Anda di halaman 1dari 125

TA/TL-USU/2021/217

PERENCANAAN INSTALASI PENGOLAHAN LUMPUR TINJA


(IPLT) DI PERUMAHAN CITRA WISATA DENGAN
MENGGUNAKAN ANAEROBIC DIGESTION

TUGAS AKHIR

ANANDA AMELIA SHAHAB


160407046

Pembimbing Pertama Pembimbing Kedua

Dr. Amir Husin, ST, MT. Muhammad Faisal, ST, MT.

PROGRAM STUDI TEKNIK


LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA
PERENCANAAN INSTALASI PENGOLAHAN LUMPUR TINJA
(IPLT) DI PERUMAHAN CITRA WISATA DENGAN
MENGGUNAKAN ANAEROBIC DIGESTION

TUGAS AKHIR

ANANDA AMELIA SHAHAB


160407046

Pembimbing Pertama Pembimbing Kedua

Dr. Amir Husin, ST, MT. Muhammad Faisal, ST, MT.

PROGRAM STUDI TEKNIK


LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA
ABSTRAK

Akses terhadap sanitasi merupakan salah satu kebutuhan dasar untuk mendukung
kesehatan masyarakat, lingkungan dan kesejahteraan ekonomi secara berkelanjutan.
Namun sebagian besar fasilitas pengolahan belum memperhatikan pengelolaan lumpur
tinja. Lumpur tinja mengandung organisme infeksius yang masih bisa bertahan hidup
walaupun tinja sudah mengalami pengolahan di unit pengolahan setempat. Perancangan
ini bertujuan untuk merencanakan Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) di
Perumahan Citra Wisata. Adapun sistem pengolahan yang terpilih adalah alternatif dua
yaitu dimulai dari bar screen, bak ekualisasi, anaerobic digester, kolam fakultatif, sludge
drying bed dan penampung padatan kering.IPLT yang direncanakan mampu mereduksi
konsentrasi BOD sebesar 98%, COD 97%, TSS 92% dan total koliform 99% dengan
waktu tinggal total yaitu
67,6 hari. Volume gas metan yang dihasilkan dari unit pengolahan anaerobic digester
adalah sebesar 0,46 m3/hari. Adapun lumpur kering yang dihasilkan dari unit sludge
drying bed adalah sebesar 2,68 Kg/hari dimana lumpur kering tersebut dapat
dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman.

Kata kunci: IPLT, anaerobic digestion, lumpur tinja, Perumahan Citra Wisata

i
ABSTRACT

Access to sanitation is one of the basic needs to support public health, environment and
economic well-being in a sustainable manner. But mostly treatment plant facilities have
not paid attention to the treatment of fecal sludge. Fecal sludge contains infectious
organism that can survives even after being processed at the on-site waste water treatment
plant. This design aims to plan the Fecal Sludge Treatment Plant (FSTP) in Citra Wisata
Residence and calculate the volume of biogas produced. The processing unit chosen is
alternative two, starting from the bar screen, equalization tank, anaerobic digester,
facultative pond, sludge drying bed and dry solids container. The planned FSTP is able to
reduce the concentration of BOD by 98%, COD 97%, TSS 92% and total coliform 99%
with a total retention times are 67.6 days. The volume of methane gas produced from the
anaerobic digester processing unit is 0.46 m3/day. The amount of dry matter produced
from the sludge drying bed unit is 2.68 Kg/day where the sludge can be used as plant
fertilizer.

Keywords: FSTP, anaerobic digestion, fecal sludge, Citra Wisata Residence

i
DEDIKASI

Segala puji bagi Allah yang atas nikmatnya segala kebaikan menjadi sempurna. Banyak
hal yang telah dilewati dalam proses penulisan tugas akhir ini dan hanya kata syukur yang
bisa saya ucapkan atas terselesaikannya tugas akhir ini. Adapun tugas akhir ini saya
dedikasikan kepada orangtua saya yang telah bersusah payah menyekolahkan saya
sampai titik ini. Terima kasih untuk segala do’a, dukungan, motivasi dan kasih sayang
yang telah tercurah. Semoga memei bisa menjadi anak yang bersusah payah untuk
membahagiakan ayah dan bunda.

Selain itu, secara khusus saya mengucapkan terima kasih kepada:


1. Kakak dan adik-adik saya yang selalu merepotkan dan direpotkan namun juga
menjadi mood-booster terbaik;
2. Ami Ayed, yang telah memberikan doa dan dukungan kepada saya;
3. Oya, yang telah memberikan penulis banyak bantuan, dukungan, motivasi dan tempat
penulis bercerita;
4. Sahabat penulis: Enjel, Iyak, Bila, Ami, Intan dan Fiah yang telah memberi saya
dukungan, bantuan, dan masukan serta menjadi tempat penulis bercerita;
5. Tim Kita: April, Lusi, Bila, Intan, Dian dan Haidir yang telah membersamai saya
selama satu semester dan saling berbagi suka duka serta semangat.
6. Indah, sahabat saya yang selalu berbagi kebaikan, yang telah memberi saya
dukungan,
masukan dan do’a di saat masa-masa sulit saya sewaktu kuliah.
7. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang juga turut memberi
bantuan kepada saya dalam penyelesaian tugas akhir ini.

Terima kasih dan terima kasih saya ucapkan kepada seluruh orang yang telah membantu
saya, membersamai saya, menghibur saya, mendengarkan cerita saya, berproses bersama
saya, menyemangati saya dan mendo’akan saya. Tugas akhir ini saya dedikasikan kepada
kalian. Semoga Allah membalas kebaikan kalian dengan sebaik-baik balasan dan dari hati
yang terdalam saya mendoakan semoga kalian bahagia selalu.

3
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala atas rahmat dan
taufik-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dengan judul “Perencanaan Instalasi
Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) di Perumahan Citra Wisata dengan Menggunakan
Anaerobic Digestion” sebagai persyaratan kelulusan sarjana pada Program Studi Teknik
Lingkungan Universitas Sumatera Utara. Atas terselasaikannya penyusanan tugas akhir
ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Amir Husin, ST. MT. dan Bapak Muhammad Faisal, ST. MT. selaku
dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan
pengarahan serta membimbing penulis;
2. Bapak Dr. Ir. Munir Tanjung, M.M. dan Bapak Ivan Indrawan, S.T., M.T. selaku
dosen pembanding yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan
berbagai saran dan masukan kepada penulis;
3. Ibu Rahmi Utami, S.T., M.T. selaku Koordinator Tugas Akhir atas bantuan yang
telah diberikan;
4. Seluruh Dosen/Staf Pengajar Program Studi Teknik Lingkungan yang telah
memberikan penulis ilmu yang bermanfaat, motivasi serta semangat untuk menggali
ilmu dan menjadi pribadi yang bermanfaat;
5. Staf tata usaha Program Studi Teknik Lingkungan yang telah membantu berbagai
urusan administrasi penulis selama menjalani aktivitas perkuliahan;
6. Pak Gunawan selaku Kepala Koordinator Keamanan Perumahan Citra Wisata dan Bu
Evi selaku Kepala Laboratorium PDAM Tirtanadi Cemara yang telah membantu
penulis dalam memberikan data dan informasi untuk penyelesaian tugas akhir ini;

Penulis menyadari dalam penyusunan tugas akhir ini masih terdapat banyak kekurangan,
baik dari segi penulisan dan pembahasan, mengingat keterbatasan pengetahuan,
pengalaman dan referensi yang penulis miliki. Akhir kata, dengan segala kerendahan hati,
penulis berharap semoga segala kekurangan dari tugas akhir ini tidak mengurangi arti
pengerjaan yang telah dilakukan dan semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi
penulis
dan pembaca. Terima kasih.
Medan, Juli 2021
Penulis

4
DAFTAR ISI

ABSTRAK.......................................................................................................................i
DEDIKASI.....................................................................................................................iii
KATA PENGANTAR ...................................................................................................iv
DAFTAR ISI................................................................................................................... v
DAFTAR TABEL........................................................................................................viii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................
x DAFTAR
PERSAMAAN..............................................................................................xi

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...................................................................................................... I-
1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................................. I-5
1.3 Tujuan Perancangan............................................................................................... I-5
1.4 Ruang Lingkup ...................................................................................................... I-5
1.5 Manfaat Perancangan............................................................................................. I-6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Air Limbah Domestik ........................................................................................... II-
1
2.2 Lumpur Tinja ........................................................................................................ II-
1
2.2.1 Pengurasan Lumpur Tinja ............................................................................... II-2
2.2.2 Karakteristik Lumpur Tinja............................................................................. II-2
2.3 Analisis Metode Pemekatan (Pemisahan Padatan dan Cairan) ............................ II-
5
2.4 Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja ...................................................................... II-
6
2.4.1 Sistem Pengangkutan Lumpur Tinja ke IPLT ................................................. II-
7
2.4.1.1 Layanan Lumpur Tinja Terjadwal (LLTT).............................................. II-7
2.4.1.2 Layanan Lumpur Tinja Tidak Terjadwal (LLTTT)................................. II-7
2.4.2 Alat Pengangkut Lumpur Tinja ke IPLT......................................................... II-8
2.4.2.1 Truk Tinja (Large Vacuum Tank)............................................................ II-8
2.4.2.2 Motor Tinja (Mini Vacuum Tugs)............................................................ II-8
2.4.3 Penentuan Lokasi IPLT ................................................................................... II-8
2.5 Teknologi Pengolahan Lumpur Tinja ................................................................... II-10

5
2.5.1 Unit Pengolahan Pendahuluan......................................................................... II-10
2.5.1.1 Bar Screen ............................................................................................... II-11
2.5.1.2 Grit Chamber........................................................................................... II-11

6
2.5.1.3 Grease Trap ............................................................................................. II-12
2.5.1.4 Bak Ekualisasi ......................................................................................... II-12
2.5.2 Unit Pemekatan dan Stabilisasi Lumpur ......................................................... II-13
2.5.2.1 Gravity Thickener .................................................................................... II-13
2.5.2.2 Anaerobic Digestion ................................................................................ II-14
2.5.2.2.1 Anaerobic Digester............................................................................. II-14
2.5.2.2.2 Tangki Imhoff..................................................................................... II-16
2.5.2.2.3 Proses yang Terjadi dalam Sistem Anaerobik.................................... II-17
2.5.2.2.4 Hasil Pengolahan dengan Anaerobic Digestion ................................. II-19
2.5.2.3 Solid Separation Chamber....................................................................... II-20
2.5.3 Unit Stabilisasi Cairan ..................................................................................... II-20
2.5.3.1 Anaerobic Baffle Reactor ........................................................................ II-21
2.5.3.2 Kolam Aerasi ........................................................................................... II-22
2.5.3.3 Oxidation Ditch ....................................................................................... II-22
2.5.3.4 Kolam Fakultatif ...................................................................................... II-23
2.5.4 Unit Penghilangan Organisme Patogen........................................................... II-24
2.5.4.1 Kolam Maturasi / Polishing..................................................................... II-24
2.5.4.2 Constructed Wetland ............................................................................... II-25
2.5.5 Unit Pengeringan Lumpur ............................................................................... II-26
2.5.5.1 Sludge Drying Bed................................................................................... II-26
2.5.5.2 Belt Filter Press ....................................................................................... II-27
2.5.5.3 Filter Press .............................................................................................. II-27

BAB III METODE PENELITIAN


3.1 Umum .................................................................................................................... III-1
3.2 Waktu dan Tempat................................................................................................. III-1
3.3 Diagram Alir .......................................................................................................... III-1
3.4 Tahap Perencanaan ................................................................................................ III-2
3.5 Gambaran Umum Perumahan Citra Wisata........................................................... III-5
3.5.1 Fasilitas Perumahan.......................................................................................... III-6
3.5.2 Pengelolaan Air Limbah Domestik .................................................................. III-6
3.5.3 Lahan Kosong................................................................................................... III-6
3.6 Alternatif Pengolahan ............................................................................................ III-7

7
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN RANCANGAN
4.1 Aktivitas Kegiatan .................................................................................................IV-1
4.2 Kualitas Lumpur Tinja...........................................................................................IV-1
4.3 Konsep Operasional Layanan Pengolahan Lumpur Tinja .....................................IV-3
4.4 Pemilihan Proses dan Perhitungan Desain Unit Pengolahan.................................IV-4
4.4.1 Pemilihan Proses Pengolahan...........................................................................IV-4
4.4.2 Perhitungan Desain Unit Pengolahan ...............................................................IV-6
4.4.2.1 Bar Screen ................................................................................................IV-6
4.4.2.2 Bak Ekualisasi .......................................................................................... IV-11
4.4.2.3 Anaerobic Digester ................................................................................... IV-12
4.4.2.4 Kolam Fakultatif ....................................................................................... IV-21
4.4.2.5 Sludge Drying Bed.................................................................................... IV-26
4.4.2.6 Penampung Padatan Kering...................................................................... IV-32
4.5 Rekapitulasi Desain ............................................................................................... IV-33
4.6 Jadwal Pengurasan Tangki Septik Perumahan Citra Wisata ................................. IV-36
4.7 Analisis Dampak IPLT Terhadap Pemukiman Sekitar.......................................... IV-37

BAB V BILL OF QUANTITY .................................................................................... V-1

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN


6.1 Kesimpulan ............................................................................................................VI-1
6.2 Saran ......................................................................................................................VI-1

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

v
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Perencanaan Terdahulu Mengenai Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja ..... I-4
Tabel 2.1 Baku Mutu Air Limbah Domestik .............................................................. II-1
Tabel 2.2 Karakteristik Lumpur Tinja di Indonesia ................................................... II-4
Tabel 2.3 Karakteristik Lumpur Tinja di Beberapa Negara Asia dan Afrika............. II-5
Tabel 2.4 Kriteria Desain Manual Bar Screen............................................................ II-11
Tabel 2.5 Kriteria Desain Horizontal-Flow Grit Chamber ........................................ II-11
Tabel 2.6 Kriteria Desain Bak Ekualisasi ................................................................... II-12
Tabel 2.7 Kriteria Desain Gravity Thickener.............................................................. II-13
Tabel 2.8 Kriteria Desain Anaerobic Digester ........................................................... II-15
Tabel 2.9 Anaerobic Digester Sistem Basah .............................................................. II-16
Tabel 2.10 Kriteria Desain Tangki Imhoff ................................................................. II-17
Tabel 2.11 Perbandingan Nilai Energi Biogas dengan Bahan Bakar Lain ................. II-19
Tabel 2.12 Kriteria Desain Solid Separation Chamber .............................................. II-20
Tabel 2.13 Kriteria Desain Anaerobic Baffle Reactor ................................................ II-21
Tabel 2.14 Kriteria Desain Kolam Aerasi .................................................................. II-22
Tabel 2.15 Kriteria Desain Oxidation Ditch ............................................................... II-23
Tabel 2.16 Kriteria Desain Kolam Fakultatif ............................................................. II-24
Tabel 2.17 Kriteria Desain Kolam Maturasi............................................................... II-24
Tabel 2.18 Spesifikasi Desain Constructed Wetland.................................................. II-25
Tabel 2.19 Kriteria Desain Sludge Drying Bed .......................................................... II-27
Tabel 2.20 Kriteria Desain Belt Filter Press .............................................................. II-27
Tabel 2.21 Kriteria Desain Filter Press...................................................................... II-28
Tabel 3.1 Lokasi Perumahan Citra Wisata .................................................................. III-6
Tabel 3.2 Alternatif Pengolahan dengan Anaerobic Digestion ................................... III-7
Tabel 4.1 Perbandingan Data Kualitas Lumpur Tinja di PDAM Tirtanadi
Cemara dan di Indonesia .............................................................................IV-2
Tabel 4.2 Kualitas Lumpur Tinja untuk Perencanaan .................................................IV-3
Tabel 4.3 Perbandingan Keunggulan Armada Transportasi Penguras
Lumpur Tinja...............................................................................................IV-3
Tabel 4.4 Populasi Penduduk.......................................................................................IV-3
Tabel 4.5 Parameter Operasional.................................................................................IV-4

8
Tabel 4.6 Jumlah Pelanggan dan Kebutuhan Ritase....................................................IV-4
Tabel 4.7 Perbandingan Keunggulan Teknologi Pengolahan......................................IV-5
Tabel 4.8 Pembobotan Teknologi Pengolahan ............................................................IV-5
Tabel 4.9 Rekapitulasi Dimensi Unit-Unit Pengolahan............................................... IV-33
Tabel 4.10 Rekapitulasi Waktu Tinggal pada Unit-Unit Pengolahan ......................... IV-34
Tabel 4.11 Kebutuhan Lahan IPLT ............................................................................. IV-34
Tabel 4.12 Jadwal Pengurasan Tangki Septik Perumahan Citra Wisata ..................... IV-36
Tabel 5.1 Bill of Quantity IPLT Perumahan Citra Wisata ............................................ V-1

9
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Bak Ekualisasi......................................................................................... II-13


Gambar 2.2 Anaerobic Digester Standart Rate Digestion ......................................... II-14
Gambar 2.3 Anaerobic Digester H Rate Digestion .................................................... II-15
Gambar 2.4 Langkah – Langkah Metabolisme yang Terjadi dalam
Biotransformasi Anaerobik ...................................................................... II-18
Gambar 3.1 Diagram Alir Perancangan....................................................................... III-2
Gambar 3.2 Lokasi Perumahan Citra Wisata............................................................... III-5
Gambar 3.3 Peta Perumahan Citra Wisata................................................................... III-7
Gambar 4.1 Desain Bak Penerima dan Bar Screem .................................................... IV-10
Gambar 4.2 Gambaran Bak Penerima dan Bar Screen Terbangun ............................. IV-10
Gambar 4.3 Desain Bak Ekualisasi.............................................................................. IV-12
Gambar 4.4 Desain Anaerobic Digester ...................................................................... IV-15
Gambar 4.5 Gambaran Anaerobic Digester Terbangun .............................................. IV-16
Gambar 4.6 Desain Gas Storage.................................................................................. IV-20
Gambar 4.7 Gambaran Gas Storage Terbangun.......................................................... IV-20
Gambar 4.8 Desain Kolam Fakultatif .......................................................................... IV-24
Gambar 4.9 Gambaran Kolam Fakultatif Terbangun .................................................. IV-24
Gambar 4.10 Desain Sludge Drying Bed ..................................................................... IV-31
Gambar 4.11 Gambaran Sludge Drying Bed Terbangun ............................................. IV-31
Gambar 4.12 Desain Penampung Padatan Kering....................................................... IV-32
Gambar 4.13 Gambaran Penampung Padatan Kering Terbangun ............................... IV-32
Gambar 4.14 Denah Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja............................................ IV-33
Gambar 4.15 Neraca Massa Sistem Pengolahan di IPLT ............................................ IV-35

1
DAFTAR PERSAMAAN

Persamaan 3.1 ................................................................................................................ III-4


Persamaan 3.2 ................................................................................................................ III-4
Persamaan 4.1 ................................................................................................................ IV-6
Persamaan 4.2 ................................................................................................................ IV-6
Persamaan 4.3 ................................................................................................................ IV-7
Persamaan 4.4 ................................................................................................................ IV-7
Persamaan 4.5 ................................................................................................................ IV-7
Persamaan 4.6 ................................................................................................................ IV-7
Persamaan 4.7 ................................................................................................................ IV-7
Persamaan 4.8 ................................................................................................................ IV-8
Persamaan 4.9 ................................................................................................................ IV-8
Persamaan 4.10 .............................................................................................................. IV-8
Persamaan 4.11 .............................................................................................................. IV-8
Persamaan 4.12 ............................................................................................................ IV-11
Persamaan 4.13 ............................................................................................................ IV-11
Persamaan 4.14 ............................................................................................................ IV-13
Persamaan 4.15 ............................................................................................................ IV-13
Persamaan 4.16 ............................................................................................................ IV-13
Persamaan 4.17 ............................................................................................................ IV-14
Persamaan 4.18 ............................................................................................................ IV-14
Persamaan 4.19 ............................................................................................................ IV-14
Persamaan 4.20 ............................................................................................................ IV-14
Persamaan 4.21 ............................................................................................................ IV-16
Persamaan 4.22 ............................................................................................................ IV-16
Persamaan 4.23 ............................................................................................................ IV-17
Persamaan 4.24 ............................................................................................................ IV-17
Persamaan 4.25 ............................................................................................................ IV-17
Persamaan 4.26 ............................................................................................................ IV-17
Persamaan 4.27 ............................................................................................................ IV-17
Persamaan 4.28 ............................................................................................................ IV-18
Persamaan 4.29 ............................................................................................................ IV-18

1
Persamaan 4.30 ............................................................................................................ IV-18
Persamaan 4.31 ............................................................................................................ IV-19
Persamaan 4.32 ............................................................................................................ IV-21
Persamaan 4.33 ............................................................................................................ IV-22
Persamaan 4.34 ............................................................................................................ IV-22
Persamaan 4.35 ............................................................................................................ IV-23
Persamaan 4.36 ............................................................................................................ IV-23
Persamaan 4.37 ............................................................................................................ IV-25
Persamaan 4.38 ............................................................................................................ IV-25
Persamaan 4.39 ............................................................................................................ IV-25
Persamaan 4.40 ............................................................................................................ IV-25
Persamaan 4.41 ............................................................................................................ IV-26
Persamaan 4.42 ............................................................................................................ IV-27
Persamaan 4.43 ............................................................................................................ IV-28
Persamaan 4.44 ............................................................................................................ IV-29
Persamaan 4.45 ............................................................................................................ IV-29
Persamaan 4.46 ............................................................................................................ IV-29
Persamaan 4.47 ............................................................................................................ IV-29
Persamaan 4.48 ............................................................................................................ IV-30
Persamaan 4.49 ............................................................................................................ IV-30
Persamaan 4.50 ............................................................................................................ IV-30
Persamaan 4.51 ............................................................................................................ IV-30
Persamaan 4.52 ............................................................................................................ IV-30

x
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sebagian besar penduduk Indonesia menggunakan sistem pengolahan air limbah rumah
tangga setempat (on site system) yang berupa tangki septik. Setelah memakan waktu
tertentu limbah tersebut akan mengalami dekomposisi oleh mikroorganisme lalu
berubah menjadi lumpur tinja (Arlina dkk, 2018). Fasilitas ini kemudian mengakumulasi
lumpur tinja yang perlu dibuang secara periodik. Jika lumpur ini tidak dikelola dengan
baik, akan menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan lingkungan dan masyarakat
seperti, tercemarnya lingkungan sebab lumpur tinja yang tidak rutin dikuras, lumpur
tinja dalam jumlah besar yang dibuang ke lingkungan sebab kurangnya fasilitas
pembuangan, serta lumpur tinja digunakan dengan cara yang tidak higienis pada sektor
pertanian sebab tidak ada pengolahan lumpur tinja yang tersedia (Klingel et al, 2002).

Akses terhadap sanitasi merupakan salah satu kebutuhan dasar untuk mendukung
kesehatan masyarakat, lingkungan dan kesejahteraan ekonomi secara berkelanjutan.
Namun pengoperasian fasilitas pengolahan air limbah setempat, seperti tangki septik
individu dan IPAL komunal, sebagian besar belum memperhatikan pengelolaan lumpur
tinja (Ashuri dkk, 2018).

Idealnya, pengelolaan lumpur tinja harus menjadi bagian yang terintegrasi dengan
semua perencanaan sanitasi. Pengelolaan lumpur tinja merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari pemeliharaan pengolahan setempat. Namun pada kenyataannya,
pengelolaan lumpur tinja sering kali diabaikan dalam perencanaan karena kebutuhannya
tidak lebih jelas dibandingkan kebutuhan penyediaan fasilitas air bersih atau toilet.
Pentingnya pengolahan lumpur tinja perlu disadari karena fasilitas ini merupakan solusi
untuk pengurasan lumpur tinja secara teratur dan pembuangan lumpur tinja yang aman.
(Klingel et al, 2002).

