Anda di halaman 1dari 44

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Otak


Otak adalah bagian susunan saraf pusat yang terletak di dalam cavitas
cranii. Otak dilanjutkan sebagai medulla spinalis setelah melalui foramen
magnum.1

Gambar 2.1 Sistem saraf pusat2

2.1.1 Cerebrum
Cerebrum adalah bagian terbesar otak dan terdiri dari dua
hemispherium cerebri yang dihubungkan oleh massa substantia alba
yang disebut corpus callosum. Setiap hemisphere terbentang dari os
frontale sampai ke os occipitale di atas fossa cranii anterior dan
media, dan di posterior, di atas tentorium cerebelli. Hemisphere
dipisahkan oleh sebuah celah dalam, yaitu fissura longitudinalis
cerebri, di mana ke dalamnya menonjol falx cerebri. Lapisan
permukaan setiap hemispherium cerebri disebut cortex dan disusun
oleh substansia grisea.1

27
Cortex cerebri berlipat-lipat, disebut gyri yang dipisahkan oleh fissura atau sulci.
Dengan cara demikian permukaan cortex bertambah luas. Sejumlah sulci yang besar membagi
permukaan setiap hemisphere dalam lobus-lobus. Lobus-lobus diberi nama sesuai dengan
tulang tengkorak yang ada di atasnya. Lobus frontalis terletak di depan sulcus centralis dan di
atas sulcus lateralis. Lobus parietalis terletak di belakang sulcus centralis dan di atas sulcus
lateralis. Lobus occipitalis terletak di bawah sulcus parieto-occipitalis. Di bawah sulcus
lateralis terletak lobus temporalis.1

Gambar 2.2 Cerebrum2

Gyrus precentralis terletak tepat anterior terhadap sulcus centralis dan dikenal sebagai
area motoris. Sel-sel saraf motorik besar di dalam daerah ini mengatur gerakan volunter sisi
tubuh yang berlawanan. Hampir seluruh serabut saraf menyilang garis ke sisi berlawanan di
medulla oblongata pada saat mereka turun menuju medulla spinalis.1
Pada area motoris, tubuh dipresentasikan dalam posisi terbalik. Sel-sel saraf yang
mengatur gerakan kaki berlokasi di bagian atas, sedangkan yang mengatur gerakan wajah dan
tangan terletak di bagian bawah. Gyrus postcentralis terletak tepat posterior terhadap sulcus
centralis, dikenal sebagai area sensoris. Sel-sel saraf kecil di dalam daerah ini menerima dan
menginterpretasikan sensasi nyeri, suhu, raba, dan tekan dari sisi tubuh kontralateral.1
27
Gambar 2.3 Gyrus pada cortex cerebri2

Gyrus temporalis superior terletak tepat di bawah sulcus lateralis. Bagian tengah gyrus
ini menerima dan menginterpretasikan suara dan dikenal sebagai area auditiva. Area broca
atau area bicara motoris, terletak tepat di atas sulcus lateralis. Area ini mengatur gerakan
bicara. Pada orang bertangan kanan, area Broca hemisphere kiri bersifat dominan, sedangkan
pada orang kidal yang dominan adalah sisi kanan.1
Area visual terletak pada polus posterior dan aspek medial hemisphere cerebri di daerah
sulcus calcarinus. Area ini merupakan area penerima kesan visual. Rongga yang terdapat di
dalam setiap hemispherium cerebri disebut ventriculus lateralis. Ventriculus lateralis
berhubungan dengan ventriculus tertius melalui foramen interventriculare.1

Gambar 2.4 Gyrus pada cortex cerebri2


27
2.1.2 Diencephalon
Diencephalon hampir seluruhnya tetutup dari permukaan otak. Terdiri atas thalamus di
dorsal dan hypothalamus di ventral. Thalamus adalah massa substansia grisea besar, yang
terletak di kanan dan di kiri ventriculus tertius. Thalamus merupakan stasiun perantara besar
untuk jaras sensoris aferen yang menuju ke cortex cerebri. Hypothalamus membentuk bagian
bawah dinding lateral dan dasar ventriculus tertius. Struktur-struktur berikut ini terdapat di
dasar ventriculus tertius, dari depan ke belakang yaitu chiasma opticum, tuber cinereum, dan
infundibulum, corpus mammillare, dan substansia perforata posterior.1

2.1.3 Mesencephalon
Mesencephalon adalah bagian sempit otak yang berjalan melewati incisura tentorii dan
menghubungkan otak depan dengan otak belakang. Mesencephalon terdiri dari dua belahan
lateral yang disebut pedunculus cerebri. Masing-masing dibagi dalam pars anterior yaitu crus
cerebri, dan bagian posterior yaitu tegmentum oleh sebuah pita substansia grisea berpigmen
yang disebut subtansia nigra. Rongga sempit mesencephalon disebut aqueductus cerebri, yang
menghubungkan ventriculus tertius dengan ventriculus quartus. Tectum adalah bagian
mesencephalon yang terletak posterior terhadap aqueductus cerebri. Tectum mempunyai
empat tonjolan kecil, yaitu dua colliculus superior dan dua colliculus inferior. Colliculus ini
terletak profunda di antara cerebellum dan hemispherium cerebri.1

Gambar 2.5 Area fungsional cortex cerebri2

27
2.1.4 Cerebellum
Pons terletak pada permukaan anterior cerebellum, di bawah mesencephalon di atas
medulla oblongata. Pons terutama disusun oleh serabut-serabut saraf yang menghubungkan
kedua belahan cerebellum. Pons juga mengandung serabut-serabut ascendens dan descendens
yang menghubungkan otak depan, mesencephalon, dan medulla spinalis. Beberapa sel saraf di
dalam pons berfungsi sebagai stasiun perantara, sedangkan yang lain membentuk inti saraf
otak.1
Medulla oblongata berbentuk kerucut dan menghubungkan pons di atas dengan medulla
spinalis di bawah. Fissura medianan terdapat pada permukaan anterior medulla, dan pada
setiap sisi terdapat benjolan yang disebut pyramis. Pyramis tersusun dari berkas-berkas
serabut saraf yang berasal dari sel-sel besar di dalam gyrus precentralis cortex cerebri.
Pyramis mengecil ke bawah dan di sini hampir seluruh serabut-serabut descendens menyilang
ke sisi lainnya, membentuk decussatio pyramidum.1
Posterior terhadap pyramis terdapat oliva, yang merupakan elevasi lonjong yang
dibentuk oleh nucleus olivarius yang terletak di bawahnya. Di belakang oliva terdapat
pedunculus cerebellaris inferior, yang menghubungkan medulla dnegan cerebellum. Pada
permukaan posterior pars inferior medulla oblongata terdapat tuberculum gracile dan
cuneatum, yang dibentuk oleh nucleus gracillis di medial nucleus cuneatum di lateral.1
Cerebellum terletak di dalam fossa cranii posterior di bawah tentorium cerebelli.
Cerebellum terletak posterior terhadap pons dan medulla oblongata. Terdiri dari dua
hemisphere yang dihubungkan oleh bagian tengah, yang disebut vermis. Cerebellum
dihubungkan dengan mesencephalon melalui pedunculus cerebellaris superior, dengan pons
oleh pedunculus cerebellaris medius, dan dengan meduula oblongata oleh pedunculus
cerebellaris inferior.1
Lapisan permukaan tiap hemispherium cerebelli disebut cortex, terdiri dari substansia
grisea. Cortex cerebelli berlipat-lipat disebut folia, yang dipisahkan oleh fissura transversa
yang tersusun rapat. Kelompok massa substansia grisea tertentu didapatkan di dalam
cerebellum, tertanam di dalam substansia alba, yang terbesar dikenal sebagai nucleus
dentatus.1
Cerebellum berperan penting dalam mengendalikan tonus otot dan mengkoordinasikan
gerak otot pada sisi tubuh yang sama. Rongga pada otak belakang adalah ventriculus quartus.
Rongga ini dibatasi di depan oleh pons dan medulla oblongatam dibelakang oleh velum
medullare superius dan inferius serta cerebellum. Ventriculus quartus berhubungan ke atas
dengan ventriculus tertius melalui aqueductus cerebri, dan ke bawah berlanjut sebagai canalis

27
centralis medulla spinalis. Juga berhubungan dengan spatium subarachnoideum melalui tiga
lubang di bagian bawah atap, satu lubang di medial dan dua lubang di lateral.1

2.1.5 Meningen
Cerebrum dan medulla spinalis diliputi oleh tiga membran, atau meningen duramater,
arachnoideamater, dan piamater.

Gambar 2.6 Medulla spinalis dan meningen2

1) Duramater Encephali
Secara konvensional duramater terdiri dari dua lapis: lapisan endosteal dan
lapisan meningeal. Kedua lapisan ini berhubungan erat, kecuali sepanjang tempat-
tempat tertentu di mana mereka terpisah dan membentuk sinus venosus. Lapisan
endosteal tidak berbeda dengan periosteum yang meliputi permukaan dalam tulang-
tulang tengkorak. Lapisan ini tidak terbentang melewati foramen magnum untuk
berlanjut ke lapisan duramater di medulla spinalis. Di sekitar pinggir semua foramina
cranii lapisan ini berhubungan dengan periosteum pada permukaan luar tulang-tulang
tengkorak. Pada sutura, lapisan ini berhubungan dengan ligamentum suturale. Lapisan
ini melekat dengan erat pada tulang-tulang di basis cranii.1

