Anda di halaman 1dari 20

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Tentang Halusinasi

2.1.1 Pengertian Halusinasi

Halusinasi adalah gangguan atau perubahan persepsi Klien

mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi, suatu

penerapan panca indera, merasa melihat, mendengar, membau, ada

rasa raba dan rasa kecap meskipun tidak ada sesuatu rangsang yang

tertuju pada kelima indera tersebut (Izzudin, 2005 dikutip dari

Hamawati 2018).

Halusinasi adalah merupakan gejala yang paling ditemukan

pada pasien skizofrenia. Tanda dan gejala pada klien dengan

gangguan persepsi sensorik halusinasi yaitu tersenyum atau tertawa

sendiri, berbicara sendiri, respon yang kurang tepat terhadap realita,

melakukan gerakan mengikuti halusinasi, kurang konsentrasi kurang

interaksi dengan orang lain dan bersikap seperti sedang

mendengarkan sesuatu (Larasaty & Hargiana, 2019).

Halusinasi memiliki dampak yang membahayakan bila

halusinasi yang didengar mengandung perintah yang dapat

membahayakan diri sendiri ataupun orang lain, seperti perintah bunuh

diri, melarikan diri, memukul seseorang ataupun melakukan tindak

kriminal lainnya (Videbeck, 2019).

9
10

Halusinasi merupakan hilangnya kemampuan manusia dalam

membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal

(dunia luar). Klien memberikan persepsi atau pendapat tentang

lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata. Sebagai

contoh klien mengatakan mengdengar suara padahal tidak ada orang

yang berbicara (Kusumawati & Hartono, 2018).

2.1.2 Jenis halusinasi

Menurut (Kusumawati & Hartono, 2019) jenis-jenis halusinasi

sebagai berikut :

1. Halusinasi pendengaran atau audiotory

Mendengarkan suara atau kebisingan yang kurang jelas

ataupun yang jelas, dimana terkadang suara-suara tersebut seperti

mengajak berbicara klien dan kadang memerintah klien

melakukan sesuatu.

2. Halusinasi penglihatan atau visual

Stimulus visul dalam bentuk kilatan atau cahaya, gambaran

atau bayangan yang rumit dan kompleks. Bayangan itu bisa

meyenangkan atau menakutkan

3. Halusinsi penghidu atau olfaktori

Membau bau-auan tertentu seperti bau darah, urin, feses,

parfum atau bau yang lain. Ini sering terjadi pada seseorang psca

serangan stroke, kejang atau dimensia.


11

4. Halusinasi pengecapan atau gustatory

Merasa Pengecap seperti darah, urin, feses atau yang

lainnya.

5. Halusinasi perabaan atau taktil

Merasakan mengalami nyeri, rasa tersetrum atau

ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas.

6. Halusinasi cenesthetik

Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau

arteri, pencernaan makanan atau pembentukan urin.

7. Halusinasi kinestetika

Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak

Menurut Yosep dalam Prabowo, 2014 halusinasi terdiri dari

beberapa jenis dengan karakteristik tertentu, diantaranya :

1. Halusinasi pendengaran (audotorik)

Gangguan stimulus dimana pasien mendengar suara-suara

terutama suara orang. Biasanya mendengar suara orang yang

sedang membicarakan apa yang sedang dipikirkannya dan

memerintahkan untuk melakukan sesuatu.

2. Halusinasi pengelihatan (visual)

Stimulus visual dalam bentuk beragam seperti bentuk

pancaran cahaya, gambaran geometric, gambar kartun, panorama

yang luas dan bayangan yang menakutkan.


12

3. Halusinasi penghidu (Olfaktori)

Gangguan stimulus pada penghidu, yang ditandai dengan

adanya bau busuk, amis, dan bau menjijikan, tapi kadang terhidu

bau harum.

4. Halusinasi peraba (taktil)

Gangguan stimulus yang ditandai dengan adanya rasa sakit

atau tidak enak tanpa ada stimulus yang terlihat, seperti

merasakan sensasi listrik datang dari tanah, benda mati atau orang

lain.

