Anda di halaman 1dari 10

WABAH

Oleh : Aulia Rivianti

Hai—

Perkenalkan namaku Aulia Rivianti bisa dipanggil Ully atau Aulia. Biasanya teman-
temanku memanggilku Ully. Aku adalah siswa SMA Negeri 1 Muntilan. Cerita pendek ini
kubuat untuk memenuhi tugas ujian praktik mata pelajaran Bahasa Indonesia sekaligus
mencurahkan isi hati dan pikiranku sejak pandemi melanda. Hihi...

12 Maret 2020.

Hari yang cerah. Aku bangun waktu subuh dan langsung mengambil air wudhu untuk
menunaikan shalat subuh. Selesai shalat, aku mengaji sebentar untuk melanjutkan bacaanku
kemarin malam. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 05.30 aku bergegas mandi dan
ganti seragam batik sekolahku. Ibu sudah membuatkanku sarapan yang sangat lezat. Tanpa
ragu aku langsung menyantapnya. Setelah itu, aku bergegas meminta izin kepada ibuku untuk
berangkat sekolah.

Hari itu aku sangat bersemangat menuju sekolah.

Sesampainya di gerbang sekolah, aku menyapa bapak dan ibu guru yang sudah setia
berjaga di pintu gerbang untuk menyambut siswa siswinya. Kala itu aku masih duduk di
bangku kelas 10 SMA.

Setelah memasuki gerbang, aku menuju kelasku dan meletakkan tas gendong di bangku
yang biasanya aku duduki. Sambil menunggu bel masuk, aku duduk di bangku teras kelasku
sambil bercengkrama dengan teman-temanku. Kala itu apapun kami perbincangkan, mulai
dari tugas yang kian menumpuk, ulangan harian yang akan berlangsung pada hari itu, hingga
curhat masalah pribadi.. hehehe

Pukul 06.50.

Sudah waktunya aku bergabung dengan teman-teman Pasgapara untuk persiapan


mengibarkan bendera merah putih. Kami mengambil bendera merah putih yang tersimpan di
gudang bawah tangga. Kami segera membentuk barisan rapi menghadap tiang bendera.
Temanku yang bertugas untuk mengibarkan bendera sudah bersiap di dekat tiang untuk
membuka ikatan tali. Suara langkah kaki terdengar gagah dan berani saat memasang bendera
ke talinya. Tak butuh waktu lama, bendera sudah siap dikibarkan. “Bendera siap!”, ucap
pengibar dengan lantang. “Hormaaaaaaat grak!”

Indonesia Tanah Airku.. Tanah tumpah darahku.. Disanalah aku berdiri jadi pandu
ibuku..
Seluruh warga sekolah menghadapkan diri ke arah bendera dikibarkan. Tak terasa
bendera sudah ada di ujung tiang. “Tegaaaaaaak grak!”, ucap pemimpin barisan dengan
sangat lantang. Bendera merah putih sudah berkibar. Tanpa ragu, pengibar bendera segera
mengikat tali dengan erat. Pengibaran bendera merah putih pagi itu pun usai. Aku dan teman-
temanku segera kembali ke kelas untuk memulai pelajaran.

Jam pertama dimulai dengan pelajaran matematika wajib oleh Bu Anis. “Selamat pagi,
Bu.”, seru kami menyambut kedatangan Bu Anis. Beliau kemudian meletakkan tas dan buku
di bangku guru. Bu Anis menuju depan kelas dan memulai pelajaran. Kami memerhatikan
penjelasan dari Bu Anis dengan saksama. Ada yang menguap, ada yang meletakkan
kepalanya di meja, ada juga yang tertidur. Maklum jam pertama masih bau bantal hihihhi.

Satu jam berlalu, Bu Anis memberikan latihan soal di papan tulis. Kami berebut untuk
mengerjakan soal tersebut. Soal yang paling diincar adalah soal nomor satu (soalnya paling
mudah) WKWKWK.