27
Gambar 2.7 Meningen2

Lapisan meningeal adalah duramater yang sebenarnya merupakan membrana


fibrosa padat dan kuat yang membungkus otak dan melanjutkan diri setelah melalui
foramen magnum sebagai duramater medulla spinalis. Lapisan ini juga merupakan
selubung tubular bagi saraf-saraf orak, pada saat saraf otak melalui foramina di basis
cranii. Di luar tengkotak, selubung ini menyatu dengan epineurium saraf.1
Lapisan meningeal membentuk empat septum ke arah dalam yang membagi
cavitas cranii menjadi ruang-ruang yang saling berhubungan dengan bebas dan
menampung bagian-bagian otak. Fungsi septa-septa ini adalah untuk fiksasi otak. Falx
cerebri adalah lipatan duramater yang berbentuk bulan sabit yang terletak di garis
tengah, di antara kedua hemisphere cerebri. Ujung depannya yang sempit melekat pada
crista frontalis interna dan crista galli. Ujung posteriornya yang lebar menyatu dengan
permukaan atas tentorium cerebelli di garis tengah. Sinus sagittalis superior berjalan
pada pinggir atasnya yang terfiksasi, sinus sagiitalis inferior berjalan pada pinggir
bawahnya yang bebas dan cekung, dan sinus rectus berjalan sepanjang perlekatannya
pada tentorium cerebelli.1
Tentorim cerebelli adalah lipatan duramater berbentuk bulan sabit, yang menjadi
atap fossa cranii posterior. Lapisan ini menutupi permukaan atas cerebellum dan
menyokong lobus occipitalis hemispherium cerebri. Di depan terdapat sebuah celah,
27
incisura tentorii, untuk tempat lewatnya mesencephalon, sehingga terdapat pinggir
dalam yang bebas dan pinggir luas yang terfiksasi. Pinggir yang terfiksasi melekat pada
processus clinoideus posterior, pinggir superior os petrosus, dan pinggir-pinggir alur
untuk sinus transversus pada os occipitale. Pinggir bebasnya berjalan ke depan pada
kedua ujungnya, melintasi pinggir yang terfiksasi, dan melekat pada processus
clinoideus anterior tiap sisi. Pada tempat di mana kedua pinggir bersilangan, nervus
cranialis ketiga dan keempat berjalan ke depan memasuki dinding lateral sinus
cavernosus. Dekat apeks pars petrosus ossis temporalis, lapis bawah tentorium
menonjol ke depan, di bawah sinus petrosus superior, membentuk recessus untuk
nervus trigeminus dan ganglion trigeminale.1
Banyak arteri yang mendarahi duramater, yaitu arteria carotis interna, arteria
maxillaris, arteria pharyngea ascendens, arteria occipitalis, dan arteria vertebralis. Dari
sudut klinis, yang terpenting adalah arteria meninges media, yang sering rusak pada
cedera kepala.1
Arteria meningea media berasal dari arteria maxillaris di dalam fossa
infratemporalis. Pembuluh ini masuk ke rongga otak dan berjalan ke depan dan lateral
di dalam alur pada permukaan atas pars squamosa ossis temporalis. Untuk masuk
cavum crania, arteri ini berjalan melalui foramen spinosum dan terletak di antara
lapisan meningeal dan endosteal duramater. Ramus anterior (frontalis) membuat alur
dalam atau terowongan pada angulus anteroinferior ossis parietalis, dan perjalanannya
kira-kira sesuai dengan garis gyrus precentralis otak yang ada di bawahnya. Ramus
posterior (parietalis) melengkung ke belakang dan mendarahi bagian posterior
duramater.1
Vena-vena meningea terletak di dalam lapisan endosteal duramater. Vena
meningea media mengikuti cabang-cabang arteria meningea media dan bermuara ke
dalam plexus venosus pterygoideus atau sinus sphenoparietalis. Vena-vena terletak
lateral terhadap arterinya.1

2) Arachnoideamater
Arachnoideamater adalah suatu membran lembuat yang tidak permeabel yang
meliputi otak dan terletak di antara piamater di sebelah dalam dan duramater di sebelah
luar. Membran ini dipisahkan dari duramater oleh ruang potensial, disebut spatium
subdurale, dan dari piamater oleh spatium subarachnoideum, yang terisi oleh liquor
cerebrospinalis.1

27
Arachnoideamater membentuk jembatan-jembatan di atas sulcus-sulcus pada
permukaan otak dan dalam situasi tertentu, arachnoideamater dan piamater terpisah
lebar membentuk cisternae subarachnoideae. Pada daerah tertentu, arachnoideamater
menonjol ke dalam sinus venosus membentuk vili arachnoidales. Vili arachnoidales ini
paling banyak di sepanjang sinus sagittalis superior. Agregasi vili arachnoidales disebut
sebagai granulationes arachnoidales. Vili arachnoidales berfungsi sebagai tempat difusi
liquor cerebrospinalis ke dalam aliran darah.1

3) Piamater
Piamater adalah membran vaskular yang dengan erat membungkus otak,
membungkus gyrus-gyrus dan masuk ke dalam sulcus-sulcus yang terdalam. Membran
ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epieneuriumnya. Arteri-arteri yang
masuk ke dalam substansi otak juga diliputi oleh piamater.1

2.1.6 Nervus Cranialis


Terdapat 12 nervus cranialis yaitu nervus olfaktorius, nervus opticus, dan nervus
vestibulocochlearis yang bersifat sebagai sensoris murni. Nervus oculomotorius, nervus
trochlearis, nervus abducens, nervus accessorius, dan nervus hypoglossus bersifat motorik
murni, serta saraf cranial lainnya itu trigeminus, nervus facialis, nervus glossopharyngeus,
dan nervus vagus bersifat campuran.1
1) Nervus Olfactorius
Nervusini berasal dari sel-sel reseptor nervus olfaktorius di membrana mucosa
olfactorius. Membrana mucosa olfactorius terletak pada bagian atas cavitas nasi di atas
concha nasalis superior. Berkas serabut-serabut nervus olfactorius ini berjalan melalui
lubang-lubang pada lamina cribrosa ossis ethmoidalis untuk masuk ke dalam bulbus
olfactorius dalam cavitas cranii. Bulbus olfactorius dihubungkan dengan area
olfactorius cortex cerebri oleh tractus olfactorius.1
2) Nervus Opticus
Nervus opticus merupakan kumpulan axon sel-sel lapisan ganglionik retina.
Nervus opticus muncul dari bagian belakang bola mata dan meninggalkan rongga orbita
melalui canalis opticus untuk masuk ke dalam rongga cranium. Selanjutnya menyatu
dengan nervus opticus sisi lainnya membentuk chiasma opticum.1
Pada chiasma, serabut-serabut dari belahan medial masing-masing retina
menyilang garis tengah dan masuk ke tractus opticus sisi kontralateral, sedangkan
27
serabut-serabut belahan lateral retina berjalan ke posterior di dalam tractus opticus
berakhir dengan bersinaps pada sel-sel saraf di dalam corpus geniculatum laterale.
Sebagian kecil serabut berjalan ke nucleus pretectalis dan coliculus superior serta
berperan pada refleks cahaya. Axon sel-sel saraf dari corpus geniculatum laterale
berjalan ke posterior sebagai radiatio optica dan berakhir pada cortex visual
hemispherium cerebri.1

Gambar 2.8 Nervi craniales2


3) Nervus Occulomotorius
Nervus occulomotorius keluar dari permukaan anterior mesencephalon. Sarad ini
berjalan ke depan di antara arteria cerebri posterior dan arteria cerebelli superior.
Kemudian berjalan terus ke depan di dalam fossa cranii media pada dinding lateral
sinus cavernosus. Di sini, nervus bercabang menjadi ramus superior dan ramus inferior,
yang masuk ke rongga orbita melalui fissura orbitalis superior.1

27
Nervus occulomotorius menyarafi otot-otot ekstrinsik mata yaitu musclus levator
palpebrae superioris, musculus rectus superior, musculus rectus medialis, musculus
rectus inferior, dan musculus obliquus inferior. Selain itu, otot-otot intrinsik mata
seperti musculus constrictor pupillae iris dan musculus ciliaris dipersarafi oleh
komponen parasimpatik nervus occulomotorius. Serabut-serabut ini bersinaps di dalam
ganglion ciliare dan mencapai bola mata di dalam nervi ciliares breves. Dengan
demikian nervus occulomotorius seluruhnya bersifat motorik. Saraf ini berfungsi untuk
mengangkat kelopak mata atas, memutar bola mata ke atas, bawah, dan medial,
konstriksi pupil dan akomodasi mata.1

4) Nervus Trochlearis
Nervus trochlearis adalah saraf cranial yang paling ramping. Setelah menyilang
saraf sisi lainnya, saraf ini meninggalkan permukaan posterior mesencephalon.
Kemudian nervus trochlearis berjalan ke depan melalui fossa cranii media pada dinding
lateral sinus cavernosus dan masuk ke orbita melalui fissura orbitalis superior.Nervus
trochlearis menyarafi musculus obliquus superior bola mata (musculus ekstrinsik).
Nervus trochlearis seluruhnya motorik dan membantu memutar bola mata ke bawah dan
lateral.1

5) Nervus Trigeminus
Nervus trigeminus merupakan saraf cranial terbesar. Saraf ini meninggalkan
aspek anterior pons sebagai radix motoris yang kecil dan radix sensoris yang besar,
berjalan ke depan, keluar dari fossa cranii posterior, untuk mencapai apex pars petrosa
ossis temporalis di dalam fossa cranii media. Di sini, radix sensoris membesar
membentuk ganglion trigeminale. Ganglion trigeminale terletak di dalam sebuah
kantong duramater disebut cavum trigeminale. Radix motoris nervus trigeminus terletak
di bawah ganglion sensorik dan terpisah darinya. Nervus opthalmicus (N.V1), nervus
maxillaris (N.V2), dan nervus mandibularis (N.V3) berasal dari pinggir anterior
ganglion.1
a. Nervus Opthalmicus
Nervus opthalmicus bersifat murni sensorik. Nervus ini berjalan ke depan
pada dinding lateral sinus cavernosus di dalam fossa cranii media dan bercabang
tiga, nervus lacrimalis, nervus frontalis, dan nervus nasociliaris, yang masuk ke
dalam rongga orbita melalui fossa orbitalis superior.1

27
Nervus lacrimalis berjalan ke depan pada pinggir atas musculus rectus
lateralis. Nervus ini bergabung dengan ramus zygomaticotemporalis cabang dari
nervus maxillaris, yang mengandung serabut secretomotorik parasimpatik ke
glandula lacrimalis. Kemudian nervus lacrimalis masuk glandula lacrimalis dan
memberikan cabang-cabang ke conjunctiva dan kulit kelopak mata atas.Nervus
frontalis berjalan ke depan pada permukaan atas musculus levator palpebrae
superioris dan bercabang dua menjadi nervus supraorbitalis dan nervus
supratrochlearis. Saraf-saraf ini meninggalkan rongga orbita dan menyarafi sinus
frontalis dan kulit dahi serta kulit kepala.1
Nervus nasociliaris menyilang nervus opticus, berjalan ke depan pada pinggir
atas musculus rectus medius, dan berlanjut sebagai nervus ethmoidalis anterior yang
berjalan melalui foramen ethmoidale anterius, masuk ke cavitas cranii. Kemudian
saraf ini berjalan turun melalui celah pada sisi crista galli masuk ke cavitas nasi.
Saraf ini memberikan dua rami nasales internae, dan kemudian saraf ini menyarafi
kulit di puncak hidung melalui ramus nasalis externus, cabang-cabangnya adalah
ramus sensorik ke ganglion ciliare, nervis ciliares longi, nervus infratrochlearis, dan
nervus ethmoidalis posterior.1

b. Nervus Maxillaris
Nervus maxillaris bersifat sensorik murni. Nervus ini meninggalkan cranium
melalui foramen rotundum dan menyilang fossa pterygopalatina, masuk orbita
melalui fissura orbitalis inferior. Kemudian saraf ini berlanjut sebagai nervus
infraorbitalis di dalam sulcus infraorbitalis, dan nervus ini muncul pada permukaan
wajah melalui foramen infraorbitale. Nervus maxillaris bercabang menjadi serabut-
serabut sensorik ke wajah dan sisi hidung.1

c. Nervus Mandibularis
Nervus mandibularis bersifat motorik dan sensorik. Radix sensoris
meninggalkan ganglion trigeminale dan keluar dari cranium melalui foramen ovale
untuk masuk ke fossa infratemporalis. Radix motoris nervus trigeminus juga keluar
dari tengkorak melalui foramen ovale dan bergabung dengan radix sensoris untuk
membentuk truncus nervus mandibularis, dan kemudian membelah dua menjadi
sebuah divisi anterior yang kecil dan sebuah divisi posterior yang besar.1

