasi

menjadi ragu untuk melakukan batuk, nafas dalam, mengganti posisi,

ambulasi atau melakukan latihan yang diperlukan Smeltzer& Bare (2013).

2. Hubungan Gaya Hidup dengan Mobilisasi dini Pada Pasien post operasi

Fraktur Ekstremitas Bawah

Berdasarkan hasil bivariat tabel 5.12 dapat dilihat dari 36 responden,

tingkat mobilisasi dini pada gaya hidup yang baik dengan kategori

maksimal yaitu 13 (86,7%), dan kurang baik dengan kategori gagal 15

(71,4%). Dari angka tersebut dapat disimpulkan bahwa responden yang

mengalami gaya hidup yang kurang baik pada saat sebelum sakit maupun

sesudah sakit sangat mempengaruhi dalam pelaksanaan mobilisasi dini.

Hasil uji chi square didapatkan nilai p = 0,001 (p <0,05) yang artinya

ada hubungan yang signifikan antara faktor gaya hidup dengan mobilisasi

dini pada pasien post operasi fraktur ekstremitas bawah di ruang rawat inap

RSUD Meuraxa Banda Aceh.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Hernawily (2012) tentang

faktor yang berkontribusi pada pelaksanaan ambulasi dini pasien fraktur


73

ekstremitas bawah dengan hasil terdapat hubungan antara gaya hidup

dengan pelaksanaan ambulasi dini post operasi dengan p-value = 0,038.

Hal ini diperkuat oleh teori yang dikemukakan oleh Pender (1990)

dalam Berger & William (1992) bahwa status kesehantan, nilai,

kepercayaan, motivasi dan faktor lainnya mempengaruhi gaya hidup. Gaya

hidup mempengaruhi mobilitas. Tingkat kesehatan seseorang dapat dilihat

dari gaya hidupnya dalam melakukan aktivitas dan mendefiniskan aktivitas

sebagai suatu yang mencakup kerja, permainan yang berarti, pola hidup

yang positif seperti makan teratur, latihan teratur, istirahat cukup dan

penanganan stress. Menurut Oldmeadew et al (2006) tahapan pergerakan

dan aktivitas pasien sebelum operasi di masyarakat atau dirumah dapat

mempengaruhi pelaksanaan ambulasi.

3. Hubungan Dukungan sosial dengan Mobilisasi dini Pada Pasien post

operasi Fraktur Ekstremitas Bawah

Berdasarkan hasil bivariat tabel 5.13. dapat dilihat dari 36

responden, tingkat mobilisasi dini pada dukungan sosial yang baik

dengan kategori maksimal yaitu 12 (54,5%), pada kurang dengan

kategori maksimal dan gagal 7 (50,0%). Dari angka tersebut dapat

disimpulkan bahwa responden yang mengalami dukungan sosial yang

baik tidak dapat mempengaruhi tingkat mobilisasi dini.

Hasil uji chi square didapatkan nilai p = 0,790 (p <0,05) yang artinya

tidak ada hubungan yang signifikan antara faktor dukungan sosial dengan
74

mobilisasi dini pada pasien post operasi fraktur ekstremitas bawah di ruang

rawat inap RSUD Meuraxa Banda Aceh.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Hernawily (2012) tentang

faktor yang berkontribusi pada pelaksanaan ambulasi dini pasien fraktur

ekstremitas bawah dengan hasil tidak terdapat hubungan antara Dukungan

Sosial dengan pelaksanaan ambulasi dini post operasi dengan p-value =

0,697.