Selain karena permasalahan diatas, pentingnya mengolah lumpur tinja dengan baik
adalah karena lumpur tinja mengandung organisme infeksius yang masih bisa bertahan
hidup walaupun tinja sudah mengalami pengolahan di unit pengolahan setempat.
Organisme infeksius yang umumnya terkandung berupa bakteri patogen, telur cacing,
dan cacing
parasit. Bakteri patogen dapat bertahan hidup hingga dua minggu, sedangkan telur
cacing dan cacing parasit dapat bertahan sampai tiga tahun di lingkungan. Hal ini
menyebabkan lumpur tinja perlu pengolahan dan penanganan yang sesuai dengan
kaidah teknis. Pengelolaan lumpur tinja yang tidak sesuai kaidah teknis dapat
menyebabkan transmisi penyakit kepada manusia (Dirjen Cipta Karya, 2017).

Dengan tidak adanya perencanaan sanitasi kota yang teratur, pengguna pengolahan
sanitasi on-site tidak terlalu peduli dengan masalah lumpur yang dikeluarkan dari
fasilitas mereka. Situasi ini akan menjadi serius apabila tidak ada tindakan yang
diambil. Untuk itu, startegi untuk pengelolaan lumpur tinja yang lebih baik harus
dikembangkan. Semua masalah ini dapat dihindari dengan pengelolaan lumpur tinja
yang layak, dimana mencakup penyedotan yang memadai, penangan dan pengangkutan
lumpur yang aman serta pembuangan atau penggunaan kembali yang aman (Klingel et
al, 2002).

Hal ini sejalan dengan target pembangunan sanitasi di Indonesia yang direncanakan
dalam RPJMN, dimana target tersebut terus meningkat. Indonesia ditargetkan dalam
RPJMN 2015 – 2019 untuk memiliki 85% akses sanitasi layak dan 15% akses sanitasi
dasar. Draft RPJMN 2020 – 2024 menyebutkan adanya peningkatan target
pembangunan sanitasi menjadi 20% akses sanitasi aman, 70% akses sanitasi layak dan
10% akses sanitasi dasar. BAPPENAS merencanakan untuk menargetkan Indonesia
memiliki 53,7% akses sanitasi aman di tahun 2030. Artinya, dari tahun ke tahun,
pemkab/kota memang diharapkan mampu meningkatkan layanan air limbah domestik di
wilayahnya termasuk tentunya layanan lumpur tinja (IUWASH PLUS, 2019).

Akses sanitasi dasar dimaknai sebagai akses penduduk terhadap fasilitas jamban yang
menggunakan kakus leher angsa. Akses sanitasi layak dimaknai sebagai akses penduduk
terhadap fasilitas jamban yang menggunakan kakus leher angsa dan tersambung ke unit
setempat (tangki septik) atau jaringan perpipaan air limbah. Sedangkan akses sanitasi
aman dalam konteks Faecal Sludge Management (FSM) menuntut rumah tangga untuk
menggunakan jamban sehat yang tersambung ke tangki septik serta melakukan
penyedotan lumpur tinja secara berkala untuk kemudian diolah di sarana pengolahan
sampai memenuhi baku mutu lingkungan (IUWASH PLUS, 2019).

I
Pada perencanaan ini dipilih Perumahan Citra Wisata sebagai lokasi studi. Perumahan
Citra Wisata merupakan salah satu perumahan yang berada di Kota Medan tepatnya di
Jalan Karya Wisata, Kelurahan Pangkalan Masyhur, Kecamatan Medan Johor.
Perumahan Citra Wisata memiliki kurang lebih 500 unit rumah dengan luas lahan
perumahan kurang lebih 16,5 Ha. Saat ini Perumahan Citra Wisata sudah sepenuhnya
dikelola oleh warga perumahan karena seluruh rumah sudah menjadi milik pribadi
penghuni. Namun, perumahan ini belum memiliki sistem pengolahan lumpur tinja
setelah tinja dialirkan ke tangki septik individu. Selain itu, penduduk di perumahan ini
juga tidak rutin dalam melakukan pengurasan tangki septik. Maka dari itu, untuk
menghindari dampak yang merugikan bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan serta
pemenuhan akses sanitasi aman, diperlukan instalasi pengolahan lumpur tinja.

Salah satu proses pengolahan untuk stabilisasi lumpur tinja adalah dengan anaerobic
digestion. Anaerobic digestion adalah proses biologis yang alami. Sistem ini dapat
meminimalkan bau dan daya tarik vektor, mengurangi patogen, menghasilkan gas, serta
menghasilkan digestate padat dan cair. Sistem ini dibangun oleh pemangku usaha
dengan berbagai alasan diantaranya sebagai langkah pengolahan limbah, sarana untuk
mengurangi bau, atau sebagai sumber pendapatan tambahan. Individu yang bekerja
dengan sistem anaerobic digestion dalam lingkupnya masing-masing menjadi semakin
sadar bahwa sistem ini adalah salah satu alat yang dapat mendukung tujuan dan strategi
lingkungan dari beberapa bidang yang berbeda (US EPA, 2015). Maka dari itu, pada
perancangan ini akan direncanakan Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja dengan
menggunakan anaerobic digestion di Perumahan Citra Wisata.

I
Perencanaan mengenai instalasi pengolahan lumpur tinja sudah banyak dilakukan oleh para perancang di berbagai kota.
Perencanaan terdahulu tentang instalasi pengolahan lumpur tinja dapat dilihat pada tabel 1.1 berikut ini.

Tabel 1.1 Perencanaan Terdahulu Mengenai Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja


Unit-Unit Pengolahan yang
Nama Peneliti Tahun Judul Universitas/Instansi
Direkomendasikan
Solid Separation Chamber – Balancing
Gaby Dian dan Welly Evaluasi Kinerja Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja Institut Teknkologi Tank – Oxidation Ditch – Final Clarifier
2016
Herimurti (IPLT) Keputih, Surabaya Sepuluh Nopember – Polishing Pond – Sludge Drying Bed –
Drying Area

Steffie Starina, Riyanto Solid Separation Chamber – Anaerobic


Evaluasi Kinerja Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja
Haribowo dan Tri Budi 2016 Universitas Brawijaya Baffled Reactor – Bak Fakultatif – Bak
(IPLT) Supiturang Kota Malang
Prayogo Maturasi – Sludge Drying Bed

Tangki Imhoff – Kolam Anaerobik 1 –


Dedy Sukma Desain Umum Perencanaan Instalasi Pengolahan Universitas Islam Kolam Anaerobik 2 – Kolam Fakultatif
2016
Ramadhandi Lumpur Tinja di Kecamatan Tenggarong Indonesia – Kolam Maturasi – Bak Pengering
Lumpur

Hafizhul Hidayat, Aryo Perencanaan Pembangunan Instalasi Pengolahan Solid Separation Chamber – Anaerobic
Sasmita dan Muhammad 2017 Lumpur Tinja (IPLT) di Kecamatan Tampan Kota Universitas Riau Baffled Reactor 1 – Anaerobic Baffled
Reza Pekanbaru Reactor 2

Reynaldo Purba, Monik Solid Separation Chamber – Kolam


Evaluasi dan Optimalisasi Instalasi Pengolahan
Kasman dan Peppy 2020 Universitas Batanghari Anaerob – Kolam Fakultatif – Kolam
Lumpur Tinja (IPLT) Talang Bakung Jambi
Herawati Maturasi

I-4
1.2 Rumusan Masalah
Pengoperasian fasilitas pengolahan air limbah setempat, seperti tangki septik individu
dan IPAL komunal, sebagian besar belum memperhatikan pengelolaan lumpur tinja.
Lumpur tinja mengandung organisme infeksius yang masih bisa bertahan hidup
walaupun tinja sudah mengalami pengolahan di unit pengolahan setempat. Selain itu,
untuk mencegah terjadinya pengotoran air, penyelenggaraan Sistem Pengelolaan Air
Minum harus dilaksanakan secara terpadu dengan penyelenggaraan sanitasi yang baik
dalam rangka mencegah pencemaran air baku. Hal ini menyebabkan lumpur tinja perlu
pengolahan dan penanganan yang sesuai dengan kaidah teknis. Pengelolaan lumpur tinja
yang tidak sesuai kaidah teknis dapat menyebabkan transmisi penyakit kepada manusia.

1.3 Tujuan Perancangan


Adapun tujuan dari perancangan ini adalah:
1. Untuk merencanakan Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) di Perumahan Citra
Wisata, Medan.
2. Untuk menghitung dimensi unit-unit Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) yang
akan diterapkan di Perumahan Citra Wisata, Medan.
3. Untuk menghitung volume gas metan yang dihasilkan dari unit pengolahan
anaerobic digestion.

1.4 Ruang Lingkup


Adapun ruang lingkup dalam perancangan ini adalah:
1. Lokasi perencanaan adalah Perumahan Citra Wisata, Medan.
2. Data karakteristik lumpur tinja yang digunakan diadopsi dari IPLT PDAM Tirtanadi
Cemara.
3. Pada perencanaan ini diasumsikan tidak ada permasalahan pada semua bangunan
tangki septik Perumahan Citra Wisata.
4. Gambar teknis meliputi:
a. Layout IPLT
b. Denah unit-unit pengolahan
c. Potongan unit-unit pengolahan
5. Cairan dari IPLT akan diolah lebih lanjut di IPAL Perumahan Citra Wisata yang
direncanakan oleh Nabilah Kesuma.

I
6. Membuat perhitungan bill of quantity untuk bangunan IPLT yang direncanakan.
7. Perencanaan ini tidak menghitung analisa struktur serta tidak memperhatikan daya
dukung tanah dan pondasi.
8. Perencanaan ini tidak menghitung proyeksi penduduk dikarenakan perumahan sudah
tidak ada pengembangan lagi.

1.5 Manfaat Perancangan


Adapun manfaat dari perancangan ini adalah sebagai rekomendasi instalasi pengolahan
lumpur tinja di Perumahan Citra Wisata serta sebagai referensi dan bahan kajian
terhadap perancang berikutnya terkait pengolahan lumpur tinja.

I
BAB II TINJAUAN
PUSTAKA

2.1 Air Limbah Domestik


Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No. 4 Tahun
2017, air limbah domestik adalah air limbah yang berasal dari usaha dan/atau kegiatan
pemukiman, rumah makan, perkantoran, perniagaan, apartemen, dan asrama. Air limbah
domestik terdiri dari air limbah kakus (black water) dan air limbah non kakus (grey
water). Menurut Kusnoputranto (1997) dalam Putri NC (2015), air limbah domestik
(berasal dari daerah pemukiman) terdiri dari tinja, air kemih, dan air buangan limbah
lain (kamar mandi, dapur, cucian) yang kira-kira mengandung 99,9% air dan 0,1% zat
padat. Zat padat yang ada terbagi atas lebih kurang 70% zat organik (terutama protein;
karbohidrat; dan lemak) dan sisanya 30% zat organik terutama pasir, garam - garam dan
logam.

Adapun baku mutu untuk air limbah domestik dapat dilihat pada tabel 2.1.

Tabel 2.1 Baku Mutu Air Limbah Domestik


Parameter Satuan Kadar Maksimum
pH - 6–9
BOD mg/L 30
COD mg/L 100
TSS mg/L 30
Minyak & Lemak mg/L 5
Amoniak mg/L 10
Total Coliform jumlah/100 mL 3000
Debit L/orang/hari 100
Sumber: Permen LHK No. 68 Tahun 2016

2.2 Lumpur Tinja


Lumpur tinja ialah seluruh isi tangki septik, cubluk tunggal atau endapan lumpur dari
underflow unit pengolah air limbah lainnya yang pembersihannya dilakukan dengan
mobil (Departemen PU, 1999 dalam Putri NC, 2015). Lumpur tinja dapat berupa air
limbah domestik yang telah terolah, sebagian terolah atau belum terolah. Lumpur tinja
yang terbentuk dalam unit pengolahan setempat membutuhkan pengolahan lanjutan di
Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (Dirjen Cipta Karya, 2017).
Berdasarkan penelitian yang dilaksanakan oleh Mills, F. et al. (2014) di beberapa kota di
Indonesia, diperkirakan akumulasi lumpur tinja yang terbentuk pada unit pengolahan
setempat berkisar 13 sampai 130 L/orang/tahun. Hal ini juga didukung oleh riset World
Bank (2016), yang memperkirakan akumulasi lumpur pada unit pengolahan setempat
berkisar 23 sampai 42 L/orang/tahun. (Dirjen Cipta Karya, 2017). Perbedaan estimasi
akumulasi lumpur tinja tersebut dikarenakan bedanya sistem yang digunakan. Estimasi
akumulasi lumpur tinja 13 – 130 l/orang/tahun merupakan estimasi untuk sistem
tercampur dimana tangki septik menerima black water dan grey water untuk diolah
bersama. Adapun estimasi 23 – 42 l/orang/tahun merupakan estimasi untuk sistem
terpisah dimana tangki septik hanya mengolah black water saja. Estimasi ini
menunjukkan nilai timbulan limbah tinja, yaitu tinja segar yang masuk ke dalam tangki
septik. Adapun ketetapan laju timbulan lumpur tinja yang digunakan di Indonesia untuk
mendesain IPLT adalah 0,5 l/orang/hari yang merupakan laju timbulan lumpur basah
dari tangki septik.

2.2.1 Pengurasan Lumpur Tinja


Lumpur tinja yang tersimpan di tangki septik haruslah disedot secara rutin. Pengelolaan
lumpur tinja di Indonesia masih kurang teratur. Penyebab tidak teraturnya penyaluran
lumpur tinja dari masyarakat ialah kurangnya pengetahuan tentang tangki septik yang
sesuai standar, pengetahuan mengenai pentingnya pengurasan secara rutin, perilaku
pengurasan hanya ketika WC tersumbat, dan masih kurangnya kerjasama dari pihak
swasta dengan pemerintah daerah (Mursito, 2013 dalam Putri NC, 2015). Adapun
periode pengurasan lumpur tinja berdasarkan SNI 2398-2017 secara berkala adalah 2 –
5 tahun sekali.

2.2.2 Karakteristik Lumpur Tinja


Karakteristik lumpur tinja sangat bervariasi, tergantung dari masukan suatu Tangki
Septik dan lamanya lumpur tinja tersebut di dalam Tangki Septik. Karakteristik lumpur
tinja yang bervariasi dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain jumlah pemakai,
kebiasaan makan dan minum pemakai, sumber lumpur tinja (Tangki
Septik/johkasu/cubluk), desain dan ukuran Tangki Septik, kondisi cuaca iklim, frekuensi
penyedotan pengurasan lumpur tinja, serta adanya inflitrasi air hujan atau air tanah
(Mangkono 2002 dalam Putri NC, 2015).

II-
Karakteristik lumpur tinja terdiri dari (FSM, 2012):
a. Nutrien
Nutrien yang terkandung dalam lumpur tinja berasal dari sisa proses pencernaan
makanan manusia. Sisa proses pencernaan makanan manusia yang berupa feses
mengandung 10–20% Nitrogen, 20–50% Fosfor, dan 10–20% Potasium, dan yang
berupa urin mengandung 80–90% Nitrogen, 50–65% Fosfor, dan 50–80% Potasium
b. pH
pH merupakan parameter yang penting dalam pemeriksaan lumpur tinja yang dapat
memengaruhi tahapan stabilisasi biologi. pH lumpur tinja umumnya berkisar 6,5
sampai 8, tetapi juga bisa bervariasi dari 1,5 sampai 12,6. Bila pH lumpur tinja
memiliki nilai di luar kisaran 6 sampai 9, hal ini dapat menghambat proses biologi
dan produksi gas metana pada proses anaerob.
c. Padatan
Konsentrasi padatan pada lumpur tinja berasal dari berbagai materi organik
(volatile solid) dan materi anorganik (fixed solid), yang berbentuk materi
mengapung, mengendap, koloid, dan tersuspensi. Parameter yang dibutuhkan dalam
pengukuran padatan yang terkandung dalam lumpur tinja terdiri dari total solid
(TS), total suspended solid (TSS) dan total volatile solid (TVS).
d. BOD (Biological Oxygen Demand)
BOD merupakan parameter yang mengindikasikan kandungan senyawa organik
yang dapat terdegradasi secara biologis. Lumpur tinja umumnya memiliki
konsentrasi BOD yang lebih tinggi dari air limbah domestik.
e. COD (Chemical Oxygen Demand)
COD merupakan parameter yang mengindikasikan kandungan senyawa organik
pada lumpur tinja baik yang dapat terdegradasi secara biologis maupun non
biologis.
f. Minyak dan lemak
Lumpur tinja dapat mengandung minyak dan lemak yang berasal dari minyak
rumah tangga, daging, biji-bijian, dan kacang-kacangan. Parameter minyak dan
lemak perlu diperiksa karena minyak dan lemak dapat menurunkan kemampuan
mikroba untuk mendegradasi senyawa organik. Hal ini disebabkan minyak dan
lemak dapat mengurangi kelarutan, meningkatkan lapisan scum di tangki
pengendapan, yang dapat menyebabkan masalah dalam tahap pengoperasian.

II-
g. Pasir dan Kerikil
Pasir dan kerikil dapat meningkatkan potensi penyumbatan pipa dan pompa. Pasir
dan kerikil pada lumpur tinja bisa berasal dari pasir yang terbawa oleh penghuni
dan pasir yang terbawa saat banjir.
h. Sampah
Sampah banyak ditemukan dalam lumpur tinja karena keterbatasan informasi
mengenai sampah-sampah yang tidak boleh dibuang ke dalam unit pengolahan
setempat, seperti pembalut, popok bayi, kayu, plastik kemasan, dan lain-lain.
Akumulasi sampah pada lumpur tinja dapat mengakibatkan permasalahan dalam
kegiatan pengangkutan lumpur tinja dan pengolahan lumpur tinja. Permasalahan
yang dapat timbul antara lain penyumbatan pada pipa penyedotan lumpur tinja dan
gangguan pengolahan di unit pengolahan lumpur tinja.
i. Patogen
Berikut ini merupakan organisme patogen yang bisa terkandung dalam lumpur
tinja:
1) Bakteri Koliform
Bakteri koliform merupakan bakteri yang umumnya ditemukan pada saluran
pencernaan manusia. Bakteri koliform umumnya digunakan menjadi indikator
kontaminasi bakteri patogen.
2) Cacing dan Telur Cacing
Telur cacing merupakan salah satu indikator dalam menentukan efektivitas
penyisihan organisme patogen dalam lumpur tinja. Hal ini juga terkait dengan
ketahanan telur cacing dalam pengolahan lumpur tinja. Cacing yang umum
ditemukan dalam lumpur tinja terdiri dari nematode, cestode, dan trematode.
Ketiga jenis cacing ini merupakan parameter yang perlu dipantau karena dapat
menginfeksi manusia. Namun pengukuran telur cacing di Indonesia pada
sampel air limbah domestik merupakan parameter yang masih belum umum
dilaksanakan di laboratorium pengujian di Indonesia.
Tabel 2.2 Karakteristik Lumpur Tinja di Indonesia

Parameter Besaran
7 – 7,5
pH
2.000 – 5.000
BOD (mg/l)
6.000 – 15.000
COD (mg/l)
14.000 – 24.000
Total Solid (mg/l)

II-
Parameter Besaran
Total Suspended Solid (mg/l) 10.000 – 20.000

Sludge Volume Index (ml/g) 31 – 40

Ammonia (mg/l) 100 – 250

Minyak dan Lemak(mg/l) 1.000 – 2.000

Total Koliform 1.600.000 – 5.000.000

Fosfat (mg/l) 8 – 20
Sumber: Dirjen Cipta Karya, 2017

Kandungan beban organik, amonium, padatan, dan konsentrasi telur cacing pada lumpur
tinja jauh berbeda dengan yang terkandung pada air limbah domestik, umumnya
konsentrasi polutan pada lumpur tinja memiliki besaran 10 kali lebih besar dari pada
konsentrasi polutan pada air limbah domestik. Berikut ini karakteristik lumpur tinja dari
unit pengolahan setempat pada negara tropis yang dibandingkan dengan karakteristik air
limbah domestik.

Tabel 2.3 Karakteristik Lumpur Tinja di Beberapa Negara Asia dan Afrika
Tipe A (konsentrasi Tipe B (konsentrasi
Air Limbah
pencemar tinggi) pencemar rendah) Domestik
Karakteristik Kepekatan lumpur tinja Konsentrasi lumpur tinja tidak
tinggi, mengandung lumpur terlalu tinggi
tinja yang belum terolah dan Padatan lumpur tinja umumnya
sebagian terolah Periode telah mengendap dan terolah di
pengolahan 2–4 minggu. unit pengolahan setempat selama
beberapa tahun, lumpur tinja lebih
stabil

COD (mg/l) 20.000 – 50.000 15.000 500 – 2.500


COD/BOD 5:1 10 : 1 2:1
NH4-N (mg/l) 2000 – 5000 1000 30 – 70
TS (mg/l) 3,5 % 3% <1 %
SS (mg/l) 30.000 7000 10 – 20 %
Telur Cacing
20.000 – 60.000 4000 300 - 2000
(No. / L)
Sumber: Dirjen Cipta Karya, 2017

2.3 Analisis Metode Pemekatan (Pemisahan Padatan dan Cairan)


Pada perancangan terdahulu, Dian dan Welly (2016), Starina dkk (2016), Hidayat dkk
(2017), seta Purba dkk (2020) merekomendasikan unit pemekatan Solid Separation
Chamber (SSC) sebagai unit yang diterapkan di IPLT. SSC adalah unit pengolahan yang
berfungsi untuk memisahkan fasa padatan dan cairan dengan prinsip evaporasi dan
filtrasi. Unit SSC umumnya menggunakan pasir dan kerikil sebagai media filtrasi.

II-
Pengoperasian unit SSC cukup sederhana dan tidak memerlukan keahlian khusus.
Namun unit SSC memiliki berbagai kekurangan yaitu diperlukan penggantian media
filter secara berkala, pemindahan lumpur dari kolam SSC ke unit pengeringan lumpur
dilakukan secara manual serta dibutuhkan area yang luas. Selain itu, efisiensi dari unit
pengolahan ini juga terbilang rendah yaitu BOD 20%, COD 17% dan TSS 40%.
Seringnya terjadi kesalahan dalam mendesain unit SSC karena literatur yang tidak
banyak juga berdampak pada kinerja unit pengolahan.

Adapun Ramadhandi (2016) merekomendasikan unit Tangki Imhoff untuk pemisahan


padatan dan cairan di IPLT. Tangki imhoff merupakan salah satu unit pengolahan
dengan prinsip anaerobic digestion yang berpotensi menghasilkan stabilisasi lumpur
yang baik. Unit pengolahan dengan prinsip anaerobic digestion memiliki efisiensi
pengolahan yang lebih tinggi dibandingkan unit SSC dimana untuk tangki imhoff
sendiri efisiensi pengolahannya mencapai 50-70% TSS, 25-50% COD dan 10-40%
BOD. Selain itu, berdasarkan US EPA (2015), beberapa keuntungan yang didapatkan
dari kegunaan sistem anaerobic digestion yang efektif meliputi: reduksi emisi gas
methan, peningkatan kualitas tanah, produksi energi terbarukan, alternatif pengelolaan
unsur hara, serta pengalihan limbah organik dari opsi pembuangan yang kurang disukai.
Sistem anaerobic digestion dapat berdampak pada beberapa sektor lingkungan, terutama
pengendalian gas methan, produksi energi terbarukan dan pengolahan limbah yang
terintegrasi. Andriani et al (2015) dalam penelitiannya yang berjudul “A Review of
Recycling of Human Excreta to Energy through Biogas Generation: Indonesia Case”
menyebutkan bahwa pengaplikasian anaerobic digestion masih terbatas di Indonesia.
Dengan mempertimbangkan berbagai keuntungan dan populasi penduduk Indonesia
yang tinggi dengan potensi gas yang dapat dihasilkan dari tinja manusia, teknologi ini
harus dikembangkan dan dipastikan keberlanjutannya.

2.4 Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT)


Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) adalah instalasi pengolahan air limbah yang
dirancang hanya menerima dan mengolah lumpur tinja yang berasal dari Sub-sistem
Pengolahan Setempat. Pada IPLT, lumpur tinja yang berasal dari Sub-sistem
Pengolahan Setempat akan diolah melalui proses pengolahan fisik, proses
pengolahan biologis,

II-
dan/atau pengolahan kimia sehingga aman untuk dilepaskan ke lingkungan dan/atau
dimanfaatkan (Dirjen Cipta Karya, 2017).