27
6) Nervus Abducens
Saraf kecil ini muncul dari permukaan anterior otak belakang di antara pons dan
medulla oblongata. Nervus abducens berjalan ke depan bersama arteria carotis interna
melalui sinus cavernosus di dalam fossa cranii media dan masuk orbita melalui fissura
orbitalis superior. Nervus abducens menyarafi musculus rectus lateralis dan karena itu
berfungsi memutar bola mata ke lateral.1

7) Nervus Facialis
Nervus facialis muncul sebagai sebuah radix motoris dan sebuah radix sensoris
(nervus intermedius). Saraf muncul pada permukaan anterior otak belakang di antara
pons dan medulla oblongata. Radix berjalan ke lateral di dalam fossa cranii posterior
bersama nervus vestibulocochlearis dan masuk ke meatus acusticus internus pada pars
petrosa ossis temporalis.1
Pada dasar meatus, saraf ini masuk canalis facialis, berjalan ke lateral melintasi
telinga dalam. Pada saar mencapai dinding medial telinga tengah (cavitas tympani),
saraf melebar membentuk ganglion geniculatum. Kemudian saraf membelok secara
tajam ke belakang di atas promontorium dan pada dinding posterior telinga tengah
membelok ke bawah pada sisi medial aditus ad antrum mastoideum. Nervus facialis
berjalan ke bawah di belakang pyramid, dan keluar dari os temporale melalui foramen
stylomastoideum. Nervus facialis kemudian berjalan ke depan melalui glandula
parotidea ke daerah distribusinya.1
Cabang-cabang penting nervus facialis adalah sebagai berikut:1
a. Nervus petrosus major merupakan percabangan dari nervus facialis pada ganglion
geniculatum. Nervus ini mengandung serabut-serabut preganglionik parasimpatik
yang bersinaps di ganglion pterygopalatinum. Serabut pada posganglionik
merupakan sekretomotorik glandula lacrimalis dan glandula di hidung dan palatum.
Nervus petrosus major juga mengandung serabut pengecap dari palatum.
b. Nervus ke musculus stapedius menyarafi musculus stapedius di dalam telinga
tengah.
c. Chorda tympani berasal dari nervus facialis di dalam canalis facialis pada dinding
posterior telinga tengah. Saraf ini berjalan ke depan di atas permukaan medial
bagian atas membrana tympani dan meninggalkan telinga tengah melalui fissura
petrotympanica, masuk fossa infratemporalis dan bergabung dengan nervus
lingualis. Chorda tympani mengandung serabut-serabut sekretomotorik
parasimpatik preganglionik yang menuju ke glandula submandibularis dan glandula
27
sublingualis. Saraf ini mengandung juga serabut pengecap dari dua pertiga bagian
anterior lidh dan dasar mulut.
d. Nervus auricularis posterior, venter posterior musculus digastricus dan
stylohyoideus adalah rami musculares dari nervus facialis pada saat saraf ini muncul
dari foramen stylomastoideum.
e. Lima rami terminales ke otot-otot ekspresi wajah. Cabang-cabang tersebut adalah
ramus temporalis, ramus zygomaticus, ramus buccalis, ramus mandibularis, dan
ramus cervicalis. Setelah meninggalkan foramen stylomastoideum, nervus facialis
terletak di dalam glandula parotidea, dan terletak di antara pars superficialis dan
profunda glandula. Di sini, nervus facialis memberikan cabang-cabang terminal,
yang muncul dri pinggir anterior glandula dan berjalan ke otot-otot wajah dan kulit
kepala. Ramus buccalis menyarafi musculus buccinator, dan ramus cervicalis
menyarafi musculus platysma dan musculus depressor anguli oris. Dengan
demikian, nervus facialis mengatur ekspresi wajah, salivasi, dan lakrimasi, serta
merupakan jalur unruk sensasi pengecap dari bagian anterior lidah dan dasar mulur
serta dari palatum.

8) Nervus Vestibulocochlearis
Nervus vestibulocochlearis merupakan saraf sensorik yang terdiri atas dua berkas
saraf yaitu nervus vestibularis dan nervus cochlearis. Saraf-saraf ini meninggalkan
permukaan anterior otak di antara pons dan medulla oblongata. Saraf-saraf ini melewati
fossa cranii posterior dan masuk ke meatus acusticus internus bersama dengan nervus
facialis.1
Serabut vestibular merupakan pusat pengolahan impuls dari sel-sel saraf ganglion
vestibulare yang terletak di dalam meatus acusticus internus. Serabut vestibularis
berasal dari vestibulum dan canalis semicircularis, karena itu serabut ini berperan dalam
sensasi posisi dan dengan gerakan kepala.Serabut cochlear merupakan pusat
pengolahan impuls dari sel-sel saraf ganglion spirale cochleae. Serabut-serabut cochlear
berasal dari organum spirale Corti, karena itu berperan dalam pendengaran.1

9) Nervus Glossopharyngeus
Nervus glossopharyngeus adalah saraf motorik dan sensorik. Saraf ini keluar dari
permukaan anterior medulla oblongata, di antara oliva dan pedunculus cerebellaris
inferior. Nervus glossopharyngeus berjalan ke lateral di dalam fossa cranii posterior dan
meninggalkan cranium dengan melalui foramen jugulare. Ganglion sensorium superius
27
dan inferius terletak pada saraf ini pada saar melalui foramen jugulare. Kemudian
nervus glossopharyngeus berjalan turun melalui bagian atas leher ke bagian posterior
lidah.Dengan demikian, nervus glossopharyngeus membantu proses menelan dan
merangsang salivasi. Saraf ini juga mengatur sensasi dari pharynx dan belakang lidah
serta membawa impuls yang mempengaruhi tekanan darah arteri dan respirasi dari sinus
caroticus dan glomus caroticus.1

10) Nervus Vagus


Nervus vagus terdiri atas serabut-serabut motorik dan sensorik. Saraf ini keluar
dari permukaan anterior medulla oblongata di antara oliva dan pedunculus cerebellaris
inferior. Nervus vagus berjalan ke lateral melalui fossa cranii posterior dan
meninggalkan tengkorak melalui foramen jugulare. Nervus vagus mempunyai kedua
ganglion sensorik superius dan inferius. Di bawah ganglion inferius, radix cranialis
nervus accessorius bergabung dengan nervus vagus dan distribusinya terutama di dalam
ramus pharyngeus dan laryngeus rekuren.1
Nervus vagus berjalan turun ke leher bersama arteria carotis interna dan vena
jugularis interna di dalam selubung carotis. Berjalan melalui mediastinum di thorax
melalui posterior radix pulmonis, dan masuk ke abdomen melalui hiatus oesophagus di
diaphragma.Dengan demikian, nervus vagus menyarafi jantung dan pembuluh-
pembuluh besar di dalam thorax, larynx, trachea, bronchi, dan paru-paru, serta sebagian
besar tractus digestivus dari pharynx sampai ke flexura coli splenica. Saraf ini juga
menyarafi kelenjar-kelenjar yang berhubungan dengan tractus digestivus, seperti hepar
dan pancreas. Nervus vagus mempunyai distribusi yang paling luas di antara semua
saraf-saraf cranial dan menyarafi struktur-struktur tersebut di atas melalui serabut
aferen dan eferen.1

11) Nervus Accessorius


Nervus accessorius adalah saraf motorik. Nervus ini terdiri dari radix cranialis
dan radix spinalis. Radix cranialis muncul dari permukaan anterior medulla oblongata
di antara oliva dan pedunculus cerebellaris inferior. Nervus ini berjalan ke lateral di
dalam fossa cranii posterior dan bergabung dengan radix spinalis. Radix spinalis dari
sel-sel saraf di dalam substansia (cornu) grisea anterior dari lima segmen bagian atas
pars cervicalis medulla spinalis. Saraf ini naik ke atas sepanjang medulla spinalis dan
masuk cranium melalui foramen magnum.1

27
Kedua radix berstu dan meninggalkan cranium melalui foramen jugulare.
Kemudian kedua radix memisahkan diri. Radix cranialis bergabung dengan nervus
vagus dan diperluas melalui cabang-cabangnya ke otot-otot palatum molle dan pharynx
(melalui plexus pharyngeus) dan otot-otot larynx (kecuali musculus cricothyroideus).1
Radix spinalis berjalan ke bawah dan lateral, dan masuk ke permukaan dalam
musculus sternocleidomastoideus, yang dipersarafinya dan kemudian menyilang
trigonum colli posterius untuk menyarafi musculus trapezius.Jadi nervus accessorius
berperan mengatur gerakan palatum molle, pharynx, dan larynx, dan mengatur gerakan
dua otot besar di leher, yaitu musculus sternocleidomastoideus dan musculus trapezius.1

12) Nervus Hypoglossus


Nervus hypoglossus adalah saraf motorik. Nervus ini muncul pada permukaan
anterior medulla oblongata dan di antara pyramis dan oliva, melewati fossa cranii
posterior, dan meninggalkan cranium melalui canalis nervi hypoglossi. Kemudian saraf
ini berjalan ke bawah dan depan di leher untuk menyilang arteria carotis interna dan
externa untuk mencapai lidah. Dalam perjalanan bagian atasnya, nervus hypoglossus
bergabung dengan serabut C1 dari plexus cervicalis.1
Cabang-cabang penting dari nervus hypoglossus adalah sebagai berikut:1
a. Ramus meningeus
b. Ramus descendens (serabut C1) berjalan ke bawah dn bergabung dengan ramus
descendens nervus cervicalis (C2 dan C3) untuk membentuk ansa cervicalis.
Cabang-cabang dari ansa ini menyarafi musculus omohyoideus, musculus
sternohyoideus, dan musculus sternothyroideus.
c. Nervus ke musculus thyrohyoideus (C1)
d. Rami musculares ke semua otot-otot lidah, kecuali musculus palatoglossus (plexus
pharyngeus)
e. Nervus ke musculus geniohyoideus (C1)
Dengan demikian, nervus hypoglossus menyarafi otot-otot lidah (kecuali musculus
palatoglossus) dan dengan demikian mengatur bentuk dan gerakan lidah.

