Anda di halaman 1dari 35

REFERAT

Human Immunodeficiency Virus

Disusun Oleh :

Mutia Rahmawati (2014730066)

Dokter Pembimbing :

dr. H. Wasis Santoso, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA PONDOK KOPI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah
kepada kita, terutama kepada penulis sehingga laporan kasus ini dapat terselesaikan.
Dalam laporan kasus ini penulis mengangkat judul “HIV” yang sekaligus merupakan
tugas kepaniteraan dibagian Ilmu Penyakit Dalam untuk proses belajar di RSIJ Pondok
Kopi.

Dalam penyusunan laporan ini penulis menyadari bahwa masih banyak


kekurangan dan juga banyak menemui berbagai macam hambatan dan kesulitan karena
masih terbatasnya ilmu pengetahuan yang penulis miliki, namun berkat adanya
bimbingan, bantuan serta pengarahan dari berbagai pihak maka, penulis dapat
menyelesaikan laporan ini tepat pada waktunya. Oleh karena itu dengan terselesaikannya
penyusunan laporan kasus ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang
sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan
laporan kasus ini terutama kepada yang terhormat dr. H. Wasis Satoso, Sp.PD, selaku
tutor pembimbing yang telah memberikan bimbingan, bantuan, serta pengarahan.

Semakin penulis mempelajari kasus dan literatur mengenai masalah ini,


semakin penulis sadar bahwa banyak sekali yang belum penulis ketahui. oleh karena itu,
penulis mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak guna menyempurnakan laporan
ini.

Jakarta, Mei 2019

Mutia Rahmawati
A. DEFINISI

Human Immunodeficiency Virus yang selanjutnya disingkat HIV adalah Virus


yang menyebabkan Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS).

Acquired Immuno Deficiency Syndrome yang selanjutnya disingkat AIDS


adalah suatu kumpulan gejala berkurangnya kemampuan pertahanan diri yang
disebabkan oleh masuknya virus HIV dalam tubuh seseorang.

Orang Dengan HIV dan AIDS yang selanjutnya disingkat ODHA adalah orang
yang telah terinfeksi virus HIV.

Yang dimaksud berisiko adalah kelompok populasi kunci ; Pekerja seks (PS)
Pengguna narkoba suntik (Penasun), Lelaki seks lelaki (LSL), Waria dan kelompok
khusus: pasien hepatitis, ibu hamil, pasangan serodiskordan, pasien TB, pasien Infeksi
Menular Seksual (IMS), dan Warga Binaan Permasyarakatan (WBP).

B. ETIOLOGI

AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA berbentuk sferis
yang termasuk retrovirus dari famili Lentivirus.Retrovirus berdiameter 70-130 nm. Masa
inkubasi virus ini selama sekitar 10 tahun . Virion HIV matang memiliki bentuk hampir
bulat. Selubung luarnya, atau kapsul viral, terdiri dari lemak lapis ganda yang banyak
mengandung tonjolan protein. Duri-duri ini terdiri dari dua glikoprotein yaitu gp120 dan
gp41. Terdapat suatu protein matriks yang disebut gp17 yang mengelilingi segmen bagian
dalam membran virus. Sedangkan inti dikelilingi oleh suatu protein kapsid yang disebut
p24. Di dalam kapsid terdapat dua untai RNA identik dan molekul preformed reverse
transcriptase, integrase dan protease yang sudah terbentuk. Reverse transcriptase adalah
enzim yang mentranskripsikan RNA virus menjadi DNA setelah virus masuk ke sel
sasaran. Strukturnya tersusun atas beberapa lapisan dimana lapisan terluar (envelop)
berupa glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein gp41. Selubung glikoprotein
ini berafinitas tinggi terhadap molekul CD4 pada permukaan T-helper lymphosit dan
monosit atau makrofag. Lapisan kedua di bagian dalam terdiri dari protein p17. Inti HIV
dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti ini terdapat dua rantai RNA dan enzim
transkriptase reverse (reverse transcriptase enzyme).
Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup
mempunyai lagi berbagai subtipe, dan masing-masing subtipe secara evolusi yang cepat
mengalami mutasi. Diantara kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan
kelainan dan lebih ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-1.
Adapun struktur HIV yaitu bagian luar HIV dilipuit oleh selubung yang disebut
‘envelope’ dan di bagian dalam terdapat sebuah inti (CORE), sebagai berikut:
1. Envelope.
HIV bergaris tengah 1/10.000 mm dan
mempunyai bentuk bulat seperti bola. Lapisan
paling luar disebut ENVELOPE, terdiri dari
dua lapisan molekul lemak yang disebut lipids.
Lapisan ini diambil dari sel manusia ketika
partikel virus yang baru terbentuk dengan
membentuk tonjolan dan lepas dari sel
tersebut.Selubung virus terisi oleh protein yang Gambar struktur virus HIV-
WHO. TB/ HIV: A
berasal dari sel induk, termasuk 72 turunan ClinicalManual; 2004. Diakses dari:
whqlibdoc.who.int/publications/2004/9241546344.
(rata-rata) protein HIV komplek yang menonjol pdf. Accessed on: 25 October 2013.
dari permukaan selubung. Protein ini disebut
env, terdiri atas sebuah tutup (cap)terbuat dari 3-4 molekul GLYCOPROTEIN (gp) 120
dan sebuah batang yang terdiri atas 3-4 molekul gp 41 sebagai rangka struktur dalam
envelope virus.7
2. Inti atau CORE.
Dalam envelope partikel HIV yang sudah matang terdapat inti yang berbentuk
peluruyang disebut CAPSID, terbentuk dari 2000 turunan protein virus lainnya, P 24.
Capsid mengelilingi 2 helaian tunggal RNA HIV, yang masing-masing memiliki 9 gen
dari virus. Tiga diantaranya gag, pol dan env, mengandung informasi yang diperlukan
untuk membuat protein terstruktur untuk partikel virus baru. Gen env, misalnya
mengkode protein gp 160 yang dipecah oleh enzim virus untuk membentuk gp 120 dan
gp 41, yang merupakan komponen env. Tiga buah gen pengatur, tat, rev dan nef dan 3
gen tambahan, vif, vpr, dan vpu mengandung informasi yang diperlukan untuk
memproduksi protein yang mengatur kemampuan HIV menginfeksi suatu sel, membuat
turunan virus baru atau menimbulkan penyakit. Protein yang dikode oleh nef misalnya
menyebabkan virus dapat melakukan replikasi secara efisien sacara efisien dan protein
yang dikode oleh vpu berpengaruh terhadap pelepasan partikel virus baru dari sel yang
diinfeksi. Inti HIV juga mencakup sebuah protein yang disebut P7, yaitu protein
nucleocapsid HIV, dan 3 buah enzim yang berperan dalam langkah berikutnya dalam
siklus hidup virus, yaitu: REVERSE, TRANSCRIPTASE, INTEGRASE dan PROTASE.
Protein HIV lainnya adalah P17 atau matriks HIV, terletak antara inti dan envelope.
C. PATOFISIOLOGI

HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalu berbagai cara yaitu secara
vertical, horizontal dan transeksual. Jadi HIV dapat mencapai sirkulasi sistemik secara
langsung dengan diperantarai benda tajam yang mampu menembus dinding pembuluh
darah atau secara tidak langsung melalui kulit dan mukosa yang intak seperti yang
terjadi pada kontak seksual. Begitu mencapai atau berada dalam sirkulasi sistemik, 4-
11 hari sejak paparan pertama, HIV dapat dideteksi di dalam darah. Selama dalam
sirkulasi sistemik terjadi viremia dengan disertai gejala dan tanda infeksi virus akut
seperti panas tinggi mendadak, nyeri kepala, nyeri sendi, nyeri otot, mual, muntah,
sulit tidur, batuk-batuk, dan lain-lain. Keadaan ini disebut sindrom retroviral akut.
Pada vase ini terjadi penurunan CD4 dan peningkatan HIV-RNA Viral load. Viral
load akan meningkat dengan cepat pada awal infeksi, kemudian turun sampai pada
suatu titik tertentu. Dengan semakin berlanjutnya infeksi, viral load secara perlahan
cenderung terus meningkat. Keadaan tersebut akan diikuti penurunan hitung CD 4
secara perlahan dalam waktu beberapa tahun dengan laju penurunan CD 4 yang lebih
cepat pada kurun waktu 1,5-2,5 tahun sebelum akhirnya jatuh ke stadium AIDS.
Fase selanjutnya HIV akan berusaha masuk ke dalam sel target. Sel yang
menjadi target HIV adalah sel yang mampu mengekspresikan reseptor CD4. Untuk
bisa masuk ke sel target, gp 120 HIV perlu berikatan dengan reseptor CD4. Reseptor
CD4 ini terdapat pada permukaan limfosit T, monosit, makrofag, Langerhan’s, sel
dendrit, astrosit, microglia. Selain itu, untuk masuk ke sel HIV memerlukan
chemokine reseptor yaitu CXCR4 dan ccr5, beberapa reseptor lain yang memiliki
peran adalah CCR2b dan CCR3. Selanjutnya akan diikuti fase fusi membran HIV
dengan membran sel target atas peran gp41 HIV. Dengan terjadinya fusi kedua
membran, seluruh isi sitoplasma HIV termasuk enzim reverse transkriptase dan inti
masuk ke dalam sitoplasma sel target. Setelah masuk dalam sel target, HIV
melepaskan single strand RNS (ssRNA). Enzim reverse transcriptase akan
menggunakan RNA sebagai template untuk mensisntesis DNA. Kemudian RNA
dipindahkan oleh ribonuklease dan enzim reverse transcriptase untuk mensintesis
DNA lagi menjadi double stran DNA yang disebut sebagai provirus. Provirus masuk
ke dalam inti sel, menyatu dengan kromosom host rndengan perantara enzim
integrase. Penggabungan ini menyebabkan provirus menjadi tidak aktif untuk
melakukan transkripsi dan translasi. Kondisi provirus yang tidak aktif ini disebut
sebagai keadaan laten. Untuk mengaktifkan provirus ini memrlukan aktivasi dari sel
host. Bila sel host teraktivasi oleh inductor seperti antigen, sitokin atau factor lain
maka sel akan memicu nuclear factor sehingga menjadi aktif dan berikatan dengan 5
LTR (Long terminal repeats) yang mengapit gen-gen tersebut. LTR berisi berbagai
elemen pengatur yang terlibat pada ekspresi gen, NF menginduksi replikasi DNA.
Induktor NF cepat memicu replikasi HIV dengan cara intervensi dari mikroorganisme
lain., misalnya bakteri, jamur, protozoa, ataupun virus. Dari keempat golongan
tersebut, yang paling cepat menginduksi replikasi HIV adalah virus non HIV,
terutama virus DNA.
Enzim polymerase akan mentranskrip DNA menjadi RNA yang secara stuktur
berfungsi sebagai RNA genomic dan mRNA. RNA keluar dari nucleus, mRNA
mengalami translasi menghasilkan polipeptida. Polipeptida akan bergabung dengan
RNA menjadi inti virus baru. Inti beserta perangkat lengkap virion baru ini
membentuk tonjolan pada permukaan sel host, kemudian polipeptida dipecah oleh
enzim protease menjadi protein dan enzim fungsioal. Inti virus baru dilengkapi oleh
kolesterol dan glikolipid dari permukaan sel host, sehingga terbentuk virus baru yang
lengkap dan matang. Virus ini akan keluar dari sel, dan akan menginfeksi sel target
berikutnya. Dalam satu hari HIV mampu melakukan replikasi hingga mencapai 10 9-
1011 virus baru.
Secara perlahan tapi pasti,, limfosit T penderita akan tertekan dan semakin
menurun dari waktu ke waktu. Individu yang terinfeksi HIV mengalami penurunan
jumlah Limfosit T-CD4 melalui beberapa mekanisme:
 Kematian sel secara langsung karena hilangnya integritas membran plasma
akibat adanya penonjolan dan perobekan oleh virion. Akumulasi DNA virus
yang tidak terintegritasi dengan nucleus akan menggangu sintesis
makromolekul.
 Syncytia formation, yaitu terjadiya fusi antarmembran sel yang terinfeksi HIV
dengan limfosit T-CD4 yang tidak terinfeksi.
 Respon imun humoral dan seluler yang ikut berperan, tapi respon ini dapat
menyebabkan disfungsi imun akibat eliminasi sel yang terinfeksi dan sel normal
sekitarnya.
 Mekanisme autoimun dengan pembentukan autoantibody yang berperan untuk
mengeliminasi sel yang terinfeksi.
 Kematian sel yang terprogram (apoptosis). Pengikatan antara gp120 dengan
reseptor CD4 Limfosit T merupakan sinyal pertama untuk menyampaikan pesan
kematian sel melalui apoptosis.
Dengan berbagai proses kematian limfosit T tersebut terjadi penurunan jumlah
limfosit T-CD4 secara dramatis dari normal yang berkisar 600-1200/mm3 menjadi
200/mm3 atau lebih rendah lagi. Semua mekanisme tersebut menyebabkan penurunan
system imun, sehingga pertahanan individu terhadap mikroorganisme patogen
menjadi lemah dan meningkatkan resiko terjadinya infeksi sekunder sehingga masuk
ke stadium AIDS. Masuknya infeksi sekunder menyebabkan munculnya keluhan dan
gejala klinis sesuai jenis infeksi sekundernya.