2.4.1 Sistem Pengangkutan Lumpur Tinja ke IPLT


2.4.1.1 Layanan Lumpur Tinja Terjadwal (LLTT)
Pada prinsipnya, lumpur tinja perlu dikeluarkan dari dalam tangki septik secara berkala.
Jika tidak, kakus dapat terganggu fungsinya dan pencemaran kemungkinan besar akan
terjadi. Tidak berlebihan jika penyedotan berkala tersebut di beberapa negara sudah
diwajibkan. Beberapa Kota di Indonesia juga sudah mulai mewajibkan penyedotan
berkala tersebut. Konsekuensinya, suatu layanan perlu disediakan pemerintah Kota agar
penyedotan tangki septik dapat terselenggara sesuai jadwal yang ditentukan ke seluruh
pengguna tangki septik. Layanan itu disebut sebagai layanan lumpur tinja terjadwal
(LLTT). Penyedotan lumpur tinja dalam LLTT tidak dilakukan karena adanya
permintaan dari pengguna tangki septik. Suka atau tidak suka, perlu atau tidak perlu,
penyedotan lumpur tinja dalam LLTT akan dilakukan sesuai jadwalnya. Walau secara
pastinya akan ditentukan oleh pemerintah setempat, periode penyedotan LLTT
umumnya berkisar antara 2 – 5 tahun sekali. Lembaga operator LLTT tersebut yang
nantinya akan menentukan jadwal penyedotan tangki septik untuk tiap bangunan
pelanggannya (USAID, 2016).

2.4.1.2 Layanan Lumpur Tinja Tidak Terjadwal (LLTTT)


Selain untuk LLTT, komponen pengolahan lumpur tinja juga disediakan untuk
menerima dan mengolah lumpur tinja dari layanan lumpur tinja tidak terjadwal
(LLTTT) atau yang biasa disebut sebagai layanan on‐call. Berbeda dengan layanan
terjadwal, penyedotan tangki septik dalam layanan on‐call hanya diberikan jika ada
permintaan dari pengguna tangki septik. Layanan terjadwal tidak menghilangkan
keberadaan layanan berkala dan layanan on‐call. Keduanya dibutuhkan karena LLTT
hanya memberikan layanan di waktu yang sudah dijadwalkan, sementara layanan
berkala dan layanan on‐call akan memenuhi kebutuhan masyarakat di saat‐saat
lainnya. (USAID,
2016).

II-
2.4.2 Alat Pengangkut Lumpur Tinja ke IPLT
2.4.2.1 Truk Tinja (Large Vacuum Tank)
Teknologi klasik untuk mengosongkan tangki septik adalah dengan penyedotan
menggunakan pompa vakum. Selang dimasukkan melalui lubang untuk menyedot isinya
keluar. Terkadang isinya perlu diaduk dan ditambahkan air terlebih dahulu sebelum
penyedotan untuk melepaskan lapisan sedimen. Pompa vakum tersebut dihubungkan ke
tangki yang dipasang di truk dengan kapasitas bervariasi dari 1 m3 – 10 m3. Dengan cara
ini, truk dapat mengakses lahan, mengosongkan fasilitas tangki septik kemudian
langsung mengangkut lumpur ke pengolahan. Di negara berkembang, tangki vakum ini
sering dipasang di gerobak yang ditarik oleh traktor atau hewan. Versi ini jauh lebih
murah dan secara teknis sama dengan sistem yang dipasang di truk. Kekurangannya
adalah mobilitas yang berkurang karena kecepatan yang lebih lambat (Klingel et al,
2002).

2.4.2.2 Motor Tinja (Mini Vacuum Tugs)


Tempat tinggal di pusat Kota negara bekembang seringkali terletak di jalur yang sangat
sempit dan tidak bisa diakses oleh kendaraan yang besar. Unit penyedot yang dijelaskan
diatas menjadi tidak berguna dalam situasi seperti ini. Sebab itu, telah dikembangkan
unit penyedot yang lebih kecil diberbagai tempat. Peralatan ini terdiri dari tangki
dengan kapasitas 200 L – 500 L serta sebuah pompa vakum dengan motor atau
digerakkan dengan tangan. Alat ini bisa didorong dengan tangan atau digerakkan dengan
motor. Namun alat ini tidak sesuai untuk mengangkut lumpur tinja dalam jarak yang
jauh. Untuk itu solusi yang ideal dalam permasalahan tersebut adalah dengan
menggabungkan alat yang besar untuk situasi normal dan alat kecil untuk area-area yang
sulit diakses (Klingel et al, 2002).

2.4.3 Penentuan Lokasi IPLT


Penentuan lokasi IPLT harus memperhatikan beberapa aspek diantaranya kemudahan
tansportasi lumpur tinja dari daerah layanan ke lokasi IPLT serta merupakan lokasi yang
aman dari bencana seperti banjir, gempa bumi, gunung berapi, dan daerah rawan
longsor. Adapun kriteria penentu dalam menentukan lokasi IPLT antara lain adalah
(Dirjen Cipta Karya, 2017):
1. Jarak tempuh sarana pengangkutan dari wilayah pelayanan ke IPLT

II-
Jarak tempuh sarana pengangkutan dari wilayah pelayanan ke IPLT merupakan
salah satu faktor utama dalam menentukan lokasi IPLT. Lokasi IPLT yang
akan

II-
direncanakan diharapkan tidak terlalu jauh dengan lokasi pelayanan, karena
pelayanan yang diberikan akan semakin efisien apabila wilayah pelayanan yang
dilayani semakin dekat dengan lokasi IPLT.

2. Kemiringan lokasi IPLT


Kemiringan lahan merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi
pemilihan unit pengolahan lumpur tinja. Unit pengolahan lumpur tinja diutamakan
menggunakan pengaliran secara gravitasi, lahan yang memiliki kemiringan lahan
antara 16–25% merupakan lahan yang efektif sebagai lokasi IPLT.

3. Waktu tempuh sarana pengangkutan dari wilayah pelayanan ke IPLT


Waktu tempuh sarana pengangkutan dari wilayah pelayanan ke IPLT yang akan
direncanakan diharapkan tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama dari lokasi
pelayanan.

4. Tata guna lahan pada RTRW


Lokasi IPLT pada wilayah yang memiliki tata guna lahan sebagai lahan pertanian
dan lahan prasarana lingkungan merupakan lahan yang baik sebagai lokasi IPLT,
karena lahan pertanian paling minim menimbulkan dampak negatif pada penduduk
wilayah kota tersebut. Kriteria tata guna lahan yang dapat digunakan sebagai lokasi
IPLT terdiri dari lahan pertanian, perkebunan, industri, dan permukiman, dengan
area permukiman sebagai area yang paling dihindari sebagai lokasi IPLT.

5. Jarak lokasi IPLT dengan badan air penerima


Badan air penerima yang dimaksud dalam pedoman ini berupa badan air
permukaan, yang menjadi tempat penyaluran efluen yang telah diolah. Kriteria
pertimbangan lokasi lahan IPLT yang dibutuhkan merupakan jarak lokasi IPLT
dengan badan air penerima. Semakin dekat lokasi IPLT dengan badan air penerima,
semakin pendek pipa pembuangan air limbah yang dibutuhkan.

6. Legalitas lahan
Legalitas lahan merupakan parameter yang perlu dipertimbangkan dalam
menentukan lokasi IPLT. Kesesuaian lahan IPLT yang tertera dalam
RUTR/RTRW- nya, merupakan dukungan nyata dari Pemerintah Daerah
terhadap rencana

II-
penyelenggaraan SPALD khususnya rencana pengembangan IPLT. Kondisi
kepemilikan lahan yang akan digunakan sebagai lokasi IPLT hendaknya bukan
lahan yang bermasalah. Kepemilikan lahan diutamakan pada lahan yang dimiliki
Pemerintah Daerah. Dalam menentuk lokasi IPLT, perencana perlu menyesuaikan
lokasi IPLT dengan rencana pengembangan tata ruang wilayah.

7. Batas administrasi wilayah


Batas administrasi wilayah menjadi kriteria yang perlu dipertimbangkan karena
prasarana IPLT yang dibangun lebih baik terletak di dalam wilayah administrasi
atau regional yang akan direncanakan.

8. Jenis tanah
Faktor pertimbangan jenis tanah terbagi atas 3 buah indikator pertimbangan jenis
tanah. Tanah lempung mempunyai diameter kurang dari 0,002 mm. Tanah lanau
mempunyai diameter antara 0,002–0,053 mm. Pasir mempunyai diameter 0,053–2
mm. Semakin besar ukuran diameternya semakin kurang baik untuk pondasi suatu
struktur bangunan, termasuk struktur bangunan IPLT.

Tidak ada batasan wilayah untuk Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja harus berjarak dari
pemukiman. Hanya saja, berdasarkan Samsuhadi (2012), pemilihan lokasi IPLT di lahan
pertanian merupakan pilihan prioritas dikarenakan paling minim menimbulkan reaksi
negatif dari penduduk dan umumnya suatu kota persentasi pengembangan lahan
pertanian atau lahan lainnya lebih sedikit dibandingkan lahan pemukiman. Sehingga,
lahan selain lahan pemukiman dijadikan prioritas untuk mengefisienkan luas wilayah
suatu kota.

2.5 Teknologi Pengolahan Lumpur Tinja


2.5.1 Unit Pengolahan Pendahuluan
Pengolahan pendahuluan (preliminary treatment) merupakan tahap pertama dalam
pengolahan lumpur tinja untuk mengkondisikan karakteristik lumpur tinja dapat
diterima oleh unit pengolahan selanjutnya. Pengolahan ini berfokus pada proses fisika
yang menyisihkan suspended solid dalam jumlah besar dan material inert. Pengolahan
fisika digunakan untuk menyisihkan partikel dan gangguan yang dapat membahayakan
pipa serta peralatan lain. Unit pengolahan pendahuluan yang biasa digunakan adalah

II-
sebagai berikut (Dirjen Cipta Karya, 2017; Riffat R, 2013; Weiner RF and Robin M,
2003).

II-
2.5.1.1 Bar Screen
Penyaringan merupakan unit yang penting untuk digunakan pada tahap awal proses
pengolahan lumpur tinja. Unit ini bertujuan untuk menahan sampah/benda-benda padat
besar yang terbawa dalam lumpur tinja agar tidak mengganggu dan mengurangi beban
pada sistem pengolahan selanjutnya. Sampah/benda padat besar yang biasa ditemukan
dalam lumpur tinja, diantaranya plastik, kain, kayu, dan kerikil.

Tabel 2.4 Kriteria Desain Manual Bar Screen


Parameter Satuan Nilai
Kecepatan aliran lewat bukaan, v m/detik 0,3 – 0,6
Jarak bukaan, b mm 25 – 50
Kemiringan thd. horizontal, θ derajat 45 – 60
Kehilangan tekanan lewat bukaan,
mm 150
HLbukaan
Kehilangan tekanan maks.
mm 800
(clogging), HLmax
Sumber: Dirjen Cipta Karya, 2017

2.5.1.2 Grit Chamber


Grit didefinisikan sebagai pasir, gravel dan material mineral lain yang diameternya lebih
kecil dari 0,15 – 0,20 mm. Grit chamber merupakan unit operasi yang dirancang untuk
memisahkan partikel diskrit dan partikel anorganik (grit) yang memiliki specific gravity
lebih besar dari padatan tersuspensi dalam air limbah. Dalam lumpur tinja, jenis grit
yang biasa ditemukan diantaranya pasir, kerikil, bebatuan, tanah, biji-bjian, dan material
lain yang tidak terdekomposisi.

Tabel 2.5 Kriteria Desain Horizontal-Flow Grit Chamber


Parameter Satuan
Nilai
Specific gravity material grit -
1,3 – 2,7
Waktu detensi, td detik
45 - 90
Kecepatan horizontal, vs m/detik
0,24 – 0,4
Kecepatan pengendapan, vs
m/
- Diameter 0,21 mm 1,0 – 1,3
menit
- Diameter 0,12 mm 0,6 – 0,9
m/meni
Persentase head loss dalam bak
kontrol terhadap %
30 - 40
kedalaman saluran
Overflow rate debit maksimum, m3 /m2 .detik 0,021 – 0,023
OR
Sumber: Metcalf & Eddy, 2003

II-
2.5.1.3 Grease Trap
Pada umumnya, grease trap terdiri dari dua kompartemen. Kompartemen pertama
berfungsi untuk menyisihkan berbagai jenis padatan dalam lumpur tinja: padatan dengan
berat jenis lebih berat dari air akan mengendap sedangkan padatan dengan berat jenis
lebih ringan dari air (seperti minyak dan lemak) akan mengapung di permukaan air.
Selanjutnya, kompartemen kedua berfungsi untuk memastikan bahwa minyak dan lemak
tetap tertahan di dalam sistem dan tidak ikut terbawa air limbah mengalir menuju unit
pengolahan selanjutnya. Minyak dan lemak yang tertahan tersebut harus dibersihkan
secara berkala untuk menjaga kebersihan unit dan mencegah terjadinya penyumbatan.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa grease trap mampu menyisihkan hingga 80%
minyak dan lemak. Disarankan kecepatan aliran dalam grease trap 2-6 m/jam dan waktu
tinggal 5-20 menit.

2.5.1.4 Bak Ekualisasi


Lumpur tinja yang masuk ke dalam IPLT memiliki konsentrasi polutan yang berbeda-
beda dan debit influen yang masuk ke IPLT berfluktuasi, khususnya pada IPLT dengan
kapasitas debit influen yang besar. Bak ekualisasi berfungsi untuk menyamakan debit
dan karakteristik influen lumpur tinja yang masuk sehingga mengoptimalkan waktu
yang dibutuhkan untuk proses pengolahan sekunder dan lanjutan. Proses pemerataan
konsentrasi air limbah dalam bak ekualisasi dapat dilakukan menggunakan baffle pada
titik influen, turbin, aerasi dengan diffuser atau aerator, untuk mencegah terbentuknya
padatan tersuspensi pada dasar bak. Selain itu, proses tersebut berpotensi meningkatkan
konsentrasi DO dan mengurangi beban organik (BOD) dalam lumpur tinja.

Tabel 2.6 Kriteria Desain Bak Ekualisasi

Parameter Satuan Nilai


Kedalaman air minimum m 1,5 – 2
Kemiringan - 3:1 sampai 2:1
- Untuk air limbah dengan konsentrasi padatan tersuspensi ≥ 210 mg/l, diperlukan
pengaduk 0,004 – 0,008 kW/m3
- Untuk menjaga kondisi aerobik, dibutuhkan suplai udara 0,01 – 0,015
Sumber: Metcalf & Eddy, 2003
m3/m3.menit

II-
Gambar 2.1 Bak Ekualisasi

2.5.2 Unit Pemekatan dan Stabilisasi Lumpur


Unit pemekatan lumpur bertujuan untuk meningkatkan konsentrasi padatan dalam
lumpur dengan cara memisahkan fase padatan dan cairan. Sedangkan pada unit
pemekatan dan stabilisasi lumpur, selain untuk memisahkan kedua fase tersebut, juga
bertujuan untuk mereduksi bakteri patogen dan mengontrol proses pembusukan materi
organik. Stabilisasi lumpur dapat dilakukan secara biologis, kimia, dan/atau fisik.
Terdapat berbagai teknologi yang digunakan untuk proses pemekatan dan proses
pemekatan sekaligus stabilisasi lumpur, diantaranya sebagai berikut (Dirjen Cipta
Karya, 2017).

2.5.2.1 Gravity Thickener


Gravity sludge thickener merupakan unit pemekatan berupa tangki berbentuk lingkaran
dengan dasar tangki berbentuk kerucut yang dilengkapi bak pengumpul lumpur dan/atau
scraper. Padatan akan mengendap ke dasar tangki dengan memanfaatkan sistem
gravitasi, dan scraper secara perlahan mendorong hasil endapan menuju pipa
pembuangan yang ada di dasar tangki. Selanjutnya, supernatan yang dihasilkan akan
mengalir keluar melalui v-notch weir yang terletak pada sisi atas tangki menuju clarifier.
Beberapa unit thickener dilengkapi skimmer untuk mengumpulkan dan menyisihkan
scum (terutama lemak) yang terakumulasi pada permukaan tangki.

Tabel 2.7 Kriteria Desain Gravity Thickener

Parameter Satuan Nilai

Kedalaman m 3–4
Waktu detensi maksimum jam 24
Kemiringan dasar tangki - 2:12 sampai 3:12
Sumber: Qasim, 1999 dalam Dirjen Cipta Karya, 2017

II-
2.5.2.2 Anaerobic Digestion
Anaerobic digestion merupakan proses pengolahan biologis di mana mikroorganisme
anaerobik menstabilisasi materi organik dan menghasilkan biogas. Digestion terjadi
ketika bahan organik terurai di lingkungan bebas oksigen. Beberapa sistem digester
membedakan antara digester "basah" dan "kering", atau sistem low solid dan high solid,
dan terkadang prosesnya disebut fermentasi. Bahasa berbeda yang digunakan untuk
menggambarkan proses yang sama mencerminkan penggunaan historis yang bervariasi
dan perkembangan anaerobic digestion (US EPA, 2015).

2.5.2.2.1 Anaerobic Digester


Anaerobic digester biasanya beroperasi dalam rentang suhu mesofilik (35-40 oC)
sehingga pengolahan ini cocok digunakan pada daerah tropis. Terdapat dua jenis
anaerobic digestion, yaitu Standard-Rate Digestion dan High-Rate Digestion. Standard-
Rate Digestion biasanya berlangsung tanpa pemanasan dan pengadukan sehingga akan
terbentuk lapisan scum, supernatan, padatan yang sedang melalui proses digestion, dan
padatan yang telah melalui proses digestion. Untuk mempermudah proses pengendapan,
bagian dasar tangki dirancang berbentuk kerucut (cone). Sedangkan High-Rate
Digestion biasanya berlangsung dengan pemanasan dan pengadukan merata. Sistem ini
membutuhkan waktu untuk proses digestion yang lebih singkat dan dapat menerima
beban padatan yang lebih besar dari Standard-Rate Digestion. (Dirjen Cipta Karya,
2017).

Gambar 2.2 Anaerobic Digester Standart Rate Digestion

II-
Gambar 2.3 Anaerobic Digester High Rate Digestion

Tabel 2.8 Kriteria Desain Anaerobic Digester


Parameter Satuan Standard-Rate High-Rate
Waktu retensi padatan, SRT Hari 30 – 60 10 – 20
Beban solid KgVS/m3.hari 0,64 – 1,60 2,40 – 6,41
Dimensi
- Kedalaman mm 7 – 14
- Diameter - 6 – 40
- Kemiringan dasar 4:1
Sumber: Dirjen Cipta Karya, 2017

Adapun tipe anaerobic digester berdasarkan kandungan total solid yang terdapat di
dalam substrat dikategorikan menjadi sistem kering dan sistem basah. Pada digester
sistem kering, substrat ditumpuk di dalam digester dan tidak terendam di dalam air.
Berdasarkan cara pengisian bahan baku, anaerobic digester dapat dilakukan dengan
batch atau continuous. Anaerobic digester dengan sistem continuous merupakan sistem
dengan bahan baku ditambahkan secara teratur. Sedangkan sistem batch merupakan
sistem dengan mengisi reaktor dengan bahan baku kemudian ditutup dan ditunggu
dalam beberapa waktu, lalu dikosongkan dan baru dapat diisi kembali (Mareta A, 2020).

II-
Tabel 2.9 Anaerobic Digester Sistem Basah
Keterangan Fixed Dome Floating Dome Tubular
Berbentuk seperti balon
Berbentuk terbuat dari plastik atau
Desain Berbentuk silinder
kubah tertutup karet
Di bawah tanah dengan
Letak Di bawah tanah Di bawah tanah kemiringan 5%
Biaya konstruksi rendah Operasional sederhana Biaya konstruksi rendah
Tidak ada bagian dan mudah Volume Mudah ditransportasikan
Kelebihan yang bergerak gas yang dihasilkan Pengosongan dan
Umur pakai panjang terlihat jelas Tekanan pemeliharaan sederhana
Sederhana gas konstan
Umur pakai rendah
Sangat rentan terjadi
Berpotensi Biaya konstruksi mahal kerusakan
Kekurangan
terjadi Umur pakai pendek Akumulasi lumpur sulit
kebocoran dibersihkan
Sumber: Mareta A, 2020

2.5.2.2.2 Tangki Imhoff


Tangki imhoff digunakan untuk memisahkan suspended solid dari fase liquid dengan
menggunakan gaya gravitasi. Bangunan ini dapat digunakan untuk dua hal, yakni
sebagai satu - satunya bangunan untuk pengendapan yang mana fungsinya untuk
menghilangkan padatan, minyak, lemak, dan material lain yang mengapung serta sedikit
beban organik atau dapat juga digunakan untuk unit pengendapan dan pengolahan
biologis yang mana juga dapat mereduksi beban organik (Putri NC, 2015). Kelebihan
dari teknologi ini adalah operasi dan pemeliharaan mudah sehingga tidak membutuhkan
operator dengan keahlian khusus, dapat bertahan ketika aliran debit masuk sangat
berfluktuasi serta menyisihkan padatan untuk mengurangi potensi penyumbatan. Tangki
Imhoff merupakan unit pengolahan primer dalam sistem pengolahan air limbah yang
mengkombinasikan dua jenis pengolahan dalam satu sistem, yaitu pengendapan dan
digesti lumpur. Proses pengendapan lumpur berlangsung pada kompartemen atas,
sedangkan proses digesti lumpur berlangsung pada kompartemen bawah.

Dinding tangki yang didesain miring bertujuan untuk mencegah gelembung-gelembung


gas hasil proses digesti anaerobik mengganggu proses pengendapan. Padatan yang
terendapkan pada dasar tangki akan distabilisasi melalui proses digesti dan pemekatan.
Selanjutnya, lumpur yang terdigesti dibersihkan secara berkala untuk kemudian diolah
(pembersihan hanya dilakukan pada lumpur yang telah terdigesti dan menyisakan
lumpur

II-
aktif untuk menjaga aktivitas mikroba). Sedangkan supernatan yang dihasilkan dialirkan
ke unit stabilisasi cairan. Tangki Imhoff mampu mengolah air limbah domestik dengan
beban yang tinggi, kemampuan reduksinya mencapai 50-70% TSS, 25-50% COD, 10-
40% BOD, dan berpotensi menghasilkan stabilisasi lumpur yang baik (Dirjen Cipta
Karya, 2017).
Tabel 2.10 Kriteria Desain Tangki Imhoff
Parameter Satuan Nilai
Total kedalaman m 7-9,5
Ruang sedimentasi
- Waktu detensi jam 2-4
- Rasio p:l - 2:1 – 5:1
- Kemiringan thd. Horizontal derajat 50-60
- Lebar bukaan dasar m 0,15-0,3
- Panjang yang dilebihkan pada salah satu sisi m 0,15-0,3
menggantung
- Freeboard m 0,45-0,6
Ruang pencerna
- Waktu detensi hari 30-60
- Kemiringan thd. Horizontal derajat 30-45
- Kedalaman m 3-4,5
Ruang ventilasi
- Luas permukaan % dari total luas permukaan 15-30
- Lebar m 0,45-0,76
Sumber: Dirjen Cipta Karya, 2017

2.5.2.2.3 Proses yang Terjadi dalam Sistem Anaerobik


Proses biologis dalam sistem anaerobic terbagi dalam tiga fase, yaitu: hidrolisis,
asidogenesis, dan metanogenesis. Pada fase hidrolisis, molekul kompleks seperti
protein, selulosa, lipid, dan molekul organik lainnya dilarutkan menjadi glukosa, asam
amino, dan asam lemak. Selanjutnya, fase asidogenesis, organisme pembentuk asam
fakultatif menggunakan energi dari materi organik terlarut untuk membentuk asam
organik sehingga terjadi perubahan jumlah material organik dalam sistem dan
penurunan nilai pH. Pada fase terakhir, metanogenesis, terjadi konversi asam organik
volatil menjadi gas metan dan karbon dioksida. Pembentukan gas metan sangat sensitif
terhadap kondisi pH, komposisi substrat, dan suhu. Jika pH turun kurang dari 6,0,
pembentukan metan akan terhenti, meningkatkan jumlah asam yang terakumulasi, dan
menyebabkan terhentinya proses digestion. Oleh karena itu, pengukuran pH dan asam
merupakan parameter penting dalam operasional anaerobic digestion (Dirjen Cipta
Karya, 2017).

