Anda di halaman 1dari 16

Efek Pemberian Vitamin C Topikal Dan Tindakan Microneedling Pada Photoaging

(Efficacy of Topical Vitamin C and Microneedling for Photoaging)

Karina Dyahtantri Pratiwi1, Sawitri1, Cita Rosita Sigit Prakoeswa1, Esti Hendradi2

Departemen/Staf Medik Fungsional Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin


1

Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya
2
Staf Pengajar Fakultas Farmasi Universitas Airlangga Surabaya

ABSTRAK
Latar Belakang: Photoaging adalah penuaan kulit dini yang diakibatkan oleh paparan radiasi ultraviolet (UV).
Vitamin C merupakan salah satu antioksidan yang juga memiliki efek menghambat enzim tirosinase sehingg
dapat mengurangi bintik pigmentasi. Tindakan microneedling dapat membantu penetrasi vitamin C topikal dan
memiliki efek peremajaan kulit yaitu mengurangi kerutan dan mengatasi pelebaran pori-pori wajah. Tujuan:
Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi pengaruh pemberian vitamin C topikal dan tindakan
microneedling pada perbaikan klinis photoaging. Metode: Dua puluh empat perempuan dengan
photoaging dibagi secara randomisasi menjadi kelompok kontrol dan perlakuan. Kelompok kontrol
mendapat NaCl 0,9% dan tindakan microneedling, sedangkan kelompok perlakuan mendapat vitamin C
topikal dan tindakan microneedling. Setiap kelompok mendapat 3 kali tindakan dengan interval 2 minggu.
Evaluasi bintik pigmentasi, kerutan, dan pori-pori dilakukan dengan alat Metis DBQ3-1 dan data yang
didapat berupa angka. Hasil: Analisis hasil evaluasi menunjukkan terdapat perbaikan signifikan bintik
pigmentasi setelah pemberian vitamin C topikal dan tindakan microneedling dibandingkan dengan perbaikan
bintik pigmentasi setelah pemberian NaCl 0,9% dan tindakan microneedling (p <0,05). Perbaikan kerutan dan
pori-pori didapatkan tidak ada perbedaan signifikan antara kelompok kontrol dan perlakuan. Simpulan:
Pemberian vitamin C topikal dan microneedling memberikan perbaikan signifikan pada bintik pigmentasi
photoaging dibandingkan dengan pemberian NaCl 0,9% dan tindakan microneedling.

Kata kunci: photoaging, vitamin C, microneedling

ABSTRACT
Background: Photoaging is premature skin aging caused by exposure to ultraviolet (UV) radiation.
Vitamin C is an antioxidant that also has the effect of inhibiting the tyrosinase enzyme that can reduce
pigmentation. Microneedling can enhance penetration of topical vitamin C and have skin rejuvenating
effects as to reduce wrinkles and overcome the widening of facial pores. Objective: Main purpose of this
study is to evaluate the efficacy of topical vitamin C and microneedling at clinical improvement of
photoaging. Methods: Twenty-four women with photoaging were included in this randomization study,
divided into control and intervention groups. NaCl 0,9% and microneedling allocated to the control
group, meanwhile topical vitamin C and microneedling allocated to the intervention group. Three
treatment sessions were repeated at 2-week intervals. Sign of photoaging as pigmentation, wrinkles, and
pores were evaluated by Metis DBQ3-1 and the data were obtained in the form of numbers. Results:
Analysis of the data revealed a significant improvement in pigmentation after topical vitamin C and
microneedling treatment compared with improvement in pigmentation after NaCl 0,9% and
microneedling treatment (p <0.05). Wrinkle and pore evaluation revealed no significant difference
between the control and intervention groups. Conclusion: Topical vitamin C and microneedling provides
significant improvement of pigmentation compared to NaCl 0,9% and microneedling.

Keywords: photoaging, vitamin C, microneedling


Alamat korespondensi: Karina Dyahtantri Pratiwi, Departemen/Staf Medik Fungsional Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo, Jl. Mayjen Prof. Dr. Moestopo No. 6-
8 Surabaya 60131, Indonesia. Telepon: (031) 5501609, e-mail: sawitri_rh@gmail.com