Kami berkerumun di depan papan tulis dengan membawa spidol hitam untuk
bergantian menulis cara dan jawaban. Teman-teman yang belum berkesempatan untuk
mengerjakan, memerhatikan papan tulis sambil mencocokkan dengan jawaban di buku tulis
mereka.

Selesai—

Bu Anis segera mengoreksi pekerjaan kami di papan tulis dan mengulas kembali
jawaban tersebut. Tak terasa pelajaran matematika wajib sudah selesai, Bu Anis segera
mengakhiri pertemuan kala itu dengan salam. Dilanjutkan dengan mata pelajaran Pendidikan
Agama Islam(PAI) oleh Bu Liza.

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Terdengar ucapan salam oleh Bu Liza dengan sangat indah. “Waalaikumsalam


warahmatullahi wabarakatuh”, kami menjawab dengan kompak. Hari itu adalah jadwal setor
hafalan surat yang telah diberikan seminggu yang lalu. Kami sibuk menghafal, ada yang
sambil dikoreksi teman sebangku, ada yang tutup mata sambil mulutnya komat-kamit, ada
yang pasrah dengan keadaan, ada juga yang sudah siap lahir dan batin untuk setor hafalan
kepada Bu Liza.

Setelah dirasa cukup yakin, aku memberanikan diri untuk setor hafalan ke Bu Liza.
“Bismillah”, ucapku lirih. Aku segera menyetorkan hafalanku dan alhamdulillah berjalan
dengan lancar. Aku kembali ke tempat dudukku untuk membantu mengoreksi hafalan teman
sebangku-ku.

Selesai—

Semua temanku sudah berhasil menyetorkan hafalan ke Bu Liza. Pelajaran PAI hari itu
pun selesai.

Krrrrriiiinngggggggg—
Bel istirahat pertama terdengar nyaring. Seluruh siswa berhamburan keluar kelas
menuju kantin sekolah. Banyak juga siswa yang hanya berdiam diri di kelas, entah
mempersiapkan ulangan selanjutnya, shalat dhuha, atau makan bekal yang dibawa dari
rumah.

Aku dan teman-temanku bergegas ke mushalla untuk shalat dhuha. Kami berjalan
menuju tempat mushalla untuk mengambil wudhu terlebih dahulu secara bergantian. Selesai
wudhu, aku merapikan kembali jilbabku dan memakai mukena untuk shalat dhuha.

Jajan—

Setelah shalat, aku dan teman-temanku segera memakai kaos kaki dan sepatu kemudian
menuju kantin untuk membeli beberapa cemilan. Suasana kantin saat itu sangat ramai.
Banyak siswa yang bercengkrama dengan asik. Tak jarang aku mendengar sebuah tawa.
Rasanya senang dan damai sekali kala itu. Setelah membeli beberapa cemilan, aku dan
teman-temanku kembali ke kelas karena bel jam pelajaran ke 5 dan 6 akan segera berbunyi.

Di kelas—

Sesampainya di kelas, aku segera makan cemilanku tadi di teras depan kelas sembari
menunggu guru datang. Kebetulan jam pelajaran selanjutnya adalah mata pelajaran Seni
Budaya oleh Bu Trila. Materi pelajaran saat itu adalah seni tari sehingga kami diarahkan
untuk menuju ke ruang seni. Aku dan teman-temanku mengambil peralatan menari di kelas,
seperti sampur, gunungan, dan kipas.

Di ruang seni—

Ternyata Bu Trila sudah menunggu di ruang seni. Bu Trila membuka pelajaran dengan
mengucap salam. “Anak-anak pelajaran hari ini adalah melanjutkan tari yang sudah kalian
garap minggu lalu. Saya harap kalian bisa cepat berproses untuk mempersiapkan
PATRIAMA(Pagelaran Tari dan Drama).”, kata Bu Trila. Kami segera memasang peralatan
tari dan melanjutkan latihan minggu lalu. Saat latihan Bu Trila memberikan koreksi-koreksi
kecil tentang gerakan kami agar nantinya tari yang kami bawakan bisa jadi lebih baik.

