Anda di halaman 1dari 13

Mumpung hari ini libur, embah mau ngasih short course yg bersifat

praktek dengan topik: Valuasi dengan menggunakan metoda EV/EBITDA

Jika anda melihat research saham, tentu anda sering melihat


ratio EV/EBITDA ini, rasio ini mirip PER tapi lebih canggih.

EV adalah Economic Value dan EBITDA adalah Earning Before Interest,


Tax, Depreciation dan Amortisation.

Jika EV dibagi dengan EBITDA maka akan dihasilkan suatu ratio


yg menunjukan BERAPA MURAH atau MAHAL suatu perusahaan atau
istilahnya apakah suatu saham UNVERVALUE atau tidak.

Investor strategis umumnya menilai suatu perusahaan murah


jika angka EV/EBITDA ini dibawah 6.

Dengan mengikuti kursus pendek ini anda akan mendapatkan:


- Konsep dan Pengertian mengenai Economic Value, EBITDA
dan EV/EBITDA
- Mempelajari dalam bentuk praktek bagaimana cara menghitung
dan mendapatkan angka2 yg diperlukan untuk menghitung
ratio EV/EBITDA

Jadi sesudah mengikuti kurus ini, anda bisa menghitung EV/EBITDA


sendiri dan menggunakannya dalam Valuasi saham sehari hari.

Or At least anda tidak bingung jika membaca angka EV/EBITDA yg


sering ada pada reseach2 yg dibuat analis saham profesional.

Apa itu EV atau Enterprise Value: ?.

Enterprise Value adalah angka yg menunjukan besarnya Value


dari suatu company atau FIRM's VALUE.

Bayangkan Enterprise Value EV sebagai harga TEORITIS dari suatu


Company takeover, jadi EV mirip dengan Market Capitalisation.

Market Capitalisation adalah = Jumlah saham x Harga saham

Bedanya EV dan Market Capitalisation:


- Pada suatu Buyout/akuisisi, seorang investor harus membayar
sebesar nilai kapitalisasi pasar untuk mendapatkan company tsb.
- Tapi saat dia mendapatkan company tsb, dia juga mendapatkan
DEBT atau Utang perusahaan yg menjadi Kewajibannya.
- Disamping itu , dia juga mendapatkan CASH yg menjadi haknya.
- Jadi Enterprise value dihitung sebagai Market Capitalisation +
Debt - Cash

Contoh:
- Harga ASII = Rp 52900
- Jumlah sahamnya = 4048 juta lembar
- Kapitalisasi Pasar = 4048M x 52900 = 214,1 T
- Debt = 28,4 T
- Cash = 8,6 T
- Enterprise value = Market Capitalisation + Debt - Cash
= 214,1 +28,3 - 8,6 = 233,8 T

Jadi harga teoritis jika ASII diTakeover pada suatu Buyout


adalah = 233,8 T

Kalo diconvert ke lembar saham = 233,8T/4048M = 57769 perak,


angka ini lebih tinggi dari harga sahamnya 52900 karena
Debt perusahaan lebih besar dari Cashnya.

Yg anda tulis adalah pandangan seorang akuntan saat


menyusun laporan Keuangan: Cash adalah asset dan debt atau
piutang adalah liability.

Sedangkan EV adalah konsep Finance, dimana EV diartikan sebagai


Harga TEORITIS yg harus dibayar oleh seorang Investor pada
suatu Takeover/Buyout. Pada saat dia membayar maka dia akan
mendapatkan perusasahan tsb BERIKUT Debt dan Cashnya.

Jadi EV = Market Cap + Debt - Cash.

Misal anda beli suatu perusahaan sebesat 10T, ketika perusahaan


diserahkan maka anda akan mendapatkan Cash, say 1T, jadi
uang yg dikeluarkan untuk takeover adalah 10 - 1 = 9T.
Tapi jika perusahaan punya debt 2T, maka sebenarnya
diperlukan dana 2T tambahan untuk melunasi debt agar
perusahaan tsb penuh milik anda.

Jadi FIRM's Value atau Enterprise value EV = 10 - 1 + 2 = 11 T.

Jadi EV ini adalah harga TEORITIS yg menunjukan CASH FLOW yg


diperlukan untuk membuat perusahaan yg dibeli menjadi penuh
milik anda.