1
PENDAHULUAN
Kulit dapat mengalami penuaan seperti organ tubuh yang lain. Penuaan kulit
melibatkan dua proses berbeda, yaitu proses penuaan intrinsik dan proses penuaan ekstrinsik
yang berlangsung saling tumpang tindih dalam menimbulkan manifestasi klinis pada kulit
individu. Proses penuaan intrinsik dikenal dengan chronological aging yang dipengaruhi oleh
pertambahan usia individu, faktor genetik, perubahan biokimiawi, dan perubahan sistem
imun. Proses penuaan ekstrinsik dipengaruhi oleh lingkungan berupa radiasi ultraviolet (UV)
dan polusi. Penuaan ekstrinsik terutama disebabkan oleh efek jangka panjang paparan
berulang radiasi UV, sehingga dikenal dengan photoaging.1
Tempat tinggal pada wilayah garis khatulistiwa merupakan faktor risiko terjadi
photoaging karena memiliki indeks UV tinggi dengan rata-rata harian lebih dari 10. Derajat
photoaging berhubungan secara langsung dengan jumlah sinar UV yang didapat individu
dalam kurun waktu tertentu. Lebih dari 80% gambaran penuaan kulit yang tampak di wajah
pada individu berusia kurang dari 60 tahun disebabkan oleh paparan radiasi sinar UV kronis
terkait peradangan dan kerusakan jaringan ikat kulit akibat pembentukan radikal bebas atau
reactive oxygen species (ROS).1
Vitamin C merupakan salah satu antioksidan poten yang terkandung di kulit.
Penelitian in vitro pada tahun 2005 oleh Baumann menunjukkan efek antioksidan vitamin C
yaitu sebesar 18% dan vitamin E yaitu sebesar 10%. Penelitian pada kulit babi oleh Lin dan
kawan-kawan pada tahun 2003 menunjukkan konsentrasi vitamin C pada kulit photoaging
mengalami penurunan sebesar 70%. Vitamin C juga dikenal sebagai agen depigmentasi yang
bekerja dengan cara menghambat enzim tirosinase dan mengurangi DOPA-quinone, sehingga
mengurangi pembentukan melanin.2,3,4
Microneedle array merupakan alat berupa susunan jarum berukuran mikron yang
dapat digunakan sebagai media penghantar bahan topikal. Microneedle array berupa
dermapen adalah alat yang dapat mempermudah penetrasi bahan topikal dengan downtime
yang rendah. Aplikasi microneedling akan menyebabkan luka kulit berukuran mikro pada
lapisan epidermis hingga lapisan dermis. Luka tersebut dapat memudahkan penetrasi bahan
topikal.5,6
Penelitian pada individu dengan photoaging ini menggunakan serum vitamin C
dengan kandungan sodium ascorbyl phosphate (SAP) 3% dengan bantuan tindakan
microneedling untuk mengatasi kerutan dan memudahkan penetrasi, sehingga dapat
meningkatkan efikasi dari vitamin C terhadap peremajaan kulit. Penelitian ini diharapkan
2
dapat memberikan gambaran efek pemberian vitamin C topikal dan tindakan microneedling
pada perbaikan klinis photoaging.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental analitik dengan menggunakan
metode uji acak terkendali untuk mengetahui perbaikan klinis photoaging setelah pemberian
vitamin C topikal dan tindakan microneedling serta membandingkan perbaikan klinis
photoaging setelah pemberian vitamin C topikal dan tindakan microneedling (perlakuan)
dengan pemberian NaCl 0,9% dan tindakan microneedling (kontrol). Dua puluh empat
perempuan dengan photoaging dibagi secara randomisasi menjadi kelompok kontrol dan
perlakuan. Kelompok kontrol mendapat NaCl 0,9% dan tindakan microneedling,
sedangkan kelompok perlakuan mendapat vitamin C topikal dan tindakan microneedling.
Setiap kelompok mendapat 3 kali tindakan dengan interval 2 minggu. Evaluasi bintik
pigmentasi, kerutan, dan pori-pori dilakukan dengan alat Metis DBQ3-1 pada minggu ke-
0, 4, dan 8. Data yang didapat pada setiap kriteria photoaging yaitu berupa angka.
Berdasarkan petunjuk pengggunaan alat, rentang nilai setiap kriteria yaitu 1 – 100. Nilai 1
menunjukkan permasalahan photoaging yang berat, nilai 100 menunjukkan tidak ada
permasalahan photoaging. Data diolah dan diuji menggunakan program SPSS 17 for Mac.
Penelitian ini sudah melalui telaah Komite Etik di RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

HASIL
Seluruh subjek penelitian pada kelompok perlakuan dan kontrol adalah
perempuan (100%). Subjek pada penelitian ini berusia 40 hingga 59 tahun. Kelompok
usia terbanyak yaitu 40-44 tahun sebanyak 7 subjek (29,2%) diikuti kelompok usia 45-49
tahun sebanyak 6 subjek (25%) dan kelompok usia 50-54 tahun sebanyak 6 subjek (25%)
dan terakhir adalah kelompok usia 55-59 tahun sebanyak 5 subjek (20,8%). Rerata usia
pada kelompok kontrol adalah 48,5 + 5,6 tahun. Rerata usia pada kelompok perlakuan
adalah 47,6 + 6,2 tahun.
Tabel 1. Karakteristik dasar subjek penelitian pasien photoaging Divisi Kosmetik URJ
Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
Variabel Kontrol Perlakuan Jumlah
n (%) n (%) n (%)
Jenis Laki-laki 0 (0) 0 (0) 0 (0)
Kelamin Perempuan 12 (50) 12 (50) 24 (100)
Usia 40-44 tahun 3 (42,9) 4 (57,1) 7 (29,2)
3
45-49 tahun 3 (50) 3 (50) 6 (25)
50-54 tahun 4 (66,7) 2 (33,3) 6 (25)
55-59 tahun 2 (40) 3 (60) 5 (20,8)
Glogau II 6 (50) 7 (53,8) 13 (54,2)
III 6 (50) 5 (45,5) 11 (45,8)
Tipe Kulit IV 6 (50) 6 (50) 12 (50)
Fitzpatrick’s V 6 (50) 6 (50) 12 (50)
Riwayat Ya 10 (83,3) 9 (75) 19 (79,2)
pemakaian
tabir surya Tidak 2 (16,7) 3 (25) 5 (20,8)
Riwayat Ya 0 (0) 0 (0) 0 (0)
aplikasi
ulang tabir
surya Tidak 12 (50) 12 (50) 24 (100)
Durasi 30 menit 4 (33,3) 5 (41,7) 9 (37,5)
paparan
matahari 60 menit 8 (66,7) 7 (58,3) 15 (62,5)
Pekerjaan Dalam
12 (50) 12 (50) 24 (100)
ruangan
Luar
0 (0) 0 (0) 0 (0)
ruangan
Total 12 (50) 12 (50) 24 (100)

Tabel 2. Hasil evaluasi bintik pigmentasi kelompok perlakuan dengan Metis I, II, dan III
Rentang (Minimum-
Rerata ± SD Nilai p*
Maksimum)
Metis I (n=12) 33-75 62,25 ± 11,307
Metis II (n=12) 33-75 61,33 ± 11,13 0,03
Metis III (n=12) 59-79 66,25 ± 6,31
*Uji Friedmann

Hasil evaluasi bintik pigmentasi didapatkan terjadi penurunan rerata evaluasi


Metis II pada bintik pigmentasi kelompok perlakuan sedangkan pada evaluasi Metis III
rerata nilai bintik pigmentasi meningkat. Hasil uji tersebut bermakna secara statistik
dengan nilai p<0,05. Uji lanjutan dengan pairwise comparison menunjukkan hasil yang
bermakna pada uji antara Metis I dan Metis III (p=0,023) dan Metis II dan Metis III
(p=0,02), sedangkan hasil uji Metis I dan Metis II tidak bermakna secara statistik
(p=0,30).