5. Halusinasi pengecap (gustatorik)

Gangguan stimulus yang ditandai dengan merasaan sesuatu

yang busuk, amis, dan menjijikan

6. Halusinasi sinestetik

Gangguan stimulus yang ditandai dengan merasakan fungsi

tubuh seperti darah mengalir melalui vena atau arteri, makanan

dicerna atau pembentuan urine.

2.1.3 Tanda dan Gejala Halusinasi

Menurut Menurut Towsend (2016) tanda dan gejala

halusinasi sebagai berikut :

1. Menarik diri

2. Duduk terpaku dengan pandangan mata pada satu arah tertentu

tersenyum, tertawa atau berbicara sendiri

3. Gelisah

4. Melakukan gerakan seperti sedang menikmati sesuatu


13

5. Bingung

6. Mendengar, melihat atau merasakan stimulus yang tidak nyata

7. Menggerakan-gerakan bibir

8. Perbutaan yang tidak wajar

9. Perilaku menisolasi diri

10. Berbicara dengan mengatakan mereka

11. Berbicara adanya halusinasi

12. Ketakutan

13. Kecemasan

14. Tidak dapat membedakan hal nyata dan tidak nyata

15. Tidak dapat memusatkan perhatian/konsentrasi

16. Pembicaraan kacau kadang tidak masuk akal

17. Sikap curiga dan bermusuhan, merusak diri/orang lain/lingkungan

18. Sulit membuat keputusan

19. Tidak mampu melaksanakan asuhan mandiri : mandi, sikat gigi,

ganti pakaian, berhias yang rapi

20. Menyalahkan diri sendiri/orang lain

21. Muka merah, kadang pucat

22. Tekanan darah dan nadi meningkat

23. Napas terengah – engah

24. Banyak keringat.

Menurut (Azizah, 2016) tanda dan gejala perlu diketahui agar

dapat menetapkan masalah halusinasi, antara lain:

1. Berbicara, tertawa, dan tersenyum sendiri


14

2. Bersikap seperti mendengarkan sesuatu

3. Berhenti berbicara sesaat ditengah-tengah kalimat untuk

mendengarkan sesuatu

4. Disorientasi

5. Tidak mampu atau kurang konsentrasi

6. Cepat berubah pikiran

7. Alur pikiran kacau

8. Respon yang tidak sesuai

9. Menarik diri

10. Sering melamun

2.1.4 Fase Halusinasi

Menurut Stuart dan Laraia dalam Prabowo, 2014 menunjukan

tahapan terjadinya halusinasi terdiri dari 4 fase dan setiap fase

mempunyai karakteristik yang berbeda yaitu:

1. Fase I

Pasien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas,

kesepian, dan takut serta mencoba untuk berfokus pada pkiran

yang menyenangkan untuk meredakan ansietas disini pasien

tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, gerakan mata cepat, dan

asyik sendiri.

2. Fase II

Pengalaman sensori menjijikan dan menakutkan. Pasien

mulai lepas kendali dan mencoba jaga jarak dengan sumber yang

dipersepsikan sehingga timbul peningkatan tanda-tanda vital.


15

3. Fase III

Pasien menghentikan perlawanan halusinasi dan menyerah

pada halusinasi. Disini pasien sukar berhubungan dengan orang

lain, tidak mampu mematuhi perintah dari orang lain, dan kondisi

sangat menegangkan terutama berhubungan dengan orang lain.

4. Fase IV

Pengalaman sensori menjadi mengancam jika pasien

mengikuti perintah halusinasi. Disini terjadi perilaku kekerasan,

agitasi, menarik diri dan tidak mampu berespon terhadap perintah

yang kompleks dan tidak mampu berespon lebih dari 1 orang.

2.1.5 Faktor–faktor penyebab halusinasi

1. Faktor Predisposisi

a. Biologis

Gangguan perkembangan dan fungsi otak, susunan

syaraf–syaraf pusat dapat menimbulkan gangguan realita.