2.2 Fisiologi Otak


Sistem saraf terdiri dari susunan saraf pusat (SSP), yang mencakup otak dan medulla spinalis,
dan susunan saraf tepi (SST) yang mencakup serat-serat saraf yang membawa informasi ke divisi
aferen dan dari divisi eferen SSP. Tiga kelas fungsional neuron-neuron aferen, neuron eferen, dan
antarneuron membentuk sel-sel peka rangsang sistem saraf. Neuron aferen memberitahu SSP tentang
27
kondisi di lingkungan eksternal dan internal. Neuron eferen membawa perintah dari SSP ke organ
efektor, yaitu otot dan kelenjar. Antarneuron berperan mengintegrasikan informasi aferen dan
memformulasikan respons eferen, serta untuk fungsi-fungsi mental yang lebih tinggi yang berkaitan
dengan fungsi luhur.3
1. Korteks Serebri
Korteks serebri adalah lapisan luar (substansia grisea) yang menutupi bagian di
bawahnya yaitu substansia alba. Substansia alba terdiri dari berkas-berkas saraf yang
menghubungkan berbagai regio korteks dengan bagian lain. Korteks terdiri dari badan sek
saraf, dendrit, dan sel glia. Tanggung jawab utama berbagai fungsi tertentu terlokalisasikan di
regio korteks tertentu sebagai berikut: 3
1) Lobus occipitalis mengandung korteks penglihatan
2) Lobus temporalis mengandung korteks pendengaran
3) Lobus parietalis berperan dalam penerimaan dan pemrosesan perseptual masukan
somatosensorik (somestetik dan proprioseptif)
4) Gerakan motorik volunter dijalankan oleh lobus frontalis tempat korteks motorik primer
dan daerah motorik luhur berbeda

Gambar 2.8 Area fungsional cortex cerebri3


Kemampuan bahasa bergantung pada aktivitas terintegrasi dua daerah bahasa primer-
daerah Broca dan daerah Wernicke biasanya hanya terletak di bagian otak yang dominan.
Daerah asosisasi adalah bagian-bagian korteks yang tidak secara spesifik dikaitkan dengan
27
pemrosesan masukan sensorik atau perintah motorik atau kemampuan bahasa. Daerah-daerah
ini merupakan penghubung integratif antara berbagai informasi sensorik dan tindakan
bertujuan, serta peran kunci dalam fungsi-fungsi otak yang lebih tinggi misalnya ingatan dan
pengambilan keputusan. Daerah asosiasi mencakup korteks asosiasi prefrontal, korteks asosiasi
parietal-temporal-oksipital serta korteks asosiasi limbik. 3

Gambar 2.9 Homunculus cerebri3

2. Nucleus Basal, Thalamus, dan Hipotalamus


Struktur-struktur otak pada subkorteks - nucleus basal, talamus, dan hipotalamus
berinteraksi secara ekstensif dengan korteks dalam melakukan fungsinya. Nucleus basal
menghambat tonus otot, mengkoordinasikan kontraksi postural yang lambat dan menetap, dan
menekan pola-pola gerakan yang tidak bermanfaat. Talamus berfungsi sebagai stasiun
pemancar untuk pemrosesan awal masukan sensorik dalam perjalanannya ke korteks, Bagian
ini juga berperan dalam kesadaran kasar akan sensasi dan beberapa tingkat kesadaran.
Hipotalamus mengatur banyak fungsi homeostatik, sebagian melalui kontrolnya yang ekstensif
pada sistem saraf otonom dan sistem endokrin.3
3. Fisiologi Impuls Saraf
Sel saraf, seperti juga sel hidup umumnya, mempunyai potensial membran. Potensial
membran yaitu selisih potensial antara intrasel dan ekstrasel. Potensial intrasel lebih negatif
dibandingkan dengan ekstrasel. Dalam keadaan istirahat potensial membran berkisar antara 30-
100 mV, selisih potensial membran ini akan tetap sama selama sel tidak mendapatkan
27
rangsangan. Potensial membran ini terjadi akibat perbedaan letak dan jumlah ion-ion terutama
ion Na+, K + dan Ca++. Bila sel syaraf mengalami stimulasi, misalnya stimulasi listrik akan
mengakibatkan menurunnya potensial membran. 3
Penurunan potensial membran ini akan menyebabkan permeabilitas membran terhadap ion
Na+ akan meningkat, sehingga Na+ akan lebih banyak masuk ke dalam sel. Selama serangan
ini lemah, perubahan potensial membran masih dapat dikompensasi oleh transport aktif ion
Na+ dan ion K+, sehingga selisih potensial kembali ke keadaan istirahat. Perubahan potensial
yang demikian sifatnya tidak menjalar, yang disebut respon lokal. Bila rangsangan cukup kuat
perubahan potensial dapat mencapai ambang tetap (firing level), maka permiabilitas membran
terhadap Na+ akan meningkat secara besar-besaran pula, sehingga timbul spike potensial atau
potensial aksi. Potensial aksi ini akan dihantarkan ke sel syaraf berikutnya melalui sinap
dengan perantara zat kimia yang dikenal dengan neurotransmiter. Bila perangsangan telah
selesai, maka permiabilitas membran kembali ke keadaan istiahat, dengan cara Na+ akan
kembali ke luar sel dan K+ masuk ke dalam sel melalui mekanisme pompa Na-K yang
membutuhkan ATP dari sintesa glukosa dan oksigen. 3
Neurotransmitter merupakan zat kimia yang disintesis dalam neuron dan disimpan dalam
gelembung sinaptik pada ujung akson. Zat kimia ini dilepaskan dari ujung akson terminal dan
juga direabsorbsi untuk daur ulang. Neurotransmiter merupakan cara komunikasi amntar
neuron. Setiap neuron melepaskan satu transmitter. Zat – zat kimia ini menyebabkan
perubahanpermeabilitas sel neuron, sehingga neuron menjadi lebih kurang dapat menyalurkan
impuls. Diketahui atau diduga terdapat sekitar tiga puluh macam neurotransmitter, diantaranya
adalah Norephinephrin, Acetylcholin, Dopamin, Serotonin, Asam Gama-Aminobutirat
(GABA) dan Glisin.3
Komponen listrik dari transmisi saraf menangani transmisi impuls du sepanjang neuron.
Permeabilitas membrane sel neuron terhadap ion natrium dan kalium bervariasi dan
dipengaruhi oleh perobahan kimia serta listrik dalam neuron tersebut (terutama
neurotransmitter dan stimulus organ receptor). 3

27
Gambar 2.9 Sinaps3
Tempat –tempat dimana neuron mengadakan kontak dengan dengan neuron lain atau dengan
organ–organ efektor disebut sinaps. Sinaps merupakan satu – satunya tempat dimana suatu impuls
dapat lewat dari suatu neuron ke neuron lainnya atau efektor. Ruang antara satu neuron dan neuron
berikutnya dikenal dengan nama celah sinaptik (synaptic cleft). Neuron yang menghantarkan impuls
saraf menuju ke sinaps disebut neuron prasinaptik. Neuron yang membawa impuls dari sinaps
disebut neuron postsinaptik. 3
Dalam keadaan istirahat permeabillitas membran sel menciptakan kadar kalium intrasel yang
tinggi dan kadar natrium intra sel yang rendah, bahkan pada pada kadar natrium extrasel yang tinggi.
Impuls listrik timbul oleh pemisahan muatan akibat perbedaan kadar ion intrasel dan extrasel yang
dibatasi membran sel. Potensial aksi yang terjadi atau impuls pada saat terjadi depolarisasi dialirkan
ke ujung saraf dan mencapai ujung akson (akson terminal). Saat potensial aksi mencapai akson
terminal akan dikeluarkanlah neurotransmitter, yang melintasi synaps dan dapat saja merangsang
saraf berikutnya. 3
Timbulnya kontraksi pada otot rangka mulai dengan potensial aksi dalam serabut–serabut otot.
Potensial aksi ini menimbulkan arus listrik yang menyebar ke bagian dalam serabut, dimana
menyebabkan dilepaskannya ion–ion kalsium dari retikulum sarkoplasma. Selanjutnya ion kalsium
menimbulkan peristiwa–peristiwa kimia proses kontraksi.3

27
2.3 Definisi
Definisi epilepsi adalah suatu keadaan neurologik yang ditandai oleh bangkitan epilepsi yang
berulang, yang timbul tanpa provokasi. Sedangkan, bangkitan epilepsi sendiri adalah suatu
manifestasi klinik yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik yang abnormal, berlebih dan sinkron,
dari neuron yang (terutama) terletak pada korteks serebri. Aktivitas paroksismal abnormal ini
umumnya timbul intermiten dan ‘self-limited’.4
Sindroma epilepsi adalah penyakit epilepsi yang ditandai oleh sekumpulan gejala yang timbul
bersamaan ( termasuk tipe bangkitan, etiologi, anatomi, faktor presipitan usia saat awitan, beratnya
penyakit, siklus harian dan prognosa).4
Definisi status epileptikus (SE) adalah bangkitan yang berlangsung lebih dari 30 menit, atau
adanya dua bangkitan atau lebih dan diantara bangkitan-bangkitan tersebut tidak terdapat pemulihan
kesadaran. Namun demikian penanganan bangkitan konvulsif harus dimulai bila bangkitan konvulsif
sudah berlangsung lebih dari 5-10 menit. SE merupakan keadaan kegawatdaruratan yang
memerlukan penanganan dan terapi segera guna menghentikakn bangkitan (dalam waktu 30 menit). 5-7
Dikenal dua tipe SE; SE konvusif (terdapat bangkitan motorik) dan SE non-konfusif (tidak terdapat
bangkitan motorik).
a. Definisi Operasional Status Epileptikus Konvulsif8
Status epileptikus konvulsif adalah bangkitan dengan durasi lebih dari 5 menit, atau bangkitan
berulang 2 kali atau lebih tanpa pulihnya kesadaran diantara bangkitan.
b. Definisi Operasional Status Epileptikus Nonkonvulsif8
Status epileptikus nonkonvulsif adalah sejumlah kondisi saat aktivitas bangkitan
elektrografik memanjang (EEG status) dan memberikan gejala klinis nonmotorik termasuk
perubahan perilaku atau “ awareness”. SE dibedakan dari bangkitan serial (frequent seizures),
yaitu bangkitan tonik klonik yang berulang tiga kali atau lebih dalam satu jam.