Tabel 3. Perbandingan hasil evaluasi bintik pigmentasi kelompok kontrol dan perlakuan
dengan Metis I, II, dan III
Kelompok
Kelompok Perlakuan
Kontrol
(n=12)
(n=12)
Rerata ± SD Rerata ± SD Nilai p
Metis I 63,17 ± 6,408 62,25 ± 11,307 0,58*
Metis II 66,08 ± 6,9 61,33 ± 11,11 0,21**
4
Metis III 64,42 ± 12,64 66,25 ± 6,31 0,03**
*Uji Mann-Whitney;**Uji t tidak bepasangan

Analisis evaluasi bintik pigmentasi Metis I dan II masing-masing menggunakan


uji statistik yang sesuai berdasarkan hasil uji normalitas data. Uji statistik menunjukkan
bahwa tidak didapatkan perbedaan bermakna antara hasil evaluasi bintik pigmentasi
kelompok kontrol dibandingkan dengan kelompok perlakuan.
Analisis evaluasi bintik pigmentasi Metis III, digunakan uji t tidak berpasangan.
Uji statistik menunjukkan peningkatan rerata pada kelompok perlakuan menjadi 66,25 ±
6,31 serta didapatkan perbedaan bermakna antara hasil evaluasi bintik pigmentasi
kelompok kontrol dibandingkan dengan kelompok perlakuan.

Gambar 1. Boxplot nilai bintik pigmentasi kelompok kontrol dan perlakuan

Tabel 4. Hasil evaluasi kerutan kelompok perlakuan dengan Metis I, II, dan III
Rentang (Minimum-
Rerata ± SD Nilai p
Maksimum)
Metis I 27-78 55,58 ± 13,31
Metis II 29-70 56,41 ± 11,07 0,03
Metis III 50-73 58,17 ± 7,44
*Uji Repeated ANOVA

Hasil evaluasi kerutan didapatkan peningkatan rerata pada Metis II dan III sebesar
56,41 ± 11,07 dan 58,17 ± 7,44, perbedaan ini bermakna secara statistik dengan nilai p=0,03.
Uji lanjutan antarkelompok perlakuan kerutan dengan pairwise comparison antara Metis
I dengan Metis II menunjukkan nilai p=1,00, antara Metis I dengan Metis III

5
menunjukkan nilai p=0,48, dan antara Metis II dengan Metis III menunjukkan nilai
p=0,84. Hasil ketiga uji tersebut tidak bermakna secara statistik.

Tabel 5. Perbandingan hasil evaluasi kerutan kelompok kontrol dan perlakuan dengan
Metis I, II, dan III
Kelompok
Kelompok Perlakuan
Kontrol
(n=12)
(n=12)
Rerata ± SD Rerata ± SD Nilai p*
Metis I 54,33 ± 9,85 55,58 ± 13,31 0,57
Metis II 53 ± 5,18 56,41 ± 11,07 0,32
Metis III 57,92 ± 12,38 58,17 ± 7,44 0,24
*Uji t tidak berpasangan

Gambar 2. Boxplot perbandingan hasil evaluasi kerutan kelompok kontrol dan


perlakuan

Rerata kerutan awal penelitian kelompok perlakuan sebesar 55,58 kemudian rerata
tersebut meningkat pada evaluasi kedua menjadi 56,41. Rerata akhir kerutan kelompok
perlakuan kembali mengalami kenaikan menjadi 58,16. Uji statistik dilakukan untuk
membandingkan kerutan kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Hasil uji t tidak
berpasangan evaluasi kerutan Metis I, II, dan III antara kelompok kontrol dan perlakuan
menunjukkan nilai p=0,57, p=0,32, dan p=0,24 yang tidak bermakna secara statistik.

6
Tabel 6. Hasil evaluasi pori-pori kelompok perlakuan dengan Metis I, II, dan III
Rentang (Minimum-
Rerata ± SD Nilai p*
Maksimum)
Metis I (n=12) 87-96 91,33 ± 2,42
Metis II (n=12) 78-96 91,67 ± 5,1 0,025
Metis III (n=12) 57-96 91 ± 10,9
*Uji Friedmann

Hasil evaluasi pori-pori dilakukan uji normalitas data Tabel 6 dengan uji Saphiro-
Wilk, didapatkan data evaluasi pori-pori Metis III tidak terdistribusi normal dengan nilai
p<0,05. Hasil uji Friedmann menunjukkan peningkatan rerata pada evaluasi Metis III,
dengan nilai p = 0,025 yang artinya didapatkan perbedaan bermakna secara statistik. Uji
lanjutan untuk analisis pori antarkelompok perlakuan dengan pairwise comparison
menunjukkan hasil yang tidak bermakna yaitu uji antara Metis I dengan Metis II
menunjukkan nilai p= 0,25, uji antara Metis I dengan Metis III menunjukkan nilai p =
0,83, dan uji Metis II dengan Metis III menunjukkan nilai p=0,59.