Embah lanjutkan dengan konsep EBITDA:

- EBITDA adalah singkatan dari Earning BEFORE Interest, Tax,


Depreciation and Amortisation.
- Jadi EBITDA = Net Profit + Interest + Tax + Depreciattion +
Amortisation

EBITDA ini adalah konsep orang Finance jadi tidak diatur didalam
Aturan Prinsip Akuntansi yg umum diterima.

Ada juga yg namanya EBIT yaitu Earning before Interest dan Tax.

Jadi EBIT = Net Profit + Interest + Tax

Tapi kita tahu bahwa:


- Operating profit - Interest - Tax = Net Profit

Jadi EBIT sebenarnya adalah Operating profit, a finance


people's style... hehehe...

EBITDA juga bisa ditulis sebagai = Net profit + Depreciation +


Amortisation.

Gimana ?, apakah sudah jelas mengenai EBITDA ?.

Kalo sudah jelas, embah akan lanjutkan dengan kenapa orang


Finance ribet2 bikin konsep EBITDA ini ?. kenapa sih
engga pake Net profit aja ?.

EV = Market capitalisation + Debt + Minority interest +


Preferred shares - minus total cash and cash equivalents.

RORE yaitu retained earning bukan ROR saja

Kenapa orang Finance menekankan pada Operating Profit: ?

Kita tahu: Net profit = Operating Profit - INTEREST - TAX

Orang accounting menekankan pada Net Profit/Net Income atau Laba


bersih tapi orang Finance lebih menekankan pada Operating
profit/Operating Income atau Laba operasi atau EBIT.

Ini dikarenakan Laba operasi BEBAS dari pengaruh besarnya TAX


dan Bunga yg harus dibayar.

Kita tidak bisa menggunakan Net Profit untuk membandingkan


Profitabilitas Operasionil perusahaan karena Net profit
dipengaruhi oleh:
- Interest/bunga, setiap perusahaan mempunyai struktur permodalan
yg berbeda, ada yg menggunakan utang tinggi dan ada yg rendah.
Pembayaran bunga yg berbeda ini akan merusak akurasi
pengukuran KEMAMPULABAAN perusahaan.
- Tax, stuktur Tax yg berbeda juga akan mengurangi akurasi
pengukuran Profitibilitas operasionil accross company and
accross Region

Jadi Operating Profit atau EBIT sangat penting bagi orang Finance.

- Orang accounting menggunakan Net profit saat menghitung PER.


- orang finance menggunakan Operating profit saat menghitung
EV/EBITDA.

Buat ngitung Valuasi saham, kita bisa gunakan dua duanya yaitu
PER dan EV/EBITDA, tapi EV/EBITDA jauh lebih EMOY ... hehehe...

Nanti kita hitung sama sama EV/EBITDA ARNA, kenapa ARNA


embah bilang Undervalue, ARNA is a SUPER pearl INDEED... hehehe...

Note:
- Embah engga punya ARNA tapi ini bukan buat kepentingan
KETERBUKAAN yg suka ditulis pak Irwan Ariston, ini karena
masalah teknis doang... hehehe...

Good question...

Finance dan Accounting SANGAT BERBEDA dari segi akurasi perhitungan.

Orang accounting akan mencari selisih meskipun itu cuman


1 atau 2 perak karena Accounting punya fungsi CONTROL.
Orang Finance yg ngitung Cash Flow untuk ngitung kebutuhan
besarnya kredit bank tidak akan peduli dengan recehan.
Akurasi mereka bisa jutaan, apalagi kalo kreditnya mencapai
angka triliun.

Begitu juga untuk Valuasi saham, kita tidak terlalu akurat


tapi HARUS wajar dan reasonable.

Soal debt untuk Valuasi:


- Accounting diatur dengan GAAP atau Generally Accepted Accounting
procedure.
- Sedangkan Finance tidak diatur, ini yg pernah embah tanyakan pada
pak Bagus soal perlunya Analyst code yg mengatur perhitungan
Valuasi yg STANDARD agar perhitungan valuasi analis 1 tidak
berbeda dengan analis 2.
- Karena Debt untuk keperluan Valuasi ini tidak diatur, maka
interpretasinya bisa berbeda2. Kita ambil aja patokan Debt
yg umum dipakai untuk Valuasi yaitu Non interest bearing debt
jadi tidak termasuk utang dagang..

nimbrung ah, mumpung embah lagi bagi2 materi kuliah, saya bagi salah satu trik
praktis yg biasa saya pake.. tapi makenya kalo udah ngerti filosofinya yah
(pantengin kuliah embah sampe kelar dulu biar tau esensinya)

I got this dirty-trick for making an investment picture utilizing EV and Ebitda...
kalo dalam bentuk yield jadi lebih gampang, anggep coupon equity vs Debt..