Gambar Patogenesis Infeksi HIV


Sumber Gambar: HIV/ AIDS. Available at:
whqlibdoc.who.int/publications/2004/9241546344.pdf.

Respon Imun Terhadap Infeksi HIV


Segera setelah terpajan HIV, individu akan melakukan perlawanan imun yang
intensif. Sel-sel B menghasilkan antibodi-antibodi spesifik terhadap berbagai protein
virus. Ditemukan antibodi netralisasi terhadap regio-regio di gp120 selubung virus dan
bagian eksternal gp41. Deteksi anti bodi adalah dasar bagi berbagai uji HIV (misalnya,
enzime-linked immunosorbent assay [ELISA]). Di dalam darah dijumpai kelas antibodi
imunoglobulin G (IgG) maupun imunoglobulin M (IgM), tetapi seiring dengan
menurunnya titer IgM, titer IgG (pada sebagian besar kasus) tetap tinggi sepanjang
infeksi. Antibodi IgG adalah antibodi  utama yang digunakan dalam uji HIV. Antibodi
terhadap HIV dapat muncul dalam 1 bulan setelah infeksi awal dan pada sebagian
besar orang yang terinfeksi HIV dalam 6 bulan setelah pajanan. Namun, antibodi HIV
tidak menetralisasikan HIV atau menimbulkan perlindungan terhadap infeksi lebih
lanjut.
Produksi imunoglobulin diatur oleh limfosit T CD4+, limposit T CD+ diaktifkan
oleh sel penyaji antigen (APC) untuk menghasilkan berbagai sitokin seperti
interleukin-2 (IL-2), yang membantu merangsang sel B untuk membelah dan
berdiferensiasi  menjadi sel plasma. Sel-sel plasma ini kemudian menghasilkan
imunoglobuin yang spesifik untuk antigen yang merangsangnya. Sitokin IL-2 hanyalah
salah satu dari banyak sitokin yang memengaruhi respons imun baik humoral maupun
selular. Walaupun tingkat kontrol, ekspresi, dan potensi fungsi sitokin dalam infeksi
HIV masih terus diteliti, namun sitokin jelas penting dalam aktivitas intrasel. Sebagai
contoh, penambahan sitokin IL-12 (faktor stimulasi sel NK) tampaknya melawan
penurunan aktivitas dan fungsi sel NK seperti yang terjadi pada infeksi HIV. Sel-sel
NK adalah sel yang penting karena dalam keadaan normal sel-sel inilah yang
mengenali dan menghancurkan sel yang terinfeksi oleh virus dengan mengeluarkan
perforin yang serupa dengan yang dihasilkan oleh sel CD8.8
Peran sitotoksik sel CD8 adalah mengikat sel yang terinfeksi oleh virus dan
mengeluarkan perforin, yang menyebabkan kematian sel. Aktivitas sitotosik sel CD8
sangat hebat pada awal infeksi HIV. Sel CD8 juga dapat menekan replikasi HIV di
dalam limfosit CD4+. Penekanan ini terbukti bervariasi tidak saja di antara orang yang
berbeda tetapi juga pada orang yang sama seiring dengan perkembangan penyakit.
Aktivitas antivirus sel CD8 menurun seiring dengan perkembangannya penyakit.
Dengan semakin beratnya penyakit, jumlah limfosit CD4+ juga berkurang. Berbagai
hipotesis tentang penyebab penurunan bertahap tersebut akan dibahas berikut ini.
Fungsi regulator esensial limfosit CD4+ dalam imunitas selular tidak
terbantahkan. Limfosit CD4+ mengeluarkan berbagai sitokin yang memperlancar
proses-proses misalnya produksi imunoglobulin dan pengaktivan sel T tambahan dan
makrofag. Dua sitokin spesifik yang dihasilkan oleh limfosit CD4+-IL-2 dan interferon
gama berperan penting dalam imunitas selular. Pada kondisi normal, limfosit CD4+
mengeluarkan interferon gama yang menarik makrofag dan mengintensifkan reaksi
imun terhadap antigen. Namun, apabila limfosit CD4+ tidak berfungsi dengan benar
maka produksi interferon gama akan menurun. IL-2 penting untuk memfasilitasi tidak
saja produksi sel plasma tetapi juga pertumbuhan dan aktivitas antivirus sel CD8 dan
replikasi-diri populasi limfosit CD4+.8
Walaupun mekanisme pasti sitopatogenisitas limfosit CD4+ belum diketahui,
namun dapat diajukan argumen-argumen untuk berbagai hipotesis seperti apoptosis,
anergi, pembentukan sinsitium, dan lisis sel. Antibodi-dependent, complement-
mediated cytotoxicity (ADCC, sitotoksisitas yang dependen antibodi dan diperantarai
oleh komplemen) mungkin salah satu efek imun humoral yang membantu
menyingkirkan limfosit CD4+ yang terinfeksi oleh HIV. Antibodi terhadap dua
glikoprotein, gp120 dan gp41, menginduksi ADCC. Sel-sel seperti sel NK kemudian
bertindak untuk  mematikan sel yang terinfeksi.
Perkembangan klinis
AIDS adalah stadium akhir dalam suatu kelainan imunologik dan klinis
kontinum yang dikenal sebagai “spektrum infeksi HIV”. Perjalanan penyakit dimulai
saat terjadi penularan dan pasien terinfeksi. Tidak semua orang yang terpajan akan
terinfeksi (misalnya, homozigot dengan gen CCR5 mutan). Mungkin terdapat
kofaktor lain dalam akuisisi yang perlu diidentifikasi lebih lanjut. Setelah infeksi awal
oleh HUV, pasien mungkin tetap seronegatif selama beberapa bulan. Namun, pasien
ini bersifat menular selama periode ini dan dapat memindahkan virus ke orang lain.
Fase ini disebut “window period” (“masa jendela”). Manifestasi klinis pada orang
yang terinfeksi dapat timbul sedini 1 sampai 4 minggu setelah pajanan.9
Infeksi akut tejadi pada tahap serokonversi dari status antibodi negatif menjadi
positif. Sebagian orang mengalami sakit mirip penyakit virus atau mirip
mononukleosis infeksiosa yang berlangsung beberapa hari. Gejala mungkin berupa
malaise, demam, diare, limfadenopati, dan ruam makulopapular. Beberapa orang
mengalami gejala yang lebih akut, seperti meningitis dan pneumonitis. Selama
periode ini, dapat terdeteksi HIV dengan kadar tinggi di darah perifer. Kadar limfosit
CD4+ turun dan kemudian kembali ke kadar sedikit di bawah kadar semula untuk
pasien yang bersangkutan.
Dalam beberapa minggu setelah fase infeksi akut, pasien masuk ke fase
asimtomatik. Pada awal fase ini, kadar limfosit CD4+ umumnya sudah kembali
mendekati normal. Namun, kadar limfosit CD4+ menurun secar bertahap seiring
dengan waktu. Selama fase infeksi ini, baik virus maupun antibodi virus ditemukan di
dalam darah. Seperti dibahas sebelumnya, replikasi virus berlangsung di jaringan
limfoid. Virus itu sendiri tidak pernah masuk ke dalam periode laten walaupun fase
infeksi klinisnya mungkin laten.9
Pada fase simtomatik dari perjalanan penyakit, hitung sel CD4+ pasien
biasanya telah turun di bawah 300 sel /µ. Dijumpai gejala-gejala yang menunjukkan
imunosupresi dan gejala ini berlanjut sampai pasien memperlihatkan penyakit-
penyakit terkait AIDS . CDC telah mendefinisikan penyakit-penyakit simtoatik untuk
kategori klinis ini