Gejala yang mungkin timbul adalah : hambatan dalam belajar,

berbicara, daya ingat dan muncul perilaku menarik diri.

b. Psikologis

Keluarga pengasuh dan lingkungan klien sangat

mempengaruhi respons psikologis klien, sikap atau keadaan

yang dapat mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah :

penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien.


16

c. Sosial budaya

Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan

orientasi realita seperti : kemiskinan, konflik sosial budaya

(perang, kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan yang

terisolasi disertai stress.

2. Faktor Presipitasi

Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul

gangguan setelah adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan,

isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan tidak berdaya

(Stuart & Sundeen, 2017).

2.1.6 Penatalaksanaan pada Halusinasi

Penatalaksanaan pada pasien halusinasi dengan cara (Kris, 2019) :

1. Menciptakan lingkungan yang terapeutik

Untuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dan

ketakutan pasien akibat halusinasi, sebaiknya pada permulaan

pendekatan di lakukan secara individual dan usahakan agar

terjadi kontak mata, kalau bisa pasien di sentuh atau di pegang.

Pasien jangan di isolasi baik secara fisik atau emosional. Setiap

perawat masuk ke kamar atau mendekati pasien, bicaralah

dengan pasien. Begitu juga bila akan meninggalkannya

hendaknya pasien di beritahu. Pasien di beritahu tindakan yang

akan di lakukan.
17

Di ruangan itu hendaknya di sediakan sarana yang dapat

merangsang perhatian dan mendorong pasien untuk berhubungan

dengan realitas, misalnya jam dinding, gambar atau hiasan

dinding, majalah dan permainan.

2. Melaksanakan program terapi dokter

Sering kali pasien menolak obat yang di berikan

sehubungan dengan rangsangan halusinasi yang di terimanya.

Pendekatan sebaiknya secara persuatif tapi instruktif. Perawat

harus mengamati agar obat yang di berikan betul di telannya,

serta reaksi obat yang di berikan.

3. Menggali permasalahan pasien dan membantu mengatasi

masalah yang ada

Setelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat

dapat menggali masalah pasien yang merupakan penyebab

timbulnya halusinasi serta membantu mengatasi masalah yang

ada. Pengumpulan data ini juga dapat melalui keterangan

keluarga pasien atau orang lain yang dekat dengan pasien.

4. Memberi aktivitas pada pasien

Pasien di ajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan

fisik, misalnya berolah raga, bermain atau melakukan kegiatan.

Kegiatan ini dapat membantu mengarahkan pasien ke kehidupan

nyata dan memupuk hubungan dengan orang lain. Pasien di ajak

menyusun jadwal kegiatan dan memilih kegiatan yang sesuai.


18

5. Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses perawatan

Keluarga pasien dan petugas lain sebaiknya di beritahu

tentang data pasien agar ada kesatuan pendapat dan

kesinambungan dalam proses keperawatan, misalnya dari

percakapan dengan pasien di ketahui bila sedang sendirian ia

sering mendengar laki-laki yang mengejek. Tapi bila ada orang

lain di dekatnya suara-suara itu tidak terdengar jelas. Perawat

menyarankan agar pasien jangan menyendiri dan menyibukkan

diri dalam permainan atau aktivitas yang ada. Percakapan ini

hendaknya di beritahukan pada keluarga pasien dan petugaslain

agar tidak membiarkan pasien sendirian dan saran yang di

berikan tidak bertentangan (Kris, 2019).