2.4 Epidemiologi
Epilepsi merupakan penyakit tidak menular kronis pada otak, diduga terdapat sekitar 50 juta
orang dengan epilepsi di seluruh dunia. Epilepsi merupakan salah satu gangguan neurologis yang
paling umum terjadi di secara global.9
Prevalensi epilepsi di negara sedang berkembang ditemukan lebih tinggi dari pada negara
maju. Dilaporkan prevalensi di negara maju berkisar antara 4-7 /1000 orang dan 5-74/1000 orang di
negara sedang berkembang. Daerah pedesaan memiliki angka prevalensi lebih tinggi dibandingkan
daerah perkotaan yaitu 15,4/1000 (4,8-49,6) di pedesaan dan 10,3 (2,8-37,7) di perkotaan.10
Insidens epilepsi di negara maju dilaporkan >130/100.000 orang/tahun pada usia > 65 tahun,
160/100.000 orang/tahun pada usia >80 tahun. Insiden status epileptikus dilaporkan sebesar 60-
27
80/100.000 orang/tahun setelah usia 60 tahun, dengan angka mortalitas 2 kali lebih besar
dibandingkan dewasa muda. Sekitar 35% kasus epilepsi yang baru ditemukan pada usia lanjut (>75
tahun) adalah status epileptikus. 10
Lebih dari dua per tiga kasus epilepsi terjadi pada usia kanak-kanak (terutama pada tahun
pertama kehidupan). Pada sepertiga kasus, status epileptikus merupakan gejala yang timbul pada
pasien yang mengalami epilepsi berulang. Sepertiga kasus terjadi pada pasien yang didiagnosa
epilepsi, biasanya karena ketidakteraturan dalam memakan obat antikonvulsan.10

2.5 Klasifikasi
Klasifikasi yang ditetapkan oleh International League Against Epilepsi (ILAE) terdiri atas dua jenis
klasifikasi, yaitu klasifikasi untuk jenis bangkitan epilepsi dan klasifikasi untuk sindrom epilepsi.
A. Klasifikasi The International League Against Epilepsy (ILAE) 1989 untuk tipe bangkitan
epilepsi:11
1. Bangkitan Parsial/Fokal
a. Bangkitan parsial sederhana
Pasien tidak kehilangan kesadaran terjadi sentakan-sentakan pada bagian tertentu dari
tubuh, terdiri dari:
- Dengan gejala motorik
- Dengan gejala somatosensorik
- Dengan gejala otonom
- Dengan gejala psikis
b. Bangkitan parsial kompleks
Pasien melakukan gerakan-gerakan tak terkendali: gerakan mengunyah, meringis, tanpa
kesadaran menurun
- Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan kesadaran
- Bangkitan yang disertai gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
c. Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder
- Parsial sederhana yang menjadi umum
- Parsial kompleks menjadi umum
- Parsial sederhana menjadi parsial kompleks, lalu menjadi umum
2. Bangkitan Umum
a. Tonik-klonik
Merupakan bentuk paling banyak terjadi pasien tiba-tiba jatuh, kejang, nafas terengah-
engah, keluar air liur bisa terjadi sianosis, ngompol, atau menggigit lidah terjadi beberapa
menit, kemudian diikuti lemah, kebingungan, sakit kepala atau tidur.

27
b. Lena (absence)
Jenis yang jarang umumnya hanya terjadi pada masa anak-anak atau awal remaja penderita
tiba-tiba melotot, atau matanya berkedip-kedip, dengan kepala terkulai kejadiannya cuma
beberapa detik, dan bahkan sering tidak disadari. Terdiri dari Tipikal lena dan Atipikal lena.
c. Mioklonik
Biasanya terjadi pada pagi hari, setelah bangun tidur pasien mengalami sentakan yang
tiba-tiba jenis yang sama (tapi non-epileptik) bisa terjadi pada pasien normal.
d. Klonik
e. Tonik
f. Atonik/astatik
3. Bangkitan Tak Tergolongkan

B. Klasifikasi ILAE 1989 Untuk Epilepsi dan Sindrom Epilepsi11


1. Fokal/partial (localized related)
a. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)
- Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah sentrotemporal (childhood epilepsi
with centrotemporal spikes)
- Epilepsi benigna dengan gelombang paroksismal pada daerah oksipital.
- Epilepsi primer saat membaca (primary reading epilepsi)
b. Simptomatis
- Epilepsi parsial kontinua yang kronis progresif pada anak-anak (Kojenikow’s
Syndrome)
- Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangsangan (kurang tidur,
alkohol, obat-obatan, hiperventilasi, refleks epilepsi, stimulasi fungsi kortikal tinggi,
membaca)
- Epilepsi lobus temporal
- Epilepsi lobus frontal
- Epilepsi lobus parietal
- Epilepsi oksipital
c. Kriptogenik

27
2. Epilepsi Umum
a. Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan usia awitan)
- Kejang neonates familial benigna
- Kejang neonates benigna
- Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
- Epilepsi lena pada anak
- Epilepsi lena pada remaja
- Epilepsi mioklonik pada remaja
- Epilepsi dengan bangkitan umum tonik-klonik pada saat terjaga
- Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di atas
- Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi yang spesifik
b. Kriptogenik atau simptomatis
- Sindrom West (spasme infantile dan spasme salam)

- Sindrom Lennox-Gastaut

- Epilepsi mioklonik astatik

- Epilepsi mioklonik lena


c. Simtomatis
- Etiologi nonspesifik (ensefalopati mioklonik dini, ensefalopati pada infantile dini
dengan dengan burst suppression, epilepsi simtomatis umum lainnya yang tidak
termasuk di atas)
- Sindrom spesifik
- Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain.

3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
a. Bangkitan umum dan fokal
- Bangkitan neonatal
- Epilepsi mioklonik berat pada bayi
- Epilepsi dengan gelombang paku kontinu selama tidur dalam
- Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau-Kleffner)
- Epilepsi yang tidak termasuk klasifikasi di atas
b. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum

27
4. Sindrom khusus
a. Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
b. Kejang demam
c. Bangkitan kejang/status epileptikus yang timbul hanya sekali isolated
d. Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolic akut, atau toksis, alkohol,
obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi nonketotik.
e. Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesfik (epilepsi refrektorik)

C. Klasifikasi Status Epileptikus


Klasifikasi status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat, karena penanganan
yang efektif tergantung pada tipe dari status epileptikus.Banyak pendekatan klinis diterapkan
untuk mengklasifikasikan status epileptikus. Satu versi mengkategorikan status epileptikus
berdasarkan status epileptikus umum (tonik-klonik, mioklonik, absens, atonik, akinetik) dan status
epileptikus parsial (sederhana atau kompleks). Versi lain membagi berdasarkan status epileptikus
umum (konvulsi) dan status epileptikus non-konvulsi (parsial sederhana, parsial kompleks,
absens). Versi ketiga berdasarkan durasi, yaitu: status epileptikus dini (5-30 menit), status
epileptikus menetap (>30 menit), staus epileptikus refakter (bangkitan tetap ada setelah mendapat
dua atau tiga jenis antikonvulsan awal dengan dosis adekuat).12
PERDOSSI mengklasifikasikan status epileptikus menjadi beberapa tipe, antara lain:12
a. Klasifikasi status epileptikus berdasarkan klinis:
- SE fokal
- SE general
b. Klasifikasi status epileptikus berdasarkan durasi:
- SE dini (5-30 menit)
- SE menetap (> 30 menit)
- SE refrakter (bangkitan masih tetap ada setelah mendapat dua atau tiga jenis
antikonvulsan awal dengan dosis adekuat)
c. Status epileptikus nonkolvulsivus (SE-NK) dibagi menjadi dua kelompok utama:
- SE-NK umum
- SE-NK fokal

27
2.6 Etiologi Epilepsi
Etiologi epilepsi dapat dibagi ke dalam tiga kategori, sebagai berikut:13
1. Idiopatik: tidak terdapat les struktural di otak atau defisit neurologis. Diperkirakan mempunyai
predisposisi genetik dan umumnya berhubungan dengan usia.
2. Kriptogenik: dianggap simtomatis tetapi penyebabnya belum diketahui. Termasuk di sini adalah
sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut, dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinis sesuai
dengan ensefalopati difus.
3. Simptomatis: bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi struktural pada otak, misalnya;
cedera kepala, infeksi SSP, kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah
otak, toksik (alkohol,obat), metabolik, kelainan neurodegeneratif.

Adapun faktor pencetus status epileptikus adalah13:


1. Penderita epilepsi tanpa pengobatan atau dosis pengobatan yang tidak memadai
2. Pengobatan yang tiba-tiba dihentikan atau gangguan penyerapan GIT
3. Keadaan umum yang menurun akibat kurang tidur, stres psikis, atau stres fisik.
4. Penggunaan atau withdrawal alkohol, drug abuse, atau obat-obat anti depresi

2.7 Patofisiologi
Walaupun terdiri dari berbagai bentuk dan ukuran, semua sel saraf mengandung tiga komponen
penting. Komponen pertama adalah soma yang mengandung nukleus untuk mengatur metabolisme
sel, komponen kedua adalah akson yang bercabang-cabang, dimana ujung-ujung akson akan
membentuk komponen ketiga, yaitu terminal sinaptik. Terminal sinaptik ini akan mengeluarkan
neurotransmiter ke dalam celah sinaptik. Diseberang celah sinaptik, terdapat membran postsinaptik
yang mengandung reseptor pengikat neurotransmiter. Jika neurotransmiter yang dilepaskan berikatan
dengan reseptor, maka akan terjadi perubahan lokal pada sistem elektrik neuron. Perubahan tersebut
dapat berupa eksitasi maupun inhibisi pada impuls saraf, sehingga terjadi aksi potensial yang dapat
menimbulkan serangan epilepsi.14
Sel saraf di otak berkomunikasi melalui transmisi listrik dan kimia. Ada keseimbangan yang teratur
antara faktor yang menyebabkan eksistasi dan inhibisi aktifitas listrik otak. Untuk dapat
mempresentasikan sinyal listrik diotak menjadi perilaku, banyak sel saraf yang terlibat. Dalam
kebanyakan kasus kejang, sejumlah kecil kumpulan sel saraf yang abnormal menyebabkan perubahan
pada sel didekatnya atau pada sel yang memiliki hubungan erat dengannya. Pada kejang, sejumlah