Bagan Perjalanan Penyakit HIV/ AIDS

D. CARA PENULARAN

A. Transmisi Seksual

Penularan melalui hubungan seksual baik homoseksual maupun


heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi
(penularan seksual merupakan cara infeksi yang paling utama diseluruh dunia,
yang berperan lebih dari 75% dari semua kasus penularan HIV). Risiko seorang
wanita terinfeksi dari laki-laki yang seropositif lebih besar jika dibandingkan
seorang laki-laki yang terinfeksi dari wanita yang seropositif. Penularan ini
berhubungan dengan semen dan cairan vagina atau serik. Infeksi dapat ditularkan
dari setiap pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV
tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis
hubungan seks. Orang yang sering berhubungan seksual dengan berganti pasangan
merupakan kelompok manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV.

B. Transmisi Parenteral
 Transmisi ini sebagai akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk
lainnya (alat tindik) yang telah terkontaminasi, misalnya pada
penyalahgunaan narkoba suntik yang menggunakan jarum suntik yang
tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melalui
jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih
dahulu. Resiko tertular cara transmisi parental ini kurang dari 1%. Hal ini
terkait penyalah guna obat-obat intravena. Penggunaan jarum suntik secara
bersama-sama dan bergantian semakin meningkatkan prevalensi
HIV/AIDS pada pengguna narkotika. Di negara maju, wanita pengguna
narkotika jarum suntik menjadi penularan utama pada populasi umum
melalui pelacuran dan transmisi vertikal kepada anak mereka.
 Darah atau Produk Darah.Transfusi darah dan produk darah. HIV dapat
ditularkan melalui pemberian whole blood, komponen sel darah, plasma
dan faktor-faktor pembekuan darah. Kejadian ini semakin berkurang
karena sekarang sudah dilakukan tes antibodi-HIV pada seorang donor.
Apabila tes antibodi dilakukan pada masa sebelum serokonversi maka
antibodi-HIV tersebut tidak dapat terdeteksi. Transmisi melalui transfusi
atau produk darah terjadi di negara-negara barat sebelum tahun 1985.
Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat sangat
jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Resiko
tertular infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah lebih dari 90%.
C. Transmisi Transplasental

Maternofetal. Sebelum ditemukan HIV, banyak anak yang terinfeksi


dari darah ataupun produk darah atau dengan penggunan jarum suntik secara
berulang. Sekarang ini, hampir semua anak yang menderita HIV/AIDS
terinfeksi melalui transmisi vertikal dari ibu ke anak. Diperkirakan hampir
satu pertiga (20-50%) anak yang lahir dari seorang ibu penderita HIV akan
terinfeksi HIV. Peningkatan penularan berhubungan dengan rendahnya jumlah
CD4 ibu. Infeksi juga dapat secara transplasental, tetapi 95% melalui transmisi
perinatal. Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak
mempunyai resiko sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil,
melahirkan dan sewaktu menyusui. Penularan melalui air susu ibu termasuk
penularan dengan resiko rendah.
D. Pemberian ASI
Peningkatan penularan melalui pemberian ASI pada bayi adalah 14%.
Di negara maju, ibu yang terinfeksi HIV tidak diperbolehkan memberikan ASI
kepada bayinya.
E. Petugas Kesehatan
Sangat berisiko terpapar bahan infeksius termasuk HIV. Berdasarkan
data yang didapat dari 25 penelitian retrospektif terhadap petugas kesehatan,
didapatkan rata-rata risiko transmisi setelah tusukan jarum ataupun paparan
perkutan lainnya sebesar 0,32% atau terjadi 21 penularan HIV setelah 6.498
paparan, dan setelah paparan melalui mukosa sebesar 0,09%.