Satu jam berlalu kami pun beristirahat sejenak sambil memikirkan kostum apa yang
akan kami pakai saat pertunjukan nanti. “Aku pengen yang ada bulu-bulunya deh”, kata Dita.
“Ih, mending yang batik ngga sih lebih indonesiaable”, sahut Vika. “Aku setuju sama Vika,
kan kita juga membawakan tari tradisional.”, ucap Aril. “Ih tapi kan....”, Dita mengelak
“sudah-sudah, gimana kalau dikombinasikan saja?”, sahut Bintang. “Maksudmu?”, kataku.
Bintang menjelaskan, “Ya kita kombinasikan saja antara batik dengan ornamen bulu-bulu
seperti yang Dita katakan di beberapa bagian.”. “Oh, aku paham! Aku setuju dengan idemu,
Tang.”, jawab Icha. “OKEE SETUJU”, seru teman-temanku yang lain. Akhirnya kami sudah
punya kesepakatan mengenai kostum yang akan kami pakai untuk pertunjukan nanti.

“Anak-anak, yuk dilanjut latihannya. Jangan lupa ingat dan terapkan koreksi yang saya
berikan tadi. Oh iya anak-anak karena ada keperluan di kesiswaan maka kalian lanjutkan
latihannya mandiri, ya. Nanti kalau bel sudah berbunyi silakan kalian beresi dan segera
kembali ke kelas. Terima kasih anak-anak, wassalamualaikum warahmatullahi
wabarakatuh.”, pesan Bu Trila. Kami segera memanfaatkan waktu yang tersisa untuk berlatih
dengan baik sesuai koreksi yang telah diberikan Bu Trila.

Krrrrriiiinngggggggg—

Bel tanda pelajaran jam ke 7 dan 8 berbunyi. Kami segera membereskan ruang seni dan
kembali ke kelas untuk melanjutkan pelajaran selanjutnya, yaitu Biologi oleh Pak Kuncoro.

Di kelas—

Sesampainya di kelas, tak lama Pak Kuncoro memasuki kelas. “Assalamualaikum..”,


ucap Pak Kuncoro. Beliau merupakan salah satu guru favoritku. Kenapa? Karena aku senang
dengan mata pelajarannya dan cara mengajarnya yang santai, bersahabat, dan membuat
siswanya paham. “Apa kabar anak-anakku?”, sapa Pak Kuncoro. “Baik, Pak.” “Sehat, Pak.”,
seru aku dan teman-teman.

Belajar—

Pak Kuncoro kemudian menuju papan tulis untuk menjelaskan materi pelajaran yang
belum selesai dibahas minggu lalu. Gambar-gambar bakteri menghiasi papan tulis beserta
bagian-bagiannya. Pak Kuncoro menjelaskan nama bagian-bagian tersebut dan fungsinya.
Kami terlarut dalam penjelasan tersebut hingga ada salah satu temanku, Adit yang tertidur
pulas. Pak Kuncoro segera mengambil handphone dan mengabadikan momen tersebut.
“cekrikk”, bunyi kamera Pak Kuncoro disusul gelak tawa seisi kelas. Uniknya, Adit tidak
terbangun dari tidur pulasnya, ia malah mengganti posisi tidurnya. Hal tersebut membuat Pak
Kuncoro geleng kepala. “Ya sudah kita biarkan saja dia menikmati mimpi indahnya.”, kata
Pak Kuncoro. Kami melanjutkan pelajaran hingga bel tanda istirahat kedua berbunyi. Adit
kemudian terbangun, “Bagaimana? Sudah sampai mana mimpinya?”, tanya Pak Kuncoro,
“hehehe”, jawab Adit malu sambil menggosok-gosok mata dengan tangannya. “Baik anak-
anak, pelajaran hari ini saya tutup. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.”, ucap
Pak Kuncoro. “Loh udah selesai?”, tanya Adit kaget. “Wuuuuuu makanya jangan tidur terus”,
seru Amel.