II-
Gambar 2.4 Langkah-Langkah Metabolisme yang Terjadi
Dalam Biotransformasi Anaerobik
Sumber: Riffat R, 2013

Lima kelompok bakteri terlibat dalam proses ini, yaitu (Riffat R, 2013):
1. Bakteri fermentasi: kelompok ini bertanggung jawab untuk dua tahap pertama dari
konversi anaerobic yaitu hidrolisis dan asidogenesis. Spesies yang umumnya
ditemukan pada kelompok ini adalah family dari Steptococcus dan Enterobacter serta
genera dari Clostridium eubacterium.
2. Bakteri asetogenik penghasil hidrogen: bakteri ini mengkatabolisme gula, alkohol
dan asam organik menjadi asam asetat dan karbon dioksida. Bakteri ini termasuk
Syntrophobacter wolinii dan Syntrophomonus wolfei.
3. Bakteri asetogenik atau homoasetogenik pemakan hydrogen: bakteri ini
menggunakan hidrogen dan karbon dioksida untuk menghasilkan asetat. Mereka
termasuk Clostridium aceticum dan Butyribacterium methylotrophicum.
4. Metanogen pereduksi karbon dioksida: metanogen ini menggunakan hidrogen dan
karbon dioksida untuk menghasilkan metana.
5. Metanogen asetat: pada proses ini asetat dibelah menjadi metana dan karbon dioksida.

II-
2.5.2.2.4 Hasil Pengolahan dengan Anaerobic Digestion
Produk utama yang dihasilkan dari proses pada anaerobic digestion adalah biogas dan
digestate yang merupakan produk yang bermanfaat dan bernilai ekonomis (Darwin,
2018).
a. Biogas
Biogas adalah gas yang bersifat mudah terbakar yang berasal dari proses fermentasi
bahan organik akibat aktivitas bakteri anaerob. Biogas dapat dimanfaatkan sebagai
sumber energi alternatif terutama bahan bakar, seperti bahan baku pembangkit
listrik, pemanas ruangan, dan pemanas air (Hardoyo dkk, 2014). Konsentrasi
metana di dalam biogas sangat dipengaruhi oleh komposisi bahan baku, konsorsium
mikroorganisme, dan kondisi operasional di dalam reaktor. Penggunaan gas dengan
jumlah metana sebesar 30-50% dapat digunakan langsung sebagai bahan bakar,
disalurkan melalui sistem perpipaan, dan menjadi sumber pembangkit listrik melalui
generator (Damanhuri dan Padmi, 2016).

Tabel 2.11 Perbandingan Nilai Energi Biogas dengan Bahan Bakar Lain

Biogas Bahan Bakar


Lain
6 kWh energi listrik
0,62 L minyak tanah
3
1m
0,52 L minyak solar atau diesel
0,46 kg elpiji
3,5 kg kayu bakar
Sumber: Pertiwiningrum, 2015

b. Digestate
Hasil samping dari proses anaerobic digester adalah digestate yang dapat
dimanfaatkan sebagai pupuk karena mengandung unsur hara bagi tanaman. Bentuk
dari digestate dari pengolahan dengan menggunakan anaerobic digester sistem
kering berupa campuran padatan, karena memiliki kadar air yang lebih rendah,
sedangkan pada sistem basah akan menghasilkan digestate dalam bentuk cairan
(Environmental Canada, 2013). Dalam digestate mengandung nutrien yang spesifik,
tergantung bahan baku yang digunakan. Kandungan nutrien yang terdapat pada
digestate antara lain nitrogen, fosfat, kalium oksida, magnesium, dan sulphur
(Mareta A, 2020).

II-
2.5.2.3 Solid Separation Chamber
Solid Separation Chamber (SSC) merupakan unit pemekatan yang mengandalkan proses
fisik dalam memisahkan padatan-cairan dari lumpur tinja. Pada dasarnya, konsep
pengolahan pada sistem SSC menyerupai sistem yang ada pada sludge drying bed.
Proses pemisahan padatan-cairan yang berlangsung pada kolam SSC dilakukan melalui
sistem filtrasi (biasanya digunakan media pasir dan kerikil) dan evaporasi
(memanfaatkan panas matahari). Lumpur tinja dihamparkan di atas media filter dan
akan terjadi proses filtrasi, di mana padatan akan tertahan pada media dan cairan akan
mengalir secara gravitasi melalui celah media. Selanjutnya, filtrat dialirkan menuju unit
stabilisasi cairan melalui sistem perpipaan yang terletak di bawah unit SSC. Sementara
padatan terendapkan, ketika dianggap sudah cukup kering, dikeruk dan dipindahkan ke
drying area untuk pengeringan lebih lanjut.

Tabel 2.12 Kriteria Desain Solid Separation Chamber


Parameter Satuan
Nilai
Ukuran bak
- Lebar m
- Panjang 8
Area dibutuhkan m 3
- SSC tanpa penutup atap m/2

- SSC dengan penutup atap kapita 0,14 – 0,28


Waktu pengeringan cake m2hari
/kapit 0,10 – 0,20
Waktu pengambilan cake hari 12 - 15
matang 1
Ketebalan cake cm
Ketinggian media filter 10 – 30
- Pasir 20 – 30
c
- Kerikil m 20 -30
Kadar air %c 20
Kadar solid % 80
Kemiringan dasar - 1:20
Kemiringan dasar pipa % 1
Sumber: Permen PUPR No. 4 Tahun 2017

2.5.3 Unit Stabilisasi Cairan


Unit stabilisasi cairan berfungsi untuk menyisihkan partikel organik terlarut dan koloid
serta melanjutkan penyisihan padatan tersuspensi. Pada umumnya, proses stabilisasi
cairan dilakukan dengan pengolahan biologis, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk
mengolahnya dengan pengolahan fisik, kimia, atau kombinasi ketiganya sehingga

II-
tercapai baku mutu yang ditetapkan. Terdapat berbagai unit pengolahan stabilisasi cairan
diantaranya adalah sebagai berikut (Dirjen Cipta Karya, 2017).

2.5.3.1 Anaerobic Baffle Reactor


Anaerobic Baffle Reactor (ABR) merupakan unit pengolahan biologis dengan metode
pengolahan suspended growth yang memodifikasi tangki septik dengan menambahkan
sekat-sekat (baffle). Sekat pada ABR berfungsi sebagai pengaduk (melalui aliran upflow
dan downflow) untuk meningkatkan kontak antara air limbah domestik dan
mikroorganisme. ABR menggabungkan proses sedimentasi dan penguraian material
organik oleh mikroorganisme dalam satu sistem, di mana proses sedimentasi terjadi pada
kompartemen pertama dan proses penguraian material organik pada beberapa
kompartemen selanjutnya Adapun fungsi dari unit anaerobic baffle reactor untuk
mengendapkan padatan dan menyisihkan material organik dalam satu sistem.

Anaerobic Baffle Reactor (ABR) secara prinsipnya merupakan kombinasi antara septic
tanks, reactor moving bed, dan reactor up-flow anaerobic sludge blanket. ABR sangat
efisien digunakan untuk mengolah air limbah dengan kandungan organik yang tinggi
dengan persentase padatan tidak terendap yang tinggi dan rasio COD/BOD yang kecil.
ABR mampu menurunkan 70–90% BOD dan 72– 95% COD . Operasi ABR 2 baffle
juga dapat berlangsung dalam waktu tinggal 2 kali lebih singkat dibanding jika
digunakan septic tank bervolume yang sama untuk dapat menghasilkan besar penurunan
Total Suspended Solid (TSS), COD dan BOD sama. Waktu tinggal dibutuhkan
pengoperasian ABR 39% lebih singkat dibandingkan UASB. (Sasse, L. 2008 dalam
Assidiqy, 2017).

Tabel 2.13 Kriteria Desain Anaerobic Baffle Reactor

Parameter Satuan Nilai


Debit desain m3/hari 2 – 200
Waktu retensi hidraulik jam 12 – 96
Kecepatan upflow m/jam < 0,6
Jumlah kompartemen buah 3–6
Efisiensi penyisihan
BOD COD % 70 – 95
% 65 – 90
Sumber: Tilley et al., 2014 dalam Dirjen Cipta Karya, 2017

II-
2.5.3.2 Kolam Aerasi
Kolam aerasi merupakan unit pengolahan air limbah berupa kolam terbuka yang
dilengkapi dengan aerator untuk memenuhi kebutuhan oksigen. Proses aerasi yang
dilakukan secara mekanis berpotensi meningkatkan efisiensi degradasi material organik
dan penyisihan bakteri patogen dengan waktu retensi yang relatif singkat, yaitu 2–6 hari.
Waktu retensi dalam kolam aerasi kurang dari 2 hari tidak direkomendasikan karena
terlalu singkat untuk proses pembentukan flok. Kolam aerasi pada dasarnya termasuk
dalam sistem lumpur aktif, tetapi tidak menerapkan resirkulasi lumpur. Efisiensi
penyisihan BOD dari hasil pengolahan pada kolam aerasi mampu mencapai lebih dari
90%.

Tujuan utama proses aerasi ialah agar O2 di udara dapat bereaksi dengan kation yang ada
di dalam air olahan. Reaksi kation dan oksigen menghasilkan oksidasi logam yang sukar
larut dalam air sehingga dapat mengendap. Manfaat yang didapat dari proses ini yaitu
menghilangnya rasa serta bau tidak enak, menghilangnya gas-gas yang tidak dibutuhkan
(CO2, methane, hydrogen sulfida), meningkatnya derajat keasaman air (karena kadar
CO2 dihilangkan) (Yuniarti dkk, 2019).

Tabel 2.14 Kriteria Desain Kolam Aerasi

Parameter Satuan Nilai


Waktu retensi hari 2–6
Kedalaman m 3–5
Laju beban volumetrik gBOD/m3.hari 20 – 30
Sumber: Mara, 2003; Tilley et al, 2004 dalam Dirjen Cipta Karya, 2017

2.5.3.3 Oxidation Ditch


Oxidation Ditch (OD) merupakan salah satu unit hasil modifikasi sistem lumpur aktif.
Pada unit ini, proses pengolahan air limbah dilakukan secara biologis dengan
memanfaatkan mikroorganisme yang menjadikan senyawa polutan sebagai sumber
makanan mereka. Mikroorganisme tersebut tumbuh dalam kondisi aerobik secara
tersuspensi dan tidak melekat pada media. Pengolahan dengan OD terdiri dari tiga
bagian utama, yang terdiri dari tangki aerasi, tangki pengendapan (clarifier), dan
resirkulasi lumpur. Pada prinsipnya sistem oxidation ditch adalah extended aeration
yang semula dikembangkan berdasarkan saluran sirkular dengan kedalaman 1-1,5 m
yang dibangun

II-
dengan pasangan batu. Air diputar mengikuti saluran sirkular yang cukup panjang untuk
tujuan aerasi dengan alat mekanik rotor seperti sikat baja yang berbentuk silinder.

Dari bak aerasi, lumpur campuran/mixed liquor suspended solids (MLSS) dialirkan ke
tangki pengendap sekunder, di mana biomassa akan mengendap dan menghasilkan
kualitas air yang lebih bersih. Cairan efluen yang sudah dalam kondisi lebih jernih
mengalir melalui weir pada clarifier. Sedangkan sebagian endapan biomassa
diresirkulasi menggunakan pompa resirkulasi menuju tangki aerasi untuk dicampur
kembali dengan influen air limbah untuk mendegradasi beban organik seperti pada
proses awal. Sistem OD membutuhkan waktu retensi yang panjang untuk menyisihkan
padatan organik yang dapat didegradasi secara biologis

Tabel 2.15 Kriteria Desain Oxidation Ditch

Parameter Satuan Nilai


Waktu retensi solid (SRT) hari 4 – 48
Waktu retensi hidraulik (HRT) jam 16 – 24
Rasio F/M kgBOD/hari.kgVSS 0,03 – 0,015
Konsentrasi lumpur dalam bak
mg/l 3000 – 6000
aerasi, MLSS
Beban volumetrik kgBOD/m3.hari 0,1 – 0,3
Laju overflow m3/m2.hari 8 – 16
Laju beban padatan pada tangki kgMLSS/m2 .hari 1–5
pengendapan, SLR
Waktu aerasi jam 18 – 36
Rasio resirkulasi, Qr/Q - 0,5 - 20
Sumber: Metcalf & Eddy, 2003

2.5.3.4 Kolam Fakultatif


Terdapat dua jenis kolam fakultatif, yaitu kolam fakultatif primer untuk mengolah air
limbah belum diolah dan kolam fakultatif sekunder untuk mengolah air limbah yang
telah melalui proses pengolahan sebelumnya (biasanya dari kolam anaerobik). Kolam
fakultatif didesain untuk menyisihkan beban BOD permukaan rendah (100-400
kgBOD/ha.hari) dengan menggunakan alga yang tumbuh secara alami di permukaan
kolam. Keberadaan alga pada kolam fakultatif membantu proses penyisihan BOD
melalui oksigen yang dihasilkan dari proses fotosintesis.

II-
Tabel 2.16 Kriteria Desain Kolam Fakultatif
Parameter Satuan Nilai
Waktu detensi, θf hari ≥4

Efisiensi penurunan BOD, η % 70 – 90

Kedalaman, Df m 1,5 – 1,2

Rasio panjang dan lebar, P:L - (2-3):1

Periode pengurasan tahun 5 – 10


Sumber: Mara, 2003 dalam Dirjen Cipta Karya, 2017

2.5.4 Unit Penghilangan Organisme Patogen


Untuk menghasilkan efluen yang aman dan memenuhi baku mutu air limbah domestik,
proses penyisihan organisme patogen dalam pengolahan air limbah domestik merupakan
tahap yang penting untuk dilakukan. Penyisihan telur cacing, bakteri, dan virus
umumnya dapat dicapai melalui proses pengolahan alami, seperti kolam maturasi dan
constructed wetland (Dirjen Cipta Karya, 2017).

2.5.4.1 Kolam Maturasi/Polishing


Fungsi utama dari kolam maturasi adalah mereduksi jumlah bakteri patogen. Oleh
karena itu, kolam maturasi didesain memiliki kedalaman yang lebih dangkal
dibandingkan sistem kolam lainnya (kolam anaerobik dan kolam maturasi), yaitu 1–2 m.
Semakin dangkal kedalaman kolam memungkinkan peningkatan efisiensi penyisihan
bakteri patogen dan virus melalui penetrasi cahaya. Namun, pada kolam maturasi,
proses penyisihan BOD, padatan tersuspensi, dan nutrien (nitrogen dan fosfor)
berlangsung lambat. Faktor-faktor yang penting untuk diperhatikan pada unit kolam
maturasi, diantaranya waktu tinggal, pH, intensitas cahaya, dan kadar oksigen terlarut
(DO).

Tabel 2.17 Kriteria Desain Kolam Maturasi

Parameter Satuan Nilai


Waktu detensi, θm hari 3
Efisiensi penurunan BOD, η % >60
Kedalaman, Dm m 1–2
Rasio panjang dan lebar, P:L - hingga 10:1
Beban BOD volumetric 3
gBOD/m .hari 40 – 60
Sumber: Mara, 2003 dalam Dirjen Cipta Karya, 2017

II-
2.5.4.2 Constructed Wetland
Constructed wetland (lahan basah buatan) merupakan suatu area yang dirancang
sehingga menyerupai lahan basah alami (rawa) untuk mengolah air limbah domestik
dan/atau air limbah industri yang memiliki rasio BOD/COD >0,3 (mengindikasikan
biodegradable). Sistem ini tergolong sebagai metode pengolahan yang kompleks karena
mengintegrasikan bermacam-macam sistem, meliputi vegetasi lahan basah, tanah, dan
berbagai jenis organisme yang ada di dalamnya untuk mengolah air limbah. Sistem ini
umumnya digunakan sebagai pengolahan lanjutan setelah proses pengolahan tahap
kedua atau ketiga.

Proses pengolahan yang terjadi pada constructed wetland meliputi proses filtrasi,
sedimentasi dan pengolahan biologis. Aliran pada sistem ini dirancang memiliki
kecepatan aliran yang rendah, agar memungkinkan terjadinya proses pengendapan
partikel-partikel yang terkandung dalam air limbah. Selain itu, kecepatan aliran yang
rendah dapat memperpanjang waktu kontak antara air limbah dan permukaan lahan
basah di mana organisme-organisme dan vegetasi menggunakan senyawa organik
sebagai sumber nutrien mereka, dan berlangsung proses destruksi pathogen.

Tabel 2.18 Spesifikasi Desain Constructed Wetland


Komponen Kriteria Desain
Dasar wetland  Lapisan tanah liat dengan permeabilitas K = 10 -6 cm/s
 Lapisan geomembran
 Gravel halus diameter (12–20 mm)
Material filter
 Gravel kasar diameter (20–40 mm)
 Akar wangi;
 Cat tail;
 Papyrus;
 Typhaa;
 Phragmites communis;
Tanaman yang  Khana sp.;
dapat digunakan  Echinodorus palaefolius;
 Nympheae;
 Water hyacinth; atau
 Tumbuhan famili Typhaceae yang dapat ditemukan di area
perencanaan
Kedalaman air limbah <90 cm (75 cm)
Kedalaman bak 120 – 150 cm
Freeboard 30 cm
Side slope 3:1 sampai 10:1
Sumber: UN Habitat, 2008 dalam Dirjen Cipta Karya, 2017

II-
2.5.5 Unit Pengeringan Lumpur
Stabilisasi lumpur bertujuan untuk mereduksi bakteri patogen, menghilangkan bau,
mengontrol proses pembusukan materi organik dalam lumpur. Stabilisasi lumpur apat
dilakukan secara biologis, kimia, atau fisik. Terdapat berbagai metode pengolahan
stabilisasi lumpur, tetapi umumnya dilakukan secara biologis dengan sistem anaerobik.
Pengolahan secara anaerobik dinilai efisien karena tidak membutuhkan energi listrik dan
tidak menggunakan bahan kimia (Dirjen Cipta Karya, 2017).

2.5.5.1 Sludge Drying Bed


Sludge drying bed (SDB) merupakan teknik pengeringan lumpur yang paling banyak
digunakan. Jenis lumpur yang dapat dikeringkan dengan SDB adalah lumpur yang telah
stabil (telah melalui proses digestion). Apabila lumpur tinja yang diolah masih muda,
lumpur akan terdekomposisi secara anaerobik dan berpotensi menimbulkan bau. Dalam
penggunaan unit SDB, perlu diperhatikan jumlah penduduk yang dilayani dan
ketersediaan lahan karena semakin banyak jumlah penduduk yang dilayani maka lahan
yang dibutuhkan lebih luas dan jumlah pekerja yang dibutuhkan semakin meningkat

Pengeluaran air lumpur dilakukan melalui media pengering secara gravitasi dan
penguapan sinar matahari. Lumpur yang berasal dari pengolahan air limbah secara
langsung tanpa proses pemekatan terlebih dahulu dapat dikeringkan dengan drying bed.
Deskripsi bak pengering berupa bak dangkal berisi media penyaring pasir setinggi 10-20
cm dan batu kerikil sebagai penyangga pasir antara 20-40 cm, serta saluran air tersaring
(filtrat) di bagian bawah bak. Pengurangan kandungan air dalam lumpur menggunakan
sistem pengeringan alami dengan matahari, maka air akan keluar melalui saringan dan
penguapan. Pada mulanya keluarnya air melalui saringan berjalan lancar dan kecepatan
pengurangan air tinggi, tetapi jika bahan penyaring (pasir) tersumbat maka proses
pengurangan air hanya tergantung kecepatan penguapan. Kecepatan pengurangan air
pada bak pengering lumpur seperti ini bergantung pada penguapan dan penyaringan, dan
akan sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca seperti suhu, kelembaban, kecepatan angin,
sinar matahari, hujan, ketebalan lapisan lumpur, kadar air, sifat lumpur yang masuk dan
struktur kolam pengeringan. Waktu pengeringan biasanya antara 3-5 hari (Ummah,
2018).

II-
Tabel 2.19 Kriteria Desain Sludge Drying Bed

Nilai
Parameter
Ukuran
bak 8m
Leb 30 m
ar
Area yang dibutuhkan
0,14 – 0,28 m2/kapita
SDB tanpa penutup atap
0,10 – 0,20 m2/kapita
SDB dengan penutup atap
Sludge loading rate
100-300 kg lumpur kering/m2.tahun
SDB tanpa penutup atap
SDB dengan penutup atap 150-400 kg lumpur kering/m2.tahun
Sludge cake 20 – 40% padatan

Kemiringan dasar 1:20

Kemiringan dasar pipa 1%


Sumber: Qasim, 1999 dalam Dirjen Cipta Karya, 2017

2.5.5.2 Belt Filter Press


Prinsip kerja belt filter press adalah dengan melewatkan lumpur diantara dua poros
sabuk yang digulung dan dipasang dengan diameter poros yang berbeda. Belt filter
press terdiri dari empat zona, yaitu zona polymer, conditioning, zona drainase dengan
grafitasi, zona tekanan rendah, dan zona tekanan tinggi. Tipe dan karakteristik dari
residu memegang peranan penting dalam performa belt filter press. Faktor lain yang
mempengaruhi diantaranya adalah sludge conditioning, belt pressure, kecepatan,
tegangan, tipe, dan perforasi dari sabuk (AWWA/ASCE.U.S. EPA, 1996 dalam Pratami,
2011).

Tabel 2.20 Kriteria Desain Belt Filter Press


Parameter Satuan Nilai

Lebar sabuk m 0,5 - 3,5 (2,0)


Beban lumpur kg/m.jam 90 - 680
Beban hidraulik l/m.detik 1,6 - 6,3
Sumber: Metcalf & Eddy, 2003

2.5.5.3 Filter Press


Filter press banyak digunakan untuk menurunkan kadar air (dewatering) dalam lumpur
yang telah maupun belum melalui proses digestion. Filter vakum pada dasarnya terdiri
dari drum silinder horizontal yang dilapisi media filter (kain atau anyaman kawat) dan
berputar secara perlahan melewati bak lumpur (Gumerman & Burris, 1982 dalam Dirjen

II-
Cipta Karya, 2017). Komponen pendukung lain untuk unit filter press, diantaranya
pompa

II-
vakum, penampung dan pompa filtrat, dan pompa lumpur. Drum filter dibagi menjadi
tiga zona terpisah yang dihubungkan dengan katup berputar menggunakan pipa. Ketiga
zona tersebut adalah zona pembentukkan cake, zona pengeringan cake, dan zona
pembuangan cake.

Tabel 2.21 Kriteria Desain Filter Press

Parameter Satuan Nilai


Luas area media vakum m2 5 – 60
Kebutuhan pompa udara (umumnya) m3/menit.m2 pada 69 KN/m2 0,5
Sumber: Qasim, 1999 dalam Dirjen Cipta Karya, 2017

II-
BAB III
METODE PERANCANGAN

3.1 Umum
Perancangan ini bertujuan untuk merencanakan instalasi pengolahan lumpur tinja di
Perumahan Citra Wisata, Medan. Data yang akan digunakan pada perancangan ini
adalah data sekunder yang berasal dari Perumahan Citra Wisata dan IPLT PDAM
Tirtanadi Cemara. Adapun pelaksanaan dalam perencanaan akan diuraikan sebagai
berikut.

3.2 Waktu dan Tempat


Waktu pelaksanaan tugas akhir ini dimulai pada pertengahan bulan Oktober tahun 2020
hingga bulan April 2021. Lokasi perencanaan ini akan dilakukan di Perumahan Citra
Wisata.

3.3 Diagram Alir


Diagram alir ini disusun dengan tujuan untuk:
1. Sebagai gambaran awal tahapan perencanaan sehingga dapat memudahkan dalam
perancangan.
2. Dapat mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan perancangan agar tujuan
perencanaan tercapai dan memudahkan pembaca dalam memahami mengenai
perancangan yang akan dilakukan.
3. Sebagai pedoman awal dalam pelaksaan perencanaan sehingga kesalahan beresiko
dapat diminimalisasi.

