Anda di halaman 1dari 5

Perda yang Mendiskriminasi LGBT Disebut Melanggar Konstitusi

Ilustrasi kriminalisasi LGBT.

ARTIKEL INI DIBUAT UNTUK MEMENUHI TUGAS FINAL TEST


PENGANTAR ILMU HUKUM ISLAM

DOSEN PENGAMPUH : ULIL AMRI S.Sy, S.H, M.E.I

DISUSUN OLEH :

MUHAMMAD SALEH
NIM : 105251105421

HUKUM EKONOMI SYA’RIAH SEMESTER 1 KELAS B

Perda yang Mendiskriminasi LGBT Disebut Melanggar Konstitusi


Ilustrasi kriminalisasi LGBT.
FOTO/tirto.id Oleh: Widia Primastika - 7 Desember 2018 Dibaca Normal

“UUD 1945 mengamanatkan setiap orang berhak mendapat perlakuan yang sama di hadapan
hukum. tirto.id -

tirto.id - DPRD Kota Pariaman pada hari Rabu, 28 November 2018 mereka mengesahkan
Peraturan Daerah (Perda) tentang Ketentraman dan Ketertiban Umum yang di dalamnya
memuat sanksi bagi Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender. “Bunyi pasal melakukan tindakan
yang mengganggu ketertiban umum, misalnya berdiri di lampu merah, mengamen, menyanyi
sambil memanggil-manggil orang dengan pakaian yang merusak pemandangan,” ucap Wakil
Ketua DPRD Kota Pariaman Fitri Nora kepada Tirto.

Fitri menyampaikan bahwa aturan itu muncul karena tingginya angka LGBT dan pengidap
HIV/AIDS di Kota Pariaman. Dalam perda tersebut, ada dua pasal yang secara jelas mengatur
LGBT, yakni pasal 24 dan pasal 25.

Dalam peraturan daerah itu, pasal 24 tertulis: "Setiap orang dilarang berlaku sebagai waria
yang melakukan kegiatan mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum."

Sementara itu, pasal 25 berbunyi: "Setiap orang laki-laki dan perempuan dilarang melakukan
perbuatan asusila dengan sesama jenis atau melakukan perbuatan yang dimaksud dengan
LGBT."

Sebelum Kota Pariaman, sikap diskriminatif terhadap LGBT pernah dilakukan oleh Bupati
Cianjur, yang mengedarkan Surat Bupati Cianjur kepada camat se-Kabupaten Cianjur yang
meminta seluruh masjid jami untuk menyampaikan khotbah terkait materi LGBT. Ada juga
beberapa daerah lain yang hendak membuat perda serupa, seperti Depok, Kabupaten
Kotawaringin Timur, dan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat.

Tingginya angka diskriminasi itu tak lepas dari adanya stigma terhadap kelompok LGBT.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh M.V. Lee Badgett dan 2 orang rekannya berjudul “LGBT
Exclusion in Indonesia and Its Economic Effects” (PDF), terdapat tiga studi global opini publik
yang menunjukkan tingkat stigma LGBT di beberapa negara, salah satunya Indonesia.

Dari survei Pew Global Attitudes Surveys 2013 yang mereka kutip, pada 2013 hanya 3 persen
dari 1.000 responden yang bisa menerima homoseksual. Pada survei World Values Survey
tahun 2006 yang juga dicuplik, ada 67% dari 1.985 responden menolak homoseksual menjadi
tetangga mereka. Juga dikutip hasil survei International Social Survey Program pada 2008
yang menunjukkan 95,4% dari 2.000 responden berpendapat homoseksual adalah aktivitas
yang tidak pernah bisa dibenarkan.

Menurutnya, peraturan-peraturan daerah yang dibentuk tersebut melanggar konstitusi, sebab


dalam kaidah penyusunan peraturan perundang-undangan sudah seharusnya tidak dibuat
untuk mendiskriminasi kelompok tertentu di masyarakat.

“Ada Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-


Undangan itu di pasal 5 dan pasal 6 itu ada asas-asas pembentukan peraturan perundang-
perundangan harus memenuhi asas apa saja, nah itu harusnya dipenuhi, dan salah satunya
tidak boleh diskriminatif,” ungkap Bivitri.

Sedangkan pada pasal 6 tercantum bahwa materi peraturan perundang-undangan harus


mencerminkan asas pengayoman; kemanusiaan; kebangsaan; kekeluargaan; kenusantaraan;
bhineka tunggal ika; keadilan; kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
ketertiban dan kepastian hukum; dan/ atau keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Aturan pembentukan perundang-undangan itu juga tak hanya mengatur tentang ketertiban
dan kepastian hukum, tapi juga soal keadilan.

Pembentukan perda yang mengatur tentang aktivitas LGBT, menurut Bivitri, juga melanggar
tata urutan perundang-undangan yang mengatur bahwa perda tidak boleh bertentangan
dengan peraturan di atasnya.