E. Klasifikasi Klinis
F. DIAGNOSIS HIV
1) Konseling dan Tes HIV
Untuk mengetahui status HIV seseorang, maka klien/pasien harus
melalui tahapan konseling dan tes HIV (KT HIV). Secara global diperkirakan
setengah ODHA tidak mengetahui status HIV-nya. Sebaliknya mereka yang
tahu sering terlambat diperiksa dan karena kurangnya akses hubungan antara
konseling dan tes HIV dengan perawatan, menyebabkan pengobatan sudah
pada stadium AIDS. Keterlambatan pengobatan mengurangi kemungkinan
mendapatkan hasil yang baik dan penularan tetap tinggi.
Tujuan konseling dan tes HIV adalah harus mampu mengidentifikasi
ODHA sedini mungkin dan segera memberi akses pada layanan perawatan,
pengobatan dan pencegahan. KT HIV merupakan pintu masuk utama pada
layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan. Dalam kebijakan
dan strategi nasional telah dicanangkan konsep akses universal untuk
mengetahui status HIV, akses terhadap layanan pencegahan, perawatan,
dukungan dan pengobatan HIV dengan visi getting 3 zeroes.
Konseling dan tes HIV harus mengikuti prinsip yang telah disepakati
secara global yaitu 5 komponen dasar yang disebut 5C (informed consent;
confidentiality; counseling; correct test results; connections to care, treatment
and prevention services). Prinsip 5C tersebut harus diterapkan pada semua
model layanan Konseling dan Tes HIV.
1. Informed Consent, adalah persetujuan akan suatu tindakan
pemeriksaan laboratorium HIV yang diberikan oleh pasien/klien atau
wali/pengampu setelah mendapatkan dan memahami penjelasan yang
diberikan secara lengkap oleh petugas kesehatan tentang tindakan medis yang
akan dilakukan terhadap pasien/klien tersebut.
2. Confidentiality, adalah Semua isi informasi atau konseling antara
klien dan petugas pemeriksa atau konselor dan hasil tes laboratoriumnya tidak
akan diungkapkan kepada pihak lain tanpa persetujuan pasien/klien.
Konfidensialitas dapat dibagikan kepada pemberi layanan kesehatan yang
akan menangani pasien untuk kepentingan layanan kesehatan sesuai indikasi
penyakit pasien.
3. Counselling, yaitu proses dialog antara konselor dengan klien
bertujuan untuk memberikan informasi yang jelas dan dapat dimengerti klien
atau pasien. Konselor memberikan informasi, waktu, perhatian dan
keahliannya, untuk membantu klien mempelajari keadaan dirinya, mengenali
dan melakukan pemecahan masalah terhadap keterbatasan yang diberikan
lingkungan. Layanan konseling HIV harus dilengkapi dengan informasi HIV
dan AIDS, konseling pra-Konseling dan Tes pascates yang berkualitas baik.
4. Correct test results. Hasil tes harus akurat. Layanan tes HIV harus
mengikuti standar pemeriksaan HIV nasional yang berlaku. Hasil tes harus
dikomunikasikan sesegera mungkin kepada pasien/klien secara pribadi oleh
tenaga kesehatan yang memeriksa.
5. Connections to, care, treatment and prevention services. yang
didukung dengan sistem rujukan yang baik dan terpantau.
Penyelenggaraan KT HIV,adalah suatu layanan untuk mengetahui
adanya infeksi HIV di tubuh seseorang. Layanan ini dapat diselenggarakan di
fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah dan swasta. KT HIV didahului
dengan dialog antara klien/pasien dan konselor/petugas kesehatan dengan