27
besar kumpulan sel saraf tereksitasi bersamaan (hipersinkroni), sehingga menyebabkan aktifitas
tubuh berlebihan.14
Penyebab kelainan yang utama adalah hilangnya sel saraf yang menginhibisi sel eksitasi dan
membatasi penyebaran listrik otak atau mungkin dikarenakan produksi berlebihan rangsangan kimia
otak yang menyebabkan sel mengeluarkan sinyal listrik yang abnormal. Neurotransmitter eksitasi
juga dilepaskan berlebihan dan mengganggu bendungan listrik sel saraf yang normalnya membatasi
penyebaran sinyal listrik yang abnormal. Diantara neurotansmitter-neurotransmitter eksitasi dapat
disebut glutamat, aspartat, norepinefrin, dan asetilkolin, sedangkan neurotransmitter inhibisi yang
terkenal ialah gamma amino butyric acid (GABA).14
Mekanisme dasar terjadinya kejang adalah peningkatan aktifitas listrik yang berlebihan pada
neuron-neuron dan mampu secara berurutan merangsang sel neuron lain secara bersama-sama
melepaskan muatan listriknya. Hal tersebut diduga disebabkan oleh kemampuan membran sel sebagai
pacemaker neuro untuk melepaskan muatan listrik yang berlebihan, berkurangnya inhibisi
neurotransmitter asam amino gama butirat (GABA) atau meningkatnya eksitasi sinaptik oleh
transmiter asam glutamat dan aspartat melalui jalur eksitasi yang berulang.14
Secara klinis dan berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi menjadi lima fase. Fase pertama
terjadi mekanisme kompensasi, seperti peningkatan aliran darah otak dan cardiac output,
peningkatan oksigenasi jaringan otak, peningkatan tekanan darah, peningkatan laktat serum,
peningkatan glukosa serum dan penurunan pH yang diakibatkan asidosis laktat. Perubahan saraf
reversibel pada tahap ini.Setelah 30 menit, ada perubahan ke fase kedua, kemampuan tubuh dalam
beradaptasi berkurang dimana tekanan darah, pH dan glukosa serum kembali normal.Kerusakan saraf
irreversibel pada tahap ini. Pada fase ketiga aktivitas kejang berlanjut mengarah pada terjadinya
hipertermia (suhu meningkat), perburukan pernafasan dan peningkatan kerusakan saraf yang
irreversibel.14
Aktivitas kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus selama tahap keempat, ketika peningkatan
pernafasan yang buruk memerlukan mekanisme ventilasi.Keadaan ini diikuti oleh penghentian dari
seluruh klinis aktivitas kejang pada tahap kelima, tetapi kehilangan saraf dan kehilangan sel otak
tetap berlanjut.Kerusakan dan kematian saraf tidak samapada status epileptikus, tetapi maksimal pada
lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari korteks serebri, serebellum, hipokampus,
nukleus thalamikus dan amigdala). Hipokampus mungkin paling sensitif akibat efek dari status
epileptikus, dengan kehilangan saraf maksimal dalam zona Summer.14
Mekanisme yang tetap dari kerusakan atau kehilangan saraf begitu kompleks dan melibatkan
penurunan inhibisi aktivitas saraf melalui reseptor GABA dan meningkatkan pelepasan dari glutamat
dan merangsang reseptor glutamat dengan masuknya ion natrium dan kalsium dan kerusakan sel yang
diperantarai kalsium.14
27
Status epileptikus terjadi karena eksitasi yang berlebihan dan berlangsung terus-menerus ataupun
akibat proses inhibisi yang tidak sempurna. Melalui mediasi ion Na+ dan Ca+ saat berlangsungnya
aktivasi, terutama oleh depolarisasi yang kuat atau berkelanjutan (contohnya pada saat serangan
berlangsung), yang menyebabkan cetusan berulang. Tambahan lagi terhadap faktor-faktor sinaptik,
mekanisme non sinaptik mungkin memegang faktor penting dalam berlanjutnya aktifitas
epilepsi.Pengaliran ion-ion ada hubungan terhadap aktifitas dari keterlibatan neuron-neuron yang
mencetuskan bangkitan yang tersebar dalam ruang ekstra seluler, menginduksi eksitabilitas dari
membran neuron sekitarnya melalui efek lapangan medan elektrik. Lebih lanjut lagi aktifitas
neuronal yang kuat menghasilkan fluktuasi ion-ion ekstra seluler terutama ion K+ yang juga
cenderung mengimbas pada neuron yang berdekatan.Aktifitas epilepsi sudah diketahui dapat
menginduksi suatu kaskade fisiologik dari neuron-neuron instrinsik dan mekanisme sinaps yang
cenderung dapat menurunkan aktifitas, sebagai hasilnya banyak serangan epilepsi yang dapat
membaik dengan sendirinya.Kelumpuhan dari mekanisme penghentian serangan inilah yang
mencetuskan perpanjangan bangkitan yang akhirnya menjadi status epileptikus.14
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian
disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi akibat hiperaktifitas neuron. Selama kejang,
kebutuhan metabolik secara drastis meningkat; lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat
meningkat menjadi 1000 per detik. Aluran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan
glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang.
Asam glutamat mungkin mengalami deplesi selama aktifitas kejang.14

2.8 Gambaran Klinik


Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk mencegah keterlambatan
penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized Tonic-Clonic) merupakan bentuk status
epileptikus yang paling sering dijumpai, hasil dari survei ditemukan kira-kira 44 sampai 74 persen,
tetapi bentuk yang lain dapat juga terjadi.15
a. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status Epileptikus)
Merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan potensial dalam
mengakibatkan kerusakan.Kejang didahului dengan tonik-klonik umum atau kejang parsial
yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum.Pada status tonik-klonik umum, serangan
berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum tanpa pemulihan kesadaran diantara serangan
dan peningkatan frekuensi. 15

27
Gambar 2.10. Kejang tonik klonik.15

Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang melibatkan otot-
otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus.Pasien menjadi sianosis selama fase
ini, diikuti oleh hyperpnea retensi CO2.Adanya takikardi dan peningkatan tekanan darah,
hyperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum terjadi yang
mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik. Aktivitas kejang
sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak tertangani. 15
b. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status Epileptikus)
Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum mendahului fase
tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua. 15
c. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)
Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan kesadaran tanpa
diikuti fase klonik.Tipe ini terjadi pada ensefalopati kronik dan merupakan gambaran dari
Lenox-Gestaut Syndrome. 15

Gambar 2.11 Fase tonik dan klonik.15

d. Status Epileptikus Mioklonik.


Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati.Sentakan mioklonus adalah
menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya tingkat kesadaran.Tipe dari status

27
epileptikus tidak biasanya pada enselofati anoksia berat dengan prognosa yang buruk, tetapi dapat
terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi degeneratif. 15

e. Status Epileptikus Absens


Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia pubertas atau dewasa.
Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status presen sebagai suatu keadaan mimpi
(dreamy state) dengan respon yang lambat seperti menyerupai “slow motion movie” dan mungkin
bertahan dalam waktu periode yang lama. Mungkin ada riwayat kejang umum primer atau kejang
absens pada masa anak-anak.Pada EEG terlihat aktivitas puncak 3 Hz monotonus (monotonous 3
Hz spike) pada semua tempat.Terdapat respon dari Benzodiazepin intravena terhadap status
epileptikus. 15

f. Status Epileptikus Non Konvulsif


Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial kompleks, karena
gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus non-konvulsif ditandai dengan stupor atau
biasanya koma. Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranodia, delusional, cepat
marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi psikomotor dan pada
beberapa kasus dijumpai psikosis. Pada EEG menunjukkan generalized spike wave discharges,
tidak seperti 3 Hz spike wave discharges dari status absens. 15

g. Status Epileptikus Parsial Sederhana


- Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan jari-jari pada satu
tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi dan berkembang menjadi
jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang mungkin menetap secara unilateral dan
kesadaran tidak terganggu. Pada EEG sering tetapi tidak selalu menunjukkan periodic
lateralized epileptiform discharges pada hemisfer yang berlawanan (PLED), dimana sering
berhubungan dengan proses destruktif yang pokok dalam otak. Variasi dari status
somatomotorik ditandai dengan adanya afasia yang intermitten atau gangguan berbahasa
(status afasik). 15
- Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala sensorik unilateral
yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian march. 15

h. Status Epileptikus Parsial Kompleks

27
Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi yang cukup untuk
mencegah pemulihan diantara episode.Dapat terjadi otomatisme, gangguan berbicara, dan
keadaan kebingungan yang berkepanjangan.Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada lobus
temporalis atau frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh.Kondisi ini
dapat dibedakan dari status absens dengan EEG, tetapi mungkin sulit memisahkan status
epileptikus parsial kompleks dan status epileptikus non-konvulsif pada beberapa kasus. 15

2.9 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan terutama dari anamnesis, yang didukung dengan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
A. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena pemeriksa hampir
tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita. Penjelasan perihal segala sesuatu
yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan)
merupakan informasi yang sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga
memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis,
ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu. Hal yang perlu
ditanyakan dalam anamnesis adalah.12
1. Gejala dan tanda sebelum, selama, dan pasca bangkitan: 12
a. Sebelum bangkitan/ gejala prodomal
Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan terjadinya bangkitan, misalnya
perubahan perilaku, perasaan lapar, berkeringat, hipotermi, mengantuk, menjadi
sensitive, dan lain-lain.
b. Selama bangkitan/ iktal: 12
- Apakah terdapat aura, gejala yang dirasakan pada awal bangkitan?
- Bagaimana pola/ bentuk bangkitan, mulai dari deviasi mata, gerakan kepala, gerakan
tubuh, vokalisasi, aumatisasi, gerakan pada salah satu atau kedua lengan dan tungkai,
bangkitan tonik/klonik, inkontinensia, lidah tergigit, pucat, berkeringat, dan lain-lain.
( Akan lebih baik bila keluarga dapat diminta menirukan gerakan bangkitan atau
merekam video saat bangkitan)
- Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan?
- Apakah terdapat perubahan pola dari bangkitan sebelumnya?
- Aktivitas pasien saat terjadi bangkitan, misalnya saat tidur, saat terjaga, bermain
video game, berkemih, dan lain-lain.

27
c. Pasca bangkitan/ post- iktal:
- Bingung, langsung sadar, nyeri kepala, tidur, gaduh gelisah, Todd’s paresis. 12

2. Faktor Pencetus : kelelahan, kurang tidur, hormonal, stress psikologis, alkohol.


3. Usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan, interval terpanjang antara bangkitan,
kesadaran antara bangkitan.
4. Terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap Obat Anti Epilepsi (OAE) sebelumnya
- Jenis obat antiepilepsi
- Dosis OAE
- Jadwal minum OAE
- Kepatuhan minum OAE
- Kadar OAE dalam plasma
- Kombinasi terapi OAE
5. Penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologis psikiatrik maupun sistemik yang
mungkin menjadi penyebab maupun komorbiditas.
6. Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga
7. Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran, dan tumbuh kembang
8. Riwayat bangkitan neonatal/ kejang demam
9. Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi susunan saraf pusat (SSP), dll.