Ebitda minus Real Capital Spending minus incremental Working Capital, Divided by
Enterprise Value... combined with Growth Profile of minimum 10 %-ish.. picture the
balance sheet would look like within 3 years, what the current cash flows posture
look like, and what type of multipe i should expect to materialize within 1-2
years. if the overall picture is more than 20 % annual return it might worth to
take a further look...

here is the example ; ITMG deh yg predictable..

Ebitda 010-F 510 Mn USD, Ebitda 011-F 710 Mn USD...

Current Capital Spending approx 75-85 Mn USD annualy

Incremental Working Capital assuming linear turnover cycle would be around 10-15 Mn
USD

EV is about 5875 Mn USD now..

Raw Free Cash Coupon would be ;

(510 + 710 ) / 2 : 610 Ebitda


(85) Capital Spending
(15) Incr Working Capital

Result : 510 Mn USD

EV : 5875 Mn USD
510 / 5875 = 8.69 %.. a slight point below 10 %, so its generally a good investment
only priced at a bit expensive level now... (at around 10 % "coupon" it'd be a
very good nod for further check..)

angka Ebitda yg dipakai biasanya tergantung mood, kadang analis suka me"roll-over"
angka forward andai dia rasa angin sentimen ke arah suatu saham lagi bullish.
biasanya kalo dia mo upgrade TP, pada kasus semacam ini kadang analis me roll-over
angka yg dipakai simply jadi forward 1-2tahun ke depan. (kalo disini maka yg
dipakai langsung yg 710, nah ini sifatnya judgment..)

kalo udah dapet biasanya yg "coupon" Raw FCF nya diatas 10 % maka biasanya saya
nge-cek poin kualitatif SBB ;

* Business Cycle, Franchise-based quality produknya, katalis etc --> minimal


reassured growth prospect diatas 10 % sustainable 2-3 tahun ke depan. strategi
pertumbuhan macem apa yg diambil sama manajemen, konsisten gak sama realisasinya..
etc
* cek item2 neraca, hitung NAV kasar, overtime ROIC nya diatas biaya modal gak,
employ little debt kalo bisa, kalo nggak pun di cek rate pinjaman yg dia dapat
berapa. di invert andai ada situasi memburuk berapa lama kas dan asset yg ada bisa
support operasi tanpa perlu tambahan capital-infusion...

kalo semuanya lancar... ya udah initiate ato build posisi. screen awalnya ya itu
tadi, forecast FCF "coupon" nya kalo bisa deket2 10 %... saya track sebagian besar
saham di idx dengan picture "equity-coupon" semacam ini, whenever significant
correction appear, kadang yield equity ini bisa + nya diatas 2 - 3 % dari yield SUN
5 tahun, di beberapa counter yg poin kualitatif nya sudah saya labelin "solid-
business" kalo pas bisa kena kejadian FCF coupon nya premium diatas SUN jauh saya
biasanya tutup-mata masup... assuming si yield SUN juga gak naik parah yah.. saya
juga liat2 dulu Yield SUN naik parah gak, tapi kalo ada kejadian sama2 crash
seringnya kenaikan Yield coupon FCF equity overshoot kenaikan Yield SUN, whenever
the premium reach above 2.5 % i'd start collect some quality stuffs at price level
that i somehow perceived as "quite a bargain"...

Kita lanjutkan dengan EBITDA ....

EBITDA = Operating Profit + Depreciation

Orang bilang EBITDA ini Operating Cash Flow, tapi ingat CASH FLOW ini
kata yg artinya BISA BERBEDA untuk orang Accounting, Finance dan
terutama Analis saham.

Kemarin embah bingung kenapa Operating cash flow ASII


itungan FCFE berbeda 10 triliun dengan Operating cash flow
pada laporan Arus kas.

Cash Flow yg dipakai analis saham adalah CASH FLOW teoritis


dan bukan CASH FLOW aktual atau cash flow dengan CASH BASIS
pada laporan Arus Cash. Ini pendapat embah sendiri, mohon
dikoreksi kalo salah...

Dan hitungan Cash Flow oleh analis saham pada metode yg berbeda
juga BISA BERBEDA, jadi jangan bingung, santai aja... hehehe...