2.2 Tinjauan Umum kesembuhan Halusinasi

2.2.1 Pengertian

Menurut Chaplan (2015) sembuh adalah kembalinya seseorang

pada satu kondisi kenormalan setelah menderita suatu penyakit,

penyakit mental, atau luka–luka. Menurut Dr Ruben Supit (2017)

sembuh adalah kondisi “pulihnya kembali keutuhan atau integritas

struktur dan fungsi sehat” setelah mengalami kondisi sakit. Istilah

remisi (sembuh bebas gejala) menunjukkan pasien, sebagai hasil terapi

medikasi terbebas dari gejala-gejala halusinasi, tetapi tidak melihat

apakah pasien itu dapat berfungsi atau tidak. Istilah recovery (sembuh

tuntas) biasanya mencakup disamping terbebas dari gejala-gejala

halusinasi, delusi dan lain-lain, pasien juga dapat bekerja atau belajar
19

sesuai harapan keadaan diri pasien masyarakat sekitarnya. Untuk

mencapai kondisi sembuh dan dapat berfungsi, seorang pasien

halusinasi memerlukan medikasi, konsultasi psikologis, bimbingan

sosial, latihan keterampilan kerja, dan kesempatan yang sama untuk

semuanya seperti anggota masyarakat lainnya.

Selain cara dengan perawatan di rumah sakit (umum atau jiwa)

dan rawat jalan, ada cara alternatif, yaitu dirawat hanya pada siang atau

malam hari saja di rumah sakit, sebagian hari lainnya pasien berada di

rumah bersama dengan keluarga atau di sekolah atau tempat kerja

bersama teman-temannya. Selain itu ada program terapi residensial,

yaitu tempat semacam asrama bagi pasien halusinasi yang sudah relatif

tenang atau mencapai keadaan remisi (tetapi masih memerlukan

rehabilitasi, latihan keterampilan lebih lanjut) dapat hidup dalam

suasana lingkungan seperti keluarga (bersama-sama pasien lainnya)

dalam mana ia dapat mempraktekkan pengetahuan dan keterampilan

yang telah dipelajarinya di tengah-tengah lingkungan yang mendukung

sehingga ia kemudian juga terampil menjalani kehidupan ini di luar

rumah sakit, di tengah-tengah masyarakat luas seperti anggota

masyarakat pada umumnya (Chaplan, 2015).

Semuanya memerlukan semacam dukungan sosial (sosial

support) dari komuniti atau lingkungan masyarakatnya. Secara tuntas,

untuk terapi holistic diperlukan perhatian baik untuk fisiknya

(makanan, istirahat, medikasi, latihan fisik), mental-emosionalnya

(psikoterapi, konseling psikologis) dan bimbingan sosial (cara bergaul,


20

latihan keterampilan social) Serta lingkungan keluarga dan social yang

mendukung). Disamping terapi okupasional (kegiatan untuk mengisi

waktu) diperlukan juga terapi/rehabilitasi vokasional (Chaplan, 2015).

Untuk melatih keterampilan kerja tertentu yang dapat digunakan

pasien untuk mencari nafkah. Semua ini membutuhkan jalinan kerja

sama seluruh lapisan masyarakat/komuniti, dan tidak mungkin

dilakukan oleh satu kelompok komuniti saja, banyak pihak harus

terlibat dan saling bekerja sama dengan satu tujuan yaitu membawa

pasien kepada keadaan bebas penyakit dan terampil menjalani

kehidupan secara mandiri. Kini perlu disadari bahwa peran keluarga

sangatlah penting dalam usaha penyembuhan penderita halusinasi.

Keluarga penderita adalah sumber amat penting untuk memudahkan

perawatan psikososial, untuk itu jangan jauhi penderita, berilah

perhatian dan kasih sayang agar penderita tidak merasa dikucilkan

(Chaplan, 2015).

2.2.2 Kriteria Sembuh Pada Halusinasi

1. Klien mampu memutuskan halusinasi dengan berbagai cara yang

telah diajarkan.

2. Klien mampu mengetahui tentang halusinasinya.

3. Meminta bantuan atau partisipasi keluarga.

4. Mampu berhubungan dengan orang lain.

5. Menggunakan obat dengan benar.

6. Keluarga mampu mengidentifikasi gejala halusinasi.


21

7. Keluarga mampu merawat klien di Rumah dan mengetahui tentang

cara mengatasi halusinasi serta dapat mendukung kegiatan-

kegiatan klien.