Aku bergegas menuju mushalla bersama teman-temanku. Aku mengambil wudhu dan
menuju lantai atas untuk ikut shalat dzuhur berjamaah. “Aamiin...”, ucap jamaah serentak.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh”, shalat dzuhur selesai, aku segera melipat
mukena dan turun ke lantai bawah untuk memakai kaos kaki dan sepatu. “Aul, aku laper, ayo
jajan!”, pinta Nisa. “Yuk!”, ucapku semangat.

Jajan—

Kami segera ke lapangan belakang untuk membeli jajanan. Aku membeli cilor dan teh
kotak sedangkan nisa membeli siomay dan susu cokelat. Kami kembali ke kelas untuk
menyantap jajanan tersebut. Di kelas, aku dan Nisa bergabung dengan teman-teman lain yang
sedang makan siang.
Obrolan—

“Ih bosen banget deh sekolah!”, celetuk Dita. “Eeh kenapa ngomong gitu?”, tanya asih.
“Habisnya tiap hari hidupku cuma gini-gini aja.”, jawab Dita. “Gini-gini gimana?”, tanyaku,
“Ih pokoknya ngebosenin banget, aku tuh pengen seminggu gitu deh libur tanpa ke sekolah!
Aku tuh capekk...”, keluh Dita. “Heiiii ga boleh kaya gitu, kita kan sekolah buat menuntut
ilmu. Buat masa depan, Dit.”, salsa menambahi dilanjutkan oleh Erin, “Iya, Dita. Kamu harus
menikmati masa SMA ini. Cuma 3 tahun loh, sabar dulu ajaa.”. “Padahal kalo sekolah, kita
bisa ketemu temen banyak, bisa ngobrol apapun, bisa ketawa ketiwi bareng.”, bujuk Nisa.
“Bener banget! Aku di rumah malah rasanya gabut banget, Dit. Kangen temen-temen.”,
tambahku. “Iya-iya...”, jawab Dita lirih. “Yang semangat, dong! Sini tos dulu.”, kata Vika.
Clapppp!

Krrrrriiiinngggggggg—

Bel tanda jam pelajaran ke 9 dan 10 berbunyi. “Assalamualaikum warahmatullahi


wabarakatuh”, ucap Pak Makfud guru Bahasa Indonesia. Beliau juga merupakan salah satu
guru favoritku. Tak lain dengan Pak Kuncoro, cara mengajarnya menurutku sangat
bersahabat dan sabar. Biasanya kalau aku belum begitu paham dengan apa yang beliau
jelaskan, Pak Makfud mau dengan sabar menjelaskan ulang kepadaku. Terima kasih ya, Pak.
Hihii..

Diskusi—

Materi pertemuan hari itu dengan Pak Makfud adalah berdiskusi mengenai unsur
intrinsik dan ekstrinsik suatu kutipan novel. Biasanya, kalau pelajaran Pak Makfud, kami
diminta untuk membuat kelompok kecil beranggotakan 4-5 orang untuk berdiskusi mengenai
suatu masalah. Nah, menurutku cara tersebut efektif untuk menambah pemahaman dan
melatih kerja sama dalam tim. Selain itu, dalam kelompok tersebut kami bisa tutor sebaya,
yaitu bagi siswa yang sudah paham akan materi bisa menjelaskan ke teman dalam kelompok
tersebut yang belum paham materi. Nah, selain membuat orang lain paham, menurutku tutor
sebaya bisa menambah pemahaman dalam diri sendiri.

Eitsss balik lagi—

Kami membentuk kelompok dengan berhitung mengular 1-5. Bagi yang memiliki
nomor sama, bergabung di meja yang sudah ditentukan oleh Pak Makfud. Kami saling
berdiskusi mengenai unsur intrinsik dan ekstrinsik kutipan novel tersebut. Kebetulan
kelompokku sudah selesai terlebih dahulu sehingga kami boleh menyampaikan hasil kerja
kelompok kami di depan kelas. Tak lupa, aku memberi sedikit pertanyaan di akhir penjelasan
untuk menyimpulkan apa yang telah kami sampaikan.