Tabel 7. Perbandingan hasil evaluasi pori-pori kelompok kontrol dan perlakuan dengan
Metis I, II, dan III
Kontrol Perlakuan
(n=12) (n=12)
Rerata ± SD Rerata ± SD Nilai p
Metis I 92,25 ± 2,37 91,33 ± 2,42 0,96*
Metis II 92,91 ± 3,208 91,66 ± 5,1 0,36**
Metis III 92,5 ± 4,23 91 ± 10,9 0,19**
*Uji t tidak berpasangan; **Uji Mann-Whitney

Dilakukan uji statistik untuk membandingkan pori-pori kelompok kontrol dan


kelompok perlakuan. Analisis evaluasi pori-pori Metis I, II, dan III secara berturut-turut
menunjukkan nilai p=0,96; p=0,36; dan p=0,19 yang tidak bermakna secara statistik.

7
Gambar 3. Grafik perbandingan hasil evaluasi pori-pori kelompok kontrol dan
perlakuan

PEMBAHASAN
Seluruh subjek penelitian ini adalah perempuan yang mengalami photoaging.
Penyeragaman jenis kelamin pada penelitian ini dilakukan karena terdapat perbedaan
fisiologis struktur kulit laki-laki dan perempuan. Kulit laki-laki memiliki lapisan
epidermis yang lebih tebal daripada perempuan dan lapisan dermis kulit laki-laki lebih
banyak mengandung kolagen daripada kulit perempuan. Perbedaan lain antara kulit laki-
laki dan perempuan yaitu produksi sebum pada laki-laki cenderung berlebihan akibat
pengaruh hormon testosteron, sehingga berpengaruh pada pembesaran ukuran pori-pori.
Subjek penelitian berada dalam rentang usia 40 hingga 59 tahun yang merupakan salah
satu kriteria photoaging berdasarkan Glogau II – III. Kategori Glogau II yaitu usia 40 –
49 tahun sedangkan kategori Glogau III yaitu usia 50 – 59 tahun. Rerata usia subjek
kelompok perlakuan adalah 47,6 + 6,2 tahun. Usia termuda subjek pada penelitian ini
adalah 40 tahun dan yang tertua adalah 58 tahun. Rentang usia subjek pada penelitian ini
sesuai dengan dengan penelitian photoaging di Surabaya, Indonesia mengenai
perbandingan pemberian sel punca dan tindakan microneedling pada kelompok