tujuan memberikan informasi tentang HIV dan AIDS dan meningkatkan
kemampuan pengambilan keputusan berkaitan dengan tes HIV.
2) Tes Diagnosis HIV
Pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2013 tentang
Penanggulangan HIV dan AIDS ditambahkan dan ditegaskan pula indikasi tes
HIV, yaitu:
1. Setiap orang dewasa, anak, dan remaja dengan kondisi medis yang
diduga terjadi infeksi HIV terutama dengan riwayat tuberkulosis dan IMS
2. Asuhan antenatal pada ibu hamil dan ibu bersalin
3. Laki-laki dewasa yang meminta sirkumsisi sebagai tindakan
pencegahan HIV. Untuk melakukan tes HIV pada anak diperlukan izin dari
orang tua/wali yang memiliki hak hukum atas anak tersebut (contoh
nenek/kakek/orang tua asuh, bila orang tua kandung meninggal atau tidak ada)
merujuk pada peraturan lain terkait anak. Sedikit berbeda dengan orang
dewasa, bayi dan anak memerlukan tes HIV pada kondisi di bawah ini:
1. Anak sakit (jenis penyakit yang berhubungan dengan HIV seperti
TB berat atau mendapat OAT berulang, malnutrisi, atau pneumonia berulang
dan diare kronis atau berulang)
2. Bayi yang lahir dari ibu terinfeksi HIV dan sudah mendapatkan
tindakan pencegahan penularan dari ibu ke anak
3. Untuk mengetahui status bayi/anak kandung dari ibu yang
didiagnosis terinfeksi HIV (pada umur berapa saja)
4. Untuk mengetahui status seorang anak setelah salah satu saudara
kandungnya didiagnosis HIV; atau salah satu atau kedua orangtua meninggal
oleh sebab yang tidak diketahui tetapi masih mungkin karena HIV
5. Terpajan atau potensial terkena infeksi HIV melalui jarum suntik
yang terkontaminasi, menerima transfusi berulang dan sebab lain
6. Anak yang mengalami kekerasan seksual.
Sesuai dengan perkembangan program serta inisiatif SUFA maka tes HIV juga
harus ditawarkan secara rutin kepada:
1. Populasi Kunci (Pekerja seks, Penasun, LSL, Waria) dan diulang
minimal setiap 6 bulan sekali
2. Pasangan ODHA
3. Ibu hamil di wilayah epidemi meluas dan epidemi terkonsentrasi
4. Pasien TB
5. Semua orang yang berkunjung ke fasyankes di daerah epidemi HIV
meluas
6. Pasien IMS
7. Pasien Hepatitis
8. Warga Binaan Pemasyarakatan
9. Lelaki Beresiko Tinggi (LBT)
Tes diagnostik HIV merupakan bagian dari proses klinis untuk
menentukan diagnosis. Diagnosis HIV ditegakkan dengan pemeriksaan
laboratorium. Jenis pemeriksaan laboratorium HIV dapat berupa:
1. Tes serologi
a. Tes cepat
Tes cepat dengan reagen yang sudah dievaluasi oleh institusi
yang ditunjuk Kementerian Kesehatan, dapat mendeteksi baik antibodi
terhadap HIV-1 maupun HIV-2. Tes cepat dapat dijalankan pada
jumlah sampel yang lebih sedikit dan waktu tunggu untuk mengetahui
hasil kurang dari 20 menit bergantung pada jenis tesnya dan dilakukan
oleh tenaga medis yang terlatih.
b. Tes Enzyme Immunoassay (EIA)
Tes ini mendeteksi antibodi untuk HIV-1 dan HIV-2. Reaksi
antigenantibodi dapat dideteksi dengan perubahan warna.
c. Tes Western Blot
Tes ini merupakan tes antibodi untuk konfirmasi pada kasus
yang sulit. Bayi dan anak umur usia kurang dari 18 bulan terpajan HIV
yang tampak sehat dan belum dilakukan tes virologis, dianjurkan untuk
dilakukan tes serologis pada umur 9 bulan (saat bayi dan anak
mendapatkan imunisasi dasar terakhir).
3) Tes virologis Polymerase Chain Reaction (PCR)