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan teori Sjamsuhidajat & Jong

(2005) bahwa keterlibatan anggota keluarga dalam rencana asuhan

keperawatan pasien dapat memfasilitasi proses pemulihan, membantu

pasien mengganti balutan, membantu pelaksanaan latiham ambulasi atau

pemberian obat-obatan. menurut penelitian yang dilakukan oleh

Oldmeadow et al (2006) dukungan sosial yaitu keluarga, orang terdekat dan

perawat sangat mempengaruhi untuk membantu pasien untuk melaksanakan

latihan ambulasi. Menurut Olson (1996 dalam Hotman 2001) ambulasi

dapat terlaksana tergantung dari kesiapan pasien dan keluarga untuk belajar

dan berpartisipasi dalam latihan)

4. Hubungan Pengetahuan dengan Mobilisasi dini Pada Pasien post

operasi Fraktur Ekstremitas Bawah

Berdasarkan hasil bivariat tabel 5.14 dapat dilihat dari 36 responden,

responden dengan kategori tingkat mobilisasi dini pada pengetahuan adalah

baik dengan kategori maksimal yaitu 14 (87,5%), dan kurang dengan


75

kategori gagal 15 (75,0%). Dari angka tersebut dapat disimpulkan bahwa

responden yang memiliki pengetahuan yang kurang akan sulit untuk

melakukan mobilisasi dini dan responden yang mempunyai Pengetahuan

tidak baik mempunyai peluang tidak melaksanakan ambulasi dini 10 kali

dibanding responden yang mempunyai pengetahuan baik.

Hasil uji chi square didapatkan nilai p = 0,001 (p <0,05) yang

artinya ada hubungan yang signifikan antara faktor pengetahuan dengan

mobilisasi dini pada pasien post operasi fraktur ekstremitas bawah di ruang

rawat inap RSUD Meuraxa Banda Aceh.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Hernawily (2012) tentang

faktor yang berkontribusi pada pelaksanaan ambulasi dini pasien fraktur

ekstremitas bawah dengan hasil terdapat hubungan yang bermakna antara

pengetahuan dengan ambulasi dini post operasi dengan p-value = 0,038.

Hal ini diperkuat oleh teori yang dikemukakan oleh Smeltzer & Bare

(2002), Pasien yang sudah diajarkan mengenai gangguan muskuloskeletal

akan mengalami peningkatan kooperatif dalam program pemulihan.

Informasi apa yang diharapkan termasuk sensasi selama dan sesudah operasi

akan meningkatkan keberanian pasien untuk berpartisipasi secara aktif

dalam pengembangan dan penerapan program pemulihan. Informasi khusus

mengenai antisipasi peralatan misalnya pemasangan alat fiksasi eksternal,

alat bantu ambulasi (trapeze, tongkat, Walker). Latihan dan medikasi harus

didiskusikan dengan pasien untuk mengurangi ketakutan pasien. Informasi


76

yang diberikan pada pasien tentang prosedur keperawatan dapat mengurangi

ketakutan.

5.3 Keterbatasan Penelitian

Dalam melakukan penelitian, penulis memiliki keterbatasan-

keterbatasan sehingga penulis mengalami sedikit kesulitan dan

keterlambatan dalam penulisan skripsi ini, berikut merupakan keterbatasan

yang dihadapi oleh penulis:

1. Pada penelitian ini peneliti mengalami kendala pada saat pengumpulan

data. Untuk mencapai 36 sampel, peneliti melakukan penelitian dalam

waktu kurang dari 1 bulan dan juga sedang dalam keadaan covid.

2. Keterbatasan waktu yang dimiliki peneliti dan juga banyak pasien yang

tidak bisa diajak berkomunikasi dikarenakan pasien post operasi Fraktur

Ekstremitas.

3. Pada penelitian ini juga beberapa responden yang menjawab pertanyaan

dibantu dengan keluarga sehingga jawaban yang diberikan terkadang

dipengaruhi oleh keluarga responden.

4. Selain itu, dikarenakan jumlah pertanyaan yang banyak di kousioner

terkadang ada beberapa responden yang sudah agak bosen menjawab

pertanyaan pada pertengahan pengisian kousioner dan juga dalam

pengisian kousioner waktu yang digunakan termasuk singkat untuk

bertanya lebih mendalam.


77

Anda mungkin juga menyukai