Tahapan perencanaan yang akan dilakukan disajikan pada gambar 3.1 berikut ini.
Mulai

Identifikasi Wilayah Studi dan


Studi Literatur

Data Sekunder
- Karakteristik lumpur tinja
- Site plan perumahan

Pengolahan dan Analisis Data

Penentuan metode pengolahan

Penetapan kriteria desain sesuai


dengan pengolahan terpilih

Perhitungan dimensi IPLT

Selesai

Gambar 3.1 Diagram Alir Perencanaan

3.4 Tahap Perencanaan


Tahapan perencanaan mencakup langkah - langkah pelaksanaan perencanaan dari awal
sampai akhir perencanaan. Pada tahapan perencanaan ini diawali dengan
mengidentifikasi wilayah studi yaitu Perumahan Citra Wisata, Medan. Adapun tujuan
dari dilakukannya identifikasi wilayah studi tersebut adalah untuk melakukan kegiatan
persiapan dan pengumpulan data yang dibutuhkan, serta pustaka dan acuan yang akan
digunakan pada saat melakukan perencanaan desain instalasi pengolahan lumpur tinja.

III
Tujuan yang menjadi sasaran studi dan identifikasi pustaka adalah meninjau dan
mengidentifikasi kuantitas dan kualitas lumpur tinja untuk kemudian merencanakan dan
mendesain instalasi pengolahan lumpur tinja berdasarkan baku mutu yang ditetapkan
pemerintah. Adapun langkah - langkah pelaksanaan perencanaan ini adalah sebagai
berikut:

1. Identifikasi Wilayah Studi serta Pengumpulan Studi Pustaka


Pada tahapan ini akan dilakukan identifikasi dan pengamatan langsung di Perumahan
Citra Wisata, Medan. Tahapan ini juga sekaligus mengumpulkan dan mempelajari
bahan- bahan yang berakaitan dengan masalah–masalah yang diteliti.

2. Pengumpulan Data
Pengumpulan data diperlukan untuk memperoleh segala macam informasi yang dapat
menunjang proses perancangan. Cara-cara pengumpulan yang dipilih disesuaikan
berdasarkan jenis data yang hendak diambil. Data primer merupakan data yang
diperoleh berdasarkan pengukuran atau pengamatan langsung dilapangan. Sedangkan
data sekunder merupakan data yang diperoleh dari sumber data lain baik dari jurnal,
dokumen dll. Adapun data yang akan dikumpulkan dalam perencanaan ini adalah data
sekunder yang meliputi:
a. Kualitas influent lumpur tinja dari IPLT PDAM Tirtanadi Cemara, Medan.
b. Site plan Perumahan Citra Wisata.

3. Pengolahan Data dan Analisis Data


Pengolahan data dilakukan setelah data-data yang dibutuhkan telah dikumpulkan.
Adapun pengolahan data yang dilakukan meliputi:
a. Data kualitas influent lumpur tinja Kota Medan yang didapat dari IPLT PDAM
Tirtanadi Cemara. Data kualitas lumpur tinja dimaksudkan untuk mengetahui berapa
nilai pH, BOD, COD, TSS, minyak dan lemak, Ammoniak serta total coliform. Dimana
nilai tersebut akan digunakan untuk merancang instalasi pengolahan lumpur tinja.

b. Debit perancangan diperoleh dari perhitungan kapasitas pengolahan lumpur tinja


berdasarkan debit timbulan lumpur tinja per orang. Kapasitas (debit) pengolahan IPLT
dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

III

𝑉 (�3 /ℎ𝑎���) = (Persamaan 3.1)
� �
1000�3 /�

Keterangan:
V = kapasitas pengolahan IPLT (m3/hari)
P = jumlah penduduk yang akan dilayani (jiwa)
Q = debit timbulan lumpur tinja (0,5 l/jiwa/hari)
Kapasitas debit dengan frekuensi penyedotan n tahun:
� � � � � � ℎ�� �
𝑉 (�3 / � ���ℎ��) = (Persamaan 3.2)
�� ���
1000�3 /

Keterangan:
n = periode penyedotan (tahun)

4. Penetapan Metode Pengolahan


Data kualitas lumpur tinja selanjutnya dijadikan acuan dalam perancangan ini untuk
mengetahui berapa nilai polutan yang perlu disisihkan dan unit-unit pengolahan apa
yang paling efektif untuk diterapkan di lokasi perencanaan. Adapun unit pengolahan
yang akan dipertimbangkan pada perencanaan ini adalah unit pemisah padatan dan
cairan yang bekerja dengan prinsip anaerobic digestion yaitu Tangki Imhoff dan
Anaerobic Digester.

5. Perencanaan Unit-Unit Pengolahan


Detail perencanaan unit pengolahan lumpur tinja meliputi hal-hal berikut ini:
a. Perhitungan dimensi unit-unit pengolahan
Perhitungan ini untuk menentukan dimensi setiap unit pengolahan agar berfungsi secara
optimum. Penentuan dimensi disesuaikan dengan kriteria desain.

b. Gambar teknis unit-unit pengolahan


Gambar teknis unit-unit pengolahan dibuat dengan menggunakan software AutoCAD.
Gambar dibuat sesuai dengan hasil perhitungan detail dimensi unit-unit pengolahan.

III
3.5 Gambaran Umum Perumahan Citra Wisata

Gambar 3.2 Perumahan Citra Wisata


Sumber: Google Earth, 2020

Perumahan Citra Wisata dibangun pada tahun 1988 oleh PT Suka Sakti Jaya yang
berluaskan kurang lebih 16,5 Ha. Terdapat sebanyak 500 unit di dalamnya yang terbagi
menjadi 460 rumah dan 40 ruko di mana ruko tersebut diperuntukkan oleh pengguna
sebagai tempat makan, pertokoan dan sebagainya. Perumahan ini sudah tidak
mengalami pengembangan lagi karena sudah putus hubungan dengan developer dan
sudah sepenuhnya dikelola oleh warga perumahan karena seluruh rumah sudah menjadi
milik pribadi penghuni. Disaat musim hujan, perumahan ini cukup jarang atau hampir
tidak pernah terjadi banjir. Perumahan ini dihuni oleh penduduk yang berpenghasilan
menengah sampai menengah keatas. Setiap bulannya penduduk perumahan membayar
iuran Rp150.000/rumah untuk uang keamanan, kebersihan dan sampah. Adapun lokasi
Perumahan Citra Wisata dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3.1 Lokasi Perumahan Citra Wisata


Jalan Karya Wisata, Kelurahan Pangkalan
Alamat
Masyhur, Kecamatan Medan Johor

Koordinat 3o 31’ 57” U dan 98o 39’ 39” T


Batas Wilayah
 Sebelah Utara Perumahan J.City
 Sebelah Barat Sungai Babura
 Sebelah Selatan Taman Cadika
 Sebelah Timur Jl. Karya Wisata

III
3.5.1 Fasilitas Perumahan
Terdapat berbagai fasilitas yang tersedia di Perumahan Citra Wisata diantaranya adalah
fasilitas keamanan berupa pos satpam didepan Perumahan Citra Wisata, kolam renang
dan danau yang dapat dinikmati tidak hanya oleh penghuni perumahan, terdapat juga
pertokoan serta masjid sebagai sarana peribadatan.

3.5.2 Pengelolaan Air Limbah Domestik


Perumahan Citra Wisata belum memiliki sistem pengolahan air limbah yang berasal dari
non-toilet (grey water), limbah grey water tersebut disalurkan langsung ke Sungai
Babura yang terdapat di belakang perumahan melalui gorong-gorong. Adapun untuk
limbah toilet (black water), setiap rumah dilengkapi satu unit pengolahan setempat
berupa tangki septik yang terletak di pekarangan rumah untuk menampung limbah black
water tersebut. Setiap rumah bertanggung jawab atas tangki septiknya masing-masing.
Apabila tangki septik tersebut penuh, pemilik tangki septik melakukan penyedotan
dengan memanggil layanan penyedotan lumpur tinja. Maka dalam hal ini, tangki septik
di Perumahan Citra Wisata pernah dilakukan pengurasan namun tidak secara periodik.

3.5.3 Lahan Kosong


Terdapat lahan kosong yang cukup luas di sepanjang sisi bagian barat Perumahan Citra
Wisata untuk dijadikan lokasi perencanaan Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja. Lahan
kosong ini juga bersebelahan langsung dengan Sungai Babura, dimana kondisi ini
memudahkan air limbah yang sudah diolah untuk dibuang ke badan sungai. Berikut ini
adalah peta Perumahan Citra Wisata yang dapat dilihat lebih jelas pada lampiran 3.1.

Gambar 3.3 Peta Perumahan Citra Wisata

III
3.6 Alternatif Pengolahan
Berikut ini adalah pilihan alternatif pengolahan dengan menggunakan anaerobic
digestion yang akan direncanakan di Perumahan Citra Wisata, Medan.

Tabel 3.2 Alternatif Pengolahan dengan Anaerobic Digestion

Alternatif 1 Alternatif 2
Bar Screen Bak Bar Screen
Ekualisasi Tangki
Bak Ekualisasi
Imhoff Kolam Anaerobic Digester
Fakultatif Sludge Kolam Fakultatif
Drying Bed Sludge Drying Bed
Penampung Padatan Kering Penampung Padatan
Kering

III
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN RANCANGAN

Dalam perencanaan instalasi pegolahan lumpur tinja terdapat beberapa faktor yang perlu
diperhatikan sebagai dasar perencanaan dan menjadi penentu dalam pemilihan proses
pengolahan. Faktor-faktor ini diantaranya adalah kuantitas dan kualitas lumpur tinja
yang akan diolah.

4.1 Aktivitas Kegiatan


Perumahan Citra Wisata merupakan salah satu perumahan yang berada di Kota Medan
tepatnya di Jalan Karya Wisata, Kelurahan Pangkalan Masyhur, Kecamatan Medan
Johor. Perumahan Citra Wisata memiliki ± 500 unit di dalamnya yang terbagi menjadi
460 rumah dan 40 ruko dengan luas lahan perumahan ± 16,5 Ha. Terdapat fasilitas
perumahan seperti pos satpam, danau buatan, kolam renang dan masjid. Sumber air
bersih Perumahan Citra Wisata berasal dari PDAM. Setiap rumah sudah dilengkapi satu
unit tangki septik untuk menampung dan mengolah tinja. Namun, lumpur tinja yang
sudah dialirkan ke tangki septik individu tidak mengalami pengolahan lebih lanjut.

Lumpur tinja yang masuk ke IPLT berasal dari tangki septik yang akan dikuras dengan
menggunakan motor tinja. Lumpur tinja yang sudah dikuras kemudian diangkut menuju
IPLT untuk diolah lebih lanjut. Cairan yang terpisah dari unit pemekatan (pemisah
padatan dan cairan) dialirkan ke IPAL dan diolah sampai memenuhi baku mutu yang
selanjutnya dialirkan menuju Sungai Babura yang berada tepat dibelakang Perumahan
Citra Wisata. Gas yang dihasilkan dari unit pengolahan anaerobic digestion akan
dihitung kapasitasnya kemudian dihitung berapa energi listrik yang dapat dihasilkan
dari gas tersebut. Adapun digestate atau lumpur yang sudah mengalami proses
pemekatan akan digunakan sebagai pupuk non-pangan. Site Plan Perumahan Citra
Wisata dapat dilihat pada lampiran I.

4.2 Kualitas Lumpur Tinja


Kualitas lumpur tinja didapatkan dari data influen IPLT PDAM Tirtanadi Cemara yang
dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.1 Perbandingan Data Kualitas Lumpur Tinja
di PDAM Tirtanadi Cemara dan di Indonesia

PDAM Indonesia**
No. Parameter Satuan Tirtanadi
Cemara* 10.000 – 20.000
1. Padatan Tersuspensi (TSS) mg/L 91,5 2.000 – 5.000
2. BOD5 mg/L 483,2 6.000 – 15.000
3. COD mg/L 10.580 7 – 7,5
4. pH - 6,38 1.000 – 2.000
5. Minyak dan Lemak mg/L 0,8 100 – 250
6. Ammoniak mg/L 17,1 16 x 105 – 5 x 106
Sumber:*IPLT
7. PDAM
Total ColiformTirtanadi Cemara, 2020mL
Jlh/100 54 x 1013
**Dirjen Cipta Karya, 2017

Berdasarkan data yang diperoleh, dapat dilihat bahwa konsentrasi beberapa parameter
hasil uji pada influen IPLT PDAM Tirtanadi Cemara berada dibawah range kualitas
lumpur tinja di Indonesia seperti pada parameter TSS, BOD, pH, minyak dan lemak
serta Ammoniak. Terdapat juga parameter yang berada diantara range kualitas lumpur
tinja di Indonesia yaitu COD. Adapaun untuk parameter Total Koliform dapat dilihat
bahwa nilai konsentrasi influen IPLT PDAM Tirtanadi Cemara sangat jauh di atas nilai
konsentrasi lumpur tinja di Indonesia. Perbedaan-perbedaan nilai kualitas lumpur tinja
di berbagai tempat dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya seperti perbedaan
cuaca atau iklim, perbedaan kondisi lingkungan, dan perbedaan makanan yang
dikonsumsi. Hal ini sejalan dengan yang disebutkan oleh Mangkono (2002) dalam Putri
NC (2015) bahwa Karakteristik lumpur tinja sangat bervariasi, tergantung dari masukan
suatu Tangki Septik dan lamanya lumpur tinja tersebut di dalam Tangki Septik.
Karakteristik lumpur tinja yang bervariasi dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara
lain jumlah pemakai, kebiasaan makan dan minum pemakai, sumber lumpur tinja
(Tangki Septik/johkasu/cubluk), desain dan ukuran Tangki Septik, kondisi cuaca iklim,
frekuensi penyedotan pengurasan lumpur tinja, serta adanya inflitrasi air hujan atau air
tanah.

Maka dari itu, pada perencanaan ini akan digunakan data kualitas lumpur tinja yang
diadopsi dari PDAM Tirtanadi Cemara dikarenakan PDAM Tirtanadi Cemara terletak di
satu kota yang sama dengan wilayah perencanaan IPLT dimana kondisi cuaca dan iklim,
kebiasaan makan dan minum pemakai, serta sumber lumpur tinja (tangki septik) pada

IV-
umumnya sama. Namun untuk parameter total koliform akan digunakan nilai
konsentrasi total koliform di Indonesia dikarenakan nilai dari PDAM Tirtanadi Cemara
terlalu tinggi.

Tabel 4.2 Kualitas Lumpur Tinja untuk Perencanaan

No. Parameter Satuan Konsentrasi


1. Padatan Tersuspensi (TSS) mg/L 91,5
2. BOD5 mg/L 483,2
3. COD mg/L 10.580
4. pH - 6,38
5. Minyak dan Lemak mg/L 0,8
6. Ammoniak mg/L 17,1
6
7. Total Coliform Jlh/100 mL 5 x 10 *
Sumber: IPLT PDAM Tirtanadi Cemara, 2020
*Dirjen Cipta Karya, 2017

4.3 Konsep Operasional Layanan Pengolahan Lumpur Tinja


Layanan yang akan diterapkan pada perencanaan ini adalah layanan lumpur tinja
terjadwal (LLTT). Adapun konsep operasional layanan pengolahan lumpur tinja
terjadwal dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 4.3 Perbandingan Keunggulan Armada Transportasi Penguras Lumpur Tinja


Armanda Transportasi
No. Kriteria
Truk Tinja Motor Tinja
1. Kapasitas Tangki 2 – 15 m3 0,2 – 0,6 m3
2. Biaya Investasi ≥ IDR 500.000.000 ≥ IDR 70.000.000
Efisien untuk mengakses
3. Kelebihan Dapat mengakses lumpur
lumpur tinja yang jauh dan tinja dari jalan sempit
dengan jumlah besar
Membutuhkan banyak
Tidak dapat mengakses
4. Kekurangan ritase untuk mengakses
lumpur tinja pada jalan
kapasitas lumpur tinja
sempit
yang besar
Sumber: Studi Literatur, 2021

Tabel 4.4 Populasi Penduduk


Parameter Nilai

Jumlah unit 500 unit


Jumlah penghuni 5 orang/rumah*
Populasi Penduduk 2500 orang
Proporsi pengguna tangki septik (% 100% rumah menggunakan tangki
jumlah rumah) septik
Ket: *Badan Pusat Statistik, 2019

IV-
Jumlah unit di Perumahan Citra Wisata adalah 500 unit yang terbagi menjadi 460 rumah
dan 40 ruko dimana ruko tersebut juga berpenghuni. Sistem pelayanan yang
direncanakan adalah Layanan Lumpur Tinja Terjadwal (LLTT) sehingga pada
perencanaan ini 40 ruko tersebut diasumsikan sama seperti rumah.

Tabel 4.5 Parameter Operasional

Parameter Nilai

Volume tangki motor tinja 0,5 m3


Jumlah hari kerja per tahun 250 hari/tahun
Periode penyedotan 2 tahun sekali
Cakupan pelanggan 100% rumah pengguna tangki septik

Tabel 4.6 Jumlah Pelanggan dan Kebutuhan Ritase

Paramete Nila
r i
Jumlah pelanggan 500 rumah
Jumlah pelanggan yang harus dilayani (500 rumah) / (2 tahun) / (250 hari/tahun)
per hari = 1 rumah/hari
(1 rumah) x (5 orang) x (0,5 l/orang/hari)* x
Estimasi lumpur tinja yang (365 hari/tahun) x (2 tahun)
dihasilkan per rumah dalam 2 tahun = 1.825 l/rumah
= 1,825 m3/rumah ≈ 2 m3/rumah
Kapasitas angkut motor tinja dalam 1 0,5 m3/ritase
ritase operasi
Volume penyedotan rata-rata 2 m3/rumah
Jumlah ritase yang dibutuhkan dalam 1 (2 m3/rumah) / (0,5 m3/ritase) x (1 rumah/hari)
hari operasi = 4 ritase/hari
Ket: *Ketetapan laju timbulan lumpur tinja di Indonesia dari Direktorat Jenderal Cipta Karya, 2017

4.4 Pemilihan Proses dan Perhitungan Desain Unit Pengolahan


4.4.1 Pemilihan Proses Pengolahan
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pada perencanaan telah ditentukan dua
alternatif pengolahan yang akan diterapkan di Perumahan Citra Wisata yaitu dengan
menggunakan Tangki Imhoff atau Anaerobic Digester dimana pengolahan yang
berlangsung didalamnya adalah anaerobic digestion. Dalam pemilihan proses
pengolahan dilihat aspek-aspek sebagaimana pada tabel berikut.

IV-
Tabel 4.7 Perbandingan Keunggulan Teknologi Pengolahan

Teknologi Pengolahan
No. Kriteria
Tangki Imhoff Anaerobic Digester
3
Q = 10 m /hari Q = 10 m3/hari
1. Kebutuhan Lahan A = 36 m2 A = 32 m2
T = 7,5 m T = 9,5 m
Performasi Unit BOD = 10 – 40% BOD = 70 – 90%
2. Pengolahan COD = 25 – 50% COD = 60 – 90%
TSS = 50 – 70% TSS = 40 – 75%
Cukup Mudah Mudah
- Tidak membutuhkan operator - Tidak membutuhkan
dengan keahlian khusus namun operator dengan keahlian
Kemudahan Operasional perawatan dan pengoperasian khusus
3. dan Pemeliharaan harus sesuai dengan SOP untuk - Tidak membutuhkan
menghindari resiko penyumbatan pembersihan secara rutin
- Banyak bagian yang perlu
dibersihkan secara rutin
Rendah Rendah
4. Biaya Operasional - Tidak membutuhkan aerasi - Tidak membutuhkan
sehingga kebutuhan energi aerasi sehingga kebutuhan
rendah energi rendah
Sumber: Studi Literatur, 2020

Dari aspek-aspek tersebut dilakukan analisis dengan membandingkan dan menilai kedua
jenis pengolahan berdasarkan keunggulannya dengan teknik pengambilan keputusan
sederhana. Deskripsi pada tabel di atas diubah ke dalam angka dengan skala 1-3, dimana
1 menyatakan kurang baik, 2 menyatakan baik dan 3 menyatakan sangat baik.
Kemudian nilai ini akan dikalikan dengan bobot dari masing-masing aspek yang telah
ditentukan berdasarkan tingkat prioritasnya. Untuk pembobotan teknologi pengolahan,
diutamakan kriteria kebutuhan lahan dan performasi unit pengolahan dikarenakan lahan
di Perumahan Citra Wisata terbatas serta dibutuhkan performasi unit pengolahan yang
baik untuk menurunkan beban pencemar yang terdapat pada lumpur tinja.

Tabel 4.8 Pembobotan Teknologi Pengolahan


Bobot Penilaian Teknologi Pengolahan
No. Kriteria
(%) Tangki Imhoff Anaerobic Digester
1. Kebutuhan Lahan 35 2 2
2. Performasi Unit Pengolahan 35 1 3
Kemudahan Operasi dan 15 1 2
3. Pemeliharaan
4. Biaya Operasional 15 2 2
Nilai 100 1,50 2,35

IV-
Berdasarkan hasil pembobotan, maka disimpulkan bahwa alternatif pengolahan yang
paling baik untuk diterapkan di Perumahan Citra Wisata adalah unit Anaerobic Digester
dengan perolehan nilai 2,35. Melalui sistem pengolahan anaerobic digester diharapkan
mampu mengurangi polutan organik serta organisme patogen yang terkandung pada
lumpur tinja Perumahan Citra Wisata dan dapat memberikan manfaat dari produk
samping yang dihasilkan.

4.4.2 Perhitungan Desain Unit Pengolahan


4.4.2.1 Bar Screen
Penyaringan merupakan unit yang penting untuk digunakan pada tahap awal proses
pengolahan lumpur tinja. Unit ini bertujuan untuk menahan sampah atau benda-benda
padat besar yang terbawa dalam lumpur tinja agar tidak mengganggu dan mengurangi
beban pada sistem pengolahan selanjutnya. Sampah atau benda padat besar yang biasa
ditemukan dalam lumpur tinja, diantaranya plastik, kain, kayu, dan kerikil. Dalam
perhitungan desain unit penyaring ini, setiap satu kali pembuangan dapat menerima satu
motor tinja berkapasitas 0,5 m3 dan waktu pembuangan yang dibutuhkan diperkirakan
selama 1 menit (60 detik). Dengan demikian, debit desain yang digunakan pada
perhitungan ini sebesar 0,5 m3 / 60 detik = 0,0083 m3/detik.