2.2.3 Evaluasi Tindakan Pada Halusinasi

Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan

SOAP dengan penjelasan sebagai berikut:

1. S : Respon subjektif klien terhadap tindakan keperawatan yang

diberikan. Dapat diukur dengan menanyakan pertanyaan sederhana

terkait dengan tindakan keperawatan seperti “coba bapak sebutkan

kembali bagaimana cara mengontrol atau memutuskan halusinasi

yang benar?”.

2. O : Respon objektif dari klien terhadap tindakan keperawatan yang

telah diberikan. Dapat diukur dengan mengobservasi perilaku klien

pada saat tindakan dilakukan.

3. A : Analisis ulang atas data subjektif dan objektif untuk

menyimpulkan apakah masalah masih tetap atau muncul masalah

baru atau ada data yang kontradiksi dengan masalah yang ada.

Dapat pula membandingkan hasil dengan tujuan.

4. P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisa pada

respon klien yang terdiri dari tindak lanjut klien dan tindak lanjut

perawat. Rencana tindak lanjut dapat berupa :

5. Rencana diteruskan, jika masalah tidak berubah.

6. Rencana dimodifikasi jika masalah tetap, semua tindakan sudah

dijalankan tetapi hasil belum memuaskan.


22

7. Rencana dibatalkan jika ditemukan masalah baru dan bertolak

belakang dengan masalah yang ada serta diagnosa lama diberikan.

2.3 Tinjauan Umum Tentang Bercakap-cakap

2.3.1 pengertian bercakap-cakap

Bercakap-cakap adalah salah satu kegiatan pembelajaran dimana

cara penyampaiannya yaitu dengan cara berkomunikasi secara lisan

untuk meningkatkan keterampilan berkomunikasi dengan orang lain

dengan cara memberikan tanya jawab kepada yang dikomunikasikan

secara lisan dan merupakan salah satu bentuk komunikasi antar

pribadi.

“Bercakap-cakap merupakan salah satu bentuk komunikasi antar

pribadi. Berkomunikasi merupakan proses dua arah. Untuk terjadinya

komunikasi dalam percakapan diperlukan kemampuan mendengar dan

kemampuan berbicara. Sedangkan menurut Dhieni (2017) Bercakap-

cakap adalah suatu cara penyampaian bahan pengembangan yang

dilaksanakan melalui bercakap-cakap dalam bentuk tanya jawab.

Menurut (Moeslichatoen, 2016).

Terapi Individu bercakap-cakap adalah mengajak berbincang-

bincang dengan orang lain yang ada disekitar atau didekatnya sehingga

saat halusinasi datang klien langsung mengabaikannya

(Moeslichatoen, 2016).

2.3.2 Tujuan bercakap-cakap

Mengembangkan kecakapan dan keberanian dalam

menyampaikan pendapatnya kepada siapapun, Memberi kesempatan


23

untuk berekspresi secara lisan, Memperbaiki lafal dan ucapan, Melatih

daya tangkap, Melatih daya pikir dan fantasi, Menambah pengetahuan

dan pengalaman, Memberikan kesenangan (Dhieni, 2017).

Yang pertama harus dilakukan dalam tahapan ini adalah

membina hubungan saling percaya dengan klien. Hubungan saling

percaya sangat penting untuk mengawali hubungan agar Klien bersedia

mengekspresikan segala masalah yang dihadapi dan mau bekerja sama

untuk mengatasi masalah tersebut sepanjang berhubungan dengan

perawat. Setelah klien mempercayai perawat, tahapan selanjutnya

adalah klien bersama perawat mendiskusikan apa yang menjadi latar

belakang munculnya masalah pada klien, apa konflik yang terjadi, juga

penderitaan yang klien hadapi. Tahapan orientasi diakhiri dengan

kesepakatan antara perawat dan klien untuk menentukan tujuan yang

hendak dicapai dalam hubungan perawat-klien dan bagaimana kegiatan

yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan tersebut (Dhieni,

2017).