Dilanjutkan penyampaian hasil kerja kelompok yang lainnya.

Waktunya pulang—
Tak terasa waktu sudah menunjukkan waktu pulang. Kriiiinggggg, bunyi bel tanda
pelajaran hari itu selesai. Kami segera merapikan alat tulis dan duduk siap di bangku masing-
masing. “Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.”, jawaban kompak aku dan teman-
temanku.

Seluruh siswa berhamburan keluar kelas sambil menggendong tas. Kebetulan hari itu
Dewan Ambalan (DA) mengarahkan siswa kelas 10 untuk berkumpul di lapangan basket.
“Emang mau ngapain?” “Ngapain sihh, capek.” “Pulang aja yok!” “Ini ada apa lagi sih?”,
gerutu teman-temanku.

“SIAAAAAAAPPP GRAK!”, ucap Pradana, Kak Zabdi menarik perhatian siswa kelas
10 untuk diam dan berbaris. “Selamat siang adik-adik. Izin menyampaikan bahwa besok
Jumat-Sabtu, 13-14 Maret 2021 akan dilaksanakan Big Camp di Bumi Perkemahan Desa
Wisata Tinalah, Purwoharjo, Samigaluh, Gunung Kidul. Kegiatan ini dimaksudkan untuk
membentuk karakter setiap individu dan bersatu dengan alam serta mandiri dalam
kebersamaan.”, terang Kak Zabdi “Oleh karena itu, diharapkan seluruh kelompok sangga
mempersiapkan keperluan untuk Big Camp besok.”, lanjut Kak Zabdi. “Setelah ini saya
bubarkan kemudian bergabung dengan sangga masing-masing. Apabila pembahasan sudah
selesai, silakan meninggalkan sekolah. Terima kasih.”, tambah Kak Zabdi

Kami segera berkumpul dengan sangga masing-masing untuk mempersiapkan


keperluan Big Camp. Kami membagi tugas seperti membawa kompor, tenda, gas, wajan,
bahan makanan, beras, ember, dan keperluan pribadi. Setelah pembagian tugas selesai, kami
bergegas pulang ke rumah masing-masing untuk mengemasi barang-barang yang akan
dibawa keesokan hari.

Pulang—

Sesampainya di rumah, aku langsung mengemasi barang yang harus aku bawa. Aku
membawa seragam, sepatu ganti, alat makan, alat mandi, alat shalat, bahan makanan, dan alat
masak. Ibuku membantu mengemasi barang-barang tersebut. Tak lupa ibu juga berpesan agar
tetap berhati-hati dan waspada ketika di bumi perkemahan. Apalagi tempat itu belum pernah
aku kunjungi sebelumnya. Ibu berpesan agar aku selalu berdzikir, mengingat Allah, dan
membaca basmallah saat akan melakukan kegiatan.

Tidur—

Malam itu aku tidur lebih awal dari biasanya karena keesokan harinya aku harus
bangun awal untuk memastikan barang-barangku tidak ada yang tertinggal.

Esok hari—

Keesokan harinya aku diantar ibuku ke sekolah dengan membawa barang-barang yang
sangat banyak. Sesampainya di sekolah aku berpamitan dengan ibu dan masuk ke bis yang
sudah disiapkan. Sebelum berangkat kami membaca basmallah bersama.

Perjalanan—
Di perjalanan kami sangat senang karena akan bertemu dengan alam. “Nggak sabar
banget pengen masak malem-malem.” “Ih samaa. Aku pengen lihat bintang di alam bebas.”,
obrolan teman-temanku di bis.

Sampai—

Tak terasa kami sudah sampai di bumi perkemahan. Aku dan teman sanggaku bergegas
mendirikan tenda dan menata barang bawaan kami. Aku dan Sita memasang gas kemudian
memasak air untuk kami minum.