8
perlakuan dibandingkan dengan pemberian tindakan microneedling saja pada kelompok
kontrol oleh Pratiwi dan kawan-kawan pada tahun 2018.7,8
Penelitian ini didapatkan sebanyak 13 subjek (54,2%) berada pada kategori
Glogau II dan sebanyak 11 subjek (45,8%) berada pada kategori Glogau III. Hal tersebut
sejalan dengan penapisan subjek penelitian peremajaan kulit pada photoaging oleh El-
Domyati dan kawan-kawan pada tahun 2018 yang meneliti kombinasi tindakan
microneedling dengan prosedur invasif minimal berupa platelet rich plasma atau peeling
trichloroacetic acid 15%. Pasien photoaging kategori Glogau II – III cenderung lebih
mengeluhkan masalah photoaging, sedangkan pada pasien dengan derajat photoaging
Glogau I belum memiliki keluhan atau masih dapat menutupi keluhan dengan
penggunaan kosmetik. Pasien photoaging dengan kategori Glogau IV memiliki tanda
klinis chronological aging yang lebih nyata dibanding Glogau I – III, sehingga akan
menjadi faktor perancu. Chien dan kawan-kawan pada tahun 2015 menyebutkan bahwa
kerutan akibat chronological aging tidak tampak hingga sekitar usia 50 tahun pada populasi
tipe kulit Fitzpatrick’s IV – VI. Diagnosis photoaging pada tipe kulit Fitzpatrick’s IV – VI
secara subjektif dapat dilakukan apabila terdapat tanda klinis photoaging berupa bintik
pigmentasi, kerutan, dan pembesaran pori-pori.9,10
Pajanan radiasi ultraviolet dalam kegiatan sehari-hari sulit dihindari oleh populasi
yang tinggal di Indonesia. Letak geografis Indonesia yang berada pada sekitar garis
khatulistiwa yaitu 6o lintang utara (LU) dan 11o lintang selatan (LS) berpengaruh pada
penerimaan paparan radiasi UV. Sebanyak 24 subjek pada penelitian ini bekerja di
Surabaya. Seluruh subjek berdomisili di Surabaya dan sekitarnya, dengan durasi terpapar
radiasi UV secara langsung setiap hari kerja saat menempuh perjalanan yaitu selama 30 – 60
menit. Data penelitian ini menunjukkan sebesar 41,7% subjek kelompok perlakuan terpapar
radiasi UV secara langsung selama 30 menit perhari dan sebesar 58,3% subjek kelompok
perlakuan terpapar radiasi UV secara langsung selama 60 menit perhari.
Hasil evaluasi kulit awal pengamatan (minggu ke-0) penelitian ini menunjukkan
seluruh subjek memiliki permasalahan bintik pigmentasi sebagai salah satu tanda
photoaging. Rerata awal bintik pigmentasi pada kelompok kontrol yaitu 63,16. Rerata
awal bintik pigmetasi pada kelompok perlakuan yaitu 62,25. Bintik pigmentasi pada
photoaging terbentuk akibat radiasi ultraviolet yang secara langsung mempengaruhi
melanosit, sel pada lapisan epidermis yang bertanggung jawab memproduksi pigmen
melanin. Paparan sinar matahari jangka panjang terhadap kulit menyebabkan kepadatan
9
melanosit meningkat dua kali lebih banyak dibanding kulit yang terlindungi. Faktor yang
mempengaruhi peningkatan produksi melanin pada melanosit yaitu interleukin (IL)-1,
IL-6, IL-8, TGF-ß, leukotriene C1 yang terbentuk selama paparan UV. Sitokin, faktor
pertumbuhan, dan mediator inflamasi tersebut memiliki efek langsung merangsang
pertumbuhan dan proliferasi melanosit. Penelitian oleh Taylor (2005) tersebut sejalan
dengan penelitian pendahulu oleh Gilchrest pada tahun 1996 mengenai peranan radiasi
ultraviolet dalam memicu bintik pigmentasi.11
Radiasi UV dapat meningkatkan aktivitas enzim tirosinase, sehingga akan lebih
banyak merubah tirosin menjadi DOPAquinone. Hal tersebut menyebabkan melanosit
memproduksi lebih banyak pigmen melanin. Sintesis melanin terjadi dalam melanosit dari
lapisan basal epidermis dan dapat ditransfer ke keratinosit, sehingga melanin didistribusikan
ke epidermis. Akumulasi melanin tersebut bermanifestasi klinis sebagai bintik pigmentasi.12
Perubahan pigmentasi sebagai tanda klinis photoaging memegang peranaan
penting karena bintik pigmentasi adalah tanda photoaging yang paling awal tampak pada
kulit ras Asia seperti yang terungkap dari penelitian pendahuluan oleh Goh pada tahun
1999 pada 1500 orang dalam populasi Asia di Singapura. Penelitian lain oleh Tobin
(2017) yang melibatkan 407 subjek penelitian mengidentifikasi bahwa bintik pigmentasi
adalah karakteristik utama pada populasi Asia.13
Seluruh subjek pada penelitian ini termasuk dalam populasi Asia denga tipe kulit
Fitzpatrick’s IV-V. Bintik pigmentasi sebagai tanda dominan photoaging pada populasi
Asia sangat mungkin berhubungan dengan pernyataan Knaggs (2009) bahwa mayoritas
populasi Asia memiliki kulit yang berwarna relatif gelap yaitu tipe kulit Fitzpatrick’s IV
ke atas. Telah diketahui bahwa semakin gelap warna kulit, semakin banyak jumlah
protease-activated receptor-2 (PAR-2). PAR-2 adalah reseptor yang terlibat dalam transfer
melanosom dari sel melanosit ke keratinosit. Jumlah PAR-2 pada keratinosit dapat meningkat
apabila dipicu oleh radiasi ultraviolet, sehingga hal ini menjelaskan tumpukan pigmen pada
kulit yang terpapar radiasi ultraviolet.14
Rerata bintik pigmentasi kelompok perlakuan di awal penelitian menunjukkan
angka 62,25. Rerata awal pada kelompok perlakuan tersebut mengalami penurunan pada
evaluasi kedua menjadi 61,3 kemudian mengalami kenaikan rerata pada akhir penelitian yaitu
66,25. Evaluasi bintik pigmentasi pada pertengahan pengamatan (minggu ke-4) kelompok
perlakuan menunjukkan rerata yang menurun. Hal tersebut dapat dipengaruhi berbagai faktor
diantaranya kegiatan di luar ruangan pada akhir pekan, kepatuhan penggunaan tabir surya
10
pada masa pertengahan penelitian, dan kepatuhan aplikasi ulang tabir surya setiap dua jam.
Perbandingan hasil evaluasi bintik pigmentasi kelompok kontrol dan perlakuan
meunjukkan nilai yang tidak bermakna secara statistik pada evaluasi Metis I (p=0,58) dan II