Tes virologis direkomendasikan untuk mendiagnosis anak berumur


kurang dari 18 bulan. Tes virologis yang dianjurkan: HIV DNA kualitatif dari
darah lengkap atau Dried Blood Spot (DBS), dan HIV RNA kuantitatif dengan
menggunakan plasma darah. Bayi yang diketahui terpajan HIV sejak lahir
dianjurkan untuk diperiksa dengan tes virologis paling awal pada umur 6
minggu. Pada kasus bayi dengan pemeriksaan virologis pertama hasilnya
positif, maka terapi ARV harus segera dimulai; pada saat yang sama dilakukan
pengambilan sampel darah kedua untuk pemeriksaan tes virologis kedua.
Tes virologis terdiri atas:

 HIV DNA kualitatif (EID)


Tes ini mendeteksi keberadaan virus dan tidak bergantung pada keberadaan
antibodi HIV. Tes ini digunakan untuk diagnosis pada bayi.
 HIV RNA kuantitatif
Tes ini untuk memeriksa jumlah virus di dalam darah, dan dapat digunakan
untuk pemantauan terapi ARV pada dewasa dan diagnosis pada bayi jika HIV
DNA tidak tersedia.
G. INDIKASI MEMULAI ART
Inisiasi ART secara dini terbukti bermanfaat secara klinis, berguna untuk
pencegahan, meningkatkan harapan hidup dan menurunkan insiden infeksi terkait
HIV dalam populasi.

 Pengobatan TB harus dimulai lebih dahulu, kemudian obat ARV diberikan


dalam 2-8 minggu sejak mulai obat TB, tanpa menghentikan terapi TB.
Pada ODHA dengan CD4 kurang dari 50 sel/mm3, ARV harus dimulai
dalam 2 minggu setelah mulai pengobatan TB. Untuk ODHA dengan
meningitis kriptokokus, ARV dimulai setelah 5 minggu pengobatan
kriptokokus.

 Dengan memperhatikan kepatuhan.

 Bayi umur < 18 bulan yang didiagnosis terinfeksi HIV dengan cara
presumtif, maka harus segera mendapat terapi ARV. Bila dapat segera
dilakukan diagnosis konfirmasi (mendapat kesempatan pemeriksaan PCR
DNA sebelum umur 18 bulan atau menunggu sampai umur 18 bulan untuk
dilakukan pemeriksaan antibodi HIV ulang), maka perlu dilakukan
penilaian ulang apakah anak pasti terdiagnosis HIV atau tidak. Bila
hasilnya negatif, maka pemberian ARV dihentikan.
H. ART LINI PERTAMA

 Jangan memulai TDF jika creatine clearance test (CCT) hitung < 50 ml/menit,
atau pada kasus diabetes lama, hipertensi tak terkontrol dan gagal ginjal
 Jangan memulai dengan AZT jika Hb < 10 g/dL sebelum terapi

 Kombinasi 3 dosis tetap (KDT) yang tersedia: TDF + 3TC + EFV

I. DIAGNOSIS KEGAGALAN TERAPI ARV

Kegagalan terapi dapat dilihat dari berbagai kriteria, yaitu kriteria virologis,
imunologis, dan klinis. Kriteria terbaik adalah kriteria virologis, namun bila tidak
dapat dilakukan pemeriksaan maka digunakan kriteria imunologis. Sebaiknya tidak
menunggu kriteria klinis terpenuhi agar dapat melakukan switch ke lini selanjutnya
lebih dini. ODHA harus menggunakan ARV minimal 6 bulan sebelum dinyatakan
gagal terapi dalam keadaan kepatuhan yang baik. Kalau ODHA kepatuhan tidak baik
atau berhenti minum obat, penilaian kegagalan dilakukan setelah minum obat kembali
secara teratur minimal 3-6 bulan.
J. ART LINI KEDUA