B. Pemeriksaan Fisik Umum dan Neurologis


1. Pemeriksaan Fisik Umum12
Untuk mencari tanda-tanda gangguan yang berkaitan dengan epilepsi, misalnya:
- Trauma kepala
- Tanda-tanda infeksi
- Kelainan Kongenital
- Kecanduan alkohol atau napza
- Kelainan pada kulit (neurofakomatosis)
- Tanda-tanda keganasan.
2. Pemeriksaan Neurologis
Untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus yang dapat
berhubungan dengan epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa menit setelah bangkitan,

27
maka akan tampak pascabangkitan terutama tanda fokal yang tidak jarang dapat menjadi
petunjuk lokalisasi, seperti: 12
- Paresis Todd
- Gangguan kesadaran pascaiktal
- Afasia pascaiktal

3. Pemeriksaan Penunjang
Untuk menentukan jenis epilepsinya, selain dari gejala, diperlukan berbagai alat
diagnostik : 12
a. Pemeriksaan elektro-ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG tidak sepenuhnya mendukung ataupun menyingkirkan diagnosis
epilepsi, kurang lebih 5% pasien tanpa epilepsi mempunyai kelainan EEG berupa
aktivitas epilepsi pada rekaman EEG, dan hanya 50% pasien dengan epilepsi memiliki
aktivitas epileptiform pada rekaman EEG pertamanya. EEG sangat berperan dalam
menegakkan diagnosis epilepsi dan memberikan informasi berkaitan dengan sindrom
epilepsi, serta dalam menentukan lokasi atau fokus kejang khususnya pada kasus-kasus
kejang foka. Prosedur standar yang digunakan pada pemeriksaan EEG adalah rekaman
EEG saat tidur (sleep deprivation), pada kondisi hiperventilasi dan stimulasi fotik,
dimana ketiga keadaan tersebut dapat mendeteksi aktivitas epileptiform. Selain ketiga
prosedur standar diatas dikenal pula rekaman Video-EEG dan ambulatory EEG, yang
dapat memperlihatkan aktivitas elektrik pada otak selama kejang berlangsung.12
Rekaman EEG merupakan pemeriksaan yang paling berguna pada dugaan suatu
bangkitan untuk:
- Membantu menunjang diagnosis
- Membantu penentuan jenis bangkitan maupun sindom epilepsi.
- Membantu menentukan prognosis
- Membantu penentuan perlu/ tidaknya pemberian OAE.
b. Pemeriksaan pencitraan otak 12
Berguna untuk mendeteksi lesi epileptogenik diotak. MRI beresolusi tinggi (minimal
1,5 Tesla) dapat mendiagnosis secara non-invasif berbagai macam lesi patologik
misalnya mesial temporal sclerosis, glioma, ganglioma, malformasi kavernosus, DNET
(dysembryoplastic neuroepithelial tumor), tuberous sclerosiss. Fuctional brain
imaging seperti Positron Emission Tomography (PET), Single Photon Emission
Computed Tomography (SPECT) dan Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS)
bermanfaat dalam memberikan informasi tambahan mengenai dampak perubahan
27
metabolik dan perubahan aliran darah regional di otak berkaitan dengan bangkitan.
Indikasi pemeriksaan neuroimaging( CT scan kepala atau MRI kepala) pada kasus
kejang adalah bila muncul kejang unprovoked pertama kali pada usia dewasa. Tujuan
pemeriksaan neuroimaging pada kondisi ini adalah untuk mencari adanya lesi
structural penyebab kejang. CT scan kepala lebih ditujukan untuk kasus
kegawatdaruratan, karena teknik pemeriksaannya lebih cepat. Di lain pihak MRI
kepala diutamakan untuk kasus elektif. Bila ditinjau dari segi sensitivitas dalam
menentukan lesi kasus elektif. Bila ditinjau dari segi sensitivitas dalam menentukan
lesi structural, maka MRI lebih sensitive dibandingkan CT scan kepala. 12
c. Pemeriksaan Laboratorium
- Pemeriksaan hematologis
Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, leukosit dan hitung jenis, hematokrit,
trombosit, apusan darah tepi, elektrolit (natrium, kalium, kalsium, magnesium), kadar
gula darah sewaktu, fungsi hati (SGOT/SGPT), ureum, kreatinin dan albumin.
Pemeriksaan laboratoriumperlu diperiksa kadar glukosa, kalsium, magnesium,
natrium, bilirubin, ureum dalam darah. Yang memudahkan timbulnya kejang ialah
keadaan hipoglikemia, hypokalemia, hipomagnesia, hiponatremia, hypernatremia,
hiperbilirubinemia, dan uremia.Penting pula diperiksa pH darah karena alkalosis
mungkin disertai kejang.Pemeriksaan cairan otak dapat mengungkapkan adanya
radang pada otak atau selaputnya, toksoplasmosis susunan saraf sentral, leukemia
yang menyerang otak, metastasis tumor ganas, adanya perdarahan otak atau
perdarahan subaraknoid12
- Pemeriksaan kadar OAE
Pemeriksaan ini idealnya untuk melihat kadar OAE dalam plasma saat
bangkitan belum terkontrol, meskipun sudah mencapai dosis terapi maksimal atau
untuk memonitor kepatuhan pasien12

d. Pemeriksaan Penunjang Lainnya


Dilakukan sesuai dengan indikasi misalnya: punksi lumbal atau EKG.12

2.10 Diagnosis Banding


Diagnosis banding status epileptikus adalah adalah sebagai berikut:16
1. Encephalitis
2. Heatstroke

27
3. Hyperosmolar Hyperglycemic Nonketotic Coma
4. Neuroleptic Malignant Syndrome
5. Neurological Manifestations of Uremic Encephalopathy Withdrawal Syndromes

2.11 Penatalaksanaan
Tabel 2.1. Penatalaksanaan Status Epileptikus4

Stadium Penatalaksanaan
Stadium I (0-10 menit) - Memperbaiki fungsi kardio-respiratorik
- Memperbaiki jalan nafas
- Pemberian oksigen
- Resusitasi

Stadium II (0-60 menit) - Memasang infus pada pembuluh darah besar Mengambil 50-100
cc darah untuk pemeriksaan lab

- Pemberian OAE emergensi : Diazepam 10-20 mg iv (kecepatan


pemberian < 2-5 mg/menit atau rectal dapat diulang 15 menit
kemudian .
- Memasukan 50 cc glukosa 40% dengan atau tanpa thiamin 250
mg intravena
- Menangani asidosis

Stadium III - Menentukan etiologi


(0-60 – 90 menit)
- Bila kejang berlangsung terus 30 menit setelah pemberian
diazepam pertama, beri phenytoin iv 15-18 mg/kgBB dengan
kecepatan 50 mg/menit Memulai terapi dengan vasopresor bila
diperlukan
- Mengoreksi komplikasi

Stadium IV (30-90 menit) - Bila kejang tetap tidak teratasi selama 30-60 menit, transfer
pasien ke ICU, beri Propofol (2mg/kgBB bolus iv,
diulang bila perlu) atau Thiopentone(100-250 mg
bolus iv pemberian dalam 20 menit ,
dilanjutkan dengan bolus 50 mg setiap 2-3 menit), dilanjutkan
sampai 12-24 jam setelah bangkitan klinis
atau bangkitan EEG terakhir, lalu
dilakukan tapering off.

27
- Memonitor bangkitan dan EEG, tekanan intracranial, memulai
pemberian OAE dosis maintenance

27
28

A. Pengelolaan Status Epileptikus Konvulsif12


a. Pengelolaan sebelum sampai di Rumah Sakit
1. Pemberian benzodiazepine rectal/midazolam buccal merupakan
terapi yang utama selama diperjalanan menuju rumah sakit.

2. Segera panggil ambulans pada kondisi berikut:


- Bangkitan berlanjut 5 menit setelah obat emergensi diberikan
- Penderita memiliki riwayat sering mengalami bangkitan
serial/bangkitan konvulsivus
- Terdapat kesulitan monitor jalan napas, pernapasan, sirkulasi,
atau tanda vital lain.
Terapi OAE harus diberikan bersama sama dengan terapi
emergensi. Pilihan obat tergantung dari terapi sebelumnya, tipe
epilepsi, dan klinis. Apapun OAE yang digunakan sebelumnya, harus
dilanjutkan dengan dosis penuh. Bila phenitoin atau phenobarbital
telah diberikan pada terapi emergensi, dosis rumatan dapat diberikan
secara oral atau intravena dengan monitor kadar obat dalam serum.
OAE rumatan lain dapat diberikan dengan dosis loading peroral. Bila
pasien sudah bebas bangkitan selama 12-24 jam dan terbukti kadar
obat dalam plasma adekuat, maka obat anestesi dapat diturunkan
perlahan.12
29

Tabel 2.2. OAE untuk Status Epileptikus12


Diazepam 10-20 mg per rektal, dapat diulangi 15
Stadium premonitory menit kemudian bila kejang masih berlanjut, atau
(sebelum ke rumah midazolam 10 mg diberikan intrabuccal (belum
sakit) tersedia di Indonesia. Bila bangkitan berlanjut, terapi
sebagai berikut.
Lorazepam (intravena) 0,1 mg/kgBB (dapat diberikan
4 mg bolus, diulang satu kali setelah 10-20 menit).
Berikan OAE yang biasa digunakan bila pasien sudah
SE Dini
pernah mendapat terapi OAE
Bila bangkitan masih berlanjut terapi sebagai berikut
dibawah ini.
Phenytoin i.v dosis of 15-18 mg/kg dengan kecepatan
pemberian 50 mg/menit dan/atau bolus Phenobarbital
SE Menetap
10-15 mg/kg i.v dengan kecepatan pemberian 100
mg/menit.
Anestesi umum dengan salah satu obat dibawah ini:
 Propofol 1-2 mg/KgBB bolus, dilanjutkan 2-10
mg/kg/jam dititrasi naik sampai SE terkontrol
 Midazolam 0,1-0,2 mg/kg bolus, dilanjutkan
0,05-0,5 mg/kg/jam dititrasi naik sampai SE
terkontrol
 Thiopental sodium 3-5 mg/kg bolus , dilanjut 3-5
SE Refrakter
mg/kg/jam dititrasi naik sampai terkontrol