(p=0,21), namun menunjukkan nilai yang bermakna secara statistik pada evaluasi Metis III
dengan p<0,05. Penelitian in vitro oleh Shimada dan kawan-kawan pada tahun 2009 berupa
sel melanoma yang dipapar dengan radiasi UV A dan diberikan vitamin C mendapatkan
kesimpulan bahwa vitamin C menghambat melanogenesis dengan mengurangi produksi o-
quinones. Penelitian kultur melanosit in vitro oleh Sakamoto dan kawan-kawan pada tahun
1996 yang dikutip oleh Baumann (2005) mendapatkan hasil bahwa turunan vitamin C dalam
bentuk phosphate mampu menekan pembentukan melanin hingga 80%. Effendy dan kawan-
kawan pada tahun 2017 melakukan penelitian mengenai efikasi sel punca dan turunan
vitamin C berupa sodium ascorbyl phosphate 3% pada photoaging di Surabaya. Penelitian
mengenai efikasi pemberian produk metabolit amniotic membrane stem cell-vitamin C (PM-
AMSC-VC) dan tindakan microneedling tersebut dilakukan selama 8 minggu, didapatkan
kesimpulan bahwa perbaikan bintik hitam pada kelompok yang mendapat PM-AMSC-VC
dan tindakan microneedling menunjukkan hasil bermakna pada evaluasi minggu ke-8 atau
dua minggu setelah tindakan ketiga.3,12,15
Pemberian turunan vitamin C topikal dalam bentuk sodium ascorbyl phosphate 3%
sebagai agen depigmentasi pada kelompok perlakuan diduga dapat menghambat aktivitas
enzim tirosinase yang berakibat mengurangi pembentukan DOPAquinone, sehingga
mengurangi pembentukan melanin. Pemberian vitamin C topikal sebagai antioksidan mampu
melawan efek paparan ultraviolet yang menyebabkan pembentukan radikal bebas pemicu
sitokin, faktor pertumbuhan, dan mediator inflamasi yang memiliki efek langsung
merangsang pertumbuhan dan proliferasi melanosit, sehingga dapat mengurangi
melanogenesis. Faktor yang juga dapat berpengaruh pada bintik pigmentasi selain durasi
paparan radiasi ultraviolet secara langsung yaitu kebiasaan penggunaan pelindung terhadap
pajanan radiasi ultraviolet seperti tabir surya, aplikasi ulang tabir surya, dan pemakaian topi
atau pemakaian payung.
Kerutan merupakan tanda photoaging yang dikeluhkan oleh seluruh subjek
penelitian. Penilaian secara objektif kerutan pada tiap subjek dilakuakan dengan evaluasi
Metis DBQ3-1. Rerata kerutan awal pengamatan (minggu ke-0) pada kelompok kontrol
yaitu 54,3, sedangkan rerata kerutan awal pengamatan (minggu ke-0) pada kelompok
perlakuan yaitu 55,58.
11
Pajanan sinar matahari dapat menyebabkan pembentukan kerutan melalui
penurunan kekuatan tegangan, elastisitas, dan dapat menyebabkan degradasi komponen
struktural yang menyokong matriks ekstraseluler dermal. Radiasi ultraviolet dapat
meningkatkan reactive oxygen species (ROS) dan memicu activator protein-1 (AP-1) yang
meningkatkan produksi matrix metalloproteinase (MMP), sehingga menyebabkan kerusakan
kolagen. ROS juga menginduksi faktor transkripsi kappa B (NFkB) yang menghasilkan
sejumlah mediator yang berkontribusi terhadap peradangan kulit. Proses tersebut secara
simultan akan menyebabkan penurunan produkasi kolagen dan peningkatan kerusakan
kolagen, sehingga menimbulkan manifestasi klinis berupa kerutan.16
Fitzpatrick dan Rostan pada tahun 2003 yang dikutip dalam penelitian Farris
(2006), melaporkan pemberian vitamin C topikal berupa L-ascorbic acid 10% dan
tetrahexydecyl ascorbate 7% dalam basis gel polisilikon pada wajah subjek photoaging.
Pengamatan pada penelitian tersebut dilakukan selama 12 minggu dan didapatkan
perbaikan klinis skor kerutan secara bermakna serta penambahan kepadatan serat
kolagen dari hasil histopatologi.17
Turunan vitamin C yang digunakan secara topikal pada penelitian ini yaitu
sodium ascorbyl phosphate 3% dalam bentuk serum. Effendy dan kawan-kawan pada
tahun 2017 melakukan penelitian mengenai efikasi sel punca dan turunan vitamin C berupa
sodium ascorbyl phosphate 3% pada photoaging di RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Penelitian
tersebut membahas efikasi pemberian produk metabolit amniotic membrane stem cell-vitamin
C (PM-AMSC-VC) dan tindakan microneedling, didapatkan kesimpulan bahwa perbaikan
kerutan pada kelompok yang mendapat PM-AMSC-VC dan tindakan microneedling
menunjukkan hasil bermakna, sedangkan pada kelompok yang mendapat PM-AMSC dan
tindakan microneedling menunjukkan hasil tidak bermakna.15
Hasil pengamatan kerutan minggu ke-8 pada penelitian ini didapatkan perbedaan
bermakna nilai kerutan pada masing-masing kelompok kontrol dan kelompok perlakuan
dengan p<0,05. Rerata kerutan minggu ke-0 kelompok kontrol menunjukkan angka 54,3
dan menunjukkan angka 57,91 pada minggu ke-8. Rerata kerutan minggu ke-0 kelompok
perlakuan sebesar 55,58 dan menunjukkan angka rerata 58,16 pada minggu ke-8.
Perangkat microneedling yang digunakan pada penelitian ini mengandung 36 jarum
berukuran kecil dengan panjang 0,5 mm berupa demapen dan digelindingkan ke kulit untuk
membuat banyak tusukan ke dalam stratum korneum hingga dermis papilaris. Dermis
papilaris mengandung bundel serat kolagen yang terjalin dengan serat elastin yaitu serat
12
elaunin dan oxytalan. Kolagen dan elastin tersebut secara bersama-sama membentuk suatu
jaringan terjalin yang berjalan dalam orientasi paralel. Tindakan microneedling dengan
panjang jarum 0,5 mm memberikan karakter stimulus mild injury yang dapat menjangkau
hingga ke dermis papiler dan merangsang pembentukan kolagen dan elastin, sehingga dapat
memperbaiki kerutan.16
Hasil perbandingan kerutan pada kelompok kontrol dan perlakuan tidak
didapatkan perbedaan bermakna. Perbedaan yang tidak bermakna pada perbandingan
evaluasi kerutan kelompok kontrol dan perlakuan tersebut dimungkinkan karena