Rifampisin sebaiknya tidak digunakan pada pemakaian LPV/r. Paduan


OAT yang dianjurkan adalah 2SHZE, selanjutnya diteruskan dengan 4HE
dengan evaluasi rutin kelainan mata. Namun, pada infeksi meningitis TB yang
perlu tetap menggunakan rifampisin maka LPV/r dapat digunakan dengan
dosis ganda LPV/r 800 mg/200 mg 2x sehari atau 2 x 2 tablet.
K. ART LINI KETIGA

Jika terjadi kegagalan lini kedua maka perlu dilakukan terapi penyelamatan
yang efektif. Kriteria yang digunakan untuk penentuan kegagalan terapi lini kedua
harus menggunakan kriteria virologis (pemeriksaan HIV RNA). Seperti pada
penentuan gagal terapi lini pertama, penentuan kegagalan terapi lini kedua harus
dilakukan saat ODHA menggunakan ART lini kedua minimal 6 bulan dalam keadaan
kepatuhan yang baik.

Tes resistansi genotyping diwajibkan sebelum pindah ke lini ketiga. Pada


penentuan indikasi dan memulai lini ketiga, diperlukan konsultasi dengan rumah sakit
rujukan yang sudah mempunyai pengalaman. Berikut adalah paduan ART lini ketiga
beserta efek sampingnya.
L. PENGOBATAN PENCEGAHAN KOTRIMOKSAZOL
Pemberian kotrimoksasol harus diberikan sebagai bagian dari pelayanan HIV.
Berbagai penelitian telah membuktikan efektivitas pengobatan pencegahan
kotrimoksasol dalam menurunkan angka kematian dan kesakitan pada orang yang
terinfeksi HIV. Sudah ada beberapa rekomendasi untuk memberikan kotrimoksasol
sebagai pengobatan pencegahan pada ODHA dewasa, wanita hamil dan anak untuk
Pneumocystis pneumonia, toksoplasmosis dan infeksi bakteri, manfaat untuk
profilaksis malaria dan petunjuk pemberhentian kotrimoksasol. Pada tabel 25 berikut
dapat dilihat rekomendasi pemakaian kotrimoksazol untuk berbagai kelompok usia
Pemberian kotrimoksasol harus diberikan sebagai bagian dari pelayanan HIV.
Berbagai penelitian telah membuktikan efektivitas pengobatan pencegahan
kotrimoksasol dalam menurunkan angka kematian dan kesakitan pada orang yang
terinfeksi HIV. Sudah ada beberapa rekomendasi untuk memberikan kotrimoksasol
sebagai pengobatan pencegahan pada ODHA dewasa, wanita hamil dan anak untuk
Pneumocystis pneumonia, toksoplasmosis dan infeksi bakteri, manfaat untuk
profilaksis malaria dan petunjuk pemberhentian kotrimoksasol. Pada tabel 25 berikut
dapat dilihat rekomendasi pemakaian kotrimoksazol untuk berbagai kelompok usia.

 Kotrimoksas
ol
diberhentikan
juga bila
ODHA
dengan sindrom StevensJohnson, penyakit hati berat, anemia atau pansitopenia
berat, atau HIV negatif. Kontraindikasi kotrimoksasol: alergi sulfa, penyakit
liver berat, penyakit ginjal berat, dan defisiensi G6PD.

 Pada semua ODHA tanpa melihat CD4 atau stadium klinis pada pelayanan
dengan prevalensi HIV tinggi, kematian bayi tinggi akibat penyakit-penyakit
infeksi, atau pelayanan dengan infrastruktur terbatas.

 Jika inisiasi awal untuk profilaksis Pneumocystis pneumonia atau


toksoplasmosis

 pada wilayah dengan prevalensi infeksi bakteri tinggi atau endemis malaria,
batasan CD4 yang digunakan adalah <350 sel/mm3

Pada ODHA dewasa yang akan memulai terapi ARV dengan CD4 di bawah 200
sel/mm3, dianjurkan untuk memberikan kotrimoksasol 2 minggu sebelum ARV. Hal
tersebut berguna untuk tes kepatuhan ODHA dalam minum obat dan menyingkirkan
efek samping yang tumpang tindih antara kotrimoksasol dengan obat ARV,
mengingat bahwa banyak obat ARV mempunyai efek samping yang sama dengan
efek samping kotrimoksasol.
DAFTAR PUSTAKA

1. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014 tentang


Pedoman Pengobatan Retroviral
2. Consolidated Guidelines On The Use of Antiretroviral Drugs For Treating And
Preventing HIV Infection, WHO 2016
3. Consolidated Guidelines On HIV Prevention, Diagnosis, Treatment And Care For
Key Population, WHO 2016
4. WHO Case Definitions Of HIV For Surveillance And Revised Clinical Staging And
Immunological Classification Of HIV Related Disease In Adults And Children,
WHO 2007

Anda mungkin juga menyukai