Contoh:
- Harga ASII = Rp 52900
- Jumlah sahamnya = 4048 juta lembar
- Kapitalisasi Pasar = 4048M x 52900 = 214,1 T
- Debt = 28,4 T
- Cash = 8,6 T
- Enterprise value = Market Capitalisation + Debt - Cash
= 214,1 +28,3 - 8,6 = 233,8 T
EBITDA ini adalah konsep orang Finance jadi tidak diatur didalam
Aturan Prinsip Akuntansi yg umum diterima.
Ada juga yg namanya EBIT yaitu Earning before Interest dan Tax.
Jadi Operating Profit atau EBIT sangat penting bagi orang Finance.
Buat ngitung Valuasi saham, kita bisa gunakan dua duanya yaitu
PER dan EV/EBITDA, tapi EV/EBITDA jauh lebih EMOY ... hehehe...
Note:
- Embah engga punya ARNA tapi ini bukan buat kepentingan
KETERBUKAAN yg suka ditulis pak Irwan Ariston, ini karena
masalah teknis doang... hehehe...
Good question...
nimbrung ah, mumpung embah lagi bagi2 materi kuliah, saya bagi salah satu trik
praktis yg biasa saya pake.. tapi makenya kalo udah ngerti filosofinya yah
(pantengin kuliah embah sampe kelar dulu biar tau esensinya)
I got this dirty-trick for making an investment picture utilizing EV and Ebitda...
kalo dalam bentuk yield jadi lebih gampang, anggep coupon equity vs Debt..
Ebitda minus Real Capital Spending minus incremental Working Capital, Divided by
Enterprise Value... combined with Growth Profile of minimum 10 %-ish.. picture the
balance sheet would look like within 3 years, what the current cash flows posture
look like, and what type of multipe i should expect to materialize within 1-2
years. if the overall picture is more than 20 % annual return it might worth to
take a further look...
Incremental Working Capital assuming linear turnover cycle would be around 10-15 Mn
USD
EV : 5875 Mn USD
510 / 5875 = 8.69 %.. a slight point below 10 %, so its generally a good investment
only priced at a bit expensive level now... (at around 10 % "coupon" it'd be a
very good nod for further check..)
angka Ebitda yg dipakai biasanya tergantung mood, kadang analis suka me"roll-over"
angka forward andai dia rasa angin sentimen ke arah suatu saham lagi bullish.
biasanya kalo dia mo upgrade TP, pada kasus semacam ini kadang analis me roll-over
angka yg dipakai simply jadi forward 1-2tahun ke depan. (kalo disini maka yg
dipakai langsung yg 710, nah ini sifatnya judgment..)
kalo udah dapet biasanya yg "coupon" Raw FCF nya diatas 10 % maka biasanya saya
nge-cek poin kualitatif SBB ;
kalo semuanya lancar... ya udah initiate ato build posisi. screen awalnya ya itu
tadi, forecast FCF "coupon" nya kalo bisa deket2 10 %... saya track sebagian besar
saham di idx dengan picture "equity-coupon" semacam ini, whenever significant
correction appear, kadang yield equity ini bisa + nya diatas 2 - 3 % dari yield SUN
5 tahun, di beberapa counter yg poin kualitatif nya sudah saya labelin "solid-
business" kalo pas bisa kena kejadian FCF coupon nya premium diatas SUN jauh saya
biasanya tutup-mata masup... assuming si yield SUN juga gak naik parah yah.. saya
juga liat2 dulu Yield SUN naik parah gak, tapi kalo ada kejadian sama2 crash
seringnya kenaikan Yield coupon FCF equity overshoot kenaikan Yield SUN, whenever
the premium reach above 2.5 % i'd start collect some quality stuffs at price level
that i somehow perceived as "quite a bargain"...
Orang bilang EBITDA ini Operating Cash Flow, tapi ingat CASH FLOW ini
kata yg artinya BISA BERBEDA untuk orang Accounting, Finance dan
terutama Analis saham.
Dan hitungan Cash Flow oleh analis saham pada metode yg berbeda
juga BISA BERBEDA, jadi jangan bingung, santai aja... hehehe...