Hierarki peraturan perundang-undangan adalah: UUD 1945, Ketetapan MPR, UU/ Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Perturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan
Daerah Provinsi, dan terakhir Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Munculnya peraturan daerah yang membatasi aktivitas LGBT jelas melanggar UUD 1945,
khususnya pasal 28D tentang Hak Asasi Manusia (PDF). Dalam pasal itu, tertulis bahwa setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Selain pasal 28D, Perda LGBT juga melanggar pasal 28I yang menyatakan setiap orang bebas
dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

Bivitri juga menyampaikan bahwa pemerintah telah merati kasi kovenan Internasional hak
sipil dan politik (ICCPR) yang tertulis pada Undang-Undang nomor 12 tahun 2005 (PDF) yang
jelas mengakui hak hidup, hak memperoleh perlindungan hukum, serta pelarangan perlakuan
atau penghukuman yang kejam dan merendahkan martabat.

“Praktik diskriminasi itu sering terjadi di lapangan, tapi [mengacu] kepada teks. Misalnya
persekusi,”

tutur Bivitri. Lalu, apakah peraturan daerah diskriminatif yang melanggar konstitusi ini bisa
dihilangkan? Perda yang dianggap diskriminatif bisa dihapus dengan mengajukan uji materi
ke Mahkamah Agung (MA). Sejak 2017, kewenangan itu beralih ke MA, setelah sebelumnya
ditangani oleh Kementerian Dalam Negeri.

Reporter: Widia Primastika


Penulis: Widia Primastika
Editor: Maulida Sri Handayani

fi

TANGGAPAN

homoseks (LGBT) merupakan perbuatan yang dilarang oleh agama dan merupakan
jarimah yang lebih keji daripada zina. Liwat merupakan perbuatan yang bertentangan
dengan akhlak dan fitrah manusia dan berbahaya bagi manusia yang melakukannya

KESIMPULAN

Berdasarkan pada seluruh uraian artikel diatas tentang konsepsi Lesbian, Gay,
Biseksual, dan Transgender (LGBT) dapat di simpulkan bahwa :

Pertama,

secara umum dan universal konsepsi LGBT banyak bertentangan dengan berbagai sudut
pandang, mulai perspektif agama, kesehatan mental dan kejiwaan, kodrat alami manusia
dalam mendapatkan keturunan, dan perspektif dampak negative sosial masyarakat akan
munculnya dan penyebaran virus HIV/AIDS. Namun kegigihan dan perjuangan kaum
LGBT dalam menuntut hak- hak pengakuan eksistensi dan kebebasan mereka telah
mendapatkan sedikit jalan terang dengan dilegalkannya perkawinan sejenis dibeberapa
negara.

Kedua,

dukungan yang diberikan orang-orang JIL terhadap kaum LGBT karena alasan yang
sangat mendasar yaitu bahwa kaum LGBT sebagai manusia juga memiliki Hak Azasi
manusia yang sama dengan masyarakat lainnya. Maka sudah semestinya masysrakat
seharusnya mengakui eksistensi dan kebebasan mereka dalam memilih orientasi
seksualnya menjadi kaum LGBT, dan tidak mempermasalahkannya dengan perilaku-
perilaku diskriminasi.

Ketiga,

JIL mendukung eksistensi dan kebebasan HAM kaum LGBT bukannya tanpa pendasaran
kuat. Argumentasi-argumentasi JIL dengan landasan mereka berdasarkan dalil al Qur’an,
hadist, yang sudah mereka reintepretasi dengan pendekatan-pendekatan ilmu-ilmu
kontemporer yang mereka miliki khususnya teologis, psikologi dan fenomenologi. Selain
itu JIL juga menjadikan dalil berupa Undang-undang HAM Internasional tentang LGBT
yang dianggap bukan lagi sebagai penyakit mental sehingga diakui eksistensinya
dilingkungan social.

Keempat,

JIL membantah dalil-dalil al Qur’an dan Hadist hasil penafsiran ulama-ulama pada
umumnya melalui reinterpretasi ulang terhadap dalil-dalil kitab suci dengan
mereintepretasi dengan pendekatan historis untuk mencari kontekstualisasi dari turunnya
dalil-dalil tersebut. Hal tersebut pada kesimpulannya menunjukkan dukungan dan
pembenaran terhadap eksistensi dan perilaku LGBT.

SARAN MAHASISWA

Agar tidak mudah terpancing dalam mensikapi dan merespon massifnya perilaku
dan propaganda LGBT dengan tindakkan kekerasan dan diskriminatif, karena hal tersebut
justru akan semakin memperbesar dukungan terhadap kaum LGBT. Menurut peneliti
lebih tepat kalau kita preventif gerak mereka melalui penelitian ilmiah tentang dampak-
dampak psikologis, kesehatan dan sosial yang ditimbulkan atas perilaku LGBT.

SARAN TERHADAP PEMERINTAH TENTANG PENGESAHAN LGBT


Pemerintah Pusat dalam menanggulangi LGBT dengan cara mengeluarkan anggaran
keuangan untuk melaksanakan pelaksanaan. Upaya yang dilakukan pemerintah dalam
menanggulangi LGBT yaitu mengefektifkan peran yang dilakukan oleh pemerintah pusat hingga
daerah dalam menanggulangi LGBT dan menambah pasal tentang LGBT.

Sumber Artikel :

artikel "Perda yang Mendiskriminasi LGBT Disebut Melanggar Konstitusi", https://tirto.id/da8d

Anda mungkin juga menyukai