Balik ke EBITDA = Operating Profit + Depreciation


Kenapa Depreciation di ADD BACK ke Operating profit untuk
mendapatkan angka cash flow EBITDA ini ?.

- Depreciation adalah Non cash expense, maksudnya begini:


- Kita beli mesin 100 juta dan dihapuskan selam 5 tahun
- Mesin dibayar cash sekaligus pada saat pembelian.
- mesin dibukukan sebagai asset pada neraca dan setiap tahun
penghapusan dibukukan pada account akumulasi penghapusan
- Jadi pada akhir tahun ke 1: Asset = 100 juta, akumulasi
penghapusan = 20, Book value = 100 -20 = 80 juta
- Pada akhir tahun ke 2: Asset tetap 100 juta, akumulasi
penghapusan = 40 , book value = 100 - 40 = 60 juta

Terlihat sesudah asset dibeli, tidak ada transaksi CASH


yg melibatkan penghapusan asset ini selama 5 tahun yaitu
umur asset ini.

Tapi saat menghitung Operating profit, biaya penghapusan


20 juta setahun dianggap sebagai expense dan mengurangi
operating profit.

Itulah alasan kenapa analis saham meng ADD BACK Depreciation


pada Laba Operasi untuk mendapatkan angka Operating Cash
Flow EBITDA.

Contoh:
- Laba operasi 50 juta
- Depresiasi 100 juta
- Sanggup engga perusahaan bayar utang 90 juta saat laba operasi
nya CUMAN 50 juta , atau laba lebih kecil dari utang yg harus
dibayar ?.

hehe saya blon buka kursus mbah, kalo buka kursus FA kayaknya sepi peminat.. FA di
sini masih rada kurang laku kayaknya haha... gapapa sih kurang laku supaya yg maen
pake FA gak gitu banyak, keep it a bit edgy.. ;P
err, itungan kasar gini simpel sih mbah, dan kadang kalo saya gak sempet bikin pro-
forma sendiri bisa ambil angka2 yg dibuat sama analis-analis laen. angka Ebitda,
angka EV, angka net incremental working capital, angka capex biasanya gampang
ditemuin kok di riset2.. bisa dibandingin juga antara 1 analis ama analis laen.
pake angka yg kita liat reliable..

kalo untuk ARNA (misalnya ya ini angka kasar tembak aja saya juga gak megang data
soalnya) ;

Ebitda dia 155 M


Capital Spending (35) M
Net Incr Wrkg Capital ( 5) M

FCF "Raw" 115 M

EV ARNA skrg 780 M

"Coupon" ARNA sekitar 14.74 % which is good.

tinggal diliat, seberapa besar reliabilitas dia bisa post sustainable growth diatas
10%, cek postur neraca-nya, debt-burdened gak?. berapa rate debt dia?. say misalnya
revolving bank loannya aja sekitar 10-11 %, ya premium 4.75 % diatas itu kita dapet
lewat equitynya not too shabby lah. tinggal upside nya dari exit multiple yg kira2
bisa kecapai dalam waktu 1-2 tahun, tinggal dicari katalisnya, mo ada CA?, mo ada
earning-jump yg melebihi ekspektasi pasar?, mo ada re-rating multiple dari pasar?
(mulai dicover sama big player?) etc. anggep semua katalis early exit diatas gak
ada/kejadian pun kita dapet yield 14.7 % which aint too shabby.(kalo kita udah
pastiin prospek bisnisnya aman yah..). tapi biasanya kita masuk kalo selain
harganya murah jg dalam waktu dekat ada identifiable catalyst supaya kita bisa
exit.

ya untuk ARNA tetep mesti ada cautious tone-nya, karena Q to Q operating marginnya
slightly deteriorating, saya gak liat franchise qualitynya bener2 outstanding, dan
harga energi akan naik (cost-wise pressure). tapiiiii harganya murah. balik lagi,
setelah cek faktor2 kualitatif, tentukan pilihan kita apakah 14.75 % coupon ini
worth the bet dibanding instrumen ato peluang investasi lain... simpel laah...

Coba kita hitung EV/EBITDA buat ARNA:

Anda benar.... Jadi laba operasi tidak bisa digunakan untuk


mengukur KEMAMPUAN perusahaan untuk membayar utang.

Kemampuan membayar utang tergantung dari Operating Cash


Flow EBITDA yaitu = Laba Operasi + Depreciation

Dulunya EBITDA ini dipakai oleh orang Finance untuk mengukur


SERVICE DEBT yaitu kemampuan perusahaan untuk membayar utang
dari Operating Cash Flow.