beberapa faktor yang berpengaruh yaitu pemberian konsentrasi vitamin C pada penelitian
ini belum optimal, kedua kelompok mendapat tindakan microneedling yang sama, serta
waktu yang dibutuhkan untuk tercapai puncak remodelling kolagen bervariasi. Penelitian
Liebl & Cloth (2012) mengenai proliferasi sel kulit dengan stimulasi tindakan
microneedling, menyebutkan bahwa secara histopatologi penambahan kolagen secara
kuantitatif mulai tampak dalam rentang 2 minggu hingga 8 minggu setelah tindakan.
Puncak rata-rata maturasi kolagen dicapai dalam waktu 6 minggu. Evaluasi kulit pada
penelitian ini dilakukan hanya hingga 2 minggu setelah tindakan microneedling terakhir,
sehingga dimungkinkan puncak maturasi kolagen belum tercapai.
Pelebaran pori-pori adalah salah satu tanda klinis photoaging. Pori-pori
merupakan struktur kulit yang superfisial, sehingga perubahan bentuk pori-pori akan
mudah terlihat apabila terjadi kerusakan pada struktur di bawahnya. Kedua kelompok
pada penelitian ini menunjukkan nilai rerata awal pengamatan pori-pori yaitu 92,25 pada
kelompok kontrol dan 91,33 pada kelompok perlakuan.
Pembesaran pori-pori dipengaruhi oleh kerusakan serabut elastin dan kerusakan
serat kolagen. Faktor pemicu kedua kerusakan komponen dermis tersebut adalah radikal
bebas yang terbentuk akibat paparan radiasi ultraviolet (UV). Reactive oxygen species
(ROS) yang diinduksi radiasi ultraviolet mengaktifkan pensinyalan kinase pada sel korneosit
epidermis dan fibroblas. Activator protein (AP)-1 diaktifkan melalui jalur pensinyalan MAP
kinase (MAPK) dan mengontrol transkripsi matrix metalloproteinase (MMP). Kerusakan
serat kolagen dan serabut elstin yang diakibatkan radiasi UV menyebabkan jalinan keduanya
menjadi bentuk fragmen-fragmen yang terakumulasi pada dermis, sehingga mengurangi
integritas dari struktur kulit.19
Patogenesis dari pori-pori yang membesar diperkirakan akibat kulit kehilangan
kemampuan untuk meregang dan kembali ke bentuk asal yang secara spesifik dipengaruhi
13
oleh keutuhan serabut elastin. Elastisitas kulit yang menurun menyebabkan pori-pori kulit
melebar. Microfibril-associated glycoprotein-1 (MAGP-1) merupakan protein matriks
ekstraselular yang penting untuk pembentukan serabut elastin. MAGP-1 memainkan peranan
penting pada penyusunan serat elastin dengan cara menggabungkan elastin, kolagen, fibril,
dan proteoglikan, sehingga menjadi struktur dermal kompleks yang meregulasi elastisitas
pori dan folikel. Penelitian in vitro oleh Zhang dan kawan-kawan pada tahun 2013 pada
kultur fibroblast dermis mengamati bentukan MAGP-1 yang sangat halus dan lebih pendek
dibanding fibrillin-1. MAGP-1 dalam kultur tersebut kemudian dipapar secara repetitif
dengan tiga kali radiasi ultraviolet A (UV) 50 mJ/cm2 selang 24 jam tiap pemberian dosis.
Hasil penelitian tersebut didapatkan pengurangan MAGP-1 secara bermakna. Protein matriks
ekstraselular tersebut tampak kehilangan keteraturan pola yaitu menjadi saling terpisah dan
tidak beraturan, sehingga dapat disimpulkan bahwa radiasi UV menghambat pembentukan
atau mempercepat degradasi jalinan MAGP-1 pada serabut elastin. Photoaging menyebabkan
penurunan MAGP-1 pada daerah folikular pori-pori, sehingga terjadi kerapuhan dan
instabilitas matriks ekstraselular, yang berkontribusi terhadap tampilan membesarnya pori-
pori.20
Penelitian di Surabaya oleh Effendy dan kawan-kawan pada tahun 2017 mengenai
efikasi sel punca dan turunan vitamin C berupa sodium ascorbyl phosphate 3% pada
photoaging, membahas efikasi pemberian produk metabolit amniotic membrane stem cell-
vitamin C (PM-AMSC-VC) dan tindakan microneedling. Hasil penelitian tersebut didapatkan
kesimpulan bahwa perbaikan pori-pori pada kelompok yang mendapat PM-AMSC-VC dan
tindakan microneedling lebih cepat dibandingkan kelompok yang mendapat PM-AMSC dan
tindakan microneedling.15
Pengamatan minggu ke-8 pada penelitian yang menggunakan turunan vitamin C
berupa sodium ascorbyl phosphate 3% ini, didapatkan tidak ada perbedaan bermakna
nilai pori-pori pada kelompok kontrol dan terdapat perbedaan bermakna nilai pori-pori
pada kelompok perlakuan dengan p<0,05. Perbandingan hasil evaluasi pori-pori
kelompok kontrol dibandingkan kelompok perlakuan tidak tidak didapatkan perbedaan
bermakna pada pori-pori. Hal tersebut dimungkinkan karena kelompok kontrol dan
kelompok perlakuan mendapat tindakan microneedling dengan panjang jarum 0,5 mm
yang dapat menjangkau serabut elastin pada tingkat dermis papilaris. MAGP-1 merupakan
suatu mikrofibril penyokong struktur pori-pori yang berkaitan erat dengan serabut elastin.
Perlukaan pada dermis papilaris akibat jarum berukuran mikro dapat memicu remodelling
14
serabut elastin, sehingga membentuk struktur dermis menjadi lebih kompak dibanding
sebelumnya dan memicu pembentukan MAGP-1 yang bermanifestasi secara klinis berupa
pori-pori yang mengecil.19,20
Perbedaan tidak bermakna antarkedua kelompok juga dapat dimungkinkan karena
pemberian konsentrasi vitamin C belum optimal atau evaluasi pada akhir pengamatan
(minggu ke-8) dilakukan hanya 2 minggu setelah tindakan microneedling ketiga,
sehingga puncak fase remodelling struktur dermal kompleks termasuk serabut elastin
belum tercapai maksimal.
Efek samping yang mungkin terjadi pada penelitian ini meliputi makula eritematous
persisten, makula hipopigmentasi, post inflammatory hyperpigmentation, nyeri, dan infeksi.
Tidak ada efek samping yang terjadi pada kelompok kontrol maupun perlakuan. Hal tersebut
dimungkinkan karena tindakan microneedling yang dilakukan bersifat minimal infasif dan
perlukaan yang ditimbulkan diduga segera teratasi dengan vitamin C topikal sebagai
antiinflamasi.