Contoh:
- Laba operasi 50 juta
- Depresiasi 100 juta
- Sanggup engga perusahaan bayar utang 90 juta saat laba operasi
nya CUMAN 50 juta , atau laba lebih kecil dari utang yg harus
dibayar ?.
hehe saya blon buka kursus mbah, kalo buka kursus FA kayaknya sepi peminat.. FA di
sini masih rada kurang laku kayaknya haha... gapapa sih kurang laku supaya yg maen
pake FA gak gitu banyak, keep it a bit edgy.. ;P
err, itungan kasar gini simpel sih mbah, dan kadang kalo saya gak sempet bikin pro-
forma sendiri bisa ambil angka2 yg dibuat sama analis-analis laen. angka Ebitda,
angka EV, angka net incremental working capital, angka capex biasanya gampang
ditemuin kok di riset2.. bisa dibandingin juga antara 1 analis ama analis laen.
pake angka yg kita liat reliable..
kalo untuk ARNA (misalnya ya ini angka kasar tembak aja saya juga gak megang data
soalnya) ;
tinggal diliat, seberapa besar reliabilitas dia bisa post sustainable growth diatas
10%, cek postur neraca-nya, debt-burdened gak?. berapa rate debt dia?. say misalnya
revolving bank loannya aja sekitar 10-11 %, ya premium 4.75 % diatas itu kita dapet
lewat equitynya not too shabby lah. tinggal upside nya dari exit multiple yg kira2
bisa kecapai dalam waktu 1-2 tahun, tinggal dicari katalisnya, mo ada CA?, mo ada
earning-jump yg melebihi ekspektasi pasar?, mo ada re-rating multiple dari pasar?
(mulai dicover sama big player?) etc. anggep semua katalis early exit diatas gak
ada/kejadian pun kita dapet yield 14.7 % which aint too shabby.(kalo kita udah
pastiin prospek bisnisnya aman yah..). tapi biasanya kita masuk kalo selain
harganya murah jg dalam waktu dekat ada identifiable catalyst supaya kita bisa
exit.
ya untuk ARNA tetep mesti ada cautious tone-nya, karena Q to Q operating marginnya
slightly deteriorating, saya gak liat franchise qualitynya bener2 outstanding, dan
harga energi akan naik (cost-wise pressure). tapiiiii harganya murah. balik lagi,
setelah cek faktor2 kualitatif, tentukan pilihan kita apakah 14.75 % coupon ini
worth the bet dibanding instrumen ato peluang investasi lain... simpel laah...
Note:
- EV/EBITDA ASII sudah jauh diatas 6
- Tapi ingat, dulu C&C singapore beli ASII diharga Rp 2200
sekarang sudah 52900... hehehe...
Price = 320
Jumlah saham = 1,835 B
Jadi kita dapatkan buat ARNA: PER = 7,1 dan EV/EBITDA 4,7
Ratio lainnya:
- ROE = 21%
- CAGR 5 thn net profit = 18%
- CLOP sekitar 7.
Pro - Ini provide gambaran sebesar apa investor willing to pay (seperti embah
bilang, biasanya raw estimatenya 5-6 X multiple..), angkanya juga relatif mudah
didapat.. dan nyaman digunakan jika tujuannya adalah membandingkan level
operasional antara masing-masing perusahaan. Ebitda juga bisa dikembangin jadi
gambaran Cashflow servicing debt. ini enak dipake buat analisa pemegang Debt
perusahaan.