Priiiiiiittttttt—

Suara peluit melengking menandakan bahwa ketua sangga diharap segera berkumpul di
pos. Aku segera menuju pos untuk mendapat arahan dari kakak DA. “Dek, habis ini kalian
bersih tenda, Ishoma(istirahat, shalat, dan makan), kemudian mempersiapkan pentas seni
nanti malam, mengerti?”, arahan dari kakak DA, “SIAP KAK!”, seru kami, para ketua
sangga. Aku langsung bergegas ke tenda sanggaku untuk memberikan informasi kepada
teman-teman yang lain. Kami membagi tugas, ada yang membersihkan tenda, masak, shalat,
dan mempersiapkan pentas seni malam itu.

Aku terlebih dahulu shalat bersama Syifa di luar tenda. Selesai shalat, aku memasak
bahan makanan yang telah kami bawa dari rumah. Bian dan Sita mempersiapkan kostum
untuk pentas seni malam itu. Kemudian Azah dan Zahra sibuk membersihkan dan merapikan
isi tenda kemudian dihias dengan lampu penerang.

Sore hari—

Tak terasa waktu sudah sore hari waktunya kami siap-siap mandi sore. Kami bergegas
menuju kamar mandi. Ternyata antrean sudah panjang. Kami menunggu sambil
bercengkrama. “Baru satu hari udah capek ya rasanya.”, kata Sita. “Iya pengen pulang terus
rebahan.”, sahut Azah dilanjutkan dengan Bian “Setuju banget!”. Aku menambahkan,
“Badan rasanya pegel semua.” Zahra menyaut, “Andai aja minggu depan ngga sekolah..”
Syifa nimbrung, “Ah benerrr! Pengen tiduran seharian..”.

Ceklek—

Suara pintu kamar mandi terbuka. Tiba giliranku untuk mandi. Aku segera mandi
dengan cepat agar teman-temanku tidak menunggu terlalu lama. Byuuurrr... segarnyaaaa air
sore itu. Tak butuh waktu lama aku sudah selesai mandi kemudian dilanjutkan antrean
temanku selanjutnya. Setelah semua selesai, kami bergegas kembali lagi ke tenda dan bersiap
untuk shalat maghrib.

Priiiiiiiiiitttttttt—

“Informasi kepada seluruh peseta Big Camp untuk mempersiapkan pentas seni dan
segera menuju ke area panggung.”, kata kakak DA. Aku dan teman sanggaku segera
memakai kostum dan bergegas menuju area panggung.
Prok..prok..prok..prok..

Suara tepukan tangan ramai terdengar menyambut peserta yang sudah menampilkan
persembahannya. “Tiba saatnya persembahan dari Sangga Pencoba 4.”

Bismillah..

Aku dan teman sanggaku bergegas menuju panggung dan menampilkan persembahan
kami, tari kipas. Prok..prok..prok..prok.. Tepuk tangan meriah menghiasi penampilan kami.

Selesai—

Akhirnya kami selesai membawakan tari kipas. Kami sangat lega karena telah tampil
dengan lancar. Kami bergegas ke area panggung untuk menyaksikan persembahan kelompok
sangga yang lain.

22.00—

Acara pentas seni malam itu pun selesai. Kami dihimbau untuk kembali ke tenda
masing-masing dan persiapan tidur. Aku dan teman-teman sanggaku kembali ke tenda
kemudian cuci kaki, cuci tangan, gosok gigi, tak lupa mengoleskan krim anti nyamuk
kemudian tidur. Malam itu berjalan dengan damai sekali.

Allahuakbar.. allahuakbar..

Tak terasa sudah waktu subuh. Aku segera bangun dan mengajak teman-temanku untuk
shalat subuh. “Brrrrr..”, airya dingin sekali. Kami langsung shalat subuh berjamaah dan
memasak air untuk membuat secangkir susu atau teh hangat. Sita dan Zahra menyiapkan
bahan makanan untuk dimasak. Pagi itu menu makan kami adalah oseng buncis dan telur
dadar. Aku dan Bian memasak nasi, kemudian Azah dan Syifa merapikan tenda.