KESIMPULAN
Pemberian vitamin C topikal dan tindakan microneedling pada photoaging
memberikan perbedaan bermakna pada bintik pigmentasi, kerutan dan pori antara awal dan
akhir pengamatan. Pemberian vitamin C topikal dan microneedling sebagai salah satu terapi
pada photoaging merupakan potensi dalam bidang dermatologi. Kelemahan dari penelitian
ini adalah terdapat faktor yang sulit dievaluasi pada subjek penelitian terkait aktivitas di luar
ruangan pada akhir pekan dan kepatuhan penggunaan tabir surya maupun kepatuhan
melakukan aplikasi ulang tabir surya setiap 2 jam. Kelemahan lain dari segi teknis adalah
serum vitamin C relatif mudah teroksidasi dengan ketahanan sediaan serum sodium ascorbyl
phosphate 3% yang digunakan pada penelitian ini yaitu selama 6 minggu, sehingga
diperlukan pembuatan sediaan baru setiap jangka waktu tersebut. Dibutuhkan penelitian
lanjutan dengan waktu observasi yang lebih lama untuk mengetahui efek jangka panjang dan
juga efek samping penggunaan vitamin C topikal dan microneedling.

DAFTAR PUSTAKA

1. Helfrich YR, Sachs DL, Voorhees JJ. Overview of skin aging and photoaging. Dermatol
Nurs. 2008; 20(3): p. 177-83.
2. Masaki, H. Role of antioxidants in the skin: Anti-aging effects. J Derm Sci. 2008; 1: p.
15
85-90.
3. Baumann. Sodium Ascorbyl Phosphate. 2005. Diakses pada 21 Oktober 2019 dari
<http://www.dr-baumann-international.co.uk/science/BASF%20Vitamin%20C.pdf>
4. Lin JY, Selim MA, Shea CR, Grichnik JM, Omar MM, Monteiro-Riviere NA, Pinnell
SR. UV photoprotection by combination topical antioxidants vitamin C and vitamin E. J
Am Acad Dermatol. 2003; 48(6): p. 866–874.
5. Nair PA, Arora TH. Microneedling Using Dermaroller A Means of Collagen Induction
Therapy. Gujarat Medical Journal.2014; 69: p. 24-27.
6. Loesch MM, Somani AK, Kingsley MM, Travers JB, Spandau F. Skin resurfacing
procedures: new and emerging options. Clin Cosm Invest Dermatol. 2014; 7: p. 231-41.
7. Makino ET, Jiang LI, Priscilla Tan BA, Cheng, Tsing, Mehta, Rahul. Áddressing male
facial skin concerns: clinical efficacy of a topical skincare treatment product for men. J
Drugs Dermatol. 2018; 17(3): p. 301-6.
8. Pratiwi, Murtiastutik, Prakoeswa. Efek pemberian topikal produk metabolit amniotic
membrane stem cell (PM-AMSC) pada penuaan kulit. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin. 2018; 30(2): p. 96-101.
9. El-Domyati M, Attia S, Saleh F, Brown D. Intrinsic aging vs photoaging: a comparative
histopathological, immunohistochemical, and ultrastructural study of skin. Experimental
Dermatology. 2018; 11: p. 398-405.
10. Chien AL, Qi J, Grandhi R. Photoaging in african-american skin: a reliable
photonumeric scale reveals age, male gender, and sun exposure as contributory factors.
J Invest Dermatol. 2015; 135: p. 28.
11. Taylor SC. Photoaging and pigmentary changes of the skin. In: Buergess (ed.). Cosmetic
Dermatology. Berlin: Springer. 2005; p. 29-49.
12. Shimada. Effects of Ascorbic Acid on Gingival Melanin Pigmentation.
J Periodontol. 2009; 80(2): p. 317-23
13. Tobin DJ. Introduction to skin aging. J Tissue Viability. 2017; 26(1): p. 37–46.
14. Knaggs H. Skin aging in the Asian population. In: Dayan, N (ed.). Skin Aging
Handbook. New York: William Andrew Publishing. 2009: p. 177-201.
15. Effendy ZF. Efikasi Pemberian Topikal Campuran Produk Metabolic Amniotic
Membrane Stem Cell (AMSC) dan Vitamin C setelah Microneedling pada Photoaging.
Surabaya: Universitas Airlangga. 2017: p. 25-37.
16. Vasconcelos EM, Takano D. Microneedling: experimental study and classification of the
resulting injury. Surg Cosmet Dermatol. 2013; 5(2): p. 1104.
17. Farris. Topical Vitamin C: A Useful Agent for Treating Photoaging and Other
Dermatologic Conditions. Dermatol Surg. 2006; 31: p. 814–818.
18. Liebl H, Kloth LC. Skin cell proliferation stimulated by microneedles. Journal of the
American College of Clinical Wound Specialists. 2012; 4(1), p. 2–6.
19. Ichihashi M, Ando H, Yoshida M, Niki Y, Matsui M. Photoaging of the skin. Anti-
Aging Medicine. 2009; 6(6): p. 46–59.
20. Zheng Q, Chen S, Chen Y, Lyga J, Wyborksi R, Santhanam U. Investigation of age-
related decline of microfibril-associated glycoprotein-1 in human skin through
immunohistochemistry study. Clin Cosmet Investig Dermatol. 2013; 3: p. 317-25.

16

Anda mungkin juga menyukai