NAH SEKARANG KITA MASUK PUNCAKNYA:

- Sesudah digunakan untuk mengukur Service Debt, EBITDA


kemudian digunakan Tukang Caplok perusahaan untuk
menghitung perusahaan2 mana yg murah untuk dicaplok.
- Dan sesudah itu EBITDA secara umum diterima sebagai
tool standard/umum bagi Investor mencari saham2 yg
Undervalue dibursa DISELURUH DUNIA....

Jika EV/EBITDA < 6 maka perusahaan tsb dianggap murah/undervalue.

Kita lanjutakan dengan LOGIKA kenapa angka 6 dan bukan


yg lain, apa logikannya ?.

Sebelum kita lanjutkan, apakah sudah jelas sebelum kita


lanjutkan dengan PRAKTEK...

Kalo pake kasus seperti gini:


- Sebuah restoran ditawarkan pada anda dengan harga
Enterprise Value EV = 10 miliar
- Cash Flow EBITDA setahun 2 miliar
- EV/EBITDA = 10/2 = 5 thn
- Jadi dalam 5 tahun, Jumlah Cash flow sama dengan jumlah
cash flow yg dikeluarkan saat anda beli restoran tsb.
- Dan pada akhir tahun ke 5, restoran tsb dalam keadaan utuh
dan bisa anda jual lagi dengan harga 10 miliar atau lebih.

Apakah anda berminat ?.


- Jika EV/EBITDA = 10 thn, apakah anda masih berminat ?.
- Pada EV/EBITDA diatas berapa, anda tidak minat lagi dengan
restoran ini ?

Laba harusnya gak bisa dibandingkan dgn 'kemampuan membayar' ya mbah,


karena basisnya udah beda, accrual vs cash basis.

Kita coba PRAKTEK ngitung dulu biar engga terlalu abstrak:

Kita coba ngitung EV/EBITDA untuk ASII:


- Price ASII = 52900
- Jumlah saham = 4,048 B
- Market capitalisation = Jumlah saham x price =
4,048 x 52900 = 214,1 T
- Debt = 28,4 T
- Cash = 8,6 T
- Jadi EV = Market Cap + Debt - Cash = 214,1 + 28,4 - 8,6 = 233,9

- Operating Profit 9 bulan= 10,4 annualised= 4/3 x 10,4= 13,9 T


- Net profit 9 bln = 10,36, annualised = 13,8 T
- Accumulated dep akkhir = 16,4
- Accumulated dep awal thn = 14,3
- Jadi Depreciation 9 bln = 16,4 - 14,3 = 2,1, annualied = 2,8 T
- EBITDA = Operating Profit + depreciation = 13,9 + 2,8 = 16,7 T

EV/EBITDA = 233,9 / 16,7 = 14

EPS = Net profit / jumlah saham = 13,8 T/ 4,048 B = 3409 perak


PER = Price / EPS = 52900/3409 = 15,5

Jadi kita dapatkan buat ASII: PER = 15,5 dan EV/EBITDA = 14

Note:
- EV/EBITDA ASII sudah jauh diatas 6
- Tapi ingat, dulu C&C singapore beli ASII diharga Rp 2200
sekarang sudah 52900... hehehe...

Mbah,urun pendapat ya.


- emiten yg utangnya gede berarti boleh asal ebitdanya juga cukup gede.
- emiten yg nyimpen cash gede merupakan target akuisisi yg empuk.
- enaknya pakai ebitda trailing atau forward seperti yg Mbah bikin?

Price = 320
Jumlah saham = 1,835 B

- Market Cap = 1,835 x 320 = 587,2 B


- Debt = 270 B
- Cash = 21,2 B

Jadi EV = 587,2 + 270 -21,2 = 836 B


- Operating Profit 9bln = 115,2 B, annualised = 153,6 B
- Net Profit 9bln = 62 B , annualised = 82,7 B
- Acc. Depr akhir = 228,8
- Acc. Depr awal thn = 211,9
- Depreciation 9 bln = 228,8 - 211,9 = 16,9 , annualised = 22,5 B

EBITDA = Operating Profit + Depreciation = 153,6 + 22,5 = 176,1 B

EV/EBITDA = 836 / 176,1 = 4,7

EPS = Net profit / jml saham = 82,7 / 1,835 = 45,1


PER = Price/EPS = 320 / 45,1 = 7,1

Jadi kita dapatkan buat ARNA: PER = 7,1 dan EV/EBITDA 4,7

Kalo kita harapkan EV/EBITDA bisa mencapai:


- 8 maka kenaikan ARNA sekitar = 8-4,7/4,7 = 3,3 / 4,7 = +70%
- 10 maka kenaikan = +113%

Ratio lainnya:
- ROE = 21%
- CAGR 5 thn net profit = 18%
- CLOP sekitar 7.