Waktunya makan—

Makanan sudah matang, saatnya kami menyantap makanan yang telah kami masak.
Rasanya bervariasi, ada yang sangat asin, kurang asin, hambar, hingga masih keras.
HAHAHA itulah nikmatnya masak saat kemah. Tapi itu semua tetap kami syukuri “Yang
penting bisa makan hari ini wkwkwk”, kata Bian.

Priiiiiiiiiiiiiitttttttttt—

Suara peluit memanggilku dan ketua sangga lain untuk segera berkumpul di pos.
Mataku terbelalak ketika melihat bapak-bapak polisi yang berjejer di area pos. “Adik-adik,
kakak mengumpulkan kalian di sini untuk memberikan informasi darurat. Kakak sangat
memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada kalian karena acara Big Camp 2020 kali ini
terpaksa kakak hentikan karena ada suatu halangan.”, terang Kak Zabdi. Aku kaget dan
bingung, sebenarnya ada apa? Apakah tidak diizinkan oleh polisi setempat? Ataukah
halangan yang lainnya? “Kakak minta kalian segera memberesi tenda dan menuju bis
masing-masing, ya. Jangan sampai ada barang yang tertinggal.”, lanjut kak Zabdi.
Aku segera berlari menuju tendaku dan memberi arahan kepada teman-temanku agar
segera memberesi tenda dan mengemasi barang bawaan kami masing-masing. Temanku
bingung, “Udah, ayo diberesi dulu. Nanti di bis aku ceritain.”, kataku. Kami segera
memberesi tenda dan bergegas menuju bis yang akan kami tumpangi. Semua peserta Big
Camp berlari menuju bis masing-masing.

“Sebenarnya ada apa, Ul?”, tanya Azah. “Jadi gini, tadi aku diberi informasi sama Kak
Zabdi supaya kita segera memberesi tenda dan barang bawaan kita kemudian segera menuju
bis untuk pulang. Nah, alasan sebenarnya karena apa, aku juga ngga tahu. Tapi tadi aku lihat
banyak banget bapak polisi yang berjejer di area pos. Aku bingung ini sebenarnya kenapa..”,
jelasku. Selama di perjalanan kami terus memikirkan, sebenarnya ada apa? Sampai-sampai
acara Big Camp kami terpaksa dihentikan di tengah jalan.

Di sekolah—

Sampai sekolah aku sudah dijemput ibuku. “Kenapa dek kok pulangnya lebih awal?”,
tanya ibuku. Aku terdiam, “Aku juga kurang tahu, Buk. Tadi tiba-tiba diarahkan untuk
membereskan tenda dan barang bawaan kemudian pulang.”

Di rumah—

Sesampainya di rumah aku langsung mandi, ganti baju, dan mengeluarkan barang-
barang dari tasku. Kemudian aku membuka televisi dan betapa kagetnya aku ketika melihat
berita bahwa virus covid-19 sudah masuk ke Indonesia. Saat itu aku langsung mengerti
kenapa acara Big Camp dihentikan di tengah jalan. Aku sangat menyayangkan hal tersebut
karena acara Big Camp adalah acara 3 tahun sekali selama di SMA dan aku tidak bisa
menikmatinya sampai selesai. Yasudahlah.. yang terpenting saat itu adalah menjaga diri agar
tidak terjangkit virus covid-19.

Semakin malam, kasusnya semakin bertambah. Aku gelisah, takut apabila sampai
terjangkit virus covid-19.