Kriteria desain digunakan:


Lebar batang, w = 10 mm = 0,01 m
Tebal batang, L = 30 mm = 0,03 m
Jarak bukaan, b = 30 mm = 0,03 m
Faktor tipe batang, β = 2,42 (digunakan batang persegi panjang)
Koef. kekasaran Manning, n = 0,015 (material saluran: beton)
Kemiringan, θ = 60o
Kecepatan aliran, v = 0,3 m/detik
Perhitungan desain:
a. Menghitung dimensi saringan
- Luas bukaan (A) saringan
�� � ��
= ��������� ������ (Persamaan 4.1)
����� ��������
0, 0083 �3 / �����
= 0,3 �/�����
= 0,028 m2

IV-
- Luas bukaan yang dibutuhkan
���� �
= (Persamaan 4.2)
�����
���������
������
0, 028 �
2
= = 0,28 m
0,1 �

- Dengan lebar satu bukaan = 30 mm, maka jumlah bukaan


0, 28 �
= 0,03 � = 9 bukaan

- Jumlah batang yang dibutuhkan


= jumlah bukaan – 1 (Persamaan 4.3)
= 9 – 1 = 8 batang

- Lebar saluran = lebar saringan


maka,
= (jumlah bukaan x lebar bukaan) + (jumlah batang x lebar batang) (Persamaan 4.4)
= (9 x 0,03 m) + (8 x 0,01 m) = 0,35 m

- Dirancang tinggi saluran = 0,5 m dan kemiringan saringan 60o maka,


Tinggi saringan = 0,5 m/sin 60o (Persamaan 4.5)
= 0,5 m / 0,866 = 0,57 m ≈ 0,6 m

b. Menghitung kecepatan aliran melalui saringan


- Kecepatan aliran setelah melalui saringan
1 2/3
�2 = � 1/ (Persamaan 4.6)
� � 2

di mana: v2 = kecepatan saluran aliran penuh, m/detik


n = koefisien kekasaran yang digunakan dalam persamaan Manning
R = rerata radius hidraulik = A/P, m
A = luas penampang basah, m2
P = panjang penampang basah, m
S = kemiringan energi, m/m

maka,
A = lebar saluran x tinggi air (Persamaan 4.7)

IV-
= 0,35 m x 0,1 m = 0,035 m2

IV-
P = lebar saluran + (2 x tinggi air) (Persamaan 4.8)
= 0,35 m + (2 x 0,1 m) = 0,55 m

𝐴
R= (Persamaan 4.9)

0, 035 �
2
= 0,55 �
= 0,06 m

(�𝑑�
S= ( 0 , 0083 � 3 / �� ���2
)2 � 0, 015 )
= 5,4 x 10-4 m/m
=
𝐴2 � 4/3 (0,035 �2 )2 (0,06)4/3

1
V2 = 0,015 (0,06)2/3 (5,4 x 10-4 m/m)1/2 = 0,24 m/detik

c. Menghitung head loss


- Head loss ketika penyaringan tidak tersumbat
� 4/3
ℎ𝐿 = 𝛽 ( ℎ� �𝑖� 𝜃 (Persamaan
) � 4.10)

di mana: hL = head loss, m


β = faktor tipe batang
w = lebar batang, m
b = lebar bukaan
hv = velocity head aliran melalui bukaan (v12/2g), m
θ = sudut kemiringan batang terhadap horizontal
maka,
8 � 10 4/3 (0,3
hL = 2,42 ( �/����� ) ) sin(60) = 0,0019 m = 1,9 mm
�� 2
) 9 � 30 �� (
2 � 9,81
�/����� 2

- Head loss penyaringan tersumbar 45%


Karena saringan terhambat 45%, maka luas bukaan yang berfungsi hanya 55%.
V’ = 1/0,55 x 0,3 m/detik = 0,55 m/detik
maka
𝑉′ 2 − 2� 1
ℎ𝐿 = ( ) (Persamaan
4.11) 2� 0,7

di mana: hL = head loss, m

IV-
V' = kecepatan aliran lewat bukaan tersumbat, m/detik

IV-
v = kecepatan maksimum pada saluran, m/detik
g = percepatan akibat gravitasi, 9,81 m/detik2
maka
(0,55 �/����� )2 − (0,22 1
h �/����� )2 𝑥 0,7 = 0,0185 m = 18,5 mm
L
2 � 9,81 �/����� 2

d. Menentukan dimensi bak penerima


- Untuk menghindari terjadinya head loss yang berlebih dan lumpur tinja yang
memuncrat, bak penerima harus didesain memiliki sistem transisi yang lancar.
- Kapasitas bak penerima mengikuti kapasitas bar screen dalam satu tahap penerimaan
lumpur tinja yaitu 0,5 m3.
- Dengan ketinggian bak penerima 0,6 m (mengikuti ketinggian saluran bar screen),
luas permukaan bak penerima yang dibutuhkan:
= kapasitas bak penerima dibutuhkan / ketinggian bak
= 0,5 m3 / 0,6 m = 0,83 m2
- Permukaan bak penerima dirancang berbentuk trapesium dengan panjang dua sisi
sejajar 0,35 m (mengikuti lebar saluran) dan 1,35 m, maka lebar bak penerima:
0,83 m2
= =1m
0,5 (0,35 m+1,35 m)

- Agar aliran lumpur tinja dari unit penerima ke unit penyaringan dapat mengalir
dengan lancar, bagian dasar bak penerima dirancang memiliki kemiringan 10:1,
sehingga kedalaman bak yang miring = 0,1 m.

IV-
Gambar 4.1 Desain Bak Penerima dan Bar Screen

(A) Bak Penerima; (B) Bar Screen


Gambar 4.2 Gambaran Bak Penerima dan Bar Screen Terbangun

IV-
4.4.2.2 Bak Ekualisasi
Bak ekualisasi berfungsi untuk menyamakan debit dan karakteristik influen lumpur tinja
yang masuk sehingga mengoptimalkan waktu yang dibutuhkan untuk proses pengolahan
sekunder dan lanjutan. Pada perencanaan ini, IPLT memiliki kapasitas 2 m3/hari dengan
jumlah motor tinja yang membuang lumpur tinja sebanyak 1 buah berkapasitas 0,5 m3
dan beroperasi 4 ritase operasi per hari.

Kriteria desain digunakan:


Waktu tinggal, td = 2 – 8 jam
Rasio panjang:lebar = 2:1
Tinggi Freeboard = 0,3 m

Perhitungan desain:
Debit, Q = 2 m3/hari
Waktu tinggal, td = 4 jam
Kedalaman bak, T = 0,8 m

a. Menentukan volume bak ekualisasi


Volume bak ekualisasi direncanakan 2 m3 sesuai dengan debit yang diolah per hari.
b. Menentukan dimensi bak ekualisasi
𝑉
A=𝑇 (Persamaan 4.12)
2 �3
= 0,8 � = 2,5 m2

A=PxL (Persamaan 4.13)


(2L)(L) = 2,5 m2
2L2 = 2,5 m2
L = 1,12 m
P = 2,24 m
Volume efektif = 2,24 m x 1,12 m x 1,1 m = 2,8 m3

IV-
Gambar 4.3 Desain Bak Ekualisasi

4.4.2.3 Anaerobic Digester


Anaerobic digestion (AD) merupakan proses pengolahan biologis dalam tangki kedap
udara (biasa disebut digester) di mana mikroorganisme anaerobik menstabilisasi materi
organik dan menghasilkan biogas. AD biasanya beroperasi dalam rentang suhu
mesofilik (35-40o C) sehingga pengolahan ini cocok digunakan pada daerah tropis.

Karakteristik influen:
Penduduk dilayani = 2500 jiwa
Debit influen = 2 m3/hari
BOD5 = 483,2 mg/L
COD = 10.580 mg/L

IV-
TSS = 91,5 mg/L
TVS = 0,71 TSS

Kriteria desain digunakan:


Anaerobic digester yang direncanakan yaitu jenis standard-rate berbentuk silinder
dengan bagian dasar berbentuk kerucut.
Waktu retensi padatan, SRT = 57 hari
Kemiringan kerucut = 4:1
Kedalaman zona akumulasi grit = 0,5 m
Kedalaman zona scum = 0,2 m
Freeboard untuk pembersihan = 0,3 m

Perhitungan desain:
a. Menentukan kapasitas digester
Volume digester dibutuhkan = debit influen x SRT (Persamaan 4.14)
= 2 m3/hari x 57 hari = 114 m3

b. Menentukan dimensi digester


Dirancang kedalaman tangki = 4 m.
- Luas permukaan digester (A)
������
= (Persamaan 4.15)
��� � ��� �
��������
�𝑎� �𝑎�𝑔�𝑖
114 �3
= 4� = 28,5 m2

- Diameter digester
4
= √𝜋 𝑥 𝐴 (Persamaan 4.16)

4
= √ 𝜋 𝑥 28,5 �2 = 6,03 m

Diameter tutup digester dibuat 1 m lebih panjang dari badan tangki, maka diameter
tutup tangki digester = 7,03 m.
→ Cek kesesuaian diameter digester hasil perhitungan dengan kriteria desain.
Diameter digester = 6,03 m (OK, rentang: 6-40 m).

IV-
- Kedalaman digester
Dengan kemiringan dasar kerucut 4:1, maka kedalaman zona kerucut = 0,8 m dan zona
silinder 3,2 m.

- Total luas lahan yang dibutuhkan


𝜋
= 4 𝑥 (6,03)2 = 28,56 m2 ≈ 28,5 m2

c. Efisiensi volume digester


- Volume aktif digester
= volume silinder + volume kerucut – zona akumulasi grit (Persamaan 4.17)
𝜋 1 𝜋 1 𝜋
= ( (6,03 �)2 𝑥 3,2 �) + ( 𝑥 (6,03 �)2 𝑥 0, 8 �) − ( 𝑥 (4 �)2 𝑥 0,5
�)4 3 4 3 4
3 3 3
= 91,38 m + 7,62 m – 2,1 m
= 96,9 m3

- Volume inaktif digester


= volume akumulasi scum dan pembersih + volume akumulasi grit (Persamaan
4.18)
𝜋
= 4 (6,03 �)2 𝑥 (0,2 + 0,3) � + 2,1 �3

= 16,4 m3

- Total volume aktif dan inaktif


= 96,9 m3 + 16,4 m3 = 113,3 m3
- Rasio volume aktif dan total volume
������ �����
= (Persamaan 4.19)
������ �����
2
= 96,9 � 2 = 0,855
113,3 �

→ Periksa efisiensi volume tangki melalui rasio volume aktif terhadap volume total.
Digester sudah memiliki desain volume yang efisien apabila nilai rasio tersebut
lebih dari 0,85. Rasio = 0,855 (OK, >0,85)

→ Periksa kesesuaian waktu digestion padatan pada debit terhadap kriteria desain.
����� ������ �����
= (Persamaan 4.20)

IV-
96,9 �3
= = 48,45 hari (OK, rentang 30-60 hari)
2
�3 /ℎ���

Gambar 4.4 Desain Anaerobic Digester

IV-
Gambar 4.5 Gambaran Anaerobic Digester Terbangun

d. Mengestimasi destruksi volatile solid serta debit lumpur tercerna (digested sludge)
dan supernatan.
i. Destruksi volatile solid dalam digester
- Beban TSS dalam digester
= 91,5 g/m3 x 2 m3/hari = 183 g/hari

- Estimasi destruksi volatile solid


Vd = 13,7 ln(SRT) + 18,9 (Persamaan 4.21)

Di mana: Vd = presentase volatile solids terdestruksi, %


SRT = waktu retensi padatan, hari

maka,
VS = 13,7 ln(48,45) + 18,9 = 72%

- Konsentrasi TVSinfluen = 0,71TSSinfluen = 65 mg/L

- Beban TVS terdestruksi


= beban TVSinfluen x presentase TVS terdestruksi (Persamaan 4.22)
= (65 g/m3 x 2 m3/hari) x 72%
= 130 x 72%
= 93,6 g/hari

IV-
- Beban TVS tersisa dalam digester
= beban TVS influen – TVS setelah terdestruksi (Persamaan 4.23)
= 130 g/hari – 93,6 g/hari
= 36,4 g/hari

- Beban TSS tersisa dalam digester


= non-volatile solid + TVS tersisa (Persamaan 4.24)
= (183 – 130) g/hari + 36,4 g/hari
= 89,4 g/hari

ii. Debit lumpur tercerna dari digester


Lumpur yang telah tercerna (digested) dalam pengolahan sekunder menggunakan unit
anaerobic digester memiliki karakteristik kandungan solid kering 1,5-4% dan densitas
lumpur 1.020-1.030 kg/m3 . Berdasarkan rentang nilai tersebut, diestimasikan
konsentrasi TSS dalam lumpur terpekatkan = 4% dan densitas lumpur terpekatkan =
1.030 kg/m 3,
maka estimasi debit lumpur dari digester:
- Debit lumpur tercerna
beban TSS tersisa dalam
=
�������� (Persamaan 4.25)
konsentrasi solid kering x densitas lumpur
0,0894 ��/ℎ���
= = 0,002 m3/hari
4% � 1.030

��/�3

- Konsentrasi TSS dalam lumpur tercerna


beban TSS tersisa dalam
�������� (Persamaan 4.26)
=
debit lumpur tercerna
89,4 g/hari
= = 44.700 g/m3 = 44.700 mg/L
0,002 m3 /hari

iii.Debit supernatan dari digester


- Beban TSS dalam supernatan dari digester
= beban TSSinfluen – beban TSS lumpur efluen (Persamaan 4.27)
= 183 g/hari – 89,4 g/hari
= 93,6 g/hari

IV-
- Debit supenatan dari digester
= debit influen – debit lumpur efluen (Persamaan 4.28)
= 2 m3/hari – 0,002 m3/hari = 1,998 m3/hari

- Konsentrasi TSS dalam supernatan dari digester


93,6 g/hari
=
1,998 m3 /hari

= 46,8 g/m3 = 46,8 mg/L


e. Menghitung estimasi produksi gas
i. Total massa sel diproduksi
Y (S 𝑜 − S )
Px = 1+ kd θc (Persamaan 4.29)

dimana: Px = total massa sel diproduksi, kg/hari


Y = koefisien pembentukkan biomassa (rasio perbandingan massa sel yang
terbentuk dengan massa susbtrat yang dikonsumsi), g/g (untuk lumpur
air limbah domestik: 0,04-0,1/hari)
So = beban massa bCOD influen, kg/hari
S = beban massa bCOD efluen, kg/hari
kd = koefisien endogen, /hari (untuk lumpur air limbah domestik: 0,02-
0,04/hari)
θc = waktu tinggal rerata biomassa, hari (sama dengan waktu digestion)

- bCODinfluen (konsentrasi COD yang dapat didegradasi secara biologis)


= 1,6 BODinfluen (Persamaan 4.30)
= 1,6 x 483,5 mg/L = 773,6 mg/L
- Beban bCODinfluen dalam tangki digester
773,6 mg/L x 2 m3 /hari
=
1000 g/kg

= 1,55 kg/hari

- bCODefluen
Efisiensi penyisihan konsentrasi BOD pada unit anaerobic digester berkisar 60-90%.
Dalam perhitungan ini, efisiensi penyisihan BOD diasumsikan sebesar 90%, maka:
bCODefluen = 1,6 BODefluen

IV-
= 1,6 x ((1-0,9) x 483,5 mg/L)
= 1,6 x 48,35 mg/L
= 77,36 mg/L

- Beban bCODefluen dalam sehari


= 77,36 g/m3 x 2 m3/hari = 154,72 g/hari = 0,155 kg/hari

- Total massa sel yang diproduksi


0, 08 (1, 55 kg /hari− 0, 155 kg /hari)
Px = 1+(0,03/hari x 48,45 hari)

= 0,046 kg/hari

ii. Volume gas metan


- Volume gas yang dihasilkan
V = 0,35 m3/kg ((So – S) – 1,42(Px)) (Persamaan 4.31)

di mana: V = volume gas, m3/hari


So = beban bCOD influen, kg/hari
S = beban bCOD efluen, kg/hari
Px = total massa sel diproduksi, kg/hari
0,35 = faktor konversi teoritis untuk jumlah metan yang diproduksi dari
konversi 1 kg bCOD
1,42 = faktor konversi untuk material sel menjadi BODL

maka
V = 0,35 m3/kg x ((1,55 – 0,155) kg/hari - (1,42 x 0,046 kg/hari))
= 0,46 m3/hari

- Volume gas metan dalam tangki


Estimasi kandungan gas metan dalam digester sebesar 67%, maka
VCH4 = 0,46 m3/hari x 0,67 =0,31 m3/hari

Gas metan yang dihasilkan akan ditampung di tempat penampungan gas. Desain
penampungan gas berupa airbag dengan diameter = 2 m.

IV-
Gambar 4.6 Desain Gas Storage

Gambar 4.7 Gambaran Gas Storage Terbangun

IV-
Efisiensi unit pengolahan:
1. BOD
- Estimasi efisiensi penyisihan = 90%
- BOD efluen = (1-0,9) x 483,5 mg/L =48,35 mg/L

2. COD
- Estimasi efisiensi penyisihan = 85%
- COD efluen = (1-0,85) x 10.580 mg/L = 1.587 mg/L

3. TSS
- Estimasi TSS efluen = 46,8 mg/L
- Efisiensi penyisihan
TSS influen−TSS efluen
= x 100% (Persamaan 4.32)
TSS infuen
91,5 mg/L−46,8 mg/L
= x 100% = 49%
91,5 mg/L

4. Minyak dan Lemak


- Estimasi efisiensi penyisihan = 60%
- Minyak dan lemak efluen = (1-0,6) x 0,8 mg/L = 0,32 mg/L

5. Total Koliform
- Estimasi efisiensi penyisihan = 90%
- Total koliform = (1-0,9) x 5 x 106 Jlh/100 mL
= 5 x 105 Jlh/100 mL

4.4.2.4 Kolam Fakultatif


Kolam fakultatif didesain untuk menyisihkan beban BOD permukaan rendah dengan
menggunakan alga yang tumbuh secara alami di permukaan kolam. Konsentrasi oksigen
terlarut di dalam kolam akan meningkat pada pagi hari seiring dengan dimulainya
aktivitas fotosintesis alga, mencapai puncaknya pada sore hari, dan akan menurun pada
malam hari, ketika aktivitas fotosintesis terhenti dan respirasi tumbuhan mengkonsumsi
oksigen. Pada aktivitas puncaknya, ion karbonat dan bikarbonat bereaksi memproduksi
karbon dioksida untuk alga, dan menyisakan ion hidroksil. Dari proses tersebut, pH air
akan meningkat sampai lebih dari 9 sehingga dapat mematikan bakteri fekal koliform.

IV-
Pada perencanaan ini kolam fakultatif akan mengolah supernatan dari anaerobic
digester dan filtrat dari sludge drying bed yang memiliki konsentrasi berturut-turut
sebesar 1,998 m3/hari dan 0,052 m3/hari.

Karakteristik influen:
Debit influen = 2,05 m3/hari
BOD5 = 48,35 mg/L
COD = 1.587 mg/L
TSS = 46,8 mg/L
Total koliform = 5 x 104 Jlh/100 mL
T = 27o C (rerata suhu dalam bulan terdingin)
Laju evaporasi, e = 3,4 mm/hari …………………… (RPI2JM Kota Medan, 2015)

Kriteria desain digunakan:


Kedalaman kolam = 1,5 m

Perhitungan desain:
a. Menghitung luas kolam yang dibutuhkan
- Beban BOD permukaan, λs
= 350 (1,07 – 0,002T)T-25 (Persamaan 4.33)
= 350 (1,07 – (0,002 x 27)(27 – 25)
= 373,5 g/m2.hari
- Luas permukaan kolam, Af

k o ns en trasi BOD infl uen x debit (Persamaan 4.34)


= infl uen beban BOD permukaan

48 , 35 g /3m x 2,05
3 m / hari
= 373,5 g/m2 .hari

= 0,26 m2

- Rasio panjang:lebar = 2:1


(2L)(L) = 0,26 m2
2L2 = 0,26 m2
L = 0,361 m
P = 0,722 m

IV-
b. Menghitung waktu retensi hidraulik
- Waktu retensi hidraulik, θf
2Af Df
θ f= 2Qi−0,001eA (Persamaan 4.35)
f

di mana: θf = waktu retensi hidraulik, hari


Df = kedalaman kolam fakultatif, m
Qi = debit influen, m3/hari
e = jumlah laju evaporasi, mm/hari
maka,
2 x 0,261 m2 x 1,5 m
θf = = 0,191 hari
(2 x 2,05 m3 /hari) −(0,001 x 3,4 mm/hari x 0,261 m2 )

→ Cek kesesuaian waktu retensi hidraulik hasil perhitungan dengan kriteria desain
HRT = 0,191 hari (Belum sesuai, ≥ 4 hari)

- Menghitung ulang luas permukaan kolam


Karena waktu retensi hidraulik (θf) kurang dari 4 hari, maka dilakukan penghitungan
ulang luas kolam fakultatif primer yang dibutuhkan (Af, m2) dengan θf = 4 hari.
f2Q θ
= 2Df−0,001eθ (Persamaan 4.36)
f

2 x 2,05 m3 /hari x 4 hari


= ( 2
2 x 1,5 m)−(0,001 x 3,4 mm/hari x 4 hari) = 5,5 m

- Rasio panjang:lebar = 2:1


(2L)(L) = 5,5 m2
2L2 = 5,5 m2
L = 1,7 m P
= 3,4 m A’ =
5,78 m2

→ Cek kesesuaian waktu retensi hidraulik hasil perhitungan dengan kriteria desain
2 x 5,78 m2 x 1,5 m
θf =
(2 x 2,05 m3 /hari) −(0,001 x 3,4 mm/hari x 5,78 m2 )

= 4,3 hari (OK, ≥ 4 hari)

IV-
Gambar 4.8 Desain Kolam Fakultatif

Gambar 4.9 Gambaran Kolam Fakultatif Terbangun

Untuk lumpur pada kolam fakultatif, diperiksa ketinggian lumpur pada dasar kolam
menggunakan tongkat ukur setiap minggu. Apabila ketinggian lumpur sudah mencapai
±1 m, dilakukan penyedotan lumpur dengan meninggalkan sebagian lumpur untuk
membantu kesediaan biomassa. Lumpur yang disedot dialirkan ke sludge drying bed.

IV-
Efisiensi unit pengolahan:
1. BOD
Li
L e= 1+ k θ (Persamaan 4.37)
1 f

di mana: Le = konsentrasi BOD efluen (mg/L)


Li = konsentrasi BOD influen (mg/L)
k1 = konstanta laju orde pertama
θf = waktu retensi hidraulik (hari)

- Nilai k1
k1(T) = k1(20) (1,05)T-20 (Persamaan 4.38)

di mana: k1(20) = 0,3/hari (untuk kolam fakultatif primer)


0,1/hari (untuk kolam fakultatif sekunder)

maka,
k1(27) = (0,1/hari) (1,05)27-20 = 0,141/hari
- Konsentrasi BOD efluen yang belum terfiltrasi dari alga (mg/L)
Li
L eunfiltered = 1+ k θ (Persamaan 4.39)
f f

48,35 mg/L
= = 31 mg/L (BOD belum terfiltrasi)
1+(0,141/hari x 4 hari)

- Konsentrasi BOD efluen yang sudah terfiltrasi dari alga (mg/L)


Le filtered = Fna x Le unfiltered (Persamaan 4.40)

di mana: Fna = fraksi non-alga dari total BOD (0,1-0,3, biasanya digunakan 0,3).
Maka,
Le filtered = 0,3 x 31 mg/L = 9,3 mg/L
- Efisiensi penyisihan BOD
konsentrasi BOD influen−konsentrasi BOD efluen
= x 100%
konsentrasi BOD influen
48,35 mg/L−9,3 mg/L
= x 100% = 80,7%
48,35 mg/L

IV-
2. COD
- Estimsai efisiensi penyisihan = 80%
- COD efluen = (1-0,8) x 1.587 mg/L = 317,4 mg/L

3. TSS
- Estimasi efisiensi penyisihan = 85%
- TSS efluen = (1-0,85) x 46,8 mg/L = 7,02 mg/L

4. Total Koliform
- Nilai konstanta laju orde pertama penyisihan koliform, kb(T)
= 2,6(1,19)T-20
= 2,6(1,19)27-20 = 8,78/hari
- Total koliform dalam efluen
Ni
N e= 1+k (Persamaan 4.41)
B(T) θf

di mana: Ne = jumlah koliform per 100 mL dalam efluen kolam fakultatif


Ni = jumlah koliform per 100 mL dalam influen kolam fakultatif
θf = waktu tinggal hidraulik kolam fakultatif, hari
maka,
5 � 105 Jlh per 100
mL = 13.842,7 Jlh/100 mL
Ne =
1+(8,78/hari x 4 hari)

- Efisiensi penyisihan
Total koliform influen−Total koliform efluen
= x 100%
Total koliform infuen
5 x 105 Jlh per 100 mL −13.842,7 Jlh per 100 mL
= x 100% = 97,23%
5 x 105 Jlh per 100 mL

4.4.2.5 Sludge Drying Bed


Sludge drying bed (SDB) merupakan teknik pengeringan lumpur yang paling banyak
digunakan. Jenis lumpur yang dapat dikeringkan dengan SDB adalah lumpur yang telah
stabil (telah melalui proses digestion). SDB terdiri dari bak pengering berisi media filter
dan saluran filtrat. Bak pengering merupakan tempat berlangsungnya proses
pengeringan

IV-
di mana terjadi filtrasi lumpur oleh media pasir dan kerikil, dan evaporasi cairan ke
atmosfer.