Jadi ARNA emoy lah... hehehe...

- Jika sebuah emiten dilikwidasi maka Angka DER atau Debt to


Equity ratio menjadi penting karena ini menunjukan Solvabilitas.
- DER yg aman adalah: Debt sekitar 66% dari equity.
- Tapi jika perusahaanya lancar maka angka EBITDA yg diperhatikan,
tapi Lender atau bank kan tentunya harus mempertimbangkan
Resiko untuk keadaan terburuk.

Buat yg belum bisa menangkap secara penuh materi ini, engga


jadi masalah, embah setiap hari selalu ada...

Buat yg nanya datanya dapet dari mana ?


- Laporan keuangan emiten dari web BEI
- Yg sudah disarikan bisa dilihat di investdata.net, dari Etrading
dan OLT lainnya.
- Dari Reuter atau sumber lainnya.

Yang keperluannya sebatas MENGGUNAKAN EV/EBITDA tapi tidak


mau menghitung karena tidak ada waktu juga oke, yg penting
anda sudah MENANGKAP konsep EV/EBITDA secara baik jadi:
- Kalo ada saham tambang dengan EV/EBITDA = 15 tahun
sedangkan tambangnya akan habis ditambang dalam 5 tahun.
Anda tentu tahu bahaya kalo beli saham tambang ini.
- Kalo ada saham dengan EV/EBITDA kecil dan prospek growth
nya baik, ini adalah DUREN JATUH, ibarat beli ASII di 2200
sepuluh tahun yg lalu.
- Kalo ada saham dengan EV/EBITDA sudah tinggi tapi growthnya
kecil, anda harus hindari saham seperti ini.

Jadi usahakan MENANGKAP konsepnya EV/EBITDA karena angka ini


dipakai secara MELUAS diseluruh dunia.
EV-based ato Ebitda based digunakan secara umum karena alasan SBB ;

Pro - Ini provide gambaran sebesar apa investor willing to pay (seperti embah
bilang, biasanya raw estimatenya 5-6 X multiple..), angkanya juga relatif mudah
didapat.. dan nyaman digunakan jika tujuannya adalah membandingkan level
operasional antara masing-masing perusahaan. Ebitda juga bisa dikembangin jadi
gambaran Cashflow servicing debt. ini enak dipake buat analisa pemegang Debt
perusahaan.

Cons - Its Crude, dan seringnya perbandingan secara adil antara perusahaan gak ada,
seringnya gak fair membandingkan perusahaan 1 dengan yg lain hanya dari EV/Ebitda
nya.. umumnya perusahaan yg employ little or no debt kena hajar dianggep "mahal"
relative to peers sama metriks ini, padahal sebaliknya perusahaan yg level interest
paymentnya kecil biasanya dihargai premium di pasar.

ini selingannya aja ya, yg ini gak akan pernah diajarin Dosen di kelas finance coz
they simply doesnt grab the practical issues that is happened on daily investing
activites, tapi ini dari pengalaman saya ;

in a way, sebenernya Depreciation sama Amortization itu "real-cost", Charlie


Munger even go as far as saying these,

�I think that, every time you saw the word EBITDA [earnings], you should substitute
the word �bullshit� earnings" - Charle Munger on Berkshire Hathaway Meetings
2003 ..

ini karena seringkali Metriks Ebitda disalahgunakan oleh Investment Bankers, Origin
dari Metriks ini datengnya dulu waktu jaman Tech Boom di akhir dekade 90an,
perusahaan periode start-up masih produce net income kecil karena harus bayar
financing projectnya dan beban capital outlay besar di awal. nah for the sake of
comparable beberapa investment banker pitch klien mereka agar divaluasi dengan
metriks Ebitda karena ingin menunjukkan perbandingan valuasi jika Net Income nya
kecil. sementara Depresiasi sendiri sejujurnya adalah "real-cost" karena umumnya
perusahaan tetep harus spend minimal senilai depresiasinya untuk mempertahankan
competitive advantage dan produktivitas aset tetapnya.