Cons - Its Crude, dan seringnya perbandingan secara adil antara perusahaan gak ada,
seringnya gak fair membandingkan perusahaan 1 dengan yg lain hanya dari EV/Ebitda
nya.. umumnya perusahaan yg employ little or no debt kena hajar dianggep "mahal"
relative to peers sama metriks ini, padahal sebaliknya perusahaan yg level interest
paymentnya kecil biasanya dihargai premium di pasar.
ini selingannya aja ya, yg ini gak akan pernah diajarin Dosen di kelas finance coz
they simply doesnt grab the practical issues that is happened on daily investing
activites, tapi ini dari pengalaman saya ;
�I think that, every time you saw the word EBITDA [earnings], you should substitute
the word �bullshit� earnings" - Charle Munger on Berkshire Hathaway Meetings
2003 ..
ini karena seringkali Metriks Ebitda disalahgunakan oleh Investment Bankers, Origin
dari Metriks ini datengnya dulu waktu jaman Tech Boom di akhir dekade 90an,
perusahaan periode start-up masih produce net income kecil karena harus bayar
financing projectnya dan beban capital outlay besar di awal. nah for the sake of
comparable beberapa investment banker pitch klien mereka agar divaluasi dengan
metriks Ebitda karena ingin menunjukkan perbandingan valuasi jika Net Income nya
kecil. sementara Depresiasi sendiri sejujurnya adalah "real-cost" karena umumnya
perusahaan tetep harus spend minimal senilai depresiasinya untuk mempertahankan
competitive advantage dan produktivitas aset tetapnya.
Ebitda umumnya berguna justru bukan buat common street investor tapi buat pemberi
kredit ato debt investor, atau Investor besar yang niatnya mo caplok dan meng-
unlock konstelasi postur Net Income emiten yg diincar, karena jika kita anggap
Ebitda adalah full potential earning yg bisa dicapai, si investor pencaplok bisa
meng-"unlock" value dengan misalnya Refinance Debt hingga beban keuangannya turun,
ato De-leverage sekalian dengan konversi Debt ke Equity (atau dillute debt
proportion dengan raised equity), atau pada titik lebih ekstrim bisa aja sampe
merubah Tax level yg dibayar perusahaan... Ebitda ini umumnya dipakai sama Sell-
Side Analyst, sementara yg Buy-Side kaya saya biasanya kurang favor metriks ini..
FCF lebih reliable dari Ebitda karena Ebitda selain belum memperhatikan Maintenance
Capex yg harus disisihkan juga belum memperhatikan efek incremental working
capital, padahal biasanya perusahaan consumer goods ato manufaktur yg bagus, employ
little debt tapi kebutuhan working capitalnya amat besar. biasanya di consumer
goods seperti ini,
ilustrasinya contoh di ICBP bisa seperti ini ;
nah inilah yg kejadian sama Astra, Indofood, Unilever, Mayora Etc yg embah bilang
tempo hari...
ilustrasinya begini, contoh ICBP waktu dibeli di tahun ke 1 anggep dia dibeli (kalo
pake multiple 10-12 aja) wajarnya "cuman" 16-20 Trilyun, saat ini di 29 Trilyun
dianggep premium.
yang orang sering underestimate adalah yg begini-gini (astra,indf,unvr) punya
compounding abilities yg konsisten. dia bisa generate pertumbuhan yg hampir
infiniti dan tidak mengenal terminal growth putus. maka jika dibeli blok sekarang
di katakanlah 29 trilyun. jika bisnis ini punya pricing power yg solid dan
competitive advantage yg unik maka sekitar 5 tahun lagi ilustrasinya akan begini.
dia akan earn approx 3.2 Trilyun. sementara posisi buyer saat ini kira2 hanya mesti
keluar 5.5 Trilyun Capex untuk keep-up selama 5 tahun.
yg kalo ditotal dari harga beli yg katakanlah 29 trilyun maka jadi 35 Trilyun.
anggep 5 tahun dari saat ini dia masih akan tetap dihargai 10-12X multiple
minimalnya. maka kita akan dapat ;
* Bayangkan kita pegang selama 10 Tahun, berapa kira2 nilai pasar investasi kita
nantinya?
* Bayangkan jika karena 1 dan lain hal compounding ability perusahaan yg kita beli
ternyata jauh lebih cepat dari yg kita perkirakan (kita kira 15 % eh tau2 jadi 20
%..)