Karakteristik influen:
Pada perhitungan sludge drying bed, debit desain dan konsentrasi TSS yang digunakan
berdasarkan debit lumpur dan konsentrasi solid dari unit anaerobic digester dan bak
pengendap IPAL yaitu berturut-turut 0,002 m3/hari dan 0,058 m3/hari.
QSDB = 0,06 m3/hari
TSS = 44.700 mg/L

Perhitungan desain:
Dirancang waktu proses pengeringan pada sludge drying bed dilakukan selama 14 hari
dengan estimasi kandungan konsentrasi padatan solid yang tersisa = 30%, densitas
lumpur = 1.060 kg/m3 , dan efisiensi penyisihan TSS = 95%.
a. Menghitung waktu pengeringan

t=
(1−fi)qi+(1−fr)qr−qd (Persamaan 4.42)
feEw

di mana: t = waktu pengeringan, hari


qi = kandungan air dalam lumpur, kg/m2
qr = kandungan air yang diterima akibat hujan, kg/m
qd = kandungan air yang tersisa dalam lumpur kering, kg/m2
f i = fraksi qi
f r = fraksi qr
f e = faktor reduksi untuk menghitung reduksi laju evaporasi dari lumpur
Ew = laju evaporasi, mm/bulan

- Massa lumpur pada area seluas 1 m2 = 200 kg

- Kandungan air dalam lumpur


Kandungan padatan = 5%
Kandungan air, qi = (100-5)% = 95% → 0,95 x 200 kg/m2 = 190 kg/m2

- Kandungan air yang akan diterima akibat hujan


Curah hujan = 14 mm/hari

IV-
Kandungan air, qi = 14 kg/m2

- Kandungan air yang tersisa dalam lumpur kering


Kandungan air = 7%
Kandungan padatan = (100 – 7%) = 93%
= (0,07/0,93) x 10 kg/m2 = 0,8 kg/m2

- f i = 0,8
- f r = 0,75
- f e = 0,78

- laju evaporasi dalam bulan curah hujan tertinggi, Ew


= 3,4 mm/hari = 102 mm/bulan = 102 kg/m2/bulan

- Waktu pengeringan dibutuhkan pada musim penghujan


2 ( 2 2
( ) )
= 1−0,8 x 190 kg/m + 1−0,75 214 kg/m −0,8 kg/m = 0,51/bulan = 15,3 hari
0,78 x 102 kg/m .bulan

- Waktu pengeringan dibutuhkan pada musim kemarau


(1−0,8) x 190 kg/m2 +(1−0,75) 0 kg/m2 −0,8 kg/m2
= = 0,47/bulan = 14,1 hari
0,78 x 102 kg/m2 .bulan

b. Menghitung waktu yang dibutuhkan dalam satu siklus pengeringan


- Diasumsikan:
Proses pengisian lumpur tinja ke SDB, t1 = 1 hari
Waktu pengeringan lumpur, td = 14,7 hari (rerata waktu pengeringan
musim penghujan dan kemarau)
Pembersihan SDB setelah lumpur kering, tds = 1 hari

- Waktu yang dibutuhkan dalam satu siklus pengeringan


= t1 + td +tds (Persamaan 4.43)
= 1 hari + 14,7 hari + 1 hari
= 16,7 hari

IV-
c. Menghitung luas lahan yang dibutuhkan
- Dirancang ketinggian lumpur = 0,2 m
- Setelah melalui proses pemindahan padatan-cairan, volume lumpur yang diterima
kolam SDB:
Volume influen = 0,06 m3 dari anaerobic digester dan bak pengendap IPAL.

- Dirancang 1 kolam SDB mampu menampung 1 m3, maka


Luas permukaan 1 kolam SDB dibutuhkan
= kapasitas SDB / ketinggian lumpur (Persamaan 4.44)
= 1 m3 / 0,2 m = 5 m2

- Kebutuhan kolam SDB per hari


= volume influen / kapasitas SDB (Persamaan 4.45)
= 0,06 m3 / 1 m3
= 0,06 kolam SDB per hari

- Jumlah SDB dibutuhkan


= waktu satu siklus pengeringan x kebutuhan kolam SDB per hari (Persamaan 4.46)
= 16,7 hari x 0,06 kolam/hari
= 1,002 kolam ≈ 1 kolam

- Dimensi SDB yang dibutuhkan


Rasio P:L = 2:1, maka
(2L)(L) = 5 m2
2L2 = 5 m2
L = 1,58 m ≈ 1,6 m
P = 3,2 m

d. Mengestimasi volume lumpur tertahan dan filtrat


1. volume lumpur tertahan pada SDB
- beban TSS yang diterima SDB
= debit influen x konsentrasi TSS (Persamaan 4.47)
= 0,06 m3/hari x 44.700 g/m3 = 2.682 g/hari

IV-
- beban TSS tertahan pada SDB
= 0,95 x 2.682 g/hari = 2.548 g/hari
- volume lumpur tertahan pada SDB
beban TSS tertahan pada SDB
= (Persamaan 4.48)
konsentrasi solid kering x densitas lumpur
2,548 kg
= = 0,008 m3
30% x 1.060 kg/m3

- konsentrasi TSS dalam lumpur tertahan


beban TSS lumpur
= (Persamaan 4.49)
volume lumpur
2548 g
= = 318.500 g/m3 = 318.500 mg/L
0,008 m3

2. volume filtrat dari SDB


- beban TSS dalam filtrate dari SDB
= beban TSS influen – beban TSS tertahan (Persamaan 4.50)
= 2.682 g/hari – 2.548 g/hari = 134 g/hari

- debit filtrat dari SDB


= debit influen – debit lumpur (Persamaan 4.51)
= 0,06 m3/hari – 0,008 m3/hari
= 0,052 m3/hari

- konsentrasi TSS dalam filtrat SDB


= beban TSS filtrat / debit filtrat (Persamaan 4.52)
= 134 g / 0,052 m3
= 2.577 g/m3 = 2.577 mg/L

IV-
Gambar 4.10 Desain Sludge Drying Bed

Gambar 4.11 Gambaran Sludge Drying Bed Terbangun

IV-
4.4.2.6 Penampung Padatan Kering
Penampung padatan kering berfungsi sebagai penampung sementara hasil pengeringan
padatan sebelum dimanfaatkan kembali menjadi pupuk non-pangan. Desain penampung
padatan kering berupa hanggar dengan panjang = 2 m dan lebar = 2 m.

Gambar 4.12 Desain Penampung Padatan Kering

Gambar 4.13 Gambaran Penampung Padatan Kering Terbangun

IV-
4.5 Rekapitulasi Desain

Gambar 4.14 Denah Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja

Dari perhitungan desain yang telah dilakukan didapatkan dimensi, jumlah waktu detensi
dan luas kebutuhan lahan masing-masing unit pengolahan pada instalasi pengolahan
lumpur tinja di Perumahan Citra Wisata sebagai berikut.

Tabel 4.9 Rekapitulasi Dimensi Unit-Unit Pengolahan

Panjang Lebar Kedalaman Freeboard


Unit Pengolahan
(m) (m) (m) (m)
Bak penerima 0,35 1,35 1,00 0,60 0,3
Bar screen 0,55 0,35 0,60 0,3
Bak ekualisasi 2,24 1,12 0,80 0,3
Diameter
(m)
Anaerobic digester 6,03 4,00 0,3
Gas storage 2,00 - -
Kolam fakultatif 3,40 1,70 1,50 0,3
Sludge drying bed 3,20 1,60 0,85 0,3
Penampung padatan
kering 2,00 2,00 2,50 -
Sumber: Perhitungan

IV-
Tabel 4.10 Rekapitulasi Waktu Tinggal pada Unit-Unit Pengolahan
Unit Pengolahan Waktu Tinggal Satuan
Bak ekualisasi 4 jam
Anaerobic digester 48,45 hari
Kolam fakultatif 4,3 hari
Sludge drying bed 14,7 hari
Total 67,6 hari
Sumber: Perhitungan

Tabel 4.11 Kebutuhan Lahan IPLT

Luas Lahan
Unit Pengolahan Jumlah Unit
(m2)
Bak penerima 1 0,83
Bar screen 1 0,19
Bak ekualisasi 1 2,50
Anaerobic digester 1 28,56
Gas storage 1 3,14
Kolam fakultatif 1 5,78
Sludge drying bed 1 10,24
Penampung padatan kering 1 4,00
Total 55,24
Sumber: Perhitungan

IV-
Debit : 2 m3/hari
Q: 0,46 m3/hari
BOD : 483,2 mg/L Gas Storage
COD : 10.580 mg/L
TSS : 91,5 mg/L
Total : 5 x 106
Koliform Jlh/100 mL

Bar Screen dan Bak Anaerobic Digester Kolam Fakultatif


Ekualisasi Efisiensi Penyisihan Efisiensi Penyisihan
Efisiensi Penyisihan BOD: 90% BOD: 80,7%
BOD: 0%
COD: 85% COD: 80%
COD: 0% Debit : 2 m3/hari Debit : 1,998 m3/hari
TSS: 49% TSS: 85%
TSS: 0% BOD : 483,2 mg/L BOD : 48,35 mg/L
Total Koliform: 0% COD : 10.580 mg/L Total Koliform: 90% COD : 1.587 mg/L Total Koliform: 97%
TSS : 91,5 mg/L TSS : 46,9 mg/L
Total : 5 x 106 Total : 5 x 105
Koliform Jlh/100 mL Koliform Jlh/100 mL
Q: 0,052 m3/hari
Q : 0,002 m3/hari
TSS : 44.700 mg/L
QL: 0,058 m3/hari Debit : 2,05
Sludge Drying Bed BOD m3/hari
COD : 9,3 mg/L
Q : 0,008 m3/hari TSS : 317,4 mg/L
7,02 mg/L
TSS : 318.500 mg/L Tota : 13.842,7
Koliform Jlh/100 mL
Penampung Padatan Kering
IPAL

Gambar 4.15 Neraca Massa Sistem Pengolahan di IPLT

IV-35
4.6 Jadwal Pengurasan Tangki Septik Perumahan Citra Wisata
Sebagaimana perencanaan yang sudah dijelaskan sebelumnya, pengurasan tangki septik
di Perumahan Citra Wisata akan dilakukan secara periodik yaitu 2 tahun sekali dimana
satu hari akan dilaksanakan pengurasan pada satu rumah (satu tangki septik). Setiap
rumah sudah dijadwalkan untuk pengurasan tangki septiknya, sistem ini disebut juga
dengan layanan lumpur tinja terjadwal. Berikut ini jadwal pengurasan tangki septik tiap
rumah di Perumahan Citra Wisata.

Tabel 4.12 Jadwal Pengurasan Tangki Septik Perumahan Citra Wisata

Hari Har
Jadwal 1 2 Jadwal 3 1 4 3i 55
2 4
No. Rumah No.
TahunMinggu
1 2 6/20 6/21 Rumah
6/22 6/23 6/24
Januari Minggu 3 6/25 6/26 6/27 6/28 6/29
Minggu 2 1/1 1/2 1/3 4
Minggu 6/30 1/4 7/1 7/21/5 7/3
Minggu 3 1/6 1/7 1/8 5
Minggu 7/4 1/9
7/5 7/6 7/71/10 7/8
Minggu 4 1/11 1/12 2/1
Agustus 2/2 2/3
Minggu 5 2/4 2/5 2/6 1
Minggu 7/9 2/7
7/10 7/11 7/122/8 7/12a
Februari Minggu 2 7/14 7/15 7/16 7/17
Minggu 1 3/1 3/2 3/3 3
Minggu 7/18 3/4 7/19 7/203/5 7/21
Minggu 2 3/6 3/7 3/8 4
Minggu 7/22 3/9
7/23 7/24 3/10 7/26
7/25
Minggu 3 3/11 3/12 3/12a
Minggu 5 7/27 3/14
7/28 3/15
Minggu 4 3/16 3/17 3/18
September 3/19 3/20
Maret Minggu 1 7/29 7/30 7/31
Minggu 1 3/21 3/22 3/23 2
Minggu 7/32 3/24
7/33 7/34 3/25
7/35 7/36
Minggu 2 3/26 3/27 3/28 3
Minggu 7/37 7/38 7/39 3/29
7/40 7/41
Minggu 3 3/30 4/1 4/2 4
Minggu 7/42 4/3
7/43 7/44 7/454/4 7/46
Minggu 4 4/5 4/6 4/7 5
Minggu 7/47 4/8
7/48 7/49 7/504/9
Minggu 5 4/10 4/11 4/12
Oktober
April Minggu 1 7/51
Minggu 1 Minggu 2 7/52 4/12a
7/53 7/54 7/55 7/56
Minggu 2 4/13 4/14 4/15 3
Minggu 7/57 4/16 7/59
7/58 7/604/17 7/61
Minggu 3 4/18 4/19 4/20 4
Minggu 8/1 4/21
8/2 8/3 8/44/22 8/5
Minggu 4 4/23 4/24 4/25 5
Minggu 8/6 4/26
8/7 8/8 8/94/27 8/10
Minggu 5 4/28 5/1 5/2
November 5/3 5/4
Mei Minggu 1 8/11 8/12 8/12a 8/14 8/15
Minggu 2 5/5 5/6 5/7 2
Minggu 8/16 5/8
8/17 8/18 8/195/9 8/20
Minggu 3 5/10 5/11 5/12
Minggu 3 8/21 8/22 8/23 8/24 8/25
Minggu 4 5/12a 5/14 5/15 4
Minggu 8/26 5/16
8/27 8/28 5/17
8/29 8/30
Minggu 5 5/18 5/19 Minggu 5 8/31 5/20
8/32 5/21
Minggu 6 5/22 Desember
Juni Minggu 1 8/33 8/34 8/35
Minggu 1 5/23 2
Minggu 8/36 5/24 8/38
8/37 5/25
8/39 8/40
Minggu 2 5/26 6/1 6/2 3
Minggu 8/41 6/3 8/43
8/42 8/446/4 8/45
Minggu 3 6/5 6/6 6/7 4
Minggu 8/46 6/8 8/48
8/47 8/496/9 8/50
Minggu 4 6/10 6/11 6/12
Minggu 5 8/51 6/12a
8/52 8/53 6/14
8/54 8/55
Minggu 5 6/15 6/16 6/17 Tahun
Juli Januari 2
Minggu 1 Minggu 2 8/56 6/18
8/57 8/58 6/19 8/60
8/59

IV-
Hari
Har
Jadwal 1 2 Jadwal 3 1 2
4 i
3 4
5
5
No. Rumah
No.
Minggu 3 9/1 9/2 9/3 9/4 Rumah 9/5
Minggu 2 11/1 11/2 11/3 11/4 11/5
Minggu 4 9/6 9/7 9/8 9/9 9/10
Minggu 3 11/6 11/7 11/8 11/9 11/10
Minggu 5 9/11 9/12 9/12a 9/14 9/15
Minggu 4 11/11 11/12 11/12a 11/14
Februari
Minggu 5 11/15 11/16 11/17 11/18 11/19
Minggu 1 9/16 9/17 9/18 9/19 9/20
Agustus
Minggu 2 9/21 9/22 9/23 9/24 9/25
Minggu 1 11/20 11/21 12/1 12/2 12/3
Minggu 3 9/26 9/27 9/28 9/29 9/30
Minggu 2 12/4 12/5 12/6 12/7
Minggu 4 9/31 9/32 9/33 9/34 9/35
Minggu 3 12/8 12/9 12/10 12/11
Maret
Minggu 4 12/12 12/12a 12/14 12/15 12/16
Minggu 1 9/36 9/37 9/38 9/39 9/40
Minggu 5 12/17 12/18
Minggu 2 9/41 9/42 9/43 9/44
September
Minggu 3 9/45 9/46 9/47 9/48 9/49
Minggu 1 12/19 12/20 12/21
Minggu 4 9/50 9/51 9/52 9/53 9/54
Minggu 2 12/22 12/23 12/24 12/25 12/26
Minggu 5 9/55 9/56 9/57
Minggu 3 12/27 12/28 12/29 12/30 12/31
April
Minggu 4 12/32 12/33 12/34 12/35 12/36
Minggu 1 9/58
Minggu 5 12/37 12/38 12/39 12/40
Minggu 2 9/59 9/60 9/61 9/62 9/63
Oktober
Minggu 3 9/64 9/65 9/66 10/1 10/2
Minggu 1 12/41
Minggu 4 10/3 10/4 10/5 10/6 10/7
Minggu 2 12/42 12/43 12/44 14/1 14/2
Minggu 5 10/8 10/9 10/10 10/11 10/12
Minggu 3 14/3 14/4 14/5 14/6 14/7
Mei
Minggu 4 14/8 14/9 14/10 14/11 14/12
Minggu 2 10/12a 10/14 10/15 10/16 10/17
Minggu 5 14/12a 14/14 14/15 14/16 14/17
Minggu 3 10/18 10/19 10/20
November
Minggu 4 10/21 10/22 10/23 10/24 10/25
Minggu 1 14/18 14/19 14/20 14/21 14/22
Minggu 5 10/26 10/27 10/28 10/29
Minggu 2 14/23 14/24 14/25 14/26 14/27
Minggu 6 10/30
Minggu 3 14/28 14/29 14/30 14/31 14/32
Juni
Minggu 4 14/33 14/34 14/35 14/36 14/37
Minggu 1 10/31 10/32 10/33
Minggu 5 14/38 14/39
Minggu 2 10/34 10/35 10/36 10/37 10/38
Desember
Minggu 3 10/39 10/40 10/41 10/42 10/43
Minggu 1 14/40 14/41 14/42
Minggu 4 10/44 10/45 10/46 10/47 10/48
Minggu 2 14/43 14/44 14/45 14/46 14/47
Minggu 5 10/49 10/50 10/51
Minggu 3 14/48 14/49 14/50 14/51 14/52
Juli
Minggu 4 14/53 14/54 14/55 14/56 14/57
Minggu 1 10/52 10/53
Minggu 5 14/58 14/59 14/60 14/61 14/62
Ket:
= Hari Libur Nasional

4.7 Analisis Dampak IPLT Terhadap Pemukiman Sekitar


Dampak potensial yang dapat timbul akibat operasional IPLT diantaranya terkait resiko
pencemaran kualitas air dan masalah bau. Hal ini dapat mengganggu kenyamanan
masyarakat sekitar khususnya warga Blok XI yang jarak rumah-rumahnya berdekatan
dengan IPLT. Menurut Nasrullah (2007), pemecahan masalah ini hanya dapat
diselesaikan dengan pelaksanaan operasi sesuai prosedur dimulai dari “start-up” hingga
operasi yang harus dikontrol secara cermat. Termasuk pembuangan endapan lumpur
tinja

IV-
di kolam anaerobik dan fakultatif harus dilaksanakan secara teratur agar proses
pengolahan tetap berjalan efektif. Selain itu juga harus dilakukan pemantauan serta
pemeliharaan secara berkala.

Sedangkan untuk masalah bau, hal ini dapat diatasi dengan membuat zona penyangga
dengan penanaman pohon di sekeliling IPLT, seperti pohon kemenyan; mimba; dan
sebagainya, untuk mengurangi bau. Pemilik rumah juga bisa menanam tanaman-
tanaman yang dapat menyerap bau di pekarangan rumah seperti lidah mertua, suji,
geranium, bunga melati dan sebagainya.

IV-
BAB V
BILL OF QUANTITY

Bill of Quantity merupakan daftar rancang pekerjaan yang terdiri dari perhitungan dan
jumlah volume yang digunakan. Berikut ini Bill of Quantity Instalasi Pengolahan
Lumpur Tinja Perumahan Citra Wisata.

Tabel 5.1 Bill of Quantity IPLT Perumahan Citra Wisata

NO URAIAN PEKERJAAN VOLUME SATUAN

A. PEKERJAAN PERSIAPAN
1 Pematokan & Pengukuran Ulang 1,00 Ls
2 Pembersihan dan Perataan Lapangan 50,00 M2
3 Pengukuran dan Pemasangan Bouwplank 45,70 M
4 Mobilisasi & Demobilisasi Alat 1,00 Ls

B. PEKERJAAN TANAH DAN PONDASI


1 Galian Tanah Biasa 150,00 M3
2 Urugan Pasir Urug Dibawah IPLT, Tebal 10 cm 4,80 M3
3 Timbunan Kembali Tanah Biasa Bekas Galian 45,00 M3
4 Buangan Tanah Sisa Galian 105,00 M3

C. PEKERJAAN STRUKTUR BETON BERTULANG


1 Bak Penerima (P1= 0,35 m, P2= 1,35, L= 1 m, H=0,9)
a) Lantai Kerja Beton Bertulang K-275, Tebal 15 cm
- Beton Mutu K-275, f'c = 24,0 Mpa, Slump (12 ± 2) cm, w/c = 0,53 0,13 M3
- Pembesian Wire Mesh M12 0,92 Kg
b) Sloof Dinding Beton Bertulang K-275, Uk. (15/15) cm
- Beton Mutu K-275, f'c = 24,0 Mpa, Slump (12 ± 2) cm, w/c = 0,53 0,09 M3
- Pembesian dengan besi polos 15 mm 56,55 Kg
- Bekisting Untuk Sloof (3x Pakai) 0,09 M2
c) Dinding Bata campuran 1 Pc : 2 Ps
- Dinding Bata 3,51 M2
- Bekisting untuk Dinding (2x Pakai)' 0,09 M2
d) Plesteran Dinding 1 Pc : 2 Ps Tebal = 15 mm
Plesteran Dinding 0,53 M3

2 Bar Screen (P= 0,55 m, L= 0,35 m, H= 0,9 m)


a) Lantai Kerja Beton Bertulang K-275, Tebal 15 cm
- Beton Mutu K-275, f'c = 24,0 Mpa, Slump (12 ± 2) cm, w/c = 0,53 0,03 M3
- Pembesian Wire Mesh M12 20,81 Kg
NO URAIAN PEKERJAAN VOLUME SATUAN

b) Sloof Dinding Beton Bertulang K-275, Uk. (15/15) cm


- Beton Mutu K-275, f'c = 24,0 Mpa, Slump (12 ± 2) cm, w/c = 0,53 0,04 M3
- Pembesian dengan besi polos 15 mm 26,10 Kg
- Bekisting Untuk Sloof (3x Pakai) 0,04 M2
c) Dinding Bata campuran 1 Pc : 2 Ps
- Dinding Bata 1,62 M2
- Bekisting untuk Dinding (2x Pakai)' 0,04 M2
d) Plesteran Dinding 1 Pc : 2 Ps Tebal = 15 mm
Plesteran dinding 0,24 M3

3 Bak Ekualisasi (P= 2,24 m, L= 1,12 m, H= 1,1 m)


a) Lantai Kerja Beton Bertulang K-275, Tebal 15 cm
- Beton Mutu K-275, f'c = 24,0 Mpa, Slump (12 ± 2) cm, w/c = 0,53 0,38 M3
- Pembesian Wire Mesh M12 2,71 Kg
b) Sloof Dinding Beton Bertulang K-275, Uk. (15/15) cm
- Beton Mutu K-275, f'c = 24,0 Mpa, Slump (12 ± 2) cm, w/c = 0,53 0,15 M3
- Pembesian dengan besi polos 15 mm 97,44 Kg
- Bekisting Untuk Sloof (3x Pakai) 0,15 M2
c) Dinding Bata campuran 1 Pc : 2 Ps
- Dinding Bata 7,39 M2
- Bekisting untuk Dinding (2x Pakai)' 0,15 M2
d) Plesteran Dinding 1 Pc : 2 Ps Tebal = 15 mm
Plesteran Dinding 1,11 M3