Ebitda umumnya berguna justru bukan buat common street investor tapi buat pemberi
kredit ato debt investor, atau Investor besar yang niatnya mo caplok dan meng-
unlock konstelasi postur Net Income emiten yg diincar, karena jika kita anggap
Ebitda adalah full potential earning yg bisa dicapai, si investor pencaplok bisa
meng-"unlock" value dengan misalnya Refinance Debt hingga beban keuangannya turun,
ato De-leverage sekalian dengan konversi Debt ke Equity (atau dillute debt
proportion dengan raised equity), atau pada titik lebih ekstrim bisa aja sampe
merubah Tax level yg dibayar perusahaan... Ebitda ini umumnya dipakai sama Sell-
Side Analyst, sementara yg Buy-Side kaya saya biasanya kurang favor metriks ini..

FCF lebih reliable dari Ebitda karena Ebitda selain belum memperhatikan Maintenance
Capex yg harus disisihkan juga belum memperhatikan efek incremental working
capital, padahal biasanya perusahaan consumer goods ato manufaktur yg bagus, employ
little debt tapi kebutuhan working capitalnya amat besar. biasanya di consumer
goods seperti ini,
ilustrasinya contoh di ICBP bisa seperti ini ;

Sales/Revenue Tahunan kira2 untuk 2010 bisa 18 Trilyun


Market Cap saat ini sekitar 29 Trilyun
Net Income 1.6 Trilyun
Invested Capital (Net Tangible Asset) kira2 saat ini 5.5 Trilyun

yang berarti Return on Invested Capitalnya adalah 29 %...

berdasarkan pengalaman saya, ini kuncinya di ROIC 29 % ini, kenapa?. karena di


dalam bisnis yg semacam ini, pada kondisi tekanan inflasi keatas (pada ekonomi yang
bertumbuh) bisnis semacam ini akan mengembangkan Revenue nya secara konstan, anggep
Revenue konstan akan naik tiap tahun 15 % pertahun maka sales akan Doubling dalam 5
tahun ke depan dan kalo profit marginnya gak berubah +- Net Income juga akan
Double dalam 5 tahun ke depan. TAPI inget bahwa sales yg double secara teoritis
butuh INVESTED CAPITAL yg double juga untuk bisa keep-up the capabilities of
generating such earning. nah dengan bisnis yg ROIC nya tinggi begini, even Sales
nambahjadi dobel investasi yg dibutuhkan untuk keep-up jadi dobel pun secara
nominal gak banyak, pada kasus ini hanya 5.5 Trilyun dalam waktu 5 tahun dan MOST
of It adalah di working capital (Raw Material and such yg meningkat..).

nah inilah yg kejadian sama Astra, Indofood, Unilever, Mayora Etc yg embah bilang
tempo hari...

ilustrasinya begini, contoh ICBP waktu dibeli di tahun ke 1 anggep dia dibeli (kalo
pake multiple 10-12 aja) wajarnya "cuman" 16-20 Trilyun, saat ini di 29 Trilyun
dianggep premium.
yang orang sering underestimate adalah yg begini-gini (astra,indf,unvr) punya
compounding abilities yg konsisten. dia bisa generate pertumbuhan yg hampir
infiniti dan tidak mengenal terminal growth putus. maka jika dibeli blok sekarang
di katakanlah 29 trilyun. jika bisnis ini punya pricing power yg solid dan
competitive advantage yg unik maka sekitar 5 tahun lagi ilustrasinya akan begini.

dia akan earn approx 3.2 Trilyun. sementara posisi buyer saat ini kira2 hanya mesti
keluar 5.5 Trilyun Capex untuk keep-up selama 5 tahun.

yg kalo ditotal dari harga beli yg katakanlah 29 trilyun maka jadi 35 Trilyun.

anggep 5 tahun dari saat ini dia masih akan tetap dihargai 10-12X multiple
minimalnya. maka kita akan dapat ;

A. dividend selama 5 tahun


B. Perusahaan yang berpotensi dihargai sekitar 10-12 * 3.2 Trilyun atau kisaran 32-
39 Trilyun

therefore we earn quite handsome profit. upsidenya tentu saja apabila ;