Perawat melakukan intervensi keperawatan setelah klien

mempercayai perawat sebagai terapis. Ini dilakukan di fase kerja, di

mana klien melakukan eksplorasi diri. Klien mengungkapkan apa yang

dialaminya. Untuk itu perawat tidak hanya memperhatikan konteks

cerita klien akan tetapi harus memperhatikan juga bagaimana perasaan

klien saat menceritakan masalahnya. Dalam fase ini klien dibantu

untuk dapat mengembangkan pemahaman tentang siapa dirinya, apa

yang terjadi dengan dirinya, serta didorong untuk berani mengambil


24

risiko berubah perilaku dari perilaku maladaptive menjadi perilaku

adaptif (Dhieni, 2017).

Setelah kedua fihak (klien dan perawat) menyepakati bahwa

masalah yang mengawali terjalinnya hubungan terapeutik telah mereda

dan lebih terkendali maka perawat dapat melakukan terminasi dengan

klien. Pertimbangan lain untuk melakukan terminasi adalah apabila

klien telah merasa lebih baik, terjadi peningkatan fungsi diri, sosial dan

pekerjaan, serta yang lebih penting adalah tujuan terapi telah tercapai

(Dhieni, 2017).

2.3.3 Manfaat bercakap-cakap

Meningkatkan keberanian seseorang untuk

mengaktualisasikan diri dengan menggunakan kemampuan berbahasa

secara ekspresif; menyatakan pendapat, menyatakan perasaan,

menyatakan keinginan, dan kebutuhan secara lisan, Meningkatkan

keberanian seseorang untuk menyatakan secara lisan apa yang harus

dilakukan oleh diri sendiri dan orang lain (Moeslichatoen, 2016).

1. Pasien dapat mengalihkan suara-suara yang di dengar saat

halusinasi muncul.

2. Pasien tidak berfokus pada halusinasinya saat sedang berbincang-

bincang dengan orang lain.

3. Pasien akan lebih cepat sembuh jika melakukan terapi bercakap-

cakap secara rutin sesuai jadwal kegiatan yang dibuat.


25

Salah satu contoh cara mengontrol yang pernah digunakan

untuk pasien halusinasi pendengaran adalah dengan cara bercakap-

cakap. Bercakap-cakap dengan orang lain dapat membantu mengontrol

halusinasi, ketika pasien bercakap-cakap dengan orang lain terjadi

distraksi, fokus perhatian pasien akan beralih dari halusinasi ke

percakapan yang dilakukan dengan orang lain. Melakukan aktivitas

yang terjadwal untuk mengurangi resiko halusinasi muncul lagi adalah

dengan menyibukkan diri melakukan aktivitas yang teratur. Minum

obat secara teratur dapat mengontrol halusinasi, Pasien juga harus

dilatih untuk minum obat secara teratur sesuai dengan program terapi

dokter (Keliat & Akemat, 2017.

Sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Oky Fresa

(2015) menunjukkan untuk kelompok intervensi, didapatkan nilai mean

pre test 17.93 dan nilai post test sebesar 40.67, sedangkan standar

deviasi 0.550 dan 2.236 dengan 27 responden hasil sebelum diberikan

terapi yang kemampuan kurang berjumlah 27 responden (100%) dan

sesudah diberikan terapi individu bercakap-cakap didapatkan hasil yang

kemampuan cukup 1 responden (3.7%), kemampuan baik 26 responden

(96.3%). Untuk kelompok kontrol didapatkan nilai mean pre test 17.33

dan nilai post test sebesar 17.41, sedangkan standar deviasi 2.184 dan

2.358 dengan 27 responden sebelum di ukur kemampuan mengontrol

halusinasi didapatkan hasil kemampuan kurang 27 responden (100%)

dan sesudah didapatkan hasil kemampuan cukup 18 responden (66,7%),

kemampuan baik 9 responden (33.3%).