Setelah penggunaan 2-3 hari kecepatan harus


diturunkan karena saturasi pada lemak.
Anastesi dilanjutkan sampai 12-24 jam setelah
bangkitan klinis atau ektrografis terakhir, kemudian
dosis diturunkan perlahan
30

b. Pengelolaan setelah sampai di Rumah Sakit


Penilaian awal jalan napas dan oksigenasi sangat penting. Jika
jalan napas telah bebas, intubasi tidak harus segera dilakukan, tekanan
darah dan nadi harus diobservasi. Pemeriksaan neurologis dilakukan
untuk mencari tanda lesi fokal intrakranial. Langkah selanjutnya
mendapatkan akses intravena, pengambilan sampel darah untuk
penilaian serum elektrolit, ureum, glukosa, kadar obat antiepilepsi
dalam darah, skrining toksisitas obat, dan hitung darah lengkap. Infus
cairan isotonik harus sudah diberikan. Hipoglikemia merupakan
pencetus status epileptikus yang reversibel, glukosa 50 ml 50% dapat
diberikan jika diduga suatu hipoglikemia. Tiamin dapat diberikan untuk
mencegah ensefalopati Wernicke. 12
31

Tabel 2.3 Protokol Penanganan Status Epileptikus12


Pemeriksaan Umum
Stadium 1 (0-10 menit) SE Dini
Pertahankan patensi jalan napas dan resusitasi
Berikan oksigen
Periksa fungsi kardiorespirasi
Pasang infuse

Stadium 2 (0-30 menit)


Monitor pasien
Pertimbangkan kemungkinan kondisi non epileptik
Terapi antiepilepsi emergensi
Pemeriksaan emergensi (lihat di bawah)
Berika glukosa (D50% 50 ml) dan/atau thiamine 250 mg i.v bila ada kecurigaan penyalahgunaan
alkohol atau defisiensi nutrisi
Terapi asidosis bila terdapat asidosis berat

Stadium 3 (0-60 menit) SE Menetap


Pastikan etiologi
Siapkan untuk rujuk ke ICU
Identifikasi dan terapi komplikasi medis yang terjadi
Vasopressor bila diperlukan

Stadium 4 (30-90 menit) SE Refrakter


Pindah ke ICU
Perawatan intensif dan monitor EEG
Monitor tekanan intrakranial bila dibutuhkan
Berikan antiepilepsi rumatan jangka panjang
Pemeriksaan emergensi
Pemeriksaan gas darah, glukosa, fungsi liver, fungsi ginjal, kalsium, magnesium, darah lengkap,
faal hemostasis, kadar obat antiepilepsi. Bila diperlukan pemeriksaan toksikologi bila penyebab
status epileptikus tidak jelas. Foto toraks diperlukan untuk evaluasi kemungkinan aspirasi.
Pemeriksaan lain tergantung kondisi klinis, bisa meliputi pencitraan otak dan dan pungsi lumbal
32

Pengawasan
Observasi status neurologis, tanda vital, ECG, biokimia, gas darah, pembekuan darah, dan kadar
OAE. Pasien memerlukan fasilitas ICU penuh dan dirawat oleh ahli anestesi bersama ahli
neurologi.
Monitor EEG perlu pada status epileptikus refrakter. Pertimbangkan kemungkinankan status
epilepsi nonkonvulsif. Pada status epileptikus konvulsif refrakter, tujuan utama adalah supresi
aktivitas epileptik pada EEG, dengan tujuan sekunder adalah munculnya pola burst suppression.

B. Pengelolaan Status Epileptikus Non Konvulsif


 Dapat ditemukan pada 1/3 kasus SE
 Dapat dibagi menjadi SE lena, SE Parsial kompleks, SE
nonkonvulsivus pada penyandang dengan koma, dan SE pada
penyandang dengan gangguan belajar
 Pemilihan terapi untuk status epileptikus nonkonvulsivus
bermacam macam sesuai jenis bangkitan (tabel 2.4).

Tabel 2.4 Terapi status epileptikus (SE) non konvulsif12


Tipe Terapi pilihan Terapi lain
SE Lena Benzodiazepin I.V./ oral Valproate i.v
SE Parsial kompleks SE Clobazam oral Lorazepam/Phenytoin/
Phenobarbital i.v.
Lena atipikal Valproate oral Benzodiazepine Lamotrigine,
topiramate,
methylphenidate, steroid
oral
SE Tonik Lamotrigine oral
SE nonkonvulsivus pada Phenytoin i.v. atau methylphenidate, steroid
penyandang koma Phenobarbital Anestesia dengan
thiopentone, Phenobarbital,
propofol atau midazolam

 Dosis OAE pada SE Non Konvulsif8,29


SE lena biasanya bisa dihentikan dengan benzodiazepine
intravena: diazepam 0,2-0,3 mg/kg, atau clonazepam 1 mg (0,25-0,5
33

mg pada anak-anak) atau lorazepam 0,07 mg/kg(0,1 mg/kg pada


anak), dapat diulangi bila diperlukan. Bila terapi ini tidak efektif,
mungkin bisa diberikan fenitoin atau valproat intravena. Pada epilepsi
lena pada anak, terapi rumatan dengan valproat atau ethosuximide
diberikan setelah status terkontrol. Kondisi ini sering disebabkan oleh
putus obat( khususnya obat psikotropik atau benzodiazepine), dan
dapat dietrapi dengan diazepam atau lorazepam intravena. Terapi
rumatan jangka panjang biasanya tidak diperlukan. 12
SE parsial kompleks paling baik diterapi dengan benzodiazepine.
Terdapat kontroversi tentang perlunya pemberian intravena pada
kasus ini, pada kebanyakan kasus terapi oral member hasil yang
cukup baik. 12

2.12 Komplikasi
Kejang dan status epileptikus menyebabkan kerusakan pada neuron
dan memicu reaksi inflamasi, calcium related injury, jejas sitotoksik,
perubahan reseptor glutamat dan GABA, serta perubahan lingkungan sel
neuron lainnya. Perubahan pada sistem jaringan neuron, keseimbangan
metabolik, sistem saraf otonom, serta kejang berulang dapat menyebabkan
komplikasi sistemik. Proses kontraksi dan relaksasi otot yang terjadi pada SE
konvulsif dapat menyebabkan kerusakan otot, demam, rabdomiolisis, bahkan
gagal ginjal. Selain itu, keadaan hipoksia akan menyebabkan metabolisme
anaerob dan memicu asidosis.17
Kejang juga menyebabkan perubahan fungsi saraf otonom dan fungsi
jantung (hipertensi, hipotensi, gagal jantung, atauaritmia). Metabolisme otak
pun terpengaruh, mulanya terjadi hiperglikemia akibat pelepasan
katekolamin, namun 30-40 menit kemudian kadar glukosa akan turun. Seiring
dengan berlangsungnya kejang, kebutuhan otak akan oksigen tetap tinggi, dan
bila tidak terpenuhi akan memperberat kerusakan otak. Edema otak pun dapat
terjadi akibat proses inflamasi, peningkatan vaskularisasi, atau gangguan
sawar darah-otak. Merujuk pada respon biokimiawi terhadap kejang, kejang
itu sendiri saja nampak cukup, untuk menyebabkan kerusakan otak.
Berkurangnya aliran darah otak (Cerebral Blood Flow), kurang dari 20
34

ml/100g/menit, memberikan banyak efek di antaranya terinduksinya Nitrit


Oksida Sintase (iNOS) di dalam astrosit dan microglia yang mungkin
berhubungan dengan aktivasi N-methyl-D-Aspartate (NMDA) receptor yang
menyebabkan kematian sel yang cepat hingga 3-5 menit saja yang kemudian
bereaksi dengan O2 radikal bebas yang menghasilkan super-radical. Aktivasi
ini menyebabkan pelepasan asam amino eksitatorik aspartat dan glutamat.
Akibatnya, berlangsunglah sebuah mekanisme kerusakan yang dimediasi oleh
glutamate-glutamic-mediated excitotoxicity khususnya di hipokampus.
Sementara, konsentrasi kalsium ekstraseluler normal pada neuron-neuron
setidaknya 1000 kali lebih besar daripada intraseluler. Selama kejang,
receptor-gatedcalcium channel terbuka mengikuti stimulasi reseptor NMDA.
Peningkatan kalsium intraseluler yang fluktuatif ini akan semakin
meningkatkan keracunan sel. Akibatnya apabila kejang ini terus menerus
terjadi, kerusakan otak yang terjadi pun akan semakin besar.17
a. Komplikasi Primer
Status epileptikus dapat menyebabkan cedera otak, khususnya struktur
limbik seperti hipokampus. Selama 30 menit pertama kejang, otak
masih dapat mempertahankan homeostasis melalui peningkatan aliran
darah, glukosa darah, dan pemanfaatan oksigen. Setelah 30 menit,
kegagalan homeostasis dimulai dan mungkin akan berperan dalam
kerusakan otak. Hipertermi, rhabdomyolisis, hiperkalemia, dan asidosis
laktat meningkat sebagai hasil dari pembakaran otot spektrum luas yang
terjadi terus menerus. Setelah 30 menit, tanda-tanda dekompensasi
lainnya meningkat, yakni hipoksia, hipoglikemia, hipotensi,
leukosistosis, dan cardiac output yang tidak memadai.
b. Komplikasi Sekunder
Komplikasi sekunder akibat pemakaian obat anti-konvulsan adalah
depresi napas serta hipotensi, terutama golongan benzodiazepin dan
fenobarbital. Efek samping propofol yang harus diwaspadai adalah
propofol infusion syndrome yang ditandai dengan rabdomiolisis,
hiperkalemia, gagal ginjal, gagal hati, gagal jantung, serta asidosis
metabolik. Pada sebagian anak, asam valproat dapat memicu
35

ensefalopati hepatik dan hiperamonia. Selain efek samping akibat obat


antikonvulsan, efek samping terkait perawatan intensif dan imobilisasi
seperti emboli paru, trombosis vena dalam, pneumonia, serta gangguan
hemodinamik dan pernapasan harus diperhatikan. 17

2.13 Prognosis
Prognosis pengobatan pada kasus kasus baru pada umumnya baik, pada
70–80% kasus bangkitan kejang akan berhenti dalam beberapa tahun
pertama. Setelah bangkitan epilepsi berhenti, kemungkinan rekurensinya
rendah, dan pasien dapat menghentikan OAE.12
Prognosis epilepsi akan menjadi lebih buruk bila terdapat hal-hal sebagai
berikut: 12
a. Terdapat lesi struktural otak
b. Bangkitan epilepsi parsial
c. Sindroma epilepsi berat
d. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
e. Frekuensi bangkitan tonik-klonik yang tinggi sebelum
dimulainya pengobatan
f. Terdapat kelainan neurologis maupun psikiatris

Anda mungkin juga menyukai