* Bayangkan kita pegang selama 10 Tahun, berapa kira2 nilai pasar investasi kita
nantinya?
* Bayangkan jika karena 1 dan lain hal compounding ability perusahaan yg kita beli
ternyata jauh lebih cepat dari yg kita perkirakan (kita kira 15 % eh tau2 jadi 20
%..)
* Bayangkan jika ekonomi expand dan suddenly rating wajar multiple nya
dipersepsikan bukan 10-12 tapi 15-16?.

nah hal begini yg kejadian di astra, indofood, unilever etc... treatment invest
semacam ini di perusahaan normal tentu aja gak bisa senyaman yg saya ilustrasikan
diatas, tapi ya saya bilang tadi, ketika compounding ability, pricing power,
competitive advantage bener2 jelas maka yg saat ini terlihat mahal, pada beberapa
langkah di depan bisa jadi murah.

nah pertanyaan klasiknya tentu aja, berapa banyak perusahaan yg bisa assured ROIC
tinggi dan kontinu?, punya pricing power dan competitive advantage?.

proyeksi bisa dari pro-forma yg dibuat sendiri, tapi jujur ini kalo mau yg bagus
dan rapih (reliable) konstruksi modelnya agak lama.

cara lain adalah dari hasil pro-forma nya analis sell-side, biasanya ambil aja kalo
yg bikijn emang kita udah percaya ama skill-nya.

kalo mo ambil angka cash flow nya analis laen, bear in mind, kalo di level OCF
kebanyakan masih bikinnya hati2 dan penuh perhitungan. nah untuk Capex lebih baik
kita tentukan sendiri secara hati-hati dan terukur... most of the time, analis
sell-side understate capex... ato sebaliknya gagal meng-grab esensi apakah suatu
capex yg di employed create value ato gak..

salah satu cara mengukur apakah capex itu create value ato nggak pake pendekatan
economic profit based on ROCE ato ROIC..

sebenernya weapon of choice saya justru EPV daripada DCF plain, hanya gunanya
dengan kita menguasai logika DCF kita tau dan bisa mengevaluate hasil rekomendasi
riset2 analis laen.
di reverse aja growth rate nya reasonable gak, OCF level nya, capex level nya, cost
of capitalnya sama terminal growth nya pantes gak, nilai de-derived dr distant
value apa dari nilai yg tidak terlalu jauh dari saat ini? etc.. kadang kalo saya
lagi agak loaded kerjaan dan gak sempet pro-forma sendiri saya juga suka ngambil
angka risetnya analis ato angka konsensus di bloomberg, baru saya olah pake
beberapa valuasi preferensi sendiri...

kalo perusahaannya bagus dan laporan keuangannya reliable, pake angka OCF di
laporan keungan trus di forecast kasar pertumbuhannya juga gapapa mbah, sebelumnya
kita liat data historis sama perkembangan terkini bisnisnya aja sama prospek2nya...
biasanya sih kalo perusahaannya bagus angka pertumbuhannya ajeg.. kecuali di kasus
tertentu dimana kita lihat revenue streamnya baru akan masuk di 2-3 tahun dari saat
ini, tapi si revenue stream itu probabilitas kepastiannya tinggi, kita kudu make
forward-based DCF. ato sekalian forward EPV pada saat potential earning kick-in
baru didiskon ke nilai saat ini memperhatikan tingkat kemungkinan kejadiannya juga.
metode pelengkap dari hitungan cashflow basis biasanya asset based valuation, nilai
company andai operasi di shut-down (misal rugi) dan asetnya di break-up. ato
replacement value nya di pasar saat ini andai berpindah kepemilikan. komparasi
pasar dengan kompetitor etc. di FA jg DCF bukan tools mutlak sih mbah. hanya secara
natural suatu perusahaan yg free cash flow yield nya tinggi biasanya sehat dan bisa
kasih value besar buat pemiliknya, either lewat dividend besar, buyback saham,
ekspansi ato malah mengurangi hutang. salah satu indikator yg saya sendiri amat
suka ya Free Cash Flow Yield diatas rata-rata..
kenapa saya lebih senang bikin pro-forma dan model2 sendiri drpd ambil data
analis?. pretty much sama kenapa banyak trader pake chart ato grafik preferennya
masing2. mostly supaya conviction atas keputusan investasi bisa bener2 solid, di
samping itu ya jadi pride & joy nya juga. sensasinya mungkin sama kaya kalo trader
lagi bikin chart ato grafik dan parameter2nya lah.. tapi kadang kalo butuh cepet ya
saya rasa ambil angka riset orang juga gapapalah..

Anda mungkin juga menyukai