Libur 2 minggu—

Keesokan harinya 15 Maret 2020, Pak Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah
memberikan himbauan kepada seluruh pelajar di Jawa Tengah bahwa sekolah tatap muka
diliburkan selama 2 minggu untuk menghindari paparan virus covid-19. Mendengar berita
tersebut, aku senang juga sedih. Senang karena aku bisa terbebas dari beban tugas yang
menumpuk setiap harinya. Sedih karena aku tidak bisa berjumpa dengan teman-temanku
selama 2 minggu. Aku merasa omongan temanku menjadi kenyataan.

Di rumah saja—

Himbauan untuk tetap di rumah saja mulai digencarkan. Aku menikmati liburan
tersebut dengan menonton film di rumah. “Oh gini ya ternyata libur tanpa beban tugas..”,
kataku senang. Setiap hari aku hanya menatap plafon dan tembok rumah. “Duhhh mulai
bosan”, keluhku. Aku berusaha mencari kegiatan yang sekiranya bisa aku lakukan di rumah.
Aku membuka youtube, eh yang muncul berita covid. Membuka instagram, covid lagi.
Membuka sosial media yang lain pun dipenuhi dengan berita covid yang terus melonjak. Aku
hanya bisa pasrah saat itu. Aku berharap covid jangan sampai merambah ke daerah tempat
tinggalku agar aku bisa kembali bersekolah lagi.

Wacana tatap muka—

Sudah 2 minggu berlalu, namun wacana sekolah tatap muka hanya menjadi wacana.
Awalnya hanya libur selama 2 minggu. Lama-lama libur kembali diperpanjang dan sekolah
terpaksa dilakukan secara online/jarak jauh atau biasa disebut PJJ(Pembelajaran Jarak Jauh).

Tak hanya sekolah saja yang terpaksa dilakukan secara online, namun pekerjaan,
perdagangan, dll juga dituntut untuk dilakukan di rumah secara online. Hal itu tak lain dan
tak bukan untuk mengurangi penyebaran virus covid-19 yang kian melonjak.

Setahun—

Sudah setahun lebih, sekolah terpaksa dilakukan secara daring. Banyak hal yang bisa
aku kembangkan saat pembelajaran secara online, salah satunya adalah keterampilan di
bidang Iptek. Namun, akses bertemu dengan teman-temanku semakin terbatas. Aku dan
teman-temanku hanya bisa berinteraksi melalui sosial media kami yang terhubung. Aku
sangat rindu bercanda tawa dengan teman-temanku saat itu.

Tak hanya aku yang merasa sulit, ibuku juga merasakannya. Pekerjaan ibuku yang
mengharuskan interaksi dengan orang lain menjadi terhambat karena adanya pandemi.
Terpaksa ibuku harus menghentikan sejenak pekerjaannya karena tuntutan PSBB(Pembatasan
Sosial Berskala Besar) yang diserukan oleh pemerintah. Ibu harus mencari jalan lain untuk
tetap bertahan hidup di tengah kondisi pandemi yang mencekam kala itu.

Allah maha baik. Alhamdulillah ibuku selalu diberi jalan keluar atas kesulitannya
selama ini. PSBB mulai dilonggarkan sehingga ibu bisa kembali bekerja seperti biasanya.
Namun, protokol kesehatan tetap harus diterapkan dengan baik.

Mulai dari Lockdown, PSBB, dan PPKM Level 1-4 sekolah tak kunjung memberi
kejelasan kapan kita akan kembali bersekolah tatap muka lagi. Sejujurnya, aku sudah sangat
bosan dan ingin segera kembali sekolah seperti biasanya.

Selama aku duduk di bangku kelas 11 aku tidak pernah merasakan pembelajaran tatap
muka di sekolah. Namun untungnya di kelas 12 ini, aku merasakan pembelajaran tatap muka
lagi. Walaupun belum bisa intensif seperti saat aku duduk di bangku kelas 10, tatap muka di
kelas 12 sudah mampu mengobati rinduku selama setahun lebih ini.

Aku harap covid-19 segera mereda agar kita bisa kembali bersekolah seperti sedia kala.

Aamiin.. aamiin.. aamiin.. ya rabbal’alaamiin..

Anda mungkin juga menyukai