4 Anaerobic Digester (D= 6,03 m, H= 4,3 m)


a) Lantai Kerja Beton Bertulang K-275, Tebal 15 cm
- Beton Mutu K-275, f'c = 24,0 Mpa, Slump (12 ± 2) cm, w/c = 0,53 4,29 M3
- Pembesian Wire Mesh M12 30,92 Kg
b) Sloof Dinding Beton Bertulang K-275, Uk. (15/15) cm
- Beton Mutu K-300, f'c = 24,0 Mpa, Slump (12 ± 2) cm, w/c = 0,53 0,43 M3
- Pembesian dengan besi polos 15 mm 275,50 Kg
- Bekisting Untuk Sloof (3x Pakai) 0,43 M2
c) Dinding Bata campuran 1 Pc : 2 Ps
- Dinding Bata 138,99 M2
- Bekisting untuk Dinding (2x Pakai)' 0,43 M2
d) Plesteran Dinding 1 Pc : 2 Ps Tebal = 15 mm
Plesteran Dinding 12,26 M3

5 Kolam Fakultatif (P= 3,4 m, L= 1,7 m, H= 1,8 m)


a) Lantai Kerja Beton Bertulang K-275, Tebal 15 cm

V-2
NO URAIAN PEKERJAAN VOLUME SATUAN

- Beton Mutu K-275, f'c = 24,0 Mpa, Slump (12 ± 2) cm, w/c = 0,53 0,87 M3
- Pembesian Wire Mesh M12 6,25 Kg
b) Sloof Dinding Beton Bertulang K-275, Uk. (15/15) cm
- Beton Mutu K-300, f'c = 24,0 Mpa, Slump (12 ± 2) cm, w/c = 0,53 0,23 M3
- Pembesian dengan besi polos 15 mm 147,90 Kg
- Bekisting Untuk Sloof (3x Pakai) 0,23 M2
c) Dinding Bata campuran 1 Pc : 2 Ps
- Dinding Bata 18,36 M2
- Bekisting untuk Dinding (2x pakai)' 0,23 M2
d) Plesteran Dinding 1 Pc : 2 Ps Tebal = 15 mm
Plesteran Dinding 2,75 M3

6 Sludge Drying Bed (P= 3,2 m, L= 1,6 m, H= 1,15 m)


a) Lantai Kerja Beton Bertulang K-275, Tebal 15 cm
- Beton Mutu K-275, f'c = 24,0 Mpa, Slump (12 ± 2) cm, w/c = 0,53 1,54 M3
- Pembesian Wire Mesh M12 11,07 Kg
b) Sloof Dinding Beton Bertulang K-275, Uk. (15/15) cm
- Beton Mutu K-300, f'c = 24,0 Mpa, Slump (12 ± 2) cm, w/c = 0,53 0,43 M3
- Pembesian dengan besi polos 15 mm 278,40 Kg
- Bekisting Untuk Sloof (3x Pakai) 0,43 M2
c) Dinding Bata campuran 1 Pc : 2 Ps
- Dinding Bata 22,08 M2
- Bekisting untuk Dinding' 0,43 M2
d) Plesteran Dinding 1 Pc : 2 Ps Tebal = 15 mm
Plesteran Dinding 3,31 M3

7 Gas Storage (D= 2 m)


a) Lantai Kerja Beton Bertulang K-275, Tebal 15 cm
- Beton Mutu K-275, f'c = 24,0 Mpa, Slump (12 ± 2) cm, w/c = 0,53 0,47 M3
- Pembesian Wire Mesh M12 3,39 Kg
b) Sloof Dinding Beton Bertulang K-275, Uk. (15/15) cm
- Beton Mutu K-275, f'c = 24,0 Mpa, Slump (12 ± 2) cm, w/c = 0,53 0,14 M3
- Pembesian dengan besi polos 15 mm 91,06 Kg
- Bekisting Untuk Sloof (3x Pakai) 0,14 M2
c) Dinding Bata campuran 1 Pc : 2 Ps
- Dinding Bata 6,91 M2
- Bekisting untuk Dinding' 0,14 M2
d) Plesteran Dinding 1 Pc : 2 Ps Tebal = 15 mm
Plesteran Dinding 1,88 M3

V-3
NO URAIAN PEKERJAAN VOLUME SATUAN

8 Penampung Padatan Kering (P= 2 m, L= 2m, H= 2,5 m)


a) Lantai Kerja Beton Bertulang K-275, Tebal 15 cm
- Beton Mutu K-275, f'c = 24,0 Mpa, Slump (12 ± 2) cm, w/c = 0,53 0,60 M3
- Pembesian Wire Mesh M12 4,32 Kg
b) Sloof Dinding Beton Bertulang K-275, Uk. (15/15) cm
- Beton Mutu K-275, f'c = 24,0 Mpa, Slump (12 ± 2) cm, w/c = 0,53 0,18 M3
- Pembesian dengan besi polos 15 mm 116,00 Kg
- Bekisting Untuk Sloof (3x Pakai) 0,18 M2
c) Dinding Bata campuran 1 Pc : 2 Ps
- Dinding Bata 20,00 M2
- Bekisting untuk Dinding' 0,18 M2
d) Plesteran Dinding 1 Pc : 2 Ps Tebal = 15 mm
Plesteran Dinding 3,00 M3

D. LAIN-LAIN
1. Motor tinja 1 Unit
2. Bar screen 1 Unit
3. Pipa PVC diameter 3” 50 M
4. Pipa Besi Hitam diameter 2” 6 M
5. Pompa submersible, panel dan aksesoris 1 Unit
6. Pompa lumpur 1 Unit
7. Airbag 1 Unit
8. Manometer 1 Unit
9. Tenaga Kerja 4 Orang
10. Kantor Administrasi 36 M2
11. Area Parkir 30 M2

V-4
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari perancangan ini adalah:
1. Sistem pengolahan lumpur tinja yang akan direncanakan di Perumahan Citra Wisata
dimulai dari bak penerima, bar screen, bak ekualisasi, anaerobic digester, kolam
fakultatif, sludge drying bed dan penampung padatan kering. Adapun gas yang
dihasilkan dari unit anaerobic digester akan ditampung di gas storage. Dimensi
unit-
unit pengolahan tersebut adalah sebagai berikut.
Panjang Lebar Kedalaman Freeboard
Unit Pengolahan (m) (m) (m) (m)
Bak penerima 0,35 1,35 1,00 0,60 0,3
Bar screen 0,55 0,35 0,60 0,3
Bak ekualisasi 2,24 1,12 0,80 0,3
Diameter
(m)
Anaerobic digester 6,03 4,00 0,3
Gas storage 2,00 - -
Kolam fakultatif 3,40 1,70 1,50 0,3
Sludge drying bed 3,20 1,60 0,85 0,3
Penampung padatan kering 2,00 2,00 2,50 -

2. Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) yang direncanakan mampu mereduksi


konsentrasi BOD sebesar 98%, COD 97%, TSS 92% dan total koliform 99%
dengan waktu tinggal total yaitu 67,6 hari.
3. Volume gas metan yang dihasilkan dari unit pengolahan anaerobic digester adalah
sebesar 0,46 m3/hari.
4. Lumpur kering yang dihasilkan dari unit sludge drying bed adalah sebesar 2,68
Kg/hari dimana lumpur kering tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman.

6.2 Saran
Adapun saran dari perancangan ini adalah:
1. Sebaiknya terdapat instalasi biogas untuk memanfaatkan biogas yang dihasilkan
menjadi sumber energi listrik alternatif atau sumber bahan bakar alternatif untuk
memasak.
2. Sebaiknya estetika di sekitar IPLT lebih diperhatikan dengan memanfaatkan ruang
yang tersedia.
DAFTAR PUSTAKA

Andriani D et al. 2015. A Review of Recycling of Human Excreta to Energy through


Biogas Generation: Indonesia Case. Elsevier 68: 219 – 225.

Arlina dkk. 2018. Evaluasi Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) Sewon,
Kabupaten Bantul, D.I. Yogyakarta. Universitas Islam Indonesia.

Ashuri dkk. 2018. Pengembangan Teknologi Pengolahan Limbah Komunal dan IPLT.
Puslitbang Perumahan dan Pemukiman.

Assidiqy. 2017. Perencanaan Bangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah Domestik


dengan Proses Anaerobic Baffled Reactor dan Anaerobic Filter pada Hotel
Bintang 5 Surabaya. Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

Badan Pusat Statistik. 2019. Kecamatan Medan Johor Dalam Angka. Medan: Badan
Pusat Statistik Kota Medan.

Colon J. et al. 2015. Anaerobic Digestion of Undiluted Simulant Human Excreta for
Sanitation and Energy Recovery in Less-Developed Countries. Elsevier 29: 57 –
64.

Damanhuri dan Padmi. 2016. Pengelolaan Sampah Terpadu Edisi Kedua. Bandung:
Penerbit ITB.

Darwin. 2018. Prinsip dan Aplikasi Teknologi Anaerobik Digesi Teknik Pengolahan
Limbah dan Produksi Energi Terbarukan. Yogyakarta: Deepublish.

Dian Gaby dan Welly Herimurti. 2016. Evaluasi Kinerja Instalasi Pengolahan Lumpur
Tinja (IPLT) Keputih, Surabaya. Jurnal Teknik ITS 5(1): 13 – 18.

Direktorat Jenderal Cipta Karya. 2017. Pedoman Perencanaan Teknik Terinci Instalasi
Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT). Jakarta: Kementerian PUPR.

Direktorat Jenderal Cipta Karya. 2017. Buku A Panduan Perhitungan Bangunan


Pengolahan Lumpur Tinja. Jakarta: Kementerian PUPR.

Environmental Canada. 2013. Technical Document on Municipal Solid Waste Organics


Processing. Public Work and Government Services of Canada.
Hardoyo dkk. 2014. Panduan Praktis Membuat Biogas Portable Skala Rumah Tangga
dan Industri. Yogyakarta: Lily Publisher.

Hidayat Hafizhul dkk. 2017. Perencanaan Pembangunan Instalasi Pengolahan Lumpur


Tinja (IPLT) di Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru. Jom FTEKNIK 4(1): 1 – 7.

IUWASH PLUS. 2019. Kerangka Nasional Pengembangan Pengelolaan Lumpur Tinja.


BAPPENAS.

Kholiq Imam dan Muharom. 2015. Analisis Perencanaan Reaktor Biogas Kap 16 m3
dengan Pemanfaatan Kotoran Manusia. JEMIS 3(2): 133 – 139.

Klingel et al. 2002. Fecal Sludge Management in Developing Countries. Swiss Federal
Institute for Environmental Science & Technology.

Mareta Andini. 2020. Perancangan Sistem Biodigester untuk Mengolah Sampah


Organik di Unit Pasar Besar Kebayoran Lama Jakarta Selatan. Universitas
Pertamina.

Metcalf and Eddy. 2003. Wastewater Engineering: Treatment Disposal Reuse. New
York: McGraw-Hill.

Moningka dkk. 2015. Analisis Pengelolaan Lumpur Tinja di Kecamatan Sario Kota
Manado. Sabua 7(2): 437 – 445.

Nasrullah. 2007. Studi Kelayakan Pengolahan Lumpur Tinja Kota Salatiga. Jurnal
PRESIPITASI 3(2): 16 – 24.

Permen PUPR Nomor 4. 2017. Penyelenggaraan Sistem Pengelolaan Air Limbah


Domestik. Jakarta: Kementerian PUPR.

Permen LHK Nomor 68. 2016. Baku Mutu Air Limbah Domestik. Jakarta: Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Pertiwiningrum, Ambar. 2015. Instalasi Biogas. Yogyakarta: CV. Kolom Cetak.

Pratami. 2011. Perencanaan Sistem Pengolahan Lumpur IPA Pejompongan I dan II


Jakarta. Universitas Indonesia

Purba dkk. 2020. Evaluasi dan Optimalisasi Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT)
Talang Bakung Jambi. Jurnal Daur Lingkungan 3(1): 33 – 37.
Putri NC. 2015. Kajian Implementasi Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja di Indonesia.
Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

Ramdhandi DS. 2016. Desain Umum Perencanaan Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja
di Kecamatan Tenggarong. Universitas Islam Indonesia.

Riffat Rumana. 2013. Fundamentals of Wastewater Treatment and Engineering. New


York: CRC Press.

RPI2JM Kota Medan. 2015. Bantuan Teknis Rencana Terpadu dan Program Investasi
Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2JM) Kota Medan Dalam Implementasi
Kebijakan Keterpaduan Program Bidang Cipta Karya. SIPPA Cipta Karya.

Samlawi AK dkk. 2016. Aplikasi Teknologi Digester untuk Pengolahan Human


Manure, Sampah Organik dan Limbah Cair Domestik di Asrama Mahasiswa
Kota Banjarbaru Kalimantan Selatan. INFO TEKNIK 17(1): 127 – 136.

SNI 2398. 2017. Tata Cara Perencanaan Tangki Septik dengan Pengolahan Lanjutan
(Sumur Resapan, Bidang Resapan, Up Flow Filter, Kolam Sanita). Jakarta:
Badan Standardisasi Nasional.

Soyingbe et al., 2019. Effective Management of Faecal Sludge through Co-Digestion for
Biogas Generation. Journal of Applied Sciences and Environmental Management
23(6): 1159 – 1168.

Starina Steffie dkk. 2016. Evaluasi Kinerja Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT)
Supiturang Kota Malang. Universitas Brawijaya.

Ummah. 2018. Pengeringan Lumpur IPAL Biologis pada Unit Sludge Drying Bed
(SDB).
Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

USAID. 2016. Saatnya Sekarang! Layanan Lumpur Tinja Terjadwal. United State
Agency.

US EPA. 2015. Anaerobic Digestion and its Applications. Office of Research and
Development.

Weiner RF and Robin Matthews. 2003. Environmental Engineering. USA: Elsevier


Science.
Yuniarti dkk. 2019. Pengaruh Proses Aerasi Terhadap Pengolahan Limbah Cair Pabrik
Kelapa Sawit di PTPN VII Secara Aerobik. Jurnal Univ. PGRI 4(2): 7 – 16.
U TEKNIK LINGKUNGAN
G:\images
(1).jpg
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

JUDUL GAMBAR

SITE PLAN PERUMAHAN


CITRA WISATA

KETERANGAN

JALAN

BLOK 6

SUNGAI
BLOK 7

BLOK 5

BLOK 4
BLOK 12
BLOK 11 BLOK 3

BLOK 8
DIGAMBAR OLEH
BLOK 2
BLOK 9

BLOK 10
ANANDA AMELIA SHAHAB
BLOK 1
(160407046)

DOSEN PEMBIMBING

Dr. AMIR HUSIN, ST. MT.


MUHAMMAD FAISAL, ST .
MT.
SKALA NOMOR GAMBAR

1:100 3.1
TEKNIK LINGKUNGAN
G:\images
(1).jpg
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

JUDUL GAMBAR

DENAH IPLT
Anaerobic Digester Gas Storage

2.00
7.03

6.03 KETERANGAN

Bak Penerima Bak Ekualisasi


& Bar Screen Kolam Fakultatif
3.40
2.24

1.70
1.44 1.12

0.35

2.00

1.60
2.00

Penampung Padatan
3.20 Kering
DIGAMBAR OLEH

ANANDA AMELIA SHAHAB


IPAL

Sludge Drying Bed (160407046)

DOSEN PEMBIMBING

Dr. AMIR HUSIN, ST. MT.


MUHAMMAD FAISAL, ST .
DENAH IPLT MT.
SKALA NOMOR GAMBAR

1:100 4.1
TEKNIK LINGKUNGAN
G:\images
(1).jpg
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

JUDUL GAMBAR

POTONGAN DENAH
IPLT

KETERANGAN

Gas Storage BETON


60°

Bak Penerima
& Bar Screen
Bak Ekualisasi
Kolam Fakultatif

Anaerobic Digester

Penampung Padatan Kering

IPAL
DIGAMBAR OLEH
Sludge Drying Bed

ANANDA AMELIA SHAHAB


(160407046)

DOSEN PEMBIMBING

POTONGAN DENAH IPLT Dr. AMIR HUSIN, ST. MT.


MUHAMMAD FAISAL, ST .
MT.
SKALA NOMOR GAMBAR

1:100 4.2
TEKNIK LINGKUNGAN
G:\images
(1).jpg
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Beton K-275 JUDUL GAMBAR


Bar Screen
BAK PENERIMA DAN
A A BAR SCREEN
1.35 m 0.35 m
KETERANGAN
Outlet
3LSD 39& ‘

BETON
1m

TAMPAK ATAS

Beton K-275

Bar Screen
DIGAMBAR OLEH
0.3 m

ANANDA AMELIA SHAHAB


0.6 m
ƒ (160407046)

Outlet DOSEN PEMBIMBING


0.1
3LSD 39& ‘

1m 0.55 m Dr. AMIR HUSIN, ST. MT.


MUHAMMAD FAISAL, ST .
MT.
SKALA NOMOR GAMBAR
POTONGAN A-A
1:20 4.3
2.24 m TEKNIK LINGKUNGAN
G:\images
(1).jpg
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Beton K-275
JUDUL GAMBAR

Manhole Outlet
Inlet
3LSD 39& ‘
BAK EKUALISASI
3LSD 39& ‘

1.12 m
KETERANGAN
A A

BETON

TAMPAK ATAS

Manhole
Manhole 10 60 10

DIGAMBAR OLEH
Inlet Outlet
3LSD 39& ‘
3LSD 39& ‘
0.3 m
ANANDA AMELIA SHAHAB
(160407046)
Beton K-275
Pompa Submersible
0.8 m
DOSEN PEMBIMBING

Dr. AMIR HUSIN, ST. MT.


MUHAMMAD FAISAL, ST .
MT.
SKALA NOMOR GAMBAR

POTONGAN A-A
1:20 4.4
TEKNIK LINGKUNGAN
G:\images
(1).jpg
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

JUDUL GAMBAR

ANAEROBIC DIGESTER

KETERANGAN

Outlet Gas
Inlet 3LSD %HVL +LWDP ‘ Outlet
3LSD 39& ‘ 3LSD 39& ‘
60
6.03 m 7.03 m
60
Manhole
Outlet Lumpur
3LSD 39& ‘

A A
DIGAMBAR OLEH

ANANDA AMELIA SHAHAB


(160407046)

DOSEN PEMBIMBING

Dr. AMIR HUSIN, ST. MT.


MUHAMMAD FAISAL, ST .
MT.
TAMPAK ATAS SKALA NOMOR GAMBAR

1:50 4.5
G:\images
(1).jpg
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

JUDUL GAMBAR

ANAEROBIC DIGESTER
Valve

Outlet Gas KETERANGAN


3LSD %HVL +LWDP ‘
Manhole

MUKA TANAH

0.3 m

Inlet
3LSD 39& ‘ Outlet BETON
3LSD 39& ‘

3.2 m
Beton K-275

0.8 m
Outlet Lumpur
DIGAMBAR OLEH
3LSD 39& ‘

ANANDA AMELIA SHAHAB


(160407046)

DOSEN PEMBIMBING

Dr. AMIR HUSIN, ST.MT.


MUHAMMAD FAISAL, ST . MT.
POTONGAN A-A
SKALA NOMOR GAMBAR

1:50 4.6
TEKNIK LINGKUNGAN
G:\images
(1).jpg
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Beton K-275 JUDUL GAMBAR

KOLAM FAKULTATIF
Outlet 1.7 m
Inlet 3LSD 39& ‘
3LSD 39& ‘

A A KETERANGAN

Outlet Lumpur BETON


3LSD 39& ‘

TAMPAK ATAS

0.3 m
Inlet
3LSD 39& ‘ DIGAMBAR OLEH
Outlet
3LSD 39& ‘

ANANDA AMELIA SHAHAB


1.5 m
(160407046)

Beton K-275
DOSEN PEMBIMBING

Dr. AMIR HUSIN, ST. MT.


3.4 m MUHAMMAD FAISAL, ST .
MT.
SKALA NOMOR GAMBAR

POTONGAN A-A
1:25 4.7
TEKNIK LINGKUNGAN
G:\images
(1).jpg
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

JUDUL GAMBAR
Beton K-275

Outlet SLUDGE DRYING BED


3LSD 39& ‘

Inlet
3LSD 39& ‘ KETERANGAN
1.6 m
A A
LUMPUR

PASIR

TAMPAK ATAS
KERIKIL

Inlet BETON
3LSD 39& ‘
0.30 m DIGAMBAR OLEH
Batu Bata 0.20 m
1.15 m
Beton K-275
0.30 m ANANDA AMELIA SHAHAB
0.35 m
(160407046)

DOSEN PEMBIMBING
Outlet
3.2 m 3LSD 39& ‘
Dr. AMIR HUSIN, ST. MT.
MUHAMMAD FAISAL, ST . MT.
POTONGAN A-A
SKALA NOMOR GAMBAR

1:25 4.8
TEKNIK LINGKUNGAN
G:\images
(1).jpg
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Beton K-275
JUDUL GAMBAR

GAS STORAGE

2m
Inlet KETERANGAN
3LSD %HVL +LWDP ‘

A A BETON

TAMPAK ATAS

Airbag

DIGAMBAR OLEH

ANANDA AMELIA SHAHAB


2m (160407046)

DOSEN PEMBIMBING

Dr. AMIR HUSIN, ST. MT.


Inlet MUHAMMAD FAISAL, ST .
3LSD %HVL +LWDP ‘
MT.
Beton K-275 SKALA NOMOR GAMBAR

POTONGAN A-A
1:20 4.9
2m
TEKNIK LINGKUNGAN
G:\images
(1).jpg
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

JUDUL GAMBAR

PENAMPUNG PADATAN
A A KERING
2m
KETERANGAN

BETON

TAMPAK ATAS

DIGAMBAR OLEH
Beton K-275

ANANDA AMELIA SHAHAB


(160407046)
2.5 m
DOSEN PEMBIMBING

Dr. AMIR HUSIN, ST. MT.


MUHAMMAD FAISAL, ST .
MT.
SKALA NOMOR GAMBAR
POTONGAN A-A

1:25 4.10
U G:\images
TEKNIK LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNIK
(1).jpg

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

JUDUL GAMBAR

LOKASI IPLT

KETERANGAN

JALAN POHON
SUNGAI

BLOK 6

1 KANTOR
BLOK 7
BLOK 5

BLOK 4 2 PARKIR
BLOK 12
BLOK 11 BLOK 3
BLOK 8
1 2

BLOK 2
DIGAMBAR OLEH
BLOK 9

BLOK 10 BLOK 1
ANANDA AMELIA SHAHAB
(160407046)

DOSEN PEMBIMBING

Dr. AMIR HUSIN, ST. MT.


MUHAMMAD FAISAL, ST .
MT.
SKALA NOMOR GAMBAR

1:100 4.11
U TEKNIK LINGKUNGAN
G:\images
(1).jpg
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

JUDUL GAMBAR

SKEMA PENGANGKUTAN
LUMPUR TINJA PER HARI

KETERANGAN

RITASE 1

RITASE 2

RITASE 3
BLOK 6

BLOK 7
B L O
B L O K RITASE 4
K 1
5

BLOK 4
BLOK 12 BLOK 3 DIGAMBAR OLEH
BLOK 11

BLOK 8

BLOK 2 ANANDA AMELIA SHAHAB


BLOK 9 (160407046)
BLOK 10
BLOK 1

DOSEN PEMBIMBING

Dr. AMIR HUSIN, ST. MT.


MUHAMMAD FAISAL, ST .
MT.
SKALA NOMOR GAMBAR

1:100 4.12
BIOGRAFI PENULIS

Nama : Ananda Amelia Shahab


NIM : 160407046
Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 17 Februari 1999

Alamat Email : anandaameliashahab@gmail.com

No. HP : 082275613822
Nama Orang Tua
Ayah : Said Zulfikri
Ibu : Enni Zuhra
Alamat Orang Tua : Jl. Puskesmas Gg. Pertama No. 4,
Medan
Asal Sekolah
1. SD Negeri 060884, 2005-2010
2. SMP Negeri 1 Medan, 2010-2013
3. SMA Negeri 4 Medan, 2013-2016
Pengalaman Organisasi /Kerja
1. Asisten Tugas Besar Perencanaan Pengolahan Air Buangan Setempat, Teknik
Lingkungan T.A. 2019/2020
2. Asisten Tugas Besar Teknologi Lingkungan Berbasis Masyarakat, Teknik
Lingkungan T.A. 2019/2020
3. Kerja Praktik di HSE Department, PT Pupuk Iskandar Muda, Tahun 2019
Artikel Yang Sudah Dipublikasikan Dalam Jurnal/Pertemuan Ilmiah
-

Anda mungkin juga menyukai