* Bayangkan jika ekonomi expand dan suddenly rating wajar multiple nya
dipersepsikan bukan 10-12 tapi 15-16?.
nah hal begini yg kejadian di astra, indofood, unilever etc... treatment invest
semacam ini di perusahaan normal tentu aja gak bisa senyaman yg saya ilustrasikan
diatas, tapi ya saya bilang tadi, ketika compounding ability, pricing power,
competitive advantage bener2 jelas maka yg saat ini terlihat mahal, pada beberapa
langkah di depan bisa jadi murah.
nah pertanyaan klasiknya tentu aja, berapa banyak perusahaan yg bisa assured ROIC
tinggi dan kontinu?, punya pricing power dan competitive advantage?.
proyeksi bisa dari pro-forma yg dibuat sendiri, tapi jujur ini kalo mau yg bagus
dan rapih (reliable) konstruksi modelnya agak lama.
cara lain adalah dari hasil pro-forma nya analis sell-side, biasanya ambil aja kalo
yg bikijn emang kita udah percaya ama skill-nya.
kalo mo ambil angka cash flow nya analis laen, bear in mind, kalo di level OCF
kebanyakan masih bikinnya hati2 dan penuh perhitungan. nah untuk Capex lebih baik
kita tentukan sendiri secara hati-hati dan terukur... most of the time, analis
sell-side understate capex... ato sebaliknya gagal meng-grab esensi apakah suatu
capex yg di employed create value ato gak..
salah satu cara mengukur apakah capex itu create value ato nggak pake pendekatan
economic profit based on ROCE ato ROIC..
sebenernya weapon of choice saya justru EPV daripada DCF plain, hanya gunanya
dengan kita menguasai logika DCF kita tau dan bisa mengevaluate hasil rekomendasi
riset2 analis laen.
di reverse aja growth rate nya reasonable gak, OCF level nya, capex level nya, cost
of capitalnya sama terminal growth nya pantes gak, nilai de-derived dr distant
value apa dari nilai yg tidak terlalu jauh dari saat ini? etc.. kadang kalo saya
lagi agak loaded kerjaan dan gak sempet pro-forma sendiri saya juga suka ngambil
angka risetnya analis ato angka konsensus di bloomberg, baru saya olah pake
beberapa valuasi preferensi sendiri...
kalo perusahaannya bagus dan laporan keuangannya reliable, pake angka OCF di
laporan keungan trus di forecast kasar pertumbuhannya juga gapapa mbah, sebelumnya
kita liat data historis sama perkembangan terkini bisnisnya aja sama prospek2nya...
biasanya sih kalo perusahaannya bagus angka pertumbuhannya ajeg.. kecuali di kasus
tertentu dimana kita lihat revenue streamnya baru akan masuk di 2-3 tahun dari saat
ini, tapi si revenue stream itu probabilitas kepastiannya tinggi, kita kudu make
forward-based DCF. ato sekalian forward EPV pada saat potential earning kick-in
baru didiskon ke nilai saat ini memperhatikan tingkat kemungkinan kejadiannya juga.
metode pelengkap dari hitungan cashflow basis biasanya asset based valuation, nilai
company andai operasi di shut-down (misal rugi) dan asetnya di break-up. ato
replacement value nya di pasar saat ini andai berpindah kepemilikan. komparasi
pasar dengan kompetitor etc. di FA jg DCF bukan tools mutlak sih mbah. hanya secara
natural suatu perusahaan yg free cash flow yield nya tinggi biasanya sehat dan bisa
kasih value besar buat pemiliknya, either lewat dividend besar, buyback saham,
ekspansi ato malah mengurangi hutang. salah satu indikator yg saya sendiri amat
suka ya Free Cash Flow Yield diatas rata-rata..
kenapa saya lebih senang bikin pro-forma dan model2 sendiri drpd ambil data
analis?. pretty much sama kenapa banyak trader pake chart ato grafik preferennya
masing2. mostly supaya conviction atas keputusan investasi bisa bener2 solid, di
samping itu ya jadi pride & joy nya juga. sensasinya mungkin sama kaya kalo trader
lagi bikin chart ato grafik dan parameter2nya lah.. tapi kadang kalo butuh cepet ya
saya rasa ambil angka riset orang juga gapapalah..