26

Hasil penelitian Ersida, Hermansyah & Mutiawati (2016)

tentang “Dukungan Keluarga dalam Perawatan Halusinasi pada Pasien

Skizofrenia” menyimpulkan bahwa ada hubungan antara home visit

aktif dengan kemandirian keluarga dalam perawatan halusinasi yang

mandiripada pasien Skizofrenia. Dukungan keluarga ini memberikan

dampak sebesar 10 kali lebih mandiri dibandingkan dengan perawatan

halusinasi pada pasien Skizofrenia dengan kegiatan home visit yang

kurang aktif.

Penelitian yang dilakukan oleh Cook Et Al (2018),

menunjukkan bahwa peer support bermanfaat bagi klien dengan

skizofrenia dengan meningkatkan sikap pemulihan, mendorong klien

untuk terlibat dalam perawatan dan meningkatkan dukungan sosial

klien. Dalam studi control yang dilakukan oleh Cook Et Al (2018),

tentang program peer support untuk klien skizofrenia, disimpulkan

bawa intervensi peer support mengurangi kekambuhan dan penurunan

gejala kejiwaan dari klien dan meningkatkan harapan serta kualitas

hidup klien.

2.3.4 Strategi Keperawatan Halusinasi Pendengaran

1. Fase Orientasi

a. Salam terapeutik

“Assalamu‟alaikum, selamat pagi Bapak/Ibu”

b. Evaluasi/ validasi

“Bagaimana perasaan Bapak/Ibu hari ini? Masih ingat saya

Bu/Pak?
27

Apa tidur semalam nyenyak?

Apakah suara-suara itu masih muncul?

Apakah Bapak/Ibu sudah menerapkan cara yang kita latih?

Bagus! Apakah jadwal kegiatannya sudah dilaksanakan secara

teratur?

c. Kontrak

1) Topik

“Baiklah sesuai kontrak kita kemarin, hari ini kita akan

latihan cara ketiga untuk mengontrol halusinasi, yaitu

dengan cara bercakap- cakap dengan orang lain”

2) Waktu

“Bapak/Ibu mau berapa lama kita berbincang-bincang?

Bagaimana kalau 40 menit?

3) Tempat

“Sesuai janju kita kemarin, kita berbincang-bincang di sini

ya? Apakah Bapak/Ibu sudah siap?”

2. Fase Kerja

“Cara ketiga untuk mencegah atau mengontrol halusinasi yang lain

adalah dengan bercakap-cakap dengan orang lain. Jadi kalau

Bapak/Ibu mulai mendengar suara-suara palsu, langsung saja cari

teman untuk mengobrol dengan bapak/ibu. Contohnya begini:

Tolong, saya mulai dengar suara- suara. Ayo ngobrol dengan saya.

Atau kalau ada orang dirumah misalnya anak bapak/ibu, katakan:

Nak, ayo ngobrol dengan bapak/ibu. Bapak/ibu sedang dengar


28

suara-suara. Begitu bapak/ibu. Coba bapak/ibu lakukan seperti

yang saya lakukan. Ya, begitu. Bagus bapak/ibu.”

3. Fase Terminasi

a. Evaluasi respon klien

1) Evaluasi subyektif

“Bagaimana perasaan bapak/ibu setelah latihan ini?‟

2) Evaluasi Obyektif

“Bisa bapak/ibu coba ulangi kembali cara kontrol

halusinasi dengan bercalap-cakap? Bagus Bapak/Ibu.”

b. Rencana Tindak Lanjut

“Bapak/Ibu, bagaimana kalau kita masukkan kedalam jadwal

kegiatan harian Bapak/Ibu.”

c. Kontrak yang akan datang


1) Topik
“Baiklah kalau begitu, Bapak/Ibu sampai disini dulu
pertemuan kita hari ini. Untuk pertemuan selanjutnya, kita
akan latihan mengontrol halusinasi dengan cara
melakukan kegiatan harian.”
2) Waktu
“Bapak /ibu mau jam berapa? Bagaimana besuk jam 09.00
WIB
3) Tempat
“Besuk Bapak/Ibu mau dimana kita lakukan.
Bagaimana kalau disini saja? Baiklah, sampai jumpa
besuk bapak/ibu

Anda mungkin juga menyukai